4 minute read

PMII dalam Wacana Penguatan Mental-Spiritual melalui Praktik Politik Rasional di Lingkungan Kampus

Oleh: M. Khoirul Imamil M.

Pada suatu sore di hari Senin (10/4), melalui grup WhatsApp LPM Tradisi, saya diberitahu pimpinan sekaligus senior saya, Kamerad Fandy, bahwa 17 April nanti PMII akan ber-milad. Kami sepakat untuk menerbitkan sebuah buletin yang berisi tulisan ulang beberapa esai dari Kumpulan Esai Terpilih Konfercab PC PMII Sleman: Arah Gerakan di Era Baru PMII yang terbit tahun 2021 lalu. Sebagai pengantar, Kamerad Fandy menyilakan awak “Tradisi” untuk turut menulis. Setidaknya, memberi sambutan mangayubagya atas milad PMII ke-63.

Advertisement

Meski seorang awak abal-abal, saya ingin turut menulis. Saya memilih tema politik rasional (al siyasah al ‘aqliyyah), sebuah tema besar yang diusung Ibnu Khaldun (1332-1406 M) sebagai kontra-narasi atas ide khilafah yang diembuskan beberapa cendekiawan Islam. Saya secara pribadi mencoba menyambungkan sumbu korelasi antara gagasan Ibnu Khaldun ini dengan praktik perpolitikan di lingkungan kampus. Bagaimanapun, PMII merupakan pergerakan mahasiswa yang tentu saja lebih akrab sesaban dalam ruang-ruang diskusi, seminar, kajian, serta kelas-kelas di lingkungan kampus. Sementara, kampus sebagaimana sering kita dengar, adalah cermin mungil dari keindonesiaan. Alhasil, kampus tak bisa lepas dari hiruk-pikuk dinamika suatu negara, termasuk politik.

Sistem perpolitikan kampus tentu saja amat dipengaruhi oleh mahasiswanya. Baik kampus negeri maupun swasta, tentu mahasiswa memegang kontrol dominan atas perguliran roda kepemimpinan di kampus. Sementara, bila kita cermati, fenomena umum di kampus adalah heterogenitas. Keberagaman yang muncul melahirkan kelompok-kelompok tertentu yang diidealisasikan dalam wacana “satu tujuan”. Lantas, ketika gelaran Pilmawa (baca: pemilihan mahasiswa) tiba, kelompok–kelompok tersebut akan mengerucut dalam koalisi-koalisi politik dengan “jago” masing-masing. Tentunya, pilihan “jago” ini amat dipengaruhi oleh misi kepentingan (interest) serta dominansi (power) yang ingin digapai dengan jalan keluar sebagai “penguasa” rakyat-mahasiswa.

Hal yang menarik adalah mengupas bagaimana peran serta PMII dalam arus perpolitikan kampus, utamanya dalam menggelorakan sistem politik rasional ala Ibnu Khaldun. Sebagai bagian dari anak-cucu Al Ghazali (istilah yang dipakai Ulil Abshar Abdalla untuk menyebut kader-kader muda NU), paham politik PMII tentu sedikit banyak berkiblat pada sosok Ibnu Khaldun. Terlebih, figur yang terakhir disebut ini cukup moncer di kalangan “umat” berkat embusan sistem politik khilafah yang menguat belakangan. Apalagi, paham khilafah yang telah dicap “terlarang” oleh pemerintah ini diyakini telah berakselerasi menusuk ke jantung kampus-kampus tanah air.

Secara garis besar, politik rasional ala Ibnu Khaldun menekankan pada pentingnya penguatan peradaban (civilization). Peradaban yang baik akan menuntun pada sistem pemerintahan yang baik. Hal itu tercermin dari terwujudnya seperangkat aturan (a set of regulations) yang ditujukan untuk mengatur tingkah laku masyarakatnya (mahasiswa dalam konteks kampus). Visi peradaban menjadi ruh utama yang melandasi prinsip politik rasional. Hal ini menjadi menarik, mengingat istilah rasional tentu lebih banyak dipahami pada aspek materi yang profan serta nalar logika. Sementara, arus peradaban tak hanya menuntut kemajuan profan semata, melainkan juga penguatan spiritual yang mendorong tercerahkannya sanubari mahasiswa. Alhasil, mahasiswa tak hanya dijejali dengan kepentingan akademik dan persiapan karir yang melulu menyita waktu dan energi, tetapi juga memberikan ruang proporsional bagi stabilitas mental-spiritual.

Kebutuhan akan stabilitas mental-spiritual dalam beberapa periode terakhir ini terbilang kian menanjak. Isu kesehatan mental (mental health) kian menjadi perbincangan serius dalam berbagai ruang kampus. Namun, hal senada justru jarang kita dengar dalam kampanye-kampanye Pilmawa. Pun bila diperbincangkan, hal semacam ini sekadar sebuah sikap reaksioner (random move) semata demi mendulang suara dari rakyat-mahasiswa. Sementara, pada praktik yang lebih serius dan berkelanjutan, kita jarang mendengar pendekatan-pendekatan mental-spiritual sebagai pengimbang ritme akademik.

Semestinya, PMII selaku organisasi yang bersifat pergerakan dengan haluan keagamaan yang kuat nan khas berani berteriak lantang. Suara-suara bagi pentingnya penguatan mental-spiritual harus kian digelorakan dalam mimbar-mimbar politik kampus. Kader-kader PMII perlu kian rajin menggagas gelaran-gelaran berhaluan keagamaan sebagai terapi mental. Terlebih, di tiap kampus nasional umumnya bisa dijumpai keberadaan Ormawa (organisasi mahasiswa) yang berdiri di atas pondasi keagamaan. Bersama organisasi semacam ini, PMII dapat membangun afiliasi-afiliasi strategis nan progresif (tanpa mengesampingkan afiliasi dengan organisasi lain). Meski terdengar seolah akan membangun kekuatan parsial berbasis keagamaan, pada kenyataannya gagasan semacam ini perlu ditempuh demi menanggulangi kecarut-marutan kampus yang gagal ditangani sistem politik yang berlaku saat ini.

This article is from: