MAJALAH LEMBAGA PERS MAHASISWA - SPIRIT MAHASISWA EDISI POTRET PENDIDIKAN MADURA

Page 1

LPM-SM / VI / 04 / 2021

M AHASISWA SPIRIT Aksi dan Bersuara Lewat Tulisan

POTRET PENDIDIKAN MADURA Liputan Khusus TANGGAPAN BEBERAPA PIHAK TERKAIT PENDIDIKAN PESANTREN MENJADI PRIORITAS DI MADURA


SELAYANG PANDANG

SALAM REDAKSI Pada akhir tahun 2019 Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan jika angka buta aksara/huruf di pulau Madura masih relatif tinggi, dan menjadikan empat kabupaten di Madura menunduki peringkat teratas diantaranya Bangkalan, Sampang, Pamekasan dan Sumenep. Dinas Pendidikan (Dispendik) Kabupaten Bangkalan, salah satu lembaga yang ditunjuk negara dalam ihwal pendidikan, terkhusus mengurusi sumber daya masyarakat terkait ini membantah adanya dugaan masyarakat yang belum bisa membaca, dikarenakan sudah banyak program yang digencarkan diantaranya sekolah atap dan juga sistem kejar paket. Para pakar sosiologi dan komunikasi bersepakat jika kadaan satuan pendidikan kita yang dinamis dan sering berubah-ubah, membuat chaos baik pendidik dan juga siswa. Bahkan semat ditemui jika masyarakat lebih bisa dan mudah belajar ketika memakai bahasa daerah (Madura) dan yang memberikan metode pembelajaran menggunakan bahasa daerah adalah madrasah dan pondok pesantren, dimana tempat untuk mengenal pendidikan agama islam lebih baik, bukan sekolah formal yang mengajarkan membaca dan menulis. Di sisi lain kultur dan budaya masyarakat madura lebih cenderung tertarik belajar terkait agama, membuat masyarakat kurang percaya terhadap pendidikan dan sekolah formal. Oleh karena itu, Lembaga Pers Mahasiswa Spirit Mahasiswa mengusung permasalahan terkait angka buta huruf/aksara yang tinggi di Madura. Lewat beragam konten yang ada di dalamnya, majalah ini diharap bisa menjadi sarana edukasi yang mengembangkan wawasan baik mahasiswa UTM maupun masyarakat lain pada umumnya. Selain itu kami juga mengucapkan terima kasih, kepada seluruh pihak yang terlibat dalam pembuatan majalah ini. Sebagai komitmen terhadap isu yang kamu bawa. Kami membuka ruang diskusi kritik dan saran kepada para pembaca guna pembenahan ke arah yang lebih baik lagi. 02 LPM-SM I

Maret 2021


REDAKSI Pimpinan Umum: Birar Dzillul Ilah; Pimpinan Redaksi: Yulia Rahmatika; Reporter: Surya Rahman Pradopo, Hamidah Irma Yunita, Widya Nova, Adji Immanudin, Lina K; Fotografer: Amelia A; Layouter: Yulia Rahmatika Editor : Elvira Z. Masudah, Idatus Sholihah

@wartautm warta kampus universitas trunojoyo madura @wartautm

spiritmahasiswa

spiritmahasiswa.trunojoyo.ac.id


M AHASISWA SPIRIT Aksi dan Bersuara Lewat Tulisan

DAFTAR ISI

Laporan Utama Sampul

06

REALITAS BUTA AKSARA DI MADURA

POTRET PENDIDIKAN MADURA

13

KASAK-KUSUK PENDIRIAN SEKOLAH

19

PERAN UTM DALAM POTRET PENDIDIKAN DI MADURA

Liputan Khusus

25

TANGGAPAN BEBERAPA PIHAK TERKAIT PENDIDIKAN PESANTREN MENJADI PRIORITAS DI MADURA

Feature

31

GURU BESAR DAN INOVATOR PENELITIAN PERTANIAN

News Flash

04 LPM-SM I

Maret 2021

37

MINIMNYA FASILITAS PERIBADATAN NON-MUSLIM

41

MAHASISWA KELUHKAN FASILITAS PEMBELAJARAN MATAKULIAH KEAGAMAAN


Opini

44

SALAH KAPRAH PENDIDIKAN INDONESIA

Tips

50

CARA MENINGKATKAN SELF-CARE

Telaah MONYEY YANG INGIN 52 RESENSI: MENIKAH DENGAN KAISAR DANGDUT

Bingkai Sastra

55

ESAI: REVISI ! ESAI: 2020 : MONUMEN PATI OBOR

67

CERPEN: ABDUL MEMBACA ABJAD

72

PUISI

Parade Kartun

75

PARADE KARTUN

Alamat Redaksi SEKBER UKM LPM-SM JL. Raya Telang PO BOX 02 Kamal-Bangkalan Tlp. 085733573713


LAPORAN UTAMA I REALITAS BUTA AKSARA DI MADURA TEKS : ELVIRA Z. MAS’UDAH FOTO : AMELIA A

Realitas Buta Aksara di Madura Pulau Madura menjadi salah satu daerah di Indonesia yang memiliki tingkat buta huruf/aksara yang tinggi di Indonesia. Menurut data dari BPS (Badan Pusat Statitika) Pemeritah Provinsi Jawa Tmur tahun 2018, peringkat tiga tertinggi diisi oleh beberapa kabupaten di Madura. Adapun daerah yang memiliki persentase paling tinggi adalah Sampang, Bangkalan, dan Sumenep. Berdasar data dari BPS itu, Kabupaten Sampang menduduki peringkat pertama dengan 21.25% dari total jumlah penduduk yang masih berstatus buta aksara. Sedangkan di Sumenep, angka buta aksara mencapai 18,83% dari total jumlah penduduk. Adapun tingkat buta aksara di Bangkalan, berada di angka 15,02% dari jumlah penduduk.

06 LPM-SM I

April 2021


Ketika dikonrmasi terkait masih tingginya polarisasi angka buta huruf yang ada di Madura, khususnya Bangkalan, Bambang Budi Mustika, selaku Kepala Dinas Pendidikan (Kadisdik) Bangkalan tidak mengakui data yang telah banyak tersebar itu. Menurutnya, setiap tahun pihaknya telah menuntaskan programprogram yang dapat menekankan angka buta aksara. “Sudah banyak program kerja dan kegiatan yang dijalankan untuk mengentaskan buta huruf serta peningkatkan baca yang ada di sini, diantaranya kejar paket dan sistem pendidikan satu atap. Tetapi, saya sendiri juga tidak tahu kenapa presentasenya masih tinggi,” ujar Bambang

dia mengaku jumlahnya masih terbatas di beberapa daerah saja. “Total ada 8 lembaga yang yang tersebar untuk mengentaskan dan minimalisasi angka buta huruf. Terkhususkan empat wilayah, yaitu K e c a m a t a n Ta n j u n g B u m i , Kecamatan Kokop, Kecamatan Konang, dan Kecamatan Geger,” Dari kegiatan tersebut, berdasar data rilisan Disdik yang dipaparkan Bambang, angka buta huruf di Madura semakin membaik dalam tiga tahun terakhir sejak 2017. Bambang juga menjelaskan jika ada tujuh kategori masyarakat yang mengalami kondisi buta aksara yang dibagi dari usia 15 tahun sampai dengan usia 70 tahun ke atas. Menurut Bambang, kategori

Bambang memaparkan jika

empat ke atas menyumbang

program kejar paket itu

persentase tertinggi pada angka

diperuntukkan untuk masyarakat

buta huruf di Bangkalan, “Biasanya

yang tidak bisa membaca dan

yang paling rentan itu kisaran usia

menulis, karena terlihat dari

40 tahun ke atas, karena mereka

masyarakat yang mengikuti ada dari

berfokus pada pekerjaan mereka

berbagai jenis usia. Terkait berapa

yang mayoritas adalah petani,”

jumlah kejar paket dan sekolah satu

terangnya.

atap yang ada di daerah bangkalan,


LAPORAN UTAMA I REALITAS BUTA AKSARA DI MADURA

Cholil, salah satu pengamat sosial terkhususkan dalam ilmu komunikasi menyatakan jika, sekarang itu ada duel terkait lembaga pendidikan dengan kultur masyarakat madura yang kental dengan unsur keagamaan pasti orang tua pasti akan cenderung memilihkan pendidikan yang berbau keislamislaman. "Saya menjumpai banyak sekali lembaga pendidikan yang bermunculan yang membubuhkan kata-kata islam dibelakangnya misalnya Sekolah Dasar Islam (SDI), tentunya masyarakat dan orang tua lebih memilih SDI daripada SD reguler pada umumnya, dualisme seperti ini yang membuat masyarakat harus memilih," Cholis juga menambahkan jika sistem kejar paket untuk memberantas angka buta aksara masih kurang maksimal dikarenakan yang mengikuti sistem paket itu mengejar ijazah, bukan untuk membuat mereka menjadi pandai dan gemar untuk membaca. Melihat fenomena ini, Timur Budi Raja, budayawan dan sastrawan Madura menilai infrastruktur dan wadah yang diberikan pemerintah untuk mengentaskan kondisi ini masih sangat kurang. Menurut Timur, kebanyakan

08 LPM-SM I

April 2021


program yang dibuat pemeritah terkait, pasti akan sulit menjangkau daerah pedalaman atau daerah yang termarjinalkan. Mutmainah salah seorang pengamat sosial mengatakan jika polarisasi sistem yang sering berubah membuat semua bingung untuk menentukan bagaimana pendidikan yang cukup mudah dan dimengerti masyarakat Madura. “Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), Kurikulum (K-13)

itu yang membuat semakin sulit,” kata Mutmainah Salah seorang pendidik, Andi Moe, berpendapat masih ditemukannya buta aksara di Madura sedikit banyak disebabkan oleh proses membaca yang bermuara di sekolah itu yang dipandang tidak menjaminkan apa-apa bagi mereka. Selain itu, pemerintah terkait juga masih belum menyiapkan dengan baik siapa yang akan mengajar orang dengan kondisi buta huruf, sebab menurut Andi, masyarakat Madura sangat sulit sekali menerima informasi di luar bahasa daerahnya.


LAPORAN UTAMA I REALITAS BUTA AKSARA DI MADURA

“Saya mengajar kelas 4

konsep dasar pemahaman materi, artinya

Sekolah Dasar (SD), nilai yang

semua orang dituntut untuk bisa membaca

paling rendah itu mata

agar penyampaian materi dalam

pelajaran matematika karena

pembelajaran itu maksimal, dan yang

pengajar sebelumnya

bertanggung jawab disini adalah pengajar,"

menggunakan bahasa Indonesi. Berangkat dari guru yang berada di Jawa, sistem saya ubah menjadi bahasa daerah, langsung mereka bisa memahami,” ungkapnya. Menanggapi hal tersebut, Aliyah Nur Kayati salah satu pengamat bahasa dan sastra menambahkan jika sistem dan alur pembelajaran jika selain kendala kebahasaan di kalangam masyarakat madura polarisasi di satuan pendidikan kurang m e n e r a p k a n

d a n

menitikberatkan pada literasi numerisasi dan literasi baca

Aliyah menambahkan jika, penerapan membaca dan penggalakkan literasi masyarakat madura bisa dimulai dari lingkungan terkecil dalam hal ini keluarga dan masyarakat sekitar Arie Wahyu Pranata, salah satu pengamat sosial yang juga dosen Sosiologi UTM menjelaskan jika tingginya angka buta aksara di Madura salah satunya disebabkan oleh pandangan keliru sebagian masyarakat Madura. Beberapa golongan masyarakat menilai kalau kegiatan baca tulis tidak menjamin kesuksesan seseorang. Hal ini diperparah dengan realitas yang banyak ditemukan di sekitar, dimana banyak mereka yang lulusan sekolah masih sulit mendapat kerja. ”Bagi mereka sekolah kan nantinya

tulis. "Di tingkatan satuan pendidikan sekarang ada namanya Asasmen Kompetensi Minimum (AKM) dimana literasi harus digalakkan sebagai 10 LPM-SM I

April 2021

untuk kerja. Nah kelompok ini melihat kondisi yang sebaliknya juga. Dimana pada kondisi sekarang ini, banyak penganggur dari golongan mereka yang sekolah dan bisa baca tulis,” jelasnya.



LAPORAN UTAMA I REALITAS BUTA AKSARA DI MADURA

Terkait cara pemberantasannya, menurut Arie dengan penerapan pembelajaran baca tulis pada kehidupan sehari-hari, dengan metode pembelajaran aplikatif baca dan tulis dalam kehidupan sehari-hari.

“Sebetulnya sangat mudah untuk memberantasnya, yaitu dengan membuat metode pembelajaran aplikatif baca dan tulis dalam keseharian mereka. Tetapi, hal ini perlu dikaji dan research yang mendalam,”tutup Arie

12 LPM-SM I

April 2021


LAPORAN UTAMA I KASAK - KUSUK PENDIRIAN SEKOLAH TEKS : YULIA RAHMATIKA FOTO : AMELIA A

KASAK-KUSUK PENDIRIAN SEKOLAH Sekolah menjadi salah satu faktor penting dalam menunjang berhasilnya suatu pendidikan. Oleh karenanya, ada beberapa syarat yang telah diatur dalam Undang-Undang untuk pendirian sebuah sekolah. Berdasar pokok-pokok dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) nomer 36 tahun 2014, tertulis bahwa pendirian dan perubahan satuan pendidikan dasar dan menengah dapat dilakukan oleh beberapa pihak yakni, pemerintah, pemerintah daerah, atau masyarakat.

Adapun untuk syarat pendirian satuan pendidikan terdiri dari beberapa aspek, seperti, hasil studi kelayakan, isi pendidikan, jumlah dan kualikasi pendidik dan tenaga kependidikan, serta kesediaan sarana dan prasarana. Selain itu, masih ada aspek lain yang perlu dipertimbangkan dalam pendirian satuan pendidikan, diantaranya adalah pembiayaan pendidikan, sistem evaluasi dan sertikasi, manajemen dan proses pendidikan, serta tata cara pemberian sekolah tersebut diselenggarakan. Namun, dalam penerapanya masih ada sekolah-sekolah di Madura yang berdiri tanpa memenuhi aspek-aspek yang telah ditentukan. Salah seorang pengurus sekolah menengah tingkat pertama di Kabupaten Bangkalan, menceritakan pada kami bagaimana ia yang belum lulus


LAPORAN UTAMA I KASAK - KUSUK PENDIRIAN SEKOLAH

pendidikan Strata Satu (S1) bisa mendirikan sekolah di kampung halamannya. Ia selanjutnya dipilih sebagai kepala sekolah sebagaimana kesepakatan pengurus sekolah dan yayasan. Namun, karena kualikasi akademik kepala sekolah paling rendah adalah sarjana S-1 atau diploma 4 (D-4) dari perguruan tinggi dan program studi yang terakreditasi paling rendah B sebagaimana yang telah diatur di Permendikbud nomor 6 tahun 2018, maka dipakailah data milik orang lain sebagai formalitas birokrasi. “Iya (masih menjabat kepala sekolah, red), awalnya. Cuma, kan perlu S1. Jadi untuk formalitasnya saya pakai ijazah kakak saya,” terangnya. Pemilihannya sebagai kepala sekolah, menurutnya atas berbagai pertimbangan, selain karena ia lebih lincah dalam hal lobi, jarak antara tempat tinggalnya dengan sekolah juga lebih dekat. Meskipun sampai saat ini secara administatif yang menjabat sebagai kepala sekolah adalah sang kakak, ia tak ambil pusing. Semuanya sudah diatur, baginya ini bukanlah suatu masalah, sebab ia telah mengantisipasi keberadaanya di sekolah itu dengan mencantumkan namanya di jabatan lain sebagai petugas Tata Usaha, “Tidak apa-apa, kalau ijazah SMA, kan bisa di operator atau di TU. Kalau kepala sekolah yang wajib (D-4/S1, red),” terangnya. Selain prosedur pendiriannya yang instan dan administrasi kepengurusannya yang tak sesuai, narasumber

14 LPM-SM I

April 2021


kami juga mengakui kalau sampai sekarang sekolahnya tengah kesulitan merekrut tenaga pengajar yang sesuai dengan ketentuan Permendikbud Nomer 58 Tahun 2014. Pada peraturan tersebut, dijelaskan bahwa kebutuhan guru setiap rombongan belajar adalah minimal 11. Sementara di sekolah yang diurusnya hanya terdapat tiga orang guru, “Cuma ada tiga guru dan itu wajib digaji. Kesepakatan awalnya dibayar tujuh ribu per jam, per bulan kurang lebih lima ratus ribu rupiah,” terangnya Tak hanya kurangnya tenaga pengajar, permasalahan lain yang banyak dihadapi sekolah-sekolah di Madura adalah kurangnya peserta didik. Berdasar pengakuan sumber kami, banyak sekolah-sekolah yang kesulitan untuk memenuhi ketetapan minimal rombongan belajar, “Yang curang itu banyak. Dekatdekat rumah itu muridnya tidak sampai batas minimal 20,” ungkap pria kelahiran Bangkalan tersebut.

A d a p u n fenomena yang dituturkan sumber kami diamini oleh salah satu pengajar di Bangkalan,


LAPORAN UTAMA I KASAK - KUSUK PENDIRIAN SEKOLAH

Andy Moljiyono. Menurut Andy,

s e k o l a h s w a s t a d i k o t a b e s a r.

alih-alih menjadi lembaga pendidikan

Menurutnya, sekolah swasta di kota

yang mencerdaskan, maraknya

lebih maju dari pada sekolah negeri.

pendirian sekolah-sekolah swasta

Selain itu, kuranya infrastruktur juga

belakangan ini malah berpotensi

menjadi persoalan yang mesti segera

menjadi lahan bisnis oleh beberapa

dibenahi dalam pendidikan di Madura.

pihak. Modusnya beragam, salah

Menanggapi hal ini, Kepala

satunya adalah dengan menyetor data

Dinas Pendidikan (Disdik) Bangkalan,

ktif agar pengajuan pendirian sekolah

Bambang Budi Mustika, membenarkan

segera disetujui.

bahwa dalam pendirian sekolah ada

“Kadang mereka menciptakan

beberapa mekanisme dan persyaratan

lembaga karena ingin mencari nafkah.

yang harus dilalui terlebih dahulu,

Masih ada persoalan ditemukan

seperti pengajuan proposal,

lembaga yang ktif. Dapodiknya ada,

kepemilikan lahan dan bangunan,

tapi siknya setelah disamperin enggak

kesediaan tenaga pendidik dan

ada. Enggak ada muridnya, jadi

kependidikan, serta jarak dengan

datanya semua ktif,” ungkapnya

sekolah terdekat.

Andy juga mengungkpakan

Fenomena mudahnya

jika kualitas sekolah swasta di Madura

pendirian sebuah sekolah yang ada di

masih berbanding terbalik dengan

madura memang perlu diperhatikan.

16 LPM-SM I

April 2021


Banyak hal yang mesti dipenuhi dalam pendirian sekolah agar menghasilkan kualitas yang baik. Kemudian tidak asal mendirikan sekolah dengan dalih memiliki lembaga seperti pondok pesantren, biasanya sudah bisa dijadikan alasan kuat untuk mendirikan sebuah lembaga pendidikan. Hal ini Aries selaku dosen Sosiologi UTM memandang bahwa faktor yang melatar belakangi adalah idealisme lembaga pendidikan. “Sejatinya, kualitas haruslah berjalan lebih dahulu jika berdampingan dengan kuantitas. Idealisme lembaga pendidikan yang memegang marwah menjadi pelita dan lantera dalam kegelapan,


LAPORAN UTAMA I KASAK - KUSUK PENDIRIAN SEKOLAH

nampaknya harus disemai sebagai sebuah gerakan moral untuk semua generasi anak bangsa sekarang ini,” paparnya. Terkait persolan ini, Aries sebagai dosen sosiologi UTM menekankan pada semua stake holder untuk menyajikan pendidikan yang berbasis kerakyataan dan terintegrasi dengan baik. Adanya integritas, menurutnya, akan memunculkan kualitas, terlebih disokong dengan manajemen yang bagus. “Sekarang tinggal sekarang bagaimana memproyeksikan dalam sebuah gerakan moral dan etika untuk menumbuhkan semangat dalam berpendidikan yang bermoral dan bermartabat.” Jelasnya.

18 LPM-SM I

April 2021


LAPORAN UTAMA I PERAN UTM DALAM POTRET PENDIDIKAN MADURA

Peranan UTM dalam Potret Pendidikan di Madura TEKS : ELVIRA Z. MAS’UDAH FOTO : AMELIA A

Sebagai salah satu Perguruan Tinggi Negeri di Pulau Madura, Universitas Trunojoyo Madura (UTM) memiliki misi, salah satunya dengan melaksanakan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat secara berkualitas dan berkesinambungan, yang secara nyata memberikan kontribusi bagi pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan/atau seni serta mendorong pengembangan masyarakat. Adanya misi tersebut menjadikan UTM memiliki peran dan partisipasi dalam kemajuan pendidikan di Madura.


Menanggapi tentang misi tersebut,

perlu dan juga dibutuhkan oleh

Tauqurrohman selaku Ketua Humas

masyarakat” imbuhnya.

(Hubungan Masyarakat) UTM menjelaskan losonya orang madura itu “bapak babu guru raton”. Artinya “bapak babu” itu orang tua, “guru” itu guru, “raton” itu pemerintahan. Jadi diartikan secara praktis dalam lingkup pendidikan, orang itu pada mulanya tidak tahu apa-apa, itu dididik supaya beradab, ahlaknya bagus, dan intelektualnya semakin meningkat. Dan hal tersebut yang melatar belakangi kenapa misi UTM menekankan pada pengabdian masyarakat yang berkualitas. Ketika dikonrmasi terkait bagaimana peranan UTM terkait pendidikan yang ada di Madura Tauq menjelaskan, bahwa salah satu tugas dan fungsi perguruan tinggi adalah menjalankan

Tauq juga menambahkan bahwa UTM sering melakukan kunjungan dan juga pengiriman mahasiswa ke daerah terpencil untuk membantu kebutuhan masyarakat disana, biasanya mengirim mahasiswa ke pondok dan juga yayasan untuk membantu dalam bidang Ilmu Te k n o l o g i d a n E l e k t r o n i k bahkan membantu mengajar. “Ya kami berusaha semaksimal mungkin untuk mengusahakan pendidikan di Madura, tetapi ya masih terbatasi apalagi di era pandemi seperti ini” tambahnya

tri dharma perguruan tinggi yaitu

Unit Pelayanan Terpadu (UPT)

pendidikan, pengajaran dan juga

Pe r p u s t a k a a n U T M j u g a

penelitian.

mengomentari jika pihaknya

“UTM sedikit banyak melakukan inovasi dan juga rekomendasi, bagaimana yang terjadi di masyarakat. dari kita juga akan merekomendasikan 20 LPM-SM I

April 2021

apa saja yang

juga bertanggung jawab untuk keberlangsungan pendidikan dan pengajaran yang ada di Madura yakni dengan melalui adanya duta baca.


Kurnia Sari yang menjabat sebagai pustakawan muda menjelaskan jika duta baca memiliki visi dan misi terkait ketersediaan pendidikan dan pengajaran baik di dalam UTM (melalui perpustakaan) dan di luar UTM (masyarakat Madura). Selain itu UPT Perpustakaan juga

memiiki

program unggulan mobil pintar dan juga podcast dan itu berjalan sebelum pandemi.

“Mobil pintar merupakan mobil yang berisikan beberapa buku yang berkeliling ke sekolah-sekolah yang agak jauh dari kota, memfasilitasi mereka ketika ingin membaca dan mencari buku yang mereka butuhkan. Dan juga ada program podcast yang kita upload di media sosial untuk membagikan sedikit ilmu dan pengetahuan” ujar Kurnia


LAPORAN UTAMA I PERAN UTM DALAM POTRET PENDIDIKAN MADURA

Usaha partisipatif lain yang

banyak anak yang masih kecil yang

dilakukan untuk mengembangkan

minta-minta ke pengujung

pendidikan di Madura yakni

pelabuhan”

dengan adanya program pengajaran oleh mahasiswa, salah satunya komunitas Madura Pintar (Mapin). Ima Priandini, selaku ketua umum komunitas Mapin memaparkan dasarnya terkosentrasi pada pandidikan di Madura. Ketika terjun ke lapangan,

Ima juga menuturkan bahwa kegiatan usahanya tidak didukung penuh oleh pihak kampus, oleh karena itu usaha yang dilakukan terbatas pada kemampuan mereka terkait menyiapkan buku-buku terkait dan juga yang lainnya.

dirinya mengungkapkan bahwa

”Kita ini Badan Semi Otonom (BSO)

masih sering menjumpai

jadi tidak dibiayai secara penuh

masyarakat, bahkan siswa yang

oleh kampus kita hanya

menyandang buta huruf, dalam arti

mengandalkan sisa dari kegiatan

masih belum tahu ini huruf apa.

yang dilakukan fakultas saja dan

“Biasanya saya keliling di daerah Bangkalan, bahkan di sekitaran pelabuhan. Karena di sana kan

22 LPM-SM I

April 2021

itu sedikit, kita banyak mendapat dari senior dan para alumni,” tuturnya.


Sinergisme Sistem dan Pelaksanaan Pendidikan Madura

M. Fakhry Kepala Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) UTM, menjelaskan selaku Lembaga penelitian dan pengabdian,

LPPM memiliki beberapa jenis pusat devisi

penelitian, diantaranya Pusat Penelitian dan Inovasi Pangan, Pusat Penelitian dan Inovasi Garam, Pusat Penelitian dan Inovasi Energi, Pusat Penelitian dan Inovasi Kependudukan, Tenaga Kerja dan Wanita Madura, Pusat Penelitian dan Inovasi Pendidikan dan Budaya Madura, Pusat Penelitian dan Inovasi Hukum, HAM dan Kebijakan Publik, Pusat Penelitian dan Inovasi Teknologi dan Informasi, Pusat Penelitian dan Inovasi Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Pusat Pengabdian kepada Masyarakat, Pusat Hak Kekayaan Intelektual (HKI), dan Pusat Inkubator Bisnis. Adapun divisi khusus yang terkonsentrasi bidang pendidikan yang ada di Madura yakni penelitiam tentang inovasi pendidikan dan juga budaya. Ketika konrmasi kepada Kepala Pusat Penelitian Inovasi pendidikan dan budaya yang ada

Madura, Mutmainah,

menjelaskan jika ada beberapa daerah yang ada di Madura yang membutuhkan perhatian lebih terkait penerimaan dan penyampaian terkait pendidikan dan sistem. Mutmainah menjelaskan jika biasanya sebelum pandemi pihaknya melakukan sosialisasi ke yayasan atau pondok pesantren terkait pendidikan multi kultural. Terkadang melalui kegiatan menonton lm yang berbasis edukasi kepada siswa guna memberikan


pandangan yang lebih luas

tidak sadar akan apa itu pendidikan,

kepada siswa-siswi terkait.

ketika jam kelas berlangsung para

”Saya pernah melakukan sosialisasi ke daerah agak jauh dari kota, yaitu AlangAlang. Kultur masyarakat di

guru mendatangi rumah-rumah siswa untuk sekedar datang ke kelas dan melakukan

kegiatan belajar

mengajar” ujar Sosiologi tersebut.

sana masih memprihatinkan

Mutmainah menjelaskan jika perlu

mereka menolak hal-hal baru

ada penyederhanaan materi dalam

dan terkesan membuat

proses belajar dan mengajar

mereka ribet dengan hal itu

dikarenakan hal yang menjadi acuan

terkhusus tentang pendidikan

p e n d i d i k a n k i t a y a i t u K- 1 3

dan harusnya bagaimana,”

(kurikulum-13), seperti rumus

imbuhnya.

pyhtagoras hal tersebut tidak terlalu

Mutmainah juga memaparkan bahwa sebagian besar sekolah yang jauh dari kota,

penting dan dipakai jika sudah dewasa kecuali memang mendalami dalam bidang tersebut.

fasilitas dan infrastruktur

”Sinergitas pendidikan harus selaras

sangat kurang memadai.

dengan potensi daerah, karena siswa

Dimulai dari kebutuhan buku

akan cenderung lebih memilih

siswa, ruangan kelas, dan

bekerja daripada belajar. Baiknya

fasilitas pendukung seperti

antara pendidikan dan potensi

laboratorium dan hal lainnya.

dijadikan polarisasi metode yang

”Sebetulnya bukan fasilitas saja, mungkin kultur dan kebiasaan ya jadi siswa disana

24 LPM-SM I

April 2021

menarik baik pertanian, kelauatan atau yang lainya,” Tutupnya.


LIPUTAN KHUSUS I TANGGAPAN BEBERAPA PIHAK TERKAIT PENDIDIKAN PESANTREN TEKS : HAMIDAH IRMA FOTO : AMELIA A

Tanggapan Beberapa Pihak Terkait Pendidikan Pesantren Menjadi Prioritas di Madura Banyak pihak menilai pendidikan non formal seperti pesantren lebih diminati di Madura. Walaupun secara data yang berhasil dihimpun pendidikan formal dari Sekolah Dasar (SD) sampai Sekolah Menengah Akhir (SMA) atau sederajat lebih banyak peserta didiknya. Namun, beberapa narasumber yang kami mintai keterangan memiliki pelbagai alasan orang di Madura lebih mengutamakan pendidikan nonformal.

Seperti yang dikatakan oleh dosen Fakultas Keislaman Universitas Trunojoyo Madura (FKIS UTM), Mohammad Hipni, menjelaskan bahwa masyarakat di Madura khususnya di desa lebih memilih pendidikan nonformal seperti pesantren karena masih menjadikan agama adalah perkara yang fundamental. Selain itu Hipni juga

beranggapan dalam urusan mencari pekerjaan setelah lulus antara lulusan kuliah dengan pesantren tidak ada bedanya. ”Mereka (orang desa; red) berpandangan bahwa tidak ada perbedaan antara yang kuliah atau yang sekolah di formal dengan yang di pondok pesantren (ponpes) dalam hal bidang ekonomi,” jelas dosen Sosiologi


LIPUTAN KHUSUS I TANGGAPAN BEBERAPA PIHAK TERKAIT PENDIDIKAN PESANTREN

Hukum Islam tersebut. Ia juga menginginkan perkembangan Ponpes dalam meningkatkan kualitas santri dengan menyediakan pelatihan-pelatihan untuk bekal terjun dimasyrakat. Ia menambahkan jika saat ini jika masuk dunia kerja yang dibutuhkan adalah keahlian bukan hanya ijazah. Masih dengan Hipni, ketika ditanya terkait ijazah masih menjadi tolak ukur pembeda keterampilan antara pesantren dengan pendidikan formal untuk menghadapi dunia kerja, ia menjawab tinggal menghadirkan keahlian tersebut di pesantren. ”Ya tinggal menyediakan keahlian-keahlian di pondok pondok pesantren untuk mengembangkan kualitas santri saat masuk ke dunia kerja,” ucapnya. Serupa dengan Hipni, Andi Moe selaku pegiat sastra Bangkalan, berpendapat jika masyarakat Madura mempelajari ilmu pengetahuan dengan dasar keyakinan menjadi sebuah keharusan. Selain itu, pertimbangan akan kehidupan setelah di dunia juga menjadi alasan lebih diutamakannya pendidikan pesantren. ”Dengan keyakinan, mereka percaya akan mendapatkan bekal tidak hanya pada kehidupan di dunia, tapi juga pada kehidupan berikutnya,” ungkap pria kelahiran Bangkalan tersebut. Lebih jauh, Andi beranggapan bahwa budaya dan karakter orang Madura yang pekerja keras baik urusan dunia maupun akhirat merupakan hasil dari penanaman hubungan manusia dengan Tuhan mereka sejak dini – yang sekaligus menjadi alasan pendidikan pesantren tetap diminati.

”Kultur Madura yang kuat dan karakter orang-orangnya yang pekerja keras, lugas, saya rasa saling menyokong kehidupan spiritualitasnya. Bisa saja, sejak masa kanak masyarakat Madura sudah dikenalkan pada hubungan intim manusia dengan Tuhan mereka,” jelasnya. 26 LPM-SM I

April 2021


Lebih lanjut ia juga menyampaikan tentang keseimbangan dalam pendidikan, menurutnya pendidikan spiritual ataupun religius bisa jadi sangat penting. Namun, bukan berarti pendidikan hal lain dapat dipandang sebelah mata. Ia juga menyampaikan pentingnya untuk berperan aktif dalam menyampaikan pendidikan formal secara langsung maupun tidak langsung. Pe r i h a l k e s e i m b a n g a n d a l a m pendidikan, Andi berpandangan tidak ada yang bisa dipandang sebelah mata baik dari pendidikan pesantren maupun formal. ”Pendidikan spritual, religius boleh jadi sangat penting, tetapi bukan berarti pendidikan lain boleh dipandang sebelah mata,” pungkasnya. Seperti yang diyakini Suhaimi, orang tua yang memilih anaknya untuk meneruskan pendidikan di pesantren. Walaupun ia lebih condong agar anaknya mempelajari ilmu agama dan tata krama, namun pihaknya tidak mengesampingkan ilmu pengetahuan umum untuk mempermudah mencari pekerjaan. “Pendidikan keduanya sama penting baik ilmu agama maupun umum, tapi lebih penting ilmu agama. Namun, ilmu umum juga harus dikuasai supaya mudah mencari pekerjaan,” jelas perempuan asal Bangkalan tersebut. Lebih lanjut, stereotip juga menjadi salah satu alasan lebih dipilihnya pesantren ketimbang pendidikan formal. Seperti yang diungkapkan salah satu alumni santri ponpes Annuqayah, Thoriqi Firdaus, beranggapan bahwa seorang yang tidak menempuh pendidikan pesantren itu dianggap nakal. ”Di desa saya orang yang tidak mengenyam pendidikan pesantren itu dianggap nakal,” terangnya.


LIPUTAN KHUSUS I TANGGAPAN BEBERAPA PIHAK TERKAIT PENDIDIKAN PESANTREN

Saat ditanya alasan menempuh pendidikan di pesantren, pihaknya ingin memadukan antara pengetahuan agama dengan umum. Hal itu ia terapkan dengan menempuh jenjang pendidikan mulai dari

Madrasah Ibtidaiyah (MI),

diajari betul-betul fungsi ilmu yang kita

Sekolah Menegah Pertama

pelajari, misalnya di bidang sika akan dikaji

(SMP), Madrasah Aliyah (MA),

secara mendalam bukan hanya teori saja,

kemudian di Perguruan Tinggi

tetapi juga menyelipkan pesan moral

Negeri (PTN). Meskipun

sebagai pegangan hidup," ujar pria

begitu ia menganggap bahwa

kelahiran Sumenep tersebut.Menjawab

pendidikan di pesantren lebih

kecenderungan masyarakat Madura yang

dalam, tidak hanya sebatas

lebih mengutamakan pendidikan non formal

teori saja. "Di sana kita sebagai santri

seperti pesantren, Ahmad Agus selaku Pengasuh Pondok Pesantren (Ponpes) AlMasduqi, mengatakan adanya perbedaan kultur menjadi alasan diminatinya pendidikan pesantren. ”Karakter setiap kabupaten berbeda, seperti Sampang yang agamis dan fanatik pada spiritualis. Hampir mirip dengan Bangkalan, namun karena Bangkalan merupakan daerah transisi Surabaya-Madura, jadi lebih melek pada pendidikan formal. Sedangkan Pamekasan dan Sumenep sudah bagus di pendidikan formal bahkan pesantrennya,” jelasnya saat diwawancarai.

28 LPM-SM I

April 2021


Ketika ditanya pendidikan mana yang kebih penting, Agus menjawab harus ada keseimbangan antara pengetahuan agama dengan umum. Pihaknya juga mengatakan bahwa antara kedua ilmu tersebut memiliki perannya masing-masing. ”Yang dikatakan orang alim bukanlah orang yang pandai dalam ilmu agama saja, namun ia yang mampu memahami dan mengerti serta menerapkan ilmu baik matematika, sika, dan lainlain untuk mendekatkan diri pada sang pencipta,” imbuhnya.


LIPUTAN KHUSUS I TANGGAPAN BEBERAPA PIHAK TERKAIT PENDIDIKAN PESANTREN

Masih dengan Agus, pihaknya juga menyoal angka putus sekolah, khususnya di Madura. Menurutnya, penanaman pola mindset bahwa pendidikan itu penting harus sejak dini. Lebih jauh, berharap agar peserta didik mampu bermimpi lebih tinggi, Agus mendirikan Pendidikan Anak Usia Dini (Paud) dan Taman Kanak-kanak dengan sistem pendidikan modern.

”Karena sulit merubah mindset tersebut (memilih putus sekolah; red) saya mencoba menargetkan anak kecil dan menata mindset agar lebih berani bermimpi. Tidak hanya jadi satpam dan lain-lain, harapan mereka lebih berani bermimpi menjadi pengamat, politikus, dan lain-lain,” pungkas pria yang sedang melanjutkan studi S3 di Universitas Islam Negeri Sunan Ampel (Uinsa).

30 LPM-SM I

April 2021


FEATURE I

GURU BESAR DAN INOVATOR PENELITIAN PERTANIAN

Umi Purwandari;

Guru Besar dan Inovator Penelitian Pertanian TEKS : WIDYA NOVA L

Di usianya yang ke 54 tahun, sosok perempuan kelahiran Kebumen ini tiada henti berusaha untuk selalu menemukan inovasi-inovasi baru. Meski usianya terbilang lebih dari setengah abad, namun, hal itu tak menyurutkan tekad dan semangat persoalan mencari dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Perempuan tersebut kerap akrab disapa Umi, dengan terbuka dan ramah mempersilakan memulai perbincangan tepat pukul delapan malam ketika semua menghabiskan waktu untuk bersantai. Pada permulaan kisah, Umi mengawali dengan cerita pertama kali menginjakkan kaki di Universitas Trunojoyo Madura (UTM). Ketika itu, tahun 1987, Umi Purwandari menyelesaikan pendidikan strata satu di Universitas Gajah Mada (UGM) tepatnya jurusan pengolahan hasil pertanian, Fakultas Teknologi Pangan. Tiga tahun setelahnya sekitar tahun 1990, beliau

mulai diangkat menjadi pegawai negeri sebagai dosen UTM, pada waktu itu UTM lebih dikenal dengan Universitas Bangkalan (Unibang) karena masih berstatus universitas swasta. Karena mendengar UNIBANG akan mendirikan program studi Teknologi Ilmu Pertanian (TIP) dan ketertarikannya terhadap ilmu pangan, hal itu menjadi latar belakang pengabdiannya menjadi dosen di Fakultas Pertanian. ”Saya dapat kabar, kalau UNIBANG akan mendirikan prodi TIP jadi saya lari ke Jawa Timur untuk jadi dosen,

meskipun ini pertama kalinya saya ke Jawa Timur dan kaget dengan kultur budayanya, tetapi saya suka dengan adanya sawah-sawah dan jauh dari kebisingan,” ujarnya sembari menampakkan senyum. T i d a k l a m a kemudian, sekitar t a h u n 1 9 9 3 perempuan yang menyukai nuansa pedesan tersebut


FEATURE I

GURU BESAR DAN INOVATOR PENELITIAN PERTANIAN

mendapatkan beasiswa dari pemerintah Australia untuk melanjutkan pendidikan S2 di Australia Royal Melbourne Institute of Teknologi (RMIT). Beliau mengungkapkan bahwa pendidikannya kali ini adalah salah satu masa pendidikan terlama yang pernah dialami. Hal itu karena adanya gaya belajar yang berbeda, tidak seperti kelas pada umumnya dan lebih berfokus pada penelitian, sehingga pada tahun 2000 beliau berhasil menyelesaikan studinya.

Setelah kepulangannya ke Indonesia, beliau kemudian diangkat menjadi ketua jurusan TIP dan Ilmu Kelautan pada tahun 2002 yang mana ketika itu masih menjadi satu program. Setahun setelah menjalani masa jabatan, pada 26 Agustus ini, menambah keahliannya di bidang ilmu pangan dengan melanjutkan S3 di Victoria University, Australia sampai tahun 2009. Pendidikan adalah jalan lentera, dan setiap jalan terdapat halangan, seperti halnya ketika menempuh pendidikan S2 terdahulu yang tak luput dari halangan, namun beliau tetap semangat untuk menuntut ilmu. Di sisi lain, UTM tidak hanya menjadi saksi perjalanan karir, tetapi juga menjadi saksi kisah cinta Umi. Seorang lelaki yang menjadi tambatan hatinya, Slamet. Pria terkasih itu adalah tulang rusuknya yang selalu menemani dalam kondisi apapun. Bahka mereka berdua bertemu di ruang yang sama yaitu Fakultas Pertanian bahkan hingga saat ini keduanya masih menjadi tenaga pengajar di prodi TIP. Di Madura, Umi tinggal di Perumahan Telang Indah tepat di sebelah barat kampus dengan suaminya. Mereka berdua menjalani kehidupan bahagia meskipun terpisah jarak dengan kedua putrinya, yang mana kedua putrinya tengah menempuh pendidikan di Italia dan Amerika.

32 LPM-SM I

April 2021


Ide Baru yang Terus Mengalir Perjalanan karir Umi masih berlanjut, pada tanggal 1 Desember 2019, beliau dinobatkan menjadi Profesor dalam bidang ilmu pangan, dan tepat pertengahan bulan Agustus dikukuhkan menjadi salah satu dari tujuh guru besar di UTM, serta salah satu dari dua guru besar di Fakultas Pertanian. Meski wabah Covid-19 masih gencar – gencarnya namun hal itu tidak melunturkan semangat dan kebahagiaannya, beberapa dosen pun turut menyambut dan memberikan selamat yang membanggakan. Dilansir dari kanal YouTube Umi Purwandi, beliau memaparkan sebuah pidato dengan memberikan pengertian bahwa pengetahuan ilmu pangan tradisional itu sangatlah penting, sebab mampu menyehatkan masyarakat secara jasmani serta bisa menjadi salah satu upaya menumbuhkan perekonomian bangsa. Agar tidak kekurangan pangan, tentu membutuhkan pangan yang sehat dengan cara pengolahan dari bahan yang mudah, murah, serta menyehatkan. Umi tidak pernah bosan dalam mencari hal-hal baru. Hingga saat ini aktif dan masih bergabung dengan organisasi ahli Teknologi Pangan Indonesia (ATPI), meski sudah sepuluh tahun bergabung namun

semangatnya tidak pernah surut bahkan masih aktif menjadi kontributor penulis buku ensiklopedia dan pengolahan pangan Indonesia yang diterbitkan oleh perhimpunan ahli Teknologi Indonesia. ”Meski saya kontribusinya sedikit, tapi saya senang jika tidak ketinggalan dengan dosen-dosen yang lain seperti di Jakarta, Bandung, dan lain sebagainya,” ujarnya. Selain sebagai kontributor, beberapa penelitian sudah dilakukan khususnya di bidang pangan (red: ketahanan pangan) yang menjadikan makanan tradisional sebagai subjek utama. Salah satunya, objek yang menjadi inovasi yakni makanan tradisional yang difermentasi dan mengolah sukun menjadi mie dan dijadikan seperti makanan luar negeri yaitu pancake. Tidak hanya jurnal nasional saja yang ditekuni, namun beberapa hasil penelitian Umi


FEATURE I

GURU BESAR DAN INOVATOR PENELITIAN PERTANIAN

sudah masuk ke dunia Jurnal Internasional, hal inilah yang menjadikan nama Umi terkenal di berbagai website. Beberapa macam penelitian terus mengalir, saat ini beliau berfokus pada penelitian komponen fungsional pada gatot atau makanan tradisional dari singkong kering yang dikukus. Dalam penelitian ini, Umi ingin mencari tahu dan memberitahukan kepada masyarakat terkait bahan – bahan yang memiliki kadar kolesterol di darah sehingga makanan gatot ini menjadi berguna dan aman dikonsumsi siapapun, serta mampu mendukung kesehatan masyarakat. Memanusiakan Manusia Melalui Pendidikan Dalam menyalurkan ilmunya, selain menjadi dosen beliau juga menjadi pembina salah satu Unit Kegiatan Mahasiswa Fakultas (UKMF) Penalaran. Meski sejak 2009 tidak mempunyai Surat Keterangan pembina yang diibaratkan seperti pembina liar, namun beliau selalu ikhlas dalam membagikan ilmu. Karena salah satu kebahagiaan bagi beliau adalah dengan berbagi ilmu serta bermanfaat bagi masyarakat. Pada pembinaan UKM, yang selama ini berfokus pada bidang penelitian, pihaknya memotivasi agar semua mahasiswa yang ada di UTM tidak hanya pintar menulis akademik, namun juga harus pintar mencari ide baru. ”Sayang sekali, mahasiswa Trunojoyo seringkali kalah dalam lomba kepenulisan akademik di acara perlombaannya sendiri” keluhnya sembari sedikit tertawa. 34 LPM-SM I

April 2021

Umi menginginkan agar mahasiswa mampu menjadi individu yang agresif dan proaktif dalam menguasai ilmu dan keterampilan baru, serta memiliki moralitas dan budi pekerti. Karena rasanya percuma saja jika memiliki ilmu tinggi tetapi budi pekertinya nihil dan tidak mengambil hal-hal yang baik. Selain itu, ia sangat menginginkan agar anak-anaknya di kampus tidak hanya berfokus pada politik praktis saja. ”Yang ketiga, ini sedikit sensitif. Mahasiswa saat ini, seharusnya lebih memiliki jiwa politik kebangsaan yang mampu mencintai bangsanya dengan melawan penjajahan politik dan

pengetahuan. Jadi percuma saja, ilmunya tinggi tetapi ilmu itu di manfaatkan orang lain. Jadi jangan hanya berfokus di politik praktis saja yang bisannya pro ini itu” jelasnya dengan nada tegas. Selain dari sisi dukungan mahasiswa dalam peningkatan pendidikan, Umi juga mengatakan bahwa suatu pendidikan yang baik dan perlu diterapkan yaitu pendidikan yang memanusiakan, menghormati dan memahami kemampuan mahasiswa. Agar mahasiswa lebih nyaman dengan dirinya sendiri sehingga perlu


kepekaan dalam memahami kemampuannya. Jika, individu mampu memahami dirinya sendiri maka dapat memperoleh ilmu, entah itu ilmu akademik maupun pergaulan dan lain sebagainya. Saksi Perjalanan Karir Umi Slamet Subari, yang kini menjadi dekan FP merupakan salah satu saksi perjalanan karir umi sejak UTM masih di bawah yayasan Pendidikan Kyai Lemah Dhuwur yang bernama Universitas Bangkalan. Slamet dan Umi sering melakukan diskusi tentang perguruan tinggi, pendidikan, ataupun penelitian yang akan dilakukan. Namun, setelah FP mengembangkan Program Studinya (Prodi), keduanya terpisah dan fokus pada Prodinya masing-masing. Meskipun demikian hal itu bukan menjadi halangan untuk selalu berkomunikasi dengan baik. Dalam perjalanan karirnya, mereka sempat membuat proyek bersama salah satunya dengan membuat desa mitra kerja. Hingga dari proyek tersebut berkembanglah berbagai macam penelitian yang

dilakukan sesuai dengan penjurusan mereka. Slamet menjelaskan proyek desa mitra kerja awalnya menjadi target sasaran pengabdian dan penelitian dan pelatihan para dosen dalam berbagai sektor pertanian. ”Penelitian yang sudah kita lakukan ada kaitannya dengan usaha tani, seperti fokus saya yaitu bagaimana sektor pertanian memberi berkontirubusi bagi rumah tangga. Kalau Bu Umi itu lebih kepada pelatihan-pelatihan yang ada kaitannya dengan teknologi pangan, misalnya bagaimana dengan pengoptimalan pangan non beras pada waktu itu,” jelas lulusan strata satu Universitas Brawijaya tersebut. Menurut subari, konsistensinya dalam pendidikan serta pengabdiannya untuk negara maupun masyarakat sekitar tidak perlu diragukan kembali. selama 34 tahun pengabdiannya menjadi tenaga pendidik umi memang selayaknya mendapatkan penghargaan dari negara berupa gelar guru besar, gelar tersebut ia dapat pada tahun 2020 lalu setelah mengurus administrasinya sejak tahun 2011. Subari pun menyayangkan keterbatasan laboratorium di UTM yang sangat bermanfaat dalam mengekplorasi kemampuan tenaga pendidik maupun para mahasiswa, jika fasilitas laboratorium memadai ia memastikan jika umi maupun tenaga pendidik dan para mahasiswa lebih produktif dalam pengembangan ilmu pengetahuannya. ”Banyak persoalan di sini yaitu keterbatasan 'tempat bermain'. Kalau di luar negeri seorang professor sangat dekat dengan laboratorium tapi kalau di sini terbatas, sehingga eksplorasi kemampuannya juga terbatas. Saya kira kalau tempatnya cukup dia akan 'lari',” ungkapnya saat ditemui di ruangan (11/02). Menurut keterangan Slamet, Umi serta tenaga


FEATURE I

GURU BESAR DAN INOVATOR PENELITIAN PERTANIAN

pendidik lainnya juga sering membimbing para mahasiswa untuk mengikuti berbagai kompetisi, bahkan riset Fakultas Pertanian baru-baru ini memenangkan event riset nugraha yang diselenggarakan oleh Perseroan Terbatas (PT) Indofood. Subari berharap jika dosen- dosen muda di fakultas pertanian ataupun di UTM yang melanjutkan studinya di luar negeri dalam pengembangan keilmuannya dan dapat di terapkan di UTM dari segi keilmuan ataupun dalam segi kultur dan dapat membuat karya-karya yang mengantarkannya menjadi guru besar.

pendidikan yang baik dan perlu diterapkan yaitu pendidikan yang memanusiakan, menghormati dan memahami kemampuan Umi Purwandari

36 LPM-SM I

April 2021


NEWS FLASH I MINIMNYA FASILITAS PERIBADATAN NON-MUSLIM

Minimnya Fasilitas Peribadatan Non-muslim TEKS : ADJI IMANUDDIN

WKUTM – Mahasiswa Universitas Trunojoyo Madura (UTM) mempunyai beragam umat beragama. Namun, terdapat keluhan dari beberapa mahasiswa non muslim terkait fasilitas peribadatan di dalam kampus. Sintia Karolin, mahasiswa Agroteknologi mengungkapkan jika kegiatan peribadahan selama di UTM berjalan dengan lancar, namun masih terdapat kendala waktu dan fasilitas yang kurang layak.

”Kendala pasti ada salah satunya yaitu waktu, beberapa kegiatan kampus baik kuliah, maupun non kuliah masih ada yang di adakan di hari minggu, jadi bertabrakan dengan waktu peribadahan kristiani. Dalam segi fasilitas menurut saya cukup. Fasilitas yang kurang adalah tempat peribadahan yang layak bagi umat kristiani di dalam kampus. Karena kami selalu beribadah di ruang ruang kelas yang kosong di UTM, dan menurut saya kurang layak,” ujarnya. Sintia juga menyampaikan bahwa proses ibadahnya sedikit terhambat karena permasalahan tempat.

”Memang agak menyulitkan, ketika harus selesai ibadah tepat sebelum jam 10 malam. Dan ruangan tersebut kan bisa saja sudah di gunakan oleh pihak lain. Maka akan lebih susah lagi karena kami harus mencari ruangan lagi untuk pengganti tempat peribadahan,” pungkasnya. Namun dengan adanya kendala tersebut, tak membuat semangat ibadah ia surut dan kegiatan ibadah yang ia jalani berjalan dengan cukup baik karena telah dibantu pihak terkait. ”Di UTM sudah ada Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Unit Kerohanian Kristen Khatolik (UK3). Mulai dari peribadahan Senin, Jumat Agung, Natal dan lain-lain masih dapat bimbingan dari dosen, pendeta, dan dalam naungan atau izin juga dari pihak kampus. Dan dalam menjalankan kegiatan tersebut, sudah terbilang cukup baik,” kata mahasiswa asal Medan tersebut. Senada dengan sintia, Immanuel David Adi Sanjaya, mahasiswa Sosiologi menuturkan hal yang sama bahwasannya proses peribadahan


NEWS FLASH I MINIMNYA FASILITAS PERIBADATAN NON-MUSLIM

yang ia jalani selama di UTM berjalan cukup baik. ”Proses peribadahan cukup baik. Biasanya di RKB-A, dan di ruangan Auditorium,” ujarnya. David berharap kegiatan ibadah tersebut bisa dilakukan di ruangan yang besar agar para jamaah bisa duduk. ”Harapannya lebih mempertimbangkan tempat yang lebih besar (izin ruangan), karena biasanya ada yang duduk di bawah,” harap mahasiswa asal Mojokerto tersebut. Nica Wira Santi, mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI) yang beragama Hindu menyayangkan mengenai tidak adanya ruangan khusus untuk mahasiswa yang non-muslim baik untuk pembelajaran maupun Peribadatan. Sejauh ini ia melakukan ibadah di kos.

"Selama di UTM saya beribadah di kos dengan seadanya,” ujarnya. Menanggapi hal tersebut, Kepala Subbagian Kerjasama dan Hubungan Masyarakat (Kasubag Humas) Tauqurrahman membenarkan bahwa terkait sarana dan prasana ibadah, UTM hanya menyediakan bagi kaum muslim. Hal ini dikarenakan kaum muslim lebih dominan daripada umat yang lain. "Jadi lebih melihat dominasi kampus yang mahasiswa umumnya muslim, karena mereka setiap harinya selalu melaksanakan ibadah wajib, maka harus difasilitasi. Jadi intinya kita bukan mengistimewakan suatu agama, tetapi karena tuntutan keadaan. Kita tidak membeda- bedakan antar agama, dan tidak ingin mendiskriminasi, tidak melarang mereka melaksanakan ajaran agamanya, yang penting tidak mengganggu kenyamanan, ketentraman pemeluk agama yang lain. Suasana harus tetap kondusif, karena kita konsepnya di pendidikan dan pengajaran," tuturnya. Selain itu Tauq juga mengatakan bahwa pihak UTM masih belum ada rencana untuk membangun fasilitas ibadah bagi nonmuslim, kecuali ada tuntutan kebutuhan. "Ya belum ada, cuman kita mengistimewakan agama tertentu, hanya panggilan keadaan dan kebutuhan," tambahnya. Amrin Rozali selaku, Unit Layanan Pengadaan (ULP) mengatakan bahwa 38 LPM-SM I

April 2021


pengadaan melibatkan unsur kebutuhan dan bukan terkait golongan agama. "Pengadaan melihat unsur kebutuhan, bukan ras golongan agama. Penyusun kebutuhan terkait kemahasiswaan," turur pria asal Bangkalan tersebut. Pandangan HAM Mengenai Fasilitas Peribadatan Ibnu Fajar, selaku dosen Hukum UTM mengaku bahwa fasilitas untuk peribadatan harus dipenuhi. Menurutnya, Hak Kebebasan Beragama bukan hanya sekedar memilih agama yang diyakini, tetapi juga sebagai pelindung bahwa ada fasilitas-fasilitas peribadatan harus dipenuhi oleh negara. ”Fasilitas merupakan pemenuhan yang harus dipenuhi. Di dalam piagam PBB internasionalnya. Didalam instrumen aturannya nasionalnya, diundang-undang

tahun 39 tahun 1999 tentang HAM secara khusus mengatur tentang HAM yang memang banyak di situ hak politik dan sebagainya. Dan yang digugat ini termasuk tentang hak


NEWS FLASH I MINIMNYA FASILITAS PERIBADATAN NON-MUSLIM

kebebasan beragama. Hak kebebasan bergama bukan hanya sekedar memilih agama yang diyakini tetapi sebagai pelindung bahwa harus ada fasilitasfasilitas yang harus dipenuhi oleh negara. Fasilitas terutama ya keamanan, keamanan dalam peribadatan, salah satu contoh sekarang ya inikan hari natal. Karena pada saat pandemi semua harus taat protokol kesehatan dan sebagainya, untuk ibadah itu khusyuk, itu adalah fasilitas dari Negara,”jelasnya. Selain itu, Ibnu juga menyatakan bahwa

saat ini tidak semua daerah terdapat tempat ibadah untuk semua agama. Maka daripada itu, paling tidak kita saling memberikan rasa nyaman antara satu dengan yang lain. ”Keperibadatan memang wajib untuk ada berupa sik, sik seperti masjid, kaya gereja dan sebagainya diwajibkan dalam HAM. Tetapi kenyataannya, memang inikan berbicara tentang prakteknya dilapangan bahwa tidak semuanya tempat-tempat ibadah, di 6 agama yang diakui negara I n d o n e s i a t i d a k s e m u a a d a . Te t a p i bagaimana caranya, universitas ataupun instansi pendidikan itu juga memberikan rasa nyaman kepada orang yang ada tengahtengah pendidikan tersebut, salah satu contoh di UTM. Orang ingin ibadah, misal seperti Budha dan Hindu atau agama lainnya, Mereka difasilitasi salah satunya adalah adalah keamanan,” ujarnya. Jika ditinjau dalam ranah universitas, Ibnu mengatakan bahwa adanya pemenuhan fasilitas berupa sik tergantung kebijakan rektor. Apabila, universitas mempunyai 40 LPM-SM I

April 2021

anggaran, maka pemenuhan fasilitas bagi semua umat beragama wajib untuk dipenuhi. Namun, jika tidak ada dana maka yang bukan kesalahan universitas, melainkan pusat yang memberikan anggaran. "Kalau itukan tergantung kebijakan universitas, kebijakan dari rektor. Kalaupun rektor ada anggaran, inikan berbicara tentang anggaran, masalah pembangunan, sik ya, sik itukan berbicara tentang anggaran. Kalaupun anggaran itu ada, itu harus dilakukan oleh universitas karena disitu untuk pemenuhan hak warga negara, untuk melakukan ibadah. Ka l a u p u n i t u t i d a k a d a d i universitas yang disebabkan oleh minimnya anggaran. Kalau alasan seperti itu berartikan bukan kesalahan dari universitas melainkan kesalahan dari yang memberikan anggaran itu pusat. Tetapi secara haknya memang dalam HAM, wajib melindungi hak warga negara, salah satunya memang hak untuk melakukan ibadah dan fasilitas yang diberikan oleh institusi," ungkapnya.


NEWS FLASH I MAHASISWA KELUHKAN FASILITAS PEMBELAJARAN MATAKULIAH KEAGAMAAN

Mahasiswa Keluhkan Fasilitas Pembelajaran Matakuliah Keagamaan TEKS : LINA K

WKUTM- Matakuliah keagamaan merupakan salah satu matakuliah wajib yang diajarkan dalam Universitas Trunojoyo Madura (UTM). Namun, mahasiswa yang beragama nonmuslim terkendala oleh fasilitas ruang kelas yang tidak memadai.


NEWS FLASH I MAHASISWA KELUHKAN FASILITAS PEMBELAJARAN MATAKULIAH KEAGAMAAN

Salah satunya Nica Wira Santi, mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI) yang beragama Hindu menyayangkan mengenai tidak adanya ruangan khusus untuk mahasiswa yang nonmuslim baik untuk pembelajaran maupun beribadatan. Sejauh ini ia melakukan ibadah dan pembelajaran di kos. “Selama di UTM saya beribadah di kos dengan seadanya,” ujarnya. Sementara itu, Immanuel memperkuat keimanan juga mengaku bahwa David Adi Sanjaya, dan kesetiaannya bahwa pembelajaran mahasiswa Sosiologi kepada Tuhan serta matakuliah keagamaan menyatakan menerapkan kasih tidak membutuhkan pembelajaran terhadap manusia, fasilitas tertentu karena keagamaan memang lingkungan, pembelajaran berjalan dilaksanakan dengan menghormati seperti pembelajaran cukup baik. Namun, pemerintahan, untuk matakuliah. menurutnya tempat menghormati semua ”Tidak ada yang khusus, untuk pembelajaran golongan, toleransi dan fasilitas kelas dan tempat haruslah diperhatikan seterusnya,” ungkapnya. untuk mentoring itu lagi. Mengenai hal ini, saja,” ungkapnya. "Proses pembelajaran Achmad Ubaidillah Keadaan ini juga agama cukup baik, tapi selaku Wakil Dekan I dibenarkan oleh masalah tempat harus (Wadek) Fakultas Teknik Purwanto bahwa tidak lebih dipertimbangkan mengaku bahwa ada fasilitas tertentu seperti kapasitas tempat pendidikan agama untuk pembelajaran duduk yang dirasa masih memang untuk semua keagamaan. Sejauh ini kurang," keluhnya. agama. pihaknya mengaku Purwanto selaku dosen ”Ya, pendidikan agama pembelajaran keagamaan kristiani untuk semua agama. keagamaan selalu menyebutkan bahwa Sistem pembelajaran mengunakan fasilitas adanya pembelajaran matakuliah keagamaan yang ada dan baginya matakuliah keagamaan berjalan seperti (kuliah) pembelajaran bisa bertujuan untuk biasanya. Kuliah di kelas, dilakukan tanpa terikat memperkuat iman dan sebagian menambah oleh tempat. kesetiaan kepada Tuhan. dengan kegiatan ”Sejauh ini kami hanya mentoring dan untuk ”Tujuan daripada menfaatkan fasilitas mahasiswa non-muslim diadakannya yang ada. Seperti di RKB menempuhnya di tempat pembelajaraan kita menggunakan LCD ibadah masing-masing,” keagamaan, tentu saja dan fasilitas lainnya yang ungkapnya. agar secara kognitif diberikan oleh UTM mereka terisi, supaya Pria asal Pamekasan ini (seperti media yang 42 LPM-SM I

April 2021

K


K

digunakan untuk matakuliah lain). Kami pun tidak terikat untuk oleh tempat. Di sekretariat bisa, di taman juga pernah, di RKB. Kita bisa menyesuaikan karena jumlah kita juga tidak banyak,” ungkapnya. Imanuel, berharap agar kampus dapat segera menyediakan tempat khusus untuk belajar ataupun beribadah bagi umat non-muslim.

"Harapannya untuk kedepannya semoga ada ruang khusus untuk yg beragama nonislam entah itu untuk pembelajaran entah untuk beribadah,” ujarnya.


OPINI I SALAH KAPRAH PENDIDIKAN INDONESIA

Salah Kaprah Pendidikan Indonesia TEKS : SIRAJUDIN

Pagebluk yang melanda dunia mempengaruhi beragam aspek kehidupan manusia, pendidikan jadi salah satu sektor yang juga mengalami dampaknya. Sejak pagebluk meledak di Indonesia, kegiatan belajar mengajar yang dilakukan dengan metode tatap muka sesegera mungkin dihentikan. Solusi yang diambil pemerintah adalah dengan mengimbau agar pembelajaran dilakukan secara jarak jauh melalui sambungan internet di beragam aplikasi. Namun, belakangan kementerian pendidikan mengakui kalau sampai saat ini metode pembelajaran tersebut masih belum efektif. Hal itu sebenarnya sudah diwanti-wanti banyak pihak sejak metode pembelajaran jarak jauh pertama kali dilakukan. Indonesia, dengan pembangunan yang belum merata dinilai belum siap untuk melaksakan pembelajaran secara daring (dalam jaringan). Fasilitas dan sumber daya pendidik adalah faktor utama yang paling disorot. 44 LPM-SM I

April 2021


Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim, juga mengaku jika sudah banyak riset yang menunjukkan dampak negatif dan permanen pada siswa apabila pembelajaran jarak jauh terus dilakukan. Sedikitnya, Nadiem menyebut tiga dampak negatif apabila model pendidikan jarak jauh ini dilaksanakan secara berkepanjangan, yang pertama adalah ancaman putus sekolah. Pembelajaran yang tak maksimal dan kurangnya fasilitas pendukung memaksa banyak anak untuk berhenti belajar dan lebih memilih bekerja. Ditambah, kurang maksimalnya pembelajaran jarak jauh menimbulkan perubahan persepsi orang tua mengenai peran sekolah dalam proses belajar mengajar. Ancaman yang kedua adalah penurunan capaian pelajar. Luasnya wilayah Indonesia dan belum meratanya pembangunan berdampak pada kesenjangan antara mereka yang memiliki akses terhadap teknologi dan mereka yang kesulitan atau bahkan tak memiliki akses sama sekali. Menurut Nadiem, hal yang demikian beresiko besar menimbulkan learning lost generation di Indonesia. Dampak ketiga adalah kesehatan mental para pelajar. Pagebluk yang mendorong pemerintah untuk menerapkan pembatasan sosial berskala besar mengharuskan semua orang untuk tetap tinggal di rumah. Kondisi ini membuat pelajar rentan mengalami beragam tekanan. Banyak lembaga survei yang memaparkan keluhan siswa saat diharuskan belajar di rumah. Salah satu keluhan yang paling banyak diungkap adalah tugas yang lebih banyak diberikan dan penyampaian materi yang lebih ringkas dan tidak optimal. Kondisi yang

demikian semakin memperburuk mental para pelajar yang kegiatan sosialnya sudah dibatasi selama berbulan-bulan. Tak Mengagetkan Ketiga dampak tersebut sebenarnya tak mengagetkan, pendidikan Indonesia sejak lama memang rentan goyah hanya karena hal-hal yang kecil sekalipun, lebih-lebih menghadapi kondisi pagebluk saat ini. Masyarakat luas sudah hapal kalau kebijakan pemerintah yang plin-plan serta ketergantungan akan kurikulum merupakan kritik abadi yang banyak bertebaran di surat kabar dan media lainnya. Kita mungkin masih ingat bagaimana polemik KTSP dengan K-13 s e r t a a n e k d o t “g a n t i menteri, ganti pula kurikulumnya,” yang mau tidak mau kita amini sebagai potret pendidikan Indonesia saat ini. Namun, mari sampingkan dahulu persoalan kurikulum tersebut. Lebih mendasar,


OPINI I SALAH KAPRAH PENDIDIKAN INDONESIA

ada beberapa hal yang sebenarnya menjadi persoalan pendidikan yang lebih fundamental di sini. Masalah pertama adalah persepsi masyarakat mengenai sekolah. Sekolah dalam persepsi masyarakat saat ini adalah sebuah bangunan yang menjadi tempat belajar mengajar. Seyogianya tak ada masalah dalam pola pikir ini. Hanya saja, dalam perkembangannya sekolah kemudian diasosiasikan sebagai indikator beragam hal yang kemudian memunculkan masalahmasalah baru, seperti sekolah yang dijadikan indikator prestise sosial, serta munculnya pandangan miring terhadap mereka yang tak berkesempatan mengenyam pendidikan di sekolah formal. Stigma-stigma kemudian bermunculan sebagai mitos yang semakin mengokohkan legitimasi sekolahsekolah. Lalu yang lebih memprihatinkan adalah ketika masyarakat kemudian terlena dan mempercayai bahwa sekolah, atau lebih tepatnya hanya di sekolah anak-anak dapat mengnyam pendidikan, menimba ilmu, serta mendapat pengetahuan baru. Pemikiran yang kemudian jadi dogma secara turun temurun ini, disusul oleh arus kapitalisme yang menerjang sektor pendidikan. Sekolah bersolek sesuai kriteria yang diinginkan pasar. Alih-alih menciptakan masyarakat yang berbudi serta bermanfaat bagi sesama, sekolahan di masa kini lebih memilih menjual angan-angan akan penghidupan yang layak, jaminan masa depan, serta derajat keluarga daripada menanamkan budi kepada siswanya. Maka dari sekolah, dihembuskanlah jargon-jargon akan pengharapan dan masa depan. Masyarakat yang sudah begitu yakin kepada sekolah sebagai tempat anak-anaknya mencari ilmu, perlahan mulai menaruh pengharapan yang lebih. Sekolah, di masa kini adalah modal untuk bekerja. Masyarakat menyekolahkan anaknya sebagai bentuk investasi dengan harapan penghidupan layak untuk sang anak, syukur-syukur dapat membalik ekonomi keluarga. Dari sana, dorongan bersekolah semakin diselaraskan dengan kebutuhan tenaga di dunia kerja. Orang-orang di masa kini, berangkat sekolah dengan motivasi mendapat kerja, menghasilkan uang, dan hidup sejahtera. Hal semacam itulah yang kemudian menimbulkan masalah kedua, masyarakat bersekolah atau menyekolahkan anaknnya dengan motivasi yang keliru. Bukannya mencari ilmu di sekolah agar menjadi pribadi yang berguna bagi 46 LPM-SM I

April 2021



OPINI I SALAH KAPRAH PENDIDIKAN INDONESIA

sekitarnya, sekolah hanya dipandang sebagai investasi untuk kehidupan masa depan. Maka wajar, apabila banyak orang yang telah bersekolah dengan tinggi, saat keluar melakukan segala hal agar bisa 'balik modal'. Urusan berguna bagi sesama, agama, dan nusa bangsa, rasanya itu hanya omong kosong di bangku sekolah dasar. Lalu sampai kapan kondisi seperti ini akan terus berjalan? Mestinya, pagebluk yang mengorat-arit proses belajar mengajar di sekolah mesti dijadikan renungan bersama. Dalam momentum ini, masyarakat, khususnya orang tua, mesti sadar bahwa ilmu dan pengetahuan tak sekedar didapat di sekolah. Kita harus ingat, rumah adalah sekolah pertama bagi anak. Selanjutnya kita juga amat perlu menyadari bahwa mencari ilmu tak cukup jika hanya didapat dari bangku sekolahan. Para pelajar itu, bahkan kita, perlu mengetahui lingkungan sekitar, mempelajari transaksi di pasar, memahami etika di lingkungan tempat tinggal, pola pergaulan antar teman, bahkan pengalamanpengalaman hidup dari orang-orang di sekeliling juga patut dijadikan bahan belajar. Sekurang-kurangnya kita paham bahwa ada banyak tempat untuk sekedar mencari ilmu dan pengetahuan selain di sekolah-sekolah formal. Persepsi yang seperti itu penting untuk ditanamkan sebagai dasar pengetahuan hidup dan ilmu yang lebih universal. Sekolah, 48 LPM-SM I

April 2021

yang begitu ketat terikat pada kurikulum, tak cukup memberikan pengetahuan untuk menghadapi dunia yang nyata. Terlebih, model pendidikan yang berorientasi pada pemenuhan tenaga kerja, lebih memandang siswa sebagai calon-calon mesin pekerja daripada sebagai manusia Selanjutnya, hal dasar yang perlu dibenahi adalah motivasi dalam belajar mengajar dari semua pihak. Dalam hal ini, motivasi yang paling penting untuk diluruskan adalah motivasi atau dorongan belajar para p e l a j a r. S e b a b , t u j u a n pendidikan sebagaimana diungkap Ki Hajar Dewantara adalah untuk memanusiakan manusia. Lebih luas, seorang pelajar harus sadar betul, ilmu dan pengetahuan yang didapat tidak hanya untuk dimanfaatkan sendiri, tapi juga bagaiamana ilmu pengetahuan itu dapat berguna bagi sesama. Salah kaprah dalam


perlu mengingat lagi dua kalimat dari seorang bijak; Pertama, setiap yang memberi ilmu walau satu huruf adalah guru. Kedua, tugas manusia adalah belajar sejak ia lahir hingga sampai ke liang lahat, karena sejatinya hidup adalah pembelajaran yang tak akan pernah selesai. pendidikan Indonesia harus segara diinsya. Sebab kita

Jika kata-kata itu sudah mampu dipahami serta diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, jangankan pembelajaran jarak jauh, belajar tanpa gedung-gedung sekolah pun tetap akan akan melahirkan pribadi-pribadi yang berbudi sebagaimana cita-cita bangsa ini.


TIPS I CARA MENINGKATKAN SELF-CARE

50 LPM-SM I

April 2021



RESENSI I MONYET YANG INGIN MENIKAH DENGAN KAISAR DANGDUT

Resensi Novel O Karya Eka Kurniawan, Monyet yang Ingin Menikah dengan Kaisar Dangdut TEKS : ALVI AWALIYA

Membaca buku merupakan kegiatan bermanfaat untuk mengisi waktu luang. Sebab, buku adalah jendela dunia. Salah satu novel yang layak untuk dibaca guna mengisi waktu senggang tidak lain adalah novel O karya Eka Kurniawan. 52 LPM-SM I

April 2021


Ketika membaca judul atau pun melihat cover novel karya Eka Kurniawan ini yang sempat terlintas pada pikiran seseorang tentu adalah sebuah novel ringan dan tidak banyak mengandung kompleksitas di dalamnya. Tetapi ketika memutuskan untuk membacanya, ternyata justru sebaliknya. Novel yang berjudul O ini menceritakan tentang monyet yang ingin menjadi manusia dan tentang monyet yang jatuh cinta dengan kaisar dangdut. Semua kisah diawali dengan monyet lelaki Entang Kosasih yang menjalin kasih dengan monyet betina bernama O. Ya, O adalah tokoh kunci sekaligus sendi pada struktur cerita. Sendi yang akan menghubungkan puluhan tokoh dengan alur ceritanya sendiri-sendiri. Tokoh cerita yang akan menyaksikan dan menerima pengalaman hidup serta cerita cinta yang tragis.

dengan pawang topeng monyet, Betalumur. Ada juga seorang waria bernama Mimi Jamilah yang jatuh cinta setengah mati dengan Bruno. Kemudian hadir pasangan Rini JuwitaMarko dan anjing rahasianya, Kirik juga pasangan Todak Merah dan tikus betina Manimaya.

Kisah dilanjutkan dengan impian Entang Kosasih yang ingin menjadi manusia. Sebab, terdapat legenda nenek moyang monyet Armo Gandul di Rawa Kalong yang menyatakan monyet dapat berubah menjadi manusia. Dengan segala keyakinan, Entang Kosasih percaya ia akan menjadi Manusia. Untuk memenuhi ambisinya menjadi manusia, Entang Kosasih meyakini, dirinya harus berlagak seperti manusia.

Di bagian akhir cerita, kita juga akan bertemu dengan Rohmat Nurjaman yang sangat membenci babi karena mengingatkannya pada kekasihnya yang direnggut pemuda tampan nan kaya. Ajaibnya, meskipun novel ini punya lebih dari 30 tokoh dengan riwayatnya masing-masing, Eka mampu menceritakan tiap-tiap karakter secara tuntas dan penuh makna. Ada sisi losos yang terkandung apabila kita mampu mendalami jalan berpikir Eka lewat novel dengan cover monyet ini.

Kemudian secara perlahan, kita akan bertemu dengan tokoh bernama Toni Bagong dan Sobar yang memperebutkan perempuan bernama Dara. Kemudian muncul Jarwo Edan dan sahabatnya Rudi Gudel yang memelihara anjing bernama Wulandari dan salah satu anaknya Kirik. Ada juga pasangan tunawisma, Mat Angin dan Ma Kungkung yang bertemu

Jika dibilang fabel, O tidak seutuhnya fable tapi tergolong semi-fable. Pasalnya tidak semua tokoh adalah hewan. Novel O yang merupakan salah satu karya master piece milik Eka Kurniawan


RESENSI I MONYET YANG INGIN MENIKAH DENGAN KAISAR DANGDUT

ini mengandung banyak arti. Di dalam novel yang berjumlah 470 halaman ini, menceritakan tentang segala macam bentuk kehidupan manusia. Perkara cinta, pengorbanan, rindu, bahkan juga agama. Gaya bercerita yang membentuk puzzle juga terbilang menjadi ciri khas tersendiri. Setiap alur diceritakan secara non linear. Namun, saya rasa ini merupakan salah satu kekurangan buku. Sebab, pembaca seperti dipermainkan saat membaca tiap bagian dari novel tersebut. Novel ini mengambil latar waktu pada zaman setelah kepemimpinan Soeharto. Tidak banyak, tetapi di bagian belakang terdapat sedikit singgungan mengenai keadaan sosial pada masa tersebut. Meski tidak sefrontal Animal Farm milik George Orwell, Novel O ini sangat layak untuk dibaca bagi kalangan remaja hingga dewasa. Dengan meneladani bagaimana seseorang belajar menjadi manusia yang baik atau bisa juga seperti binatang yang liar.

-“Cinta dan ketololan seringkali hanya masalah bagaimana seseorang melihatnya” (hlm. 216)-

54 LPM-SM I

April 2021


ESAI I REVISI !

Revisi! TEKS : BIRAR DZ

Prolog Setelah mencerna, mempelajari, bahkan masuk dalam dunia pendidikan kapital - ingin rasanya mengajak untuk berkampanye mulai meninggalkan pola pendidikan yang malah menjauhkan dari esensi pendidikan itu sendiri. Sungguh tidak menjadi jaminan sama sekali seorang bisa menjadi manusia yang utuh walaupun gelar sarjananya tidak karuan panjangnya. Memang benar, sedikitpun tidak ingin membantah, bahwa kapitalisasi pendidikan cukup baik untuk mengklarikasi seseorang sesuai bakat dan kemampuan, walaupun berorientasi hanya sebatas untuk memenuhi ruang kosong dalam sebuah koorporasi. Sekali lagi dengan segala kerendahan hati, pendidikan yang sekarang kita enyam sangat memudahkan seorang mempelajari sesuatu. Saking gampangnya jangan kaget jika melahirkan orang-orang yang manja. Bagaimana tidak, terapan behavioristik sudah membuktikan; tidak akan menjadi Popeye jika sudah mabuk laut terkena sedikit ombak. Begitu saya membuat perumpamaan. Sekarang coba kita lihat bagaimana universitas bekerja yang masih harus fakultatif. Ada berbagai macam fakultas yang tidak perlu saya

sebutkan. Begitupun pembaca yang kiranya sekarang sedang atau telah selesai menempuh jurusan tertentu. Ambil contoh seperti ini, manusia kita jadikan sebagai objek. Mahasiswa hukum melihat manusia adalah pelaku dari hukum, mahasiswa Ilmu Biologi melihat manusia sebagai kumpulan dari serangkaian sel, jaringan, dan seterusnya. Manusia adalah komponen struktur tatanan yang bisa dilihat dari sisi antronya, dan posisi serta perannya dalam tatanan sosial - kata mahasiswa sosiologi. Sedangkan mahasiswa Ilmu Fi l s a f a t m e l i h a t m a n u s i a a d a l a h serangkaian alam semesta yang penuh misteri untuk menuju kepada yang sejati. Jika saya teruskan memberikan contoh sesuai semua fakultas yang ada di Indonesia misalnya, selain enggan untuk melakukannya, begitupun nantinya pembaca semua pasti merasa jenuh. Namun satu hal pasti, adakah satu institusi saja yang menamai mereka


56 LPM-SM I

April 2021


ESAI I REVISI !

sebagai universitas yang mampu melahirkan mahasiswa dengan pengetahuannya begitu kompleks? Lantas bagaimana nasib deskripsi manusia yang seabrek banyaknya kalau kita hanya melihat hanya dari sudut pandang yang fakultatif saja. Ini masih melihat manusia yang bisa buat kita oleng. Belum Undur-undur atau kemana perginya kucing dan ikan saat banjir datang. Kendati demikian alangkah naasnya timbul prasangka besar diri misalnya seorang telah lulus dari kampus negeri, atau sedang mengenyam pendidikan di sekolah favorit, atau sekolah negeri, dan melihat sebelah mata bagi mereka yang duduk di bangku swasta, atau yang di swasta sedikit meremehkan bagi mereka yang kurang memiliki kesempatan (kurang mau terpaksa) bisa duduk untuk mendengarkan cerita keluarga guru atau dosen, bahkan mengerjakan tugas sambil berbagi dengan teman sekelas. Sebuah Pembahasan Buta aksara. Menjadi sebagian persoalan sendiri yang seharusnya lebih diutamakan ketimbang birokrasi pendidikan yang begitu kental dengan unsur politik. Seperti yang menjadi tema dalam majalah kali ini, perihal buta aksara dan pendidikan di Madura khususnya. Seperti menjadi sia-sia memiliki pemerintah yang memiliki pedoman Undang-Undang nan agung, mencerdaskan kehidupan bangsa, namun pendidikan masih menjadi barang mahal, banyak yang masih tidak bisa mengenyam pendidikan, atau bahkan masih ada warganya terhadap huruf saja masih dianggap buta. Begitu naas, jika pendidikan di negara ini masih harus tertatih diantara progresnya strategi perpolitikan dan stabilitas ketahanan birokrasi. Lebih jauh, wacana tentang buta aksara masih melekat di Madura. Tentu, saya tidak bisa menerima hal demikian, walaupun saya bukan orang Madura, tapi saya orang Indonesia. Sejenak biar saya ceritakan betapa tertaihnya sistem pendidikan kita. Tidak perlu melirik Finlandia atau Jepang yang pernah dihadirkan kondisi terpuruk pasca jatuhnya bom di Hiroshima dan Nagasaki. “Berapa jumlah guru tersisa?" ucap Kaisar Hirohito yang membuat para jenderal bingung. "Kita telah jatuh, karena kita tidak belajar. Kita kuat dalam senjata dan strategi perang. Tapi kita tidak tahu mencetak bom sedahsyat itu. Kalau kita semua tidak belajar bagaimana bisa mengejar mereka? Maka kumpulan sejumlah guru yang masih tersisa di seluruh pelosok kerajaan ini, karena sekarang kepada mereka kita bertumpu, bukan pada kekuatan pasukan," imbuh Hirohito yang membuat saya membayangkan siapa presiden di Indonesia yang sepertinya.


ESAI I REVISI !

Cerita lain yang saya alami kisaran tiga tahun lalu. Saat itu saya berada di Rembang. Seorang menunjukkan koleksi fotonya saat SMA. Berpikir sejenak saya bertanya perbedaan gawai saya dengan miliknya, pria itu menjawab beda prosesor dan lain-lain. Walaupun gawai kami perbedaan rilisnya hanya selisih beberapa bulan saja. Lalu, kembali saya bertanya perbedaan foto sekolahnya dulu dengan yang sekarang, ia hanya diam, karena memang mulai dari seragam saja masih sama. Ibarat kata dalam gawai casingnya masih sama. Sederhananya seperti ini, gawai yang saat ini terus bertransisi menjadi lebih baik adalah hasil upaya seorang yang memang berkompeten dalam bidangnya. Menjadi wajar jika terus melakukan terobosan. Selain itu orang dibalik gawai yang kita pakai saat ini pasti memiliki rekam jejak pendidikan yang mumpuni juga. Kendati demikian, jangan kaget kalau di negara ini notabene masih menjadi konsumen semata. Bukan maksud meremehkan kapasitas orang Indonesia. Namun, andai kata seperti ini, semua warga negara memiliki kesempatan dan hak yang sama mengenyam dunia pendidikan, setidaknya sedikit banyak akan mengeluarkan buah atau output dari prosesnya. Wajar bila saya skeptis terhadap sistem pendidikan kita bisa berkembang. Jangankan semua bisa sekolah atau kuliah, ada buta huruf saja seolah tidak terjadi apa-apa, siapapun itu pemerintahnya. Mengutip wasiat kiasan dari Raden Qasim (Sunan Drajat) putra dari Sunan Ampel, "Wenehono teken marang wong kang wuto, wenehono mangan wong kang luwe, wenehono payung marang wong kang kudanan, wenehono busono marang wong kang wudo” yang mana artinya berikan tongkat pada orang buta, berikan makan pada orang yang lapar, berikan payung pada orang yang kehujanan, berikan pakaian pada orang yang telanjang. Satu saja pertanyaan, kenapa Raden Qasim mendahulukan untuk memberikan tongkat pada orang buta daripada memberikan makan pada orang yang kelaparan? Padahal orang lapar itu lebih mengerikan, orang nekad berbuat apa saja apabila perutnya kosong, seperti dalam lm keluaran Netix, The Platform. Kenapa pendidikan harusnya didahulukan? Pendalaman Kita lebih perdalam pembahasan buta huruf di pulau garam. Walau dibilang buta huruf abjad, namun notabene tidak buta terhadap huruf Hijaiyah ataupun Arab Pegon. Bagi sebagian orang Arab Pegon untuk memakai kitab kuning bukanlah suatu hal yang asing, terlebih yang pernah mengenyam pendidikan di dunia pesantren. Berangkat dari hal itu rasanya diskursus terhadap buta huruf di 58 LPM-SM I

April 2021


Madura tidak berlaku. Kecuali ada saling gengsi yang begitu tinggi, melekat, dan menjauh dari esensi orang terdidik pada suatu instansi pendidikan. Menjadi keanehan apabila hal tersebut terjadi, kok bisa orang-orang yang katanya berpendidikan bisa mengklaim orang buta huruf hanya karena bisa membaca huruf Pegon saja? Kan aneh. Lantas apa upaya untuk menanggapi hal tersebut yang harusnya dilakukan oleh lembaga terkait? Sejujurnya saya sendiri kurang paham dan mampu menelaah, kecuali gengsi antar instansi pendidikan. Padahal secara regulasi negara ini telah memiliki Undang-Undang pendidikan pesantren, Undang-undang Nomor 18 tahun 2019 tepatnya. Menjadi penting regulasi tersebut sebagai landasan armasi atas jaminan kesetaraan tingkat mutu lulusan. Namun lagi, bagi sebagian anda pasti ada yang bergeming luwesnya regulasi di Indonesia, sampai kadang lupa kalau ada regulasi. Kemudian, menjadi sedikit kurang peran Kementerian Agama (Kemenag) yang hanya ada di Indonesia -


ESAI I REVISI !

namun, dalam sebuah terapan tidak tahu harus dibawa kemana kentalnya pendidikan pesantren di Madura. Maksud hati seperti ini, akan mendapatkan hasil kelola yang baik apabila tahu dan mengerti apa yang sedang dikelola. Naasnya, jika kasusnya ini-itu saja tanpa ada terobosan, rasanya ya ini-itu saja. Selain itu seringkali saya dibingungkan logika seperti apa yang digunakan pemerintah kita ini, pertimbangan politik seolah selalu lebih penting. Belum lagi tidak tahu harus seperti apa - yang kadang waktunya waspada tapi malah sebaliknya seperti awal mencuatnya kasus Covid. Memang benar tidak harus menunggu pemerintah atau penguasa untuk melakukan sebuah perubahan. Lantas nanti apa yang dilakukan pemerintah kalau seperti itu? Dan pejabat atau pemerintah yang begitu banyak hak istimewanya kenapa masih nyuruh rakyat biasa yang melakukan perubahan? Wakil rakyat nyuruh rakyatnya? Aneh. Kiranya sampai sini kita perlu mencari hal mendasar kenapa semua ini bisa terjadi.

60 LPM-SM I

April 2021


Peran Kampus Universitas juga memiliki peran penting bagaimana berkembangnya dunia pendidikan, tak ubahnya Universitas Trunojoyo Madura (UTM). Tempat inilah, kalau kata Rocky Gerung tempat suatu disiplin ilmu diuji keabsahannya. Sebuah tempat yang katanya diyakini oleh banyak orang menjadi miniatur sebuah negara. Namun, menjadi begitu skeptis apabila kampus hanya ribet dengan urusan birokrasi, bertambahnya banyak pembangunan dan jumlah mahasiswa, dan masih belum serius terhadap mutu pendidikan walaupun ada penjaminan mutu didalamnya. Belum lagi mahasiswanya yang masih ribut dengan urusan dengan golongannya untuk menduduki suatu jabatan, berpolitik praktis, dan sudah sering tidak sehat dalam berpikirnya. Apabila di kampus tempat anda berkuliah kental dengan hal semacam ini boleh anda nyinyir pada tulisan ini karena golongan anda yang mendominasi kampus. Boleh juga merasa skeptis, atau opstimis juga semua itu hak dan kemerdekaan anda semua. Awalan Saya teringat dengan seorang lsuf yang diklaim sebagai pemikir postmodern, Michel Foucault - bahwa pendidikan itu kental dengan peran penguasa. Apabila penguasa sedang tidak jelas, menjadi wajar apabila sistem pendidikannya juga tidak jelas. Seperti yang sering terjadi terhadap sistem kampus yang tidak jelas, merujuk dari instruksi pemerintahnya. Bayangkan dulu, apabila kita

memiliki pemerintah yang getol terhadap isu pendidikan: m e m f a s i l i t a s i d a n memperhatikan kesejahteraan guru, memberikan akses dan dorongan pada setiap warga untuk menikmati pendidikan, memperhatikan kualitas kurikulum, dan seterusnya yang terkait dengan pendidikan maka, kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) akan meningkat, banyak output baik yang nantinya akan kembali pada negara juga, akan lebih berdikari dan tidak ada asumsi bahwa tenaga kerja asing lebih berkompeten, dan hal-hal baik lainnya. Bayangkan saja dulu. Masih banyak dan terlalu kompleks masalah dalam hal ini yang perlu menjadi perhatian bersama untuk dibahas.

Te r p e n t i n g , untuk mencapai segala hal baik dalam dunia pendidikan di Indonesia harus ada revisi besarbesaran. Intinya, revisi!


ESAI I 2020 : MONUMEN PATI OBOR

2020: Monumen Pati Obor TEKS : IRFA RONA B.

62 LPM-SM I

April 2021


Diriku telah menjadi virtuoso pesakitan. Tak ada tempat yang dengan bebas kudatangi, bahkan untuk sekadar berolahraga. Saya terbaring dengan tumpukan buku di samping. Otakku bengkak oleh ideide. Namun, kata-kata begitu payah keluar dari kepala. 2020, ini tahun yang tak bagus. Tak ada satu pun negara yang siap menghadapi pandemi. Efek berantai pandemi membentuk era ketidakpastian. Pada masa ketidakpastian yang berkepanjangan tentu menguji kemampuan pemerintah dan berbagai elemen untuk bertahan. Hal tersebut menyebabkan pemerintah maupun individu merespon dengan berbagai cara. Sayangnya, respon masyarakat adakalanya mengalami benturan dan tidak sinkron dengan pemerintah. Ini benar-benar tahun yang buruk. Bagi masyarakat Jawa, 2020 adalah tahun kembar. Tahun yang dapat dengan mudah dibolak-balik. Ini adalah tahun sakral, setidaknya bagi penggemar Jayabaya. Benar, Jayabaya sang raja sekaligus pujangga yang kerap disebut dukun ramal. Ini bukan berarti masyarakat kita tertinggal karena memercayai sebuah ramalan. Bahkan masyarakat eropa dan barat yang kalian anggap modern dan maju pun memercayai ramalan Alvin Tofer, John Naisbitt, bahkan Michel de Nostredame alias Nostradamus. Mari kita coba bahas yang lain. Saya

tak mau dituduh menurunkan imun hanya karena dua atau tiga paragraf yang tak berfaedah. Secara personal, saya ingin memulainya dengan sesuatu yang dekat dengan diriku, bukan dirimu: perihal pembelajaran. Beberapa bulan belakangan saya sering memikirkan metode pembelajaran yang efektif bagi generasi Z atau sebut saja generasi “zaman akhir”. Sinkronus maupun asinkronus memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Pandemi benar-benar menuntut kita untuk dapat beradaptasi. Nahasnya, tidak semua orang memiliki kemampuan adaptasi yang baik. Misal, pelajar difabel yang masih membutuhkan bantuan dalam pembelajaran jarak jauh atau pendidik yang memiliki gap terhadap teknologi. Ketika kondisi dan situasi mengharuskan kita untuk beradaptasi atau hanya sekadar bertahan, ada satu hal yang membuatku sering tepuk jidat: keluhan ketiadaan sinyal. Rengekan itu akan terasa wajar jika terlontar dari bocah SD atau pelajar Menengah Atas. Namun, terasa janggal nan sumir jika keluar dari agent of change, man of analysis dan social control. Sampai pada akhirnya saya memiliki sebuah pemahaman yang luput terpikirkan dalam metode pembelajaran yang tak melulu capaian pembelajaran, yaitu


ESAI I 2020 : MONUMEN PATI OBOR

penanaman nilai-nilai yang dibutuhkan dalam masa-masa krisis. Jangan pernah mengajari generasi Z terkait hak, kemandirian, teknologi, atau kreativitas. Mereka tahu semua itu karena ada google, youtube, atau tiktok yang dapat membantunya. Mereka tumbuh dan berkembang pada era yang berbeda dengan kita. Mereka generasi yang lebih pintar dan cekatan. Namun dalam menghadapi berbagai tantangan ke depan, kepintaran bukanlah penentu. Ada nilai-nilai kehidupan yang mereka hafal denisinya, akan tetapi dalam implementasinya sangat kurang. Saya agak kesulitan untuk memberikan contoh yang relevan dengan generasi sekarang, tetapi lihatlah kelapangan hati Hans Ji-pyeong. Nilai tersebut bukanlah sesuatu yang bersifat bim salabim, melainkan sebuah proses panjang. Pandemi tidak menghilangkan sisi persaingan sedangkan kesabaran bukanlah keahlian mereka. Pati Obor Dalam segala kerendahan hati dan kejujuran, jika orientasi pembangunan dan pendidikan kita masih berisifat materialistik, Indonesia akan terus tertinggal. Gedung mudah dibangun, akan tetapi juga mudah runtuh. Harta dan kekayaan mudah diperoleh, tetapi dalam sekali kedip dapat sirna. Semua itu bukan orientasi pembangunan dan pendidikan kita. Mari berimajinasi sebentar. Demi mengatasi dampak pandemi, Indonesia butuh dana 14 Triliun. Amerika Serikat dengan “senang hati” memberikan bantuan pembangunan dua kali lipat, asalkan Indonesia mau membuka hubungan dengan Israel. Apabila orientasi kita 64 LPM-SM I

April 2021


bersifat materiil dengan mempertimbangkan berbagai aspek (termasuk bunga tahunan), uluran tangan Amerika terasa menggiurkan. N a m u n , j i k a l a u k i t a mempertimbangkan pembangunan dan pendidikan etis yang mendasarkan pada nilai-nilai etis serta tujuan awal negara ini berdiri, bantuan tersebut menjadi suatu hal yang menggelikan. Sekali kita bertekuk lutut, berikutnya kaki akan dengan mudah terus berlutut. Ada banyak orang dalam sistem

pendidikan yang percaya tujuan mulia pedagogi nasional, sayangnya kebanyakan dari mereka diam. Diam hanya akan memadamkan obor yang sejatinya mesti dilanjutkan agar ada nilainilai yang tetap menyala. Atau kita hanya akan mewariskan sebuah monumen yang obornya padam. Lantas generasi berikutnya merayakan berbagai hal di bawah monumen sembari bertanyatanya, “ini obor apa?”

Memang menjaga agar tidak pati obor bukan pekerjaan mudah. Namun, di tengah-tengah upaya tersebut akan ada keberanian, pengorbanan, rahmat, harapan, dan kebangkitan. Pandemi baru setengah mimpi buruk yang dialami umat manusia. Kita masih


ESAI I 2020 : MONUMEN PATI OBOR

akan menghadapi era kegelapan. Tidak ada tempat lari, apalagi untuk sembunyi. Inilah masa tatkala sehari seperti setahun dan manusia kesulitan melihat semut hitam yang berjalan di atas batu hitam di tengah kegelapan malam. Pada saat itu manusia hanya butuh setitik nyala obor untuk melihat kebenaran. *** Di tengah alunan lagu froggie went a courtin' terlintas untuk menyudahi tulisan ini. Tak baik jika terlalu panjang jadi kupotong saja dan kembali pada rutinitas menghafal sulur-sulur jalanan antara Surabaya, Yogyakarta, dan Semarang. Pada penghujung tahun ini yang suasananya begitu monastik, suara ketukan lembut keyboard yang menghasilkan pertanyaan, “apa yang sudah kau wariskan?”

66 LPM-SM I

April 2021


CERPEN I ABDUL MEMBACA ABJAD

Abdul Membaca Abjad TEKS : IDATUS SOLIHAH

Anak delapan tahun itu mukanya kesal, dibolak-balik halaman bukunya itu dengan malas. Ia hanya bisa mengeja dua-tiga kata dalam satu kalimat. Siapa yang tahu kesulitannya? Bapak-ibunya usai subuh bergegas ke ladang, menyiangi rumput, menyemai biji jagung. Sedang kakaknya berada di tanah jauh, mengadu nasib. Segala keperluan sekolah ia tata dengan sendirinya, orang tuanya hanya tahu perihal alat tulis habis, membeli seragam, dan membayar buku. Sedangkan masalah belajar anaknya itu sudah tugas penuh guru.

****

“Emak - Bapak dimana?”

Pagi ini, Bu Guru Aisyah, wali kelas dua tersebut memanggil Abdul dan beberapa siswa lain ke ruang guru, ini sudah hampir setengah semester tapi anak-anak yang dipanggil masih belum bisa membaca dengan lancar.

“Siang - sore masih di ladang, Bu?”

Abdul menghadap lebih dulu, ditundukkan kepalanya, kedua tangannya berkeringat dingin. Ia merasa takut akan dijewer Bu Aisyah. “Nak Abdul, di rumah kamu belajar setiap hari?” “Engghi, Bu,” jawabnya singkat. “Siapa yang menemani belajar?” “Saya sendiri, Bu.”

“Malam tidak belajar?” “Malam ngaji di langgar, Bu.” Sebagai guru pendatang yang tiba di Pulau Garam dua tahun lalu, setidaknya Guru Aisyah perlahan memahami persoalan pendidikan di pulau kecil ini. Persoalan siswa seperti yang dialami Abdul sebenarnya bukan hal asing. Pada mulanya, Abdul tidak mau bercerita pada gurunya itu, namun sebagai wali kelas, Guru Aisyah berhasil membujuk muridnya agar bersedia bercerita persoalan kesulitan belajarnya.


CERPEN I ABDUL MEMBACA ABJAD

Abdul bercerita, ia sering kesal ketika belajar. Bagaimana tidak? Ia merasa buntu, tidak memahami arti dari kata-kata yang dibaca. Bertanya kepada emak-bapaknya tentu mustahil, sebab keduanya juga tidak bisa membaca. Jika beruntung ketika kakaknya di rumah ia bisa meminta diajari, tapi itu hanya kesempatan langka setahun tiga kali, itu sudah beruntung. Mengetahui keadaan tersebut, guru Aisyah menghela napas panjang. Dielusnya kepala Abdul, disampaikannya petuah agar muridnya itu tidak patah semangat. Di sekolah Abdul harus lebih rajin lagi, setidaknya karena bisa bertemu dan dibimbing langsung oleh para guru. Sebenarnya Abdul rajin belajar karena semangat yang diberikan Bu Aisyah, jika menuruti nuraninya ia lebih suka bermain dan ikut emakbapaknya di ladang. Namun, ketika di sekolah Guru Aisyah memberikan perhatian yang tidak Abdul dapatkan di rumah sehingga dari sanalah secara tidak langsung Abdul menuruti nasehat gurunya itu. Setiap hari ia akan ditanya belajar apa kemarin, pernah suatu ketika dirinya berbohong bahwa ia belajar, namun ketika dites Bu Aisyah ia tidak bisa. Ia merasa malu tanpa ampun. Sejak saat itu ia berusaha belajar setidaknya jika ia tidak bisa dites, ia akan bisa berkata kesulitannya dimana. Setiap hari mengaji di langgar, bocah itu diajari oleh kakek Sobri, tak lain adalah kakeknya sendiri. Setiap usai mengajari cucu bungsunya itu, kakek Sobri mengusap kepala Abdul dan membacakan doa tertentu. Bahkan seringkali Abdul ketiduran di pangkuan kakeknya itu lantaran terlalu asyik mendengarkan cerita. Jika sudah begitu, mau tidak mau bapak Abdul akan datang dan menggendong anaknya tersebut.

68 LPM-SM I

April 2021


Malam itu, Abdul bersama kakeknya, mengaji di langgar seperti biasanya. Nak, dulih berseen al qur'an beknah, kak dintoh abah acaretah Imam Sya'i" ujar kakek Abdul meminta abdul agar lekas membereskan peralatan mengajinya karena malam ini ia akan dikisahkan tentang Imam Sya'i. "Enggi, abah." Adul bergegas merapikan apa yang diminta kakeknya, lalu duduk di pangkuan. Kakeknya berkisah sembari mengusap kepala cucunya itu, sesekali berhenti dan bergeming seperti orang berdoa lalu ditiup kepala cucunya itu. Cerita kakek Abdul belum selesai, namun bocah itu sudah terlelap. " Nak, mogeh deddih nak se cerdas ben sholeh, nak." ujarnya seorang diri. **** Lambatnya kemampuan Abdul menguasai abjad bertolak belakang dengan kemampuannya membaca Alquran. Bahkan di usianya saat ini, ia mengaku sudah mencapai juz 2. Kenyataan ini berbeda jauh dengan anak-anak pada umumnya, di luar Madura mungkin seusia Abdul baru sampai pada tahap iqro'. Kebiasaan Kakek Sobri mengusap kepala cucunya itu sudah dilakukan sejak Abdul lahir. Menurut orang Madura, “nak-kanak lakek anekah tiang, pondasi ben arepben,” yang berarti anak laki-laki adalah tiang, pondasi, dan harapan. Oleh sebab itu, doa-doa baik tentu saja tak luput dilantunkan semenjak sang ibu diketahui mengandung hingga sang anak

lahir dan tumbuh. Kakek Abdul sebenarnya tahu persoalan kesulitan belajar cucunya, namun beliau tak bisa berbuat banyak. Orang tua Abdul pasrah kepada guru saja, tak heran jika lelaki sepertiga abad itu juga tak bisa membaca abjad dan berbuat banyak untuk Abdul. **** Seorang perempuan seusia Emak Abdul menghampiri Abdul yang tengah belajar di beranda rumah. Abdul mencium tangannya, dan bergegas menunjukkan buku bacaannya pada perempuan tersebut. "Pa-man me-nyi-a-ngi rum-put li-ar di ha-la-man," Abdul mengeja kalimat itu. "Bu, menyiangi rumput itu bagaimana maksudnya?" Tanya Abdul dengan polos. Perempuan tersebut menjelaskan bahwa menyiangi adalah mencabuti rumput yang tumbuh biar bersih. Kemudian Abdul melanjutkan bacaannya, sesekali perempuan tersebut membenarkan ejaan Abdul yang salah. Abdul juga tampak bahagia, karena jika ia merasa kesulitan memahami arti kata, ia bisa langsung menanyakan pada perempuan itu. Namun tak lama kemudian, terdengar suara, Mak Lena. Ibunya Abdul, ya bergegas


CERPEN I ABDUL MEMBACA ABJAD

menyuruh Abdul mandi dan bergegas sekolah. Tentu saja Abdul kaget, pikirnya ini masih siang hari seperti biasanya ketika belajar. Namun ia dikagetkan dengan sentuhan emaknya, ternyata ia tadi sedang tidur dan belajar membaca tadi hanya dalam mimpinya. **** Bocah delapan tahun itu merasa mendapatkan semangat belajar baru. Namun yang mengherankan mimpi belajar Abdul tersebut selalu berulang ketika malam Jumat. Kali ini ketiga kalinya, dengan pelajaran membaca yang berlanjut di halaman setelah mimpi pertama dan kedua. Tapi Abdul adalah anak kecil, ia belum bisa memahami itu semua dengan jelas. Baginya, itu adalah anugerah, sebab ia tak perlu merasa kesal tiap hari, membolak-balik buku hingga nyaris tersobek. Kemajuan yang dialami Abdul begitu pesat, bahkan guru Aisyah merasa heran. "Abdul, apakah kakakmu yang di Jakarta datang?" " Bunten, Ibu.” Ujarnya sembari menggelengkan kepalanya. "Lalu, kamu belajar di tempat les?" "Bunten jugen, Ibu," imbuhnya.

Bu guru Aisyah, semakin terheran. Ini adalah perkembangan yang sangat baik, namun dirinya tetap merasa heran, apa yang terjadi dengan Abdul sebenarnya. Kemampuan otak anak memang berkembang lebih cepat dari orang dewasa, namun ini melampaui batas perkembangan Abdul sebelumnya. "Abdul belajar dengan Bu Guru baru ketika tidur," ujarnya tiba-tiba. "Bagaimana, nak?" Ia masih kurang percaya dengan apa yang dilontarkan Abdul. "Iya, Bu. Saat tidur malam, Abdul belajar dalam mimpi dengan guru

70 LPM-SM I

April 2021


baru. Guru itu mengajari Abdul membaca, menjawab pertanyaan Abdul kalau ada yang Abdul tidak paham," jelasnya dengan polos.

k h u s y u d i d a l a m l a n g g a r. Dihampirinya perlahan muridnya itu.

Guru Aisyah masih tidak bisa mencerna dengan jelas makna dari ucapan Abdul. Ini sungguh tidak mungkin. Bagaimana alam bawah sadar Abdul bisa berproses dengan demikian?

"Nanti, Bu sebentar lagi. Ibu mau masuk, tapi emak-bapak masih di ladang, kakek masih sembahyang di langgar."

Sebagai seorang guru, ia tahu tahap perkembangan anak, bagaimana tahap otak berkembang, proses perkembangan bahasa dan inteligensi anak. Hal yang dialami Abdul ini tidak masuk akal. Memang mekanisme alam bawah sadar bisa berpengaruh terhadap kecerdasan namun cara kerjanya tidak demikian. **** Ini malam keenam kalinya Abdul mengalami mimpi serupa. Kakeknya m a s i h b e r d i a m d i r i d i l a n g g a r, bermujahadah hingga tengah malam. Semua orang di rumahnya sudah terlelap. Keesokan harinya ketika di sekolah, Abdul mengadu pada guru Aisyah bahwa ia sudah lancar membaca dan tahu setiap arti kata dari kalimat-kalimat yang dibaca. Guru Aisyah tentu saja senang hati, namun rasa penasaran masih bergejolak dalam batinnya. Sebagai seorang yang lahir dan tumbuh besar di kota, hal-hal aneh hanya ia temui ketika merantau di pulau garam ini. Sepulang sekolah, guru Aisyah sengaja melintas ke rumah Abdul. Ia mendapati muridnya itu sedang bermain dengan beberapa temannya. Ia mendapati seorang lelaki tua berkopiah sedang

"Abdul, tidak belajar?"

"Tidak usah, nak. Ibu hanya lewat saja. Kakek sudah dari tadi?" "Iya, Bu. Sudah menjadi kebiasaan kakek, kalo sembahyang lama sekali," ujarnya sembari tersenyum. "Yasudah, ibu pamit ya. Belajar dengan rajin. Sebentar lagi ujian." “Engghi, Bu." Kemudian ditinggalkan bocah itu. Sepanjang jalan pulang, Guru Aisyah memutar kembali ingatannya, cerita dari guru agamanya dulu, tentang kisah anak yang beruntung, bahkan sangat nakal namun otaknya cemerlang, orang tuanya melakukan tirakat untuk anaknya tersebut. Lalu ia terlintas bayangan Kakek Sobri yang tengah berdoa khusyuk apakah ada hubungannya dengan kejadian pada Abdul? Kakek Sobri masih menjadi sosok misteri bagi Guru Aisyah, lain waktu mungkin dia bisa menemui sosok tua yang berkharisma itu, barangkali segala pertanyaannya bisa terjawab.


PUISI

dada

TEKS : SIRAJUDIN

nonaku, sejauh langkah tertempuh baru ini kusadari; apa yang lebih diam dan dingin dari telang pukul dua? dadaku, non dada yang sesak dijejal jam kerja subuh ke malam lalu tidur tanpa lenganmu di sini di kota yang jauh tak ada waktu meratap, bahkan bayangmu bercampur angkaangka di kertas laporan dan tagihan ekspedisi seperti petapa, dadaku hanya diam bersemedi di rimbun akal dan sikut gedung berkaca bertaruh dengan degupan nasib; mati atau hidup jadi mesin berkerangka

72 LPM-SM I

April 2021


sebuah fragmen

TEKS : SIRAJUDIN

perempuan itu menangisi lelaki kurus yang pergi dengan kantuk di matanya. ia menangis dan lelaki itu tahu di bibir perempuan ada kenang yang mesti dibawanya jauh ke kota yang telah ia catat namanya. perempuan itu ingin sekali berkata, “berbaliklah, tuan. berbaliklah!” tetapi tangis menyekapnya, ia masih terus menangis dan hanya bisa menatap punggung lelaki yang berlalu

di jalan yang telah jauh, lelaki hentikan langkahnya ia roboh dan bersandar di bawah pohon kasia di pagi yang mendung, angan-angan tak lagi dikenal lalu ia berkata dengan suara yang hanya didengarnya sendiri, “o, hidup lelaki,” katanya, “kuatlah, kuat. sebab luka hanya hembusan tembakau. dan aku lelaki,” sementara matahari telah sampai di ujung tombak antara lelaki dan perempuan hanya tinggal jarak, dosa, dan barangkali doa yang mesti dibawa masing-masing

persembahan

TEKS : IDATUS SOLIHAH

Kubakar tubuhku diatas buku-buku Sedang kau rapalkan mantra Tidak, mereka takkan temukan jawab Pada muasal amarah Adalah kebodohan Jadi persembahan abadi Pada mata Jiwa yang ditutup Dari pengetahuan dunia


PUISI

rumah doa

TEKS : IDATUS SOLIHAH

Adakah yang lebih agung? Selawat mengiringi kelahiran Surau jadi tempat pulang Anak-anak mengeja alif ba' Pada gulita subuh Angin membawa bisik tasbih Tanah ditabur pujian Yang dibasahi wudlu diantara iqamat Setelahnya dikhatamkan kisah Tuhan dan segenap kerajaan

menyelami faham sampai ke dasar TEKS : YULIA RAHMATIKA

kita mengingikan diri masing –masing menjadi apa-apa sebab rambut masih hitam dak baik jika hanya diam jadi batu meski hanya berbekal mengenal huruf kecil juga menciumi angka-angka ma dan dak begitu banyak menger dan memeluk tanda juga rumus yang ya begitu rumit itu bukan masalah yang pen ng masih ingin menyelami faham sampai ke dasar meski purnama sudah banyak kali kelewat

74 LPM-SM I

April 2021


PARADE KARTUN


spiritmahasiswa

wartautm

warta kampus universitas trunojoyo madura

spiritmahasiswa.trunojoyo.ac.id

wartautm


LPM-SM / VI / 03 / 2021

M AHASISWA SPIRIT Aksi dan Bersuara Lewat Tulisan

POTRET PENDIDIKAN MADURA Liputan Khusus TANGGAPAN BEBERAPA PIHAK TERKAIT PENDIDIKAN PESANTREN MENJADI PRIORITAS DI MADURA


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.