Majalah Edisi 8: Kapan Kita Bebas dari Kekerasan?

Majalah LPM Media Sriwijaya

Kapan Kita Bebas Dari Kekerasan?

LPM Media Sriwijaya Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya

mediasriwijayanews.com

lpm_ms

lpmmediasriwijayanews@gmail.com

+62 899-6727-068

DAFTAR ISI 02

Salam Redaksi

03

Tim Redaksi

04

Stop Kekerasan Seksual

06

Urgensi pemahaman Mengenai Pelecehan Seksual Terhadap Perempuan

09

Menjamurnya Kekerasan Seksual Di Kampus

11

Perlindungan Hukum Korban Kekerasan Seksual

14

Hilangnya Eksistensi Hukum Di Hadapan Tindak Asusila

16

Korban Pelecehan Seksual, Sudah Pasti Perempuan?

18

Resensi Film: Penyalin Cahaya

19

Puisi

20

Games

Edisi 8 - Kapan Kita Bebas Dari Kekerasan?

01

Edisi 8 - Kapan Kita Bebas Dari Kekerasan?

02

TIM REDAKSI Drs. H. Murzal Zaidan, S.H.,M.HUM. Pelindung

Drs. H. Murzal Zaidan, S.H.,M.HUM. Pembina

Fakhira Afifah Salsabila Penanggungjawab

Edelweis Bintang R. Pimpinan Redaksi & Kontributor

Astrid Nikita Christy Layouter

Saskia Artha Layouter

Farrel Salma Kontributor

Moch. Ilham. JR Layouter

M. Syahri Ramadhan S.H., M.H. Pembimbing

Siti Halimatul H. Sekretaris Redaksi

Nur Indah Fatimah T. Z. Layouter

Christy Klinisa Kontributor

Destanti Dwi Sartika Kontributor

Fauzan Ananta Kontributor

Feby Delva Primayani Kontributor

Edisi 8 - Kapan Kita Bebas Dari Kekerasan?

03

Edisi 8 - Kapan Kita Bebas Dari Kekerasan?

04

Edisi 8 - Kapan Kita Bebas Dari Kekerasan?

05

Urgensi Pemahaman Mengenai Pelecehan Seksual Terhadap Perempuan Oleh: Farrel Salma

Edisi 8 - Kapan Kita Bebas Dari Kekerasan?

06

pa yang akan muncul di benak Anda ketika melihat atau membaca kasus mengenai pelecehan seksual? Tidak sedikit dari kita yang langsung berpikir bagaimana keadaan korban dan apa hukuman yang pantas untuk dijatuhkan kepada pelakunya bukan?

Mengutip catatan Kementrian Perlindungan Perempuan dan Anak yang menyebutkan hasil riset pada tahun 2021 kasus pelecehan dan kekerasan seksual naik 2 (dua) kali lipat dari tahun sebelumnya, yakni berhasil menyentuh angka 2.500 kasus dengan wanita yang menjadi korban pelecehan seksual terbanyak karena dianggap lemah dalam melakukan pertahanan diri.

Setelah maraknya kasus pelecehan seksual yang terjadi, sebenarnya apa pelecehan seksual itu? Apa yang menjadi penyebabnya?

Perempuan dan laki-laki sudah kodratnya pasti memiliki kebutuhan seksual, yang menjadi permasalahan adalah bagaimana cara merealisasikannya, dapat dikatakan Pelecehan Seksual menurut Pasal 11 Ayat (2) Huruf A, jika mengandung unsur pemaksaan, tidak dikehendaki atau tidak berdasarkan kesukarelaan sehingga bisa menimbulkan rasa terhina, terintimidasi, dan rasa dirugikan bagi korbannya. Bentuk dari pelecehan seksual pun ada banyak, antara lain seperti candaan yang vulgar atau porno, ucapan (verbal) yang menyinggung seksualitas tubuh seseorang, siulan, mengirimkan pesan atau foto yang berbau seksual, Memaksa dengan ancaman terhadap seseorang untuk berhubungan seksual, menatap kearah intim terhadap tubuh seseorang, dan kasus terberatnya adalah pemerkosaan bahkan disertai dengan pembunuhan.

Edisi 8 - Kapan Kita Bebas Dari Kekerasan?

07

Berbicara tentang stigma sebagian masyarakat yang menyebutkan bahwa terjadinya pelecehan seksual tidak sepenuhnya salah dari pelakunya. Banyak pula alih-alih menyalahkan pelecehan seksual ini terjadi akibat pakaian wanita yang terlalu terbuka sehingga memancing nafsu pria. Namun, stigma tersebut bisa dibantah karena pada dasarnya pelaku pelecehan seksual tidak memandang bulu bagi para pemangsa, Dibuktikan dengan kasus pemerkosaan terhadap 12 santriwati oleh seorang guru berinisial HW di salah satu pesantren yang berada di Kota Bandung, Jawa Barat. Logikanya, Santriwati di lingkungan Pondok Pesantren pasti memakai pakaian sopan dan menutup auratnya, ternyata masih tidak cukup bagi perempuan untuk melindungi dirinya dari perbuatan tercela tersebut. Lantas, sudah dapat dipastikan kesalahan terbesar ada pada pelakunya.

Salah satu Psikoedukasi Seks Universitas Airlangga menyebutkan ada beberapa faktor pendorong internal dari diri seseorang untuk melakukan pelecehan seksual. Seperti pernah menjadi korban di masa lalunya, terpengaruh dampak menonton video porno, pelaku memiliki otoritas terhadap korban sehingga ia lebih dominan dan leluasa untuk melakukan hal tersebut kepada korban, tidak tersampainya hasrat seksual pelaku terhadap pasangannya atau bisa juga karena ketergantungan obat terlarang, dan masih banyak lagi. Apapun alasannya, Tindakan melecehkan perempuan itu adalah sebuah pilihan dan dilakukan dengan sadar sehingga tidak dapat dibenarkan oleh alasan apapun dan pelaku pantas mendapatkan hukuman setimpal atas perbuatannya.

Edisi 8 - Kapan Kita Bebas Dari Kekerasan?

08

MENJAMURNYA KEKERASAN SEKSUAL DI KAMPUS Oleh Destanti Dwi Sartika Kekerasan seksual memang sudah menjadi momok bagi setiap kalangan, permasalahan yang memang harus di berantas. Namun, dalam memberantasnya pun sering menuai berbagai pro kontra dari sebagian besar khalayak. Akhir 2021 kekerasan seksual kembali menjadi topik yang hangat diperbincangkan baik oknum pelaku maupun korban turut di perbincangkan.

Kekerasan seksual ini bisa terjadi di mana saja dan dalam situasi tak terduga, seperti di rumah yang kita anggap tempat memberikan perlindungan dan rasa aman. Kekerasan seksual bisa di alami oleh siapa pun, mulai dari anak kecil, remaja bahkan orang dewasa tanpa menyampingkan jenis kelamin, perempuan maupun laki-laki sekalipun.

Bukan hanya itu, hal ini juga dapat terjadi di lingkungan pendidikan baik dilakukan oleh pejabat atas, pendidik, bahkan sang pelajar itu sendiri.

Belakangan ini, maraknya beredar berita yang kurang mengenakkan dari sejumlah kampus di Indonesia. Dilansir dari survei Komnas Perempuan kampus merupakan lokasi yang rentan terjadi kekerasan sosial, bahkan survei dari Kemendikbud Ristek menempatkan kampus di posisi ke 3 sebagai lokasi yang rentan terjadi pelecehan seksual. Seperti yang dikatakan di atas, penyelesaian masalah ini sering menuai pro dan kontra juga sering mengalami jalan buntu. Hal ini sangat menjadi beban dan ketakutan tersendiri bagi mahasiswa dalam menjalani perkuliahannya, Kekerasan seksual ini sedikit banyak pasti akan berdampak pada si korban seperti gangguan kesehatan mental atau trauma yang berkepanjangan, kekhawatiran yang berlebih mengakibatkan berhenti berkuliah, kehamilan yang tidak terencana, muncul hasrat untuk bunuh diri, dan terkadang malah mendapat hinaan dan sanksi sosial lainnya.

Edisi 8 - Kapan Kita Bebas Dari Kekerasan?

09

Permendikbud Ristek nomor 30 tahun 2021 hadir sebagai jawaban dari seluruh keresahan tentang pelecehan seksual, memberi harapan supaya tercipta rasa aman.

Dalam peraturan ini tertuang sanksi yang akan di terima oleh si pelaku kekerasan seksual, terdapat 3 tahapan serta terdapat 2 sanksi berat kampus. Dalam pasal 13 jika ada pelaku yang terbukti melakukan kekerasan seksual akan dikenai pasal administratif. Dalam pasal 14 pengenaan sanksi administratif terdapat 3 tahapan, yakni pertama, sanksi administratif ringan berupa teguran tertulis atau pernyataan permohonan maaf secara tertulis yang dipublikasikan di internal kampus atau media massa. Kedua, sanksi administratif sedang sebagaimana dimaksud, berupa pemberhentian sementara dari jabatan tanpa memperoleh hak jabatan. Jika kekerasan seksual itu dilakukan oleh mahasiswa maka sanksi administratifnya adalah pengurangan hak sebagai Mahasiswa meliputi: penundaan mengikuti perkuliahan (skors), pencabutan beasiswa atau pengurangan hak lain. Ada pula yang ketiga sanksi administratif berat, berupa pemberhentian tetap sebagai mahasiswa atau pemberhentian tetap dari jabatan sebagai pendidik, tenaga kependidikan, atau warga kampus sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, dari perguruan Tinggi yang bersangkutan.

Dunia pendidikan sedang tidak baik-baik saja, predator kampus semakin merajalela dengan banyak korbannya yang enggan buka suara, terkadang bukan karena ancaman yang jadi masalah melainkan ketakutan bahwa pelaku yang malah dibela sebaliknya korban yang akan disalahkan. Lalu bagaimana cara mencegahnya terjadi? Bekali diri dengan edukasi tentang kekerasan seksual, waspada pada sekitar, waspadai pula orang-orang yang tidak dikenal terkhususnya saat sedang berada di tempat-tempat umum, jika sudah terjadi lakukan perlawanan dan segera laporkan ke pihak berwajib.

Edisi 8 - Kapan Kita Bebas Dari Kekerasan?

10

PERLINDUNGAN HUKUM KORBAN KEKERASAN SEKSUAL Oleh Feby Delva Primayani Kekerasan seksual atau juga disebut pelecehan seksual memang marak terjadi saat ini, terutama kepada anak-anak dan perempuan.

Mereka yang seharusnya dimuliakan dan dilindungi malah menjadi sasaran empuk para predator anak dan seks. Miris memang memikirkan kondisi para korban pelecehan seksual, trauma fisik dan trauma dalam segi mental. Pelecehan seksual saat ini makin menjadi-jadi, tidak perlu memperhatikan tempat dan waktu, pelecehan seksual bahkan bias terjadi ditempat umum, seperti di kendaraan umum, tempat kerja, sekolah, taman hiburan, baik siang maupun malam. Sebenarnya apa sih itu pelecehan seksual? Pelecehan seksual adalah segala macam bentuk perilaku yang berkonotasi atau mengarah kepada hal-hal seksual yang dilakukan secara sepihak dan tidak diharapkan oleh orang yang menjadi sasaran sehingga menimbulkan reaksi negatif seperti malu, marah, benci, dan sebagainya pada diri individu yang menjadi korban tersebut.

Edisi 8 - Kapan Kita Bebas Dari Kekerasan?

11

Rentang seksual ini sangat luas, yaitu meliputi main mata, siulan nakal, komentar berkonotasi seks atau gender, humor porno, cubitan, colekan, tepukan atau sentuhan dibagian tubuh tertentu, gerakan tertentu atau yang bersifat seksual, ajakan, dengan iming-iming atau ancaman, ajakan melakukan hubungan seks hingga pemerkosaan.

Perlindungan hukum sendiri, untuk korban pelecehan seksual memang masih minim di Indonesia. Hukum dinilai belum dapat menjamin kepastian bagi para korban pelecehan seksual. Para korban yang kesulitan membuktikan dirinya sebagai korban pelecehan seksual, proses persidangan yang lama dan bahkan sama sekali tidak ditindaklanjuti membuat kasus pelecehan seksual sulit diselesaikan. Menurut beberapa tokoh seperti Asni Damanik selaku Koordinator Tim Substansi RUU PKS dan Dr. Bahrul Fuad, M.A. selaku Komisioner Komnas Perempuan, mengatakan bahwa perlu adanya beberapa perbaikan dalam memberikan perlindungan hukum kepada para korban pelecehan seksual.

Pertama, pasal-pasal dalam KUHP belum berspektif korban kekerasan seksual. Asni mengambil contoh tentang pasal perkosaan. Dalam KUHP, perkosaan hanya terjadi pada perempuan yang belum pernah menikah, kemudian harus ada unsur kekerasan dan ancaman, serta ada tindakan penetrasi. Penetrasi harus dibuktikan dengan visum, dan apabila tidak terbukti maka tindakan tersebut dapat diputuskan dengan tindakan perkosaan, melainkan tindak pencabulan.

Kedua, keterangan ahli yang tidak berspektif korban. Pihak ahli kurang pemahamannya terhadap posisi korban, sehingga banyak ahli yang dihadirkan di pengadilan sering kali menyudutkan korban atas keterangannya.

Ketiga, dari struktur hukumnya. Di Indonesia, baik SDM maupun instansi atau lembaga pemerintahan, masih sedikit yang terlatih untuk dapat memahami korban. Masih banyak lembaga yang kurang peduli dengan korban kekerasan seksual, malah korban kekerasan seksual disalahkan dalam masyarakat.

Keempat, budaya hukum yang masih menerapkan budaya patriarki.

Sistem peradilan yang rumit kerap kali membuat korban kelelahan baik dari segi psikis maupun biaya, yang menyebabkan korban mencabut gugatannya.

Pada dasarnya stigma masyarakat yang menganggap kekerasan seksual terjadi karena perempuannya yang menggoda, perempuan kerap kali dicap sebagai perempuan murahan, perempuan nakal juga masih kental.

Sedangkan disisi lain, pelaku sama sekali tidak disalahkan. Pada tataran kebijakan, masih banyak kebijakankebijakan yang tidak ramah terhadap perempuan. Misalnya, dalam hal penyelesaian kasus kekerasan seksual, perempuan kerap kali tidak mendapatkan haknya.

Edisi 8 - Kapan Kita Bebas Dari Kekerasan?

12

Dari segi aturan hukum, terdapat hokum yang diberikan terhadap korban perlindungan seksual yang diatur dalam Pasal 5 dan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

Dimana Pasal 5 memuat hak saksi dan korban seperti hak memperoleh perlindungan atas kemanan pribadi, memberikan keterangan tanpa tekanan, mendapat penerjemah, bebas dari pertanyaan menjerat, mendapat informasi mengenai perkembangan kasus, dirahasiakan identitasnya, mendapat identitas baru, mendapat nasihat hokum, dan lainnya (selengkapnya baca Pasal 5 UU No. 31 Tahun 2014).

Kemudian dalam pasal 6 memuat tentang perlindungan saksi dan korban yaitu korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat, korban tindak pidana kejahatan, korban tindak pidana kekerasan seksual dan korban tindak pidana kejahatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, juga berhak mendapatkan bantuan medis, dan bantuan rehabilitasi psikososial dan psikologis.

Kemudian bantuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan berdasarkan Keputusan LPSk. Dengan adanya hukum yang mengatur tentang perlindungan kepada korban kekerasan seksual tentunya membuat para pihak yang berwenang dapat memberikan perlindungan maksimal, membantu dalam meyelesaikan kasus hingga korban mendapatkan keadilan.

Edisi 8 - Kapan Kita Bebas Dari Kekerasan?

13

Hilangnya eksistensi hukum di hadapan tindak asusila Oleh: Farrel Salma

Perguruan Tinggi, Sekolah, dan Pondok Pesantren merupakan Lembaga Pendidikan, tempat setiap siswanya menimba ilmu justru menjadi tempat yang tidak aman bagi perempuan. Mengapa demikian? Seperti yang kita ketahui, Akhir 2021 menjadi tahun yang menjadi saksi maraknya kasus pelecehan seksual yang terjadi di lingkungan sekolah.

Lagi-lagi yang menjadi korban adalah perempuan, para mahasiswi dan santri. Sayangnya, diantara kasus tindakan asusila di lingkungan universitas tidak semua kasus terungkap, korban ada yang memilih bungkam lantaran merasa malu, takut tidak mendapat respon yang baik, takut jika urusan perkuliahan terkait nilai terancam, dan masih banyak lagi faktor mengapa korban memilih tutup suara akan derita yang dialaminya. Seperti kasus Pelecehan seksual yang dialami oleh mahasiswi salah satu Universitas di Makassar saat ia sedang bimbingan skripsi dengan dosennya, ia menyebutkan pihak kampus mengancam akan mempersulit kelulusannya dengan alasan ingin menjaga nama baik kampus.

Edisi 8 - Kapan Kita Bebas Dari Kekerasan?

14

Seakan-akan peran hukum jadi melemah, tentunya ini sangat dipertanyakan, Badan Legislasi merubah nama RUU PKS mrnjadi RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), namun ternyata perubahan nama RUU ini memiliki dampak serius terhadap materi muatan RUU PKS yang terdahulu secara keseluruhan, terdapat pemangkasan jenis pelecehan seksual menurut RUU yang bermula ada 9 Jenis, yakni (1) Tindak Pidana Perkosaan, (2) Pemaksaan Perkawinan, (3) Pemaksaan Pelacuran, (4) Pemaksaan Aborsi, (5) Penyiksaan Seksual, (6) Perbudakan Seksual, (7) Eksploitasi Seksual, (8) Pemaksaan Kontrasepsi, dan (9) Pelecehan Seksual, menjadi hanya 4 jenis pelecehan yakni, (1) Pelecehan Seksual fisik/non fisik, (2) Pemaksaan Kontrasepsi, (3) Pemaksaan Hubungan Seksual, dan (4) Eksploitasi Sosial. Lantas bagaimana cara mengatasi permasalahan Pelecehan Seksual yang dihilangkan? Selain hak menjalani hidup dengan aman dan masih banyak hak perempuan yang sudah banyak direnggut, Nyatakah kesetaraan gender?

Ternyata, menjadi perempuan di Indonesia tidaklah mudah, Hidup dibawah keresahan akibat berbagai Paradigma rentetan kasus yang bermunculan, Stigma, dan Norma yang ada pun seakan ikut tidak berpihak, Perempuan lah yang menjadi korbannya, Perempuan juga layak menikmati hidup, memenuhi potensi diri untuk terus berkembang mencari jati diri, Perempuan layak mempunyai mimpi, Selalu dianggap makhluk lemah bukan berarti tidak berhak memperjuangkan apa yang ingin dicapai. Gerakan Feminisme, Bela perempuan yang bermunculan juga tidak ditanggapi secara responsif yang berpengaruh skala besar untuk meminimalisir kasus pelecehan seksual. Maka dari itu untuk menuntaskannya bisa dimulai dari keberanian, untuk bilang tidak dan untuk melaporkan kepada pihak yang berwenang jika mengalami Pelecehan dalam bentuk apapun, Selain memberikan efek jera bagi pelaku, secara tidak langsung bisa menimbulkan rasa segan bagi orang lain agar tidak sekali-sekali melakukan pelecehan seksual terhadap perempuan.

Edisi 8 - Kapan Kita Bebas Dari Kekerasan?

15

Korban Pelecehan, Sudah Pasti Perempuan?

Oleh: Christy Klinisa

Mendengar kata kekerasan seksual, kita kerap membayangkan perempuan sebagai korban dan laki-laki adalah pelakunya. Padahal hal ini belum tentu benar. Kenyataannya baik perempuan ataupun laki-laki berpotensi menjadi korban dalam kasus pelecehan.

Berdasarkan Laporan Studi Kuantitatif Barometer Kesetaraan Gender yang diluncurkan Indonesia Judicial Research Society (IJRS) dan INFID Tahun 2020, terdapat 33% laki-laki yang menjadi korban dari kekerasan seksual khususnya dalam bentuk pelecehan seksual. Sebut saja kasus Reynhard Sinaga dan juga kasus pelecehan terhadap pegawai KPI sebagai contoh dari kasus pelecehan dan penganiayaan terhadap laki-laki yang dilakukan juga oleh laki-laki.

Edisi 8 - Kapan Kita Bebas Dari Kekerasan?

16

Masyarakat kita memiliki stigma bahwa laki-laki jarang atau bahkan tidak mungkin menjadi korban kekerasan dan pelecehan seksual. Kurangnya perhatian terhadap laki-laki sebagai korban kekerasan seksual disebabkan oleh budaya patriarki di masyarakat. Laki-laki yang mengalami kekerasan dan pelecehan seksual menjadi enggan untuk melapor dikarenakan takut dicemooh, dicap sebagai orang lemah, gay, atau dianggap memiliki penyimpangan seksual oleh masyarakat. Masyarakat harus mampu mengubah cara pandang mengenai kekerasan seksual yang menimpa lakilaki untuk menghindari terjadinya kekerasan seksual yang terus terulang karena tidak adanya pelaporan dan penanganan.

Perlindungan hukum bagi laki-laki sebagai korban pelecehan dan kekerasan seksual juga bisa dikatakan minim. Berdasarkan Pasal 285 hingga Pasal 288 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), korban pemerkosaan adalah seorang perempuan yang mengalami kekerasan atau ancaman kekerasan. R. Soesilo dalam bukunya yang berjudul Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, menjelaskan bahwa pembuat aturan memandang pemaksaan persetubuhan terhadap laki-laki tidak akan mengakibatkan sesuatu yang buruk atau merugikan bagi laki-laki, seperti halnya seorang perempuan yang dirugikan (hamil) atau melahirkan anak karena perbuatan itu. Mau tidak mau, Aparat Penegak Hukum kerap menggunakan Pasal 289 KUHP hingga Pasal 296 KUHP (‘perbuatan cabul’), ketika menangani kasus perkosaan terhadap laki-laki dewasa. Pasal-pasal tersebut dinilai “lebih” responsif gender sebab tidak memandang apakah perbuatan itu dilakukan oleh laki-laki terhadap perempuan, maupun sebaliknya. Unsur ‘seseorang’ yang dicantumkan dalam pasal ini berlaku untuk siapa saja.

Edisi 8 - Kapan Kita Bebas Dari Kekerasan?

17

RESENSI FILM PENYALIN CAHAYA Penyalin Cahaya adalah sebuah film Indonesia yang disutradarai oleh Wregas Bhanuteja. Film ini mengangkat tema pelecehan dan kekerasan seksual.

Film ini menceritakan tentang Seorang mahasiswi universitas tahun pertama, Sur, pergi ke pesta untuk pertama kalinya dalam hidupnya untuk merayakan pencapaian Mata Hari, grup teater universitas tempat Sur menjadi sukarelawan sebagai perancang web. Untuk merayakan kemenangan teaternya, Suryani mengiyakan ajakan berpesta dari para senior.

Keesokan pagi, dia terbangun dalam kondisi tak mengingat apapun dan harus kehilangan beasiswa karena foto unggahan dirinya yang sedang mabuk kemarin malam.

Hidup benarbenar berubah untuk Sur setelah dia bangun keesokan paginya. Dia kehilangan beasiswa dan diusir oleh keluarganya setelah selfie-nya beredar secara online. Khawatir bahwa dia mungkin menjadi korban perpeloncoan oleh anggota senior Mata Hari, Sur mencari bantuan dari teman masa kecilnya, Amin, yang bekerja dan tinggal di toko fotokopi dekat kampus.

Bersama-sama, di toko, mereka mencoba menemukan kebenaran tentang selfie dan tentang malam di pesta dengan meretas ponsel siswa.

Film ini memiliki jalan cerita yang sangat menarik karena menggambarkan kekerasan seksual dari point of view sang korban. bagaimana korban kesusahan dalam mencari kebenaran dan keadilan bagi dirinya. Dimulai dari sulitnya mencari bukti,

Oleh: Edelweis Bintang Revinda

kurangnya dukungan dari orang sekitar, menghadapi orang - orang yang tak mempercayai ceritanya, hingga mengadu pada pihak-pihak yang tak sedikit pun peduli untuk menindaklanjuti. Bukan hanya itu, film ini juga menggambarkan kenyataan di masyarakat di mana korban kekerasan seksual kerap kali harus kehilangan banyak hal di hidupnya sedangkan pelaku kekerasan seksual tetap menjalani hidupnya dengan lancar.

Relasi kekuasaan juga digambarkan pada film ini. Korban yang berasal dari keluarga sederhana sedangkan pelaku berasal dari keluarga yang kaya raya membuat pembuktian kekerasan seksual menjadi terhambat. Pelaku dengan segala tenaga dan harta yang dimilikinya dapat dengan mudah menutupi hal yang ia lakukan dan sangat mudah pula membuat orang berpihak padanya. Film ini merupakan satu film yang sangat apik untuk edukasi kekerasan seksual.

Penyalin Cahaya berhasil menggambarkan ironi yang ada di kehidupan nyata, di mana masih banyak sekali kejadian kekerasan seksual yang tidak terungkap, korban kekerasan seksual yang tidak tertolong, dan tentunya pelaku kekerasan seksual yang belum tertangkap.

Edisi 8 - Kapan Kita Bebas Dari Kekerasan?

18

PUISI Korban yang Dikurung Oleh : Christy Klinisa Korban Kita adalah korban yang dikurung Korban yang dikurung dari binatang buas Binatang buas yang memiliki setan dalam pikirannya

Jangan memakai pakaian seperti itu Jangan Berkeliaran kalau sudah gelap Jangan pergi sendirian Jangan berpacaran Jangan berteman dengan banyak laki-laki Jangan menjadi cantik Jangan menjadi langsing Jangan menarik perhatian lawan jenis Korban Kita adalah korban yang dikurung Dikurung dengan larangan Larangan yang dibuat agar terhindar dari binatang buas Binatang buas yang memiliki setan dalam pikirannya yang dapat keluar sewaktu-waktu Binatang buas yang tidak memiliki akal untuk mengurung setan dalam pikirannya Korban Kita adalah korban yang dikurung Dikurung agar setan itu tetap diam Dikurung agar binatang buas itu tetap memiliki akal sehat Kita adalah korban yang dikurung Kita adalah korban yang dikurung oleh binatang buas

Edisi 8 - Kapan Kita Bebas Dari Kekerasan?

19

GAMES TTS TIMES!!!

Oleh: Fauzan Ananta

S

A

H

3

1

O

K

X

J

H

P

O

P

A

N

V

A

X

Y

M

l

E

Q

D

(

U

W

N

I

Z

Q

9

B

U

M

H

E

Z

F

L

B

D

T

C

T

8

)

1

2

R

S

O

1

Q

P

6

T

+

G

H

!

R

G

R

9

9

5

4

Y

3

U

W

1

6

S

8

H

-

=

5

C

$

N

M

F

2

K

7

I

6

%

3

*

L

V

2

X

E

J

#

Susunan 5 14 2 13 7 14 3 12 8 9 11 10 8 6 8 14 14 4 3 1 2 TATA CARA

CLUE

1. Pembaca akan diberikan clue

1. Di pasal ini kebebasan beragama kita dijamin

2. Dari

2. Di tahun ini Indonesia merdeka

clue

yang

diberikan

pembaca akan mendapatkan

3. Tahun itu Komnas Perempuan dibentuk

angka

4. 2√1048576

3. Angka dicari

yang di

didapat

kolom

tts

akan dan

mendapatkan 4. Angka dimulai dari pojok kiri atas dan dihitung kesamping 5. Dari huruf,angka, dan simbol didapat

6. Di tahun ini kampus Unsri resmi didirikan 7. Bulan

huruf,angka,ataupun simbol

yang

5. It is s a perfect score!

maka

disusun menjadi kata

akan

ini

kita

memperingati

hari

anti

kekerasan terhadap perempuan 8. (2 x 10 – 5 + 4) + 50 9. Dimana kita merayakan kemerdekaan kita 10. Jumlah fakultas di Universitas Sriwijaya 11. Abad kita hidup 12. This is international women’s day 13. Abad dimana piagam HAM awal diciptakan 14. Di tanggal ini Pancasila dicetuskan

Edisi 8 - Kapan Kita Bebas Dari Kekerasan?

20

mediasriwijayanews.com

lpm_ms

lpmmediasriwijayanews@gmail.com

+62 899-6727-068