majalah DIDAKTIKA edisi 42

Page 45

S

Perpustakaan itu identik dengan kumpulan buku yang tertata rapih. Mudahmudahan sekian lama tidak tersentuh dan berdebu.

aat dapat tugas Sosiologi dari gurunya, siswa kelas 3 SMA 54 Tiara (17) bergegas mencari buku referensi di Perpustakaan Daerah Jakarta Timur. Ia yang sudah dua tahun menjadi anggota perpustakaan berharap dapat sumber guna memenuhi makalahnya mengenai kelompok sosial. Jarak antara sekolah dan Perpustakaan Daerah Jaktim yang dekat membuat Tiara sering berkunjung. Untuk mencari referensi tugas atau sekadar melihat buku-buku baru. Saat itu di perpustakaan seluas 10x15 meter Tiara asik kasak-kusuk mencari buku tujuannya. “Abis ngga ada OPAC (mesin pencarian buku otomastis) jadinya mesti cari satu-satu gini,” keluh Tiara. Setelah cukup lama memilah buku, Tiara kecewa. Ia tak berhasil mendapat buku yang dituju. “Sayang bukunya tidak ada,” ujarnya memelas. Biar sudah jadi anggota selama dua tahun, sebenarnya Tiara tahu kondisi perpustakaan memang tidak banyak menyediakan buku-buku baru. Makanya lawatan kali ini ia hanya mencari buku tentang kelompok sosial. Tapi hasilnya tetap mengecewakan. Ihwal koleksi di perpustakaan umum negeri bukan cuma jadi keluhan Tiara. Di tempat berbeda, Rizha mahasiswi Universitas Negeri Jakarta juga mengalaminya. Di Perpustakaan DKI Jakarta di bilangan Kuningan, Rizha mengaku kesulitan untuk mencari literasi yang mendukung skripsinya. “Iya nih, kurang lengkap. Saya mencari buku tentang pertanahan,” keluhnya. Ketidaklengkapan sumber-sumber buku menjadi lawas buat perpustakaan. Bisa jadi ini masalah utama bagi perpustakaan yang tak kunjung dijawab. (Baca: Bermimpi Perpustakaan Ramai) Sebagai salah satu sarana pendidikan, perpustakaan harus berkontribusi dalam meningkatkan tingkat membaca masyarakat. Melengkapi koleksi jadi salah satu cara. “Seharusnya perpustakaan meyediakan buku terbaru agar pembaca mau datang ke perpustakaan,’’ ujar Ketua Ikapi (Ikatan Penerbit Indonesia) Jakarta Afrizal Sinaro. Hal ini kemudian jadi

penyebab mengapa jumlah pengunjung perpustakaan sedikit. Afrizal cukup maklum dengan sedikitnya jumlah kunjungan perpustakaan. “Saya menterjemahkan perpustakaan itu identik dengan ada kumpulan buku yang tertata rapih. Mudah-mudahan sekian lama tidak tersentuh. Itu gambaran perpustakaan,” ungkapnya. Contohnya di Perpustakaan Daerah Jakarta Timur rata-rata kunjungan tiap hari hanya mencapai 50 kunjungan. Itu pun hanya kalangan terbatas. “Pengunjung disini berasal dari pelajar dan mahasiswa,” ujar Kepala Tata Usaha Kantor Perpustakaan dan Arsip Kota (KPAK) Jakarta Timur Edi Susanto. Tampilan perpustakaan yang kaku juga mempengaruhi kunjungan yang terbatas dari pelajar saja. Mahasiswa Jurusan Ekonomi Universitas Indraprasta Rangga jadi contoh, “saya kesini untuk mencari bahan skripsi. Ia mengaku ketika mengerjakan skripsi bisa dua minggu sekali datang ke perpustakaan. Edi Susanto sebenarnya agak geram dengan pengunjung yang sangat spesifik tersebut. “Mereka datang kalau ada perlunya saja. Seperti yang kuliah itu, kalau cari buku buat kuliah baru mau datang,” keluh Edi. Ia menambahkan dari kondisi tersebut ada dampak berarti ketika masa liburan sekolah, perpustakaan benar-benar sepi pengunjung. Walaupun demikian, pengunjung yang sudah datang lebih sering dapat layanan minim di perpustakaan. Pengalaman ini pernah dirasa Anton ketika sedang di Perpustakaan DKI Jakarta. Saat sedang membaca di lantai delapan, tiba-tiba petugas merapihkan bangku, dan mematikan lampu. Padahal, ketika itu belum jadwal perpustakaan tutup. “Saya jadi risih, kemudian saya keluar saja,” ujarnya. Selain fasilitas utama, seperti koleksi, kondisi ruangan yang nyaman pun mempengaruhi minat pengunjung. Edi Susanto menyadari hal ini. “Sejak masih di Rawabunga saya sudah mengajukan perbaikan, tapi ditolak,” kata Edi. Jangankan bermimpi untuk memiliki fasilitas memadai, kebutuhan Edisi 42-2012

45


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.