Juris Volume 10 Nomor 2, Desember 2020

Page 1

45

Volume 10, Nomor 2, Desember 2020 | Juris LK2 FHUI


Volume 10, Nomor 2, Desember 2020

Penanggung Jawab Redaksi Abdul Rayhan Hanggara Pemimpin Umum Darwin Setiawan Wakil Pemimpin Umum Joshua Manurung Pemimpin Redaksi Brigitta Eva Sonya S. Redaktur Pelaksana Ananda Ma’rifah Staf Redaktur Edmund Khovey

Muhammad Rafi Syamsudi

Kirei Litvia Ummi Sitkha

Tazqia Aulia Al-Djufri

Raaf Muhammad Jay Heriyantoro

Muhammad Kahlil Alfarabi

Muhammad Farrel Abhyoso

Nabila Azzahra A. K. S. Alwini

Dela Puspita Loga

Akbar Ksatriyo

Giava Zahrannisa

William Khoswan

Reshita Ayu Dyanti

Patricia Quina Gita Naviri

Melody Akita

Desain Tata Letak Della Puspita Loga

Raihan Al Hadi Nst Brigitta Eva Sonya S.

Volume 10, Nomor 2, Desember 2020 | Juris LK2 FHUI

Ananda Ma’rifah


i

Peer-reviewer

Dr. Wirdyaningsih, S.H., M.H. Akademisi Hukum Islam, Fakultas Hukum Universitas Indonesia

Wenny Setiawati, S.H., M.L.I. Akademisi Hukum Ekonomi, Fakultas Hukum Universitas Indonesia

Dr. Mutiara Hikmah, S.H., M.H. Akademisi Hukum Internasional, Fakultas Hukum Universitas Indonesia

Dr. Brian Amy Prastyo, S.H., M.L.I., LL.M Akademisi Hukum Telematika, Fakultas Hukum Universitas Indonesia

Nathalina, S.H., M.H. Akademisi Hukum Pidana, Fakultas Hukum Universitas Indonesia

Volume 10, Nomor 2, Desember 2020 | Juris LK2 FHUI


ii

PENGANTAR REDAKSI

Seiring berjalannya waktu, dan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, tentunya hal tersebut turut mempengaruhi dunia hukum, dimana hal tersebut mengharuskan seorang sarjana maupun mahasiswa hukum, untuk mengembangkan ilmunya. Agar hukum dapat menyesuaikan dan mengikuti tuntutan zaman, sehingga dapat menjadi pengendali dalam kehidupan masyarakat untuk mencapai sebuah kepastian hukum dan keadilan agar tercipta kehidupan masyarakat yang makmur, adil, dan sejahtera. Demi menyelenggarakan cita-cita tersebut, tentunya diperlukan pihak-pihak untuk turut menghasilkan ide bagi produk hukum. Pihak-pihak tersebut dapat terdiri dari pemerintah, pihak swasta, serta masyarakat sipil, yang mana memiliki perannya masingmasing guna menciptakan sebuah tatanan hukum, serta memberi ruang bagi para pihak untuk bergerak dan dapat mencurahkan ide-idenya dengan bebas namun tetap dengan batasan-batasan sesuai dengan hak dan kewajiban para pihak dalam lingkup hukum. Untuk mengimbangi perkembangan yang terjadi pada dunia dan ilmu pengetahuan khususnya di bidang hukum saat ini, maka sudah sepatutnya suatu entitas dapat turut serta menyumbangkan ide-ide dan pemikirannya dalam karya yang nyata. Hal ini dikarenakan dedikasi pemikiran tersebut dapat bermanfaat dalam hal memberikan sebuah pandangan baru pada hukum itu sendiri, yang sifatnya dinamis oleh karena adanya perubahan dunia dari waktu ke waktu. Melihat hal tersebut, tentunya kita harus lebih giat dan bergerak cepat agar tidak tertinggal melihat pesatnya waktu berjalan dan perubahan yang terus terjadi. Kita perlu mencari solusi dan pemikiran baru yang sebelumnya belum ada dan tidak diatur untuk menciptakan keadilan hukum bagi seluruh rakyat. Juris merupakan salah satu implementasi, karya nyata yang dapat mendukung, menyeimbangi, dan mengisi perubahan yang terjadi. Juris sebagai jurnal hukum dari Lembaga Kajian dan Keilmuan Fakultas Hukum Universitas Indonesia (LK2 FHUI) memuat gagasan serta pemikiran para praktisi, akademisi, serta mahasiswa-mahasiswi hukum yang berkontribusi menciptakan dan mengembangkan gagasan dan pemikirannya. Melalui Juris, kami memberikan ruang dan kesempatan bagi para penulis untuk berkarya dan menuangkan ide serta pemikirannya untuk terus mempertajam pemikiran dan daya kritis mahasiswa hukum dalam menanggapi dan melihat berbagai peristiwa yang terjadi Volume 10, Nomor 2, Desember 2020 | Juris LK2 FHUI


iii

pada dunia saat ini, baik dalam kancah nasional, regional, maupun internasional. Oleh karenanya, Tim Redaksi berharap kiranya para pembaca sekalian dapat memperoleh manfaat dari tulisan-tulisan yang termuat dalam Juris ini, guna menambah wawasan dan kami berharap kiranya Juris dapat menginspirasi pembaca untuk turut serta berkarya nyata, dalam berbagai penemuan hukum lainnya yang diharapkan terus tercipta dari berbagai entitas serta fakultas hukum di seluruh Indonesia. Sehingga hal ini dapat memberikan kontribusi bagi bangsa dan negara pada masa kini dan di masa yang akan datang. Akhir kata, kami dari tim redaksi mengucapkan banyak terima kasih kepada seluruh pihak yang telah membantu dan terlibat dalam proses penyusunan jurnal hukum “Juris� ini. Kami sebagai Tim Redaksi juga membuka diri dan mengharapkan kritik dan masukan yang dapat membangun dan menjadikan Juris semakin baik lagi di edisi kedepannya. Kami berharap agar Juris ini dapat menjadi acuan dan dapat berguna bagi banyak pihak terutama para mahasiswa dalam menimba ilmu dan wawasan hukum yang lebih luas dan berguna bagi para pembaca dan negara.

Selamat membaca, Tim Redaksi Juris

Volume 10, Nomor 2, Desember 2020 | Juris LK2 FHUI


iv

SAMBUTAN DIREKTUR EKSEKUTIF LK2 FHUI 2020 Assalamualaikum Wr. Wb. Salam sejahtera bagi kita semua. Lembaga Kajian Keilmuan Fakultas Hukum Universitas Indonesia atau yang biasa dikenal dengan LK2 FHUI merupakan lembaga yang bergerak di bidang kajian, penulisan, penelitian dan jurnalistik yang berdasar keilmuan. Serta senantiasa menyumbangkan

ide

mengembangkan ilmu

dan

gagasannya

untuk

pengetahuan khususnya

dalam bidang hukum. Tujuan LK2 FHUI berdiri adalah untuk menumbuhkembangkan pola pikir pada anggota LK2 FHUI khususnya dan mahasiswa pada umumnya. Hal tersebut yang menjadi dasar dari semangat dan tekad kami untuk mencetak insan-insan yang berpikir kritis, altruis dan meningkatkan kemampuan kognitif seperti pemahaman dan analisis yang dapat digunakan oleh anggota LK2 FHUI untuk menciptakan produk-produk yang bermutu dan berkualitas tinggi. Oleh karena itu, saya berharap produk-produk tersebut mampu membawa dampak positif bagi para pembaca dan penulis untuk meningkatkan kemampuan berpikir sesuai dengan nilai yang dipegang oleh LK2 FHUI. Juris merupakan salah satu produk kebanggaan LK2 FHUI yang dikelola secara langsung dan mandiri oleh Bidang Literasi dan Penulisan. Juris adalah jurnal ilmiah hukum yang ditulis oleh akademisi, praktisi maupun mahasiswa semester akhir. Produk Juris merupakan sebuah kebanggaan sekaligus bukti nyata akan sumbangsih LK2 FHUI dalam perkembangan ilmu hukum. Juris telah ada sejak tahun 2011 hingga sekarang. Pada setiap tahunnya, Juris akan terbit dalam dua edisi, yakni di bulan Juli dan Desember. Semenjak tahun 2018, pengkhususan dalam tema Juris telah dihapuskan demi mempertahankan dan meningkatkan kualitas tulisan Juris secara umum. Hal itu yang membuat para penulis lebih fleksibel sekaligus fokus dalam pembahasan yang akan di tulisnya secara terstruktur dalam menuangkan ide dan gagasan para penulis.

Volume 10, Nomor 2, Desember 2020 | Juris LK2 FHUI


v

Besar harapan kami Juris dapat menjadi ujung tombak bagi jurnal ilmiah hukum mahasiswa dan bagi perkembangan ilmu pengetahuan khususnya di bidang hukum untuk kedepannya. Kehadiran Juris kali ini diharapkan pula dapat memuaskan hasrat para pembaca dan sebagai kunci dari penyelesaian masalah yang solutif yang dapat digunakan oleh FH, UI dan Indonesia. Akhir kata, saya ingin mengucapkan terima kasih banyak untuk semua pihak yang terlibat dalam proses penyusunan Juris Volume 10 No. 2 Edisi Desember 2020, mulai dari penulis, peer reviewer, beserta seluruh jajaran tim redaksi Juris Volume 10 No. 2 Edisi Desember 2020. Semoga segala ilmu dan pengetahuan yang disampaikan dalam Juris kali ini dapat bermanfaat bagi para pembaca, serta apabila ada kekurangan dengan segala kerendahan hati mohon dimaafkan. Terima kasih, selamat membaca! Wassalamualaikum Wr. Wb.

Abdul Rayhan Hanggara Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Keilmuan Fakultas Hukum Universitas Indonesia

Volume 10, Nomor 2, Desember 2020 | Juris LK2 FHUI


DAFTAR ISI PEER REVIEWER……………………………………...……………………………………

i

PENGANTAR REDAKSI……………………………………………...…………………….

ii

SAMBUTAN DIREKTUR EKSEKUTIF LK2 FHUI 2020…………………………………

iv

Kedudukan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMH) Dalam Eksekusi Tanah yang Melalui Akad Rahn Tasjily Indah Lestari Hutabarat……………………………………………………………………

1

Status Pembatasan Hak Imunitas Advokat Dalam Obstruction Of Justice Tindak Pidana Korupsi Widya Granawati……………………………………………………………………………

22

Why We Still Need the Indische Staatsregeling: a Take on Indonesia’s Controversial Colonial Legacy through the Eyes of Contemporary Politics, History, and Legal Pluralism Rizky Bayuputra…………………………………………………………………………….

50

SHARENTING: Potensi Pelanggaran Hak Privasi Anak Oleh Orang Tua di Media Sosial Rosmedia Tiurmaida Hasugian…………………………………………...……………….

72

Tinjauan Hukum Pidana Korupsi Terhadap Gratifikasi Seksual Panji Purnama…………………………………………...………………………………….

Volume 10, Nomor 2, Desember 2020 | Juris LK2 FHUI

90


1

KEDUDUKAN SURAT KUASA MEMBEBANKAN HAK TANGGUNGAN (SKMHT) DALAM EKSEKUSI TANAH YANG MELALUI AKAD RAHN TASJILY

Oleh: Indah Lestari Hutabarat Mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Padjajran Angkatan 2016 Korespondensi: indah16010@mail.unpad.ac.id Djanuardi Dosen Fakultas Hukum Universitas Padjajaran Korespondensi: djanuardi1111@gmail.com Nun Harrieti Dosen Fakultas Hukum Universitas Padjajaran Korespondensi: nun_harrieti@yahoo.com Abstrak Perkembangan model pembiayaan syariah salah satunya adalah pembiayaan dengan jaminan sertifikat tanah melalui akad rahn tasjily di Pegadaian Syariah. Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) digunakan untuk mengikat jaminan hak atas tanah tersebut. Jika dilihat dari UU Hak Tanggungan diketahui bahwa kedudukan SKMHT tersebut hanya sebatas surat kuasa khusus untuk pembebanan hak tanggungan bukan sebagai lembaga jaminan hak atas tanah. Sehingga pengikatan jaminan yang seperti ini selain tidak sesuai dengan prinsip maslahah dalam ekonomi Islam, juga dapat menimbulkan permasalahan seperti terganggunya hak pemegang jaminan hak atas tanah dan ketidakpastian dalam pelaksanaan eksekusi objek jaminan apabila terjadi wanprestasi. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode penelitian hukum normatif. Hasil penelitian menentukan bahwa SKMHT tidak berlaku sebagai marhun pinjaman karena SKMHT tidak memiliki kekuatan penjaminan dan eksekusi. Apabila SKMHT tersebut tidak dilanjutkan dengan pendaftaran Hak Tanggungan, sesuai ketentuan Pasal 15 ayat (6) UU Hak Tanggungan, maka SKMHT akan batal demi hukum.

Kata Kunci: SKMHT, Akad Rahn Tasjily, Rahn Tanah, Hak Tanggungan.

Volume 10, Nomor 2, Desember 2020 | Juris LK2 FHUI


2

Abstract One of the developments in the Islamic financing model is financing with guarantees of land certificates through the rahn tasjily contract at the Islamic Pegadaian. The Power of Attorney Imposing Mortgage Rights (SKMHT) is used to bind the guarantee of land rights. If seen from the Mortgage Law it is known that the position of SKMHT is only limited to a special power of attorney for the imposition of mortgage rights not as an institution guaranteeing land rights. So that binding guarantees like this in addition to not in accordance with the principles of maslahah in Islamic economics, can also lead to problems such as the disruption of the rights of the holders of guarantees of land rights and uncertainty in the execution of the execution of collateral objects in the event of default. This research uses the normative legal research method. The results of the study determine that SKMHT does not apply as a loan marhun because SKMHT does not have the guarantee and execution power. If the SKMHT is not followed by registration of the Underwriting Right, in accordance with Article 15 paragraph (6) of the Underwriting Right Act, the SKMHT will be null and void.

Keywords: SKMHT, Rahn Tasjily Contract, Rahn Land, Mortgage Right.

Volume 10, Nomor 2, Desember 2020 | Juris LK2 FHUI


3

I.

PENDAHULUAN Pembangunan ekonomi nasional tidak terlepas dari peran ekonomi syariah. Ekonomi syariah dibangun dengan teori maslahah sebagai fondasi bangunan syariah Islam, baik menyangkut kehidupan duniawi maupun kehidupan ukhrawi.1 Teori Maslahah menurut al-Gazali adalah memelihara dan mewujudkan tujuan Syara’ yang berupa memelihara agama, jiwa, akal budi, keturunan, dan harta kekayaan. 2 Konsep maslahah dalam ekonomi syariah akan mendukung pembangunan ekonomi nasional, karena dasar dari maslahah adalah mendatangkan manfaat dan menolak kemudharatan.3 Pegadaian Syariah sebagai bentuk dari pengembangan usaha gadai dengan prinsip syariah merupakan lembaga keuangan yang menyediakan transaksi pembiayaan dan jasa gadai berdasarkan prinsip syariah Islam.4 Landasan konsep Pegadaian Syariah mengacu kepada Syariah Islam yakni al- Quran dan al-Hadis. Dalam Quran surah al-Baqarah ayat 283 dinyatakan bahwa apabila seseorang bermuamalat secara tidak tunai maka hendaknya ada barang tanggungan atau barang jaminan milik yang berutang yang dipegang oleh pihak yang berpiutang. Dasar hukum lainnya ada dalam beberapa hadis diantaranya adalah hadis yang diucapkan oleh Aisyah dan diriwayatkan oleh Bukhari-Muslim yang berbunyi Aisyah berkata bahwa: Rasulullah SAW membeli makanan dari seorang yahudi dan meminjamkan kepadanya baju besi. Hadis dan ayat al-Quran tersebut yang kemudian menjadi salah satu dasar hukum Rahn (agunan) yang termuat dalam Fatwa DSN No: 25/DSN- MUI/III/2002 Tentang Rahn (selanjutnya disebut Fatwa DSN tentang Rahn) tanggal menyatakan

bahwa

26

Juni

2002

yang

pinjaman dengan menggadaikan barang sebagai jaminan utang

dalam bentuk rahn adalah diperbolehkan. Rahn Tasjily Tanah (Rahn Tanah) adalah salah satu fitur produk Pegadaian Syariah Rahn yang jaminannya berupa bukti kepemilikan tanah atau sertifikat tanah dan Asmawi, “Konseptualisasi Teori Maslahah,” Salam: Jurnal Filsafat dan Budaya Hukum Vol. 12, No. 2 (2014), hlm 316. 2 Ibid., hlm. 314. 3 Ahmad Qorib dan Isnaini Harahap, “Penerapan Maslahah Mursalah dalam Ekonomi Islam: Analytica Islamica,” Vol. 5, No. 1 (2016), hlm 56. 4 Pegadaian Syariah, “Pengertian dan Produk Pegadaian Syariah,” https://pegadaiansyaria h.co.id/Pengertian-dan-produk-pegadaian-syariah-yang-bisa-anda-simak-detail, diakses 14 Maret 2020 1

Volume 10, Nomor 2, Desember 2020 | Juris LK2 FHUI


4

ditujukan kepada petani dan pengusaha mikro.5 Dalam perjanjian rahn tanah, pihak nasabah menyerahkan jaminan berupa sertifikat tanah sah milik nasabah kepada Pegadaian Syariah untuk menjamin piutang. Pelaksanaan rahn tanah ini berdasarkan pada Fatwa DSN MUI No: 92/DSNMUI/IV/2014 tentang Pembiayaan yang Disertai Rahn (selanjutnya disebut Fatwa DSN tentang Pembiayaan yang Disertai Rahn) dan Fatwa DSN MUI Nomor: 68/DSNMUI/III/2008 tentang Rahn Tasjily (selanjutnya disebut Fatwa DSN tentang Rahn Tasjily). Rahn Tasjily Tanah yang digagas oleh PT. Pegadaian (Persero) bertujuan untuk memberikan kesempatan bagi petani guna memperoleh pembiayaan dan bagi pengusaha mikro guna mengembangkan usahanya, dengan jaminan berupa bukti kepemilikan tanah atau sertifikat tanah. Adapun ketentuan tanah adalah tanah produktif, diatasnya terdapat tanaman pertanian atau kandang ternak permanen dan memberikan hasil yang dapat diperjualbelikan. Pelaksanaan rahn tasjily tanah oleh PT. Pegadaian (Persero) dilaksanakan melalui kerjasama dengan Kementrian Agraria dan Tata Ruang atau Badan Pertanahan Nasional (BPN).6 Pemberian pembiayaan syariah dengan rahn tanah membutuhkan adanya pengikatan ke lembaga jaminan lain yang tepat terkait dengan pembebanan jaminan atas tanah. Undang – Undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 Tahun 1960 sebagai pengejawantahan dari hukum tanah nasional dalam hal ini telah mengatur mengenai lembaga hak penjamin atas utang yang selanjutnya disebut sebagai lembaga jaminan Hak Tanggungan sebagaimana diatur dalam Undang – Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-benda yang Berkaitan Dengan Tanah (selanjutnya disebut UU Hak Tanggungan). Apabila dilihat dari UU Hak Tanggungan Pasal 1 ayat (5), Pasal 10 ayat (1) dan (2), Pasal 13 ayat (1), (2) dan (5), Pasal 14 dan Pasal 15 ayat (3),(4) dan (6), diperoleh pemahaman bahwa hak jaminan yang berupa Hak Tanggungan akan didapatkan oleh Pegadaian Syariah, “Rahn Tasjily Tanah,” https://pegadaiansyariah.co.id/rahn-tasjily-tanah, diakses 14 Maret 2020. 6 Informasi dari Bapak Hadhi, Staff – PT Pegadaian (Persero) UPS Rancaekek, Bandung. 5

Volume 10, Nomor 2, Desember 2020 | Juris LK2 FHUI


5

kreditur apabila Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) dilanjutkan dengan pembuatan Pemberian Hak Tanggungan melalui Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) oleh PPAT dan Pendaftaran Hak Tanggungan hingga terbitnya Sertifikat Hak Tanggungan (SHT). SHT inilah yang menjadi bukti lahirnya lembaga jaminan hak tanggungan. Akibat pendaftaran Hak Tanggungan tersebut akan muncul hak dari pemegang Hak Tanggungan sebagaimana ketentuan dalam Pasal 14 ayat (1), (2) dan (3) UU Hak Tanggungan yakni dapat melakukan eksekusi terhadap Hak Tanggungan yang telah dibebankan atas tanah tanpa harus melalui proses gugat-menggugat (proses litigasi). Sehingga jelaslah bahwa UU Hak Tanggungan memberikan ketentuan-ketentuan bagi kemudahan dan kepastian atas pelaksanaan eksekusi Hak Tanggungan sebagai jaminan utang terhadap benda-benda tak bergerak, karena sertifikat Hak Tanggungan berkekuatan eksekutorial.7 Ketentuan perolehan hak jaminan dari Hak Tanggungan tersebut, berbeda dengan praktiknya pada Rahn Tanah yang cukup sampai tahap legislasi pembuatan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) saja tanpa diikuti dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) oleh PPAT dan Pendaftaran Hak Tanggungan hingga terbitnya Sertifikat Hak Tanggungan (SHT). Pembiayaan rahn tanah tersebut diberikan dengan ketentuan nilai pinjamannya mulai dari 1 juta sampai dengan 200 (dua ratus) juta rupiah.8 Berdasarkan uraian di atas, dikarenakan sifat dari SKMHT pada ketentuan Pasal 15 ayat (1) huruf a UU Hak Tanggungan yakni tidak memuat kuasa untuk melakukan perbuatan hukum lain, dalam penjelasan pasal misalnya tidak memuat kuasa untuk menjual, menyewakan obyek Hak Tanggungan atau memperpanjang hak atas tanah. Maka pengikatan jaminan pada rahn tanah ini dapat menimbulkan beberapa permasalahan terutama dalam hal pelaksanaan eksekusi objek jaminan apabila terjadi cidera janji atau wanprestasi.

7 Henny Tanuwidjaja, Pranata Hukum Jaminan Utang dan Sejarah Lembaga Hukum Notariat, (Jakarta: PT. Refika Aditama, 2012), hlm. 37. 8 Informasi dari Ibu Hety Herawati, Pimpinan Cabang Pegadaian Syariah Padasuka, Bandung.

Volume 10, Nomor 2, Desember 2020 | Juris LK2 FHUI


6

Permasalahan lain yang dapat ditimbulkan akibat pengikatan jaminan hak atas tanah dengan SKMHT adalah terganggunya hak pemegang hak tanggungan (sebagaimana ketentuan dalam Pasal 14 ayat (1), (2) dan (3) UU Hak Tanggungan), ketidakpastian hukum kedudukan dan kepentingan para pihak akibat dari tidak terpenuhinya asas publisitas, serta ketidakjelasan kedudukan SKMHT sebagai marhun pinjaman. Berdasarkan uraian latar belakang permasalahan di atas, selanjutnya penulis tertarik untuk mengkaji lebih dalam tentang kedudukan dan kekuatan eksekusi dari SKMHT pada Rahn Tasjily Tanah, dengan nilai pinjaman mulai dari 1 juta sampai 200 (dua ratus) juta rupiah, dalam pembiayaan syariah di Indonesia. Mengingat rahn tanah melalui akad rahn tasjily merupakan jenis pembiayaan syariah, maka konsep pelaksanaannya juga harus menerapkan nilai-nilai syariat Islam. Salah satunya adalah dasar konsep maslahah yakni mendatangkan manfaat dan menolak kemudharatan. Oleh karenanya penulis tertarik mengkaji hal ini agar kemudian diharapkan adanya penyesuaian bermuamalat dengan konsep Islam.

II.

PEMBAHASAN Pasal 1 ayat (1) UU Hak Tanggungan menyatakan bahwa hak tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, yang selanjutnya disebut hak tanggungan, adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok – Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lain. Kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap objek hak tanggungan harus ada pada pemberi hak tanggungan pada saat pendaftaran

hak tanggungan

dilakukan. Pemegang hak tanggungan adalah orang perseorangan atau badan hukum yang berkedudukan sebagai pihak yang berpiutang.9

9

Augustinus Simanjuntak, Hukum Bisnis Sebuah Pemahaman Integratif antara Hukum dan Praktik

Volume 10, Nomor 2, Desember 2020 | Juris LK2 FHUI


7

Hak Tanggungan juga dapat diartikan sebagai suatu hak kebendaan yang harus dibuat dengan akta otentik dan didaftarkan serta bersifat accesoir dan eksekutorial. Hak Tanggungan memberikan kedudukan prioritas bagi pemegangnya untuk mendapat pembayaran utang terlebih dahulu daripada kreditor lainnya. Dengan cara eksekusi melalui pelelangan umum atau bawah tangan atas tagihan-tagihan dari kreditor pemegang hak tanggungan, dan yang mengikuti benda objek jaminan ke manapun objek hak tanggungan tersebut dialihkan.10 Menurut Pasal 10 ayat (2) UU Hak Tanggungan, pemberian hak tanggungan dilakukan dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.11 PPAT adalah pejabat umum yang diberi wewenang untuk membuat akta pemindahan hak atas tanah, akta pembebanan hak atas tanah, dan akta pemberian kuasa membebankan Hak Tanggungan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.12 Pasal 13 UU Hak Tanggungan menetapkan bahwa pemberian hak tanggungan wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan selambat-lambatnya 7 hari kerja setelah penandatanganan APHT, PPAT wajib mengirimkan APHT yang bersangkutan dan warkah lain yang diperlukan.13 Warkah yang dimaksud, meliputi surat-surat bukti berkaitan dengan objek hak tanggungandan identitas pihak-pihak yang bersangkutan, termasuk di dalamnya sertifikat hak atas tanah dan/atau surat-surat keterangan mengenai objek hak tanggungan. Dalam hal ini, PPAT wajib melaksanakan hal tersebut, karena jabatannya dan sanksi atas pelanggaran hal tersebut akan ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang jabatan PPAT.14 Pasal 13 ayat (3) UU Hak Tanggungan menegaskan bahwa pendaftaran hak tanggungan dilakukan oleh Kantor Pertanahan dengan membuat buku tanah hak tanggungan dan mencatatnya dalam buku tanah hak atas tanah yang menjadi objek hak

Bisnis, (Depok: Rawajali Pers, 2018), hlm.100. 10 Munir Fuady, Hukum Jaminan Utang, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2013), hlm.68. 11 Indonesia, Undang – Undang Hak Tanggungan, UU No. 4 Tahun 1996, LN No. 42 Tahun 1996, TLN No. 3632, Ps. 10 Ayat (2). 12 Ibid., Ps. 1 Ayat (4). 13 Ibid., Ps. 13 Ayat (1) dan (2). 14 Sutardja Sudrajat, Pendaftaran Hak Tanggungan dan Penerbitan Sertifikatnya, (Bandung: Mandar Maju, 1997), hlm. 54.

Volume 10, Nomor 2, Desember 2020 | Juris LK2 FHUI


8

tanggungan serta menyalin catatan tersebut pada sertifikat hak atas tanah yang bersangkutan.15 Pendaftaran ini merupakan wujud pemenuhan dari asas publisitas. Pasal 14 ayat (1) dan (5) UU Hak Tanggungan menetapkan sebagai tanda bukti adanya hak tanggungan, Kantor Pertanahan menerbitkan Sertifikat Hak Tanggungan dan diserahkan kepada pemegang hak tanggungan.16Sertifikat hak tanggungan merupakan bukti lahirnya hak tanggungan, yang ditandai dengan adanya tanggal pendaftaran atau pencatatannya dalam buku tanah hak tanggungan.17 Pasal 14 ayat (2) UU Hak Tanggungan menentukan bahwa sertifikat hak tanggungan memuat irah-irah dengan kata-kata “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”, yang selanjutnya ditetapkan bahwa sertifikat hak tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.18 Dengan demikian, jika debitor cidera janji maka eksekusi terhadap hak tanggungan dapat segara dilakukan tanpa harus melalui proses gugat-menggugat (proses litigasi).19 Pada dasarnya, dalam proses pembuatan hak tanggungan wajib dilakukan sendiri oleh pemberi hak tanggungan. Namun, dalam kondisi khusus yang menyebabkan pemberi hak tanggungan berhalangan hadir menghadap langsung ke Notaris/PPAT, UU Hak Tanggungan dalam hal ini memberikan akses kemudahan dengan menggunakan SKMHT. Fungsi SKMHT di sini hanya sebatas akta pemberian kuasa khusus untuk pembuatan APHT dan harus dibuat dalam bentuk akta Notaris atau akta PPAT (sesuai Pasal 15 ayat (1) UU Hak Tanggungan).20 Pasal 15 ayat (1) huruf a dan b, menetapkan bahwa SKMHT tidak boleh memuat Indonesia, Undang – Undang Hak Tanggungan, UU No. 4 Tahun 1996, LN No. 42 Tahun 1996, TLN No. 3632, Ps. 13 Ayat (3). 16 Ibid., Ps. 14 Ayat (1) dan (5). 17 Boedi Harsono dan Sudartanto Wiriodarsono, Konsepsi Pemikiran Tentang UUHT, (Bandung: Makalah Seminar Nasional, 27 Mei 1996), hlm 17. 18 Indonesia, Undang – Undang Hak Tanggungan, UU No. 4 Tahun 1996, LN No. 42 Tahun 1996, TLN No. 3632, Ps. 14 Ayat (3). 19 Henny Tanuwidjaja, Pranata Hukum Jaminan Utang dan Sejarah Lembaga Hukum Notariat, (Jakarta: PT. Refika Aditama, 2012), hlm. 37. 20 Made Oka Cahyadi Wiguna, “Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan dan Pengaruhnya Terhadap Pemenuhan Asas Publisitas Dalam Proses Pemberian Hak Tanggungan,” Jurnal Legislasi Indonesia Vol. 14 No. 04 (Desember 2017), hlm 442. 15

Volume 10, Nomor 2, Desember 2020 | Juris LK2 FHUI


9

kuasa untuk melakukan perbuatan hukum lain selain membebankan Hak Tanggungan dan tidak boleh memuat kuasa substitusi. Dengan demikian, SKMHT memiliki jangkauan penggunaan yang terbatas. Keterbatasan jangkauan SKMHT ini seperti, tidak membenarkan pemegangnya untuk menjual ataupun menyewakan objek Hak Tanggungan. Apabila terjadi wanprestasi seperti kredit macet, keterbatasan jangkaun SKMHT tersebut justru dapat menjadi masalah di kemudian hari. Oleh karena kewenangan eksekusi bagi pemegang SKMHT adalah tidak dibenarkan menurut Undang – Undang Hak Tanggungan. Pasal 15 ayat (1) huruf (a) dan (b) “Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan wajib dibuat dengan akta notaris atau akta PPAT dan memenuhi persyaratan sebagai berikut: (a) tidak memuat kuasa untuk melakukan perbuatan hukum lain daripada membebankan Hak Tanggungan; (b) tidak memuat kuasa substitusi. Pasal 15 ayat (3) dan (4) UU Hak Tanggungan memberikan pembatasan mengenai berlakunya SKMHT. Dengan konsekuensi pada Pasal 15 ayat (6) SKMHT akan batal demi hukum apabila SKMHT tidak diikuti dengan pembuatan APHT dalam batas waktu yang ditentukan. Sekalipun menurut Pasal 5 ayat (6) UU Hak Tanggungan, tidak ditutup kemungkinan untuk membuat SKMHT baru apabila SKMHT yang lama telah batal karena berakhir jangka waktunya.21 Batas waktu yang ditetapkan dalam UU Hak Tanggungan tersebut diantaranya, SKMHT mengenai hak atas tanah yang sudah terdaftar wajib diikuti dengan pembuatan APHT selambat-lambatnya 1 (satu) bulan sesudah diberikan.22 Sedangkan SKMHT mengenai hak atas tanah yang belum terdaftar wajib diikuti dengan pembuatan APHT

21 Wiguna, “Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan dan Pengaruhnya Terhadap Pemenuhan Asas Publisitas Dalam Proses Pemberian Hak Tanggungan,” hlm. 112. 22 Indonesia, Undang – Undang Hak Tanggungan, UU No. 4 Tahun 1996, LN No. 42 Tahun 1996, TLN No. 3632, Ps. 15 Ayat (3).

Volume 10, Nomor 2, Desember 2020 | Juris LK2 FHUI


10

selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan sesudah diberikan.23 Apabila persyaratan tentang jangka waktu tersebut tidak dipenuhi, maka SKMHT menjadi “batal demi hukum” (Pasal 15 ayat (6) UU Hak Tanggungan). Pasal 15 ayat (6) “Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan yang tidak diikuti dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan dalam waktu yang ditentukan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (3) atau ayat (4), atau waktu yang ditentukan menurut ketentuan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (5) batal demi hukum.” Ketentuan mengenai jangka waktu sebagaimana dimaksud pada Pasal 15 ayat (3) dan (4) UU Hak Tanggungan, tidak berlaku dalam hal SKMHT diberikan untuk menjamin kredit tertentu yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.24 Demikian ditentukan oleh Pasal 15 ayat UU Hak Tanggungan, sebagai berikut: Pasal 15 ayat (5) “Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan (4) tidak berlaku dalam hal Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan diberikan untuk menjamin kredit tertentu yang ditetapkan dalam peraturan perundangundangan yang berlaku.” Menurut Penjelasan Pasal 15 ayat (5) UU Hak Tanggungan, kredit tertentu yang dimaksud dalam ayat (5) misalnya adalah kredit program, kredit kecil, kredit pemilikan rumah, dan kredit lain yang sejenis. Penentuan berlaku batas waktu SKMHT untuk jenis kredit tersebut dilakukan oleh Menteri yang berwenang di bidang pertanahan setelah mengadakan koordinasi dan konsultasi dengan Menteri Keuangan, Gubernur Bank

Indonesia, Undang – Undang Hak Tanggungan, Ps. 15 Ayat (4). Sutan Remy Sjahdeini, Hak Tanggungan Asas–Asas Ketentuan–Ketentuan Pokok dan Masalah Yang Dihadapi Oleh Perbankan (Suatu Kajian Mengenai Undang–Undang Hak Tanggungan), (Bandung: Penerbit Alumni, 1999), hlm. 112. 23 24

Volume 10, Nomor 2, Desember 2020 | Juris LK2 FHUI


11

Indonesia. dan pejabat lain yang terkait.25 Adapun ketentuan pelaksana dari Pasal 15 ayat (5) UU Hak Tanggungan adalah Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang / Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia No. 22 Tahun 2017 Tentang Penetapan Batas Waktu Penggunaan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan Untuk Menjamin Pelunasan Kredit Tertentu (selanjutnya disebut Permen Agraria dan Tata Ruang/ Kepala BPN RI 22 Tahun 2017). Alasan diterbitkannya Permen Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN RI No. 22 Tahun 2017 adalah karena penggunaan SKMHT yang terus meningkat dalam kredit mikro. Hal ini menunjukkan bahwa dalam kredit mikro baik perbankan maupun nonperbankan, sebagai lembaga penyalur dana, tetap membutuhkan jaminan dalam memberikan fasilitas kredit/pinjaman. Pasal 2 dan Pasal 3 dari Permen Agraria dan Tata Ruang/ Kepala BPN RI Nomor 22 Tahun 2017 menetapkan bahwa batas waktu berlakunya SKMHT terbagi atas 2 (dua) batasan waktu yaitu SKMHT yang berlaku sampai dengan berlakunya perjanjian pokok (Pasal 2) dan SKMHT yang berlaku sampai 3 (tiga) bulan (Pasal 3). Ketentuan pembagian batas waktu berlakunya SKMHT tersebut berlaku sesuai kriterianya masing-masing, sebagai berikut: Pasal 2 Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan untuk menjamin pelunasan

kredit/pembiayaan/pinjaman

berlaku

sampai

dengan

berakhirnya perjanjian pokok yaitu sebagai berikut: a. Kredit/Pembiayaan/Pinjaman yang diberikan kepada nasabah Usaha Mikro dan Usaha Kecil, dalam lingkup pengertian usaha produktif milik perorangan dan/atau badan usaha perorangan. b. Kredit/Pembiayaan/Pinjaman yang ditujukan untuk pengadaan

25

Sjahdeini, Hak Tanggungan Asas–Asas Ketentuan–Ketentuan Pokok dan Masalah Yang Dihadapi Oleh Perbankan, hlm. 113.

Volume 10, Nomor 2, Desember 2020 | Juris LK2 FHUI


12

perumahan yaitu: 1) Kepemilikan atau perbaikan rumah inti, rumah sederhana atau rumah susun dengan luas tanah maksimum 200 m² (dua ratus meter persegi) dan luas bangunan tidak lebih dari 70 m² (tujuh puluh meter persegi); dan 2) Kepemilikan atau perbaikan Kapling Siap Bangun (KSB) dengan luas tanah 54 m² (lima puluh empat meter persegi) sampai dengan 72 m² (tujuh puluh dua meter persegi) dan kredit yang diberikan untuk membiayai bangunannya. c. Kredit/Pembiayaan/Pinjaman produktif lainnya dengan plafon sampai dengan Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). Pasal 3 Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan yang berlaku sampai 3 (tiga) bulan, terhadap hak atas tanah yang sertipikatnya sedang dalam masa pengurusan, dengan kriteria sebagai berikut: a. Kredit/Pembiayaan/Pinjaman produktif untuk Usaha Mikro/Usaha Kecil dengan plafon kredit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) sampai dengan Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah). b. Kredit/Pembiayaan/Pinjaman yang ditujukan untuk pengadaan rumah toko oleh Usaha Mikro/Usaha Kecil dengan paling luas sebesar 200 m² (dua ratus meter persegi) dan luas bangunan paling luas sebesar 70 m² (tujuh puluh meter persegi) dengan plafon kredit/ pembiayaan/pinjaman tidak melebihi Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) yang dijamin dengan hak atas tanah yang dibiayai pengadaannya dengan kredit, pembiayaan, atau pinjaman tersebut.

Volume 10, Nomor 2, Desember 2020 | Juris LK2 FHUI


13

Mengingat dalam kredit mikro, benda yang menjadi jaminan kredit tidak dikuasai secara fisik, tetapi hanya memiliki hak kebendaan secara administratif.26 Maka terdapat konsekuensi pengikatan objek jaminan berupa tanah yang prosesnya hanya sampai pembuatan SKMHT, yakni secara faktual kreditur tidak memiliki hak kebendaan atas jaminan tersebut. Hal tersebut karena fungsi SKMHT sebatas kuasa yang diberikan debitur atau pemilik jaminan kepada kreditur untuk mendaftarkan hak tanggungan.27 Berdasarkan hasil penelitian terhadap pembiayaan Rahn Tasjily Tanah (RTT) atau yang disebut Rahn Tanah di Cabang Pegadaian Syariah (CPS) Padasuka - Bandung, diperoleh informasi terkait praktik pembiayaan Rahn Tanah dengan akad rahn tasjily. Praktik pembiayaan RTT dilakukan melalui akad pengikatan barang jaminan dalam bentuk barang atas utang dengan kesepakatan yang diserahkan kepada penerima jaminan (murtahin), dalam hal ini Pegadaian Syariah, adalah bukti sah kepemilikannya (sertifikat tanah). Sedangkan fisik barang jaminan yang dijadikan jaminan tetap berada dalam penguasaan dan pemanfaatan pemberi jaminan (rahin).28 Mengenai akad rahn tasjily yang dipakai dalam pembiayaan syariah RTT, terlebih dahulu penulis uraikan beberapa definisi akad dalam hukum Islam, diantaranya: a. Menurut Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) Bab I Pasal 20, akad adalah kesepakatan dalam suatu perjanjian antara dua belah pihak. b. Menurut Rachmat Syafe’i dalam Fiqih Muamalah, akad dalam arti khusus yang dikemukakan oleh ulama fiqih yaitu perikatan yang ditetapkan dengan ijab qabul berdasarkan ketentuan syara’ yang berdampak pada objeknya.29 c. Menurut Pasal 262 Mursyid al-Hairan ila Ma’rifah Ahwal al-Insan, bahwa akad merupakan pertemuan gaib yang diajukan oleh salah

Ahmad Zulfikar, “Kekuatan Hukum Jangka Waktu Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan Kredit Mikro pada Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 22 Tahun 2017,” Jurnal: Wajah Hukum Vol. 3 No.2, (Oktober 2019), hlm 112. 27 Ibid. 28 Informasi dari Ibu Hety Herawati, Pimpinan Cabang Pegadaian Syariah Padasuka, Bandung. 29 Rachmat Syafe’i, Fiqih Muamalah, (Bandung: Pustaka Setia, 2001), hlm. 44. 26

Volume 10, Nomor 2, Desember 2020 | Juris LK2 FHUI


14

satu pihak dengan kabul dari pihak lain yang menimbulkan akibat hukum pada objek akad.30 Berdasarkan definisi akad tersebut diperoleh beberapa pemahaman. Pertama, akad merupakan pertemuan atau keterkaitan ijab dan qabul yang mendorong munculnya akibat hukum. Ijab merupakan penawaran yang diajukan oleh satu pihak, sedangkan qabul adalah jawaban persetujuan yang diberikan mitra akad sebagai tanggapan terhadap penawaran pihak yang pertama.31 Kedua, akad merupakan tindakan hukum dua pihak karena di dalam akad pertemuan ijab merepresentasikan kehendak dari satu pihak sedangkan qabul menyatakan kehendak pihak lain. Dan yang ketiga, tujuan akad adalah untuk melahirkan suatu akibat hukum, dengan maksud bersama yang hendak dituju dan diwujudkan oleh para pihak melalui perbuatan akad. Akibat hukum akad dalam hukum Islam disebut “hukum akad”. Tercapainya akad tercermin pada terciptanya akibat hukum.32 Adapun akad rahn tasjily adalah akad jaminan dalam bentuk barang atas utang yang mana barang jaminan (marhun) tetap berada dalam penguasaan (pemanfaatan) rahin dan bukti kepemilikannya diserahkan kepada murtahin.33 Bagian ketentuan umum dari Fatwa DSN Nomor: 68/DSN- MUI/III/2008 Tentang Rahn Tasjily, juga menjelaskan mengenai pengertian dari Rahn Tasjily, yaitu: “Rahn Tasjily, disebut juga dengan Rahn Ta’mini, Rahn Rasmi, atau Rahn Hukmi, adalah jaminan dalam bentuk barang atas utang, dengan kesepakatan bahwa yang diserahkan kepada penerima jaminan (murtahin) hanya bukti sah kepemilikannya, sedangkan fisik barang jaminan tersebut (marhun) tetap berada dalam penguasaan dan pemanfaatan pemberi jaminan (rahin).”

30

Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah Studi Tentang Teori Akad dalam Fikih Muamalat, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007), hlm. 68. 31 Urbanus Uma Leu, “Akad Dalam Transaksi Ekonomi Syariah,” Jurnal Tahkim Vol. 10 No. 1 (Juni, 2014), hlm. 50. 32 Ibid. 33 Mohamad Hilal Nu’man, “Implementasi Akad Rahn Tasjily Dalam Lembaga Pembiayaan Syariah,” AKTUALITA, Vol.1 No.2 (Desember, 2018), hlm 619.

Volume 10, Nomor 2, Desember 2020 | Juris LK2 FHUI


15

Berdasarkan maqasid di atas diketahui bahwa transaksi Rahn Tasjily adalah transaksi yang diperbolehkan.34 Dengan akibat hukum yang dikehendaki dari akad ini adalah marhun yang tidak harus ada di tangan murtahin, tetapi bagaimana marhun tersebut dapat dijadikan jaminan dan mudah dieksekusi. Praktik pembiayaan Rahn Tanah dengan jangkauan pinjaman mulai dari 1 juta hingga 200 juta rupiah, jika dianalisis dengan ketentuan Pasal 2 huruf (a) dan (b) Permen Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN RI Nomor 22 Tahun 2017 bahwasannya SKMHT pada produk pembiayaan Rahn Tanah adalah sesuai peruntukannya untuk menjamin kredit/pinjaman/pembiayaan yang diberikan kepada nasabah usaha mikro dan usaha kecil, dalam lingkup pengertian usaha produktif. Pengikatan obyek jaminan berupa tanah yang proses pengikatannya sampai kepada SKMHT saja tanpa dibebankan Hak Tanggungan, dapat menimbulkan dampak bagi kreditur (pihak Pegadaian Syariah). Hal demikian karena kreditur tidak memiliki hak kebendaan atas jaminan Rahn Tanah tersebut secara faktual, sebab kepastian hukum kreditur sebagai kreditur preferen terletak pada hak tanggungan yang sudah dicatatkan di Kantor Pertanahan. Batas waktu berlakunya SKMHT pada Rahn Tanah sesuai dengan Pasal 2 Permen Agraria dan Tata Ruang/ Kepala BPN RI Nomor 22 Tahun 2017 adalah sampai berakhirnya perjanjian pokok. Secara eksplisit Permen Agraria dan Tata Ruang ini

menghendaki

dijadikannya

SKMHT

sebagai

jaminan

pelunasan

pinjaman/pembiayaan mikro. Berbeda halnya dengan yang dikehendaki oleh UU Hak Tanggungan tentang alasan memberikan akses penggunaan SKMHT. Alasan penggunaan SKMHT adalah pemberi hak tanggungan berhalangan hadir menghadap ke PPAT untuk pembuatan APHT sampai dengan SHT ke BPN.35 SKMHT hanya berfungsi sebatas surat kuasa khusus pembebanan hak tanggungan, bukan sebagai lembaga jaminan suatu utang yang mempunyai kekuatan penjaminan dan eksekusi.36 Fungsi eksekusi atas objek jaminan Rahn Tanah juga tidak sesuai dengan Ketentuan Khusus Fatwa DSN MUI Tentang Rahn Tasjily huruf c. Bahwasannya dalam Nu’man, “Implementasi Akad Rahn Tasjily Dalam Lembaga Pembiayaan Syariah,” hlm. 621. Indonesia, Undang – Undang Hak Tanggungan, UU No. 4 Tahun 1996, Penjelasan Umum

34 35

Angka 7. 36 Indonesia, Undang – Undang Hak Tanggungan, UU No. 4 Tahun 1996, Penjelasan Umum Pasal 15 ayat (1).

Volume 10, Nomor 2, Desember 2020 | Juris LK2 FHUI


16

hal terjadi wanprestasi atau rahin tidak dapat melunasi utangnya maka murtahin berdasarkan wewenang (kuasa) yang diberikan rahin kepada murtahin dapat melakukan penjualan marhun, baik melalui lelang atau dijual ke pihak lain sesuai prinsip syariah. Penggunaan SKMHT sebagai pengikatan akad Rahn Tanah juga tidak memenuhi akibat hukum yang ingin dicapai dari akad rahn tasjily yang dilakukan oleh para pihak. Mengingat akibat hukum yang dikehendaki dari akad ini adalah marhun yang tidak harus ada di tangan murtahin, tetapi bagaimana marhun tersebut dapat dijadikan jaminan dan mudah dieksekusi. Terdapatnya kekaburan kedudukan lembaga jaminan yang digunakan dalam menjamin pelunasan pembiayaan pada Rahn Tanah serta tidak adanya kepastian hukum pelaksanaan eksekusi, membuat pembiayaan Rahn Tanah ini perlu diadakan pengkajian ulang agar sesuai dengan amanat undang-undang dan nilai – nilai syariat Islam dalam bermuamalat. Dengan demikian, pengikatan ke APHT hingga SHT sedari awal akad Rahn Tanah penting untuk dilaksanakan, agar objek jaminan Rahn Tanah dapat segera dieksekusi oleh kreditor. Hal demikian juga untuk menjamin adanya hubungan kepastian hukum antara pihak pegadaian dan nasabah sehingga sesuai dengan konsep maslahah dalam ekonomi Islam. Selain itu juga untuk memberikan jaminan perlindungan hukum bagi kreditur dan debitur agar tidak dirugikan dikemudian hari. Selain itu, penggunaan SKMHT dalam pembiayaan syariah seperti pada Rahn Tanah perlu dilakukan penyesuaian berupa pengaturan khusus dari aspek syariah. Hal demikian untuk menguatkan nilai-nilai syariah dalam pembiayaan yang melalui akadakad syariah dan untuk mengakomodasikan pembiayaan syariah di Indonesia, agar tidak bertentangan dengan prinsip syariah dalam hukum Islam. Dengan demikian, penggunaan SKMHT yang dipergunakan sebagai pengikatan jaminan pada pembiayaan Rahn Tanah tidak sesuai dengan apa yang telah diamanatkan oleh undang-undang. Apabila dianalisis lebih lanjut, sesuai dengan ketetapan SKMHT dalam UU Hak Tanggungan, maka SKMHT yang dipegang pihak Pegadaian tidak berkedudukan sebagai marhun pinjaman. Alasannya adalah SKMHT tidak memiliki kekuatan penjaminan dan

Volume 10, Nomor 2, Desember 2020 | Juris LK2 FHUI


17

eksekusi sebagai lembaga jaminanan kebendaan hak atas tanah. SKMHT tersebut harus dilanjutkan dengan pembuatan APHT oleh PPAT dan pendaftaran hak tanggungan ke Kantor Pertanahan/BPN hingga diterbitkannya SHT, sebagai bukti adanya pengikatan ke lembaga jaminan Hak Tanggungan. Sertifikat Hak Tanggungan yang seharusnya digunakan sebagai marhun pinjaman dan disimpan oleh pihak Pegadaian. Apabila SKMHT tidak ditingkatkan dengan pembuatan Sertifikat Hak Tanggungan maka SKMHT tersebut akan batal demi hukum sehingga perbuatan hukum tersebut dianggap tidak pernah ada dan tidak pernah terjadi (sesuai ketentuan Pasal 15 ayat (6) UU Hak Tanggungan). Akibat hukum lain yang ditimbulkan dari tidak ditingkatkannya SKMHT menjadi SHT adalah SKMHT yang dipakai tidak memiliki kekuatan fungsi eksekutorial apapun terhadap objek jaminan hak atas tanah. Padahal ciri eksekusi pada hak tanggungan adalah berciri mudah dan pasti yang sama seperti putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap. Ciri mudah dan pasti ini juga sesuai dengan konsep maslahah mursalah dalam ekonomi Islam yang memperhatikan manfaat dan menjauhkan kemudahratan. Fungsi eksekusi terhadap jaminan hak atas tanah pada Rahn Tanah sebagaimana yang ditetapkan dalam Pasal 14 ayat (2) UU Hak Tanggungan, tidak berlaku. Oleh karena, kekuatan eksekutorial pada dasarnya hanya berlaku terhadap Sertifikat Hak Tanggungan yang memuat irah-irah dengan kata-kata “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA�, bukan pada Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan.

III. PENUTUP Sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) yakni Undang – Undang Hak Tanggungan Pasal 15 dan Permen Agraria dan Tata Ruang/ Kepala BPN RI Nomor 22 Tahun 2017 bahwa SKMHT penggunaannya terbatas hanya sebagai surat kuasa khusus membebankan Hak Tanggungan dan memiliki batas waktu penggunaan. Sehingga proses pengikatan objek jaminan pada Rahn Tanah yang melalui akad rahn tasjily, hanya sampai pada

Volume 10, Nomor 2, Desember 2020 | Juris LK2 FHUI


18

pembuatan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) maka kreditur dalam hal ini tidak memiliki hak kebendaan atas jaminan tersebut secara faktual. Kedudukan SKMHT adalah sebatas surat kuasa khusus. Perbuatan hukum yang dikehendaki undang-undang terhadap SKMHT adalah pihak pemberi kuasa yang berhalangan hadir menghadap PPAT memberikan kuasa kepada penerima kuasa untuk hadir dihadapan PPAT, dalam rangka mewakili kepentingan pemberi kuasa untuk mendaftarkan Hak Tanggungan. Dengan demikian, SKMHT yang dipegang pihak Pegadaian, kedudukannya tidak berlaku sebagai marhun pinjaman karena SKMHT tidak memiliki kekuatan penjaminan dan eksekusi sebagai lembaga jaminanan kebendaan hak atas tanah. SKMHT tersebut harus dilanjutkan dengan pembuatan APHT oleh PPAT dan pendaftaran hak tanggungan ke Kantor Pertanahan/BPN hingga diterbitkannya SHT, sebagai bukti adanya pengikatan ke lembaga jaminan Hak Tanggungan. Sertifikat Hak Tanggungan inilah yang seharusnya digunakan sebagai marhun pinjaman dan disimpan oleh pihak Pegadaian. Apabila SKMHT tidak ditingkatkan dengan pembuatan Sertifikat Hak Tanggungan maka SKMHT tersebut akan batal demi hukum sehingga perbuatan hukum tersebut dianggap tidak pernah ada dan tidak pernah terjadi.

Volume 10, Nomor 2, Desember 2020 | Juris LK2 FHUI


19

DAFTAR PUSTAKA Buku Anwar, Syamsul. Hukum Perjanjian Syariah Studi Tentang Teori Akad dalam

Fikih

Muamalah. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007. Fuady, Munir. Hukum Jaminan Utang. Jakarta: Penerbit Erlangga, 2013. Harsono, Boedi dan Sudartanto Wiriodarsono, Konsepsi Pemikiran Tentang UUHT. Bandung: Makalah Seminar Nasional, 27 Mei 1996. Simanjuntak, Augustinus. Hukum Bisnis Sebuah Pemahaman Integratif antara Hukum dan Praktik Bisnis. Depok: Rajawali Pers, 2018. Sjahdeini, Sutan Remy. Hak Tanggungan Asas – Asas Ketentuan – Ketentuan Pokok dan Masalah Yang Dihadapi Oleh Perbankan (Suatu Kajian Mengenai Undang – Undang Hak Tanggungan). Bandung: Penerbit Alumni, 1999. Sudrajat, Sutardja. Pendaftaran Hak Tanggungan dan Penerbitan Sertifikatnya. Bandung: Mandar Maju, 1997. Syafe’i, Rachmat. Fikih Muamalah. Bandung: Pustaka Setia, 2001. Tanuwidjaja, Henny. Pranata Hukum Jaminan Utang dan Sejarah Lembaga Hukum Notariat. Jakarta: PT. Refika Aditama, 2012. Jurnal Asmawi. “Konseptualisasi Teori Maslahah.” Salam: Jurnal Filsafat dan Budaya Hukum. Hlm. 311 – 328. Leu, Urbanus Uma. “Akad Dalam Transaksi Ekonomi Syariah.” Jurnal Tahkim Vol. 10, No. 1 (Juni 2014). Nu’man, Hilal Mohamad. “Implementasi Akad Rahn Tasjily Dalam Lembaga Pembiayaan Syariah.” AKTUALITA Vol.1, No.2 (Desember 2018). Qorib, Ahmad dan Isnaini Harahap. “Penerapan Maslahah Mursalah dalam Ekonomi Islam.” Analytica Islamica, Vol. 5, No. 1, (2016). Hlm. 55 – 80. Wiguna, Made Oka Cahyadi. “Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan dan Pengaruhnya Terhadap Pemenuhan Asas Publisitas Dalam Proses Pemberian Hak Tanggungan.” Jurnal Legislasi Indonesia Vol. 14 No. 04 (Desember 2017). Hlm. 439 – 446. Zulfikar, Ahmad. “Kekuatan Hukum Jangka Waktu Surat Kuasa Membebankan Hak

Volume 10, Nomor 2, Desember 2020 | Juris LK2 FHUI


20

Tanggungan Kredit Mikro pada Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 22 Tahun 2017.” Jurnal: Wajah Hukum Vol. 3, No.2 (Oktober 2019). Hlm. 110 – 120. Peraturan Perundang-undangan Indonesia. Undang – Undang Hak Tanggungan. UU No. 4 Tahun 1996. LN No. 42 Tahun 1996. TLN No. 3632. Indonesia. Fatwa Dewan Syariah Nasional MUI. No: 68/DSN-MUI/III/2008 Tentang Rahn Tasjily. Internet Pegadaian

Syariah.

“Pengertian

dan

Produk

Pegadaian

Syariah.”

https://pegadaiansyariah.co.id/pengertian-dan-produk-pegadaian-syariah-yangbisa-anda-simak-detail. Diakses 14 Maret 2020. Pegadaian Syariah. “Rahn Tasjily Tanah.” https://pegadaiansyariah.co.id/rahn-tasjilytanah. Diakses 14 Maret 2020.

Volume 10, Nomor 2, Desember 2020 | Juris LK2 FHUI


21

BIODATA PENULIS

Penulis bernama Indah Lestari Hutabarat, lulusan S1 dari Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran. Penulis mengambil program kekhususan Hukum Perdata dan beberapa mata kuliah dari program kekhususan Hukum Ekonomi. Penulis pernah aktif di beberapa kegiatan organisasi kampus diantaranya menjadi Staff Divisi Mentoring di Kelompok Studi Hukum (KSH) FH Unpad Tahun 2017, dan menjadi Bendahara Umum KSH FH Unpad di Tahun 2019. Menjadi Staff Media dan Informasi (Medfo) di Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Vonis FH Unpad Tahun 2017, Wakil Kepala Departemen Hubungan Masyarakat GAMASIS FH Unpad Tahun 2018 dan ditahun yang sama aktif dalam project sosial di Himpunan Remaja Peduli Generasi Penulis Penerus (HRPGP) Jatinangor. Penulis juga aktif di Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) SMN Al-Attas Unpad sebagai Kepala Bidang Organisasi Tahun 2019. Penulis juga aktif di beberapa kegiatan di luar kampus, diantaranya menjadi Sekretaris Departemen Promastar Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Komunitas ODOJ Indonesia Tahun 2017 – 2019. Sekarang, penulis sedang aktif menjadi Sekretaris Bidang Project dan Komunikasi Publik (PKP) DPP ODOJ 2020 dan menjadi bagian dari Peneliti Padisc (Padjadjaran Islamic Thought and Civilization Community).

Volume 10, Nomor 2, Desember 2020 | Juris LK2 FHUI


22

PEMBATASAN HAK IMUNITAS ADVOKAT DALAM OBSTRUCTION OF JUSTICE TINDAK PIDANA KORUPSI Oleh: Widya Granawati Tandra & Associates Law Office Korespondensi: suprianiwidyagranawati@gmail.com

Abstrak Advokat dikenal sebagai profesi yang terhormat atau officium nobile. Advokat hendaknya memperjuangkan prinsip equality before law agar terciptanya negara hukum, tidak terkecuali bagi tersangka atau terdakwa yang terlibat pada kasus korupsi. Namun, dalam menjalankan tugas profesinya, para advokat terkadang justru dianggap melanggar norma keadilan itu sendiri dengan melakukan obstruction of justice (menghalangi proses keadilan). Di lain sisi, advokat yang merupakan officium nobile telah diberikan hak imunitas advokat pada dirinya berdasarkan Basic Principles on The Role of Lawyers yang pada intinya adalah para advokat harus diberikan jaminan keamanan dalam melaksanakan tugasnya. Dalam hukum positif Indonesia, keamanan seorang advokat saat melaksanakan tugasnya dijamin oleh hak imunitas advokat berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003. Meskipun advokat memiliki hak imunitas advokat dalam dirinya, bukan berarti hak imunitas advokat tidak memiliki batasan. Hak imunitas advokat sendiri memiliki beberapa indikator, yaitu dalam rangka menjalankan tugas profesinya, beriktikad baik, dan dalam rangka pembelaan kliennya baik di dalam pengadilan maupun di luar pengadilan. Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode pendekatan yuridis normatif. Berdasarkan hasil penelitian penulis, dapat diketahui bahwa hak imunitas advokat memiliki pembatasan berdasarkan UndangUndang Nomor 18 Tahun 2003.

Kata kunci: Hak Imunitas Advokat, Obstruction of Justice, Korupsi

Volume 10, Nomor 2, Desember 2020 | Juris LK2 FHUI


23

Abstract Advocates are known as the respectable profession or officium nobile. Advocates should fight for the principle of equality before law in order to create a rule of law, including suspects or defendants involved in corruption cases. However, in carrying out their professional duties, advocates are sometimes considered to have violated the norms of justice itself by obstruction of justice (obstructing the justice process). On the other hand, an advocate who is an officium nobile has been given the right of advocate immunity to him based on the Basic Principles on The Role of Lawyers in essence, advocates must be guaranteed security in carrying out their duties. In Indonesian positive law, the safety of an advocate while carrying out his duties is guaranteed by the right of an advocate's immunity based on Law Number 18 of 2003. Even though an advocate has the right to an advocate's immunity in him, this does not mean that the right to an advocate's immunity has no limits. The right to immunity of an advocate itself has several indicators, namely in order to carry out their professional duties, in good faith and in the framework of defending their clients both in court and outside the court. The approach method used in this research is the normative juridical approach method. Based on the author's research, it can be seen that the immunity rights of advocates have restrictions based on Law Number 18 of 2003.

Keywords: Advocate Immunity Rights, Obstruction of Justice, Corruption

Volume 10, Nomor 2, Desember 2020 | Juris LK2 FHUI


24

I. PENDAHULUAN Advokat merupakan profesi yang terhormat yang sering juga disebut officium nobile. Dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 bayaran dari seorang advokat disebutkan bukanlah gaji ataupun fee, melainkan honorarium. Secara etimologis memang honorarium memiliki arti upah sebagai imbalan jasa.1 Namun honorarium berasal dari kata latin yaitu honor yang memiliki makna kehormatan, kemuliaan, tanda hormat/penghargaan.2 Pada mulanya, honor mengandung pengertian balas jasa para nasabah atau klien kepada dokter, akuntan, pengacara, dan notaris. Namun, pengertian honor selanjutnya mengalami perluasan menjadi uang imbalan atau jasa atau hasil pekerjaan seseorang yang tidak berupa gaji tetap.3 Honorarium hanya diberikan kepada mereka yang menjalankan tugas jabatan berdasarkan peraturan perundang-undangan.4 Berdasarkan Pasal 5 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat disebutkan bahwa advokat juga merupakan salah satu penegak hukum di Indonesia yang mana setara dengan penegak-penegak hukum lain, yaitu hakim, jaksa, dan polisi. Di dalam negara hukum, semua orang dipandang sama di hadapan hukum (equality before the law) dan semua orang dapat menunjuk advokat atau penasihat hukum (access to legal counsel) untuk dibela kepentingannya termasuk seorang tersangka atau terdakwa kasus korupsi.5 Persamaan di hadapan hukum dijamin dalam Pasal 27 Ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi, “Setiap warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”.6 Advokat disebut officium nobile memiliki peranan dalam penegakan negara hukum.7 Dalam menjalankan tugasnya advokat untuk menjaga kebebasan advokat, advokat diberikan hak istimewa berupa hak imunitas

Hatta Isnaini Wahyu Utomo, “Pelaksanaan Tugas Jabatan Notaris: Bahan Diskusi Dalam Menghadapi Ujian Kode Etik Notaris,” (makalah disampaikan dalam acara Belajar Bareng Alumni di Universitas Narotaa Surabaya, Februari 2017), hlm. 312. 2 Habib Adjie, Hukum Notaris Indonesia: Tafsir Tematik terhadap UU No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, (Bandung: Refika Aditama, 2008), hlm. 108. 3 Ibid. 4 Ibid. 5 Mien Rukmini, Perlindungan HAM Melalui Asas Praduga Tidak Bersalah dan Asas Persamaan Kedudukan dalam Hukum Pada Sistem Peradilan Pidana Indonesia, (Bandung: Alumni, 2003), hlm. 6 6 Azmi Syahputra, “Fungsi dan Kedudukan Advokat Sebagai Penegak Hukum dan Penemu Hukum Dalam Sistem Peradilan Pidana,” Jurnal Hukum Prioris Vol. 4 No. 3 (2015), hlm. 3. 7 Anton Sudanto, “Penerapan Sistem Pemidanaan dalam TP Perzinahan Dalam Perspektif Hukum Pidana Materiil di Indonesia,” Jurnal Staatsrecht Vol. 1 No. 1 (2017), hlm. 4. 1

Volume 10, Nomor 2, Desember 2020 | Juris LK2 FHUI


25

advokat untuk menjamin keamanan advokat dalam menjalankan tugas profesinya sebagai officium nobile membela kepentingan pembelaan klien.8 Namun, belakangan ini kasus advokat cukup menyita perhatian publik adalah kasus yang menjerat Fredich Yunadi yang didakwa melakukan obstruction of justice.9 Kejahatan obstruction of justice yang dilakukan Fredich Yunadi adalah suatu perbuatan menghalang-halangi proses hukum tindak pidana korupsi yang mana diatur berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 sebagai pengganti UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Fredich Yunadi sendiri awalnya merupakan pengacara dari Setya Novanto yang terjerat kasus korupsi E-KTP.10 Setya Novanto yang kala itu menjabat sebagai Ketua DPR RI (Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia) ditetapkan oleh KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) sebagai tersangka kasus proyek E-KTP (Elektronik Kartu Tanda Penduduk) atau Kartu Tanda Penduduk yang berbasis elektronik.11 Namun, setelah mengajukan permohonan praperadilan yang didampingi oleh penasihat hukumnya, akhirnya status tersangka Setya Novanto dinyatakan tidak sah oleh pengadilan.12 KPK tak habis akal, KPK memahami walau putusan praperadilan tidak bisa dilakukan upaya hukum apapun berdasarkan Perma Nomor 5 Tahun 2016, tetapi bukan berarti bahwa tidak bisa dilakukan penetapan tersangka kembali oleh KPK dengan bukti baru.13 Maka dari itu, Setya Novanto yang kala itu sudah dinyatakan status tersangkanya tidak sah, sekali lagi ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi E-KTP oleh KPK dengan bukti yang 8

Yahman dan Nurtin Tarigan, Peran Advokat Dalam Sistem Hukum Nasional, (Jakarta: Prenamedia Grup, 2019), hlm. 76. 9 Pebriyansyah Arifana, “Mahmud MD: Fredich Yunadi Bisa Dijerat Obstruction of Justice,” https://www.suara.com/news/2018/01/13/000300/mahfud-md-fredrich-yunadi-bisa-dijerat-obstruction-of-justi ce, diakses 31 Mei 2020. 10 Yunita Amalia, “Eks Pengacara Setya Novanto Fredich Yunadi divonis 7 Tahun Penjara,” http s://www.liputan6.com/news/read/3571795/eks-pengacara-setya-novanto-fredrich-yunadi-divonis-7-tahun-penj ara, diakses 31 Mei 2020. 11 Faiq Hidayat dan Haris Fadhil, “Terbukti Korupsi e-KTP, Setya Novanto Divonis 15 Tahun Penjara,” https://news.detik.com/berita/d-3987879/terbukti-korupsi-e-ktp-setya-novanto-divonis-15-tahun-pen jara, diakses 14 September 2020. 12 Yulida Medistiara, “Novanto Menang Praperadilan Status Tersangka Dinyatakan Tak Sah,” https://news.detik.com/berita/d-3664113/novanto-menang-praperadilan-status-tersangka-dinyatakan-tak-sah, diakses 31 Mei 2020. 13 Agus Sahbani, “Catat!! Perma Ini Larang PK atas Putusan Praperadilan, https://www.huk umonline.com/berita/baca/1t571de3941949f/catat-perma-ini-larang-pk-atas-putusan-praperadilan/, diakses 7 Mei 2020.

Volume 10, Nomor 2, Desember 2020 | Juris LK2 FHUI


26

berbeda dan kali ini permohonan praperadilan atas tidak sahnya status tersangka Setya Novanto ditolak oleh hakim.14 Sebagai seorang penasihat hukum, Fredich Yunadi pun mengklaim dirinya hanya melakukan tugasnya sebagai pengacara Setya Novanto, yaitu melindungi kliennya. Fredich Yunadi kala itu awalnya hanya menanyakan surat tugas dari KPK saat pegawai mencoba menangkap Setya Novanto di rumahnya.15 Namun, berdasarkan fakta-fakta dan bukti yang diperoleh KPK, Fredich Yunadi berdasarkan Putusan No. 09/Pid.SusTPK/2018/PN.Jkt.Pst dinyatakan telah terbukti melakukan kejahatan berdasarkan Pasal 21 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.16 Selama persidangan, pihak Fredich Yunadi pun sebagai seorang pengacara tidak menerima dakwaan jaksa begitu saja, Fredich Yunadi beralasan sebagai seorang pengacara dilindungi oleh hak imunitas advokat untuk menjaga prinsip kebebasan advokat.17 Dari kasus Fredich Yunadi tersebut terdapat beberapa isu yang menarik untuk dibahas, yaitu keberlakuan prinsip hak imunitas advokat dalam tindak pidana obstruction of justice berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Isu selanjutnya yang dapat ditarik adalah penerapan hak imunitas advokat pada kasus obstruction of justice dalam tindak pidana korupsi. Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum dengan pendekatan yuridis-normatif, yaitu penelitian hukum yang mengutamakan cara meneliti bahan pustaka. Pembahasan karya tulis ini akan terbagi ke dalam subbagian, yaitu: Hak Imunitas dalam Peran Advokat, Obstruction of Justice Secara Umum, Obstruction of

14 Robertus Belamirnus, “Hakim Gugurkan Praperadilan Setya Novanto,” https://nas ional.kompas.com/read/2017/12/14/11150801/hakim-gugurkan-gugatan-praperadilan-setya-novanto, diakses 30 Mei 2020. 15 Richard Andika Sasasmu, “Kuasa Hukum Setya Novanto Tanyakan Surat Tugas Penyidik KPK,” https://www.inews.id/news/nasional/kuasa-hukum-setya-novanto-tanyakan-surat-tugas-penyidik-kpk, diakses 1 Juni 2020. 16 Faiq Hidayat, “Fredich Yunadi Divonis 7 Tahun Penjara” https://news.detik.com/berita/d4088276/fredrich-yunadi-divonis-7-tahun-penjara, diakses 1 Juni 2020. 17 Aji Prasetyo, “Majelis Singgung Hak Imunitas Advokat dalam Vonis Fredich,” https://www. hukumonline.com/berita/baca/lt5b3517922d4cd/majelis-singgung-hak-imunitas-advokat-dalam-vonis-fredrich /, diakses 1 Juni 2020.

Volume 10, Nomor 2, Desember 2020 | Juris LK2 FHUI


27

Justice dalam Tindak Pidana Korupsi, Batasan Hak Imunitas Advokat dalam Kasus Obstruction of Justice. Penulisan ini akan memfokuskan pembahasan pada penerapan hak imunitas advokat dalam kasus obstruction of justice dalam tindak pidana korupsi di Indonesia sehingga membantu para penegak hukum dan masyarakat awam di Indonesia untuk memahami batasan hak imunitas advokat, terutama jika ditetapkan kasus obstruction of justice dalam tindak pidana korupsi.

II. PEMBAHASAN

A. Hak Imunitas Dalam Peran Advokat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menentukan secara tegas bahwa negara Indonesia adalah negara hukum.18 Prinsip negara hukum antara lain adalah adanya jaminan persamaan di depan hukum (equality before law).19 Oleh karena itu, Undang-Undang Dasar juga menentukan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Melalui jasa hukum yang diberikan, advokat diharapkan dapat menjalankan tugas profesi demi tegaknya keadilan berdasarkan hukum untuk masyarakat dalam menyadari hak-hak fundamental mereka di depan hukum. Advokat sebagai salah satu unsur sistem peradilan merupakan salah satu pilar dalam menegakkan supremasi hukum dan hak asasi manusia.20 Dalam hukum acara pidana dikenal beberapa sistem yang pernah dianut, sistemsistem itu ialah sistem inquisitoir dan accusatoir.21 Sistem inquisitoir, yaitu sistem pemeriksaan dimana si tersangka merupakan objek utama dalam pemeriksaan.22 Pemeriksaan atas diri tersangka diarahkan sedemikian rupa menurut kemauan penyidik sampai diperoleh pengakuan bersalah dari tersangka dan kemudian dicatat dalam berkas pemeriksaan. Sistem ini pernah dianut oleh hukum acara pidana lama yaitu

18

Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945, Ps. 1 ayat (1), (2), (3). Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana, (Jakarta: Citra Aditya Bakti, 2007), hlm. 20. 20 Didik Maryono, “Kajian Singkat Terhadap Permasalahan Bantuan Hukum dan Peranan Pengacara di Indonesia,� www.solusihukum.com, diakses 1 Juni 2020. 21 Wirjono Prodjodikoro, Hukum Acara Pidana di Indonesia, (Bandung: Sumur Bandung, 1980), hlm. 19. 22 Ibid., hlm. 34. 19

Volume 10, Nomor 2, Desember 2020 | Juris LK2 FHUI


28

Herziene Inlandsche Reglement (H.I.R.).23 Kelebihan sistem ini adalah efisien dari segi waktu apabila penegak hukum harus berhadapan dengan banyak perkara, tetapi cenderung mengabaikan hak asasi manusia. Sedangkan kini dengan dikeluarkannya KUHAP yang menganut asas praduga tak bersalah di mana hak asasi manusia dihormati dan dijunjung tinggi maka sistem accusatoir

diterapkan

sejak

pemeriksaan

di

tingkat

penyidikan

sehingga

tersangka/terdakwa dianggap sebagai subjek yang mempunyai hak penuh untuk membela diri.24 Sistem accusatoir artinya menuduh dimana si tersangka dianggap suatu subjek dan si tersangka memperoleh kesempatan untuk saling melakukan argumentasi dan berdebat dengan pihak pendakwa, yaitu kepolisian atau jaksa penuntut umum yang secara sedemikian rupa sehingga masing-masing pihak mempunyai hak yang sama nilainya. Di sinilah peran advokat sangat penting untuk menyelenggarakan sistem accusatoir.25 Tugas advokat adalah membela kepentingan masyarakat (public defender) dan kliennya. Tugas advokat tidak terperinci dalam uraian tugas karena ia bukan pejabat negara sebagai pelaksana hukum seperti halnya polisi, jaksa, dan hakim. Dalam usaha mewujudkan prinsip- prinsip negara hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, peran, dan fungsi advokat sebagai profesi yang bebas, mandiri, dan bertanggung jawab merupakan hal yang penting di samping lembaga peradilan dan instansi penegak hukum seperti kepolisian dan kejaksaan. Melalui jasa hukum yang diberikan, advokat menjalankan tugas profesinya demi kepentingan masyarakat pencari keadilan, termasuk usaha memberdayakan dalam menyadari hak-hak fundamental mereka di depan hukum. Advokat telah berperan penting menjadi salah satu unsur sistem peradilan yang mana merupakan salah satu pilar dalam menegakkan supremasi hukum dan hak asasi manusia. Secara garis besar dapat disebutkan mengenai fungsi dan peran advokat antara

23 Badan Diklat Kejaksaan RI, Modul Hukum Acara Pidana, (Jakarta: Badan Pendidikan dan Latihan Kejaksaan Republik Indonesia, 2019), hlm. 21. 24 Darwan Prints, Hukum Acara Pidana, (Jakarta: Djamban, 1989), hlm. 84. 25 Ibid.

Volume 10, Nomor 2, Desember 2020 | Juris LK2 FHUI


29

lain sebagai berikut:26 1. sebagai pengawal konstitusi dan hak asasi manusia; 2. memperjuangkan hak asasi manusia; 3. melaksanakan kode etik advokat; 4. memegang teguh sumpah advokat dalam rangka menegakkan hukum, keadilan, dan kebenaran; 5. menjunjung tinggi serta mengutamakan idealisme (nilai keadilan, kebenaran, dan moralitas); 6. melindungi dan memelihara kemandirian, kebebasan, derajat, dan martabat advokat; 7. menjaga dan meningkatkan mutu pelayanan advokat terhadap masyarakat dengan cara belajar terus-menerus untuk memperluas wawasan dan ilmu hukum; 8. menangani perkara-perkara sesuai dengan kode etik advokat, baik secara nasional, yakni Kode Etik Advokat Indonesia maupun secara Internasional; 9. mencegah penyalahgunaan keahlian dan pengetahuan yang merugikan masyarakat dengan cara mengawasi pelaksanaan etika profesi advokat melalui Dewan Kehormatan Asosiasi Advokat; 10. memelihara kepribadian advokat karena profesi advokat merupakan profesi yang terhormat. Setiap advokat harus selalu menjaga dan menjunjung tinggi citra profesinya agar tidak merugikan kebebasan, kemandirian, derajat, dan martabat seorang advokat; 11. menjaga hubungan baik dengan klien maupun dengan teman sejawat; 12. memelihara persatuan dan kesatuan advokat agar sesuai dengan tujuan organisasi advokat;

26

Yahman dan Nurtin Tarigan, Peran Advokat Dalam Sistem Hukum Nasional, (Jakarta: Prenamedia Group, 2019), hlm. 64-65.

Volume 10, Nomor 2, Desember 2020 | Juris LK2 FHUI


30

13. memberikan pelayanan hukum (legal services), nasihat hukum (legal advice), konsultasi hukum (legal consultation), pendapat hukum (legal opinion), informasi hukum (legal information) dan menyusun kontrak-kontrak (legal drafting); 14. membela kepentingan klien dan mewakili klien di muka pengadilan (legal representation); 15. memberikan bantuan hukum dengan cuma-cuma kepada masyarakat yang lemah dan tidak mampu. Pembelaan bagi orang yang tidak mampu, baik di dalam maupun di luar peradilan merupakan bagian dari fungsi dan peranan advokat dalam memperjuangkan hak asasi manusia. Oleh sebab itu, dalam rangka menjalankan fungsi dan perannya advokat, advokat dilindungi oleh hak imunitas advokat. Hak imunitas advokat diatur dalam Basic Principles on The Role of Lawyers Pasal 16 sampai Pasal 22, yaitu: “Guarantees for the functioning of lawyers: 16. Governments shall ensure that lawyers (a) are able to perform all of their professional functions without intimidation, hindrance, harassment or improper interference; (b) are able to travel and to consult with their clients freely both within their own country and abroad; and (c) shall not suffer, or be threatened with, prosecution or administrative, economic or other sanctions for any action taken in accordance with recognized professional duties, standards and ethics. 17. Where the security of lawyers is threatened as a result of discharging their functions, they shall be adequately safeguarded by the authorities. 18. Lawyers shall not be identified with their clients or their clients' causes as a result of discharging their functions. 19. No court or administrative authority before whom the right to counsel is recognized shall refuse to recognize the right of a lawyer to appear before it for his or her client unless that lawyer has been disqualified in accordance with national law and practice and in conformity with these principles.

Volume 10, Nomor 2, Desember 2020 | Juris LK2 FHUI


31

20. Lawyers shall enjoy civil and penal immunity for relevant statements made in good faith in written or oral pleadings or in their professional appearances before a court, tribunal or other legal or administrative authority. 21. It is the duty of the competent authorities to ensure lawyers access to appropriate information, files and documents in their possession or control in sufficient time to enable lawyers to provide effective legal assistance to their clients. Such access should be provided at the earliest appropriate time. 22. Governments shall recognize and respect that all communications and consultations between lawyers and their clients within their professional relationship are confidential.� Pada intinya Basic Principles on The Role of Lawyers menyatakan bahwa pengacara dijamin oleh hukum dalam rangka menjalankan fungsinya sebagai pengacara yang mana berupa pemerintah diwajibkan memastikan bahwa pengacara dapat melakukan semua fungsi profesionalnya tanpa intimidasi, gangguan, pelecehan, atau gangguan yang tidak patut dan dapat melakukan perjalanan, berkonsultasi dengan klien mereka secara bebas baik di negara mereka sendiri dan di luar negeri, lalu juga pengacara tidak akan menderita, atau diancam dengan penuntutan atau sanksi administratif, ekonomi, atau yang lainnya untuk setiap tindakan yang diambil sesuai dengan tugas, standar, dan etika profesi yang diakui. Apabila keamanan pengacara terancam akibat pelepasan fungsi mereka, menurut konvensi ini mereka harus dilindungi secara memadai oleh pihak berwenang. Selain itu, pengacara tidak boleh diidentikkan dengan klien mereka. Pengacara juga tidak bisa disalahkan atas segala hal yang terjadi sebagai akibat dari pengacara tersebut melepaskan fungsinya. Jaminanjaminan tersebut dapat dimiliki oleh pengacara (menikmati kekebalan sipil dan hukuman) selama untuk pernyataan yang relevan yang dibuat dengan iktikad baik dalam pembelaan tertulis atau lisan atau dalam penampilan profesional mereka di hadapan pengadilan, otoritas hukum, atau administratif lainnya. B. Obstruction of Justice Secara Umum Secara etimologi, istilah obstruction of justice merupakan terminologi hukum yang berasal dari literatur Anglo Saxon, yang dalam doktrin ilmu hukum pidana di

Volume 10, Nomor 2, Desember 2020 | Juris LK2 FHUI


32

Indonesia sering diterjemahkan “tindak pidana menghalangi proses hukum”. Obstruction of justice menurut Black’s Law Dictionary adalah segala tindakan intervensi kepada seluruh proses hukum dan keadilan dari awal hingga proses itu selesai. Bentuk-bentuk intervensi tersebut dapat berupa memberikan keterangan palsu, menyembunyikan bukti-bukti kepolisian atau kejaksaan, ataupun mengintimidasi para saksi atau juri.27 Secara terminologi hukum, obstruction of justice yang berasal dari literatur Anglo Saxon, yang dalam doktrin ilmu hukum pidana di Indonesia sering diterjemahkan sebagai “tindak pidana menghalangi proses hukum.”28 Sederhananya, Charles Boys mengatakan bahwa, “Obstruction of justice is frustration of governmental purposes by violences, corruption, destruction of evidence, or deceit.”29 Dengan pengertian demikian maka obstruction of justice sebenarnya tidak hanya berkaitan dengan suatu proses hukum (pidana) saja, tetapi juga berkaitan dengan suatu aktivitas pemerintah dalam upaya mewujudkan tujuan pemerintah. Sedangkan Black’s Law Dictionary memberikan definisi obstruction of justice lebih spesifik, yaitu: “Obstruction of justice is interference with the orderly administration of law and justice, as by giving false information to or withholding evidence from a police officer or procecutor, or harming or intimidating a withness or juror”.30 Menurut Andrea Kendall dan Kimberly Cuff, ketentuan obstruction of justice merupakan norma yang meliputi banyak tindakan menghalang-halangi (omnibus obstruction provision). Kendall menambahkan, pasal- pasal obstruction of justice dirancang untuk melindungi individu-individu yang terlibat dalam proses hukum dan mencegah “gugurnya” proses penegakan keadilan melalui tindakan menyimpang.31

27

Shinta Agustina, Saldi Isra dan Zainul Daulay, Obstruction of Justice: Tindak Pidana Menghalangi Proses Hukum Dalam Upaya Pemberantasan Korupsi, (Jakarta: Themis Book, 2015), hlm. 30. 28 Ibid., hlm. 29. 29 Charles Doyle, “Obstruction of Justice: An Overview of Some of the Federal Statutes That Prohibit Interference with Judicial, Executive, or Legislative Activities,” Congressional Research Service (2010), hlm. 41-73. 30 Bryan A. Garner, Black’s Law Dictionary, Ninth Edition (St. Paul: West, A Thomson Routers Business, 2009), hlm. 1183 seperti dikutip Shinta Agustina, Saldi Isra, Zainul Daulay, Obstruction of Justice: Tindak Pidana Menghalangi Proses Hukum Dalam Upaya Pemberantasan Korupsi, (Jakarta: Themis Book, 2015), hlm. 29. 31 Andrea Kendall dan Kimberly Cuff, “Obstruction of Justice,” The American Criminal Review, Spring (2008), hlm. 766-767.

Volume 10, Nomor 2, Desember 2020 | Juris LK2 FHUI


33

Kendall menyatakan, tindak pidana obstruction of justice harus memenuhi 3 unsur:32 1. Tindakan tersebut menyebabkan tertundanya proses hukum (pending

judicial proceedings).

2. Pelaku mengetahui tindakan atau menyadari perbuatannya (knowledge of pending). 3. Pelaku melakukan atau mencoba tindakan yang menyimpang dengan tujuan mengganggu atau mengintervensi proses atau administrasi hukum (acting corruptly with intent). Dalam konteks penerapan, obstruction of justice dipraktikkan di berbagai negara. Istilah yang digunakan pun beragam, misalnya ada yang menggunakan obstruction of justice atau obstructing public justice. Perbuatan obstruction of justice dapat berupa perbuatan apa pun. Misalnya dalam US Model Penal Code obstruction of justice meliputi dari yang paling ringan seperti memengaruhi hakim/juri dengan tulisan atau komentar sampai yang paling berat, yaitu menggunakan kekerasan yang menyebabkan kematian pada saksi.33 Namun, perbuatan-perbuatan tersebut dibatasi oleh maksud atau niatnya menghalangi dan mencegah proses hukum.34 Di Indonesia sendiri secara umum obstruction of justice diatur dalam KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana). KUHP sendiri merupakan kodifikasi hukum pidana positif di Indonesia, berasal dari Wetboek van Nederlandse Strafrecht (WvS).35 Induk peraturan hukum pidana Indonesia adalah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). KUHP ini mempunyai nama asli Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie (WvSNI) yang diberlakukan di Indonesia pertama kali dengan Koninklijk Besluit (Titah Raja) Nomor 33 tanggal 15 Oktober 1915 dan mulai diberlakukan sejak tanggal 1 Januari 1918. WvSNI merupakan turunan dari WvS negeri Belanda yang dibuat pada Andrea Kendall dan Kimberly Cuff, “Obstruction of Justice,” The American Criminal Review, Spring (2008), hlm. 766-767. 33 Shinta Agustina, Saldi Isra dan Zainul Daulay, Obstruction of Justice: Tindak Pidana Menghalangi Proses Hukum Dalam Upaya Pemberantasan Korupsi, (Jakarta: Themis Book, 2015), hlm. 29. 34 Ibid. 35 Adi Condro Bawono, “Kedudukan KUH Pidana dan KUH Perdata Dalam Hierarki Peraturan Perundang-Undangan”, https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt4f1e71d674972/kedudukan-ku h-pidana-dan-kuh-perdata-dalam-hierarki-peraturan-perundang-undangan/, diakses 1 Juni 2020. 32

Volume 10, Nomor 2, Desember 2020 | Juris LK2 FHUI


34

tahun 1881 dan diberlakukan di negara Belanda pada tahun 1886.36 KUHP berdasarkan asas konkordansi diberlakukan di Indonesia sejak 1 Januari 1918.37 Dalam KUHP, obstruction of justice sebagai tindak pidana diatur dalam Buku Kedua, Bab VII tentang Kejahatan Terhadap Kekuasaan Umum.38 Bab ini dimulai dari Pasal 207 hingga pasal 241. Namun, hanya beberapa pasal yang relevan untuk berkenaan dengan suatu proses hukum yang sesuai dengan pengertian obstruction of justice, yaitu Pasal 211, 212, 216, 217, 218, 219, 220, 221, 222, 223, 224, 225, 231, dan 233 pada KUHP. Meskipun ada kodifikasi hukum pidana tentang obstruction of justice, hukum pidana umum tidak mungkin bisa menampung seluruh kebutuhan hukum pidana masyarakat. Kebutuhan hukum pidana masyarakat tidaklah bersifat statis namun selalu bergerak, berkembang, dan berubah. Rasa keadilan dan kebutuhan hukum juga berubah sesuai dengan keadaan masyarakat.39 Pembentuk WvS (KUHP) menyadari tentang peranan hukum pidana khusus untuk melengkapi hukum pidana dalam positif. Maka dibuatlah ketentuan Pasal 103 untuk memberi peluang dibentuknya hukum pidana khusus, termasuk pengaturan yang berhubungan dengan obstruction of justice dalam kasus korupsi.40 C. Obstruction of Justice Dalam Tindak Pidana Korupsi PBB

(Perserikatan

Bangsa-Bangsa)

mengesahkan

sebuah

konvensi

pemberantasan korupsi bagi negara-negara di dunia, konvensi ini dikenal dengan United Nation Convention Against Corruption. Konvensi PBB (Perserikatan BangsaBangsa) Antikorupsi atau United Nation Convention Against Corruption (UNCAC) pada Pasal 25 menyebutkan bahwa negara yang menandatangani konvensi ini haruslah mengatur juga tentang tindakan menghalang-halangi proses hukum (obstruction of

36

Sudarto, Hukum Pidana I, (Semarang: Yayasan Sudarto, 1990), hlm. 15. Ahmad Bahiej, “Sejarah dan Problematika Hukum Pidana Materiil di Indonesia,� SOSIORELIGIA, Vol. 5, No. 2 (Februari 2006). 38 Shinta Agustina, Saldi Isra dan Zainul Daulay, Obstruction of Justice: Tindak Pidana Menghalangi Proses Hukum Dalam Upaya Pemberantasan Korupsi, (Jakarta: Themis Book, 2015), hlm. 33. 39 Adami Chazawi, Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, (Malang: Media Nusa Creative, 2010), hlm. 1-2. 40 Ibid., hlm. 2. 37

Volume 10, Nomor 2, Desember 2020 | Juris LK2 FHUI


35

justice) pemberantasan korupsi. Dalam konvensi tersebut sebenarnya mengamanatkan dua macam tindakan obstruction of justice yang harus diatur: 1. Tindakan di ranah legislatif, yaitu pembentukan peraturan perundangundangan yang mengatur sanksi kepada pelaku yang menghalang-halangi proses pemberantasan korupsi. 2. Tindakan lain yang dianggap perlu untuk menentukan bahwa obstruction of justice adalah perbuatan pidana apabila perbuatan itu dilakukan untuk menghalang-halangi pemberantasan korupsi. Namun, sejauh ini tindakan obstruction of justice di ranah tindak pidana korupsi hanya mencakup proses litigasi saja dan belum menyentuh pada pengaturan dan sanksi obstruction of justice proses legislasi dalam pembuatan peraturan tentang pemberantasan tindak pidana korupsi. Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diatur ketentuan tentang obstruction of justice dalam tindak pidana korupsi pada Pasal 21, yang berbunyi: “Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka dan terdakwa ataupun para saksi dalam perkara tindak pidana korupsi dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan atau denda paling sedikit Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah)� Maka kita bisa memecah menjadi unsur-unsur sebagai berikut: 1) Subjek: Setiap Orang Definisi setiap orang sendiri tidak bisa diartikan sebagai makna manusia dalam definisi filsafat. Maka “setiap orang� disini merujuk pada makna subjek hukum. Beberapa ahli mendefinisikan makna dari subjek hukum.

Volume 10, Nomor 2, Desember 2020 | Juris LK2 FHUI


36

Subjek hukum sendiri menurut Sudikno Mertokusumo:41 “Subjek hukum adalah segala sesuatu yang dapat memperoleh hak dan kewajiban dari hukum. Yang dapat memperoleh hak dan kewajiban hanyalah manusia, jadi manusia oleh hukum diakui sebagai menyangdang hak dan kewajiban, sebagai subjek hukum atau sebagai orang. Jadi subjek hukum adalah segala sesuatu yang dapat memperoleh, mempunyai atau menyandang hak dan kewajiban. Kewenangan untuk menyandang hak dan kewajiban itu disebut kewenangan hukum itu ada yang dianggap cakap bertindak sendiri dan ada yang tidak cakap bertindak sendiri.” Lalu menurut Prof. Dr. H. Muchsin, SH:42 “Subjek hukum adalah suatu pendukung hak yaitu manusia atau badan yang menurut hukum berkuasa (berwenang) menjadi pendukung hak. Suatu subjek hukum mempunyai kekuasaan untuk mendukung hak. Menurut macamnya subjek hukum ada 2 (dua), yaitu : pertama, manusia (natuurlijke persoon); kedua, badan hukum (recht persoon); sedangkan menurut hukum modern, setiap manusia, apakah dia itu warga negara atau warga negara asing, apakah dia itu laki-laki ataukah perempuan, tidak perduli apa yang menjadi agama dan kebudayaannya menjadi subjek hukum. Sebagai subjek hukum manusia mempunyai kewenangan untuk melaksanakan kewajiban dan menerima haknya.” Sementara pengertian “setiap orang” menurut undang-undang bisa diinterpretasikan melalui penafsiran autentik. Penafsiran autentik sendiri ialah penafsiran yang dilakukan melihat definisi yang ditentukan oleh undang-undang yang sama. Menurut penafsiran autentik yaitu berdasarkan Pasal 1 Angka 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi disebutkan bahwa: “Setiap orang adalah perseorangan atau korporasi. Korporasi sendiri didefinisikan sebagai sekumpulan orang atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan merupakan badan hukum.” Maka dapat dipahami bahwa definisi setiap orang adalah meliputi naturlijk person dan recht person..43

41 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum: Suatu Pengantar, (Yogyakarta: Penerbit Liberty, 2003), hlm. 52-53. 42 Muchsin, Ikhtisar Ilmu Hukum, (Jakarta: Badan Penerbit Ibrahim, 2006), hlm. 24. 43 Muchsin, Ikhtisar Ilmu Hukum, (Jakarta: Badan Penerbit Ibrahim, 2006), hlm. 24.

Volume 10, Nomor 2, Desember 2020 | Juris LK2 FHUI


37

2) Kesalahannya: Sengaja Dalam KUHP tidak diatur jelas tentang definisi kesengajaan. Namun, menurut Memorie van Toelichting, kesengajaan diartikan sebagai tindakan “menghendaki dan mengetahui”. Kesengajaan dibedakan menjadi 3 (tiga) corak sikap batin yang menunjukan tingkatan dari bentuk kesengajaan itu sendiri:44 “1. Kesengajaan Sebagai Maksud (Opzet als oogmerk); 2. Kesengajaan dengan sadar kepastian (Opzet met zekerheidsbewustzijn); 4. Kesengajaan dengan sadar kemungkinan (dolus eventualis).” 3)

Perbuatannya:

Menurut Moeljatno yang menggunakan istilah “perbuatan pidana”, memberi makna perbuatan pidana adalah “perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa melanggar larangan tersebut”. Adapun perbuatan-perbuatan yang dapat dikategorikan obstruction of justice dalam Tindak Pidana Korupsi:45 a. mencegah langsung tindakan mencegah secara langsung dapat didefinisikan sebagai tindakan yang dilakukan baik sendiri maupun bentuk penyertaan (sesuai Pasal 55 dan 56 KUHP) pada saat penyidik, penuntut umum, dan pengadilan akan melakukan penyidikan atau penuntutan atau pemeriksaan di sidang pengadilan, pelaku tindak pidana telah melakukan perbuatan tertentu dengan tujuan agar penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tidak dapat dilaksanakan. Akibat dari perbuatan pencegahan tersebut adalah sebuah keberhasilan, di mana proses tindakan tersebut menyebabkan gagalnya penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan; b. mencegah tidak langsung

44

Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta, 2000), hlm. 177. R. Wiryono, Pembahasan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, Edisi Kedua (Jakarta: Sinar Grafika, 2019), hlm. 158-159. 45

Volume 10, Nomor 2, Desember 2020 | Juris LK2 FHUI


38

tindakan mencegah secara tidak langsung adalah tindakan yang dilakukan tidak langsung/melalui perantara pada waktu penyidik, penuntut umum, dan pengadilan akan melakukan penyidikan atau penuntutan atau pemeriksaan di sidang pengadilan, pelaku tindak pidana telah melakukan perbuatan tertentu dengan tujuan agar penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tidak dapat dilaksanakan dan usaha pelaku tindak pidana tersebut memang berhasil; c. merintangi langsung tindakan merintangi adalah tindakan yang dilakukan sendiri atau penyertaan (sesuai Pasal 55 dan 56 KUHP) pada waktu penyidik, penuntut umum, dan pengadilan sedang melakukan penyidikan, penuntutan atau pemeriksaan di sidang pengadilan, pelaku tindak pidana telah melakukan perbuatan tertentu dengan tujuan agar penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan yang sedang berlangsung terhalang untuk dilaksanakan, sedangkan untuk tujuan tersebut dapat tercapai atau tidak, bukan merupakan syarat; d. merintangi tidak langsung tindakan merintangi adalah tindakan yang dilakukan melalui perantara pada waktu penyidik, penuntut umum, dan pengadilan sedang melakukan penyidikan, penuntutan, atau pemeriksaan di sidang pengadilan, pelaku tindak pidana telah melakukan perbuatan tertentu dengan tujuan agar penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan yang sedang berlangsung terhalang untuk dilaksanakan dan apakah tujuan tersebut dapat tercapai atau tidak, bukan merupakan syarat; e. menggagalkan langsung tindakan menggagalkan adalah pada waktu penyidik penuntut umum dan pengadilan sedang melakukan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan, pelaku tindak pidana telah melakukan perbuatan tertentu dengan tujuan agar penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan yang sedang dilaksanakan tidak berhasil dan usaha pelaku Volume 10, Nomor 2, Desember 2020 | Juris LK2 FHUI


39

tindak pidana tersebut memang berhasil. Hal yang dimaksud dengan secara “langsung”, artinya dilakukan oleh pelaku tindak pidana sendiri atau dalam bentuk penyertaan (Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP). Sedangkan yang dimaksud secara “tidak langsung”, misalnya melalui perantara; f. menggagalkan tidak langsung tindakan menggagalkan dapat didefinisikan sebuah tindakan tidak langsung/melalui perantara yang dilakukan pada waktu penyidik penuntut umum dan pengadilan yang sedang melakukan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan, pelaku tindak pidana telah melakukan perbuatan tertentu dengan tujuan agar penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan yang sedang dilaksanakan tidak berhasil dan usaha pelaku tindak pidana tersebut memang berhasil. Perbuatan menghalangi, merintangi, dan menggagalkan pada Pasal 21 Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2001 dihubungkan oleh kata “atau” sehingga pemaknaannya adalah pelaku hanya perlu melakukan salah satu perbuatan (alternatif) baik secara langsung maupun tidak langsung untuk dapat dikatakan melanggar. 4)

Objek:

Objek hukum adalah sesuatu yang dikehendaki oleh pembuat hukum untuk dilakukan atau tidak dilakukan: a. Penyidikan b. Penuntutan c. Pemeriksaan disidang pengadilan Apabila suatu perbuatan telah memenuhi unsur-unsur tersebut maka tindakan tersebut dapat dikenai sanksi akibat dari dilanggarnya kentuan Pasal 21 UndangUndang Nomor 20 Tahun 2001. Sedangkan untuk sanksi apabila memenuhi rumusan delik Pasal 21 Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 yaitu 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan atau denda paling sedikit Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak

Volume 10, Nomor 2, Desember 2020 | Juris LK2 FHUI


40

Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah). D. Batasan Hak Imunitas Advokat Dalam Kasus Obstruction of Justice Dalam menjalankan proses pencarian kebenaran dalam sidang pengadilan, advokat tentu saja bisa menyampaikan interpretasi berlawanan terhadap lawannya.46 Namun, interpretasi yang dikemukakan ini haruslah sesuai rasionalitas yang bisa dipertanggungjawabkan. Sudikno Mertokusumo membenarkan adanya interpretasi itu sendiri, karena menurutnya:47 “Kegiatan kehidupan manusia itu sangat luas, tidak terhitung jumlah dan jenisnya, sehingga tak mungkin tercakup dalam satu peraturan perundangundangan dengan tuntas dan jelas. Maka wajarlah kalau tidak ada peraturan perundang-undangan yang dapat mencakup keseluruhan kegiatan manusia, sehingga tak ada peraturan perundang-undangan yang lengkap selengkaplengkapnya dan jelas sejelas-jelasnya. Oleh karena hukumnya tidak lengkap dan tidak jelas, maka harus dicari dan diketemukan.�

Oleh karena tuntutan untuk melakukan interpretasi hukum, advokat diberikan kebebasan, kemandirian, serta tanggung jawab. Kebebasan profesi advokat sendiri sangat penting karena berkaitan dengan eksistensinya membela masyarakat yang memerlukan jasa hukum (legal services) dan pembelaan (litigation) dari seorang advokat. Eksistensi ini diperlukan oleh penduduk warga negara (citizen) yang akan mendapat jasa hukum karena masyarakat memerlukan seorang advokat yang memiliki independensi dan bebas intervensi dalam usaha menangani perkara kliennya. Independensi dan bebas intervensi penting bagi advokat karena dapat memaksimalkan potensi advokat yang dapat membela semua kepentingan kliennya. Advokat yang memiliki independensi dan bebas intervensi memiliki kelebihan, yaitu tidak memiliki keraguan akan risiko terkena masalah hukum kliennya.48

46

Eddy O.S Hiariej, Teori dan Hukum Pembuktian, (Jakarta: Airlangga, 2012), hlm.40-41. Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum: Suatu Pengantar, (Yogyakarta: Penerbit Liberty, 2009), hlm. 37. 48 Frans Hendra Winarta, Advokat Indonesia: Citra, Idealisme, dan Keprihatinan, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2012), hlm. 36-37. 47

Volume 10, Nomor 2, Desember 2020 | Juris LK2 FHUI


41

Oleh karena pekerjaannya sebagai officium nobile, kebebasan profesi advokat diwujudkan secara konkret dalam bentuk hak imunitas seorang advokat.49 Setiap advokat tanpa terkecuali berhak untuk mendapatkan kekebalan atau hak imunitas dalam menjalankan tugasnya, terutama sebagai penegak hukum.50 Walau profesi advokat merupakan profesi yang mulia, dalam pembelaan kliennya advokat bisa saja dianggap melakukan obstruction of justice dalam tindak pidana korupsi sehingga terjadi tumpang tindih antara kebebasan advokat atau pelanggaran hukum obstruction of justice. Seperti dalam kasus Fredich Yunadi yang menyangkal bahwa ia melakukan obstruction of justice sebagai advokat, banyak pengacara berkilah profesi mereka dilindungi oleh hak imunitas advokat. Jeratan pasal obstruction of justice dalam Undang-Undang Tipikor dianggap mengganggu kebebasan advokat dan hakikat hak imunitas itu sendiri. Bahkan banyak advokat yang khawatir apabila pengacara banyak terjerat kasus kliennya dikhawatirkan kemandirian advokat akan terganggu. Di negara-negara common law, hak imunitas advokat diartikan secara mutlak. Kekebalan tanpa batas, karena prinsip iktikad baik hanya dianut dalam negara-negara civil law. Di Indonesia sendiri, menurut Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 hak imunitas diartikan sebagai kekebalan hukum namun selamanya tidak bisa dituntut. Hal ini dapat kita lihat pada Pasal 16 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat. Dalam pasal tersebut setidaknya ada 3 poin batasan hak imunitas yang terkandung dalam pasal tersebut, yakni: 1) Iktikad baik dalam menjalankan tugas profesinya. 2) Kepentingan pembelaan klien. 3) Dalam sidang pengadilan. Namun, pada tahun 2013 yang lalu telah diadakan uji materi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 26/PUU-XI/2013 yang pada intinya memutuskan:

49 Sesuai amanat International Bar Association Standard for the Independence of the Legal Profession (IBA Standard). 50 Kemal Arief, “Perlindungan Hukum Terhadap Hak Imunitas Advokat dalam Penegakan Hukum di Indonesia,� Jurnal Iqtisad Universitas Wahid Hasyim Semarang Volume 5 (2018), hlm. 25.

Volume 10, Nomor 2, Desember 2020 | Juris LK2 FHUI


42

“Pasal 16 undang-undang Advokat bertentangan dengan UUD 1945, dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan itikad baik untuk kepentingan pembelaan klien di dalam maupun di luar sidang pengadilan.” Maka terjadi perluasan tentang ruang lingkup pembelaan klien, yaitu yang meliputi: 1) Iktikad baik dalam menjalankan tugas profesinya. Dalam hukum perdata, iktikad baik diartikan tidak adanya suatu penipuan dalam pembuatan perjanjian. Sementara dalam pidana, iktikad baik diartikan sebagai tindakan yang dilakukan dengan tidak melanggar hukum, seperti memalsukan dokumen, memalsukan keterangan saksi, dan lain-lain. 2) Kepentingan pembelaan klien. Syarat kedua, berlakunya hak imunitas advokat ialah “kepentingan pembelaan klien”. Kepentingan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan kebutuhan atau keperluan. Pembelaan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia sendiri artikan sebagai proses, cara, perbuatan membela. Klien dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai orang yang membeli sesuatu atau memperoleh layanan. Sementara dalam sidang pengadilan diartikan sebagai kepentingan yang berkaitan dengan kasus yang ditangani klien advokat tersebut. 3) Di dalam dan di luar sidang pengadilan. Syarat yang ketiga, yaitu hak imunitas advokat berlaku baik dalam persidangan maupun luar persidangan. Menurut Abdul Fickar Hadjar yang merupakan dosen Universitas Trisakti juga berpendapat bahwa:51 “Hak imunitas dimiliki profesi advokat, tetapi juga memiliki batasan tertentu. Advokat berhak menangani berbagai jenis perkara, seperti perdata, pidana termasuk korupsi demi kepentingan pembelaan kliennya baik pada tingkat penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di pengadilan.” Kemal Arief, “Perlindungan Hukum Terhadap Hak Imunitas Advokat dalam Penegakan Hukum di Indonesia,” Jurnal Iqtisad Universitas Wahid Hasyim Semarang Volume 5 (2018), hlm. 25. 51

Volume 10, Nomor 2, Desember 2020 | Juris LK2 FHUI


43

Di dalam pengadilan tidak hanya diartikan sebagai sidang mengenai pokok perkara yaitu sidang biasa, tetapi sidang pengadilan juga diartikan sebagai sidang praperadilan dan upaya hukum. Sidang pengadilan biasa yang mempermasalahkan tentang pokok perkara sendiri terdiri dari dakwaan, pembelaan, replik, duplik, pembuktian, dan putusan. Sementara di luar sidang pengadilan sendiri dimaknai sebagai non-litigasi pemberian jasa hukum seperti konsultasi hukum oleh corporate lawyer. Substansi hukum dari hak imunitas advokat sebagai bentuk kebebasan advokat adalah konteks kekebalan seorang advokat sebagai penasihat hukum klien. Batasan substansial ini didasarkan pada dwi asas advokat dalam sistem penegakan hukum yakni inquisitorial dan accusatoir.52 Hak imunitas advokat berada dalam konteks dampak dari tindakan advokat tersebut dalam menjalankan tugas profesinya. Advokat tidak boleh ditekan, diancam, mengalami hambatan, ketakutan, atau perlakuan yang merendahkan harkat dan martabat profesi advokat.53

III.

PENUTUP Seorang advokat memiliki kekebalan, yaitu hak imunitas advokat dalam rangka menjaga kebebasan advokat dalam menjalankan fungsinya sebagai penegak negara hukum. Walau advokat memiliki hak imunitas advokat, bukan berati hak imunitas advokat tanpa sebuah batasan. Pemaknaan Pasal 16 tentang imunitas advokat pernah diuji materiilkan di Mahkamah Konstitusi dengan keluarnya Putusan MK Nomor 26/PUU-XI/2013. Dalam pertimbangannya, hakim menyatakan dengan tegas bahwa advokat dalam pelaksanaan tugas profesi tersebut bukan hanya beriktikad baik, tetapi juga tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang- undangan. Artinya, apabila seorang advokat terbukti ketika membela kepentingan klien menggunakan cara-cara yang melanggar hukum atau bertentangan dengan peraturan perundang- undangan maka tentunya hak imunitas tidak berlaku atau gugur dengan sendirinya. Hak imunitas

52 Arief, “Perlindungan Hukum Terhadap Hak Imunitas Advokat dalam Penegakan Hukum di Indonesia,� hlm. 33. 53 H.P Panggabean, Manajemen Advokasi, (Jakarta: Alumni, 2010), hlm. 151.

Volume 10, Nomor 2, Desember 2020 | Juris LK2 FHUI


44

advokat tetap memiliki pembatasan, yaitu dalam rangka menjalankan tugas profesinya, iktikad baik, lalu demi kepentingan pembelaan klien di dalam maupun di luar sidang pengadilan. Selain itu, berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi, ditambahkan bahwa pada intinya iktikad baik seorang advokat tidak boleh melanggar suatu peraturan perundang-undangan yang ada. Maka dengan adanya pengaturan obstruction of justice dalam Pasal 21 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, asal seorang advokat memenuhi unsur pada pasal tersebut yaitu merintangi, menghalangi, atau menggagalkan, membuat hak imunitas advokat menjadi tidak berlaku lagi pada dirinya.

Volume 10, Nomor 2, Desember 2020 | Juris LK2 FHUI


45

DAFTAR PUSTAKA

Buku Adjie, Habib. Hukum Notaris Indonesia: Tafsir Tematik terhadap UU No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris. Bandung: Refika Aditama, 2008. Agustina, Shinta, Saldi Isra dan Zainul Daulay. Obstruction of Justice Tindak Pidana Menghalangi Proses Hukum Dalam Upaya Pemberantasan Korupsi. Jakarta: Themis Books, 2015. Badan Diklat Kejaksaan RI. Modul Hukum Acara Pidana. Jakarta: Badan Pendidikan dan Latihan Kejaksaan Republik Indonesia, 2019. Chazawi, Adami. Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi. Malang: Media Nusa Creative, 2010. Fuady, Munir. Profesi Mulia (Etika Profesi Hukum Bagi Hakim, Jaksa, Advokat, Notaris Kurator, Dan Penggurus). Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2005. Garner, Bryan A. Black’s Law Dictionary. Ninth Edition. St. Paul: West, A Thomson Routers Business, 2009. Hamdan, H.M. Hukum dan Pengecualian Hukum Menurut KUHP dan KUHAP. Medan: USU Press, 2010. Khairandy, Ridwan. Itikad Baik dalam Kebebasan Berkontrak. Jakarta: Pasca Sarjana FHUI, 2003. Mertokusumo, Sudikno. Mengenal Hukum: Suatu Pengantar. Yogyakarta: Penerbit Liberty, 2003. Mertokusumo, Sudikno. Penemuan Hukum: Suatu Pengantar. Yogyakarta: Penerbit Liberty, 2009. Moeljatno. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: Rineka Cipta, 2000. Muchsin. Ikhtisar Ilmu Hukum. Jakarta: Badan Penerbit Ibrahim, 2006. Mulyadi, Lilik. Hukum Acara Pidana. Jakarta: Citra Aditya Bakti, 2007. O.S Hiariej, Eddy. Teori dan Hukum Pembuktian. Jakarta: Airlangga, 2012. Panggabean, H.P. Manajemen Advokasi. Jakarta: Alumni, 2010. Prints, Darwan. Hukum Acara Pidana. Jakarta: Djamban, 1989.

Volume 10, Nomor 2, Desember 2020 | Juris LK2 FHUI


46

Prodjodikoro, Wirjono. Hukum Acara Pidana di Indonesia. Bandung: Sumur Bandung, 1980. Rukmini, Mien. Perlindungan HAM Melalui Asas Praduga Tidak Bersalah dan Asas Persamaan Kedudukan dalam Hukum Pada Sistem Peradilan Pidana Indonesia. Bandung: Alumni, 2003. Sinaga, V. Harlen. Dasar-dasar Profesi Advokat. Jakarta: Erlangga, 2011. Sudarto. Hukum Pidana I. Semarang: Yayasan Sudarto, 1990. Winarta, Frans Hendra. Advokat Indonesia: Citra, Idealisme, dan Keprihatinan. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2012. Wiryono. Pembahasan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi. Jakarta: Sinar Grafika, 2019. Yahman dan Nurtin Tarigan. Peran Advokat dalam Sistem Hukum Nasional. Jakarta: Prenamedia Group, 2019. Zimmerman, Reinhard dan Simon Whitttaker. 2000. Good Faith in European Contract Law. Cambridge: Cambridge University Press, 2000. Zulkifli. Eksistensi Pasal 19 UU Advokat dan Kaitannya dengan Upaya Paksa Penyitaan yang Dimiliki oleh penyidik, Kantor Hukum Nasution & Rekan. Medan: Kantor Hukum Zulkifli Nasution & Rekan, 2006.

Jurnal

Arief, Kemal. “Perlindungan Hukum Terhadap Hak Imunitas Advokat Dalam Penegakan Hukum di Indonesia”, Jurnal Iqtisad Universitas Wahid Hasyim Semarang Volume 5 (2018). Hlm. 25-33. Bahiej, Ahmad. “Sejarah dan Problematika Hukum Pidana Materiil di Indonesia.” SOSIO-RELIGIA Vol. 5, No. 2 (Februari 2006). Doyle, Charles. “Obstruction of Justice : An Overview of Some of the Federal Statutes That Prohibit Interference with Judicial, Executive, or Legislative Activities.” Congressional Research Service (2010). Hlm. 41-73. Kendall, Andrea dan Kimberly Cuff. “Obstruction of Justice.” The American Criminal Review, Spring (2008). Hlm. 766-767.

Volume 10, Nomor 2, Desember 2020 | Juris LK2 FHUI


47

Syahputra, Azmi. “Fungsi dan Kedudukan Advokat Sebagai Penegak Hukum dan Penemu Hukum dalam Sistem Peradilan Pidana.” Jurnal Hukum Prioris Vol. 4 No. 3 (2015). Hlm. 3. Sudanto, Anton. “Penerapan Sistem Pemidanaan dalam TP Perzinahan dalam Perspektif Hukum Pidana Materiil di Indonesia.” Jurnal Staatsrecht Vol. 1 No. 1 (2017). Hlm. 4.

Makalah Utomo, Hatta Isnaini Wahyu. “Pelaksanaan Tugas Jabatan Notaris: Bahan Diskusi dalam Menghadapi Ujian Kode Etik Notaris.” Makalah disampaikan dalam acara Belajar Bareng Alumni di Universitas Narotaa Surabaya, Februari 2017.

Peraturan Perundang-undangan Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945.

Internet Arifana, Pebriyansyah. “Mahmud MD: Fredich Yunadi Bisa Dijerat Obstruction of Justice.” https://www.suara.com/news/2018/01/13/000300/mahfud-md-fredrichyunadi-bisa-dijerat-obstruction-of-justice. Diakses 31 Mei 2020. Amalia, Yunita. “Eks Pengacara Setya Novanto Ffredich Yunadi divonis 7 Tahun Penjara.”

https://www.liputan6.com/news/read/3571795/eks-pengacara-setya-

novanto-fredrich-yunadi-divonis-7-tahun-penjara. Diakses 31 Mei 2020. Andika, Richard Sasasmu. “Kuasa Hukum Setya Novanto Tanyakan Surat Tugas Penyidik KPK.” https://www.inews.id/news/nasional/kuasa-hukum-setya-novantotanyakan-surat-tugas-penyidik-kpk. Diakses 1 Juni 2020. Belamirnus,

Robertus.

“Hakim

Gugurkan

Praperadilan

Setya

Novanto.”

https://nasional.kompas.com/read/2017/12/14/11150801/hakim-gugurkan-gugatanpraperadilan- setya-novanto. Diakses 30 Mei 2020. Condro, Adi Bawono. “Kedudukan KUH Pidana dan KUH Perdata Dalam Hierarki Peraturan Perundang-Undangan.” https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ ulasan/kedudukan-kuh-pidana-dan-kuh-perdata-dalam-hierarki-peraturan perundang-undangan/. Diakses 1 Juni 2020.

Volume 10, Nomor 2, Desember 2020 | Juris LK2 FHUI


48

Hidayat, Faiq dan Haris Fadhil. “Terbukti Korupsi e-KTP, Setya Novanto Divonis 15 Tahun

Penjara.”

https://news.detik.com/berita/d-3987879/terbukti-korupsi-e-ktp-

setya-novanto-divonis-15-tahun-penjara. Diakses 14 September 2020. Hidayat, Faiq. “Fredich Yunadi Divonis 7 Tahun Penjara.” https://news.detik.com /berita/d-4088276/fredrich-yunadi-divonis-7-tahun-penjara. Diakses 1 Juni 2020. Maryono, Didik. “Kajian Singkat Terhadap Permasalahan Bantuan Hukum dan Peranan Pengacara di Indonesia.” www.solusihukum.com. Diakses 1 Juni 2020. Medistiara, Yulida. “Novanto Menang Praperadilan Status Tersangka Dinyatakan Tak Sah.”

https://news.detik.com/berita/d-3664113/novanto-menang-praperadilan-

status-tersa ngka-dinyatakan-tak-sah. Diakses 31 Mei 2020. Prasetyo, Aji. “Majelis Singgung Hak Imunitas Advokat dalam Vonis Fredich.” htt ps://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5b3517922d4cd/majelis-singgung-hakimunitas-advokat-dalam-vonis-fredrich/. Diakses 1 Juni 2020. Sahbani, Agus. “Catat!! Perma Ini Larang PK atas Putusan Praperadilan.” https:// www.hukumonline.com/berita/baca/1t571de3941949f/catat-perma-ini-larang-pkatas-putusan-praperadilan/. Diakses 7 Mei 2020.

Volume 10, Nomor 2, Desember 2020 | Juris LK2 FHUI


49

BIODATA PENULIS

Widya Granawati adalah seorang penulis yang lahir di Jakarta, 16 Agustus 1996. Penulis merupakan alumni dari Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman. Semasa kuliah, penulis aktif dalam lomba seperti Moot Court Competition Bulak Sumur III yang merupakan lomba peradilan semu khusus bidang perdata. Penulis mulai belajar dunia jurnalistik hukum dan analisa hukum di komunitas Calon SH yang mana merupakan wadah mahasiswa hukum seluruh Indonesia. Di Calon SH, penulis mendapatkan pengalaman bertemu dengan mahasiswa hukum seluruh Indonesia dengan fokus bidang hukum yang beragam dan ilmu-ilmu hukum lain yang tidak akan bisa didapatkan apabila hanya duduk di ruang kelas saja. Artikel yang pernah penulis publikasikan di Calon SH antara lain: 1) Mengurai Urgensi Wakil Menteri Dari Perspektif Pewarisan Kekuasaan; 2) Pengantar Hukum Sepakbola; 3) Dilema Aliran Kepercayaan Di Indonesia. Selain aktif menulis di komunitas nasional Calon SH selama tahun 2017 sampai tahun 2019, penulis juga aktif dalam berbagai organisasi kampus seperti GMNI (Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia), BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa), Koordinator Bidang Keilmuan PMK (Persekutuan Mahasiswa Kristen) Fakultas Hukum Unsoed, Biro Konsultasi Bantuan Hukum Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman. Pasca lulus dari Universitas Jenderal Soedirman pada tahun 2019, penulis kini fokus bekerja sebagai associate di Law Office Tandra and Associates yang mana merupakan kantor hukum yang memfokuskan diri pada masalah-masalah hukum kepailitan.

Volume 10, Nomor 2, Desember 2020 | Juris LK2 FHUI


50

WHY WE STILL NEED THE INDISCHE STAATSREGELING: A TAKE ON INDONESIA’S CONTROVERSIAL COLONIAL LEGACY THROUGH THE EYES OF CONTEMPORARY POLITICS, HISTORY, AND LEGAL PLURALISM Rizky Bayuputra 2016 Faculty of Law Student, University of Indonesia Correspondence: rizkybayuputra01@gmail.com

Abstract

Legal pluralism is a clear and present fact in Indonesian society. However, the very reason behind its formal existence within Indonesian law lies in a controversial colonial legislation that divides Indonesian society on religious and ethnic lines, even today: the Indische Staatsregeling (I.S.). Enacted in the 1920s, the I.S., particularly Article 131 and 163, distinguished the many millions of the colony’s residents into three distinct classes (bevolkingsklasse): the European, the Native, and the Foreign Easterner. In regards to this, an urgent question must be answered: is the I.S., a product of colonial ethnic policy that is deeply divisive in nature, still applicable today? If it’s not, why do lectures and textbooks still refer to it? This article will attempt to answer the question of applicability through the eyes of contemporary legal policy (rechtspolitiek), thus exploring Indonesia’s long and complex constitutional history, then through a normative approach based on established legislative theory, as well as a quick dive into the opinions of scholars and case law in the field of legal pluralism and the conflict of laws.

Keywords: legal pluralism, Indonesia, colonial policy, conflict of laws, Indische Staatsregeling, politics of law, colonial history, constitutional history, constitutional law, law and society

Volume 10, Nomor 2, Desember 2020 | Juris LK2 FHUI


51

Abstrak

Pluralisme hukum di Indonesia adalah hal yang dapat kita saksikan dengan mata kita sendiri dalam kejadian sehari-hari. Namun, alasan utama di belakang eksistensi formalnya adalah sebuah peraturan kolonial kontroversial yang menggolongkan rakyat Hindia Belanda berdasarkan agama dan etnis, sesuatu yang memengaruhi kehidupan kita, bahkan sampai hari ini: Indische Staatsregeling (I.S.). Berlaku sejak 1926, I.S. memisahkan jutaan rakyat Hindia Belanda saat itu ke dalam tiga golongan: Eropa, Pribumi, dan Timur Asing. Melihat konotasi diskriminatif yang dibawa oleh peraturan ini, muncullah pertanyaan yang wajib dijawab: apakah I.S., sebuah produk kebijakan etnis masa kolonial, masih berlaku sekarang? Apabila tidak, mengapa para pengajar dan bukubuku hukum masih merujuk kepadanya? Tulisan ini akan mencoba menjawab pertanyaan mengenai keberlakuan I.S. melalui sudut pandang politik hukum (rechtspolitiek) serta melalui pendekatan normatif di mana tulisan ini juga akan membahas I.S. dari segi perundang-undangan, pluralisme hukum, dan hukum antar tata hukum Indonesia.

Kata kunci: Indonesia, pluralisme hukum, kebijakan colonial, hukum antar tata hukum, Indische staatsregeling, politik hukum, sejarah colonial, sejarah konstitusi, hukum tata negara, hukum dan masyarakat

Volume 10, Nomor 2, Desember 2020 | Juris LK2 FHUI


52

I.

INTRODUCTION The careful eye of the legal scholar is not required to witness legal pluralism in Indonesian daily life. Through our daily encounters we may see a multitude of applicable laws that interact with each other: a Chinese man purchasing fruit from a native Malay, a Batak man marrying a Minangkabau woman, or even a westernised Javanese selling a car to an Arab. Private law in Indonesia lives in a state of legal pluralism that being the existence of more than one applicable law within a single socio-political sphere.1 In Indonesia, European Law, Islamic Law, and Adat Law apply side-by-side and to specific persons, decided by one’s own personal law. Although many modern provisions within Indonesian legislation, and even within the Indonesian constitution,2 affirm these pluralistic facts surrounding our daily lives, a question persists. The normative basis of Indonesian legal pluralism lies in a colonial legislation enacted in 1924: a piece of legislation called the Indische Staatsregeling (“I.S.”).3 In a normative sense, formal recognition of legal pluralism in Indonesia can be traced back to two distinct provisions within the I.S.: Article 131 and 163.4 The two provisions stipulate that there exists three classes of people based on ethnicity and/or cultural background (bevolkingsklasse): Europeans (‘Europeanen’ encompassing all people of European geographical origin, the Americans, people of Japanese background, a person of any nationality whose private law conforms to that of the Dutch paradigm, or Indies residents who have been naturalised as ‘European’), Natives (‘Inlanders,’ the wide majority of

1 Brian Z. Tamanaha, Caroline Sage, Michael Woolcock (ed.), Legal Pluralism and Development: Scholars and Practitioners in Dialogue (New York: Cambridge University Press, 2012): pp. 1; Franz von Benda-Beckmann, “Who’s Afraid of Legal Pluralism?” Journal of Legal Pluralism Vol 47 No. 3, (2002), pp. 37-82 2 Indonesia, Fourth Amendment of the Consitution of 1945, art. 18B; see also Yanis Maladi, "Eksistensi Hukum Adat dalam Konstitusi Negara Pasca Amandemen UUD 1945" Jurnal Hukum dan Pembangunan, Vol 41, No 3 (2011), pp. 421-440. 3 S. 1925-415 jo 577. Art. 131(2)(a) states: (2) in de ordonnanties refelende het burgerlijk- en handelsrecht worden: (a) voor de Europeanen de in Nederland feldende wetten gevolgd, van welke wetten echter mag worden afgeweken zoowel wegens de bijzondere overige bevolkingsgroepen of onderdeelen daarvan aan dezelfde voorschriften te kunnen onderwepen. (b) de Inlanders, de Vreemde Oosterlingen en de onderdeelen waaruit deze beide groepen der bevolking bestaan, voor zooverre de bij hen gebleken maatschappelijke behoeften dit eischen, hetzij aan de voor Europeanen geldende bepalingen, voor zooveel noodig gewijzigd, hetzij met de Europeanen aan gemeenschappelijke voorschriften onderworpen, terwijl overigens de onder hen geldende, met hunne godsdiensten en gewoonten samenhangende rechtsregelen worden geëerbiedigd, waarvan echter mag worden afgeweken, wanneer het algemeen belang of de bij hen gebleken maatschappelijke behoeften zulks vorderen. 4 See Westra’s commentary on the Indische staatsregeling in H. Westra, De Nederlandsch-Indische Staatsregeling, (Gravenhage: Martinus Nijhoff, 1927), pp. 15-18.

Volume 10, Nomor 2, Desember 2020 | Juris LK2 FHUI


53

Indonesians today), and Eastern Foreigners (‘Vreemde Oosterlingen,’ including Arabs, Persians, Indians, and Chinese).5 To the modern eye, the grouping of the millions of inhabitants of the thenNetherlands East Indies based on racial, ethnic, and religious lines may seem abhorrent, inviting both distaste and discourse. However, normatively, Article 131 and 163 had a deeper, more specialised nature than a simple “segregation” (if taken to the extremes) law: as a connecting factor to decide which law applies to whom. This apparently invited great discourse amongst legal scholars and practitioners at the time, eventually resulting in the development of a unique system of internal conflict of laws, dubbed by relevant scholars as intergentielrecht.6 For those residents who fell under the European class, the applicable law was none other than European law, manifested in government-imposed codes of law as well as corresponding case law in regards to the Burgerlijk Wetboek (Dutch Civil Code) and the Wetboek van Koophandel (Dutch Commercial Code) which govern the laws on persons, property, marriage, inheritance, obligations, and further derivatives of the latter such as commercial contracts, insurance, shipping, so on and so forth. Many of these legal instruments are still in force today though partially superseded by legislation made during the Republican era (1945 onwards).7 For those who fell under the Native legal class, that being the vast majority of subjects of the Netherlands East Indies, the law applicable was that of their “adat and religion.”8 Adat law (at times inaccurately dubbed as customary law, which entails a

Classification of such is based on “race” and “native soil.” A similar provision existed in the colonial constitution preceding the I.S., that being the Regeringsreglement of 1855 (S. 1855-2.), where distinction was set between Native and European. The additional Foreign Easterner class was added due to the major differences between the life of the European, Easterner, and the Native, thus the need to distinguish between Easterner and Native was important. See: Westra, Nederlansch-Indische Staatsregeling, pp.15-17. 6 Sudargo Gautama, "Interpersonal Law in Indonesia," The Rabel Journal of Comparative and International Private Law, Vol. 29, No. 3 (1965), pp. 545-573, pp. 545-547. 7 For example, a majority of Book II of the Civil Code, which dealt on the law of property (including the law on immovable, movables, security, etc.) was superseded by the Agraria Act of 1960 (No.5/1960); under proprietal security law, the provisions on mortgage over land (hypotheek) and land rights (eigendom, opstal, vruchtgebruik, etc.) now fall under statutes enacted post-independence. 8 Art. 131(2)(b) I.S. : For Natives, Foreign Easterners, and parts of those groups […] is applicable both the laws of the European class, [...] though for those not yet governed, for them [Natives and Foreign Easterners] applies the laws of their religion and custom [adat] which shall apply as long as a community’s public order wills it so.” See fn. 3. 5

Volume 10, Nomor 2, Desember 2020 | Juris LK2 FHUI


54

whole different meaning) itself is a unique characteristic of Indonesian law.9 Defining the confines of Adat law itself would require prolonged discussion, something that we perhaps could visit on another day. Unlike members of the European legal class, religious law also became the applicable law for Natives, who were, and are still, predominantly Muslim; this also brings about its own problem, as many scholars and contemporary commentators argue their opinions on whether Islamic or Adat law take precedence over the other.10 The applicable law for Foreign Easterners, that being for Arabs, Persians, Indians, and Chinese, are patterned after that of the Natives: Adat and religion shall govern their private interactions.11 So for Arabs, especially those who are Muslim and remain nonEuropeanised (Europeanisation being a rare case at best), Islamic Law and Arabic customs apply, so on and so forth. Interactions between these three distinct groups eventually brought about the development of a specialised area of law dubbed as intergentielrecht (intergroup law, interpersonal law).12 The more recent developments of intergentielrecht as a part of Indonesia’s internal conflict of laws was mostly discussed and documented by the Universitas Indonesia professor, Sudargo Gautama (Chinese name: Gouw Giok Siong), who penned a number of essays and books on the subject. Intergentielrecht existed in the

9

See: J.F. Hollemann (ed.), Van Vollenhoven on Indonesian Adat Law (Dordrecht: Springer, 1981) pp. XLIII, 6; B. ter Haar, Adat Law in Indonesia (New York: Institute of Pacific Relations, 1948) p. xxxi; Franz Von Benda-Beckmann dan Keebet Von Benda-Beckmann, "Myths and stereotypes about adat law: A reassessment of Van Vollenhoven in the light of current struggles over adat law in Indonesia" Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, Vol. 167, No. 2/3 (2011), pp. 167-195: “Adat in Indonesia has become a generic term to indicate an often undifferentiated whole constituted by the morality, customs, and legal institutions of ethnic and territorial groups of ethnic or territorial groups [...] created by colonial courts and through interaction between the colonial administration and consulted local experts.” 10 See: Daud Ali, “Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Hukum Indonesia” Jurnal Hukum dan Pembangunan, Vol 15 (1985), 14-30, pp. 16; Mohammad Daud, “Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Hukum Indonesia” Jurnal Hukum dan Pembangunan 12 (1982), pp. 101-110, pp. 103; Soerjono Soekanto, "Hubungan Hukum Adat dengan Hukum Islam," Jurnal Hukum dan Pembangunan 17 (1987), 152-162, pp. 159; Yelia Nathassa Winstar, “Pelaksanaan Dua Sistem Kewarisan Pada Masyarakat Adat Minangkabau” Jurnal Hukum dan Pembangunan Vol 37, No 2 (2007) pp. 154-186, pp. 166-176, 180; Hazairin, Hukum Kekeluargaan Nasional (Jakarta: Tintamas, 1962), pp. 4; See also the landmark decision Ampek Urang Jinih, Supreme Court of Republic Indonesia, Decision No. 39/K/sip/1969. Previously I have also touched on this matter in a previous work in Rizky Bayuputra, Dzuriyat Kesultanan Banten v Sultan Banten: Conflict of Laws Issues in the Succession of the Bantenese Throne, Undergraduate Thesis of Universitas Indonesia, (2020). 11 See, infra, fn. 5. 12 Sudargo Gautama, "Interpersonal Law in Indonesia," The Rabel Journal of Comparative and International Private Law Vol. 29, No. 3 (1965), pp. 545-550; pp. 545-573.

Volume 10, Nomor 2, Desember 2020 | Juris LK2 FHUI


55

forms of written and unwritten conflict of laws rules, the latter derived from judge-made law, that would decide which law would be applied (European, Adat, or Islamic) in the event of people from two or more groups or systems of law interacted such as in the event of business contracts, marriage, inheritance, etc.13 A unique note on intergentielrecht and internal conflict of laws in Indonesia is that since so little written conflict of laws rules existed, the method of determining the law was very similar to that of common law systems that being the identification of ratio decidendi set out by judges in case law. Having set out the stipulations entailed by Article 131 and 163 of the I.S., a very important question must be answered: seeing that the colonial state of the Netherlands East Indies was a state based on (either latent or manifest) discrimination by the European class to everyone else, or in other words, one that governed based on a plethora of ethnic-based policies and repression, shall the Indische Staatsregeling remain applicable in Indonesia today, a nation built solely to free themselves from the “dangerous clutches” of imperialism?14 The question whether the Indische Staatsregeling remains applicable today brings far and wide implications. If the answer be “Yes”, does that mean Indonesia ratifies the ethnic-based, discriminatory policies of the Netherlands East Indies on a normative basis? Is Indonesia not a country free from the chains of colonialism, or in fact, as distant as possible from the colonial and imperialistic practices thus claimed to be done by the Dutch? If the answer be “No”, then what would be the rules that protect and govern the

13 Sudargo Gautama, Hukum Antar Golongan: Suatu Pengantar, cet. 11 (Jakarta: PT Ichtiar Beru van Hoeve, 1993) pp. 41-42, citing a colonial judge: ‘according to an unwritten rule of intergroup law (ongeschreven regel van intergentielrecht’ the distribution of inheritance is determined by the personal law of the one who has died.” Gautama referred to the cases T.151 h. 163, R.v.J. Jakarta 11-12-1939; T. 152 h. 27, R.v.J. Jakarta 26-4-1940; T.153 h. 345, R.v.J. Jakarta 4-8-1939. 14 The preamble to the Indonesian Constitution of 1945 is often used to outline the purpose of the Indonesian Republic: “Whereas independence is the inalienable right of all nations, therefore, all colonialism must be abolished in this world as it is not in conformity with humanity and justice; […] Indonesia which shall be independent, united, sovereign, just and prosperous; By the grace of God Almighty and motivated by the noble desire to live a free national life, the people of Indonesia hereby declare their independence. […] to form a government of the state of Indonesia which shall protect all the people of Indonesia and all the independence and the land that has been struggled for, and to improve public welfare, to educate the life of the people and to participate toward the establishment of a world order based on freedom, perpetual peace and social justice, therefore the independence of Indonesia shall be formulated into a constitution of the Republic of Indonesia which shall be built into a sovereign state based on a belief in the One and Only God, just and civilised humanity, the unity of Indonesia, and democratic life led by wisdom of thoughts in deliberation amongst representatives of the people, and achieving social justice for all the people of Indonesia.” Translation acquired from ILO <https://www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/--ed_protect/---protrav/---ilo_aids/documents/legaldocument/wcms_174556.pdf>

Volume 10, Nomor 2, Desember 2020 | Juris LK2 FHUI


56

existence of legal pluralism in Indonesia? What be the fate of the many adat communities and non-communal individuals who identify as a person of adat values? The academic world is torn on the question of the applicability of the I.S. Many statements had been made; thus, the purpose of this article is to answer the question of the I.S. applicability once and for all. Based on the issues presented above, this article will deal with two research questions: 1. How did colonial ethnic policy engineer the creation of the classification of peoples under the Indische Staatsregeling? 2. Is the Indische Staatsregeling still in force within the modern Indonesian legal system? This article will be construed under a normative-historical approach, where we will go through both legal sources in the form of statutes, regulations, case law, and doctrine, as well as historical sources to give a detailed descriptive analysis in explaining the core issues of the applicability of the I.S.

I.

DISCUSSION A.

Colonial Ethnic Policy and the Indische Staatsregeling As previously discussed, the Indische Staatsregeling stipulates that there are

three bevolkingsklasse: European, Native, and Foreign Easterner. Membership of one of the three legal classes entails which law is applicable to oneself. However, to see the provisions under Article 131 and 163 I.S. solely from what it stipulates seems a rather unsatisfactory approach, especially seeing the complexity of events surrounding its inception, that being in a time of great shifts within both national and international politics. Therefore, it would be necessary to apply a rechtspolitiek (politics of law)15 approach to determine the fundamental nature of the Indische Staatsregeling, and

15

Legal policy (rechtspolitiek, politik hukum) describes the relations between politics and law. Padmo Wahjono wrote that legal policy exists as a fundamental policy that influences the formation of laws; Mahfud M.D. opines that legal policy exists as a method of how political powers affect the national policy through law. See: Padmo Wahyono, Menyelidik Proses Terbentuknya Perundang-undangan (Jakarta: Forum Keadilan, 1992), pp. 65; Moh. Mahfud MD, Politik Hukum Di Indonesia, (Jakarta: Pustaka

Volume 10, Nomor 2, Desember 2020 | Juris LK2 FHUI


57

later, to juxtapose it with the constitution in force today: the Indonesian Constitution of 1945 (now at its fourth amendment). Setting out the politics behind the enactment of Article 131 and 163 of the Indische Staatsregeling requires us to investigate preceding legislations which govern similar matters that existing in the form of the Regerings Reglement, enacted in 1855, as well as the Algemene Bepalingen, enacted in 1848. The three bear similarities in two aspects: firstly, due to the substance of their provisions (including the basic rules on how governance is to be done in the East Indies, succession of administration, as well as laying out the main bodies of government for the East Indies), the I.S. 1924, R.R. 1855, and A.B. 1848 existed as constitutional documents and thus under legislative theory, act as staatsgrundgesetz or basic law for any laws enacted in the East Indies; secondly, the three reglements also contained provisions that stipulated the classification of residents of the Netherlands East Indies and which law applies to whom. Economic historian, Ian Brown, identified the formal and non-formal classification of peoples as a key feature of Dutch and British colonial policies between 1830-1942.16 In the British colony of Malaya, classification could be seen from differentiation in educational institution based on race or ethnicity. 17 Chinese only went to Chinese schools; Indians went to school for Indians, while the Natives went to Native school. There existed exceptions however, such as for local nobles, who underwent European education which was, by the time, considered as highclass even by European standards.18 In the East Indies, similar distinctions took place, where schools accepted students based on race or ethnicity. Curriculum were somewhat the same for Chinese, Native, and European schools though the underlying difference was Natives who went to Native schools had to go 13 years of education to earn a diploma, while European and Chinese schools required only twelve. An assumption of this might be the extra year required to teach reading and writing. At the same time, more informal schools existed. One notable example is the pesantren (Islamic LP3ES Indonesia, 1998), pp. 347. 16 Ian Brown, Economic Change in Southeast Asia c. 1830-1980 (Oxford: Oxford University Press, 1997), pp. 160-170. 17 Ibid. 18 Ibid.

Volume 10, Nomor 2, Desember 2020 | Juris LK2 FHUI


58

education) system, which is now integrated into the 12-year government-imposed basic education program instead of being within its own “monastic” track. Although the three groups within the I.S. (European, Native, and Foreign Oriental) enjoyed a normative equality, dealing with the courts entailed different treatment to each. Members of the European class were entitled the privilege of European courts; starting from the Residentiegerecht (for declaratory petitions and small claims), Raad van Justitie (‘Court of Justice,’ as the first appellate jurisdiction from the Residentiegerecht), and at the highest level, Hooggerechtshof (the colonial supreme court).19 A specific regime of European procedural law which patterned that in Europe applied to these cases, as stipulated under the Reglement van Rechtsverordering (Rv), where western principles of procedural law applied. Proceedings did not differ much from that in Europe.20 For Natives, the case was different, as, unless the Natives were “Europeanised,”21 they fell under the jurisdiction of the various adat courts throughout the East Indies.22 The Netherlands East Indies government allowed the vast majority of native communities to be governed by their own local elites, often in the form of native nobles or kings, so procedural law within these adat courts (some of them still are in operation today) varied. However, if the parties were unsatisfied by the decision of an adat court, one could appeal their case to a Landraad, where the bench that ruled on the case would include local nobles and officials, paired with a single European judge, perhaps to ensure procedure.23 Upon 19

See: B. ter Haar, Adat Law in Indonesia, Introduction. Ibid. 21 Gellijkstelling or naturalisation as a European is the a set of actions and/or requirements fulfilled by a member of the Native or Easterner bevolkingsklasse to become regarded as a person of European status. Gautama states that there are two ways to do this: the first method is through a decision by a court upon a dispute where a conflict of laws issue arises. The court will, in determining the lex causae, must see the person’s social and cultural milieu, whether they are registered at a burgerlijk stand/civil registrar of a ‘European area,’ or they had a European name. This first method is called informeel gellijkstelling. The second method is to file an application to become a European through a local registrar, including evidences that the applicant is indeed of European culture and custom. If this application is accepted by local officials, they shall become ‘European by state gazette’ or staatsblad Europeanen. On the principles of naturalisation, see: H. Westra, De Nederlandsch-Indische Staatsregeling (Gravenhage: Martinus Nijhoff, 1927) pp. 1518.; on case discussions on naturalization, see Gautama, Hukum Antargolongan, pp. 153-169. 22 Daniel S. Lev, “The Supreme Court and Adat Inheritance Law in Indonesia.” American Journal of Comparative Law Vol. 11 (1962), pp. 205-224, pp. 207; Sulistyowati Irianto and Adriaan Bedner, “Konsep dan Hukum Waris yang Bergerak.” in Sulistyowati Irianto, Pluralisme Hukum Waris dan Keadilan Perempuan (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor, 2016) pp. 1-41. 23 Ibid. 20

Volume 10, Nomor 2, Desember 2020 | Juris LK2 FHUI


59

having their case accepted and heard by a Landraad, procedural law for Natives were divided into two, the first being for those in Java and Madura, called the Herziene Indonesische Reglement (HIR),24 and the other, the Rechtsreglement Buitengewesten (RBg) which applied for jurisdictions beyond Java and Madura.25 One notable feature of the Landraad system is that, in criminal proceedings, the defendant (either members of the Native or Foreign Oriental class) was not provided a seat upon when being questioned by the courts. Instead, they sat on the floor, not too different from when a commoner addressed a monarch.26 This may be associated with the Dutch not willing to interfere too much in Native dealings; allowing the Landraad system to apply further affirmed Native local values which included an unwritten subordinated relationship that governed relations between commoners and the nobles or local elite.27 Aside from normative discrimination found in education and procedural law, the existence of the I.S. had sociological implications which affect Indonesia and Malaysia even today. Ian Brown concludes that the legal classification of peoples prevented horizontal social mobility in both countries.28 What “horizontal social mobility” means in this context was that certain professions were exclusively attributed to a certain ethnic group. In the East Indies, this meant that the common (non-noble) Javanese were identical with farming, the Chinese were merchants, and thus it would be very difficult for a Javanese to become a great merchant, as the business infrastructure and network was made by and for the Chinese, something further accentuated by government support.29 The same applied the other way around. Members of the European class (whether Europeanised natives, nobles, and actual Europeans) turned to government service both in the civil and armed services.30 Though the governor-general could never be a native, high-ranking civil

24

S. 1884-16 jo. S. 1941-44 S. 1927-227 26 Irianto and Adriaan Bedner, “Konsep dan Hukum Waris yang Bergerak,” pp. 1-41. 27 See: B. Ter Haar, Asas-Asas dan Susunan Hukum Adat [Beginselen en stelsel van het adarecht] translated by Soebakti Poesponoto, 14th Ed. (Jakarta: Balai Pustaka, 2013) pp. 40-44. 28 Ian Brown, Economic Change in Southeast Asia, pp. 160-170; see also: Anne Booth, The Indonesian Economy in the Nineteenth and Twentieth Centuries: A History of Missed Opportunities (London: Palgrave Macmilian, 1998). pp. 307-309. 29 Ibid. 30 Ian Brown, Economic Change in Southeast Asia, pp. 160-170 25

Volume 10, Nomor 2, Desember 2020 | Juris LK2 FHUI


60

service offices, even university professorships, were manned by native nobles. In other words, the aim of such policies were, in the words of a British official in Malaya in 1920:31 The aim of the Government is […] to make the son of the fisherman or peasant a more intelligent fisherman or peasant than his father had been, a man whose education will enable him to understand how his own lot in life fits in with the scheme of life around him. Having given a brief description of how law and society was during the time of the I.S., the question of “why” remains to be answered. Ian Brown prescribes that the primary purpose of the application of legal instruments such as the I.S. was to maintain and/or engineer social structures in order to achieve the highest capital gain in the international commodity markets.32 The East Indies between 1830-1942 was a primary exporter of rubber, oil, tobacco, as well as other “cash crops” that would sell well in the international market and bring great profit to the crown. 33 Hence, the I.S. was just a single part in a larger scheme of colonial economic policy to ensure maximum output in international markets and as a result, the top stayed at the top, and the ones at the bottom stayed at the bottom. In a more apologetic sense, if the son of fishermen became fishermen, then the fish trade would never slow down, as all fishermen would progressively become better, finding ways to catch and transport fishes more efficiently as well as being able to cut costs to maximise profit in the end. B.

The Applicability of The I.S. in Modern Indonesia Law Seeing the discriminatory undertones that existed in both normative and

sociological dimensions that the I.S. provided, the I.S., sitting as a law that became the basis of all other laws in the Indies, would be inherently incompatible once Indonesia proclaimed independence in 1945 and at the same time, enacted a new constitution: the Constituion of 1945 (Undang-Undang Dasar 1945). Article 27 (1) of the 1945 Constitution states that: “All citizens shall have equal status before the

31

Ian Brown, Economic Change in Southeast Asia, pp. 163. Ibid, pp. 160-170 33 Ibid. pp. 96-110. 32

Volume 10, Nomor 2, Desember 2020 | Juris LK2 FHUI


61

law and the government and hold without exemption the law and the government in esteem.” Projecting this provision atop the I.S., which as previously demonstrated, did not treat citizens with “[…] equal status before the law […]”, the I.S. is clearly normatively and politically incompatible with the provisions of the new constitution and the political spirit behind it. Seeing a new constitution being enacted in the territory of the Indies, some people would say that the I.S. as a legal instrument no longer applied. Then, why do lecturers and writers still refer to the I.S.? The key lies in Article II of the Transitionary Rules of the 1945 Constitution, stating that all stately bodies and enacted laws shall apply continuously if not ruled otherwise by the 1945 Constitution.34 Does this mean that the I.S. still applies, at least partially? And since legal classification was not an issue dealt with by the new constitution, does that mean legal classification based on race and ethnicity still exists in Indonesia today? In this section, we will explore opinions from two areas of law where scholars have set their opinions on the matter of applicability, that being from the perspectives of (1) Nawiasky’s hierarchy of norms and (2) from a legal pluralism and conflict of laws perspective, where Yu Un Oppusunggu coined the concept of groepsrecht. 1.

The Indische Staatsregeling within Indonesian hierarchy of norms As stated in previous sections, the pragmatism the Dutch colonial

government held is shown in the I.S.: that ethnic-based policies segregating the people of the Indies on racial, ethnic, and religious lines was done to advance the output of production and this backdrop thus created the provisions determining applicable law and legal classification of peoples were set upon this backdrop, or in more illustrative terms: to keep the fisherman’s son a fisherman, so that he may become a better fisherman in the future. As many legal philosophers have stated, positive law is a mere reflection of governmental politics and political interest and laying at the

Article II of the Transitional Rules of the 1945 Constitution: “All state institutions, statutes, and regulations still in force shall remain so until replaced by this constitution.” 34

Volume 10, Nomor 2, Desember 2020 | Juris LK2 FHUI


62

fundaments of these politics that being a state’s ideology, lies within a state’s constitution.35 Although Dicey states that the constitution is never limited to a constitutional text but includes constitutional conventions, this opinion is not held well by scholars in continental circles. Hans Nawiasky, a profound positivist, states that norms in “continental” or “civil” law cultures exist on a top-down, hierarchical structure, stating from a basic yet holistic abstract value taken from a nation-state’s overall spirit, morals, and conventions on its character (the staatsfundamentalnorm) which in turn forms a basic written norm (staatsgrundgesetz), then statutory legislation (formeelgesetz) existing in the form of statues made by a state’s legislative body, then further down to technical regulations made by sub-sub-departments of government bodies.36 Nawiasky’s approach to law is regarded as the doctrine that forms the fundamental understanding of many Indonesian legal theorists: Constitutional Justice Maria Farida is one proponent of Nawiasky’s approach.37 Thus, having established the hierarchical nature of norms in modern Indonesia, where does the I.S. stand? Shall the change of the Indies’ staatsfundamentalnorm from a colonial, imperial nature to Indonesia’s anticolonial, anti-imperial, democratic one affect the applicability of the I.S.? Indonesian jurist, Sunaryati Hartono, who headed a government research in discussing the applicability of colonial statutes and ordinances, states that the I.S. was indeed a document of a constitutional nature, as it regulated the balance of powers within the Indies as well as defining citizenship and subjectification under the Dutch crown.38 She argues lex

See Brian Z. Tamahana’s discussion on the instrumentalist tradition of legal philosophers in Brian Z. Tamanaha, A General Jurisprudence in Law and Society (Oxford: Oxford University Press, 2001) pp. 46-51. 36 Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-Undangan: Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan, (Yogyakarta: Kanisius, 2016), pp. 48–56 37 Ibid. 38 C.F.G. Sunaryati Hartono, et. al., Analisis dan Evaluasi Peraturan Perundang-undangan Tentang Peninggalan Kolonial (Belanda dan Jepang), (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, 2005) pp. 9-18. 35

Volume 10, Nomor 2, Desember 2020 | Juris LK2 FHUI


63

posteriori derogat legi priori rule39 applies even with the shifts within the rechtspolitiek of the state from colonial (Netherlands East Indies) to postcolonial (Indonesia). She states that the Constitution of 1945 “replaces” the provisions governing state institutions, sovereignty, citizenship, and most importantly to this discussion, the relations between the state and its subjects.40 Article 27 of the 1945 Constitution stand as the most detrimental, effectively erasing the classification of peoples and all kinds of formal discrimination under the laws of the new republic.41 With the provisions governing the colonial nature of the state replaced by the terms of the new constitution, what of the classification of peoples and recognition for the legal pluralism present amongst Indonesia’s deeply pluralistic populace? Does that mean Indonesian law at its very fundament now completely removed from the people that it governs, even more so than their colonial predecessors? 2.

Groepsrecht as a post-independence interpretation of the I.S. Article 131 and 163 I.S. stipulates that there will be three classes of

people in Indonesia and to each their own law. In order to examine whether these two articles were indeed erased by the new constitution, that being under Article 27 of the 1945 Constitution, on the grounds of discrimination, then we must ask ourselves whether Article 131 and 163 of the I.S. were indeed, discriminatory as a norm. However, despite that, the Indonesian legislature over the years has never issued a repeal of the I.S.. Does that mean the I.S. still stands, at least partially (in the context of Article 131 and 163)? The answer is very simple and we can see this in the following illustration: within the same classroom, there may exist a Christian Batak, a Confucian Chinese, a syncretic Javanese Muslim, a Sunda Island Catholic, a

A latin legal term for: “a more recently enacted rule shall replace the old;” Bryan A. Garner, et. al. (eds.), Black's Law Dictionary, 9th ed. (Eagan: West Publishing, 2009) pp. 995, 996: [Latin "a later law prevails over an earlier one”] The principle that a later statute negates the effect of a prior one if the later statute expressly repeals, or is obviously repugnant to, the earlier law. 40 Hartono, Perundang-undangan Tentang Peninggalan Kolonial, pp. 14-16. 41 Ibid. 39

Volume 10, Nomor 2, Desember 2020 | Juris LK2 FHUI


64

Balinese ksatria, a Hadhrami Arab, an Acehnese Muslim, a westernised Indonesian, and an ethnic Papuan who is member of a tribe. Upon asked the question whether polygamy is good or bad, or is alcohol something one can drink without guilt, each will have a different answer, if not from selfdiscovery, then from values, morals, customs, and reasons instilled by the communities they came from. This proves that upon these two questions, many standards of “good and bad”, “allowed and prohibited” exists by virtue of each personal law they hold. Indonesian conflict of laws jurist Sudargo Gautama, quoting his Dutch predecessor, Kollewijn, states that Indonesian private law shall always be based on personal law, or in other words, the law of one’s community/group.42 Gautama concluded this from a simple question: “Is polygamy good or bad?” This question may appear very absurd for those coming from a Western and/or Christian background: certainly, (a heterosexual) marriage is between one man and one woman.43 However, if upon asking an Arab or a Native Muslim who hold closely values of a similar notion, the answer would be a man could marry up to four wives, “says so in scripture.” From these two simple illustrations that there is no absolute answer to “good and bad” in a society where legal pluralism exists. Article 131 and 163 I.S., which preserves the group-law perspective, thus allowing a multitude of applicable private laws at the same time, is necessary for the stability in inter-racial, inter-ethnic, intergroup, and interpersonal relations, something integral within a country that is pluralistic to its very core. Indonesian conflict of laws scholar Yu Un Oppusnggu writes that the discriminatory applications of the I.S. under the concept of bevolkingsklasse are now no longer applicable, though Article 131 and 163 I.S. must retain the force of law to fill in the voids to ensure protection of legal pluralism.44 With the old concept of bevolkingsklasse now thoroughly replaced with the concept 42

Sudargo Gautama, "Asas Persamarataan Sebagai Sendi Asasi Hukum Antar Tata Hukum" Jurnal Hukum dan Pembangunan, Vol 7, No 5 (1977), p. 302-303. 43 Ibid. 44 Yu Un Oppusunggu, “Arti Penting Hukum Antar Tata Hukum untuk Indonesia” Rechtsvinding Vol. 7 No. 2 (2018), pp. 151-153.

Volume 10, Nomor 2, Desember 2020 | Juris LK2 FHUI


65

of groepsrecht (group-law, Id: “golongan hukum”), discriminatory notions are thoroughly erased by the new constitution, but people remain free to live a life based on the principles and tenets of Western, Islamic, or the many varieties of Adat law. The term “citizen” now also applies to all races, ethnicities, and creeds. In a 1966 Cabinet Instruction45 to civil registrars, distinctions between the European class, Foreign Easterner, and Native under the I.S. was then to be ultimately disregarded; the only distinction that existed afterwards being whether a person is an “Indonesian citizen” or a “non-citizen.” This system is still in place today. On the issue of applicable law, in Lie Kwie Hien v. Tjin Tjheuw (1952),46 the Jakarta District Court considered both European and Chinese Adat law, as well as the laws of the People’s Republic of China in determining the applicable law to the dispute.47 In the case of Ampek Urang Jinih (1969),48 the Supreme Court considered both Islamic and Adat law to apply to determine the applicable law to a typically matrilineal inheritance dispute between parties who were of Minangkabau (West Sumatran) origin, an area known for its strong adat roots. In the relatively recent case Pedo, et. al. v Astuti, et. al. (2013),49 the preliminary question of marriage was decided on Sikka Adat law, despite the parties not being married according to their religion (Catholicism) nor having registered their marriage to the civil registrar as required under the Marriage Act of 1974. Additionally, the court held that the defendant’s acts of living with another man while not having severed marital bonds with the plaintiff through an adat ceremony, was considered as tort. In Runuk v Sinar, et. al. (2014)50 the Supreme Court considered both Western and Borneo-based adat laws in regards to adoption,

45

Instruksi Presidium Kabinet No. 31/U/IN/12/1966.; see also Oppusunggu, “Arti Penting HATAH”

pp. 153 46

Indonesia, Jakarta District Court Decision No. 373/1952 G, 5 December 1953; see also Oppusunggu, “Arti Penting HATAH” p. 153 47 Oppusunggu, “Arti Penting HATAH” p. 153 48 Supreme Court of Republic Indonesia, Decision No. 39/K/sip/1969. 49 Supreme Court of Republic Indonesia, Decision No. 49/Pdt.G/2013/PN.MMR 50 Supreme Court of Republic Indonesia, Decision No. 866 K/Pdt/2014.

Volume 10, Nomor 2, Desember 2020 | Juris LK2 FHUI


66

which existed as a crucial preliminary issue to decide the lex causae to the disputed inheritance.51 When deciding the case of Dzuriyat Kesultanan Banten v Sultan Banten (2019),52 the Supreme Court, too, considered whether Adat and Islamic law was to apply in the succession of the Bantenese throne.

II.

CONCLUSION The discussions above has brought us to two conclusions, which are as follows: 1.

Colonial ethnic policy, thus reflected within Article 131 and 163 I.S., engineered a bevolkingsklasse that created a normative and sociological divide. Normatively, the I.S. acted as protection for the personal laws of Europeans, Natives, and Foreign Easterners, though these three volks were not in any way treated equally. In courts, for example, Natives were subjected to, by today’s standards, completely disrespectful and relatively humiliating treatments, in comparison to Europeans. However, said treatment should not be seen as outside of the norm as feudalistic features of Native society were still prevalent at the time. In a sociological aspect, the bevolkingsklasse brought educational segregation, where each volksklasse had their own schools. Nevertheless, native elites were, at least (legally), seen as Europeans at this point. Aside from education, horizontal social mobility was also found to be difficult, as professions were associated with a certain ethnicity.

2. On the issue of applicability, Article 131 and 163 I.S. are still applicable today for three very distinct reasons. Firstly, although “the spirit” of the Indonesian constitution differs completely from the I.S., on a lex posteriori derogat legi priori basis, the Constitution of 1945 nor any later statute has never removed the two articles nor the three applicable laws found under the two provisions. Their discriminatory aspects, however, have been removed, as was further affirmed by the Indonesian government in 1966 through a cabinet decree: 51

Under Conflict of Laws theory, questions of this nature, where there exists a preceding issue that must be answered before the main issue can be addressed, is called ‘the preliminary question.’ Michael Bogdan, “Preliminary Questions?” in Private International Law as Component of the Law of the Forum, (Leiden: Brill Publisher, 2012), pp. 291. 52 Supreme Court of Republic Indonesia, Decision No. 107/K/Ag/2019.

Volume 10, Nomor 2, Desember 2020 | Juris LK2 FHUI


67

distinction between European, Native, and Foreign Easterner no longer exists and “Indonesian citizen” and “foreign citizen” exists as the only legal distinction. Secondly, the existence of Article 131 and 163 I.S. is sociologically necessary to preserve stability and protection to those who came from a certain adat community or affirm to one of the three personal laws in the scope of Indonesian legal pluralism. Thirdly, courts have continually considered more than one law upon the event a conflicts issue arises within a dispute, as was in the case of Lie Kwie Hien v. Tjin Tjheuw (1952), Ampek Urang Jinih (1969), Runuk v Sinar, et. al. (2014), and Dzuriyat Kesultanan Banten v Sultan Banten (2019).

Volume 10, Nomor 2, Desember 2020 | Juris LK2 FHUI


68

BIBLIOGRAPHY A.

Books

Bogdan, Michael. Private International Law as Component of the Law of the Forum. Leiden: Brill Publisher, 2012. Booth, Anne. The Indonesian Economy in the Nineteenth and Twentieth Centuries: A History of Missed Opportunities. London: Palgrave Macmilian, 1998. Brown, Ian. Economic Change in Southeast Asia c. 1830-1980. Oxford: Oxford University Press, 1997. Garner, Bryan A., et. al., eds. Black's Law Dictionary, 9th ed. Eagan: West Publishing, 2009. Gautama, Sudargo. Hukum Antar Golongan: Suatu Pengantar, cet. 11. Jakarta: PT Ichtiar Beru van Hoeve, 1993. Hartono, C.F.G. Sunaryati, et. al. Analisis dan Evaluasi Peraturan Perundang-undangan Tentang Peninggalan Kolonial (Belanda dan Jepang). Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, 2005. Hollemann, J.F., ed., Van Vollenhoven on Indonesian Adat Law. Dordrecht: Springer, 1981. Irianto, Sulistyowati. Pluralisme Hukum Waris dan Keadilan Perempuan. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor, 2016. Mahfud MD, Moh. Politik Hukum Di Indonesia. Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 1998. Soeprapto, Maria Farida Indrati. Ilmu Perundang-Undangan: Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan. Yogyakarta: Kanisius, 2016. Tamanaha, Brian Z. A General Jurisprudence in Law and Society. Oxford: Oxford University Press, 2001. Tamanaha, Brian Z., Caroline Sage, Michael Woolcock (ed.), Legal Pluralism and Development: Scholars and Practitioners in Dialogue. New York: Cambridge University Press, 2012. Ter Haar, B. Adat Law in Indonesia. New York: Institute of Pacific Relations, 1948. Ter Haar, B. Asas-Asas dan Susunan Hukum Adat [Beginselen en stelsel van het adarecht] translated by Soebakti Poesponoto, 14th Ed. Jakarta: Balai Pustaka, 2013. Wahyono, Padmo. Menyelidik Proses Terbentuknya Perundang-undangan. Jakarta: Forum Keadilan, 1992.

Volume 10, Nomor 2, Desember 2020 | Juris LK2 FHUI


69

Westra, H. De Nederlandsch-Indische Staatsregeling. Gravenhage: Martinus Nijhoff, 1927. B.

Articles

Ali, Daud. “Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Hukum Indonesia” Jurnal Hukum dan Pembangunan, Vol 15 (1985). P. 14-30. Daud, Mohammad. “Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Hukum Indonesia” Jurnal Hukum dan Pembangunan 12 (1982). P. 101-110. Gautama, Sudargo. "Asas Persamarataan Sebagai Sendi Asasi Hukum Antar Tata Hukum" Jurnal Hukum dan Pembangunan, Vol 7, No 5 (1977). P. 301-311. Gautama, Sudargo. "Interpersonal Law in Indonesia," The Rabel Journal of Comparative and International Private Law, Vol. 29, No. 3 (1965). P. 545-573. Lev, Daniel S. “The Supreme Court and Adat Inheritance Law in Indonesia.” American Journal of Comparative Law Vol. 11 (1962). P. 205-224. Maladi, Yanis. "Eksistensi Hukum Adat dalam Konstitusi Negara Pasca Amandemen UUD 1945" Jurnal Hukum dan Pembangunan, Vol 41, No 3 (2011). P. 421-440. Oppusunggu, Yu Un. “Arti Penting Hukum Antar Tata Hukum untuk Indonesia” Rechtsvinding Vol. 7 No. 2 Tahun 2018 (2018). P. 147-168. Soekanto, Soerjono. "Hubungan Hukum Adat dengan Hukum Islam," Jurnal Hukum dan Pembangunan 17 (1987). P. 152-162. Von Benda-Beckmann, Franz and Keebet Von Benda-Beckmann, "Myths and stereotypes about adat law: A reassessment of Van Vollenhoven in the light of current struggles over adat law in Indonesia" Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, Vol. 167, No. 2/3 (2011). P. 167-195. Von Benda-Beckmann, Franz. “Who’s Afraid of Legal Pluralism?” Journal of Legal Pluralism Vol 47 (No. 3, 2002). P. 37-82. Winstar, Yelia Nathassa. “Pelaksanaan Dua Sistem Kewarisan Pada Masyarakat Adat Minangkabau” Jurnal Hukum dan Pembangunan, Vol 37, No 2 (2007). P. 154-186; P. 166-176; P. 180. C.

Thesis

Bayuputra, Rizky. “Dzuriyat Kesultanan Banten v Sultan Banten: Conflict of Laws Issues in the Succession of the Bantenese Throne.” Undergraduate Thesis of Universitas Indonesia, 2020.

Volume 10, Nomor 2, Desember 2020 | Juris LK2 FHUI


70

D.

Legal Documents 1)

Statutes

Indonesia, Fourth Amendment of the Constitution of 1945 Netherlands East Indies, S. 1925-415 jo 577. 2)

Case Law

Indonesia District Court of Jakarta, “Decision No. 373/1952 G.” District Court of Maumere, “Decision No. 49/Pdt.G/2013/PN.MMR.” Supreme Court of Republic Indonesia, “Decision No. 107/K/Ag/2019.” Supreme Court of Republic Indonesia, “Decision No. 39/K/sip/1969.” Supreme Court of Republic Indonesia, “Decision No. 866 K/Pdt/2014.” Netherlands East Indies R.v.J. Jakarta, T.153 h. 345, R.v.J. Jakarta 4-8-1939. R.v.J. Jakarta, T.151 h. 163, R.v.J. Jakarta 11-12-1939. R.v.J. Jakarta, T. 152 h. 27, R.v.J. Jakarta 26-4-1940.

Volume 10, Nomor 2, Desember 2020 | Juris LK2 FHUI


71

BIODATA PENULIS

RIZKY BAYUPUTRA is currently a trainee advocate with the dispute team at the Jakartabased law firm HWMA. Rizky graduated from Universitas Indonesia in 2020, majoring in the Conflict of Laws. He wrote his undergraduate thesis on conflict of laws and legal pluralism in Indonesia, particularly on the case of the succession of the Bantenese throne. Rizky was also admitted as an Associate at the Chartered Institute of Arbitrators since September 2020.

Volume 10, Nomor 2, Desember 2020 | Juris LK2 FHUI


72

SHARENTING: POTENSI PELANGGARAN HAK PRIVASI ANAK OLEH ORANG TUA DI MEDIA SOSIAL

Oleh : Rosmedia Tiurmaida Hasugian Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Angkatan 2016 Korespondensi : rosmediahasugian@gmail.com

Abstrak

Pemanfaatan media sosial dalam membagikan aktivitas keseharian berperan besar dalam kehidupan masyarakat tanpa melihat batasan usia. Riset dari Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) tahun 2018 menyatakan sebanyak 25,2% dari anak jenjang usia 5-9 tahun merupakan pengguna internet di Indonesia. Hasil ini menunjukkan bahwa anak juga terpapar penggunaan media sosial sejak dini. Penyebabnya ialah perubahan pola asuh para orang tua berubah dengan membagikan berbagai informasi tentang anak di media sosial yang dinamakan sharenting (sharing dan parenting). Sayangnya, disadari atau tidak, orang tua melakukan sharenting tanpa mendapat persetujuan dari sang anak, padahal orang tua wajib untuk melindungi anak, terutama hak atas privasinya. Tulisan ini dikaji dengan metode yuridis normatif dan perbandingan hukum. Artikel ini menjelaskan sharenting berpotensi melanggar hak privasi anak, yang mencakup kekosongan hukum perlindungan data privasi anak serta dihubungkan dengan potensi cybercrime terhadap anak di bawah umur. Sesuai metode yang dipergunakan dan pembahasan yang dilakukan, maka pencegahan sharenting perlu dilakukan dengan menetapkan kebijakan dan legislasi perlindungan privasi data serta literasi kepada orang tua dalam memberikan perlindungan hak privasi terhadap anak di yurisdiksi virtual.

Kata kunci: media sosial, sharenting, hak privasi anak, tindak pidana siber, anak di bawah umur.

Volume 10, Nomor 2, Desember 2020 | Juris LK2 FHUI


73

Abstract

Sharing daily activities through social media has dominated in life without any age restrictions. As in Indonesia, research from Indonesian Internet Provider Association (APJII) stated that 25,2% of Indonesia’s children between 5-9 years old are active online users. The result shows that children have been involved on social media since early days of their lives. One of the causes is the way parents share their parenting activities online, which is called sharenting (sharing and parenting). Unfortunately, intentionally or not, parents often sharenting without their children’s consent, whereas parents have obligations to protect their children’s privacy rights. This paper uses normative juridical method and comparative law. This article discusses about how sharenting could contribute to children’s privacy right violation, including lack of regulations about data privacy protection to children also the connection between sharenting and cybercrime towards children. Based on this paper’s method and discussions, therefore, prevention of sharenting needs to be done by legislation policy about protection data privacy as well as advocating digital literation towards the parents about protection of their children’s privacy rights in virtual jurisdiction.

Keyword: social media, sharenting, children’s privacy rights, cybercrime, underage children.

Volume 10, Nomor 2, Desember 2020 | Juris LK2 FHUI


74

I.

PENDAHULUAN Perkembangan

teknologi,

informasi,

dan

komunikasi

saat

ini

menimbulkan berbagai kesempatan maupun ancaman dalam kehidupan manusia. Kesempatan dalam kelancaran akses informasi dan komunikasi digunakan manusia dengan memanfaatkan media sosial. Sayangnya, pemanfaatan tersebut tidak menutup ancaman yang dihadapi, terutama permasalahan hukum mengenai privasi.1 Riset dari Internet World Stats hingga bulan Maret 2020 menyatakan terdapat 4.574.150.134

pengguna

internet

dari

keseluruhan

populasi

penduduk dunia sebanyak 7.796.615.710 jiwa.2 Bayangkan betapa banyaknya pengguna yang selalu terhantui oleh pencurian data privasi dalam dunia siber? Akan tetapi, pencurian data privasi tersebut tidak dianggap permasalahan serius, malahan pengguna media sosial menyebarkan informasi pribadi dengan sukarela. Salah satu contohnya yakni perilaku sharenting orang tua di berbagai platform media sosial. Istilah “sharenting”3 (gabungan kata sharing dan parenting) merupakan pola asuh orang tua yang melakukan pengungkapan (disclosure) terhadap berbagai aktivitas dan identitas anaknya di media sosial. Fenomena ini awalnya marak dilakukan oleh para orang tua di Amerika Serikat dan berbagai negara Eropa sejak kehadiran media sosial seperti Facebook, Instagram, Youtube dan lain-lain.4 Sedangkan di Indonesia, data dari Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) tahun 2018 menunjukkan sebanyak 25,2% anak usia 5-9 tahun merupakan pengguna internet. 5 Hal tersebut membuktikan bahwa sejak usia dini, anak telah terpapar dengan beragam media sosial. Salah satu penyebabnya karena para orangtua di Indonesia juga telah melakukan sharenting. Memang, sharenting tidaklah salah, terutama untuk mengabarkan berita perkembangan anak kepada 1

Sonia K. Katyal, “Privacy vs. Piracy,” Yale Journal of Law and Technology Vol. 7, No.1 (2005),

hlm. 251. Internet World Stats, “World Internet Usage and Population Statistics,” https://www.internet worldstats.com/stats.htm, diakses 12 Maret 2020. 3 Collins Dictionary, “Definition of Sharenting,” https://www.collinsdictionary.com/diction ary/english/sharenting, diakses 12 Maret 2020. 4 Tehila Minkus, et. al., “Children Seen But Not Heard: When Parents Compromise Children’s Online Privacy,” (makalah disampaikan pada the 24th International World Wide Web Conference, Florence, Italia, 18-22 Mei 2015), hlm. 1. 5 Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia, “Laporan Survei : Penetrasi & Profil Perilaku Pengguna Internet Indonesia Tahun 2018,” (2018) hlm. 20. 2

Volume 10, Nomor 2, Desember 2020 | Juris LK2 FHUI


75

keluarga dan kenalan lewat media sosial. Akan tetapi, saat memposting dalam media sosial sebagian besar orang tua melakukannya tanpa persetujuan (consent) dari anak tersebut. Orang tua membagikan identitas, lokasi, dan gambar anaknya seolah-olah media sosial adalah album keluarga dan buku menitan (bukan lagi buku harian alias diary).6 Perilaku sharenting ini tentulah melanggar hak privasi anak yang seharusnya diberikan perlindungan oleh orang tua. Selain itu, dampak fenomena sharenting akan mengintai jika jatuh ke tangan oknum tidak bertanggung jawab bahkan berpotensi menimbulkan cybercrime dan tindak pidana lainnya. Perlindungan terhadap segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia7 ialah kewajiban Pemerintah Indonesia. Oleh karena itu, Pemerintah wajib membuat perlindungan kepada masyarakat dalam melakukan aktivitas di ruang siber. Penulis meminjam istilah Danrivanto Budhijanto, yurisdiksi virtual8 dari Negara Indonesia harus tetap ditegakkan tanpa dapat dikurangi demi melindungi seluruh rakyat Indonesia melalui berbagai tata kelola virtual dalam dunia siber. Dalam

artikel

yang

berjudul

“SHARENTING

:

POTENSI

PELANGGARAN HAK PRIVASI ANAK OLEH ORANG TUA DI MEDIA SOSIAL� ini, maka permasalahan penelitian yang akan dijawab antara lain : 1. Bagaimana sharenting dapat berpotensi dalam pelanggaran hak privasi anak sehingga menimbulkan tindak pidana lainnya? 2. Bagaimana solusi dalam menanggulangi fenomena sharenting di Indonesia? Jenis penelitian ini termasuk penelitian bersifat deskriptif analitis sebab penelitian dilakukan dengan cara mengungkapkan fakta (fact finding), mengemukakan hubungan fakta satu dengan lainnya, lalu disusun menggunakan

6

Danrivanto Budhijanto, Revolusi Cyberlaw Indonesia Pembaruan dan Revisi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik 2016 (Jakarta: Refika Aditama, 2017), hlm. 143. 7 Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pembukaan alinea ke-4. 8 Danrivanto Budhijanto, BIG DATA: Yurisdiksi Virtual & Teknologi Finansial (FinTech) (Jakarta: LoGoz Publishing, 2018), hlm. 6.

Volume 10, Nomor 2, Desember 2020 | Juris LK2 FHUI


76

analisis dan interpretasi.9 Kemudian, metode penelitian hukum yang dipakai adalah yuridis normatif. Pendekatan ini juga sering disebut metode studi kepustakaan yang dilakukan dengan cara mengkaji pelbagai asas-asas dan konsep- konsep dari berbagai literatur yang dipergunakan antara lain : buku-buku, jurnal, peraturan perundang-undangan, dan berbagai dokumen lain yang terkait dengan penelitian. Mengenai jenis data yang didapatkan data sekunder, yang berarti data tidak diperoleh secara langsung dari objek penelitian, akan tetapi melalui buku literatur berupa peraturan perundangan, buku-buku, artikel, hasil peneliti terdahulu, dan lain-lain yang bersinggungan dengan permasalahan dalam penelitian.10

II. PEMBAHASAN A. Potensi Pelanggaran Hak Privasi Anak dan Ancaman Tindak Pidana dari Sharenting Media Sosial 1. Konflik Kepentingan antara Hak Kebebasan Bereskpresi Orang Tua dengan Hak Privasi Anak Orang tua berperan sebagai pelindung dan gerbang terhadap segala akses informasi pribadi anak. Pada saat menggunakan media sosial, orang tua seringkali membagikan informasi pribadi dan identitas mengenai anaknya yang mengakibatkan lahirnya jejak digital (digital footprints).11 Tanpa disadari, jejak digital tersebut melekat terhadap anak sepanjang hidupnya, bahkan sebelum sang buah hati dilahirkan ke dunia.12 Salah satu praktik sharenting yang nyata ialah orang tua kerap kali membagikan foto hasil ultrasonografi (USG) kehamilan sang

9

Hadari Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2001), hlm. 63. 10 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Cet. 14 (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 2014), hlm. 12. 11 Buss Wire, “See Digital Birth: Welcome to the Online World�, https://www.bus inesswire.com/news/home/20101006006722/en/Digital-Birth-Online-World, diakses 12 Maret 2020. 12 Buss Wire, “See Digital Birth,� diakses 12 Maret 2020.

Volume 10, Nomor 2, Desember 2020 | Juris LK2 FHUI


77

buah hati ke media sosial pribadi.13 Padahal anak perlu dilindungi yakni seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk janin dalam kandungan.14 Orang tua dan keluarga wajib bertanggung jawab untuk merawat anak sejak masih berbentuk janin.15 Sebagian besar para orang tua memiliki niat baik melakukan sharenting media sosial, terutama dalam menghubungkan koneksi dengan keluarga serta berbagai kolega yang juga memiliki anak. Namun, dapat menjadi permasalahan jika orang tua tidak mengetahui siapakah yang menjadi audiens saat berbagai informasi mengenai anaknya dan menjadi asupan publik. Riset dari Universitas Michigan menyatakan ada beberapa kategori yang dibagikan oleh orangtua dalam media sosial, antara lain (1) tips membuat anak tidur, (2) tips agar anak mau makan, (3) mendisiplinkan anak, (4) kegiatan di PAUD/TK, (5) permasalahan tindakan anak. 16 Lebih lanjut, riset tersebut menyatakan sebanyak 56% orang tua membagikan informasi yang berpotensi memalukan (embarassing information) bagi anaknya, 51% menyatakan informasi yang orangtua bagikan berpotensi untuk dilacak lokasi oleh orang tidak bertanggung jawab, dan 27% orangtua mengakui pernah membagikan foto-foto anaknya sedang telanjang. Data privasi anak yang seringkali dibagikan dimulai dari nama, lokasi, umur, ulang tahun, alamat, agama, hingga nama orang tua.17 Sharenting sangat berkaitan erat dengan hak kebebasan berekspresi atau berpendapat dari orangtua yang telah terjamin dalam berbagai dokumen hukum

13 Affiyah Tri Yuni Sari, “Perlihatkan Potret USG, Hidung Anak Shandy Aulia Jadi Sorotan,” https://www.liputan6.com/showbiz/read/4083332/perlihatkan-potret-usg-hidung-anak-shandy-aulia-jadisor otan, diakses 13 Maret 2020. Lihat juga : Dimas Prasetyo, “Saling Berikan Kabar Bahagia, 3 Artis Ini Pamer Hasil USG Ke Instagram,” https://www.popmama.com/pregnancy/second-trimester/fxdimasprasetyo/artis-ini-perlihatkan-hasil-usg-lolita-ryn-excherrybelle-tommy-kurniawan/full, diakses 13 Maret 2020. 14 Indonesia, Undang-Undang Perlindungan Anak, UU No. 35 Tahun 2014, LN No.297, 14 2014, TLN No. 5606, Ps. 1 ayat (1). 15 Ibid., Ps. 45 ayat (1). 16 C.S. MOTT Children’s Hospital “Sharenting Trends : Do Parents Share Too Much About Their Kids on Social Media,” www.mottchildren.org/news/archieve, diakses 13 Maret 2020. 17 UNICEF, The State of The World’s Children 2017, (New York : UNICEF, 2017), hlm. 93.

Volume 10, Nomor 2, Desember 2020 | Juris LK2 FHUI


78

dunia18 dan Indonesia.19 Meskipun demikian, terhadap pembatasan atas hak kebebasan berkspresi, yakni tunduk yang ditetapkan dengan undang-undang serta pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat yang berlaku sesuai dengan pasal 28 J ayat (2) UUD 1945. Pembatasan atas hak kebebasan berekspresi dari orang tua dalam hal sharenting ialah hak privasi anak. Dalam pemenuhan gaya hidup digital (digital lifestyle)20 orang tua zaman sekarang yang telah dijamin dengan hak kebebasan berekspresi, terkadang anak menjadi korban. Korban karena orang tua tidak menanyakan terlebih dahulu persetujuan (consent) dari anaknya dalam melakukan sharenting. Hal ini terjadi karena terdapat konflik kepentingan antara orang tua yang ingin menginginkan hak kebebasan berekspresinya terpenuhi dengan berbagi informasi mengenai anaknya, namun tersandung dengan hak privasi yang juga melekat terhadap anak. Hak privasi anak yang terikat kepadanya dan telah dijamin oleh berbagai dokumen hukum yang ada. Hak privasi merupakan Hak Asasi Manusia (HAM) sebagaimana terikrar dalam pasal 12 Deklarasi Hak Asasi Manusia Tahun 1948.21 Selanjutnya dalam pasal 8, 12, 16 Konvensi Hak Anak mengenai Hak Privasi Anak juga menjamin bahwa setiap anak harus mendapat perlindungan atas informasi privasinya. Dalam hal pemenuhan hak privasi, persetujuan (consent) dari pihak yang akan dimintai privasinya sangatlah penting.22 Di Indonesia, anak dijamin haknya untuk mempergunakan pendapat sesuai dengan usia dan tingkat kecerdasan yang dimilikinya oleh negara, pemerintah, dan pemerintah daerah.23 Sharenting melanggar hak privasi anak sebab dilakukan tanpa persetujuan “Setiap orang berhak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi; hak ini mencakup kebebasan untuk berpendapat tanpa intervensi dan untuk mencari, menerima dan berbagi informasi dan ide melalui media apapun dan tanpa memandang batas negara.” Lihat : Perserikatan Bangsa-Bangsa, The Universial Declaration of Human Rights, Ps.19. 19 Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945 Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Ps. 128 E ayat (3) dan Ps. 28 F. 20 UNICEF, The State of The World’s Children 2017, hlm. 92. 21 “No-one should be subjected to arbitrary interference with his privacy, family, home, or correspondence, nor to attack on his honor or reputation. Everyone has the right to the protection of the Law such interferences or attacks” Lihat : Perserikatan Bangsa-Bangsa, The Universial Declaration of Human Rights, Ps.12. 22 UNICEF, Anak-Anak Adalah Urusan Kita Bersama: Modul 2.0, (Jenewa : UNICEF, 2013). 23 Indonesia, Undang-Undang Perlindungan Anak, UU No. 35 Tahun 2014, LN No.297, TLN No. 5606, Ps. 24. 18

Volume 10, Nomor 2, Desember 2020 | Juris LK2 FHUI


79

(consent)24 dari anak yang masih di bawah umur tersebut. Terutama, jika anak tersebut masih berbentuk janin dan anak tidak memiliki wewenang untuk memprotes orang tuanya karena dianggap tidak menghormati. Praktek berbeda di Amerika Serikat memiliki Children’s Online Privacy Protection Act (COPPA) sebagai perlindungan terhadap hak privasi anak, COPPA menyatakan bahwa anak-anak di bawah usia 13 tahun adalah tanggung jawab orang tua mereka. Selain itu, COPPA memberikan wewenang pada orang tua memberikan persetujuan (consent) informasi tentang anak yang dapat dipublikasi pada situs online. Akibatnya, banyak di antara orang tua dan para pemangku kepentingan yang memberikan informasi mengenai anak di bawah usia 13 tahun di ranah maya. Bahkan kasus yang terbaru yaitu Youtube digugat karena melanggar hak privasi anak.25 Kemudian, salah satu negara bagian California yang mengeluarkan bill bahwa anak di bawah umur memiliki hak untuk menghapus yang tersebar di berbagai media online dalam media sosial orang tua mereka karena terdapat salah seorang anak yang menuntut orangtuanya di pengadilan akibat sharenting dan berujung cyberbullying terhadap dirinya.26 Sayangnya di Indonesia, hanya terdapat dalam Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 20 Tahun 2016 tentang Perlindungan Data Pribadi Anak yakni mengenai pemberian persetujuan dilakukan oleh orang tua/wali jika pemilik data pribadi merupakan anak. Belum ada mekanisme di mana anak dapat menuntut hak privasinya apalagi dalam ranah persidangan.

2. Potensi Cybercrime dan Tindak Pidana Akibat Sharenting Sifat aktivitas dalam dunia siber, terutama media sosial, antara lain: 27

24

Indonesia, Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, UU No. 19 Tahun 2016, LN No. 251, TLN No. 5952, Ps. 26 ayat (1). 25 Keenan Pasha, “Langgar Privasi Anak, Youtube Kena Denda Rp 2,4 Triliun,” https://www.lip utan6.com/tekno/read/4056346/langgar-privasi-anak-youtube-kena-denda-rp-24-triliun, diakses 20 Maret 2020. 26 Benjamin Shmueli dan Ayelet Blecher-Prigat, “Privacy for Children,” Columbia Human Rights Law Review, Vol. 42 (2011), hlm. 759. 27 Danrivanto Budhijanto, Revolusi Cyberlaw Indonesia Pembaruan dan Revisi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik 2016, (Bandung : Refika Aditama, 2017), hlm. 15.

Volume 10, Nomor 2, Desember 2020 | Juris LK2 FHUI


80

a. mudah, b. penyebarannya cepat dan meluas, c. dapat diakses oleh siapapun dan dimanapun, d. bersifat destruktif, e. viktimisasi tak terbatas Sifat internet yang konvergen artinya menghubungkan dengan platform media sosial satu dengan lainnya, tanpa disadari. Semisal pada saat memposting gambar di Instagram, jika pengaturan privasi tidak diatur maka akan terupdate juga di akun Twitter dan Facebook. Memang, sharenting tidak dapat dikategorikan sebagai pelanggaran hukum. Akan tetapi, berbagai potensi pelanggaran hak privasi anak dan cenderung akan menjadi pembuka jalan bagi tindak pidana lainnya. Oleh karena itu, sharenting haruslah dipikirkan kembali apa yang harus dibagikan, mengapa perlu dibagikan, serta siapakah audiens yang dapat melihat perkembangan tumbuh kembang anak. Hal ini disebabkan banyak potensi cybercrime dan tindak pidana lain mengancam anak di bawah umur. Dalam pergaulan, anak bisa jadi mendapatkan perlakuan langsung maupun tidak dari teman-temannya, antara lain bulllying di dunia nyata hingga cyberbullying oleh orang yang tidak dikenal. Bahkan di Amerika Serikat, praktiknya karena semakin banyak orangtua melakukan sharenting dengan cara memajang foto di Facebook, mereka membuat aplikasi untuk mengolok-olok para bayi dan anak untuk mengganti anak dan bayi tersebut dengan foto lain. Aplikasi tersebut bernama UNBABY.ME.28 Potensi lainnya menghantui anak: pertama, sexting dan grooming ialah mengirimkan pesan tidak senonoh dan melakukan pelecehan seksual terhadap anak. Contoh kasus nyatanya ialah narapidana yang sedang mendekam di penjara melakukan pelecehan seksual oleh orang yang pura-pura menjadi guru di Instagram dan Whatsapp murid. Terpidana meminta berbagai foto ketelanjangan

Austine Considine, “Making Facebook Less Infantile,� https://www.nytimes.com/2012/08/09/ fashion/unbabyme-keeps-baby-pictures-off-facebook.html, diakses 14 Maret 2020. 28

Volume 10, Nomor 2, Desember 2020 | Juris LK2 FHUI


81

dari para murid tersebut.29 Kedua, anak dapat menjadi korban digital identity theft atau pencurian data identitas yang berujung kepada tindak pidana penculikan anak. Sebagai contoh, anak selebritis sering menjadi korban30 dan berujung kepada tindak pidana penculikan serta tindak perdagangan orang dalam kasus seorang bayi dijual dalam 3 hari di Instagram.31 B. Berbagai Antisipasi Mengatasi Fenomena Sharenting di Indonesia 1. Pencegahan oleh Orang Tua dan Pemerintah Orang tua dalam memakai media sosial dalam sharenting harus dapat mengerti bagaimana cara untuk tidak membuat informasi data pribadi anak bocor dan dibagikan oleh orang yang tidak bertanggung jawab. Berbagai platform media sosial telah menghadirkan berbagai kebijakan privasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Terdapat juga mekanisme pelaporan jika terjadi pelanggaran akan Community Guidelines berbagai media sosial seperti Instagram, Whatsapp, Ask.Fm, Facebook, Snapchat. Sebagai contoh, Instagram telah membuat link untuk pelaporan jika terdapat seseorang yang mengambil data privasi seseorang. Dalamnya juga telah diatur mengenai hal ini. Sayangnya, hal tersebut masih kurang karena hanya bersifat lebih kepada penindakan dan bukan kepada pencegahan. Artinya, harus terjadi terlebih dahulu suatu kasus, barulah dapat dilaporkan. Akan tetapi, belum terdapat mekanisme pencegahannya akan dilakukan seperti apa caranya. Memang telah ada himbauan untuk membaca kebijakan privasi. Seringkali hal tersebut tidaklah diperhatikan. Seolah-olah pemencetan klik ‘Yes, I Agree’ adalah perkara yang mudah, padahal selalu bahaya

Adi Briantika, “Predator Anak Manfaatkan Media Sosial, Menyamar Jadi Guru Korban,” https://tirto.id/predator-anak-manfaatkan-media-sosial-menyamar-jadi-guru-korban-eeRW, diakses 12 Maret 2020. Lihat juga : Ahmad Bil Wahid, “Waspada Grooming! Napi di Surabaya Cabuli 50 Lebih Anak Via Medsos,” https://news.detik.com/berita/d-4634768/waspada-grooming-napi-di-surabaya-cabuli-50lebih-anak-via medsos, diakses 13 Maret 2020. 30 Hani Febriani, “Cerita Ruben Onsu, Anak Sulungnya Pernah ‘Dijual’ Akun Jual Beli Bayi Seharga Rp 2 Juta Hanya Karena Iseng,” https://www.pikiran-rakyat.com/entertainment/pr-013 47958/cerita-ruben-onsu-anak-sulungnya-pernah-dijual-akun-jual-beli-bayi-seharga-rp-2-juta-hanya-kare na -iseng, diakses 13 Maret 2020. Lihat juga : Hani Febriani, “Foto Anak Syahnaz Sadiqah Dicatut Akun Jual Beli Bayi, Uya Kuya : Harus Segera Ditindak!” https://www.pikiran-rakyat.com/entertainment/pr-01 347942/foto-anak-syahnaz-sadiqah-dicatut-akun-jual-beli-bayi-uya-kuya-harus-segera-ditindak, diakses 12 Maret 2020. 31 Tim JawaPos.com, “Babak Baru Kasus Jual Beli Bayi via Instagram,” https://www.liputan6 .com/regional/read/3668164/babak-baru-kasus-jual-beli-bayi-via-instagram, diakses 14 Maret 2020. 29

Volume 10, Nomor 2, Desember 2020 | Juris LK2 FHUI


82

mengintai di sekeliling kita tanpa disadari. Selanjutnya, para orang tua diharapkan membaca ketentuan minimal usia (age restrictions) dari kebijakan privasi oleh anak-anak yang ada dalam media sosial Instagram, Facebook, dan Whatsapp. Maka, literasi digital dari para orang tua haruslah ditingkatkan dengan membaca pedoman berbagai kebijakan privasi media sosial. Pemerintah lewat Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) telah melakukan himbauan dari website dan beberapa media “Jangan menampilkan foto dan identitas anak Anda secara sembarangan dalam media sosial karena komunitas para pedofil yang mengancam.� Selanjutnya, KPAI telah bekerjasama dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) dalam pembuatan 18 buku tentang bagaimana orang tua sudah seharusnya melidungi anak saat menggunakan media sosial (literasi digital), tapi dalam penelusuran penulis belum ada yang membahas mengenai ancaman terhadap anak akibat dilakukannya sharenting. Namun, telah ada satu buku yang membahas mengenai privasi anak dalam media sosial dan diharapkan orang tua dapat mempelajarinya dengan sesama.

2. Kebijakan Legislasi Perlindungan Privasi Data Di Amerika Serikat, hak privasi adalah Hak Asasi Manusia yang sangat dijunjung tinggi.32 Kebebasan memperoleh informasi tidak diperkenankan melanggar hakhak pribadi seseorang terlihat dari Privacy Act dalam pengundangan Freedom of Information Act pada tahun 1974 di Amerika Serikat.33 Bahkan telah terdapat kebijakan di Pengadilan California bahwa anak dapat menuntut agar orang tua menghapus berbagai pengungkapan (disclosures) mengenai anak dalam media sosial orangtua.34 Sehubungan dengan itu, negara-negara Eropa yang tergabung dalam Uni Eropa juga memiliki pengaturan terhadap kebijakan privasi data hak untuk dilupakan (right to be forgotten) dalam General Data Protection Regulation

32

Danrivanto Budhijanto, Revolusi Cyberlaw Indonesia, hlm. 139. Amerika Serikat, Freedom of Information Act 1974. 34 California Legislature, Social Media: the Parent’s Accountability and Child Protection Act, Assembly Bill No. 1138. 33

Volume 10, Nomor 2, Desember 2020 | Juris LK2 FHUI


83

(GDRP). Salah satu pasalnya menyatakan bahwa perusahaan media sosial harus dapat memiliki mekanisme untuk menghapuskan data di masa lalu sesuai dengan permintaan dari pengguna media sosial tersebut. Perlindungan privasi data di Indonesia belum memiliki suatu peraturan perundangan yang dan masih sebatas Rancangan Undang-Undang sejak tahun 2012. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik hanya merevisi satu pasal tentang perlindungan privasi data.35 Kemudian perlindungan data privasi mengenai anak juga belum dirancangkan, padahal anak cenderung menjadi korban dan menjadi kewajiban pemerintah bertanggung jawab dalam merumuskan dan melaksanakan kebijakan di bidang penyelenggaraan perlindungan anak.36

III. PENUTUP Dalam upaya mengurangi cybercrime dan tindak pidana lain terhadap anak diharapkan orang tua dapat meningkatkan literasi digital dan seleksi apa hal yang akan dibagikan serta mendapatkan persetujuan (consent) dari sang anak. Pemerintah juga perlu merancang berbagai perundang-undangan agar anak terlindungi dari ancaman yang diakibatkan oleh sharenting.

35 Indonesia, Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, UU No. 19 Tahun 2016, LN No. 251, TLN No. 5952, Ps. 26 ayat (3). 36 Indonesia, Undang-Undang Perlindungan Anak, UU No. 35 Tahun 2014, LN No.297, TLN No. 5606, Ps. 21 ayat (3).

Volume 10, Nomor 2, Desember 2020 | Juris LK2 FHUI


84

DAFTAR PUSTAKA Buku Asshidiqie, Jimly. Perihal Undang-Undang. Jakarta: Konstitusi Press, 2006. Budhijanto, Danrivanto. BIG DATA: Yurisdiksi Virtual & Teknologi Finansial (FinTech). Bandung: LoGoz Publishing, 2018. Budhijanto, Danrivanto. Hukum Telekomunikasi, Penyiaran, dan Teknologi Informasi : Regulasi & Konvergensi. Bandung: Refika Aditama, 2010. Budhijanto, Danrivanto. Revolusi Cyberlaw Indonesia Pembaruan dan Revisi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik 2016. Bandung: Refika Aditama, 2017. Budhijanto, Danrivanto. Teori Hukum Konvergensi. Bandung: Refika Aditama, 2015. Damkjaer, Maja Sonne. “Sharenting : Good Parenting? Four Parental Approaches to Sharenting on Facebook” Dalam Digital Parenting. Göteborg: Nordicom, 2018. Indrati, Maria Farida. Ilmu Perundang-undangan: Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan. Jakarta: Kanisius, 2012. Kelsen, Hans. General Theory of Law and State. New York: Russell & Russell, 1945. Kusumaatmadja, Mochtar. Konsep-Konsep Hukum dalam Pembangunan. Bandung: Alumni, 2006. Kusumaatmadja, Mochtar. Pengantar Ilmu Hukum. Bandung: Alumni, 2000. Nawawi, Hadari. Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2001.

Volume 10, Nomor 2, Desember 2020 | Juris LK2 FHUI


85

Mulhadi, Imam. Hukum dan Keadilan: Ajaran Ahli Hukum Terkemuka. K. Media, 2015. Mulhadi, Imam. Ikhtisar Ilmu Hukum. K. Media, 2017. Qamar, Nurul. Hak Asasi Manusia dalam Negara Hukum Demokrasi. Jakarta: Sinar Grafika, 2016. Rasjidi, Lili. Dasar-Dasar Filsafat Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996. Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Cet. 14. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 2014. Soekanto, Soerjono. Sosiologi Hukum dalam Masyarakat. Jakarta: Rajawali, 2007. UNICEF. Anak-Anak Adalah Urusan Kita Bersama: Modul 2.0. Jenewa: UNICEF, 2013. UNICEF. The State of The World’s Children 2017. New York: UNICEF, 2017.

Artikel Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia. “Laporan Survei: Penetrasi & Profil Perilaku Pengguna Internet Indonesia Tahun 2018.” (2018). Hlm. 20. Budhijanto, Danrivanto. “Peran Hukum Telekomunikasi terhadap Implikasi Konvergensi Teknologi Informasi dan Telekomunikasi” Jurnal Dinamika Hukum Vol. 14, No. 1 (2014). Katyal, Sonia K. “Privacy vs. Piracy.” Yale Journal of Law and Technology Vol. 7, No.1 (2005). Hlm. 251. Shmueli, Benjamin dan Ayelet Blecher-Prigat. “Privacy for Children.” Columbia Human Rights Law Review. Vol. 42 (2011). Hlm. 759.

Volume 10, Nomor 2, Desember 2020 | Juris LK2 FHUI


86

Steinberg, Stacey B. “Sharenting: Children’s Privacy in the Age of Social Media.” Emory Law Journal Vol. 66, No. 4 (2017).

Makalah Minkus, Tehila. et. al. “Children Seen But Not Heard: When Parents Compromise Children’s Online Privacy.” Makalah disampaikan pada the 24th International World Wide Web Conference, Florence, Italia, 18-22 Mei 2015. Hlm. 1.

Peraturan Perundang-Undangan Amerika Serikat, Freedom of Information Act 1974. Amerika Serikat, California Legislature. Social Media: the Parent’s Accountability and Child Protection Act. Assembly Bill No. 1138. Indonesia. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Indonesia. Undang-Undang Perlindungan Anak. UU No. 23 Tahun 2002. LN No. 109. TLN No. 4235. Indonesia. Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. UU No. 11 Tahun 2008. LN No. 58. TLN No. 4843. Indonesia. Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan PerundangUndangan. UU No. 12 Tahun 2001. LN No. 92. TLN No. 4119. Indonesia. Undang-Undang Perlindungan Anak. UU No. 35 Tahun 2014. LN No. 297. TLN No. 5606. Indonesia. Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. UU No. 19 Tahun 2016. LN No. 251. TLN No. 5952. Indonesia. Menteri Komunikasi dan Informatika. Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika tentang Perlindungan Privasi Data. Nomor 20 Tahun 2016.

Volume 10, Nomor 2, Desember 2020 | Juris LK2 FHUI


87

Dokumen Internasional Perserikatan Bangsa-Bangsa. The Universial Declaration of Human Rights.

Internet Briantika, Adi. “Predator Anak Manfaatkan Media Sosial, Menyamar Jadi Guru Korban.” https://tirto.id/predator-anak-manfaatkan-media-sosial-menyam ar-jadi-guru-korban-eeRW. Diakses 12 Maret 2020. Buss Wire.

“See Digital

Birth:

Welcome

to

the Online

World.”

https://www.businesswire.com/news/home/20101006006722/en/DigitalBirth-Online-World. Diakses 12 Maret 2020. Collins Dictionary. “Definition of Sharenting.” https://www.collinsdictionary.com /dictionary/english/sharenting. Diakses 12 Maret 2020. Considine,

Austine.

“Making

Facebook

Less

Infantile.”

https://www.

nytimes.com/2012/08/09/fashion/unbabyme-keeps-baby-pictures-off-face book.html. Diakses 14 Maret 2020. C.S. MOTT Children’s Hospital. “Sharenting Trends : Do Parents Share Too Much About Their Kids on Social Media.” www.mottchildren .org/news/archieve. Diakses 13 Maret 2020 Febriani, Hani. “Cerita Ruben Onsu, Anak Sulungnya Pernah ‘Dijual’ Akun Jual Beli Bayi Seharga Rp 2 Juta Hanya Karena Iseng.” https:// www.pikiranrakyat.com/entertainment/pr-01347958/cerita-ruben-onsu-an ak-sulungnya-pernah-dijual-akun-jual-beli-bayi-seharga-rp-2-juta-hanya karena-iseng. Diakses 13 Maret 2020. Febriani, Hani. “Foto Anak Syahnaz Sadiqah Dicatut Akun Jual Beli Bayi, Uya Kuya: Harus Segera Ditindak!” https://www.pikiran-rakyat.com/entertain ment/pr-01347942/foto-anak-syahnaz-sadiqah-dicatut-akun-jual-belibayi-uya-kuya-harus-segera-ditindak. Diakses 12 Maret 2020. Internet World Stats. “World Internet Usage and Population Statistics.” h t t p s : / / www. internetworldstats.com/stats.htm. Diakses 12 Maret 2020.

Volume 10, Nomor 2, Desember 2020 | Juris LK2 FHUI


88

Pasha, Keenan. “Langgar Privasi Anak, Youtube Kena Denda Rp 2,4 Triliun.” https://www.liputan6.com/tekno/read/4056346/langgar-privasi-anakyoutube-kena-denda-rp-24-triliun. Diakses 20 Maret 2020. Prasetyo, Dimas. “Saling Berikan Kabar Bahagia, 3 Artis Ini Pamer Hasil USG Ke

Instagram.”

https://www.popmama.com/pregnancy/second-

trimester/fx-dimasprasetyo/artis-ini-perlihatkan-hasil-usg-lolita-rynexcherrybelle-tommy-kurniawan/full. Diakses 13 Maret 2020. Sari, Affiyah Tri Yuni. “Perlihatkan Potret USG, Hidung Anak Shandy Aulia Jadi Sorotan.” https://www.liputan6.com/showbiz/read/4083332/perlihatkanpotret-usg-hidung-anak-shandy-aulia-jadi-sorotan. Diakses 13 Maret 2020. Tim JawaPos.com. “Babak Baru Kasus Jual Beli Bayi via Instagram.” https://www.liputan6.com/regional/read/3668164/babak-baru-kasus-jualbeli-bayi-via-instagram. Diakses 14 Maret 2020. Wahid, Ahmad Bil. “Waspada Grooming! Napi di Surabaya Cabuli 50 Lebih Anak Via

Medsos.”

https://news.detik.com/berita/d-4634768/waspada-

grooming-napi-di-surabaya-cabuli-50-lebih-anak-via medsos. Diakses 13 Maret 2020.

Volume 10, Nomor 2, Desember 2020 | Juris LK2 FHUI


89

BIODATA PENULIS

Rosmedia Tiurmaida Hasugian adalah mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran angkatan 2016. Selama menjadi mahasiswa, penulis turut aktif dalam organisasi kemahasiswaan, yaitu Persekutuan Mahasiswa Kristen FH UNPAD. Di samping kegiatan berorganisasi, penulis juga kerap kali mengikuti berbagai ajang kompetisi, baik itu dalam bidang akademik maupun non-akademik. Penulis pernah menjuarai kompetisi menulis “Anti Korupsi� Olimpiade Ilmu Sosial ke12 di Fakultas Ilmu Sosial & Ilmu Politik Universitas Indonesia. Selain itu, ia pernah tercatat sebagai juara ke-2 Lomba Menulis Nasional Cagar Budaya "Aku & Purbakala" yang diadakan oleh Kementerian Pendidikan & Kebudayaan Republik Indonesia.

Volume 10, Nomor 2, Desember 2020 | Juris LK2 FHUI


90

TINJAUAN HUKUM PIDANA KORUPSI TERHADAP GRATIFIKASI SEKSUAL

PANJI PURNAMA Magister Hukum dan Sistem Peradilan Pidana, Universitas Indonesia. Korespondensi: panjipurnama24@gmail.com Abstrak Hukum pidana di Indonesia harus berkembang secara progresif dalam menghadapi tantangan yang semakin kompleks. Termasuk dalam hal tindak pidana korupsi yang dilakukan dengan gratifikasi seksual. Adapun tujuan dari penulisan adalah untuk mengetahui konsep pengaturan, faktor penghambat, dan implementasi penegakan hukum tindak pidana korupsi terhadap gratifikasi seksual. Bahan penelitian yang digunakan adalah bahan hukum primer dan sekunder. Metode penelitian ini menggunakan pendekatan masalah secara yuridis- normatif. Kesimpulan dalam penelitian ini, yaitu: (1) Konsep pengaturan korupsi terhadap gratifikasi seksual hanya merujuk pada Pasal 12B Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; (2) Faktor penghambat penegakan hukum tindak pidana korupsi terhadap gratifikasi seksual untuk saat ini terletak pada pembuktian dan hukum yang belum mengatur secara tegas mengenai gratifikasi seksual; (3) Penegak hukum dapat menjerat pemberi dan atau penerima gratifikasi seksual dengan menerapkan metode penafsiran ekstensif di ketentuan Pasal 12B.

Kata kunci: penegakan hukum, korupsi, dan gratifikasi seksual.

Volume 10, Nomor 2, Desember 2020 | Juris LK2 FHUI


91

Abstract Criminal law in Indonesia must develop progressively in the face of increasingly complex challenges. Including in the case of corruption committed with sexual gratification. The purpose of writing is to determine the concept of regulation, inhibiting factors, and the implementation of law enforcement on corruption against sexual gratification. The research materials used are primary and secondary legal materials. This research method uses a normative juridical problem approach. The conclusions in this study are: (1) The concept of regulating corruption on sexual gratification only refers to Article 12B of Law Number 20 Year 2001 concerning the Eradication of Corruption Crime; (2) The inhibiting factor for law enforcement of corruption against sexual gratification currently lies in evidence and laws that have not explicitly regulated sexual gratification; (3) Law enforcers can ensnare the giver and / or recipient of sexual gratuities by applying the extensive method of interpretation as stipulated in Article 12B.

Keywords: law enforcement, corruption, sexual gratification.

Volume 10, Nomor 2, Desember 2020 | Juris LK2 FHUI


92

I. PENDAHULUAN Hukum pidana di Indonesia harus berkembang secara progresif dalam menghadapi tantangan yang semakin kompleks. Hukum yang berkembang secara progresif mampu mengatasi ketertinggalan serta ketimpangan hukum yang memunculkan terobosan-terobosan hukum.1 Penyesuaian perkembangan hukum pidana korupsi saat ini sangat relevan tentang adanya praktik gratifikasi seksual.2 Praktik tindak pidana korupsi merupakan kejahatan yang tidak bisa dianggap sederhana, mengingat kejahatan ini mampu merusak nilai dan moral suatu bangsa.3 Kehadiran sejak awal pemerintahan bangsa ini memiliki peranan penting dalam pembentukan hukum,4 tetapi dalam perkembangan tindak pidana korupsi ini semakin meluas dengan ditandai munculnya praktik gratifikasi seksual. Praktik gratifikasi yang kita kenal selama ini hanya sebatas barang berwujud, seperti suap uang, barang, tiket bepergian, fasilitas villa atau hotel, dan fasilitas lainnya.5 Akan tetapi, dalam perkembangannya, praktik gratifikasi seksual benar-benar ada. Di Indonesia telah menyeret Hakim Pengadilan Tipikor Bandung, Setyabudi Tedjocahyono pada tahun 2013 yang telah menerima suap dan gratifikasi seksual dari pengusaha bernama Toto Hutagalung.6 Suap dan gratifikasi seksual tersebut diberikan terkait dengan persoalan korupsi dana bantuan sosial yang sedang ditangani oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Bandung. Selain itu, sedikit berbeda dengan yang terjadi pada Ahmad Fathanah, tersangka kasus suap izin impor daging juga menyeret nama mantan Ketua Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Luthfi Hasan Ishaaq. Uang yang diambil 1

Rahardjo S., Penegakan Hukum Progresif (Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara, 2010), hlm

83. 2

Gratifikasi seksual adalah pemberian layanan seksual terhadap pegawai negeri atau penyelenggara negara untuk mempengaruhi keputusan dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya. 3 Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hlm. 1. 4 Tria Anggraini Warigan, “Tanggung Jawab Penyelenggara Negara Terhadap Gratifikasi Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi,”Jurnal Lex Crimen, Vol. 4, No. 2 (April, 2015), hlm. 184. 5 Indonesia, Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, UU No. 20 Tahun 2001, LN No. 134 Tahun 2001, TLN No. 4150, Ps. 12B. 6 M. Rosseno Aji, “Pimpinan KPK Sebut Gratifikasi Seks Harusnya Bisa Dijerat Pidana,” https://nasional.tempo.co/read/1170727/pimpinan-kpk-sebut-gratifikasi-seks-harusnya-bisa-dijerat-pida na, diakses 16 Desember 2019.

Volume 10, Nomor 2, Desember 2020 | Juris LK2 FHUI


93

Ahmad Fathanah dari PT. Indoguna Utama untuk memperlancar izin impor daging tersebut digunakan untuk berhubungan seksual.7 Pengaturan mengenai praktik gratifikasi seksual ini sudah seharusnya diatur di dalam KUHP dan peraturan perundang-undangan. Mengingat perilaku tersebut bukan saja mengancam nilai demokrasi suatu bangsa, tetapi juga mampu merusak moral. Jika membiarkan praktik gratifikasi seksual, lalu apa bedanya dengan melegalkan suatu praktik prostitusi. Bahkan, gratifikasi seksual pada dasarnya melanggar dua pelanggaran yang dibuat, yaitu korupsi dan memberi atau menerima layanan seks. Saat ini di Indonesia belum mengatur mengenai gratifikasi seksual, baik pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi maupun pada KUHP. Kasus yang terjadi pada Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Bandung, Setyabudi Tedjocahyono, harus menjadi dorongan perkembangan hukum pidana secara progresif. Mengingat pentingnya pengaturan secara komprehensif mengenai gratifikasi dalam praktik tindak pidana korupsi di Indonesia. Oleh sebab itu, tinjaun hukum pidana korupsi terhadap gratifikasi seksual, khususnya dalam konteks pengaturan, penegakan hukum (law enforcement), dan implementasinya merupakan studi yang problematis, penting, dan menarik.

II.

PEMBAHASAN A. Konsep Pengaturan Tindak Pidana Korupsi Terhadap Gratifikasi Seksual Gratifikasi dalam bahasa Belanda, yaitu gratifikatie atau dalam bahasa Inggris gratification berarti hadiah. Gratifikasi dapat diartikan sebagai suatu pemberian hadiah uang kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara. Penyelenggara negara yang dimaksud pada Undang-Undang No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme Pasal 1 angka 1 adalah

Heri Ruslan, “Maharani Mengaku Diajak Berhubungan Intim Oleh Fathanah,� https://www.republika.co.id/berita/nasional/hukum/13/05/17/mmxz2v-maharani-mengaku-diajak-berhu bungan-intim-oleh-fathanah, diakses 16 Maret 2020. 7

Volume 10, Nomor 2, Desember 2020 | Juris LK2 FHUI


94

pejabat negara yang menjalankan fungsi legislatif, yudikatif, dan pejabat lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggara negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.8 Secara yuridis, gratifikasi adalah pemberian dalam arti luas, yakni pemberian uang, barang, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, dan fasilitas lainnya.9 Latar belakang istilah gratification muncul di negara-negara Anglo Saxon dan Eropa Kontinental karena sulitnya pembuktian mengenai suap (bribery). Gratifikasi lebih banyak dikenal sebagai gift atau pemberian.10 Praktik gratifikasi dalam tindak pidana korupsi adalah pemberian hadiah yang merupakan adat istiadat.11 Jika ditinjau dari sudut pandang normatif, gratifikasi adalah perbuatan yang melawan sifat hukum formil dan materiil. Hal itu dilihat atas dasar dampak perbuatan gratifikasi yang telah merusak nilai-nilai moral dan etika, sehingga diperlukan perbaikan sistem. Dampak gratifikasi secara umum akan membuat hilangnya kepercayaan masyarakat kepada pegawai negeri dan penyelenggara negara. 12 Oleh karena itu, keberadaan perilaku gratifikasi harus dimaknai secara jelas sehingga kriteria dan golongan sebagai tindak pidana korupsi benar-benar jelas.13 Kompleksnya permasalahan pada tindak pidana korupsi dalam hal ini munculnya praktik gratifikasi seksual perlu dilakukan kriminalisasi. Beberapa negara sudah mengatur praktik gratifikasi seksual, seperti Singapura dan India. Di Singapura melarang gratifikasi seksual sebagaimana yang sudah diatur dalam Undang-Undang Pencegahan Korupsi. Salah satu praktik gratifikasi seksual yang terjadi di Singapura, yaitu Pejabat Otoritas Imigrasi dan Pos Pemeriksaan Singapura (ICA), Chin Peng Sum

8

Indonesia, Undang-Undang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, UU No. 28 Tahun 1999, LN No. 75 Tahun 1999, TLN No. 3851, Ps. 1 angka 1. 9 Indonesia, Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, UU No. 20 Tahun 2001, Penjelasan Ps. 12B ayat (1). 10 Eddy OS Hiariej, “Memahami Gratifikasi,” https://nasional.kompas.com/read/20 11/06/13/03392292/Memahami.Gratifikasi, diakses 10 Maret 2020. 11 Kristian dan Yopi Gunawan, Tindak Pidana Korupsi Kajian Terhadap Harmonisasi antara Hukum Nasional dan The United Nations Convention Against Corruption (UNCAC), cet.1 (Bandung: Refika Aditama, 2015), hlm. 56. 12 Nur Mauliddar, Mohd Din dan Yanis Rinaldi, “Gratifikasi Sebagai Tindak Pidana Korupsi Terkait Adanya Laporan Penerimaan Gratifikasi,” Jurnal Kanun Hukum, Vol. 19. No. 1 (April,2017), hlm. 161. 13 Syamsul Bahri, “Korupsi dalam Kajian Hukum Islam,” Jurnal Hukum Kanun, No. 67 (Desember, 2015), hlm. 608.

Volume 10, Nomor 2, Desember 2020 | Juris LK2 FHUI


95

yang telah menyalahgunakan kewenangannya untuk proses perpanjangan visa dari dua wanita asal China. Chin Peng Sum menerima gratifikasi seks sebagai imbalan. 14Sama halnya dengan Indonesia, Singapura memiliki lembaga anti korupsi, yaitu (Corrupt Practices Investigation Bureau) sebagai organisasi baru yang independen dan terpisah dari lembaga kepolisian untuk melakukan penyidikan semua kasus korupsi.15 Sedangkan di India, pada September 2018 telah mengkriminalisasi praktik gratifikasi seksual dengan memuat pengaturannya di dalam UU Korupsi. India mengamandemen melakukan amandemen terhadap Undang-Undang Pencegahan Korupsi dengan memasukkan gratifikasi seksual sebagai salah satu bentuk suap. Selain gratifikasi seksual, termasuk dalam pemberian suap dalam amandemen ini adalah pemberian keanggotaan di klub mahal hingga hiburan mewah. Hukuman bagi pelanggaran ini, yaitu maksimal tujuh tahun penjara.16 Konsep pengaturan tindak pidana korupsi yang memuat mengenai gratifikasi diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi. Sejak Indonesia ini berdiri, korupsi selalu menghantui dinamika perkembangan berbangsa dan bernegara. Persoalan korupsi ini menjadi fokus perhatian pemerintah, karena korupsi sendiri telah melemahkan demokrasi dan supremasi hukum yang mampu menimbulkan pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia.17 Keseriusan pemerintah terhadap pemberantasan korupsi ditandai dengan pembentukan regulasi pada tahun 1957. Upaya kriminalisasi terhadap korupsi tersebut muncul dengan adanya Peraturan Penguasa Militer Angkatan Darat dan Laut Nomor Prt/PM/06/1957 tertanggal 9 April 1957.18 Kemudian adanya penetapan Undang-Undang Nomor 24/Prp/1960 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan

Novi Christiastuti, “Terima Gratifikasi Seks, Pejabat Imigrasi Singapura Diadili,” https://news.detik.com/internasional/d-4231987/terima-gratifikasi-seks-pejabat-imigrasi-singapura-diadi li, diakses 12 September 2020. 15 Tunjung Mahardika dan Hergia Luqman, “Perbandingan Penanganan Tindak Pidana Korupsi di Negara Singapura dan Indonesia,” Jurnal Hukum Pidana dan Penanggulangan Kejahatan (SeptemberDesember 2013), hlm. 267. 16 Denny Armandhanu, “Dari Malaysia hingga India, Negara Penjerat Pelaku Gratifikasi Seks,” https://kumparan.com/kumparannews/dari-malaysia-hingga-india-negara-penjerat-pelaku-gratifikasi-se ks-1549169787671828642, diakses 16 Desember 2019. 17 Aradila Caesar Fahmi, Lalola Easter Kaban dan Emerson Yuntho, Naskah Akademik dan RUU Tipikor Usul Inisiatif Masyarakat (Jakarta:Indonesia Corruption Watch, 2012), hlm. 12. 18 Ibid., hlm. 13. 14

Volume 10, Nomor 2, Desember 2020 | Juris LK2 FHUI


96

Tindak Pidana Korupsi. Seiring perkembangan tindak pidana korupsi, Undang-Undang tersebut disempurnakan dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pada masa Orde Baru.19 Dalam upaya pencegahan korupsi, ada dua aspek penting yaitu Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) dan pelaporan gratifikasi. 20 Ketentuan mengenai pengaturan gratifikasi itu sendiri telah diakomodir oleh Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 jo Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi serta Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 jo Undang-Undang No. 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pengaturan gratifikasi ini sangat penting bagi penanggulangan tindak pidana korupsi di Indonesia. Pertanyaan-pertanyaan secara yuridis terkait gratifikasi, yaitu apakah perlu adanya perbaikan ketentuan gratifikasi di dalam UU dan apakah pengaturan gratifikasi dalam undang-undang belum diatur secara komprehensif,21 tentunya sangat diperlukan dan belum secara komprehensif. Karena gratifikasi itu sendiri telah mengalami perkembangan yang semakin luas. Kasus yang dialami oleh Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Bandung, telah merepresentasikan bentuk baru dari gratifikasi. Konsep pengaturan tindak pidana korupsi terhadap gratifikasi seksual masih pada pengaturan gratifikasi secara luas, yaitu pada ketentuan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 jo Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi serta Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 jo Undang-Undang No. 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dari undang-undang tersebutlah kemudian semangat pemberantasan korupsi yang menitik beratkan pada pencegahan perilaku koruptif dari pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dapat berpotensi melakukan praktik gratifikasi. Seperti pada Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah, Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 07/PMK/2005 tentang pemberlakuan Deklarasi Kode Etik dan perilaku Hakim

19

Fahmi, Naskah Akademik dan RUU Tipikor Usul Inisiatif Masyarakat, hlm. 13. Topo Santoso, “Menguak Relevansi Ketentuan Gratifikasi di Indonesia,� Jurnal Dinamika Hukum, Vol 13, No 3 (2013), hlm. 403. 21 Ibid. 20

Volume 10, Nomor 2, Desember 2020 | Juris LK2 FHUI


97

Konstitusi. Bahkan, pada tahun 2010 KPK telah mengeluarkan Buku Saku Gratifikasi yang memuat apa itu gratifikasi, sanksi, mekanisme pelaporan dan siapa yang harus melaporkan gratifikasi.22 Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 jo Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi Pasal 12B memiliki frasa yang multitafsir, yaitu bahwa gratifikasi adalah uang, barang, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, dan “fasilitas lainnya�. Frasa fasilitas lainnya tersebut telah menjadi perdebatan, apakah layanan seks dapat dimaknai dengan fasilitas lainnya hingga suap dalam bentuk layanan seks dapat dijerat menggunakan Pasal 12B. Lalu kemudian pemberian layanan seksual yang diberikan kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara adalah termasuk sebuah fasilitas. Pertanyaan yuridis tersebut berpotensi menjadi penghambat pada proses penegakan hukum dan konsep pengaturan yang ada saat ini. B. Faktor Penghambat Penegakan Hukum Pada Tindak Pidana Korupsi Terhadap Gratifikasi Seksual Penegakan hukum sebagai suatu proses wujud negara berdasarkan hukum (rechtsstaat). Pada hakikatnya hukum yang selaras dengan nilai-nilai, kaidah- kaidah yang ada di masyarakat demi menciptakan kedamaian pergaulan hidup yang ada pada masyarakat. Konsep itu harus memerlukan penjelasan sehingga akan tampak lebih konkrit.23 Oleh karenanya, proses penegakan hukum menjadi instrumen yang sangat penting bagi negara hukum dalam menjamin kepastian hukum. Kebijakan hukum pidana (penal policy) sebagaimana yang dikutip oleh Barda Nawawi Arief dari Marc Ancel, bahwa kebijakan hukum pidana adalah suatu ilmu sekaligus seni yang memiliki tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan bermaksud untuk memberikan pedoman bukan hanya kepada pembuat undang-undang tetapi juga kepada pengadilan yang menerapkan undang-undang dan juga kepada penyelenggara atau pelaksana putusan pengadilan. Lalu

22

Komisi Pemberantasan Korupsi, Buku Saku Gratifikasi (Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi, 2010). 23 Soerjono Soekanto, Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum (Jakarta: Rajawali Pers, 2008), hlm. 7.

Volume 10, Nomor 2, Desember 2020 | Juris LK2 FHUI


98

Marc Ancel juga menyatakan, bahwa modern criminal science terdiri dari tiga komponen, yaitu: criminology, criminal law, penal policy.24 Proses penegakan hukum memiliki fungsi sebagai perlindungan dan mencapai kesejahteraan manusia. Agar tujuan dari kepentingan manusia terlindungi, maka hukum harus dilaksanakan dengan baik. Kemudian terdapat tiga unsur yang mesti diperhatikan pada penegakan hukum, yakni:25 Pertama, adanya kepastian hukum (rechtssicherheit); Kedua, kemanfaatan (zweckmassigkeit); Ketiga, keadilan (gerechtigkeit). Proses penegakan hukum juga tidak terlepas dari aparatur penegak hukum itu sendiri, tentu jika aparatur penegak hukumnya baik akan mampu melaksanakan hukum dengan baik. Didukung dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur secara komprehensif, sehingga fungsi penegakan hukum mampu terwujud. Dalam proses penegakan hukum terkadang mengalami hambatan- hambatan dikarenakan beberapa faktor, baik dari hukumnya atau faktor lainnya. Menurut Lawrence M. Friedman sebagaimana dikutip Mardjono Reksodiputro,26 sistem hukum (legal system) terdiri atas tiga komponen, yaitu: Pertama, struktur hukum (legal structure) meliputi badan eksekutif, legislatif dan yudikatif serta lembaga-lembaga terkait, misalnya Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, Komisi Yudisial, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan lain-lain. Kedua, substansi hukum (legal substance) adalah mengenai norma, peraturan maupun undang- undang. Ketiga, budaya hukum (legal culture) adalah meliputi pandangan, kebiasaan maupun perilaku dari masyarakat mengenai pemikiran nilai-nilai dan pengharapan dari sistem hukum yang berlaku, dengan perkataan lain, budaya hukum itu adalah iklim dari pemikiran sosial tentang bagaimana hukum itu diaplikasikan, dilanggar atau dilaksanakan. Proses penegakan hukum kerap kali mengalami hambatan dalam mewujudkan kepastian hukum yang diharapkan masyarakat. Faktor yang mempengaruhi penegakan 24

Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, cet. 6 (Jakarta: Kencana, 2017),

hlm. 21. 25

Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 1999), hlm. 145. Mardjono Reksodiputro, Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Melihat Kejahatan dan Penegakan Hukum dalam Batas-Batas Toleransi (Jakarta: Pusat Keadilan dan Pengabdian Hukum, 1994), hlm. 81. 26

Volume 10, Nomor 2, Desember 2020 | Juris LK2 FHUI


99

hukum tersebut, mengenai sistem hukum (legal system) terkait substansi hukum (legal substance) dan struktur hukum (legal structure). Penegakan hukum tindak pidana korupsi terhadap gratifikasi seksual untuk sekarang ini terhambat oleh peraturan perundang-undangan yang belum mengatur secara jelas mengenai praktik gratifikasi seksual. Undang-Undang yang ada saat ini mengenal secara luas terkait gratifikasi, namun aparatur penegak hukum dalam menindak pemberi dan/atau penerima layanan seksual harus mampu menjelaskan apakah penerimaan uang atau barang lain oleh terdakwa kasus korupsi pada dasarnya untuk memperoleh kenikmatan, sama seperti jasa layanan seks yang mungkin difasilitasi orang tertentu untuk mendapat keuntungan dari seorang penyelenggara negara. Inilah yang jadi persoalan, apakah layanan itu bisa dikualifikasi sebagai hadiah atau pemberian sesuatu. Tidak dipungkiri pertanyaanpertanyaan yuridis itu kemudian menjadi salah satu faktor penghambat proses penegakan hukum korupsi mengenai gratifikasi seksual. Struktur hukum yang ada, dalam hal ini yang diberikan kewenangan lebih terhadap penegakan hukum tindak pidana korupsi, yakni Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Karena undang-undang saat ini masih menjadi perdebatan apakah kata “fasilitas lainnya� di dalam Pasal 12B UU No. 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi dapat dimaknai juga dengan pemberian layanan seks. Maka, KPK maupun lembaga penegak hukum yang lain belum mampu menjerat para pelaku kejahatan, bukan hanya karena belum jelasnya kriminalisasi terhadap gratifikasi seksualnya, melainkan juga pada faktor pembuktian. Jika tidak ada jejak digital atau elektronik seperti percakapan di email, pesan, atau media lainnya penegak hukum akan kesulitan dalam beban pembuktian. Moeljatno menyebutkan ada tiga kriteria kriminalisasi dalam hal pembaharuan hukum pidana, yaitu: Pertama, ketetapan sesuatu yang dilarang (perbuatan pidana) harus memperhatikan sesuai dengan perasaan hukum yang hidup dalam masyarakat. Kedua, ancaman pidana atau penjatuhan pidana menjadi satu-satunya solusi untuk mencegah dilanggarnya larangan-larangan tersebut. Ketiga, apakah pemerintah dengan

Volume 10, Nomor 2, Desember 2020 | Juris LK2 FHUI


100

lembaganya akan benar-benar mampu melaksanakan ancaman pidana yang sudah dibuat.27 Urgensi dalam upaya mengkriminalisasi perbuatan gratifikasi seksual yang tidak terlepas dari suap adalah sebagai suatu pembaharuan hukum pidana yang mampu menyesuaikan dengan perkembangan atau sesuai dengan perasaan hukum yang hidup dalam masyarakat. Di Indonesia saat ini banyak terjadi kasus korupsi dengan tidak hanya dilakukan sesuai penjelasan Pasal 12B, lalu kemudian bagaimana dengan suap berupa layanan seks yang saat ini masih belum secara jelas disebutkan pada UU Tipikor. Pada akhirnya, para penegak hukum hanya dapat menjerat pelaku dari sisi suap yang dapat dihitung secara ekonomis, tanpa mampu lebih jauh menjerat suap dengan bentuk layanan seksual.28 Oleh karenanya, agar tidak terjadi ketidaktertiban sosial dibutuhkan adanya sebuah aturan dalam rangka menanggulangi tindakan dan akibat buruk dari tindak pidana korupsi. Karena tindak pidana korupsi pada hakikatnya dapat merusak kehidupan sosial. Maka, peraturan perundang-undangan yang dibuat harus sesuai dengan aspirasi masyarakat pada umumnya.29

27

Moeljatno, Azas-Azas Hukum Pidana (Jakarta: PT Bina Cipta, 2000), hlm. 5. Putusan Mahkamah Agung No. 1148 K/Pid.Sus/2014 dengan terdakwa bernama Ahmad Fathanah yang dijatuhkan pidana penjara 16 tahun. Putusan kasasi tersebut telah menguatkan keputusan Pengadilan Tinggi Jakarta No. 10/PID/TPK/2014/PT.DKI. Sebelumnya Ahmad Fathanah melalui Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 39/Pid.Sus/TPK/2013/PN.JKT.PST dihukum 14 tahun penjara. Sebagaimana kita ketahui, Ahmad Fathanah ditangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Hotel Le Mederien, Jakarta pada tahun 2013. Fathanah ditangkap atas dugaan suap kuota impor daging sapi. Petugas KPK mendapati Ahmad Fathanah bersama dengan seorang wanita bernama Maharani Suciyono. Dalam kasus impor daging tersebut, Ahmad Fathanah diduga mendapat suap berupa layanan seks. Akan tetapi, dakwaannya hanya menerapkan Pasal 12 huruf a UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tanpa melihat Pasal 12 B dari undang-undang yang sama. Ini adalah potret penegakan hukum, dimana hukum yang tidak secara jelas disebutkan di dalam uu tidak mudah untuk diterapkan dalam tuntutan atau dakwaan. Sehingga, yang mestinya suap dalam bentuk layanan seks sebagai pengiring suap uang atau bentuk yang dapat dihitung secara ekonomis (dapat dihitung) diharapkan akan mampu memperberat hukuman terhadap terdakwa yang telah melakukan tindak pidana korupsi. Jika berkaca pada kasus tersebut, terdakwa Ahmad Fathanah justru diuntungkan, karena tidak dikenakan pasal berlapis mengenai suap dalam bentuk layanan seks. 29 Ridwan, “Upaya Pencegahan Tindak Pidana Korupsi Melalui Peran Serta Masyarakat,� Jurnal Hukum Kanun, No. 64 (Desember, 2014), hlm. 395. 28

Volume 10, Nomor 2, Desember 2020 | Juris LK2 FHUI


101

C. Implementasi Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Terhadap Gratifikasi Seksual Tindak pidana korupsi termasuk yang memiliki kompleksitas lebih rumit jika dibandingkan dengan tindak pidana konvensional atau bahkan tindak pidana khusus lainnya. Kejahatan kerah putih (white collar crime) ini dalam tahap penyelidikan terdapat beberapa institusi seperti Kepolisian, Kejaksaan dan KPK yang berwenang untuk menangani proses penyidikan terhadap pelaku tindak pidana yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi. Tindak pidana korupsi yang dilakukan semakin sistematis dan lingkungannya memasuki seluruh aspek kehidupan masyarakat.30 Cakupan tindak pidana korupsi semakin luas dengan diadopsinya suap-menyuap, hal ini mencerminkan bahwa korupsi tidak melulu berkaitan dengan perbuatan yang merugikan keuangan negara.31 Menurut Joseph Goldstein sebagaimana dikutip Mardjono Reksodiputro, penegakan hukum harus dimaknai dalam tiga kerangka konsep, yaitu:32 Pertama, konsep penegakan hukum yang bersifat total (total enforcement concept) yang menuntut agar semua nilai yang ada di belakang norma hukum tersebut ditegakkan tanpa terkecuali. Kedua, konsep penegakan hukum yang bersifat penuh (full enforcement concept) yang menyadari bahwa konsep total perlu dibatasi dengan hukum acara dan sebagainya demi perlindungan kepentingan individual. Ketiga, konsep penegakan hukum aktual (actual enforcement concept) yang muncul setelah diyakini adanya diskresi dalam penegakan hukum karena keterbatasan- keterbatasan, baik yang berkaitan dengan sarana, kualitas sumber daya manusianya, perundang-undangannya dan kurangnya partisipasi masyarakat.

30 Fabian Ratulangi Mamahit, “Partisipasi Masyarakat Dalam Penyidikan Tindak Pidana Gratifikasi Berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi,� Jurnal Lex Crimen, Vol. 8, No. 5 (Mei, 2019), hlm. 111. 31 Ricardo Lalu, “Penegakan Hukum Tindak Pidana Gratifikasi Menurut Hukum Positif Indonesia,� Jurnal Lex Crimen, Vol. 8, No. 5 (Mei, 2019), hlm. 29. 32 Reksodiputro, Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Melihat Kejahatan dan Penegakan Hukum dalam Batas-Batas Toleransi, hlm. 76.

Volume 10, Nomor 2, Desember 2020 | Juris LK2 FHUI


102

Keterbatasan mengenai aktualitas hukum bukan menjadi alasan untuk tidak melakukan proses penegakan hukum yang berkeadilan serta mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Implementasi seharusnya terhadap tindak pidana korupsi dalam praktik gratifikasi seksual dapat dilakukan dengan beberapa cara, antara lain dengan melakukan konsep penegakan hukum aktual (actual enforcement concept), dan konsep metode penafsiran ekstensif. Pertama, konsep penegakan hukum secara aktual yang melakukan upaya penegakan hukum karena adanya keterbatasan-keterbatasan, baik menyangkut sumber daya manusia, yaitu aparatur penegak hukum maupun keterbatasan peraturan perundang-undangan. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 jo Undang- Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi yang memiliki keterbatasan pengaturan terkait gratifikasi seksual yang belum mengalami aktualisasi hukum akibat perkembangan yang ada, konsep ini dapat dilakukan oleh lembaga penegak hukum. Kedua, melakukan penegakan hukum dengan menggunakan konsep penafsiran dengan metode ekstensif. Implementasi penegakan hukum, kegiatan penegak hukum dalam menafsirkan suatu teks undang-undang sangat penting. Ada beberapa metode dalam penafsiran makna yang terkandung dalam teks-teks hukum untuk menyelesaikan kasus-kasus yang dihadapi secara konkrit. Penafsiran Hakim (Judicial Interpretation) juga dapat berfungsi sebagai metode perubahan konstitusi dalam arti menambah, mengurangi, atau memperbaiki makna yang tercantum dalam undang-undang. Teori penafsiran menurut Utrecht, yaitu:33 Penafsiran kata atau istilah, penafsiran historis, penafsiran sistematis, penafsiran sosiologis, dan penafsiran otentik atau resmi dapat digunakan, dalam hal ini mengenai implementasi penegakan hukum pada tindak pidana korupsi terhadap gratifikasi seksual. Untuk melakukan sebuah penafsiran terhadap peraturan perundang-undangan, hakim berhak menafsirkan dan menentukan metode penafsiran yang sesuai dengan persoalan yang ingin diselesaikan. Jika merujuk pada Pasal 24 Undang-Undang Dasar 1945, menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman yang merdeka ialah kekuasaan yang terlepas dari pengaruh kekuasaan manapun. Hal itu 33 Utrecht, Pengantar dalam Hukum Indonesia, diterjemahkan oleh Moh. Saleh Djindang, cet. 9 (Jakarta: Ichtiar Baru, 1983), hlm. 208.

Volume 10, Nomor 2, Desember 2020 | Juris LK2 FHUI


103

dipertegas dengan ketentuan Pasal 1 Undang Undang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan bahwa “Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya negara Hukum Republik Indonesia.”34 Sedangkan pada Pasal 10 Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 disebutkan “Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.”35 Kemudian lebih lanjut pada pasal 5 ayat (1) menyatakan: “Hakim dan Hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.”36 Sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, hakim dalam mengadili suatu perkara harus bertindak sebagai berikut ini: a). Pada perkara hukum atau peraturan yang mengaturnya sudah jelas dan hakim tinggal menerapkannya sebagaimana aturan yang ada; b). Keberadaan hukum yang kabur atau kurang jelas, maka hakim dapat menggunakan penafsiran atau metode yang lazim berlaku dalam ilmu hakim; c). Dalam kasus dimana undang-undang atau hukum tertulisnya belum mengatur, maka hakim harus memiliki visi ke depan untuk menciptakan hukum tentunya berdasarkan atas nilai yang hidup di lingkungan masyarakat. Mengacu pada ketentuan tersebut, hakim harus memutuskan perkara yang diadilinya semata-mata berdasarkan hukum, kebenaran dan keadilan dengan objektif. Agar putusan hakim diambil secara adil dan objektif berdasarkan hukum, kebenaran dan keadilan maka sidang harus terbuka untuk umum terkecuali undang-undang yang menyatakan lain, hakim wajib dalam putusannya membuat pertimbangan-pertimbangan hukum yang digunakan untuk memutuskan suatu perkaranya.37 Agar mencegah terjadinya subjektivitas seorang hakim, Pasal 5 Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 34

Indonesia, Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman, UU No. 48 Tahun 2009, LN No. 157 Tahun 2009, TLN No. 5076. 35 Ibid, Ps. 10. 36 Ibid, Ps. 5 ayat (1). 37 Afif Khalid, “Penafsiran Hukum Oleh Hakim dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia,” Jurnal Al’Adl, Vol. 4, No. 11 (Juni, 2014), hlm. 25-26.

Volume 10, Nomor 2, Desember 2020 | Juris LK2 FHUI


104

tentang Kekuasaan Kehakiman, hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai serta hukum yang hidup dalam masyarakat. Akan tetapi, perlu memunculkan nilai hukum yang baik dan benar berdasarkan pancasila dan “According to the law of civilized nations.�38 Implementasi penegakan hukum pada tindak pidana korupsi terhadap gratifikasi seksual, menurut penulis para penegak hukum untuk saat ini dapat menjerat pemberi dan atau penerima layanan seksual atau gratifikasi seksual, dengan menerapkan ketentuan Pasal 12B UU Tipikor, karena layanan seksual dalam kasus korupsi serupa dengan pemberian lainnya yang sudah pasti penerima layanan seksual memperoleh manfaat dari pemberian tersebut. Mengenai beban pembuktian kejahatan ini merujuk pada Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Pasal 184 bahwa alat bukti yang sah adalah keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa,39 selain itu juga dapat dilakukan dengan jejak digital atau elektronik terkait komunikasi diantara para pelaku melalui aplikasi chatting atau pesan singkat, ataupun media lain sebagaimana disebutkan pada Pasal 26 huruf A yang menyatakan bahwa alat bukti petunjuk dapat diperoleh dari hasil sarana elektronik atau alat optik seperti rekaman data atau informasi lainnya.40 Hal ini memudahkan untuk pembuktian adanya tindak pidana korupsi dengan bentuk gratifikasi pemberian pelayanan seks. Namun ada pula kendala yang dihadapi dalam membuktikan ada tidaknya perbuatan gratifikasi seksual. Dalam membuktikan gratifikasi seksual, ada tiga faktor yang dapat diterapkan:41 Pertama, dengan melakukan pembuktian ada penerimaan atau tidak uang, barang atau fasilitas. Kedua, melakukan pembuktian korelasi dugaan gratifikasi seksual dengan cara menghubungkan jabatan antara pihak pemberi dan pihak penerima. Ketiga, seorang yang menerima gratifikasi melaporkan penerimaan atau tidak ke KPK dalam waktu 30 hari.42

38

Mahkamah Agung Republik Indonesia (Jakarta: Bina Yustitis,1994), hlm. 12. Indonesia, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, UU No. 8 Tahun 1981, LN No. 64 Tahun 1981, TLN No. 3209, Ps. 184. 40 Ibid, Pasal 26 huruf A. 41 Adrian Pratama Taher, “KPK Terkendala Pembuktian Gratifikasi Seks,� https://tirto.id/kpkterke ndala-pembuktian-gratifikasi-seks-dfwm, diakses 11 Maret 2020. 42 Indonesia, Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, UU No. 20 Tahun 2001, LN.134 Tahun 2001, TLN No. 4150, Ps. 12C ayat (2). 39

Volume 10, Nomor 2, Desember 2020 | Juris LK2 FHUI


105

Jika bukti- bukti tersebut terpenuhi dan adanya upaya mempengaruhi kebijakan dari penyelenggara negara, maka tindakan tersebut sudah masuk ke dalam kategori gratifikasi.

III. PENUTUP A. Kesimpulan Pertama, konsep pengaturan tindak pidana korupsi terhadap gratifikasi merujuk pada UU No. 20 Tahun 2001 jo UU No. 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi serta UU No. 30 Tahun 2002 jo UU No. 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Seiring perkembangan mengenai praktik gratifikasi semakin luas, bukan hanya pemberian sebagaimana dimaksud Pasal 12B UU Tipikor saja, melainkan dalam perkembangannya dikenal juga dengan gratifikasi seksual. Mengingat pentingnya pengaturan mengenai gratifikasi, tentu perlu adanya perbaikan peraturan perundang-undangan yang jelas terkait gratifikasi seksual. Kedua, proses penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi terkait gratifikasi seksual mengalami berbagai hambatan. Faktor-faktor yang menghambatnya, yaitu faktor hukumnya itu sendiri (legal substance) belum mengatur secara jelas apakah layanan seksual atau gratifikasi seksual termasuk ke dalam hadiah, pemberian atau fasilitas lainnya; faktor penegak hukumnya (legal structure) yang belum berani melakukan terobosan hukum; dan beban pembuktian mengenai pemberian layanan seksual yang sulit jika tidak ada jejak digital atau elektronik. Ketiga, pada implementasi yang seharusnya mengenai penegakan hukum terhadap gratifikasi seksual. Aparat penegak hukum dapat menjalankan dua konsep penegakan hukum, yaitu: penegakan hukum secara aktual yang melakukan upaya penegakan hukum karena adanya keterbatasan-keterbatasan, baik menyangkut sumber daya manusia, yaitu aparatur penegak hukum maupun keterbatasan peraturan perundangundangan; dan konsep penegakan hukum dengan metode penafsiran ekstensif. Hakim bisa menafsirkan Pasal 12B UU No. 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi yang

Volume 10, Nomor 2, Desember 2020 | Juris LK2 FHUI


106

memuat secara luas mengenai gratifikasi. Hakim dapat menafsirkan apakah frasa “fasilitas lainnya�dapat diartikan sebagai hadiah atau pemberian sesuatu. Demi mewujudkan pembaharuan hukum pidana secara progresif, perlu dilakukan kriminalisasi terhadap praktik gratifikasi seksual. Mengingat pengaturan mengenai ini belum jelas baik pada KUHP maupun peraturan perundang-undangan lainnya. UU Tipikor mengatur mengenai gratifikasi secara luas, namun justru menimbulkan ketidakpastian mengenai modus operandi lain terkait gratifikasi. Belum jelasnya pengaturan terkait gratifikasi seksual maka dipandang perlu adanya revisi UU Tipikor dan/atau mengkriminalisasinya (legal substance) dengan memuat ke dalam KUHP, karena ketidak tegasan dan kejelasan pengaturan, berdampak pada proses penegakan hukum.

Volume 10, Nomor 2, Desember 2020 | Juris LK2 FHUI


107

DAFTAR PUSTAKA Buku Caesar Fahmi, Aradila, Lalola Easter Kaban dan Emerson Yuntho. Naskah Akademik dan RUU Tipikor Usul Inisiatif Masyarakat. Jakarta: Indonesia Corruption Watch, 2012 Hartanti, Evi. Tindak Pidana Korupsi. Jakarta: Sinar Grafika, 2006. Kristian dan Yopi Gunawan. Tindak Pidana Korupsi Kajian Terhadap Harmonisasi antara Hukum Nasional dan The United Nations Convention Against Corruption (UNCAC). Cet.1. Bandung: Refika Aditama, 2015. Mahkamah Agung Republik Indonesia. Jakarta: Bina Yustitis, 1994. Mertokusumo, Sudikno. Mengenal Hukum. Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 1999. Utrecht. Pengantar dalam Hukum Indonesia. Diterjemahkan oleh Moh. Saleh Djindang. Cet. 11. Jakarta: Ichtiar Baru, 1983. Moeljatno. Azas-Azas Hukum Pidana. Jakarta: PT Bina Cipta, 2000. Nawawi Arief, Barda. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Cet. 6. Jakarta: Kencana, 2017. Pemberantasan Korupsi, Komisi. Buku Saku Gratifikasi. Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi, 2010. Reksodiputro, Mardjono. Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Melihat Kejahatan dan Penegakan Hukum dalam Batas-Batas Toleransi. Jakarta: Pusat Keadilan dan Pengabdian Hukum, 1994. S, Rahardjo. Penegakan Hukum Progresif. Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara, 2010. Soekanto, Soerjono. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Jakarta: Rajawali Pers, 2008. Utrecht. Pengantar dalam Hukum Indonesia. Diterjemahkan oleh Moh. Saleh Djindang. Cet. 11. Jakarta: Ichtiar Baru, 1983. Jurnal Bahri, Syamsul. “Korupsi dalam Kajian Hukum Islam.” Jurnal Hukum Kanun, No. 67 (Desember, 2015). Hlm. 608. Khalid,Afif. “Penafsiran Hukum Oleh Hakim dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia.” Jurnal Al’Adl, Vol. 4, No. 11 (Juni 2014). Hlm. 25-26.

Volume 10, Nomor 2, Desember 2020 | Juris LK2 FHUI


108

Lalu, Ricardo. “Penegakan Hukum Tindak Pidana Gratifikasi Menurut Hukum Positif Indonesia.” Jurnal Lex Crimen, Vol. 8, No. 5 (Mei, 2019). Hlm. 29. Mahardika, Tunjung dan Hergia Luqman. “Perbandingan Penanganan Tindak Pidana Korupsi di Negara Singapura dan Indonesia.” Jurnal Hukum Pidana dan Penanggulangan Kejahatan (September-Desember 2013). Hlm. 267. Mauliddar, Nur, Mohd Din dan Yanis Rinaldi. “Gratifikasi Sebagai Tindak Pidana Korupsi Terkait Adanya Laporan Penerimaan Gratifikasi.” Jurnal Kanun Hukum, Vol. 19. No. 1 (April, 2017). Hlm. 161. Ridwan. “Upaya Pencegahan Tindak Pidana Korupsi Melalui Peran Serta Masyarakat.” Kanun Jurnal Hukum, No. 64 (Desember, 2014). Hlm. 395. Ratulangi Mamahit, Fabian. “Partisipasi Masyarakat Dalam Penyidikan Tindak Pidana Gratifikasi Berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.” Jurnal Lex Crimen, Vol. 8, No. 5 (Mei, 2019). Hlm. 111. Santoso, Topo. “Menguak Relevansi Ketentuan Gratifikasi di Indonesia.” Jurnal Dinamika Hukum, Vol 13, No. 3 (2013). Hlm. 403. Warigan, Tria Anggraini. “Tanggung Jawab Penyelenggara Negara Terhadap Gratifikasi Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi.” Jurnal Lex Crimen, Vol. IV, No. 2 (April 2015). Hlm. 184. Peraturan Perundang-Undangan Indonesia. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. UU No. 8 Tahun 1981. LN No. 64 Tahun 1981. TLN No. 3209. Indonesia. Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. UU No. 19 Tahun 2019. LN No. 197 Tahun 2019. TLN No. 6409. Indonesia. Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman. UU No. 48 Tahun 2009. LN No. 157 Tahun 2009. TLN No. 5076. Indonesia. Undang-Undang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi Dan Nepotisme. UU No. 28 Tahun 1999. LN No.75 Tahun 1999. TLN No. 3851.

Volume 10, Nomor 2, Desember 2020 | Juris LK2 FHUI


109

Indonesia. Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi. UU No. 20 Tahun 2001. LN No. 134 Tahun 2001. TLN No. 4150. Internet Armandhanu, Denny. “Dari Malaysia hingga India, Negara Penjerat Pelaku Gratifikasi Seks.”

https://kumparan.com/kumparannews/dari-malaysia-hingga-india-neg

ara-penjerat-pelaku-gratifikasi-seks-1549169787671828642.

Diakses

16

Desember 2019. Christiastuti, Novi. “Terima Gratifikasi Seks, Pejabat Imigrasi Singapura Diadili.” https://news.detik.com/internasional/d-4231987/terima-gratifikasi-seks-pejabatimigrasi-singapura-diadili. Diakses 12 September 2020. OS Hiariej, Eddy. “Memahami Gratifikasi.” https://nasional.kompas.com/read/2011 /06/13/03392292/Memahami.Gratifikasi. Diakses 10 Maret 2020. Pratama

Taher,

Adrian.

“KPK

Terkendala

Pembuktian

Gratifikasi

Seks.”

https://tirto.id/kpk-terkendala-pembuktian-gratifikasi-seks-dfwm. Diakses 11 Maret 2020. Rosseno Aji, M. “Pimpinan KPK Sebut Gratifikasi Seks Harusnya Bisa Dijerat Pidana.” https://nasional.tempo.co/read/1170727/pimpinan-kpk-sebut-gratifikasi-seks-ha rusnya-bisa-dijerat-pidana. Diakses 16 Desember 2019. Ruslan, Heri. “Maharani Mengaku Diajak Berhubungan Intim Oleh Fathanah.” https://www.republika.co.id/berita/nasional/hukum/13/05/17/mmxz2v-maharan i-mengaku-diajak-berhubungan-intim-oleh-fathanah. Diakses 16 Maret 2020.

Volume 10, Nomor 2, Desember 2020 | Juris LK2 FHUI


110

BIODATA PENULIS

Panji Purnama, lahir di Indramayu, 7 September 1996. Penulis adalah mahasiswa Magister Hukum peminatan Hukum dan Sistem Peradilan Pidana 2019 dari

Program

Universitas organisai

Pascasarjana

Indonesia. Ikatan

Penulis

Mahasiswa

Fakultas aktif Magister

Hukum mengikuti Hukum

Universitas Indonesia (IMMH UI) pada tahun 20192020. Selain itu, penulis pernah melakukan Penelitian mengenai “Penerapan e-Court Sebagai Integrated Judiciary pada Sistem Peradilan Pidana Indonesia� dan mengikuti Program Pengabdian kepada Masyarakat Pulau Terluar di Pulau Enggano, Kabupaten Bengkulu Utara, Provinsi Bengkulu, Indonesia pada tahun 2020.

Volume 10, Nomor 2, Desember 2020 | Juris LK2 FHUI


45

Volume 10, Nomor 2, Desember 2020 | Juris LK2 FHUI


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.