3 minute read

Sintren

Next Article
Mbah Kaloran

Mbah Kaloran

Sintren atau juga dikenal dengan Lais adalah kesenian tari tradisional masyarakat Jawa. Kesenian ini terkenal di pesisir Utara Jawa Barat seperti Indramayu, Cirebon, Subang dan Majalengka hingga bagian barat Jawa Tengah, seperti Brebes, Pemalang, Tegal dan Banyumas. Kesenian Sintren dikenal sebagai tarian dengan aroma mistis atau magis yang bersumber dari cerita cinta Sulasih dengan Sulandono.

Sintren diperankan seorang gadis yang masih suci, dibantu oleh pawang dengan diiringi gending 6 orang. Gadis tersebut dimasukkan ke dalam kurungan ayam yang berselebung kain. Pawang/dalang kemudian berjalan memutari kurungan ayam itu sembari merapalkan mantra memanggil ruh Dewi Lanjar. Jika pemanggilan ruh Dewi Lanjar berhasil, maka ketika kurungan dibuka, sang gadis tersebut sudah terlepas dari ikatan dan berdandan cantik, lalu menari diiringi gending.

Advertisement

Di Desa Semedo Sintren biasanya diadakan pada hari-hari tertentu, seperti hari-hari besar Islam ataupun festival desa. Sintren juga diadakan pada saat berlangsungnya pasar Langgeng, pengunjung dapat menikmati makanan tradisional sambil menyaksikan pertunjukan Sintren.

Kuntulan adalah sebuah kesenian yang berbentuk seni pertunjukan yang berkembang di beberapa wilayah di Jawa, seperti Magelang, Banyuwangi dan Tegal. Nama Kuntulan diambil dari jenis burung Bangau yang sering mengangkat satu kakinya. Dinamai Kuntulan karena gerakan-gerakan pada kesenian ini sering mengandalkan keseimbangan seperti mengangkat satu kaki, selain itu disebut Kuntulan karena busana yang digunakan berwarna putih seperti burung kuntul. Kuntulan sendiri adalah seni tradisional yang memadukan antara seni bela diri dengan seni tarian. Seiring dengan berkembanganya Islam di Jawa, Kuntulan dijadikan salah satu media dakwah oleh para ulama. Biasanya Kuntulan disertai atraksi-atraksi dari para pemainnya, misalnya bermain bola api dan gerakan membentuk Menara yang tersusun dari para pemainnya.

Di beberapa daerah, kesenian ini masih sering ditunjukan pada beberapa kesempatan, seperti di Desa Semedo Kecamatan Kedung Banteng Kabupaten Tegal. Kuntulan sendiri di Desa Semedo berkembang mulai tahun 1940-an. Berawal dari kumpulan pengajian atau Jamiahan, sebagai selingan mengaji, kumpulan pengajian memainkan rebana dan lagu-lagu sholawat yang dilakukan disekitar masjid atau mushola. Kegiatan ini dilakukan , disamping untuk mengisis waktu setelah pengajian dan untuk mempelajari seni bela diri untuk mengelabuhi musuh. Kumpulan pengajian melakukannya agar penjajah menganggap kumpulan tersebut sedang melakukan pengajian dan berkesenian, tanpa disadari sebenarnya perkumpulan itu sedang belajar seni bela diri. Saat ini Kuntulan sudah mulai jarang ditampilkan, namun dalam beberapa kesempatan seperti hari-hari besar desa atau Islam kesenian ini masih sering ditampilkan.

Makam Mbah Semedo merupakan pemakaman umum masyarakat Desa Semedo dan merupakan salah satu makam bersejarah yang ada di Kabupaten Tegal. Di sini juga dimakamkan tokoh-tokoh sesepuh di Kabupaten Tegal.

Tokoh-tokoh yang dimakamkan di makam Mbah Semedo antara lain: a. Mbah Raden Pangeran Surohadikusumo (Syekh Abdurahman mbah Semedo) b. Mbah Raden Mas Panji Haditjokronegoro (Mbah Kaloran/Bupati Tegal ke-10) c. Mbah Syekh Muhammad Tohir Al-Ba’bud (Mbah Langgen) d. Mbah Raga Sutha (Petilasan Mbah Kalijaga) e. Petilasan Mbah Pangeran Diponegoro f.Mbah Surodiwongso (Juru Kunci pertama Makam Mbah Semedo) g. Syekh Sarifudin (asal Banten) h. Mbah Buyut Putri (Sabrang Wetan Ciputih)

Kegiatan religi biasa dilakukan oleh para peziarah pada hari-hari tertentu untuk bertawastul.

Daintaranya: a. Malam Selasa Kliwon b. Rabu Pon, Kamis Wage dan Jumat Kliwon c. Istigosah malam 1 Suro d. Khaul Mbah Semedo setiap tanggal 12 Robiul Awal e. Khaul umum dan Halal Bi Halal Desa Semedo (7 hari setelah Hari Raya Idul Fitri

Keberadaan makam Mbah Semedo selain dikelola oleh Pemerintah Desa beserta Juru Kunci, juga dikelola oleh DIKPORA Kabupaten Tegal dan telah diakui sebagai makam yang bersejarah dan merupakan makam religi. Hal tersebut terbukti dengan adanya kunjungan dari para pejabat

Pemerintah Kabupaten Tegal demi melestarikan peninggalan bersejarah yang merupakan aset

Pemerintah Desa Semedo dan Kabupaten Tegal.

Situs Semedo berada di Desa Semedo dan sekitarnya, Kecamatan Kedung Banteng, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah. Terletak di jajaran Pegunungan Serayu Utara, situs ini telah memberikan data tentang evolusi manusia, budaya, dan lingkungan setidaknya sejak 1,5 juta tahun yang lalu. Luasan situs berdasarkan sebaran temuan menunjukkan areal yang luas, paling tidak 3×3 km persegi. Terhadap fisiografi Pulau Jawa, daerah penemuan ini merupakan bagian paling barat dari Jajaran Pegunungan Serayu Utara dan merupakan batas Pulau Jawa bagian timur pada akhir Kala Pliosen, ketika Jawa Tengah masih berada di bawah laut sekitar 2,4 juta tahun yang lalu.

Data fauna purba yang dapat ditemukan menunjukkan kuantitas fosil binatang vertebrata yang sangat prima degan ditemukannya banyak spesies binatang seperti Stegodon s.p., Mastodon s.p., Elephas s.p., Bovidae, Rhinoceros s.p., Suidae, Cervidae, dan Hippopotamus. Binatang akuatik pun telah hadir di lingkungan purbanya sejak 2 juta tahun yang lalu.

Indikasi keberadaaan Homo erectus di Situs Semedo telah ditemukan sejak penelitian pada tahun 2007. Tidak kurang dari 300 artefak berbagai jenis dan bahan telah ditemukan. Fosil manusia purba ditemukan di Semedo pada tahun 2011. Spesimen Semedo 1 merupakan pecahan atap tengkorak bagian belakang yang mengkonservasi bagian parietal kanan dan kiri, serta sebagian occipitas bagian atas. Morfologi Semedo 1 identik dengan tengkorak dari Grogol Wetan, Sangiran, sehingga dari perbandingan ini usia Homo erectus Semedo 1 diketahui. Mereka hidup di Semedo pada Kala Plestosen Tengah, sekitar 700.000 tahun yang lalu.

This article is from: