Pendahuluan geger kalijodo rev 28 okt 04

Page 1

Kisah Polisi dan Mediasi Konflik

Kisah Polisi dan Mediasi Konflik


GEGER KALIJODO

GEGER KALIJODO, Kisah Polisi dan Mediasi Konflik Penulis: Krishna Murti Editor: Arso Parikesit Penyelia Bahasa: YB. Joko Purnomo Desain cover & isi Imad ! Penerbit IDEAPRESS, Jakarta 2004 Printing INDONESIA PRINTER Pasal 44: UU No.7/1987 tentang Hak Cipta 1.

Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak mengumumkan atau memperbanyak suatu ciptaan atau memberi izin untuk itu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/ atau denda paling banyak Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah).

2.

Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 (satu), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah).


Kisah Polisi dan Mediasi Konflik

Adalah sebuah telaah kritis mengenai kehidupan masyarakat di sekitar bantaran Kalijodo masa kini yang sangat dipengaruhi oleh latar belakang sejarah masa lalunya. Dengan berbagai persoalan pembauran antar suku, intrik dalam bisnis perjudian, pelacuran, backing, premanisme dan kehidupan sosial di selingkungannya yang terus berdegup. Buku ini merupakan hasil tesis Krishna Murti sebagai seorang polisi yang memegang otoritas keamanan di wilayah Penjaringan.


GEGER KALIJODO


Kisah Polisi dan Mediasi Konflik

Kisah Polisi dan Mediasi Konflik

KRISHNA MURTI

IDEAPRESS JAKARTA, 2004


GEGER KALIJODO

Peta Sekitar Kalijodo


Kisah Polisi dan Mediasi Konflik

Daftar Isi I. Pendahuluan—ix II. Pengantar—xix Bab I. Etnisitas dan Kebangsaan Indonesia A. Sejarah Singkat Pemikiran Kebangsaan Indonesia—3 B. Berbagai Problem Menjadi Indonesia—11 Bab II. Kalijodo dan Pertarungan Panjang Dua Saudara A. Kalijodo Dari Masa ke Masa—25 v


GEGER KALIJODO

B. Gang, Getto, dan Preman Kalijodo—31 C. Matinya Seorang Jagoan—35 Bab III. Cara Penyelesaian Konflik A. Awal Penanganan—61 B. Menemukan Akar Permasalahan—67 C. Memadamkan Sumber Api—87 D. Perdamaian “Membunuh” Jati Diri Kesukuan—97 E. Usaha Membuka Kembali Perjudian—111 F. Dampak Penutupan Lokasi Judi—117 G. Kalijodo Potret Kemiskinan Kota—121 Bab IV. Membandingkan Kalijodo Dengan Muara Baru A. Masa Berdarah Di Muara Baru—137 Bab V. Mengapa Damai Bisa Terwujud di Muara Baru? A. Pola Menetap Warga Muara Baru—161 B. Kelompok Etnis di Muara Baru 1. Suku Bangsa Makassar (Bugis)—167 2. Orang Serang (Banten)—173 3. Suku Madura—177 4. Wong Tegal—184 5. Keluarga Indramayu—186

vi


Kisah Polisi dan Mediasi Konflik

Bab VI. Pengaruh Kebudayaan Suku Bangsa bagi Kehidupan Sosial A. Hubungan Antar Suku Bangsa—203 B. Dalam Kehidupan Sehari-hari—205 C. Hubungan di Tempat Umum—211 D. Pola Kepemimpinan di Muara Baru—214 Bab VII. Keteraturan Sosial A. Konvensi Sosial di Muara Baru—227 B. Pranata-pranata Sosial—238 C. Keteraturan Sosial yang Dicapai—243 D. Peran Warga Biasa—248 E. Peran Tokoh Masyarakat—251 F. Peran Pamswakarsa—256 G. Peran Pemerintah Lokal—259 H. Peran Polisi—266 Bab VIII. Penutup Membandingkan Kalijodo dan Muara Baru—277 DAFTAR PUSTAKA CATATAN KAKI INDEKS PENULIS

vii


GEGER KALIJODO

viii


Kisah Polisi dan Mediasi Konflik

PENDAHULUAN

P

engamatan langsung atas realitas hidup dari masyarakat, keluarga, dan segala aspek kehidupan dalam panggung yang disebut “kampung� sosial.

Konflik antarkelompok masyarakat banyak terjadi di berbagai daerah dan hampir mendominasi pemberitaan media massa sepanjang lima tahun terakhir, sejak 1998 sampai 2003. Kerusuhan antarkelompok etnis, seperti yang terjadi di Sambas, Sampit, Kalimantan, antara kelompok masyarakat Melayu dengan Madura dan Dayak dengan Madura, juga pertentangan agama yang berlarut-larut di Ambon, Maluku, yang memakan korban ribuan nyawa manusia dan disertai dengan hilangnya harta benda, membangkitkan kesadaran, betapa integrasi nasional masih sangat labil. Dalam situasi seperti itu, menjadi sangat penting pelajaran-pelajaran dari berbagai ix


GEGER KALIJODO

pengalaman besar maupun kecil dalam upaya penyelesaian konflik (conflict resolution). Pengalaman besar di belahan dunia, menunjukkan betapa konflik yang disebabkan oleh perbedaan suku dan agama, telah menghancurkan tatanan kehidupan bernegara di Semenajung Balkan, pada dekade 1990-an. Federasi Yugoslavia, telah tercerai-berai menjadi negara-negara kecil yang berdasarkan pengentalan suku dan agama. Sebelum munculnya negara-negara baru tersebut, konflik panjang antarkelompok di kawasan yang pernah bersatu puluhan tahun di bawah Presiden Tito itu memang telah tersulut. Penulis menjadi saksi mata, ketika ikut bergabung di dalam misi Polisi Perdamaian Kontingen Garuda XIV-8 UNTAES, di bawah payung Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), pada tahun 1996-1997, betapa suatu negeri dilanda kegetiran yang mendalam, akibat perang saudara. Bangsa Indonesia yang majemuk, terdiri dari lebih dari 200 suku bangsa, yang mendiami kepulauan dari Sabang sampai Merauke, sungguh terasa teramat unik mampu hidup dalam kebersamaan. Perasaan persaudaraan, sebagai akibat pengalaman penderitaan panjang di masa penjajahan, telah menumbuhkan kesadaraan bersama, bahwa kita adalah satu bagian bangsa Indonesia. x


Kisah Polisi dan Mediasi Konflik

Keinginan untuk bersatu itu, seperti yang dikatakan oleh ahli Indonesia, Benedict Anderson (1991), bangsa sebagai komunitas yang direka-bayangkan (imagined-community). Pengalaman belakangan ini menunjukkan, bahwa ikatan persaudaraan itu sedang diuji. Bangkitnya sentimen kesukuan memang bukan hal yang aneh jika ditelusuri dari sudut pandang orientasi etnisitas. Proses sosial mencari jati diri ke-Indonesiaan masih terus berlangsung. Sementara itu, sikap dan perilaku kelompokkelompok etnis yang diidentifikasi sebagai keterikatan terhadap nilai-nilai budaya dan komunitas kesukuan tetap lestari dalam realitas kehidupan. Ini tercermin dalam lingkungan pergaulan, bahasa, adat-istiadat, dll. Dalam situasi seperti ini, konflik sosial menjadi bahaya laten. Pergesekan antar kelompok masyarakat, dalam tatanan sistem ekonomi yang dianggap kurang fair, sering menjadi faktor dominan timbulnya disintegrasi. Belum lagi sikap dan perilaku anggota komunitas, misalnya, perasaan lebih unggul dari suku lain, fanatisme primordial, pola pikir bahwa kepemimpinan harus berasal dari daerah dan etnisnya, serta pengaktivan jati diri atau solidaritas etnik untuk tujuan tertentu yang bersifat negatif. Seringkali kekerasan massal yang melibatkan dua kelompok atau lebih di dalam masyarakat muncul sebagai manifestasi xi


GEGER KALIJODO

adanya persoalan di atas. Contoh konflik yang ditimbulkan oleh faktor perebutan sumber daya, terlihat dalam bentrokan antarwarga yang berbeda suku di Sambas, Sampit, Kalimantan. Khususnya antara kelompok etnik Dayak dengan etnik Madura. Suku Dayak yang hidup menyelaras dengan alam, banyak hidup dengan mengandalkan hasil hutan, seperti rotan, madu, damar, dll. Masuknya modal besar, berupa hak penguasaan hutan yang diberikan pemerintah pusat, telah mengakibatkan warga lokal (suku Dayak) tersisih dari tempatnya menggantungkan hidup. Hutan yang selama ini mereka kelola secara bersama, tiba-tiba dipetak-petak dan tak boleh mereka masuki. Sementara itu, warga etnik Madura, biasanya menjadi tenaga kerja dan mandor dari para pengusaha di lapangan. Mereka juga menjadi buruh penebang hutan dari perusahaan pemegang Hak Penguasaan Hutan (HPH). Sehingga dalam kaca mata warga, orang Maduralah yang sewenang-wenang, merekalah yang merampas hutan milik lelulur mereka. Sentimen kesukuan ini berlangsung terus-menerus dan menjadi stereotipe. Ibarat jerami kering, konflik sangat mudah untuk disulut. Hampir semua konflik antarkelompok masyarakat itu selalu dipicu oleh tindakan penganiayaan yang sebenarnya suatu tindakan xii


Kisah Polisi dan Mediasi Konflik

kriminal biasa. Di Sambas, konflik dipicu oleh percekcokan antarpemuda dalam pertunjukan musik dangdut yang berujung menjadi penganiayaan. Penganiayaan yang tak terselesaikan itu akhirnya meletuskan perseteruan besar dan berkepanjangan. Pola semacam ini sebenarnya bisa dirunut dari periode awal munculnya berbagai konflik antarkelompok masyarakat di berbagai daerah di Indonesia. Di Tasikmalaya, Jawa Barat, di mana kelompok masyarakat etnis Thionghoa paling banyak menjadi korban amuk massa yang terjadi di akhir tahun 1996, sebenarnya berawal dari tindakan main hakim sendiri oleh oknum polisi setempat yang menganiaya seorang ustads dari sebuah pondok pesantren. Tindakan ini sebagai balasan setelah anaknya dihukum di pondok pesantren. Demikian juga amuk massa yang terjadi di Makassar pada September 1997. Kerusuhan terbesar dalam catatan sejarah kota tua di Indonesia bagian timur itu, yang telah mengakibatkan lima orang tewas, kerugian material sebesar 17, 5 miliar rupiah, serta menghancurkan sekitar 2000 rumah dan toko itu, berawal dari penganiayaan anak kecil oleh seseorang yang diduga sakit jiwa. Secara kebetulan, pelaku adalah keturunan Thionghoa, sedangkan korban adalah keluarga muslim. Penanganan yang terlambat, telah mengakibatkan kota Makassar xiii


GEGER KALIJODO

“terbakar�. Pola kejadian serupa, terjadi juga pada kerusuhan di Ambon, kerusuhan antaretnik yang melebar pada konflik agama yang berlangsung hampir lima tahun, telah mengakibatkan korban ribuan nyawa tak berdosa. Juga gelombang-gelombang pengungsian yang menyisakan kegetiran yang mendalam. Kerusuhan di Ambon itu kemudian meluas, tak hanya sebatas di Propinsi Maluku, bahkan sampai ke wilayah lain yang sebelumnya bebas dari konflik, seperti di Poso, Sulawesi Tengah. Dalam situasi kritis itu, terkadang muncul pertanyaan, mungkinkah bangsa ini sanggup menyelesaikan urusan yang pelik ini? Sehingga persaudaraan sebagai sesama anak bangsa bisa terjaga. Di landasi oleh keprihatinan itulah, penulis kemudian mencoba menggali ilmu dan pengetahuan tentang hubungan antarsuku bangsa, khususnya untuk studi penelitian di Program Pasca Sarjana Ilmu Kepolisian Universitas Indonesia. Contoh besar telah banyak, tetapi contoh kecil dan bagaimana usaha dalam skala kecil mencegah perluasan konflik di satu daerah yang rawan konflik, sering luput dari pengamatan. Karena itulah, penulis kemudian mengamati dinamika sosial di dua kampung yang padat penduduk dengan keragaman etnis xiv


Kisah Polisi dan Mediasi Konflik

yang tinggi, kawasan Muara Baru dan Kalijodo, Penjaringan, Jakarta Utara. Maka, selesailah tesis Magister Science Ilmu Kepolisian, dengan judul: “Hubungan Antarsuku Bangsa dalam Masyarakat di Wilayah Muara Baru, Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara� pada tahun 2002. Penelitian tersebut merupakan penelitian antropologis. Layaknya penelitian antropologis yang lazim juga disebut penelitian kualitatif, pengamatan langsung atas realitas hidup dari masyarakat, keluarga, dan segala aspek kehidupan dalam panggung yang disebut “kampung� sosial. Hal ini dimungkinkan, karena penulis adalah perwira polisi yang bertugas di kawasan tersebut sebagai Kapolsek Metro Penjaringan, Jakarta Utara. Penulis merasa mendapat ujian sejak awal mula penempatan tugas di sana. Di wilayah itu, di kawasan Kalijodo, Pejagalan, berlangsung perseteruan panjang antardua kelompok masyarakat yang sama-sama berasal dari Sulawesi Selatan, yaitu Mandar dan Bugis Makassar. Terkadang, perseteruan merembet dan melibatkan etnis lain, yakni kelompok warga Serang, Banten. Pertarungan dari dua kelompok pemilik lapak judi di kawasan itu, telah mengubah kawasan yang dikenal para lelaki hidung belang itu, hampir selama dua setengah tahun membara oleh perkelahian xv


GEGER KALIJODO

masal antargang yang berbeda suku. Kontras dengan Kalijodo, Kampung Muara Baru dengan kemajemukan warganya yang hampir sama, tetapi mampu menjaga dirinya dari konflik antarkelompok. Sedangkan di kawasan Kalijodo, sepanjang tahun 2000 sampai 2002 tak lepas dari cerita brutal perkelahian antardua kelompok. Inilah yang dicoba dipotret oleh penulis. Mengapa satu kampung yang multi etnis mampu menghindar dari perseteruan antarkelompok? Sedangkan di Kalijodo, konflik antarkelompok tak bisa didamaikan sehingga harus melibatkan aparat keamanan untuk menyelesaikan konflik? Konflik antarwarga di Kalijodo, juga mendapat perhatian serius dari media massa di Jakarta. Harian Kompas, Suara Pembaruan, dan media lain, termasuk liputan televisi, seperti SCTV menayangkan siaran live proses perdamaian dua kelompok warga yang berseteru. Hal tersebut menunjukkan atensi khusus, agar tidak boleh ada konflik antarwarga yang berbeda etnis di Jakarta, sebagai ibu kota negara. Berbagai pakar dari berbagai disiplin ilmu, khususnya sosiolog dan antropolog, juga tak luput memberikan komentar atas keributan di kawasan pesisir utara Jakarta itu, yang terjadi hampir sepanjang tahun 2002. Hal ini pula yang memudahkan penulis, merekonstruksikan xvi


Kisah Polisi dan Mediasi Konflik

kembali rangkaian peristiwa dua tahun silam. Ini memang potret kecil, bukan cerita besar yang menghebohkan. Namun, pengalaman mengamati dan mengatasi berbagai problem masyarakat yang berbeda coraknya ini, dalam skala kecil ini, ingin disumbangkan dalam sebuah buku. Contoh di negara-negara maju, seperti di Amerika cerita tentang kegiatan polisi selalu menjadi kisah yang menarik. Tak sedikit pula polisi menuliskan pengalamannya, seperti Ed Nowicki mantan Detektive pada New York Police Departement (NYPD) yang menulis, True Blue: True Stories About Real Cops atau Bob Vernon yang mengisahkan polisi Los Angeles dalam buku L.A. Cop: Peacemaker In Blue Semoga catatan-catatan ini, akan menambah perbendaharaan literatur dan bahan kajian penyelesaian konflik (conflict resolution) di masyarakat di berbagai belahan Indonesia. Tentu saja dengan latar belakang dan dinamika yang berbeda dan mungkin jauh lebih kompleks. Tak lupa penulis menyampaikan rasa terima kasih kepada isteri tercinta Nany Krishna Murti, putri dan putra Alza dan Althaf, yang telah kehilangan banyak waktu, selama penyelesaian buku ini. Juga kepada Bapak dan Ibu Dosen Kajian Ilmu Kepolisian Universitas Indonesia, yang tak bisa disebutkan satu-persatu, khususnya kepada Prof. Dr. Parsudi Suparlan xvii


GEGER KALIJODO

dan Mayjen Pol (Purn) Drs. Koesparmono Irsan yang dengan tekun menjadi membimbing tesis ini. Juga Dr. Imam B. Prasodjo yang disela kesibukannya sudi memberi kata pengantar buku ini, serta Dr. Adrianus Meliala yang memberi banyak kritik dan saran. Terima kasih yang mendalam penulis sampaikan kepada kepada Pimpinan Kepolisian Republik Indonesia, khususnya kepada Kapolda Metro Jaya, Inspektur Jenderal Pol. Drs. Firman Gani dan Inspektur Jenderal Pol Drs. Makbul Padmanegara, mantan Kapolda Metro Jaya, atas bimbingannya selama penulisan buku ini. Kepada rekan-rekan wartawan Gunawan, Yono, Nunus, yang telah ikut sibuk membantu saat penelitian. Juga kepada Edy Budiyarso, wartawan Tempo, yang masukannya menyegarkan dalam penulisan buku ini, penulis merasa senang menjadi teman berdiskusi. Penghargaan yang besar juga penulis sampaikan kepada tokoh-tokoh masyarakat dan rekan-rekan dari Yayasan Sosial Masyarakat Sulawesi Selatan, di Jakarta Utara, yang tak kecil perannya dalam proses perdamaian di Kalijodo. Juga kepada seluruh anggota Polsek Metro Penjaringan yang tak kecil bantuan mereka dalam penyelesaian buku ini. *** xviii


Kisah Polisi dan Mediasi Konflik

KATA

PENGANTAR

Oleh : Imam B. Prasodjo

Prof. Douglas S. Massey pakar sosiologi Universitas Pennsylvania dalam pertemuan tahunan The Population Association of America (PAA) di New Orleans 1996 mengatakan bahwa “Abad ke-21 adalah Abad Ekstrimitas!� Di abad 21 ini akan muncul situasi hubungan masyarakat dengan tingkat ketegangan sosial tinggi, yang mudah memicu berbagai bentuk konflik kekerasan sosial. Abad ekstrimitas ini ditandai dengan meluasnya tindak kriminal, hancurnya sendisendi kehidupan di banyak keluarga, dan sering terjadinya aksi-aksi kekerasan dalam masyarakat, khususnya di daerah perkotaan. Tingginya urbanisasi yang dibarengi dengan pesatnya kesenjangan pendapatan xix


GEGER KALIJODO

serta semakin tajamnya pemisahan kelas (class segregation), telah menciptakan “konsentrasi geografis” yang secara tegas membelah daerah pemukiman penduduk kaya dan miskin di daerah perkotaan. Di Abad Ekstrimitas, kebanyakan rakyat miskin bermukim di daerah perkotaan dengan terkonsentrasi pada daerah perumahan kumuh. Sementara di pihak lain, lapisan kecil keluarga kaya akan menempati “kantong-kantong” perumahan mewah yang terpisah secara tegas dengan pemukiman warga miskin. Ketegangan sosial menjadi meningkat saat perbedaan kelas ekonomi diikuti dengan perbedaan pelapisan sosial lain seperti perbedaan identitas etnis maupun agama. Di perkampungan miskin, potensi konflik pun menjadi besar manakala sumber-sumber ekonomi yang semakin langka menjadi lahan perebutan ketat bagi begitu banyak penduduk yang bermukim di wilayah itu. Buku Krishna Murti seperti merekam percikan Abad Ekstrimitas yang dikatakan Massey. Ia menggambarkan keteganganketegangan sosial dan konflik-konflik terbuka di wilayah Kalijodo dan wilayah Muara Baru, Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara—dua kawasan kumuh di Jakarta. Dua wilayah ini tumbuh menjadi wilayah padat penduduk akibat besarnya angka kelahiran penduduk kota yang xx


Kisah Polisi dan Mediasi Konflik

melebihi jumlah kematiannya (natural increase), dan terutama akibat arus migrasi penduduk dari desa ke wilayah ini yang telah berjalan lama. Tingginya arus migrasi ini telah meningkatkan konsentrasi pemukiman miskin (concentration of poverty) dengan berbagai dampak sosial yang dibawanya. Baik Kalijodo maupun Muara Baru telah lama menjelma sebagai pemukiman yang secara ekonomi terpinggirkan, dan akibatnya seringkali tumbuh persaingan perebutan pekerjaan, dibarengi aktivitas ekonomi illegal, baik pelacuran maupun perjudian. Krishna Murti menggambarkan bahwa Kalijodo dan Muara Baru merupakan dua wilayah yang memiliki sejarah panjang. Migran dari berbagai daerah yang umumnya miskin, dengan latar belakang berbagai etnis, tergiring menempati kedua perkampungan. Akibat konsentrasi kemiskinan yang semakin padat ini, tak terelakkan terjadi konsentrasi tindak kriminal dan kekerasan (violent crime). Dapat diduga di kedua wilayah ini, kemiskinan tampak memiliki korelasi lebih kuat dengan tindak kriminal kekerasan komunal (communal violent crime) dibanding kejahatan pidana (property crime). Tindak kekerasan komunal justru terjadi karena komposisi penduduk yang bersifat segmental, yang dibatasi oleh sekat-sekat perbedaan etnis. Dalam xxi


GEGER KALIJODO

wilayah Kalijodo, ketegangan jelas tampak antara kelompok penduduk asal Sulawesi Selatan suku Mandar dan Makassar. Dalam situasi semacam ini, hubungan antara kelompok yang berasal dari etnis yang berbeda, dapat menjadi sangat rawan, sebagai akibat semakin tegasnya tembok pemisahan kelompokkelompok penduduk yang bermukim di suatu wilayah. Bila terjadi konflik antar individu yang berasal dari wilayah yang berlawanan, akan dengan mudah menjalar menjadi konflik massal antar antar etnis yang seringkali telah tersegregasi berdasarkan wilayah pemukiman. Sejalan dengan temuan-temuan studi perkotaan klasik pada masyarakat Barat, gambaran kehidupan di kawasan Kalijodo maupun Muara Baru, memang sama-sama digambarkan suram. Studi klasik Louis Wirth, menggambarkan kehidupan kota di masyarakat Barat sebagai kehidupan yang penuh dengan tekanan psikologis. Struktur penduduk dan lingkungan kota dianggap tidak kondusif untuk terciptanya kehidupan tenang. Dengan semakin padatnya jumlah penduduk, menurut Wirth, akan muncul keragaman perilaku yang terefleksi pada terbentuknya pemisahan lokasi pemukiman (spatial segregation) berdasarkan ras, etnik, status sosial-ekonomi, selera dan acuan-acuan. Kemudian, hubungan sosial antar kelompok penduduk menjadi semakin tersekat saat xxii


Kisah Polisi dan Mediasi Konflik

interaksi antar individu berlipat-ganda. Namun, yang mungkin berbeda dengan gambaran Wirth adalah kehidupan di Kalijodo maupun Muara Baru bukanlah wajah kehidupan kota besar yang interaksinya lebih bersifat impersonal (tanpa hati), superficial (palsu), transitory (sementara), dan bersifat segmental (tersekat). Interaksi di kawasan ini masih seperti masyarakat tradisional, hanya saja komposisi masyarakatnya bersifat plural (multietnik). Gambaran masyarakat multietnik terlihat jelas terutama di kawasan Muara Baru. Dalam konteks inilah, studi Krishna Murti menggambarkan kompleksitas “perkampungan perkotaan� yang mungkin menjadi ciri umum di banyak kota-kota di negara berkembang. Dengan pendekatan anthropologis, Krishna Murti mencoba menggali komplekstitas akar konflik sosial di kedua kawasan ini. Yang menarik, ia sebagai Kepala Kepolisian Sektor (Kapolsek) Metro Penjaringan, memaparkan peranannya melakukan upaya-upaya preventif maupun upaya resolusi konflik dalam menghadapi konflik-konflik sosial yang terjadi. Buku ini menjadi contoh yang baik bagaimana seorang perwira muda polisi mencoba melaksanakan tugasnya dalam menyelesaikan konflik-konflik sosial dalam masyarakat dengan dilengkapi pemahaman yang baik tentang masyarakatnya. xxiii


GEGER KALIJODO

Nampak sekali bahwa dalam buku ini Krishna Murti dalam menjalankan tugasnya tidak hanya mengandalkan naluri dan keahlian teknis kepolisiannya, namun ia juga menggunakan keahlian sosial dalam menjalankan tugasnya. Namun, buku ini belum cukup tuntas memberi jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan keilmuan. Buku ini belum secara jelas memberikan analisis perbandingan penanganan konflik yang terjadi di Kalijodo dan Muara Baru dua kawasan yang dijelaskan memiliki karakteristik berbeda. Akibatnya, pembaca seperti dibiarkan menggantung dan bertanyatanya tentang apa perbedaan paling mendasar dari penanganan konflik resolusi yang justru seharusnya menjadi fokus kajian ini. Terlepas dari kekurangan yang ada, buku ini jelas menjadi sumbangan cukup berharga bagi mereka yang ingin mempelajari seluk-beluk kehidupan wilayah rawan di perkotaan. Di samping itu, buku ini jelas telah memberikan sumbangan pengetahuan awal tentang bagaimana sebaiknya peran polisi dalam menghadapi tugas di wilayah-wilayah rawan seperti Kalijodo maupun Muara Baru. ***

xxiv


Kisah Polisi dan Mediasi Konflik

xxv


GEGER KALIJODO


Kisah Polisi dan Mediasi Konflik


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.