EDISI 815 - 28 SEPTEMBER 2010

Page 18

18

Selasa

KORAN JAKARTA

28 SEPTEMBER 2010

®

Paradoks Generasi Pertanian Masa Depan

P

KORAN JAKARTA/M FACHRI

UBAH NASIB I Untuk mengubah nasib petani, tidak ada jalan lain kecuali harus menjalankan amanat dari Undang Undang Pokok Agraria No 5 tahun 1960. Sebab, dalam UU tersebut, diterangkan dengan jelas hak dan kewajiban pemerintah terhadap petani. Salah satunya adalah penyelesaian konflik pertanahan.

Ironi paling nyata pada negara yang menyebut dirinya negara agraris adalah sebagian besar keluarga petani justru hidup dalam kemiskinan yang dalam. Mereka rata-rata hanya memiliki lahan garapan seluas kurang dari 0,5 hektare.

B

eban petani makin berat, ketika hari ini dunia dilanda oleh perubahan iklim yang membuat para petani di Indonesia sering mengalami gagal panen. Pada hari-hari ini misalnya, ribuan petani tembakau di Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta mesti mengalami hal itu karena tembakau mereka tenggelam oleh air hujan yang datang mendahului musimnya. Menurut Sekjen Indonesian Human Rights Committee for Social Justice (IHCS), Gunawan, tidak ada jalan lain untuk mengubah nasib petani negeri ini, kecuali dengan menjalankan amanat Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No 5 Tahun 1960. “Secara singkat, UUPA itu mengatur dua hal, yang di dalam perut Bumi jadilah hukum pertambangan, sedang yang di permukaan tanah jadi hukum pertanahan. Yang paling pokok, di sana ada redistribusi lahan konsekuensi kolonialisme sebelumnya dan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Tapi sekarang yang terjadi adalah tanah terakumulasi pada segelintir konglomerasi usaha, dan petani malahan nggak punya tanah,” paparnya. Dari sana, lanjut Gunawan, seharusnya seluruh produk hukum turunan yakni hukum pertambangan, hukum pertanahan, hukum air, angkasa, kehutanan, dan seterusnya, harus mengacu pada UUPA. Namun, yang terjadi di awal Orde Baru, pada 1967 justru lahir tiga undang-undang yang sama sekali mengabaikan ketentuan-ketentuan yang ada dalam UUPA 1960, yakni UU Penanaman Modal Asing, UU Pokok Kehutanan, dan UU Pokok Pertambangan. “Dan sejak itu, UUPA dipetieskan

Dalam Kepungan Peraturan Sektoral

dengan dipersepsikan keliru sebagai seolah-olah produk orang-orang komunis,” kata Gunawan. Selanjutnya, muncullah UU sektoral lainnya, seperti UndangUndang Perkebunan, Sumber Daya Air, Pangan, Penanaman Modal, Minerba, Konservasi Sumber Daya Alam, Perlindungan Lahan Pertanian Berkelanjutan, Sistem Budi Daya Tanaman, Perlindungan Varietas Tanaman, Perikanan, dan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. “UU sektoral lahir oleh semangat komersialisasi. Itulah awal munculnya periode the jungle of regulation, yakni adanya ketidakpastian hukum, karena antar UU Sektoral bisa saling bertentangan atau bertentangan dengan Pancasila dan UUD serta UUPA,” jelas Gunawan. Contoh paling kasat mata dari itu, diterangkan Gunawan, adalah pertama, harusnya birokrasi pertanahan Indonesia dalam hal ini adalah Badan Pertanahan Nasional (BPN) yang wilayah kerjanya meliputi seluruh wilayah Indonesia. Pada kenyataannya, BPN tidak memiliki wewenang terhadap tanah yang di atasnya berupa hutan. “Padahal hutan adalah wilayah paling besar di indonesia. Salah satu hambatan reformasi agraria adalah bahwa Kementerian Kehutanan tidak mau mengonversi hutan untuk rakyat. Dalam UUPA, hukum soal kehutanan tidak disebut hak atas tanah, di sana hanya disebut sebagai hak memungut hasil hutan,” katanya. Yang kedua, BPN sebenarnya memiliki wewenang menyelesaikan konflik, tapi ternyata dibatasi yakni di luar konflik antara perhutani dan masyarakat. Masalahnya, hak atas tanah pada

setiap konflik, masyarakat menuntut BPN, tapi ternyata itu adalah hak Kementerian Kehutanan. “Begitu juga UU Sumber Daya Air yang mengakibatkan wilayah publik bisa diprivatkan, yakni sumber air bisa berubah menjadi pabrik minuman mineral, jelas ini bertentangan dengan Pancasila dan Pasal 33 UUD,” jelas Gunawan. Titik Balik Harapan baru muncul pada pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang mencanangkan Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN) pada awal Januari 2007 dan ditegaskan lagi pada awal Januari 2010. “Dan BPN telah menerima Inpres No 1 Tahun 2010 yang salah satunya untuk menyusun RUU Pertanahan. Prinsip dasar yang ditegaskan oleh kepala BPN sehubungan dengan RUU Pertanahan adalah harus bisa menerjemahkan muatan substantif yang diusung oleh UUPA. Dan itu sikap yang sangat baik. Ada titik balik di mana UUPA akan kita rujuk secara total,” papar Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan (Puslitbang) BPN, Endriatmo Sutarto. RUU Pertanahan pun telah masuk dalam agenda Prolegnas 20102011. Dengan RUU Pertanahan ini, Endriatmo mengatakan, akan terjadi harmonisasi antar UU Sektoral yang selama ini telah berlaku. Tapi, mungkinkah harmonisasi itu bisa terjadi karena begitu banyak kepentingan pemilik modal yang akan menjadi korban. Endriatmo mengatakan bahwa kemauan politik seperti ini harus diback up penuh oleh elemen-elemen bangsa, termasuk kampus-kampus dan organisasi masyarakat yang concern terhadap persoalan pertanahan

dan pertanian di negeri ini. “Apakah harmonisasi mungkin terjadi? Jawabannya harus. Harus menjadi komitmen, bukan hanya komitmen pemerintah, tapi komitmen semua komponen elemen agraria,” tandasnya. Presiden SBY juga menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) No 11 Tahun 2010 Tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Telantar. Pasal 15 PP tersebut secara jelas menyebutkan bahwa peruntukan, penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah negara bekas tanah telantar didayagunakan untuk kepentingan masyarakat dan negara melalui reformasi agraria dan program strategis negara serta untuk cadangan negara lainnya. “Tanah telantar jumlahnya sekitar 7,3 juta hektare. Sekarang masih dalam proses inventarisasi. Setelah peringatan ketiga, jika pemilik tanah tidak juga mendayagunakan, maka akan diambil alih. Jadi mungkin baru 2011 kita dapat final list tanah telantar,” ungkap Endriatmo. Namun, Serikat Petani Indonesia (SPI), dalam siaran resminya berjudul UUPA No 5 Tahun 1960 Harus Diperjuangkan, mengatakan bahwa implementasi tiga tahun agenda PPAN (Program Pembaruan Agraria Nasional) tidak jelas dan disorientasi untuk kehidupan petani. Hal ini, kata siaran SPI, terbukti dengan konflik agraria yang makin marak sepanjang 2009 – 2010, tanah telantar 9,2 juta hektare yang akan dibagikan tidak jelas lokasinya, dan berbagai implementasi PPAN yang lebih mengutamakan pada pemodal. “Intinya, petani dan ormas tani harus mengontrol dengan ketat proses semua ini, tak ada makan siang gratis,” kata Kepala Divisi Kebijakan Nasional SPI, Ahmad Ya’kub. YK/L-1

KORAN JAKARTA/M FACHRI

roblem pertanian dan problem pertanahan hari ini adalah problem yang akan diselesaikan atau diwarisi oleh generasi muda, generasi masa depan. Bagaimana para pejabat pertanahan masa depan dan petani masa depan di negeri ini disiapkan? Pertanyaan inilah yang selalu menggantung, nyaris tidak menemukan jawaban. Diterangkan oleh Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan (Puslitbang) Badan Pertanahan Nasional (BPN), Endriatmo Sutarto, bahwa BPN sekarang mengusung empat prinsip pertanahan, yakni pertama, tanah harus bisa berkontribusi terhadap kesejahteraan rakyat. Kedua, tanah harus berkontribusi terhadap keadilan. Ketiga, harus bisa berkontribusi terhadap meredanya sengketa dan konflik pertanahan. Dan, keempat, harus bisa berkontribusi terhadap sustainability, baik terhadap masyarakat, bangsa, dan negara itu sendiri. Nah, hal itu, menurut Endriatmo, tak bisa dikerjakan oleh para pejabat BPN yang hanya peduli dengan sertifikasi tanah. Sikap itu, disebut Endriatmo, sebagai sikap bisnis as usual, yakni sikap yang hanya menganggap dirinya adalah semata pejabat yang hanya mengurus tanah yang perlu disertifikasi. “Hanya jadi tukang ukur dan legalisasi. Tapi nggak pernah tahu sesungguhnya yang dilegalisasi ini kelompok mana. Jangan-jangan yang terus-menerus dilayani adalah masyarakat kelompok atas. Kalau petani gurem, apakah BPN tidak punya kepedulian,” papar Endriatmo yang juga menjabat sebagai Ketua Sekolah Tinggi Pertanian Nasional (STPN), Yogyakarta. Di STPN, yang merupakan satu-satunya pendidikan kedinasan BPN, menurut Endriatmo, saat ini memberlakukan kurikulum yang tak hanya membekali siswa dengan aspek normatif yang menjadi panduan bagi pegawai BPN, tapi juga dibekali dengan problem riil masyarakat. “Mahasiswa di sini disiapkan untuk bisa melihat permasalahan tanah di Indonesia, bukan semata permasalahan BPN, tapi permasalahan yang harus dihadapi dan dicarikan jalan keluar oleh seluruh elemen bangsa. Apalagi, jumlah petani gurem kita dari tahun ke tahun jumlahnya semakin banyak. Padahal, kita masyarakat agraris, tapi sumber kehidupannya tidak ada,” jelas Endriatno.

KORAN JAKARTA/YUDHISTIRA SATRIA

Konflik Pertanahan Ridho Saputra, siswa asal Sumatra Barat, mengaku tercekam dengan kenyataan konflik pertanahan yang terjadi di negeri ini. “Sebelum kuliah di sini, saya tidak tahu ada konflik pertanahan. Saya berharap bisa ikut menyelesaikan itu,” katanya. Namun, jika nanti tanah telah ada, bagaimana kesiapan generasi petani masa depan. Ketua Forum Rektor Indonesia, Edy Suandy Hamid, memaparkan bahwa dalam satu dekade terakhir, banyak program studi (prodi) pertanian di kampus-kampus di Indonesia tutup dan berganti dengan prodi yang lain karena kekurangan mahasiswa. Hal itu, kata Edy, karena pengembangan sektor pertanian Indonesia sama sekali tidak memiliki framework yang jelas, sehingga kepentingan jangka panjang dunia pertanian dikorbankan demi kepentingan sesaat yang sangat berorientasi pada perdagangan. Hal itu bisa terlihat, misalnya, pada kebijakan impor bahan pangan yang dibuka lebar-lebar oleh pemerintah. Akibatnya, selain terancamnya kedaulatan pangan dalam negeri, juga pada hancurnya pendidikan pertanian nasional. “Kalau caranya seperti ini, sedikit-sedikit impor, ya ngapain butuh ahli pertanian, cukup pedagang dan politisi saja-lah. Jelas lima tahun ke depan pendidikan ahli pertanian di Indonesia akan tamat,” tegas Edy. Hal senada diungkapkan oleh Dekan Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Agus Nugroho Setiawan. Menurut Agus, sebelum terlambat, sudah saatnya pemerintah bersama stakeholder lainnya mengeluarkan kebijakan dan langkah-langkah strategis dalam rangka revitalisasi pendidikan pertanian. ”Perlu adanya perbaikan kurikulum dan pembelajaran agar lebih sesuai dengan kebutuhan pengguna dan adaptif terhadap perkembangan teknologi. Kembalikan supremasi pertanian sebagai tulang punggung perekonomian. Karena pengembalian supremasi pertanian merupakan tanggung jawab bersama seluruh elemen bangsa,” pungkasnya. YK/L-1


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.