EDISI 736 - 6 JULI 2010

Page 3

KORAN JAKARTA

POLITIK

®

Selasa 6 JULI 2010

» Ida Fauziyah Terpilih

3

JEDA Filosofi Tikus Bukan Sikap Golkar

»

Ketua Umum terpilih organisasi wanita islam Nahdlatul Ulama (NU), Fatayat NU, periode 2010-2015, Ida Fauziyah (kedua dari kiri) berbincang dengan Panitia Penyelenggara Kongres XIV Fatayat NU, usai jumpa pers di Jakarta, Senin (5/7). Ida Fauziyah memenangi pemilihan dengan 266 suara, mengungguli rivalnya, Umi Khusnul Khotimah, yang mengantongi 116 suara.

KORAN JAKARTA/YUDHISTIRA SATRIA

Sistem Pemilu I Pemerintah Usulkan Penyelesaian Sengketa Pilkada di Daerah

Kaji Ulang Wacana Kemendagri Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) harus mengamendemen UUD 45 bila pemerintah ingin menyelesaikan sengketa pilkada melalui pengadilan di daerah. JAKARTA—Peneliti Center for Electoral Reform (Cetro) Refly Harun mengatakan ide penyelesaian sengketa pilkada dikembalikan ke daerah, seperti yang dilontarkan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi, adalah wacana yang kurang tepat. Usul terhadap perubahan sebuah sistem disarankan tidak hanya berdasarkan aspek kepraktisan belaka, namun harus melalui hasil kajian yang mendalam. “Secara konseptual dan faktual sulit diterima. Pada titik ini Mendagri kurang paham dan hanya melihat dari sisi praktisnya saja,” ujar peneliti Center for Electoral Refom (Cetro) Refly Harun di Jakarta, Senin (5/7). Refly menandaskan setidaknya terdapat dua persoalan besar yang menjadi alasan mengapa wacana ini harus dito-

lak. Pertama, adalah mengenai kapasitas, netralitas, dan independensi hakim di daerah. Refly menjabarkan mengapa wewenang sengketa pilkada diberikan kepada Mahkamah Konstitusi (MK). Penyebabnya, praktik penyelesaian di pengadilan daerah tidak memuaskan. “Contohnya, kasus pilkada Depok, Maluku Utara, atau Sulawesi Selatan, yang sangat memprihatinkan rasa keadilan,” kata Refly. Selama ini, keputusan pilkada yang disidang MK relatif bisa diterima dan dipertanggungjawabkan secara rasional. Refly menambahkan alasan kedua mengapa ide Mendagri itu harus ditolak adalah telah diterimanya pilkada sebagai rezim pemilu yang diakomodasi dalam UU Penyelenggara

Pemilu dan UU Pemerintahan Daerah. Konsekuensinya, penyelesaiannya otomatis masuk ke MK, sebagaimana diatur dalam Pasal 24C UUD 1945. Bila sekarang mau dikembalikan bahwa pilkada itu bukan rezim pemilu, maka itu adalah hal yang aneh. “Sebab dari pelaksanaannya semua sama dengan pemilu. Ini kurang tepat. Oleh karena itu, tidak ada opsi lain selain sengketa diselesaikan di MK. Kecuali dilakukan amendemen UUD terlebih dulu,” tegas Biaya Tinggi Sementara itu, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Gamawan Fauzi mengaku banyak mendapat masukan dari masyarakat agar penyelesaian sengketa pemilihan kepala daerah (pilkada), yang saat ini berada di Mahkamah Konstitusi (MK), dikembalikan ke daerah. “Tujuannya untuk mengurangi biaya pilkada agar lebih efisien. Ini sesuatu yang diusulkan oleh banyak pihak ke saya, tapi bukan dari Mendagri ya,” kata Gamawan Fauzi, saat dite-

mui seusai menghadiri pembukaan Rapat Pimpinan Nasional Gabungan Pelaksana Konstruksi Nasional Indonesia di Istana Wakil Presiden Jakarta, Senin (5/7). Dulu sengketa pemilihan kepala daerah diselesaikan di daerah. Hasil pemilihan di tingkat kabupaten dan kota diadili di pengadilan tinggi, sedangkan pemilihan kepala provinsi atau gubernur dilakukan di Mahkamah Agung. Kewenangan itu lantas dialihkan ke tangan Mahkamah Konstitusi yang wajib menyelesaikan setiap perkara dalam jangka waktu 14 hari. Selain mengusulkan penyelesaian sengketa pilkada di daerah, dalam perubahan UU Pemilu, pemerintah juga mengusulkan penyederhanaan penyelenggaraan pemilu. “Jadi, pemilu mendatang akan lebih banyak diisi dengan debat di media massa daripada pengerahan massa,” ungkapnya. Mantan Gubernur Sumatra Barat itu mengakui banyak sengketa pilkada yang diterima Mahkamah Konstitusi. Salah

satu penyebab munculnya sengketa pilkada karena banyak calon kepala daerah yang sudah “jor-joran” mengeluarkan biaya kampanye, ternyata kalah dalam pemilihan. Dalam pandangannya, penyelesaian sengketa pemilihan, seperti pilkada yang saat ini dipusatkan di MK ternyata memakan biaya yang cukup mahal. Ia mencontohkan pihak yang beperkara itu berasal dari Maluku Utara, Papua, atau Aceh. Mereka harus membawa berkas ke Jakarta yang memakan biaya yang tidak sedikit. “Bayangkan dari Papua, kami bawa barang bukti berapa truk, dari Maluku Utara, Aceh, berapa cost-nya? Kenapa tidak diberdayakan di daerah? Kok mahal sekali ongkosnya. Bagi calon yang sudah kalah, dikalahkan lagi di MK, tambah cost lagi,” katanya. Namun, ia menegaskan lagi bahwa ini sifatnya adalah usulan yang akan dibicarakan dengan DPR. Caranya, MK bisa bersidang di daerah atau diserahkan ke penegak hukum daerah. ito/har/P-1

JAKARTA—Menko Kesra Agung Laksono yang juga menjabat sebagai Wakil Ketua Umum DPP Partai Golkar menilai pernyataan Ketua Umum Golkar Aburizal Bakrie (Ical) perihal filosofi tikus dalam berpolitik, bukan sikap partai. “Itu hanya filosofi dan tikus tidak selalu identik dengan pencuri. Tikus juga dipakai di laboratorium. Di kampung istri saya, Manado, tikus dimakan,” kata Agung di Kantor Presiden, Jakarta, Senin (5/7). Agung menambahkan pernyataan Ical soal tikus itu adalah pendapat pribadi dan bukan sikap partai. “Itu kan pendapat pribadi Pak Ical selaku ketum, boleh saja. Tapi bukan sikap partai. Saya paham filosofinya, baik kok. Bukan karena Ical bos saya ya di Golkar,” lanjutnya. Agung menegaskan, filosofi tikus itu artinya kalau mengkritisi sesuatu jangan sampai sakit hati orangnya. “Berikan saran jangan seperti menggurui. Bila kasih koreksi dengan cara yang santun. Ya pokoknya yang haluslah, enggak langsung gigit. Ambil positifnya,” tutupnya. Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Marzuki Alie, menanggapi enteng analog tikus yang digunakan Ical dalam filosofi berpolitik. “Pendapat boleh-boleh saja. Terserah saja, mau tikus atau macan, tidak ada masalah,” ujarnya. Sebelumnya, Aburizal, dalam Rapat Koordinasi Teknis (Rakornis) Wilayah Jawa Bali dan NTB Partai Golkar 2010 di Hotel Ritz Carlton, Jakarta, Minggu (4/7) mengajak kader Partai Golkar meniru perilaku tikus dalam berpolitik. Kader Partai Golkar harus berpolitik secara cerdas dan taktis. “Jadilah seperti tikus yang menggigit tapi tanpa orang merasa kalau kita gigit,” kata Ical. pnd/ito/P-1

Faspped Gelar Sidang Pertama JAKARTA – Forum of Asia Pasific Parliamentarians for Education (Faspped) akan menggelar sidang umum pertamanya di Jakarta, Selasa (6/7) hingga Rabu (7/7). Forum negara-negara Asia Pasifik itu akan jadi ajang saling bertukar pikiran terkait masalah-masalah pendidikan. “Forum ini menjadi salah satu forum untuk menyukseskan program Education For All (EFA) yang merupakan bagian dari Millennium Development Goals (MDGs). Ini sejalan antara program UNESCO dan MDGs,” ujar Ketua DPR Marzuki Alie, yang juga menjabat sebagai Presiden Faspped, di Gedung Parlemen, Senin (5/7). Marzuki mengatakan sidang umum yang dihadiri sekitar 29 negara dari kawasan Asia Pasifik itu akan menyatakan komitmennya untuk membahas isu pendidikan. Sidang yang digelar di Hotel Sultan, Jakarta, itu juga menyertakan perwakilan forum dari Benua Afrika (Forum of Africa Parliamentarians for Education/Fafed) dan Arab (Forum of Arab Parliamentarians for Education/Farfed). Lembaga-lembaga ini akan berbagi pengalamannya dalam mengembangkan pendidikan di negara masing-masing. Dalam acara tersebut hadir pula perwakilan dari Dirjen UNESCO, Gwang-Jo Kim. “Untuk Indonesia, kita akan ambil manfaat negara maju di Asia Pasifik yang berhasil mengelola pendidikannya. Akan kita ambil masukan-masukan, baik untuk parlemen maupun pemerintah,” ungkap Marzuki. Sementara itu, Wakil Ketua Badan Kerja Sama Antar Parlemen (BKSAP) DPR RI, Nurhayati Ali Assegaf, mengatakan Faspped ini terbentuk sebagai tindak lanjut dari Konferensi Parlemen Se-Asia Pasifik untuk pendidikan di Jakarta pada Oktober 2008. Nurhayati menuturkan acara tersebut selain dibuka oleh Presiden Faspped, juga akan mengundang Ibu Negara Ani Bambang Yudhoyono untuk menyampaikan paparannya soal program Indonesia pintar. pnd/P-1

» Peran ICIS

Instruksi Presiden

Cegah Kekerasan dalam Pesta Demokrasi JAKARTA – Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menginstruksikan jajarannya untuk mempelajari dan mencegah terjadinya kekerasan selama pemilihan kepala daerah (pilkada). Presiden meminta jika terjadi sengketa hasil pilkada, ditempuh jalur hukum untuk menyelesaikannya. “Masih terjadi kekerasan-kekerasan pasca pilkada. Jangan dibiarkan. Cari tahu mengapa? Cari apa penyebabnya. Jangan sampai ada dorongan untuk melakukan kekerasan, cegah. Kita harus mencegahnya,” kata Presiden saat membuka rapat terbatas di Kantor Kepresidenan di Jakarta, Senin (5/7).

Kepala Negara mengatakan jumlah pemilih dalam pilkada di daerah lebih sedikit ketimbang pemilihan umum dan pemilihan presiden 2009. Pemilu 2009 bisa berjalan tertib. “Tapi kenapa justru dalam pilkada yang lebih sedikit massa pemilihnya malah terjadi kekerasan-kekerasan. Tren apa ini?” kata Presiden. Karena itu, Yudhoyono meminta agar para pihak yang terkait tidak membiarkan terjadinya kekerasan pasca pilkada. “Bagi penggeraknya, jangan dibiarkan, saluran hukumnya ada. Ini bukan politik lagi, masalah hukum,” kata dia. Presiden mengingatkan un-

tuk mengembangkan demokrasi di Indonesia biayanya mahal. Ketika seorang calon memutuskan akan maju dalam pilkada, yang bersangkutan harus siap untuk menang dan kalah. “Yang kalah barangkali kecewa, tapi harus mengerti. Yang menang barangkali senang, tapi jangan lupa daratan. Kalau sampai didorong melakukan kekerasan, tidak boleh, mencoreng demokrasi. Saya minta atensi betul untuk mencegahnya,” kata Yudhoyono. Pada kesempatan itu tampak hadir Menko Kesra Agung laksono, Menko Polhukam Djoko Suyanto, Menteri Perindustrian MS Hidayat, Menteri Kesehatan

Endang Rahayu Sedyaningsih, Panglima TNI Djoko Santoso. Tampak juga Menteri ESDM Darwin Saleh, Menteri BUMN Mustafa Abubakar, Menkumham Patrialis Akbar, Kepala BPS Rusman Heriawan, Jaksa Agung Hendarman Supandji, Kapolri Jenderal Bambang Hendarso Danuri, Mensesneg Sudi Silalahi, dan Setkab Dipo Alam. Relatif Kecil Sementara itu, Menko Polhukam Djoko Suyanto mengatakan pilkada yang sudah berjalan hingga Juli 2010 sekitar 123 pilkada kabupaten/kota. Dari jumlah tersebut, hanya sekitar 8 daerah yang terjadi keru-

suhan, atau sekitar tujuh koma sekian persen. Sepanjang 2010 dilaksanakan 244 pilkada di kabupaten/kota. Meski terjadinya kerusuhan yang relatif kecil, pemerintah tidak akan tinggal diam. “Kita berharap para calon dan para pendukungnya ikut bertanggung jawab dalam pengamanan itu,” kata Djoko. Selain itu, Menko Polhukam juga telah menginstruksikan agar ada koordinasi antara Kapolda, Kapolres, dan KPU di daerah serta Badan Pengawas Pemilu di daerah. “Tujuannya, bagaimana agar mengelola tim pendukung tidak merugikan semua pihak,” kata dia. ito/P-1

Kebijakan Parpol

PDIP Tolak Bahas RUU Komponen Cadangan JAKARTA – Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan meminta Rancangan UndangUndang Komponen Cadangan tak dibahas pada periode 2009 – 2014. PDIP khawatir RUU yang diusulkan oleh Kementerian Pertahanan itu memberi landasan untuk militerisasi sipil yang bisa mengancam proses demokratisasi. “Kesimpulannya, memang fraksi kami minta pembahasan RUU Komponen Cadangan itu ditunda karena ini bukan hal yang menjadi prioritas,” kata Sekjen DPP PDIP Tjahjo Kumolo dalam jumpa pers di Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (5/7). Dasar pendapat PDIP ada-

lah Keputusan Presiden Nomor 7 Tahun 2008 yang menegaskan bahwa kebijakan pembangunan kekuatan pertahanan itu diutamakan pada komponen utama. “Sedangkan penyiapan komponen cadangan dan komponen pendukung dilaksanakan secara bertahap sesuai kemampuan sumber daya dan sebagainya,” kata Tjahjo. Pertimbangan lain adalah PDIP khawatir munculnya militerisasi di masyarakat sipil. “Ini akan bisa mengancam proses demokratisasi dan sebagainya,” kata Tjahjo. Sementara itu, Wakil Ketua Komisi I DPR dari FPDIP, Tubagus Hasanudin, menilai masih banyak RUU lain yang mesti

diprioritaskan karena menyangkut hajat masyarakat banyak. “Aneh menurut saya. Kita tidak dalam keadaan perang. Prajurit kita pun masih keleleran. Alat utama sistem pertahanan tidak terpenuhi. Mengapa pula kita harus membuat tentara (cadangan),” kata Tubagus. Tubagus menjelaskan saat ini, TNI Angkatan Darat memiliki 317 ribu personel, Angkatan Laut 82 ribu, dan Angkatan Udara 34 ribu. “Total itu 413 ribu (personel),” ujar Tubagus. Kemudian, RUU Komponen Cadangan ini memproyeksikan adanya 130 ribu cadangan untuk Angkatan Darat, 20 ribu Angkatan Laut, dan 10 ribu Angkatan Udara. Jumlah selu-

ruhnya 180 ribu. Mengacu pada itu semua, FPDIP melihat untuk mencapai prajurit profesional dengan 413 ribu plus minimal essential cost, kebutuhan utama dengan alutsista saja, negara ini butuh kurang lebih 50 triliun rupiah per tahun untuk minimal 5 tahun. Padahal proyeksi anggaran ke depan, 2011, hanya naik 1,5 triliun rupiah. Bila anggaran 2009-2010 itu 42,3 miliar rupiah, anggaran 2010-2011 hanya 43,8 miliar. “Artinya apa? Untuk mengurusi agar prajurit ini bisa profesional, senjatanya bagus saja, kita belum ada bayangan dalam lima tahun ke depan. Lalu mengapa kita harus menyiap-

kan tentara abal-abal?” Selain itu, PDIP melihat, dalam 20 tahun ke depan diperkirakan tidak akan ada perang. “Lalu untuk apa menyiapkan komcad dari sekarang yang 180 ribu itu?” kata Tubagus. Pengamat militer LIPI, Jaleswari Pramodawarhani, mengatakan RUU Komponen Cadangan tidak menjadi skala prioritas. Menurutnya, masih banyak skala prioritas lain yang dapat dilakukan dalam bidang pertahanan, misalnya dengan memperkuat alat utama sistem senjata (alutsista). “Itu terjadi di tengah kecilnya anggaran untuk pertahanan kita. Lebih baik itu tidak jadi prioritas,” kata dia. har/pnd/P-1

KORAN JAKARTA/YUDHISTIRA SATRIA

»

Sekjen International Conference of Islamic Scholars (ICIS), Hasyim Muzadi (kanan) meninggalkan kediaman Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri (kiri) didampingi Sekjen PDIP, Tjahjo Kumolo (tengah) usai mengadakan pertemuan di Jakarta, Senin (5/7). Pertemuan tersebut membahas hal-hal terkait kegiatan dan peran ICIS dalam menyelesaikan konflik di beberapa negara, yang melibatkan elemen muslim.

Islah PKB Sulit Terwujud JAKARTA – Mantan Ketua Umum PBNU KH Hasyim Muzadi menyatakan islah atau rekonsiliasi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) akan sulit terwujud jika tidak ada paksaan secara hukum yang mengharuskan kubu-kubu yang ada di partai itu menyatukan diri. Sebenarnya, kata Hasyim, seusai pertemuan dengan Megawati Soekarnoputri di Jakarta, Senin, islah PKB bisa terwujud jika seluruh komponen ikhlas bergabung, namun kesan yang muncul sekarang adalah menang-menangan. “Sekarang sulit (terwujud), kecuali ada format hukum yang mengakomodasi islah itu, yang membuat mereka mau tidak mau bergabung kembali,” kata Hasyim yang kini lebih berkonsentrasi di International Conference of Islamic Scholars (ICIS). Misalnya, kata pengasuh pesantren mahasiswa Al Hikam di Malang dan Depok itu, Mahkamah Agung memutuskan kepengurusan PKB yang sah adalah hasil muktamar di Semarang pada 2005, bukan muktamar di Ancol yang menghasilkan PKB Sukabumi atau muktamar di Parung yang menghasilkan PKB Kalibata. “Kalau di tingkat kasasi yang dimenangkan muktamar Semarang, maka di situ ada format hukum yang memerintahkan islah. Kalau sukarela, yang bicara kekuasaan,” katanya. Ditanya apakah tidak ada figur tertentu yang bisa mempersatukan kembali PKB, menurut Hasyim, persoalannya bukan ketiadaan figur. Justru, PKB sekarang sarat dengan figur. “Karena masing-masing merasa dirinya adalah figur, jadi mereka tidak butuh lagi figur yang lain,” katanya. ags/P-1


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.