Martani edisi 1

Page 1

Menebar Inspirasi dan Informasi Petani

1

2017

artani

Januari

Edisi

Petani Tegak Berdiri di Tengah Badai Laporan Utama Strategi Petani Menghadapi Alih Fungsi Lahan

Sekolah Inovasi Tani Desa Memiliki Kewenangan dalam Urusan Pertanian

Suara Tani Tantangan Pengembangan Pertanian Perdesaan


artani Menebar Inspirasi dan Informasi Petani

REDAKSI MARTANI Penanggungjawab: Sutomo Redaktur: Edi Purwanto Redaktur Pelaksana: Nasrun Annahar Anggota Tim Redaksi: L. Riansyah Fahrul Ulum M. Mujtabah Kontributor: Tri Wahyu Widarto Very Yudha Lesmana Aris Fahmi M. LuthďŹ l Hakim Editor: Mahalli Tata Letak: Dwi Purbo Yuwono ALAMAT REDAKSI: D'Wiga Regency A3-12, Kelurahan Mojolangu, Kota Malang (65142) Phone/fax: (0341) 3039081 Email: info@averroes.or.id Portal: www.padi.averroes.or.id; www.averroes.or.id Twitter: @avecom Instagram: @averroes.or.id DITERBITKAN OLEH:

DIDUKUNG OLEH:

Salam Redaksi


Daftar Isi Warta Desa: Potret Kemandirian dalam Wujud Keripik Pisang

1

Menimbang Asa Petani Salak Wonosari 3 Jatiarjo, Desa Pertanian Terkemukan Sejak Jaman Penjajahan Belanda

Laporan Utama: Strategi Petani Menghadapi Alih Fungsi Lahan 6

Editorial: Tanah Leluhur

9

Sekolah Inovasi Tani: Desa Memiliki Kewenangan dalam Urusan Pertanian

10

Tokoh Tani: Nur Hidayat Tokoh Penggerak Petani Muda ProďŹ l Karnadi Zainul

12

14 15

Suara Tani: Membangun Kekuatan Pertanian Melalui Kelompok Tani Tantangan Pengembangan Pertanian Perdesaan

17

19

Reeksi Pengetahuan: Belajar dari Mahaguru Alam Semesta Kopi sebagai Solusi

20

22

Pengetahuan dan Cita Rasa Salak Wonosari

23

Wawancara: Wawancara Kepala Dinas Pertanian

25

Lima Modal yang Menguatkan Petani

28

Opini:

Tahukah Anda: Komoditas Warisan Belanda di Kalipucang

30

Resensi Buku: Membaca Dinamika Ketahanan, Kemandirian dan Kesejahteraan Pangan di Jawa 32 Bilik Tani: Perjalanan Janu di Gunung Cikur 34

4


Warta Desa 1

Potret Kemandirian dalam Wujud Keripik Pisang

D

esa Kalipucang terletak di ketinggian 700 meter di atas permukaan laut. Desa yang terkenal sebagai penghasil susu sapi segar ini masuk dalam wilayah Kecamatan Tutur, Kabupaten Pasuruan. Secara administratif, Desa Kalipucang terdiri dari enam dusun yakni Kuntul Utara, Kuntul Selatan, Dodogan, Cikur, Mucangan dan Dusun Jelag. Selain masyhur sebagai penghasil susu segar, Kalipucang juga menyimpan potensi hasil pertanian yang besar. Komoditas kopi, cengkeh, alpukat, durian, nangka dan pisang serta tanaman lain tumbuh subur pada 671 ribu lahan pertanian kering dan 338 ribu hektar tegal. Semua komoditas ini memang belum banyak disentuh, sehingga sebagian besar masih tumbuh secara alami. Dari sekian banyak komoditas, kopi dan pisang merupakan produk yang paling banyak dihasilkan oleh desa ini. Sejauh ini, pengolahan hasil panen kopi dan pisang dilakukan dalam skala kecil, dikelola secara tradisional dan mandiri oleh perseorangan ataupun kelompok. Hasil olahan kopi dan pisang ini hanya dititipkan pada warung-warung yang ada di desa. Selain itu, kedua produk ini dipamerkan dan dipasarkan juga jika ada eventevent di tingkat kabupaten atau kecamatan yang diselenggarakan oleh dinas tertentu.

Desa ini memiliki potensi komoditas pisang dalam kapasitas yang besar. Ada beragam pisang yang tumbuh subur di desa ini. Masyarakat mengelompokkan jenis pisang menjadi dua, yaitu pisang olahan dan pisang buah. Pisang buah adalah pisang yang layak dijual dalam bentuk buah, di antaranya adalah pisang Ambon, Barlin, hijau, Raja Molo, Emas dan pisang Santen. Permintaan pasar atas jenis pisang buah ini sangat tinggi, sehingga masyarakat lebih tertarik untuk menjualnya langsung dalam bentuk buah.

Sedangkan pisang olahan terdiri dari pisang Candi dan pisang Nangka. Kedua jenis pisang ini sebenarnya rasanya sangat enak bila dikonsumsi langsung dalam bentuk buah. Namun masyarakat lebih sering mengolah dulu dalam bentuk keripik atau makanan lainnya. Sebagian kecil pengolahan pisang ini dilakukan oleh perseorangan atau kelompok dalam bentuk industri rumahan. Mbah Armi adalah salah satu warga yang sudah mendapat penghasilan tambahan dari mengolah komoditas pisang menjadi keripik. Menurutnya ada selisih harga yang lumayan apabila pisang dijual dalam bentuk keripik dibandingkan dengan dalam bentuk buah. Janda 65 tahun ini mengungkapkan bahwa pisang Santen atau Nangka dalam satu tandan dihargai Rp.30.000,-. Jika diolah menjadi keripik, satu tandan rata-rata menjadi 45 bungkus. Armi menjual setiap bungkus keripik pisangnya


Warta Desa 2

seharga Rp.1.750,-. Apabila ditotal harga pisang setelah diolah menjadi keripik adalah sebesar Rp.78.750,-. Dengan mengolah pisang menjadi keripik, Armi masih mendapat selisih keuntungan kotor sebesar Rp.50.750,- setiap tandannya.

hari semakin meningkat. Namun ia mengakui untuk meningkatkan produksi olahan pisang, kelompoknya masih mengalami kesulitan dan kendala manajemen, tenaga kerja dan sarana prasarana pemasaran.

Seperti halnya Armi, Kelompok Tani Dwi Tunggal juga mulai memproduksi keripik pisang. Karnadi, ketua Kelompok Tani Dwi Tunggal menceritakan bahwa kelompoknya mampu menghasilkan pendapatan sebesar Rp.90.000,-/hari dari penjualan keripik pisang.

Armi dan Kelompok Tani Dwi Tunggal adalah contoh kemandirian dan keberdayaan masyarakat desa dalam meningkatkan nilai potensi desa mereka. Sebenarnya masih banyak produk olahan lain yang bisa dihasilkan dari komoditas pisang di Desa Kalipucang, misalnya selai pisang, jenang pisang, getuk pisang, tepung pisang ataupun lainnya. Memang dibutuhkan inovasi dan sentuhan-sentuhan dari pemerintah ataupun pihak lainnya untuk mengembangkan produk olahan pisang ini.

Kelompok Tani Dwi Tunggal mulai memperbaiki pengemasan produk keripiknya. Selain itu, kelompok tani ini juga mulai mengajukan izin Industri Rumah Tangga (IRT) kepada Dinas Perindustrian Kabupaten Pasuruan. Namun, sampai hari ini IRT tersebut belum juga ia dapatkan. Karnadi berharap Pemerintah Kabupaten Pasuruan mempermudah proses perizinan, agar industri rumahan di Pasuruan khususnya di Desa Kalipucang bisa berkembang. “Kami berharap Pemerintah Kabupaten Pasuruan mempermudah proses perizinan IRT. Kami sudah mengurusnya beberapa kali, namun tak kunjung kami dapatkan�, keluh Karnadi pada diskusi terbatas tentang potensi Desa Kalipucang (02/01/2017) Berdasarkan pengakuan Karnadi, permintaan keripik pisang buatan kelompoknya dari hari ke

Peningkatan kapasitas dan produktivitas, baik sumber daya manusia maupun peningkatan teknik pengolahan dan pengelolaan kegiatan usaha, menjadi hal yang mutlak diperlukan. Kiranya perhatian dan kerjasama antara pemerintah daerah, pihak swasta, universitas maupun lembaga lainnya dapat semakin menguatkan potensi Desa Kalipucang pada khususnya, dan potensi sumber daya alam lainnya di Kabupaten Pasuruan. [Tri]


Warta Desa 3

Menimbang Asa

K

Petani Salak Wonosari

ecamatan Gondangwetan, Kabupaten Pasuruan memang masyhur sebagai wilayah penghasil salak. Selain Desa Kresikan, Desa Wonosari juga dikenal khalayak menjadi penghasil salak. Beberapa petani salak Desa Wonosari, kini mulai memproduksi jenang salak. Selain tanaman padi dan palawija, warga di Desa Wonosari juga memiliki tanaman salak. Hampir semua rumah memiliki pohon salak yang ditanam di pekarangan atau tegalan yang letaknya tidak jauh dari rumah. Kondisi tanah dan cuaca di desa ini rupanya cocok untuk budi daya salak. Tanaman salak di desa ini bisa panen dua kali dalam setahun. Uniknya, panen raya salak tidak bisa ditandai dengan penanggalan Masehi. Waktu panen raya hanya bisa diprediksi dengan acuan penggalan Jawa atau Hijriah. Panen raya salak biasanya terjadi pada bulan Mulud dan Syawal. Pada bulan-bulan tersebut, jumlah salak di desa ini sangat berlimpah. “Biasanya pas peringatan Muludan (hari lahirnya Nabi Muhammad) dan pas Hari Raya Idul Fitri, salak menjadi suguhan bagi para tamu, karena pas waktu itu salak sedang banyak-banyaknya,” ujar Hanafi, salah seorang petani salak sekaligus Kepala Urusan Pertanian Desa Wonosari.

Sajian salak pada saat berlangsungnya acara Maulid Nabi dan Idul Fitri seolah menjadi kewajiban setiap keluarga. Sehingga masyarakat merasa kurang lengkap jika saat pada bulan tersebut tidak menyajikan salak. Menurut Hanafi, pada 2015 kemarin salak mengalami gagal panen dikarenakan musim yang tidak menentu. Sebagian masyarakat yang cenderung sudah fanatik terhadap salak, harus merogoh sakunya lebih dalam untuk membeli salak. Bagi masyarakat Wonosari, salak sudah menjadi bagian hidup dan identitasnya. Pada awalnya salak hanya dikonsumsi sendiri dan menjadi hidangan para tamu. Masyarakat di desa ini sangat bangga apabila bisa memberikan hidangan salak, apalagi bisa memberikan oleh-oleh kepada para tamu yang datang ke rumahnya. Belakangan, banyak orang yang mengatakan bahwa salak Wonosari memiliki cita rasa yang khas, berbeda dengan salak yang dijual di pasaran. Salak Wonosari terkenal manis keasamasaman. Kombinasi manis dan asam yang terkandung dalam Salak Wonosari dirasa pas oleh masyarakat penikmat buah. Selain itu salak yang dihasilkan dari desa ini juga lembut tekstur daging buahnya. Menurut Gufron, salak Kresikan terlalu manis rasanya dan cenderung berair. “Terlalu manis dan berair menjadikan salak Desa Kresikan kurang enak dimakan”, jelas anggota kelompok tani ini.


Warta Desa 4 Rupanya pemberian salak sebagai oleh-oleh kepada sanak keluarga tersebut, menjadikan orang lain semakin penasaran dengan salak Wonosari. Mengingat permintaan salak Wonosari di pasaran semakin tinggi, maka masyarakat mulai membudidayakan salak sebagai tambahan penghasilan. Belakangan salak Wonosari tidak hanya dijual dalam bentuk buah, namun sudah ada beberapa orang yang mencoba mengolah salak menjadi jenang salak dan beberapa produk lainnya.

Jatiarjo, Desa Pertanian Terkemuka Sejak Jaman Penjajahan Belanda

Pasangan suami istri Roni dan Lilik adalah salah satu keluarga yang telah mengolah salak menjadi jenang. Pasangan ini mengolah salak dengan cara-cara tradisional. Cara mengolah salak menjadi jenang ini mereka dapatkan dari orang tua mereka yang sejak lama memproduksi jenang salak. Inisiatif untuk mengolah salak menjadi jenang ini berawal dari keaktifan Lilik dalam kegiatan PKK. Selain karena kemampuan mengolah salak yang didapatkan secara turun-temurun, Lilik juga mendapat tambahan pengetahuan mengenai pengolahan salak dari pelatihan pelatihan PKK yang diselenggarakan oleh Kecamatan.

J

Selain pemasaran secara konvensional, Roni dan Lilik mencoba membuat terobosan dalam memasarkan jenang salak. Media online menjadi salah satu cara pasangan ini mengenalkan dan menjual jenang salak pada ruang yang lebih luas. Dari media inilah jenang salak hasil produksinya mulai dikenal banyak orang. Permintaan pasar akan jenang salak semakin hari semakin banyak.

atiarjo adalah salah satu desa yang secara administratif masuk dalam Kecamatan Prigen, Kabupaten Pasuruan. Desa yang terletak di lereng Gunung Arjuno ini memiliki iklim yang sejuk dan tanah yang subur. Oleh karenanya, di Jatiarjo tersimpan potensi sumber daya alam yang melimpah, khususnya di bidang pertanian dan perkebunan.

Usaha yang dirintis pada 2015 silam ini telah mengantongi Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP) dari pemerintah kabupaten. Pada 2015, usaha ini terpaksa tidak berjalan sebagaimana tahun sebelumnya. Cuaca yang tidak menentu membuat gagal panen. Ujungnya, terjadi kelangkaan bahan baku.

“Kesuburan tanah membuat Jatiarjo memiliki banyak komoditas. Yang paling banyak di sini adalah kopi, nangka, gadung dan sayuran organik,� papar Syamsuri, tokoh pemuda Jatiarjo.

Meski demikian, pasangan suami istri tersebut optimis pada tahun-tahun mendatang bisa melanjutkan usahanya. Mereka berharap bisa mendapatkan pelatihan dalam meningkatkan kemampuan memproduksi, manajemen usaha, pengemasan hingga pemasaran. [Very]


Warta Desa 5 Sejarah mencatat bahwa potensi Jatiarjo telah dikenali oleh Pemerintah Kolonial sejak era tanam paksa. Belanda mendatangkan orang-orang dari Madura untuk dibawa ke desa ini. Mereka dipaksa untuk menanam sayur-sayuran, palawija, tanaman tegakan hutan hingga buah-buahan.

Jejak-jejak peristiwa tanam paksa itu masih bisa terlihat hingga saat ini. Dua dari tiga dusun di Desa Jatiarjo (Tegal Kidul dan Tonggowa) dipenuhi warga keturunan Madura. Ragam pertanian dan keberadaan warga keturunan Madura tersebut menjadi bukti bahwa kesuburan tanah dan kondisi iklim merupakan potensi yang sudah ada sejak lama. Selain budi daya komoditas tersebut di atas, di Jatiarjo juga terdapat kegiatan budi daya tanaman kopi. Tepatnya di Dusun Cowek, komoditas ini dibudidayakan di lahan milik Perhutani. Menurut Mochammad Tha'im, salah satu petani kopi di Dusun Cowek, sejarah tanaman kopi dimulai puluhan tahun yang lalu atau berbarengan dengan periode awal dibangunnya Taman Safari Indonesia 2. Pembangunan kawasan Taman Safari Indonesia 2 di Jatiarjo membuat banyak warga kehilangan lahan pertaniannya. Oleh karenanya, para warga setempat mulai menanami lahan Perhutani tanpa izin. “Mulanya, petani semacam merampas lahan dari Perhutani lantas menggarap lahan hutan dengan tanaman palawija. Tanaman palawija ini kemudian sering dicabuti oleh mandor Perhutani. Tak jarang, terjadi konflik antara petani dan pihak Perhutani,” ujar Tha'im. Lambat laun konflik antara keduanya mulai mereda. Hal tersebut terjadi pasca diwujudkannya kesepakatan antar keduanya. Kesepakatan tersebut berisi petani boleh bercocok tanam di lahan Perhutani asalkan tidak mengganggu

tanaman tegakan. Hingga akhirnya, dari kesepakatan tersebut, tanaman kopi dipilih karena dirasa tidak mengganggu tanaman tegakan dan juga menguntungkan petani. Lebih lanjut, Tha'im menjelaskan bahwa status lahan Perhutani yang digarap oleh warga Jatiarjo adalah lahan kelola bukan hak milik. Lahan Perhutani yang dikelola oleh petani desa ini kurang lebih seluas 350 hektar. Luasan tersebut menjadi garapan bagi 500 petani. Ada sebuah hal unik dari cerita Tha'im mengenai luasan lahan garapan tersebut. Ia menceritakan bahwa luasan hak kelola oleh masyarakat tergantung siapa yang lebih banyak mbabat (membuka lahan) hutan. Tidak pernah ada pertentangan antar masyarakat meski luas lahan yang mereka garap berbeda-beda. Bagi orang yang sejak awal membuka lahan luas, hingga kini ia mengerjakan lahan yang luas pula. Sebaliknya, bagi yang membuka lahan sempit, hingga kini ia menggarap lahan yang sempit. “Jadi, dulu itu kalau sudah ada orang membuka lahan dengan luasan tertentu meskipun sudah ditinggal beberapa bulan, asal ada penanda maka tidak akan ada warga lain yang mengakui bahwa itu adalah lahannya. Ibaratnya ditanami pisang satu batang saja, itu sudah menjadi penanda. Tidak ada yang boleh mengaku-ngaku atas lahan itu,” ujar pria yang juga menjabat sebagai ketua Kelompok Tani Rejo Tani. “Kelompok Rejo Tani diketuai oleh Tha'im. Jumlah anggota aktif sebanyak 25 anggota. Masingmasing dari anggota menggarap lahan antara 1 hingga 2 hektar dengan jumlah tanaman kopi masing-masing anggota berkisar antara 20003000 tanaman.” Sampai hari ini, hasil panen komoditas kopi hanya dipasarkan dalam bentuk bijian. Setelah panen kopi melalui proses pengeringan dan pengupasan kulit luar, hasil panen langsung dijual. Hal ini dilakukan karena memang belum tersedia alat untuk memproses lebih lanjut. “Saya pribadi berharap agar ada bantuan berupa alat dan pelatihan sehingga pengelolaan pasca panen kopi lebih bisa dimaksimalkan,” terangnya. [Aris dan Fahrul]


Laporan Utama 6

Strategi Petani Menghadapi Alih Fungsi Lahan

“Di sini, rumput tetangga tak nampak lebih hijau dari pada rumput kita”

I

tulah perumpamaan yang dikatakan oleh Tri Wahyu, salah satu fasilitator lapangan Program Pendidikan Agrobisnis Desa Inovatif (Padi), untuk menggambarkan kondisi Desa Kalipucang, Kecamatan Turur, Pasuruan. Setelah sekian lama menjadi desa pertanian, desa ini kini lebih dikenal sebagai desa peternakan. Lahan yang dulu ditanami beragam komoditas pertanian kini berubah menjadi hamparan rumput gajah. Terjadi penyusutan yang sangat pesat pada lahan pertanian terutama untuk komoditas kopi dan sayur. Hal ini terjadi karena mayoritas penduduk beralih pekerjaan dari petani menjadi peternak sapi perah. Peralihan pekerjaan secara massal ini didorong oleh lebih tingginya harga susu dibandingkan harga komoditas pertanian. “Ada arus balik pola pekerjaan masyarakat. Jadi nek tahun 8090an wong tani iku nyambi ternak. Sekarang wong ternak nyambi tani,” papar Haji Trik salah

seorang tokoh Desa Kalipucang. Meski peternakan sapi menjadi pilihan yang lebih menguntungkan bagi masyarakat, mereka menyadari betul bahwa perubahan ini akan berdampak buruk bagi kelestarian alam dan kesejahteraan manakala mencapai titik yang ekstrem. Jika seluruh lahan di Desa Kalipucang berubah menjadi lahan rumput gajah, di saat yang sama tanaman perkebunan dan pepohonan juga akan habis. Ujungnya, ancaman bencana longsor pun akan datang. Selain itu, citra sebagai desa penghasil beragam komoditas pertanian juga akan hilang dari desa ini. Karnadi, ketua Kelompok Tani Dwi Tunggal Desa Kalipucang berharap agar seluruh komoditas pertanian, perkebunan maupun peternakan yang sudah menjadi penopang kehidupan masyarakat sejak lama bisa dipertahankan secara seimbang. “Komoditas kopi atau apel di Kalipucang jangan sampai bernasib sama seperti apel Kota Batu. Punah

karena alih fungsi lahan dan kerusakan lingkungan,” harapnya.

Salah satu upaya untuk menjaga keseimbangan berbagai komoditas di Kalipucang diwujudkan dengan membentuk Kelompok Tani Dodogan Makmur yang berada di Dusun Dodogan. Kelompok tani ini telah membentuk divisi-divisi dengan tugas yang berbeda beda. Ada divisi yang bertugas mengurus kebutuhan petani ada pula divisi yang membawahi kepentingan peternak. Dengan harapan kelompok tani ini bisa mengapresiasi kebutuhan pertanian dan peternakan.


Laporan Utama 7 Senada dengan Kalipucang, Desa Wonosari Kecamatan Gondangwetan juga mengalami pergeseran komoditas pertanian dan perkebunan. Para petani yang dahulu menanam salak, kini mulai beralih untuk menanam sengon. Alasan petani mengganti salak menjadi sengon karena salak tidak terlalu menguntungkan untuk ditanam di desa ini. Tanaman sengon, menurut beberapa narasumber yang ditemui, lebih menguntungkan dan lebih mudah dalam perawatannya. Perawatan dilakukan secara intensif hanya pada satu tahun pertama saja. Begitu sudah menginjak tahun kedua dan seterusnya, sengon bisa tumbuh dengan sendirinya tanpa butuh perhatian khusus. Pada usia empat atau lima tahun, sengon tersebut siap untuk dipanen. Dari lima dusun yang di Desa Wonosari, peralihan komoditas dari perkebunan salak menjadi sengon paling banyak berada di di Dusun Ngepreng dan sebagian Dusun Kili Barat dan Timur. Sayangnya, menurut KhanaďŹ , sebagian besar lahan sengon di desa ini dimiliki oleh beberapa orang kaya saja, khususnya di Dusun Ngepreng. Sementara warga desa sebagian besar hanya berposisi sebagai pekerja yang mengolah dan merawat. Lebih lanjut, Kaur Pertanian Desa Wonosari ini menjelaskan bahwa sengon sekarang sudah menjadi bisnis yang cukup menggiurkan. Menurutnya, hasil panen dari sengon banyak manfaatnya, bisa dijadikan bahan untuk mebel,

ukiran kayu, atau untuk dasaran kayu kaligraďŹ .â€? Zainul sebagai ketua kelompok tani di desa ini, sedikit mengkhawatirkan terkait “sengonisasiâ€? di Desa Wonosari. Menurutnya, apabila tidak dibendung, semakin lama lahan pertanian dan perkebunan di desa ini akan habis dan berganti menjadi sengon. Padahal menurutnya, lahan pertanian sangat penting untuk menjaga keseimbangan ekosistem di desa. Lahan yang sudah pernah ditanami sengon, kemungkinan untuk ditanami padi atau tanaman pangan lain sangat kecil. Karena struktur tanah telah berubah. Belum lagi akar sengon agak sulit untuk dibersihkan. Tentu belum bisa dibajak, jika akar bekas sengon tidak dibersihkan. Kemungkinan besar tanah tersebut menjadi tegal dan kemudian menjadi rumah, seperti tegalan-tegalan lainnya. Lain halnya dengan di Desa Jatiarjo. Desa Jatiarjo sebagian besar masyarakatnya bekerja sebagai petani, namun lahan yang ada di desa sudah semakin menyempit. Penyempitan lahan di desa ini dikarenakan mulai banyaknya industri, pariwisata dan sebagian dialihfungsikan untuk perumahan. Di desa ini, pergeseran terjadi tidak hanya pada lahan tapi juga pola pekerjaan. Masyarakat yang dulunya bekerja sebagai petani kini mulai banyak yang beralih menjadi buruh pabrik atau buruh bangunan. Hal ini dikarenakan lahan pertanian yang mereka miliki telah terjual kepada perusahaan-perusahaan besar. Semakin berkurangnya lahan pertanian di Jatiarjo ini, mendorong beberapa orang yang tidak memiliki

lahan pertanian membuka lahan baru di wilayah hutan. Dari satu dua orang akhirnya semakin banyak yang membuka lahan baru di hutan. Akhirnya lereng Arjuno tersebut berubah menjadi lahan pertanian bersama antara masyarakat dan Perhutani.

Berdasarkan kesepakatan bersama, warga dan Perhutani membentuk Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH). Lembaga inilah yang menjadi penghubung antara petani penggarap lahan hutan dengan Perhutani. Penggarapan lahan dengan pola kemitraan di bawah naungan LMDH dan kelompok tani menjadi solusi yang tepat atas berkurangnya lahan pertanian milik warga. Inilah salah satu strategi petani Jatiarjo untuk mempertahankan diri untuk tetap menjadi petani. Menurut Samsuri, alih lahan hutan bersama ini sekarang sangat menguntungkan petani dan Perhutani. Kebakaran hutan di lereng Gunung Arjuno sudah jarang sekali terjadi. Selain tanaman kopi, para petani juga bisa menanam beragam tanaman dengan sistem tumpang sari. Dengan pola ini, masyarakat dan


Perhutani bisa bersinergi untuk menjaga hutan bersama. Strategi Petani untuk Hidup Menanggapi alih fungsi lahan ini, Winaryo Wijanarko berpendapat positif. Pemerhati pertanian ini menganggap bahwa perubahan fungsi lahan komoditas pertanian sangat wajar. Menurutnya ini adalah strategi petani dalam mempertahankan “periuknya” agar tetap terisi. “Kasus di Kalipucang yang mengubah fungsi lahan pertanian produktif menjadi rumput gajah, lahan pertanian menjadi sengon seperti yang terjadi di Desa Wonosari, ataupun penguasaan hutan menjadi lahan pertanian di Desa Jatiaro, adalah hal yang wajar,” terang ketua KPU Kabupaten Pasuruan ini. Alumni Sekolah Demokrasi ini beranggapan bahwa, apa yang dilakukan petani di ketiga desa tersebut adalah upaya petani untuk terus bisa hidup dengan bertani. Tentu masing-masing desa dan wilayah, petani memiliki strategi yang berbeda. Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa strategi itu memang harus dilakukan agar mereka bisa bertahan hidup. Bisa jadi dengan mengubah tanaman pertanian, para petani bisa mendapatkan keuntungan yang lebih banyak. “Selama alih fungsi lahan masih berputar di wilayah pertanian tidak menjadi masalah. Namun jika alih lahan dari pertanian menjadi pemukiman, industri ataupun pariwisata, ini yang harus dibendung”, terangnya. Winaryo berpesan agar

masyarakat, pemerintah desa, dan pihak-pihak lain bisa ikut menjaga luasan lahan pertanian. Karena menurutnya, bagaimanapun juga lahan pertanian tetap harus ada, khususnya lahan-lahan pertanian kelas satu. Pemerintah Kabupaten Pasuruan telah mengeluarkan Peraturan Daerah Nomor 12 Tahun 2010 tentang Tata Ruang. “Semoga Perda ini bisa menjadi pagar beton agar lahan pertanian produktif di Kabupaten Pasuruan tetap terjaga,” pungkasnya. Pentingnya Peraturan Desa tentang Tata Ruang Undang-Undang Nomor 41 tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (PLP2B) yang diikuti dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 12 Tahun 2012 tentang Insentif PLP2B. Peraturan ini sebenarnya digunakan untuk melindungi lahan pertanian dari arus pembangunanisme yang semakin tidak bisa dikendalikan. Menurut Fahrul Ulum, desa memiliki kewenangan untuk mengatur dan menjaga pertanian dari alih fungsi lahan. Pendapat Alumni Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya ini didasarkan pada UU Nomor 6 Tentang Desa. Atas dasar itu, menurutnya desa bisa membuat Peraturan Desa yang mengatur tentang tata ruang desa. “Seiring dengan lahirnya UU Desa, Desa memiliki kewenangan untuk mengatur tata ruang desa, dengan syarat tidak bertentangan dengan Peraturan Daerah dan peraturan yang lain di atasnya. Nah di Kabupaten Pasuruan sebenarnya sudah memiliki Perda

Laporan Utama 8 No. 12 tahun 2010 tentang Tata Ruang. Pemerintah desa bisa menerjemahkan Perda itu pada lingkup lokal skala desa dengan dibuatkan Peraturan Desa,” jelas Fahrul. Lebih lanjut Fahrul menjelaskan bahwa Peraturan Desa akan menjaga lahan pertanian agar tidak beralih fungsi. Dalam peraturan desa tersebut, pemerintah desa dan BPD bisa mengatur, wilayah mana saja yang akan menjadi lahan pertanian, pariwisata, perumahan dan atau komoditas apa yang bisa diunggulkan di desa tersebut. Dengan demikian, alih fungsi lahan pertanian di desa bisa diminimalisir. Alih fungsi lahan yang terjadi di Desa Kalipucang, Desa Jatiarjo dan Desa Wonosari tersebut sebenarnya masih dalam batas kewajaran. Karena menurut pria asal Lamongan ini, alih lahan pertanian masih sebatas perubahan komoditasnya saja.

“Apabila memang dipergunakan untuk pembangunan perumahan, dibeli oleh pihak luar ataupun untuk pariwisata, maka pemerintah dan masyarakat harus tegas menolaknya. Karena ini akan mengurangi lahan pertanian. Nah, jika pemerintah desa sudah memiliki Peraturan Desa, maka akan lebih mudah menepis investor yang hendak mengubah fungsi lahan pertanian,” pungkas pria yang akrab dipanggil Ruben ini. [Nasrun, Edi]


Editorial 9

Tanah Leluhur

T

ampak dari kejauhan, seperiuk sego liwet ditenteng oleh lelaki setengah baya. Saya perhatikan, pria itu sibuk mondar-mandir dari petak tegal satu ke petak tegal yang lainnya. Sesekali dia berhenti di pematang tegal. Setelah itu, dia keluarkan satu centong nasi liwet dan dituang dalam sehelai daun pisang. Ditaruhlah sego liwet itu tepat di bawah pematang tegal yang paling terjal.

Selama proses ini berlangsung, mulut pria ini tidak pernah berhenti komat-kamit membaca mantra. Entah mantra apa yang dia baca sore itu. Setelah saya mendekat, rupanya dia adalah Winardi yang tadi siang bertemu saya di Sanggar Pamujan. Tamping sego liwet seperti yang dilakukan Winardi rupanya dilakukan juga oleh sebagian besar masyarakat Ngadas Malang. Tamping sego liwet dilakukan secara rutin setiap Rebo Legi (Rabu Manis). Rebo Legi adalah sembahyang istimewa menurut masyarakat di desa ini. Mereka melaksanakan sembahyang setiap Rabu, namun khusus Rebo Legi, masing-masing keluarga membawa sego liwet ke Sanggar Pamujan. Setelah sembahyangan selesai, mereka menyebar sego liwet di tegal masing-masing. Upaya ini mereka lakukan untuk menjaga tanah leluhur agar tetap

lestari. Selain ucapan syukur, masyarakat Tengger Malang juga berharap agar Sang Hyang Wenanging Jagad tetap menjaga kondisi tanah agar tidak longsor. Tanaman yang mereka tanam tidak diserang hama penyakit dan bisa panen dengan hasil yang memuaskan. Apa yang dilakukan oleh masyarakat Tengger di sisi Selatan Gunung Bromo ini, merupakan upaya untuk mempertahankan kesuburan tanah. Menjaga agar ada penyatuan antara manusia dan lingkungan sekitar. Menurut mereka, alam akan murka jika manusia tidak menyatu dengan alam. Sebaliknya, alam akan memberikan berkah apabila manusia bisa mengetahui dan menyatu dengan alam. Tata cara menghormati tanah dan penyatuan dengan alam ini masih banyak dilakukan oleh masyarakat di Indonesia. Sedekah bumi, upacara sebelum tanam, panen raya, dan ritual-ritual

lainnya di beberapa wilayah masih tetap dipertahankan. Walaupun seiring kuatnya arus islamisasi, upacara seperti ini sudah mulai bergeser pemaknaannya. Selain penghormatan terhadap alam, masyarakat Desa Ngadas, memiliki aturan adat tersendiri terkait dengan tanah leluhur. Seluruh tanah pertanian di desa ini tidak bisa dijual kepada orang di luar desa. “Jangankan menjual, menggarap saja orang luar tidak diperbolehkan�, itulah kata yang pernah saya dengar langsung beberapa tahun yang lalu dari Mbah Ngatrulin, dukun Ngadas Malang. Aturan ini sudah berlaku bertahuntahun dan ditaati oleh semua masyarakat hingga saat ini. Hal ini adalah salah satu strategi masyarakat Ngadas agar bisa tetap bisa bertahan hidup dengan bertani. Desa-desa lain di Indonesia tentunya memiliki cara dan strategi yang berbeda dalam mempertahankan lahan pertanian.


Sekolah Inovasi Tani

10 Hampir kebanyakan masyarakat adat memiliki aturan yang kuat tentang tanah leluhur ini. Aturanaturan tersebut di beberapa tempat masih diugemi bersama. Badui Dalam misalnya, tradisi menjaga tanah leluhur seolah menjadi keharusan bagi mereka. Tidak semua orang bisa menerjang masuk ke lokasi Badui Dalam. Contoh yang lain adalah Sedulur Sikep, yang sekarang sedang berjuang habis-habisan untuk mempertahankan tanah leluhur dari derasnya modernisasi. Gunretno, salah satu tokoh Sedulur Sikep dan kawankawannya saat ini sedang berhadap-hadapan dengan pemerintah dan pabrik semen untuk mempertahankan tanah leluhurnya. Pertanian adalah salah satu mata pencaharian penting yang harus tetap diberikan ruang oleh Negara. Lahirnya UU Nomor 41 tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, kiranya masih belum memberikan garansi terhadap utuhnya lahan pertanian. Faktanya, fungsi alih lahan pertanian menjadi industri massif terjadi di beberapa wilayah di Indonesia. Apa yang dilakukan oleh masyarakat Tengger, Badui Dalam dan Sedulur Sikep adalah upayaupaya yang bisa dilakukan untuk mempertahankan lahan pertanian. Entah berapa tahun lagi mereka bisa tetap bertahan hidup sebagai petani di tanah leluhurnya sendiri. [Edi Purwanto]

Desa Memiliki Kewenangan dalam Urusan Pertanian

G

ambaran atau image petani bagi masyarakat umum dapat dikatakan erat dengan permasalahan kemiskinan, rendahnya pendidikan dan selalu dijadikan sebagai objek pembangunan. Gambaran tersebut didukung oleh temuan data di Kabupaten Pasuruan. Dari tahun ke tahun, luas lahan pertanian di Kabupaten Pasuruan mengalami penurunan. Catatan Badan Pusat Statistik Kabupaten Pasuruan menyatakan bahwa pada tahun 2013, persentase luas lahan pertanian di kabupaten ini adalah sebesar 62,2 persen. Pada tahun 2014 turun menjadi 61 persen. Penurunan terus berlanjut hingga tahun 2015 mencapai angka 59,9 persen. Senada dengan penurunan luasan lahan pertanian, penurunan juga terjadi pada perputaran uang di sektor ini. Masih dari sumber yang sama, BPS Kabupaten Pasuruan mencatat bahwa terjadi penurunan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) sektor pertanian yang sangat signiďŹ kan. Pada tahun 2013, PDRB di sektor ini berada pada angka 22,3 persen, kemudian anjlok pada tahun 2015 dengan angka 8,0 persen. Turunnya berbagai angka tersebut masih diperkuat oleh data mengenai jumlah rumah tangga petani. Dalam kurun waktu 10 tahun (2003-2013) jumlah rumah tangga pertanian Kabupaten Pasuruan menurun sebanyak 22,3 persen. Angka penurunan ini terjadi di seluruh kecamatan kecuali Tosari, Puspo dan Lumbang. Latar belakang mengenai penurunan luas lahan pertanian, PDRB dan jumlah rumah tangga petani menguatkan hipotesis Komunitas Averroes,


Sekolah Inovasi Tani

11 bahwa minat masyarakat untuk menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian memang mengalami penurunan. Edi Purwanto, Program Manager Komunitas Averroes untuk Program Pendidikan Agrobisnis Desa Inovatif (PADI) menyatakan bahwa Averroes bersama masyarakat Pasuruan akan memulai proses belajar bersama dalam menggali potensi pertanian. Hal ini sebagai salah satu upaya Averroes dalam rangka turut membantu peningkatan kesejahteraan petani.

“Kita akan belajar bersama petani untuk menganalisa potensi yang mereka miliki. Berlanjut ke perencanaan strategi pengembangan lantas juga mendorong mereka untuk bisa menyuarakan kebutuhan dan perencanaan mereka kepada pemerintah desa dan dinas-dinas terkait,” Papar Edi saat Membuka Workshop Program yang diselenggarakan di Lawang pada Rabu siang (29/12/2016). Dalam paparannya, Edi menyatakan bahwa PADI adalah program Komunitas Averroes dengan beberapa gabungan pendekatan. Pendekatan pertama yang digunakan dalam program ini adalah Appreciative Inquiry. Sebuah pendekatan yang lebih mengutamakan analisa potensi daripada penggalian masalah. “Kita tidak hendak mencari-cari

masalah. Kita ingin membangun pola pikir yang positif. Yang kita cari adalah apa yang menjadi potensi di desa dalam bidang pertanian. Kemudian kita analisis secara partisipatif bersama masyarakat. Lantas kita rencanakan bagaimana strategi pengembangannya,” Lanjut Edi. Selain Appreciative Inquiry, terdapat semangat lain yang mendasari program PADI yaitu semangat berbagi informasi. Kesuksesan satu petani harus menjadi kesuksesan bersama. Kesadaran untuk berbagi pengetahuan dan praktik baik selama menjadi petani harus dibagikan baik oleh petani sendiri maupun oleh organisasi pemberdayaan. Hal lain yang tidak kalah pentingnya dalam penguatan petani adalah mengenai subjek yang mengakomodir urusan pertanian. Selama ini, kebutuhan petani hanya dikoordinir oleh kelompok tani dan dinas pertanian kabupaten. Lahirnya UU Desa dinilai menjadi tonggak penting dalam usaha pemenuhan kebutuhan petani. Dengan demikian, selain penguatan keluarga petani, program ini juga akan menguatkan kelembagaan kelompok tani dan peningkatan peranan desa dalam memanfaatkan kewenangannya di bidang pertanian. “Selama ini pertanian cuma menjadi urusan kelompok tani. Kalau ada proposal, langsung masuk ke dinas pertanian. Kami ingin mewacanakan kepada publik bahwa pertanian adalah urusan masyarakat, karenanya, peran desa harus pula jadi yang

terdepan,” tukas Edi menutup paparannya. Seiring dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, Desa memiliki kewenangan dalam urusan pertanian. Hal ini tersurat dalam Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah tertinggal dan Transmigrasi Nomor 1 Tahun 2015 Juncto Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 44 Tahun 2016 tentang Kewenangan Desa. Pada peraturan tersebut, desa memiliki kewenangan dalam bidang pertaian di antaranya adalah, pengembangan benih lokal, pengembangan teknologi tepat guna pengolahan hasil pertanian, penetapan jenis pupuk dan pakan organik untuk pertanian, penetapan komoditas unggulan pertanian, dan lain sebagainya. Beberapa urusan pertanian yang menjadi urusan desa bisa dibiayai oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa. Sebagai sebuah tambahan informasi, Program PADI akan dilaksanakan di tiga desa di Kabupaten Pasuruan. Desa Jatiarjo, Kecamatan Prigen, Desa Wonosari, Kecamatan Gondangwetan dan Desa Kalipucang, Kecamatan Tutur adalah tiga desa yang akan berproses bersama dalam program PADI. Selain menganalisa potensi yang dimiliki oleh petani, program ini akan mengajak petani belajar bersama-sama mengenai pengelolaan produksi pertanian pasca panen, manajemen pemasaran hingga manajemen organisasi kelompok tani. [Nasrun]


Tokoh Tani Inspiratif

12

Nur Hidayat: Tokoh Penggerak Petani Muda

S

ore itu, kami tiba di rumah Nur Hidayat bersamaan dengan hujan deras dan angin kencang. Buruknya cuaca di luar tak mampu melunturkan rasa hangat kami. Meski baru dua kali bertemu, kami sudah saling akrab dan sering kali melempar canda tawa.

Cak Dayat, demikian warga Desa Jatiarjo akrab memanggil Nur Hidayat. Sosoknya baik, sederhana, dan berjiwa muda. Ia dikenal sebagai tokoh penggerak petani muda sejak ia berhasil membawa kelompok taninya berprestasi. Penggerak Petani Muda Cak Dayat lahir pada 26 Maret 1980 di Desa Jatiarjo. Di usianya yang masih tergolong muda ini, ia sudah memiliki segudang pengalaman mulai dari pertanian, hingga lika-liku kehidupan. Pengalaman itulah yang membuatnya piawai mengatur manajemen organisasi dan membagi waktu dalam aktivitasnya yang padat. Ayah dari dua orang anak ini tergolong orang yang tak kenal lelah. Bagaimana tidak, dalam kesehariannya, selain menjadi satpam di Taman Safari Indonesia II, ia juga aktif sebagai seorang ketua di Kelompok Tani Sumber Makmur Abadi (Sumadi). Kelompok Tani ini ia dirikan bersama rekan-rekannya pada 2011 silam. Sebagian besar anggota kelompok tani yang ia pimpin adalah para kawula muda. Mereka adalah anak-anak petani yang dalam jiwanya masih tertanam “lahan dan kebun”. Cak Dayat rela sebagian ruang di rumahnya dijadikan Sekretariat Sumadi. Baginya, berkumpul dengan anak-anak muda dan melihat mereka bergairah untuk bertani adalah suatu kebanggaan tersendiri. Wujud kesuksesan Cak Dayat dalam memimpin pemuda tani adalah munculnya tokoh yang bernama Khusairi. Rencanannya, petani berumur 24 tahun ini

akan berangkat ke Jepang untuk menjalani proses magang di bidang pertanian. Berkat kontribusi Dayat, Khusairi lolos seleksi dari tingkat kelompok tani regional hingga nasional. Kesadaran Cak Dayat dalam menggerakkan potensi generasi muda untuk bertani merupakan refleksi dari masa kecilnya. “Sejak kecil saya ikut ke ladang. Bantu orang tua tiap hari ke hutan cari-cari rumput dan kayu. Jadi sejak kecil saya sudah diajari bertani,” Ujarnya. Berawal dari situlah seorang Dayat tumbuh sebagai sosok yang bernaluri di bidang pertanian. Baginya, organisasi kelompok tani adalah wadah untuk menumbuhkembangkan pengetahuan masyarakat. Ia menjelaskan bahwa sebelum mendirikan Sumadi, ia sempat bergabung dengan bisnis pertanian Mitra Kaliandra. Namun di tengah jalan, ia merasa ada proses negosiasi antara petani dan Kaliandra yang tidak sesuai. Karena itulah ia beserta beberapa rekannya, memilih mundur dari Mitra Kaliandra dengan harapan dapat mendirikan kelompok tani yang bisa memberdayakan masyarakat. Kegigihan dan idealisme Cak Dayat bukan tanpa latar belakang dan alasan yang mempengaruhi. Pria berwajah murah senyum ini menuturkan memiliki beberapa inspirator yang menjadi panutan.


Tokoh Tani Inspiratif

13 “Saya jamaah dari habib-habib. Saya melihat ulamaulama terdahulu. Ketika mereka terjun ke masyarakat itu mereka mengorbankan semuanya. Dan mereka tidak mengharapkan apa-apa (imbalan). Salah satu inspirator saya itu ada Habib Abu Bakar Muhammad Assegaf dari Gresik. Kemudian tokoh-tokoh NU di tempat saya, salah satunya seperti bapak saya. Di mana beliau mengikuti organisasi dengan merelakan waktunya. Lalu ada bapak Dur Rahim dia masih keluarga dengan saya.” Ada yang unik dari kisah hidup Cak Dayat. Ia menceritakan bahwa sebagai seorang petani, keluarganya memiliki satu kitab kuno yang dijadikan dasar untuk kegiatan bertani. Dari kitab itulah ia mendapatkan pengetahuan cara bertani dengan perhitungan perhitungan berdasarkan kondisi alam dan hasil produknya berkualitas baik. “Saya ada kitab kuno yang dipelajari dan dijadikan pegangan. Berbahasa Arab tapi membahas tentang pertanian. Itu yang menginsipirasi saya ke pertanian organik,” jelasnya. Sumadi, Prestasi, dan Mimpi-Mimpinya Cak Dayat memiliki mimpi agar petani dan kelompok tani bisa mandiri. Karenanya, dalam setiap program pemberdayaan dan kemitraan, kelompok tani harus menjadi subjek pembangunan agar setiap harapan dan aspirasi petani dapat terwadahi. Mimpi inilah yang juga menginsipirasi terbentuknya Kelompok Tani Sumadi yang ia pimpin hingga sekarang. “Karena kita selalu dijadikan objek program itu, saya menyadarkan ke teman-teman. Membentuk organisasi. Kepingin tahu sebenarnya mengubah keadaan itu seperti apa. Kemudian tercetuslah ide bahwa organisasi ini nantinya harus bisa menarik aspirasi dari teman-teman yang ada di sini,” tegasnya. Berbekal cita-cita untuk mandiri, Sumadi akhirnya berdiri dengan anggota sekitar 20-an. Secara politik, menurut Dayat, berdirinya Sumadi bisa meningkatkan daya tawar warga desa Jatiarjo. Juga dapat melindungi eksistensi dari para anggotanya. Tujuan ini memang tidak lepas dari proses penamaan Sumadi. “Waktu itu memang dirapatkan dengan temanteman, ada yang bilang sumber makmur, ada yang bilang abadi. Maksudnya (dari nama ini) adalah

menjadi sumber penghidupan teman-teman. Menciptakan satu peluang yang berkelanjutan,” paparnya dengan berapi-api. Masa-masa awal pembentukan Sumadi, Cak Dayat bersama rekan-rekannya menghadapi banyak tantangan. Satu di antaranya adalah membentuk kesadaran berorganisasi pada anggota. “Kami membentuk mindset dengan ide-ide baru. Mengubah pola kebiasaan cara berorganisasi. Bagaimana organisasi ini bukan objek bantuan. Tapi kita mencari peluang usaha yang memang akan dibutuhkan di masa mendatang, salah satunya ya pertanian organik ini,” kenangnya. Bukan Dayat jika mudah menyerah. Pria berusia kepala tiga ini terus berpikir agar organisasinya bisa berjalan sesuai mimpinya. Ia memberikan tanggung jawab kepada anggotanya berdasarkan pada naluri, minat dan bakat masing-masing. Dengan cara itu, setiap anggota akan aktif karena mereka menyukai tanggung jawabnya. “Saya melakukan manajemen keanggotaan dan organisasi dengan menempatkan anggota sesuai dengan minat dan bakatnya. Inspirasinya, dari keluarga. Jadi keluarga saya itu memang orangorang NU. Dengan itu, pemikiran dan tingkat yang berbeda-beda itu maka kita lihat dan cermati. Mereka kita petakan lalu tempatkan di tempat yang sesuai dengan minat masing-masing.” Hingga kini, bisa dikatakan bahwa Sumadi merupakan kelompok tani aktif, yang mandiri dan berprestasi. Ini membuktikan bahwa kegigihan Dayat selama ini membuahkan hasil. Tak hanya prestasi, beberapa program kerjasama juga dilakukan oleh Dayat dan Sumadi membuktikan bahwa ia dan organisasinya memiliki kualitas yang tak bisa dipandang sebelah mata. Ketika ditanya tentang harapan di masa mendatang, Dayat mengaku masih memiliki cita-cita yang belum tercapai. Ia berharap masyarakat Jatiarjo bisa mengoptimalkan lahan dan tidak memperjualbelikan lahannya. “Dengan mempertahankan lahan, masyarakat tidak kalah dengan para investor. Jadi pertanian organik ini satu jalan untuk berjuang. Bahwa kawasan sini punya nilai tawar,” tandasnya. [Luthfil]


Tokoh Tani Inspiratif

14

Karnadi, Sosok Dibalik Kelompok Tani Dwi Tunggal

T

ubuh tinggi tegap, kulit sawo matang dan kumis yang tebal adalah segelintir ciri ďŹ sik untuk menggambarkannya. Dengan ciri macam tersebut di atas, ia sekilas mirip dengan tokoh pewayangan bernama Gatotkaca. Ialah Karnadi, salah satu petani kopi yang cukup dikenal di Desa Kalipucang. Sebagai putra asli Kalipucang, Karnadi sejak lama bergelut dengan dunia pertanian. Orang tuanya petani, dan kini, ia pun menjadi seorang petani. Jika diperbolehkan memberikan persentase, bisa jadi, hampir sembilan puluh persen hidupnya berkutat dalam ranah (sebagai, dari, untuk dan oleh) petani. Bersama keluarganya, Karnadi tinggal di Dusun Cikur, Desa Kalipucang. Untuk sampai di rumahnya, berbagai rintangan harus dihadapi. Jalan tanah terjal dan sempit ditambah genangan air hujan menjadikan perjalanan harus hati-hati. Setelah naik turun melewati jalan tanah, hutan pinus dan hamparan tanaman kopi sudah menunggu. Hingga akhirnya, pasca melewati hutan pinus akan nampak kawasan perkampungan. Dan di situlah Karnadi bersama keluarganya tinggal.

Rumahnya sederhana. Di teras rumah, terdapat mesin pengolah kopi yang berjajar rapi. Berbatasan langsung dengan hutan pinus dan kebun kopi, rumahnya nampak sejuk nan asri. Karnadi dan Kelompok Tani Dwi Tunggal Selain sebagai petani, Karnadi juga tercatat sebagai anggota Kelompok Tani Dwi Tunggal. Kelompok tani ini berdiri sejak 2002. “Dulu, ada enam kelompok tani di Kalipucang. Kelompok Arobusta 1 sampai 6 justru vakum setelah sekolah lapang, tidak ada kegiatan lanjutan. Berawal dari sini, terbentuklah Dwi Tunggal yang merupakan penggabungan antara kelompok tani Arobusta 4 dan Arobusta 5 yang berada di Dusun Cikur,� kenang Karnadi. Hingga saat ini, Dwi Tunggal telah melalui tiga kali pergantian kepemimpinan. Karnadi

menjabat sebagai ketua kelompok sejak 2005. Di awal kepemimpinannya, ia lebih banyak mencurahkan perhatiannya untuk memperbaiki dan mengaktifkan lagi laju kelompok tani.

Setelah setahun ia pimpin, Dwi Tunggal mampu membangun kerjasama dengan perusahaan Gonden Harvesindo untuk memproduksi kopi ekspor hingga pada 2010. Menurut Karnadi, kerjasama tersebut bukanlah usahanya semata. Namun, hal tersebut terwujud karena atas usaha bersama dari seluruh anggota kelompok.

Waktu terus berlalu, perkembangan kelompok tani yang ia pimpin makin meningkat. Hal ini dapat dilihat dari adanya bimbingan dan bantuan dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten. Bantuan alat berupa mesin pemisah kulit, mesin pembubuk biji kopi dan alat pres pengemas diberikan kepada kelompok ini Dwi Tunggal. Tidak hanya itu, bahkan kelompok tani Dwi Tunggal juga berkesempatan untuk studi banding ke daerah lain. “Kalau soal bantuan dan pendampingan, Dinas Kehutanan dan Perkebunan sangat baik dan sangat membantu. Saya juga pernah mendapat pelatihan uji coba rasa kopi di Pusat Penelitian


Tokoh Tani Inspiratif

15 Kakao dan Kopi di Jember selama 4 hari,” ujarnya. Saat ini, ia beserta kelompoknya mulai berinovasi mengolah hasil pertanian menjadi produk siap konsumsi. Kopi bubuk premium dengan merek Kopi Bintang Sembilan adalah salah satu hasilnya. Meski belum diproduksi secara massal, geliat Karnadi untuk mewujudkan kopi bubuk produksi kelompok tani Dwi Tunggal terus ia usahakan. Berbagai pameran dan bazar ia ikuti untuk memperkenalkan produknya tersebut. Bahkan, ia juga telah mengurus proses perizinan usaha pada pemerintah daerah melalui Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Pasuruan. Ketika ditanya mengenai rencana di masa mendatang, Karnadi mengungkapkan beberapa tantangan yang dihadapi dalam mengembangkan pertanian di desanya. Pertama, berkurangnya lahan pertanian karena penguasaan lahan oleh perusahaan atau investor swasta dari luar desa. Kedua, sumber daya manusia untuk sektor pertanian dan perkebunan semakin langka. Sebagian besar angkatan kerja asal Kalipucang memilih bekerja di luar wilayah desa atau bekerja di perusahaan. “Masalah kemampuan manajemen pengelolaan budidaya kopi sampai pada manajemen bisnis dan pemasaran juga menjadi masalah utama kelompok tani kami, saya pikir itu yang perlu diperbaiki agar tidak ada alasan lahan dibeli investor atau juga generasi penerus memilih bekerja di luar,” harapnya. Bagi Karnadi, untuk mengembangkan suatu kelompok, terkhusus kelompok tani, dibutuhkan kerjasama dan kolaborasi antar semua stakeholder. “Mengapa begitu, karena ini urusannya dengan semua pihak yang ada di desa. Jika hubungan yang terjalin itu baik, maka akan menghasilkan hal yang baik pula,” tegasnya dengan nada penuh keyakinan. [Tri]

Zainul, Sarjana yang Memilih Jadi Petani “Menjadi petani itu dijalani, bukan disesali,” Zainul Ibadi, Petani Wonosari

T

epatnya di Dusun Ngepreng, Desa Wonosari, Zainul Ibadi tinggal bersama istri dan kedua anaknya. Seharihari kehidupannya ia isi dengan bertani dan berkebun. Pria kelahiran Poncokusumo, Malang, tersebut sejak kecil sudah diajari oleh orang tuanya untuk bercocok tanam di lahan pertanian dan perkebunan. Didikan tersebut diberikan oleh orang tuanya dengan harapan agar kelak ia mampu meneruskan pekerjaan leluhurnya sebagai petani.

Kini, hasil didikan tersebut terbukti. Kemampuan bertani dan berkebun yang dimiliki Zainul (sapaan akrabnya) tak bisa diragukan. Kepindahannya dari Malang ke Pasuruan justru menjadikannya sebagai teladan bagi petani lain. Ilmu pertanian dari Malang menjadi referensi bagi petani di Wonosari, Pasuruan.

Dalam riwayat hidupnya, ia lulus dari Institut Agama Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya 10 tahun silam. Pendidikan tinggi itulah yang menjadi penunjang pola pikirnya dalam mengembangkan pertanian. Di saat yang sama, interaksinya dengan para akademisi tidak membuatnya meninggalkan nilai-nilai luhur yang biasa dipegang oleh petani. Setelah lulus kuliah, Zainul memilih untuk mengembangkan pertanian yang telah diwariskan oleh orang tuanya. Tak pernah sekalipun ia merasa malu atau gengsi menyandang pekerjaan sebagai petani. “Tidak pernah saya merasa malu menjadi petani. Bahkan, saya merasa bangga karena bisa memberikan manfaat dan berbagi pengetahuan baru kepada petani lain, meskipun umurnya lebih tua daripada saya,” terang Zainul.


Tokoh Tani Inspiratif

16 memperbaiki dan mengembangkan kelompok tani berlanjut dengan usahanya memfasilitasi petani agar mendapat bantuan atau pelatihan-pelatihan. Halangan dan rintangan tidak menyurutkan semangatnya untuk terus belajar hal-hal baru. Meskipun kenyataannya banyak petani desa menganggap apa yang ia contohkan tidak bermanfaat, ia tetap melanjutkan apa yang ia yakini.

Tidak bisa dipungkiri, latar belakangnya sebagai anak petani membuatnya bersikukuh menjadi petani. “Sampai kapan pun, saya tetap ingin menjadi petani. Apalagi saya juga diwarisi sawah oleh orang tua,” papar pria yang juga memiliki hewan ternak di rumahnya itu. Aktif di Kelompok Tani Terjunnya Zainul dalam kelompok tani bisa dibilang berawal dari sebuah ketidaksengajaan. Awalnya ia menanam anggrek di pekarangan rumahnya. Tanaman anggrek tersebut kemudian ia ikutkan pameran tanaman hias yang diadakan oleh Dinas Pertanian Kabupaten Pasuruan. Dari situlah petualangannya di kelompok tani dimulai. Hari terus berganti, Zainul kian bersemangat untuk mengajak masyarakat sekitar mengelola tanaman anggrek. Lamakelamaan, masyarakat mulai menaruh simpati kepada Zainul. Lantas Zainul dipercaya untuk mengelola Kelompok Tani Sari Jaya 1 Desa Wonosari. Kegigihan Zainul untuk terus

Sebagai ketua kelompok tani, Zainul tanpa pamrih terus mempromosikan minuman sari buah salak Desa Wonosari. Salah satunya adalah dengan ikut pameran se-kecamatan. Meskipun tidak mendapat hasil maksimal, setidaknya ada usaha bersama dari kelompok tani dan juga menambah pengalaman mengenai produk olahan pasca panen. Bukti perjuangan Zainul lainnya juga terlihat dari usahanya menularkan kegiatan pertanian tanaman organik. Awalnya, kegiatan pertanian organik belum banyak diminati oleh para petani. Kini, dengan ketulusan dan kesabaran yang dilakukannya, para petani banyak meniru apa yang dilakukan oleh Zainul. Selain menjadi ketua kelompok tani, Zainul juga aktif dalam organisasi sosial masyarakat, yakni Gerakan Pemuda ANSOR. Berangkat dari anggota pengurus anak cabang Ansor, sekarang ia menjadi sekretaris anak cabang Ansor Gondangwetan. Selain di Ansor, Zainul juga pernah menjadi ketua BPD Desa Wonosari. “Tetapi, hanya satu

periode. Karena di BPD marai akeh pikiran, Mas,” ujar pria yang juga pengurus KUD Wonosari ini. Pandangan Zainul Tentang Pertanian

Bagi Zainul, dibandingkan dahulu, petani sekarang sudah mendapatkan banyak kemudahan seiring dengan ilmu dan teknologi yang semakin maju. Meski begitu, perkembangan teknologi yang kian deras tidak semuanya ia makan mentah-mentah. Dalam kegiatan pertanian yang ia lakukan, ia tetap menggunakan teknologi dan pengetahuan lama yang dirasa masih baik dan selaras. Dalam benaknya, ia merasa miris manakala melihat generasi hari ini yang seolah enggan menjadi petani. Banyak para pemuda lebih memilih menjadi kuli bangunan, buruh mebel dan buruh pabrik karena masalah uang. “Mungkin karena menjadi petani itu hasilnya lama, sedangkan buruh pabrik bayarannya langsung per bulan, Mas,” ungkapnya. Lebih lanjut, Zainul berharap pengetahuan dan semangat untuk menjadi petani terus ditularkan kepada generasi muda. “Tidak ada yang salah menjadi seorang petani. Toh, andai petani tidak ada, yang lain mau makan apa?” tegasnya dengan tatapan meyakinkan. [Very]


Suara Tani 17

Membangun Kekuatan Pertanian Melalui Kelompok Tani

K

elompok tani menjadi satu wadah bagi para anggotanya untuk melakukan gerakan bersama dalam usaha pertanian. Gerakan ini umumnya berada pada ruang yang sangat cair, para petani saling bertukar gagasan dan pengetahuan demi perkembangan pertanian. Selain itu, gerakan kelompok tani juga merupakan wujud dari aktualisasi program dari pihak ketiga atau misi internal dari kelompok itu sendiri. Oleh karenanya, keaktifan kelompok tani bisa menjadi satu tolak ukur untuk melihat sejauh mana berkembangnya industri pertanian di suatu wilayah atau desa. Kelompok tani di Desa Jatiarjo, Kecamatan Prigen, Kabupaten Pasuruan menjadi satu contoh dinamika yang menarik untuk diperbincangkan. Di desa ini

sedikitnya terdapat sepuluh kelompok tani yang tersebar di tiga dusun. Dari sepuluh kelompok tersebut, lima di antaranya merupakan kelompok tani aktif. Subur Makmur 1, Subur Makmur 2, Subur Makmur 3, Sumber Makmur Abadi, dan Rejo Tani adalah lima kelompok tani yang Nampak aktif berkegiatan. Keaktifan kelompok-kelompok ini dapat dilihat melalui kegiatan dan program yang dilaksanakan secara rutin. Menariknya, masyarakat desa ini merasa, bahwa kelompok tani benarbenar dapat menjadi sarana pendorong peningkatan perekonomian petani. Di tengah kegiatan yang aktif tersebut, kelompok tani di Desa Jatiarjo masih menghadapi masalah yang perlu untuk disuarakan. Saat ini petani sedang menghadapi satu desakan yang

nyata. Sebagaimana dinyatakan oleh sebagian besar narasumber dari Kelompok Tani Desa Jatiarjo, mereka sepaham mengatakan bahwa kondisi alam berubahubah tidak menentu. Ditambah lagi, penyempitan lahan pertanian juga telah menjadi satu permasalahan serius bagi desa ini. Kesepahaman ini menjadi titik balik bagi petani Desa Jatiarjo untuk berhimpun demi menciptakan gerakan bersama. Sebuah gerakan adaptif terhadap kondisi lingkungan dan pengembangan industri pertanian. Gerakan tersebut akhirnya melahirkan solidaritas dalam wujud banyaknya kelompok tani di desa ini. Praktiknya, kelompok tani di Desa Jatiarjo memang dapat menunjukkan satu hasil kreatif mengembangkan pertanian bagi


Suara Tani 18 masing-masing anggotanya.

waktu yang cepat.

Akan tetapi, beberapa hambatan dan masalah disebutkan masih melilit kondisi kelompok tani mereka. Di antaranya, belum adanya satu agenda komunikasi antar kelompok tani, minimnya pendampingan yang berkelanjutan dari pemerintah dan pihak ketiga serta kesadaran petani yang masih rendah dalam berkelompok.

Para ketua kelompok tani di Jatiarjo juga menggaris bawahi bahwa minimnya kesadaran dari para petani menjadi tugas berat. Kesadaran tersebut adalah terkait dengan kegiatan bertani secara inovatif. Hal semacam ini dinyatakan oleh Hidayat, “nakhoda� Kelompok Tani Sumadi. Ia mencotohkan ketika ada inovasi dalam penanaman sayuran organik, petani cenderung menunggu sejauh mana inovasi tersebut menghasilkan pendapatan yang nyata. Setelah terdapat bukti keberhasilan, mereka baru mau bergerak. Dengan kata lain, kebanyakan petani takut untuk mengambil risiko.

Muchammad Ta'im, ketua Rejo Tani misalnya, Ia begitu mengharap adanya forum yang dapat mengumpulkan jejaring kelompok tani dari seluruh penjuru Desa Jatiarjo. Sebab, selama ini forum yang membahas pertanian hanya terdapat di masingmasing kelompok tani. Pun demikian dengan Murtolo, Kelompok Subur Makmur 2. Ia juga mengharapkan satu forum dialog yang bisa menjadi tempat berbagi gagasan antar kelompok tani. Harapan ini kemudian juga ditegaskan oleh Sareh, Kepala Desa Jatiarjo

“Selama ini memang belum ada forum atau agenda kumpul bareng antar kelompok tani. Sebetulnya saya sangat mengharapkan adanya agenda seperti itu. Karena melalui agenda kumpul bareng, setidaknya mereka punya misi bersama� ungkapnya. Pada aspek pendampingan, para petani yang tergabung dalam berbagai kelompok tani juga senada menyebutkan jika selama ini proses pendampingan dari pihak ketiga atau pemerintah hanya “mengejar target� . Ketika program telah usai, sebagian besar mereka melepaskan diri, tanpa ada kegiatan yang berlanjut. Proses pendampingan yang berkelanjutan begitu diharapkan, karena sistem pertanian yang baik tidak bisa dibentuk dengan

Dalam segi partisipasi politik, Sareh menyebutkan bahwa selama ini memang belum ada anggaran khusus terkait pertanian. Penyebabnya adalah pola pikir masyarakat yang cenderung meminta pembangunan infrastruktur dalam segi ďŹ sik saja. Sehingga anggaran khusus terkait pertanian atau yang berhubungan dengan peningkatan kesejahteraan petani belum dialokasikan. Melihat hambatan dan tantangan tersebut, maka sebenarnya tersimpan harapan besar dari para kelompok tani Jatiarjo. Ini tidak lepas dari komitmen para pemangku kepentingan, kelompok tani dan pemerintah desa untuk berbenah diri. Salah satu upaya konkret yang akan dilakukan misalnya membentuk forum dan agenda kumpul kelompok tani. Dari agenda tersebut nantinya pemerintah desa mengharapkan adanya usulan yang dikeluarkan oleh kelompok tani kepada pemerintah desa. Sehingga, aturan perencanaan desa yang bersifat pendek atau jangka menengah memiliki kerangka khusus untuk memfasilitasi kebutuhan para petani dan kelompoknya. Masa depan kelompok tani Jatiarjo menjadi satu komitmen untuk digapai bersama. Satu pertegasan bahwa saat ini petani juga memiliki mimpi untuk mempertahankan eksistensinya di tengah jeratan industrialisasi. Mimpi yang akan menjadi inspirasi untuk mengembalikan dan mengembangkan sumber daya alam negeri agraris yang melimpah ruah. Bagaikan pepatah Jawa: “Memayu Hayuning Bawana,â€? Memperindah Keindahan Dunia. Kiranya sudah saatnya petani menentukan masa depan dan menggapai mimpinya. [LuthďŹ l]


Suara Tani 19

Tantangan Pengembangan Pertanian Perdesaan

D

ewasa ini, terdapat peningkatan perhatian pemerintah Indonesia pada dunia pertanian. Peran petani sebagai produsen pangan, menjadikan posisi mereka semakin penting dalam kehidupan. Itikad baik meningkatkan produksi pertanian dan memperbaiki kesejahteraan petani mengarahkan pemerintah untuk menjadikan desa sebagai ujung tombak pembangunan. Jumlah penduduk yang meningkat berdampak pada kebutuhan bahan pangan yang semakin besar. Hal ini akan berakibat pada harga pangan bilamana tidak diimbangi dengan peningkatan produksi pangan. Semakin mahalnya harga pangan, ternyata tidak berbanding lurus dengan kesejahteraan petani. Hal ini, terjadi karena banyak faktor, di antaranya adalah semakin mahalnya biaya produksi, mulai dari benih, pupuk, peralatan sampai dengan pemasaran. Belum lagi besarnya gempuran produk olahan dari negara lain yang lebih murah. Berbagai program dan upaya telah dilaksanakan pemerintah Indonesia guna meningkatkan produksi dan kesejahteraan petani. Melalui dinas-dinas terkait, pemerintah memberikan bantuan peralatan dan pendampingan. Pembangunan sarana dan prasarana dilaksanakan secara besar-besaran, mulai pembangunan infrastruktur jalan, peremajaan pasarpasar rakyat, bantuan permodalan, hingga modernitas akses informasi petani.

Temuan di lapangan mengindikasikan perlunya “intensiďŹ kasiâ€? dan “ekstensiďŹ kasiâ€? metode peningkatan kesejahteraan petani. Sebagaimana temuan di Desa Kalipucang, Kecamatan Tutur, Kabupaten Pasuruan, petani dan kelompok tani mengakui bahwa bantuan dan perhatian pemerintah sangat besar. Berbagai peralatan untuk mengolah hasil pertanian diberikan oleh pemerintah. Ditambah pendampingan dan pelatihan melalui dinas-dinas terkait. Sayangnya perhatian tersebut juga diiringi dengan beberapa permasalahan yang tidak bisa dikatakan remeh. Berdasarkan keterangan yang diperoleh dari petani dan kelompok tani, kemasan dan branding produk menjadi masalah utama dalam proses pasca panen. Petani harus bersaing langsung dengan produk-produk industri besar dalam dan luar negeri dengan kemasan yang jelas lebih baik. Kemasan adalah hal pertama yang dilihat konsumen untuk memilih produk. Konsumen akan tertarik pada sebuah produk setelah melihat bungkus yang menarik. Dalam hal mempromosikan produk, petani baru bisa melakukannya melalui pameran yang diadakan pemerintah daerah. Promosi dengan metode lainnya termasuk melalui media online belum bisa dilakukan oleh petani di Kalipucang. Dalam hal kualitas produk, petani belum meramu dan menghasilkan produk yang bermutu, baik dari segi komposisi maupun nilai manfaatnya. Sejauh ini, yang


Reeksi Pengetahuan 20 bisa dilakukan petani hanyalah memanen lantas menjualnya kepada pengepul atau tengkulak. Dalam hal pemasaran, petani merasa belum ada upaya dari pemerintah untuk mengakomodir produk-produk petani di pasar modern. Belum tersedia titik-titik pemasaran produk-produk lokal yang difasilitasi oleh pemerintah secara berkelanjutan. Hal ini menjadi kendala bagi petani untuk menjadikan produk mereka berjaya di daerahnya sendiri.

Manajerial usaha agrobisnis juga masih menjadi kendala dan keluhan kelompok tani maupun petani. Dengan pendampingan dari instansi pemerintah, mereka dapat memproduksi produk pangan. Namun demikian, sering kali tidak terdapat pendampingan pada manajemen usaha dan pemasaran. Turunnya minat generasi muda pada sektor pertanian juga menjadi masalah jamak yang terjadi di berbagai wilayah. Sejauh ini belum ada program pendampingan atau pelatihan pertanian yang secara khusus menyasar generasi muda. Tantangan bidang pertanian memang sangat beragam dan pelik. Tentunya ini adalah renungan bersama yang harus segera dicarikan jalan keluar. Kiranya tantangan pertanian bukan hanya milik petani, namun lebih dari itu, pelbagai pihak harus ikut berperan serta dalam melakukan pengembangan dan peningkatan kualitas produk pertanian. [Tri]

Belajar dari Mahaguru Alam Semesta

B

elajarlah dari kupu-kupu, yang berusaha mengubah diri dari sesosok ulat yang menjijikkan menjadi sebuah makhluk yang teramat indah melengkapi keindahan bunga-bunga. Belajarlah dari air yang meski terbentur pada bebatuan dan berbagai aral rintangan, ia tetap teguh pendirian menuju satu tujuan. Sebagai manusia, tentu sangat disayangkan jika kita tak belajar dari alam yang telah memberikan ilmu bahkan hikmah dalam setiap sisi kehidupan. Indonesia sebagai negara kepulauan, beriklim tropis dengan ribuan suku, mendapatkan titipan kekayaan luar biasa dari Tuhan. Interaksi antar beragam karakter manusia dan berbagai jenis kondisi alam menjadikan Indonesia memiliki budaya dan kearifan keilmuan lokal yang beragam pula. Selama satu bulan saya menetap di Desa Kalipucang, kecamatan Tutur, Kabupaten Pasuruan untuk kepentingan penelitian sebelum dilaksanakannya Program Pendidikan Agrobisnis Desa Inovatif. Interaksi saya dengan kondisi alam dan masyarakat di desa ini memberikan saya pengalaman yang luar biasa. Pengalaman yang saya serap dari “maha guru� alam dan petani yang bekerja sama untuk menghasilkan berbagai cara atau teknik dalam mengatasi permasalahan kehidupan. Interaksi antar keduanya terjadi untuk saling berbagi, saling menghargai dan saling menguntungkan satu sama lain. Berikut beberapa praktik dan ilmu pertanian yang saya temukan di lapangan, yang justru tidak saya temukan di buku maupun di bangku perkuliahan.


Refleksi Pengetahuan 21 Memeram Buah Alpukat dalam Beras Dalam penelitian ini saya berkesempatan untuk tinggal di rumah Mbah Manistri. Sebuah kebetulan yang tak ternilai harganya. Selama tinggal di sana saya berusaha untuk mengikuti seluruh aktivitas Mbak Manistri dan Mbah Yamin, suaminya. Saya yakin bahwa kedua orang tua Hariyono, Kepala Desa Kalipucang ini memiliki pengalaman hidup dan ilmu yang begitu banyak. Usia yang sudah hampir menginjak kepala delapan tentu membuat keduanya banyak memakan asam garam kehidupan sebagai petani dan peternak. Pada suatu pagi mbah Manistri memanggil Bunga, salah seorang cucunya yang paling kecil. Ia meminta bantuan cucunya untuk mempercepat pematangan buah alpukat. Betapa terkejutnya saya dengan proses pematangan buah alpukat yang dilakukan oleh Bunga tersebut.

·Bunga memasukkan buah alpukat yang diambil oleh Mbah Manistri dari kebun ke dalam sebuah karung yang berisi beras. ·Setelah dua hari, Mbah Manistri kemudian mengambil buah alpukat tersebut, dan ternyata buah alpukat tersebut sudah masak Setelah saya pelajari lebih lanjut, alpukat memang jenis buah yang tak bisa masak pohon. Buah ini harus dipetik terlebih dahulu sebelum proses pematangan. Dalam dunia akademik, proses pematangan semua jenis buah terjadi karena adanya gas etilen yang dikeluarkan oleh buah itu sendiri. Semakin banyak gas etilen yang terkandung dalam buah, semakin cepat pula proses pematangannya. Dengan ditanamkan ke dalam beras, gas etilen yang dikeluarkan buah alpukat akan 'terperangkap' di sekeliling buah, sehingga alpukat menjadi semakin cepat masak. Demikian cara orang Kalipucang mematangkan buah alpukat. Berlainan dengan cara ini, orang-orang di Eropa atau di Amerika juga melakukan proses pematangan alpukat dengan cara yang sedikit berbeda. Mereka membungkus buah alpukat dengan kertas kemudian diikat. Saya akhirnya dapat menyimpulkan satu hal baru lagi, mengenai alasan kenapa buah pepaya sering dibungkus

dengan kertas koran. Selain menghindari gesekan dan benturan, juga agar cepat masak. Fermentasi Kopi Ala Luwak Ketika bertemu dan berdiskusi dengan Karnadi, ada pengalaman unik yang saya dapatkan. Untuk mendapatkan kopi premium, Ketua Kelompok Tani Dwi Tunggal ini meniru perilaku Luwak. Berikut langkah-langkah yang ia kerjakan dalam “memanipulasi” kopi biasa menjadi kopi premium.

·Karnadi memanen kopi dari pagi hari hingga maksimal pukul 14:00 siang. ·Kopi matang merah yang baru ia panen tersebut dikupasnya dengan mesin pengupas. ·Setelah itu, ia akan melakukan fermentasi dengan memasukkan kopi dalam kotak dan menutupnya dengan kain goni basah selama satu malam. ·Setelah satu malam, kopi dicuci bersih lantas dilanjutkan dengan penjemuran di atas para-para bambu. ·Setelah kering, kopi dapat disimpan atau langsung digiling Ternyata kombinasi antara biji kopi masak pohon dengan fermentasi kain goni basah mampu menghasilkan kopi dengan cita rasa premium mirip dengan kopi luwak. Cara sederhana ini dapat membantu membuat kopi dengan cita rasa premium tanpa bantuan hewan luwak dan tanpa biaya yang mahal tentunya. Semoga beberapa refleksi pengetahuan ini, dapat bermanfaat dan menambah wawasan pembaca. Lain ladang, lain belalang mungkin adalah ungkapan yang tepat untuk menggambarkan potensi kekayaan keilmuan lokal yang ada di seluruh penjuru Indonesia. Setiap masyarakat yang tinggal di tempat berbeda, kondisi geografis berbeda dan sosial budaya yang berbeda mempunyai cara atau teknik sendiri untuk berproses bersama alam semesta dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup. [Tri]


Refleksi Pengetahuan 22

Kopi sebagai Solusi Kopi merupakan salah satu komoditas paling populer di kalangan masyarakat Indonesia. Tanaman ini tumbuh tegak, bercabang dan dapat mencapai ketinggian hingga 12 meter. Dari sekian banyak jenis kopi, terdapat tiga jenis yang lazim ditanam dan diperjualbelikan yakni Arabica, Robusta dan Liberica.

K

esuburan alam Desa Jatiarjo, menjadikan tiga jenis kopi tersebut tumbuh dengan subur. Kopi di desa ini rata-rata ditanam di lahan Perhutani. Terdapat sekitar 350 hektar lahan Perhutani yang digarap oleh warga desa ini. Sebagaimana penjelasan Rasub, ketua Kelompok Tani Subur Makmur 3, setidaknya petani Desa Jatiarjo mampu menghasilkan 10 ton kopi kering dalam setiap masa panen. Awal mula petani menggarap lahan hutan tidaklah ditanami kopi, melainkan palawija. Akan tetapi banyak terjadi konflik antara petani dan Perhutani karena komoditas palawija tersebut. Sejatinya konflik antara petani dan Perhutani tidak hanya terjadi di Jatiarjo, konflik serupa juga terjadi di berbagai wilayah di Indonesia. HuMA (Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis) mencatat bahwa hampir seluruh wilayah kerja Perum Perhutani terutama di Pulau Jawa memiliki masalah konflik terkait lahan. Sedikitnya terdapat 6.800 desa yang terlibat konflik dengan Perhutani di Pulau Jawa. (Sumber; huma.or.id)

Terjadinya konflik antara petani Desa Jatiarjo dengan Perum Perhutani memang berawal dari berkurangnya lahan pertanian di desa ini. Petani yang tidak lagi mempunyai lahan garapan terpaksa membuka lahan pertanian di hutan. Dalam usaha menangani konflik atau pertikaian perlu mempertemukan kepentingan dua kubu yang sedang berkonflik. Lambat laun ditemukanlah cara untuk menangani konflik antara petani dan Perhutani. Petani boleh bercocok tanam di lahan Perhutani asalkan tidak mengganggu tanaman tegakan. Adalah kopi, sebuah komoditas yang dianggap tidak mengganggu tanaman tegakan dan juga menguntungkan bagi para petani. Maka kepentingan Perhutani dengan tanaman tegakannya terwadahi dan kepentingan warga dengan tanaman kopi juga terpenuhi. Kopi, berdasarkan penelitian ilmiah, merupakan tanaman yang mampu menahan air. Kemampuan ini hampir sama dengan tanaman tegakan hutan. Dengan kata lain, fungsi tanaman kopi tidak jauh berbeda dengan tanaman hutan. Sembari menghasilkan uang, kopi juga membantu Perhutani


Reeksi Pengetahuan 23 untuk menyimpan air dalam tanah. Berkat kopi, petani yang pada mulanya banyak kehilangan lahan garapan dan berkonik dengan Perhutani, kini hidup sejahtera. Sejalan dengan hal itu, sejak kemitraan petani kopi dan Perhutani terjalin dengan harmonis, kebakaran hutan nyaris tidak pernah terjadi lagi. Rasa memiliki dan kesadaran untuk pelestarian hutan, tumbuh dalam jiwa petani. “Petani sekarang ikut melindungi hutan dari kebakaran maupun kerusakan. Kalaupun ada kebakaran petani siap gotongroyong untuk memadamkannya,â€? ujar Syamsuri, salah seorang petani penggarap lahan hutan. Warga Desa Jatiarjo yang menggarap lahan hutan terhimpun dalam sebuah wadah bernama Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) Ngudi Lestari. Lembaga ini berfungsi sebagai pengayom dan penampung aspirasi petani penggarap lahan hutan. Sebagai informasi tambahan, kopi Jatiarjo rata-rata ditanam dengan sistem tumpang sari. Tumpang sari adalah suatu sistem penanaman campuran berupa perlibatan dua jenis tanaman atau lebih pada satu areal lahan tanam dalam waktu bersamaan atau agak bersamaan. Sistem ini dirasa dapat memaksimalkan potensi lahan pada areal hutan. Dengan sistem ini tidak ada areal lahan yang tidak termanfaatkan. Hasil produksi pertanian semakin beragam, penghasilan petani pun semakin bertambah. [Aris]

Sumber gambar: wartabromo.com

Pengetahuan dan Cita Rasa Salak Wonosari

S

esederhana apapun perawatan dan perlakuan yang harus dilakukan oleh orang-orang Wonosari terhadap salak (Salacca zalacca), jenis tanaman ini tetap membutuhkan pengetahuan yang mumpuni agar berbuah. Mungkin orangorang lebih mengenal salak pondoh dari Yogyakarta atau salak Bali. Namun secara keseluruhan, pohon berduri ini harus diperlakukan sesuai dengan kodrat kebotaniannya yang rumit. Sebagai bagian dari tanaman berbuah dengan jenis palem, salak punya kecenderungan berjenis kelamin jantan dan betina. Salak tidak akan berbuah apabila tidak terjadi perkawinan.

Hal ini mengakibatkan orangorang yang menanamnya harus tahu cara mengawinkannya. Perkawinan ini tidak akan terjadi bilamana petani salak tidak paham tanda-tanda perbedaan jenis kelaminnya, apa yang bisa diidentiďŹ kasi, dan bagaimana cara mengawinkannya. Rata-rata orang Desa Wonosari yang di pekarangannya ditanami salak tahu cara mengawinkan salak. Mereka juga paham dan mengenal apa saja beda salak jantan dengan salak betina. Pengetahuan ini berlangsung lama sejak nenek moyang Desa Wonosari. Meski belum diketahui bagaimana salak sampai di Desa Wonosari, orang-orang yang


memiliki pohon salak dan berumur di atas 35 tahun tahu cara mengawinkannya. Menurut Khanafi, Kaur Pertanian Desa Wonosari, “Ilmu dan pengalaman menanam salak sudah menjadi warisan nenek moyang dulu, karena selain untuk pertanian tanah kami juga sangat mendukung untuk ditanami salak. Terbukti hampir semua rumah warga di Desa Wonosari memiliki kebun salak, meskipun luas lahannya tentu terbatas.” Dalam penjelasan Khanafi, beserta konfirmasi pada penduduk Desa Wonosari lainnya, mereka belajar mengenai salak sejak kecil. Di samping itu, tetua desa dulu juga mewariskan ilmu mengolah salak menjadi jenang untuk mempertahankan daya tahannya hingga berhari-hari. Dengan demikian, Desa Wonosari sebagai salah satu Desa Maslahat di Kabupaten Pasuruan seharusnya terdorong untuk mengembangkan pengetahuan tersebut ke wilayah yang lebih praktis dan menambah pemasukan bernilai ekonomi. Di rumah Khanafi terlihat banyak pohon salak yang sedang berbunga. Ia sempat mempraktikkan bagaimana cara mengawinkan salak setelah menjelaskan perbedaan jenis kelamin dilihat dari bentuk daun dan perawakan salak tersebut. Dalam pemaparannya itu, ia dengan lihai memperagakan bagaimana ia meletakkan bunga salak jantan di dekat bunga salak betina. Menurutnya, itu bagian paling mudahnya. Bagian paling sulitnya adalah mengidentifikasi yang mana bunga pohon salak jantan dan yang mana pohon salak betina. Tanpa pengetahuan yang membutuhkan bertahun-tahun pengalaman ini, tidak akan pernah ada salak di pasar atau pusat-pusat penjualan buah. Cara membedakan salak jantan dan betina, menurut Khanafi ada dua cara yaitu dilihat dari biji dan daunnya. Menurutnya salak betina adalah salak yang di dalam buahnya ada anaknya. “Jika di dalam buah salak ada tiga, dua ada bijinya dan satu tidak ada bijinya (anaknya). Nah, yang dua itu adalah betina. Sedangkan salak jantan adalah salak yang ketiga buahnya ada bijinya semua”, jelas Khanafi. Lantas bagaimana mengetahui jenis kelamin salak sebelum penyerbukan? Sambil menunjuk daun salak,

Refleksi Pengetahuan 24 Khanafi menjelaskan bahwa pohon salak yang memiliki daun panjang berjenis kelamin jantan, sedangkan yang memiliki daun pendek-pendek dan agak rapat adalah salak betina. “Sampeyan lihat ini mas, daunnya panjang berarti ini pejantan, sedangkan yang yang berdaun pendek dan agak rapat di sebelah sana itu adalah betina,” terang Khanafi sambil menunjuk pohon salak betina yang dimaksud. Menurut Khanafi pula, semua orang di Desa Wonosari bisa disebut sebagai orang yang tahu banyak tentang salak. Hal yang sama juga dikatakan oleh Zainul, ketua Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Desa Wonosari yang banyak bergelut di bidang pertanian. Secara umum di Kecamatan Gondangwetan, pengetahuan ini sangat kuat berlaku turun-temurun.

Orang-orang melestarikan salak di pekarangannya karena selain berbuah, salak juga berfungsi sebagai pagar yang kuat dengan duri-duri tajam. Itulah mengapa banyak rumah di Desa Wonosari dan desa-desa sekitarnya dikelilingi pepohonan salak. Bahkan, beberapa rumah di Dusun Ngepreng dan Dusun Nuso hampir tidak kelihatan karena ada di dalam rimbunan pohon salak. Pengolahan Pasca Panen Produk-produk lokal pasca panen berbahan dasar salak di Desa Wonosari, seperti jenang dan sari buah, pernah dilakukan oleh industri rumah tangga setelah melihat potensi salak yang melimpah. Roni dan Lilik, pasangan suami-istri di Dusun Ngepreng yang pernah mencoba mengelola jenang salak, menjelaskan bahwa membuat jenang salak itu mudah. Menurut mereka, pengolahan jenang berbahan dasar salak diketahui oleh mayoritas orang Desa Wonosari. Roni, alumni Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya itu, mengembangkan jenang salak dan menjualnya secara online. Baginya, setahun penjualan jenang


Reeksi Pengetahuan 25 salak hasilnya memang tidak bisa dianggap gagal, karena jenang buatannya berbeda dari biasanya, ragam rasa yang ditawarkan menjadi daya tarik tersendiri selain dari bahan dasarnya yang terbilang tidak lumrah di tempat lain. Lokalitas yang terangkat ke pasaran ini bisa menjadi ciri khas bagi Desa Wonosari. Untuk menjamin legalitas kesehatan dan keamanannya, industri rumahan ini telah memiliki izin usaha berupa Produk Industri Rumah Tangga (P-IRT) meski hanya berlaku selama satu tahun. Kendala keberlanjutannya ada pada pemasaran yang tidak bisa diprediksi dengan baik uktuasi permintaannya dan musim salak yang hanya berlaku dua kali dalam setahun. Dua hal ini akan menjadi tantangan tersendiri mengingat bahan dasarnya bisa diatasi dengan cara mendapatkan dari desa lain dan pemasaran bisa dilakukan dengan memperluas jangkauan promosi. Pada akhirnya, modal tentu menjadi harapan utama yang harus dikendalikan dengan memperhitungkan biaya produksi dan distribusi. Selain jenang, Rohman, warga Dusun Wonosalam, dua tahun lalu memproduksi sari buah dan minuman berbahan salak. Seperti Roni dan Lilik, Rohman terkendala dengan modal yang terbatas, pemasaran yang kurang masif, dan pengepakan yang kurang menjanjikan. Kreativitas dan ide muncul saat produksi ekstrak cair sirup salak tersebut dibuat. Rohman mengaku telah mendapatkan izin dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), sehingga ia dengan meyakinkan menjelaskan bahwa produk sari buah dan minuman tersebut aman dikonsumsi hingga batas kedaluwarsa yang sudah diuji. Pengetahuan lokal berhubungan dengan salak, dari fungsi dan pendekatan untuk memperlakukannya, sampai saat ini masih lestari dengan pembatasan tertentu, yaitu kenyataan bahwa (1) pengetahuan ini belum sepenuhnya tertransformasi ke generasi berikutnya karena adanya keterancaman perubahan profesi dan (2) kehadiran pohon sengon yang dianggap lebih banyak menambah pemasukan di sektor ekonomi masyarakat. Dua tantangan ini menjadi fenomena tersendiri di antara semangat para generasi tua Desa Wonosari yang menginginkan agar pengetahuan tentang salak ini tetap ada. [Very, Mahalli]

Ir. Ihwan, M.Si: Jika Petani Punya Kemauan, Mereka Pasti Berhasil

D

i tengah ekspansi industrialisasi di Pasuruan, sektor pertanian terus bertahan dan menghasilkan inovasi dan prestasi. Terakhir, Kabupaten Pasuruan sudah mendapatkan paten untuk komoditas Mangga Gadung 21. Mangga Gadung memang menjadi salah satu komoditas unggulan di Kabupaten ini. Tentu saja prestasi ini tidak didapatkan dalam waktu sekejap. Apa rahasianya? Tim Martani berkesempatan untuk menimba ilmu kepada Ir. Ihwan, M.Si, Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Pasuruan pada Rabu siang (28/11/2016). Banyak cerita dan pengalaman menarik dari sosok yang sudah mengabdi hampir 28 tahun di Dinas Pertanian Kabupaten Pasuruan ini. Berikut hasil wawancara dengan Ir. Ihwan M.Si. Pengalaman membanggakan apa yang bapak alami selama mengabdi di Dinas Pertanian? Suka dukanya banyak. Namun yang membanggakan adalah saya menjadi saksi atas keberhasilan mangga di Pasuruan. Awalnya di tahun 1994 ada program SAGU (Sentra Pengembangan Agrobisnis Unggulan dari Departemen Pertanian). Di Jawa Timur ada tiga lokasi yakni Pasuruan, Situbondo dan Sampang. Saya jadi Pimpro (Pimpinan Program) di Kabupaten Pasuruan.


Wawancara 26 yang penting bisa tanam, panen dan makan. Sudah menurut dia (petani) itu sudah cukup. Diajak menanam mangga butuh proses. Teknik budi daya sudah dia kuasai, cara tanam, jarak tanamnya harus berapa, lubang tanamnya kedalaman berapa, apa saja yang diisi lubang dan sebagainya. Kalau sudah tanam, bagaimana mangganya. Bagaimana kalau sudah panen dan penjualannya seperti apa. Tujuh tahun pertama, waduh belum bisa. Banyak yang menjual hasil panen dengan sistem borongan. Jadi, ada yang datang dari Surabaya, dari mana-mana beli 1 hektar sebelum masa panen. Lantas? Sumber foto: dinamikabangsa.blogspot.co.id

Komoditas mangga dikembangkan di mana? Saya dulu merekomendasikan 3 Kecamatan, Wonorejo, Sukorejo dan Rembang. Dari ketiga tersebut, yang berkembang sampai sekarang bagus ada di Rembang dan Sukorejo. Bibit dan anggaran tersedia melalui APBN. Kita mendapatkan data potensi memungkinkan tanah di situ oke. Apa kunci keberhasilan waktu itu? Mengubah perilaku manusia. Apapun yang dilakukan, kalau manusianya (petani) gak mau berubah ya tidak akan berubah. Karena manusia itu kalau tidak disentuh dengan keyakinan dan kebenaran kan susah. Kebiasaan orang itu, kalau bicara belum tentu dipercaya kan? Nah, untuk meyakinkan mereka saya ajak praktek langsung. Sumber daya manusianya saya perbaiki dulu, diajak belajar bersama. Mangga juga begitu. Caranya saya sekolahkan dan menitipkan ke perusahaan (budi daya). Satu kelas itu satu angkatan 30 orang. Tidak hanya teori, lebih banyak praktik langsung. Saya suruh menjual mangga itu. Dengan mengubah mindset, bagaimana petani yakin bahwa mangga itu mahal. Saya sampaikan ke yang punya perusahaan. Pak, petani dilatih dan disuruh menjual mangga kepada pembeli dan suruh setorkan uang ke bendahara. Dia (petani) gak percaya mangga kok harganya bisa tinggi. Apakah langsung berhasil di tahun pertama? Tentu bertahap. Butuh waktu tidak sebentar. Petani itu tidak bisa kalau hanya dikasih teori. Prinsip mereka itu

Akhirnya saya cari cara lagi. Saya bilang ke mereka, “Bapak harus (dijual saat) masak pohon kalau ingin kaya�. Kalau masak pohon, investor gak datang gak masalah. Pembeli akan datang sendiri. Ternyata, begitu mangga itu umurnya baru pentilan, sudah datang orang mau borong seperti sebelumnya. Saya gak mau kecolongan. Saya yang pesan sendiri mangganya. Saya titip uang, saya ambil pada saat panen nanti. Harganya berapa nanti ikut harga di pasaran. Saya ambil mangga masak pohon. Memang kalau dibayangkan susah. Itu titip uang hanya kepercayaan. Anggaran yang kami alokasikan untuk itu sangat besar. Saya percaya aja. Karena mereka sudah terbiasa begitu. Strategi itu berhasil? Cukup efektif. Sekarang sudah makmur, Mas. Buah mangga mereka tidak mau dibeli kalau tidak masak pohon. Dari petani yang gak punya mangga, sekarang sudah menjadi juragan. Saya menjadi saksi atas keberhasilan mereka. Dari jadi staf di Dinas Pertanian hingga menjadi Kepala Dinas. Di situ saya merasa sangat bangga dan bahagia. Kebahagiaan seperti itu yang tidak bisa dinilai dengan materi ya, Pak? Iya. Dulu saya ajak susah. Sekarang saya tawarkan bibit sudah banyak yang ngantri. Karena sudah liat tanamannya pasti makmur. Jadi sekarang saya kalau ngomong sama kelompok tani mangga, saya gak perlu cerita. Bapak mau menjadi kaya? Mau, gimana caranya? Tanya petani. Itu lihat temannya yang sudah jadi. Ya toh? Itu bukan ratusan meter. Itu ribuan meter. Nah kalau sekarang saya membeli mangga mahal harganya. Pak Bupati beli mangga mahal.


Wawancara 27 Kalau sudah ada yang berhasil, apakah pasti yang lain tergerak? Begini saya kasih tahu. Petani itu kebanyakan memang berbekal tiga hal. mendengar, melihat dan menirukan. Kalau ada penyuluhan, mereka mendengar. Apakah langsung dilakukan. Ya tidak. Mereka harus melihat dulu. Kalau ada hasilnya, dan mereka yakin, baru melakukan dan meniru. Seper ti cabai juga begitu. Pasuruan ini kan awalnya tidak ada per tanian cabai. Saya punya pikiran, ini orang bagaimana caranya agar berhasil. Saya cari di daerah mana sih cabai yang paling bagus? Yang sudah maju SDMnya. Akhirnya dapat informasi Kediri dan Lumajang. Saya ajak mereka ke Kediri. Setelah pulang dari Kediri, oh ternyata budi daya tanam cabe dari dulu salah. Pulang dari Kediri, saya kumpulkan lagi. Mereka tertarik, wih bagus pak, katanya. Saya tanya, ngerti caranya? Oh iya saya coba. Berarti mereka mau mencoba. Yang semula tadi melihat itu, setelah melihat di sana bagus dia kan sambil mendengarkan itu. Setelah

melaksanakan, ada kekurangannya yang harus diperbaiki. Nyatanya juga bisa. Yang benar itu begini diterapkan sama mereka dan berhasil. Saya fasilitasi bibit dan kebutuhan lainnya. Sekarang sudah mulai nampak hasilnya.

komoditas unggulan di Tutur. Krisan juga begitu. Awalnya hanya b e b e r a p a h e k t a r. S e k a r a n g Pasuruan merupakan penghasil krisan terbesar di Indonesia. Bahkan dapat penghargaan dari presiden. Intinya, jika petani punya kemauan, pasti berhasil.

Cabai berhasil dikembangkan di mana?

Membangun kepercayaan bersama itu yang penting?

Gondangwetan dan Rembang. Panen kemarin lumayan besar. Dan mereka merasakan betul hasilnya. Kemarin ada yang panen 70 juta selama sebulan dengan lahan 1 Hektar. Modalnya 28 juta sekarang sudah panen 70 juta. Untung tiga kali. Sekarang tanam lagi dia dari modal yang keuntungan tadi, di kembangkan lagi. Tapi itu gak modal lagi.

Ja d i b e g i n i , k i t a m e n g i k u t i bagaimana perilaku masyarakat dan mau berubah yang kita ikuti dan tujuan kita cuma satu, bagaimana memakmurkan dia. Sebenarnya ilmu ber tani itu mudah untuk ditularkan. Dan mereka sebenarnya sudah punya ilmu itu dari pengalaman. Cuma terkadang, perlu motivasi dan dukungan. Itulah mengapa saya paling suka di lapangan, sampai sekarang. Membantu petani perlu ketulusan dan totalitas. Nah kalau sudah seperti ini, kepercayaan itu pasti mulai terbangun. PPL dan mantri pertanian saya arahkan untuk memiliki prinsip seperti itu. [Rian]

Selain cabai? Banyak. paprika, krisan, sedap malam. Itu dulu awalnya gak ada apa apa. Yang namanya komoditas paprika misalnya ini kan gak masuk k o m o d i t a s u n g g u l a n . Ta p i sekarang menjadi komoditas unggulan Pasuruan. Perlu waktu 7 tahun. Sekarang menjadi

Karier

Staf PNS Dinas Pertanian Pasuruan (1989)

Nama

Ir. Ihwan, M.Si

Kepala Sub Seksi Holtikultura (1994-1996)

TTL

Bima, Nusa Tenggara Barat, 3 Februari 1963

Kepala Seksi Produksi (1996-1998)

Jabatan

Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Pasuruan

Pendidikan Insinyur Pertanian Universitas Merdeka Malang (lulus 1987) S2 Administrasi Publik Universitas Merdeka Malang (lulus 2000)

Kepala Seksi Produksi Palawija (1998-2000) Kepala Bidang Produksi (2000-2004) Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Pasuruan (2004-Sekarang) Keluarga

Istri : Heny Anggriani, S.Pd (46 tahun) Anak : Ariani Anisah Pratiwi (18 tahun) SaďŹ ra Ridho Nur Amalina (14 tahun)


Opini 28

Lima Modal yang Menguatkan Petani Oleh: A'la Fahmi* * Asisten peneliti di program studi Sosiologi Pedesaan, Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor.

D

alam analisis kelas di Indonesia, petani masuk dalam golongan proletariat atau tenaga kasar. Para petani selalu menghadapi ketidakpastian mulai dari kondisi alam, hasil tanaman yang didapatkan, harga panen yang dimanipulasi oleh tengkulak hingga tidak adanya jaminan negara dalam mengatasi keterpurukan yang menimpanya.

Sejatinya, tanpa ada sentuhan dari pihak luar pun, petani telah memiliki tatanan kehidupan yang mapan. Mereka memiliki pengetahuan lokal (seperti cara menanam, upacara adat, gotong royong, metode panen dan sebagainya) yang telah teruji untuk menghadapi permasalahan-permasalahan yang dihadapi. Pengetahuan lokal petani ini mereka dapatkan secara turun-temurun dari para leluhur. Sayangnya, justru program pemberdayaan petanilah yang sering kali mengancam hilangnya pengetahuan lokal tersebut. Karenanya apabila pihak luar (pemerintah, LSM, NGO) ingin melakukan upaya penguatan sumber daya petani harus berpijak terlebih pada nilai-nilai lokal yang ada. Berbicara mengenai petani juga harus melibatkan pembahasan mengenai sistem kehidupan mereka. Petani sebagai komunitas yang sudah terhubung dengan kehidupan kolektif di masyarakat pedesaan, memiliki modal sosial sebagai akar yang kuat untuk menjaga semangat gotong royong. Maka, dalam mengubah wajah petani dan daerah pedesaan menuju kondisi yang lebih baik, tentu dibutuhkan model pengelolaan sumber daya yang tidak terlepas dari kekayaan pengetahuan lokal asli petani. Berbagai macam pengetahuan baru dari luar tentunya sangat diperlukan untuk para petani. Namun demikian, harus dilakukan upaya adaptasi dan “akulturasi

pengetahuan� agar tak mengubah nilai luhur kehidupan petani. Potensi Sumber Daya Pedesaan Upaya pemberdayaan yang dilakukan oleh pemerintah kepada petani tak jarang menemui jalan buntu. Kegiatan dengan anggaran yang begitu besar sering kali tidak memberikan solusi konkret atas permasalahan yang terjadi. Selama ini, kesalahan yang dilakukan oleh pelaku pemberdayaan adalah tidak pernah memberikan penguatan mental petani dalam mengelola sumber daya yang mereka miliki. Program pemberdayaan dan berbagai pelatihan diberikan dari dan dengan cara pandang orang luar. Apa yang dipandang penting oleh pelaku pemberdayaan, itulah yang sering kali diberikan. Petani yang sudah terlalu lama hidup dalam keterpurukan, akhirnya memandang orang luar sebagai pahlawan lantas menerima apapun yang diberikan. Sebagai sebuah ilustrasi, masyarakat petani di Jatiarjo, Kecamatan Tutur, Kabupaten Pasuruan. Mereka sempat mengalami kelesuan karena lahannya habis terjual. Seiring berjalannya waktu, mereka bisa mengatasi hal itu. Para petani yang kehilangan lahan ini kemudian bernegosiasi dengan Perhutani untuk bermitra dalam pengelolaan lahan hutan. Kini mereka bangkit dari keterpurukan. Maka dari itu, pemberdayaan petani tak cukup dengan melihat permasalahan yang mereka hadapi, tapi juga perlu menelisik beragam potensi yang tersimpan dalam diri petani. Dharmawan (2001) dalam bukunya yang berjudul Sistem Penghidupan dan Nafkah Pedesaan


Opini 29 menjelaskan bahwa aktivitas dalam mendapatkan potensi sumber daya dikenal dengan istilah strategi nafkah. Strategi nafkah sendiri mengandung makna segala kegiatan atau keputusan yang diambil untuk bertahan hidup dan atau membuat hidup lebih baik. Tujuan dari bertahan hidup ini adalah membangun beberapa strategi untuk keamanan dan keseimbangan mata pencaharian. Dalam melakukan strategi bertahan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, rumah tangga memerlukan semacam modal atau bisa dikatakan sumber nafkah. Terdapat lima bentuk modal atau biasa disebut aset penghidupan. Ellis (2000) dalam bukunya Household Strategies and Diversity in Developing Countries, merinci lima modal tersebut, sebagaimana dijelaskan berikut: Modal Fisik, merupakan modal yang berbentuk infrastruktur dasar seperti saluran irigasi, jalan, gedung, dan lain-lain. Modal Manusia, adalah keterampilan, pengetahuan, kesehatan, dan kemampuan yang dimiliki setiap individu untuk mengelola berbagai sumber daya. Modal Sosial, merupakan potensi sumber daya sosial ( jaringan, pernyataan sosial, hubungan sosial, afiliasi, asosiasi) yang dimiliki dan digunakan oleh masyarakat dalam menjalankan berbagai aktivitas penghidupan. Modal Alam, adalah serupa sumber daya alam dan jasa lingkungan, yang darinya nafkah diperoleh untuk memenuhi kebutuhan. Contoh dari sumber alam ini adalah tanah, air, udara, dan lainnya, siklus hidrologi dan penyerapan polusi. Modal Ekonomi, adalah modal dasar seperti pinjaman, simpanan, dan semua aset ekonomi termasuk infrastruktur dasar dan teknologi dan perlengkapan produksi. Berpijak pada konsep di atas, bahwa kelima modal tersebut merupakan potensi dasar yang dimiliki oleh desa yang sering dimanfaatkan oleh para petani. Memberdayakan petani tak cukup dengan mengetahui masalah, mencari sebab-sebabnya, lantas mencarikan solusi. Memberdayakan petani tentu akan lebih efektif jika didahului atas pemahaman mengenai kelima modal di atas. Untuk menggerakkan kelima modal tersebut memang tidaklah mudah. Diperlukan kolaborasi yang

baik dari para pemangku kepentingan agar nilai-nilai lokal yang terkandung tetap bisa berjalan tanpa tergerus oleh nilai-nilai baru yang masuk. Dalam kaidah fikih hal semacam ini terkait dengan sebuah ungkapan “Al muhafadzatu 'ala al Qadimi al Shalih wal akhdzu bi al Jadidi al Ashlah,” menjaga warisan para pendahulu yang baik dan mengambil hal baru yang lebih baik. Demikian pula dalam ilmu kebijakan publik, hal ini disebut dengan strategi incremental, “manambal baju yang sobek tanpa perlu mengganti dengan kain yang baru.” Rata-rata masyarakat petani di Indonesia memang berada di wilayah pedesaan yang kaya akan sumber daya dan kearifan lokal. Berbagai sumber daya dan kearifan lokal inilah yang bisanya di manfaatkan oleh para petani menjadi berbagai produk mulai dari makanan khas ataupun kerajinan. Di beberapa daerah di Indonesia seperti di Kota Batu terdapat banyak sekali aneka keripik buah, di Nusa Tenggara Timur terdapat tenun yang dibuat oleh para istri petani ataupun biasanya di beberapa daerah yang terdapat aliran sungai dijadikan sebagai energi listrik. Berpijak dari beberapa pemahaman teori di atas, di wilayah Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi terdapat sebuah desa adat yang bernama Kasepuhan Ciptagelar. Masyarakat di dalamnya ratarata juga merupakan petani. Dalam kehidupan keseharian mereka diatur oleh nilai-nilai tradisi. Masyarakat di wilayah ini menjunjung tinggi nilai-nilai kearifan lokal dan rasa gotong royong. Semua pembangunan desa dilakukan dengan cara gotong royong mulai dari pembangunan jembatan, pembangkit listrik tenaga air hingga aktivitas pertanian. Penerapan nilai-nilai kearifan lokal ini Nampak nyata dalam cerminan pengelolaan sumber daya yang ada di desa. Selama ini masyarakat memanfaatkan sumber daya hutan yang ada di sekitar pemukiman dengan aturan yang sangat bijak. Mereka tidak boleh merambah hutan seenaknya. Juga terdapat pembatasan wilayah mana yang boleh diakses masyarakat dan wilayah mana yang terlarang. Dalam bidang pertanian, mereka tidak diperbolehkan menggunakan obat-obatan kimia, semuanya harus dikerjakan dengan cara tradisional dan gotong royong.


Tahukah Anda ? 30 Di Kasepuhan Ciptagelar padi mempunyai makna ďŹ losoďŹ s. Masyarakat menganggap bahwa komoditas ini merupakan kehidupan itu sendiri. Karenanya, hasil panen padi tidak boleh diperjualbelikan di dalam maupun di luar desa. Seluruh hasil panen padi disimpan di lumbung bersama. Lumbung tersebut mampu menampung cadangan beras untuk kebutuhan selama 2 tahun. Meski menjaga tradisi, masyarakat Kasepuhan Ciptagelar tidak menolak perkembangan teknologi asalkan tidak bertentangan dengan nilai-nilai yang mereka genggam. Mereka memanfaatkan teknologi dengan arif dan bijaksana. Untuk mempermudah akses informasi, mereka membuat saluran radio dan televisi sendiri. Khusus untuk saluran televisi, mereka menambahkan saluran lokal desa untuk melihat berbagai acara yang pernah ada di dalam desanya. Teknologi lain yang diterapkan di desa ini adalah penggunaan beberapa panel surya dan pembangkit listrik tenaga air untuk mendapatkan pasokan listrik secara mandiri. Dinamika kehidupan petani memang tidak sesederhana yang dibayangkan. Ada kompleksitas yang menyelimuti kehidupan mereka. Maka dari itu, masyarakat petani tidak bisa dipandang secara general. Mereka mempunyai latar belakang sejarah yang sangat beragam dan inilah yang membuat petani dan desa menjadi entitas yang khas. Kalau sudah begini, masihkah anda ragu pada kekuatan petani?

Komoditas Warisan Belanda di Kalipucang

S

ekitar 28 kilometer arah Selatan dari pusat pemerintahan Kabupaten Pasuruan, terdapat Desa Kalipucang. Secara teritorial, Kalipucang berbatasan dengan Desa Sumberpitu di bagian utara, di bagian timur berbatasan dengan Desa Janjang Wulung, sebelah selatan dengan Desa Pungging dan Tutur, dan di sebelah barat dengan Desa Dawuhan Sengon. Secara administratif Kalipucang masuk dalam wilayah Kecamatan Tutur. Kalipucang memiliki beragam potensi untuk dikembangkan. Di sektor pertanian, sejak dulu Kalipucang masyhur sebagai penghasil kopi dan cengkeh. Sedangkan di sektor peternakan, susu sapi perah menjadi salah satu sumber utama penghasilan masyarakat desa. Kopi, cengkeh dan susu sapi, menurut warga setempat memiliki sejarah yang panjang. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Yamin, “Kopi, cengkeh dan susu Kalipucang memiliki sejarah yang panjang sekali. Bahkan, ketiganya merupakan saksi bisu masa penjajahan.�

Konon, sejarah susu perah di Kalipucang dimulai pada 1911 atau juga bersamaan dengan masuknya Belanda ke wilayah Nongkojajar. Kala itu, para Kompeni merasa kebingungan untuk mencukupi kebutuhan susu yang minim, khususnya di sekitar Pasuruan. Atas dasar itu, para pimpinan Belanda yang bertugas di Nongkojajar berkeinginan untuk mendatangkan sapi perah dari negaranya.


Tahukah Anda ? 31

“Sebagaimana diketahui banyak orang, Belanda merupakan salah satu dari lima negara dengan tingkat konsumsi tertinggi di dunia. Data yang diterbitkan Intisari, sebagaimana dilansir Nationalgeographic.co.id pada Januari 2014, menyebutkan bahwa Belanda merupakan negara dengan tingkat konsumsi terbesar ketiga di dunia (320,15 kg/kapita per tahun).” Niat tersebut akhirnya benar-benar terjadi. Belanda membawa sapi perah ke wilayah Nongkojajar (atau yang sekarang dikenal sebagai wilayah Kecamatan Tutur) dengan tujuan untuk mencukupi kebutuhan susu bagi orang-orang Belanda. “Jadi, dahulu itu ada banyak sekali sapi yang dibawa ke sini. Sapi-sapi tersebut diarak dan dipamerkan di benteng. Para warga pribumi banyak yang berkumpul untuk melihat sapi-sapi tersebut,” ujar Yamin yang lebih akrab dipanggil Simbah. Atas keberadaan sapi-sapi tersebut, masyarakat setempat akhirnya juga ketiban sampur. “Masyarakat asli dipaksa oleh orang-orang Belanda untuk beternak sapi perah dan mengikuti kemauan kolonial Pemerintahan Belanda. Padahal kan itu hal baru bagi masyarakat di sekitar sini. Malangnya lagi, Kalipucang adalah sentranya,” ungkap pria yang hampir memasuki usia kepala delapan tersebut. Hasil perahan susu tersebut diantar dengan jalan kaki atau diangkut kuda menuju benteng. Susu-susu tersebut kemudian oleh pihak Belanda digunakan untuk memenuhi kebutuhan susu para anggotanya yang ada di kawasan Pasuruan. Menurut Simbah, para warga biasanya setor minimal seminggu sekali. Tidak hanya susu, Belanda juga membawa dua jenis tanaman baru ke Nongkojajar. Adalah kopi dan cengkeh, jenis tanaman yang didatangkan jauh-jauh dari Belanda. Walhasil, selain dipaksa untuk beternak sapi, warga setempat diberikan tugas lain untuk membudidayakan dua tanaman tersebut. Sama halnya dengan susu, hasil panen kopi dan

cengkeh tersebut juga disetor minimal seminggu sekali ke Nongkojajar. Beberapa waktu berlalu, pihak Belanda merasa bahwa kopi dan cengkeh yang ditanam di Kalipucang memiliki kekhasan aroma dan rasa yang berbeda dengan komoditas yang sama di tempat lainnya. Hal tersebut kemudian membuat Belanda menaikkan jumlah setoran kopi dan cengkeh warga .

“Selalu ada hikmah dan manfaat di balik sebuah kejadian, sekalipun itu adalah penjajahan.” Hal tersebut muncul dari orang nomor satu di Kalipucang. Hariyono, Kepala Desa Kalipucang, menjelaskan bahwa sistem tanam paksa yang kala itu dilakukan oleh Belanda membawa angin segar untuk Kalipucang. Bagaimana tidak, melimpahnya susu, kopi dan cengkeh di Kalipucang hari ini diyakini atau tidak adalah efek dari Belanda. "Tidak ada yang benar dari penjajahan. Namun begitu, besarnya hasil susu, kopi dan cengkeh di Kalipucang adalah andil Belanda juga," terang Hariyono. Dalam perkembangannya, pelan tapi pasti perkebunan dan pertanian di desa Kalipucang mulai terkikis. Peternakan sapi perah menjadi pilihan utama masyarakat untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Hal tersebut tentunya berimbas pada penggantian komoditas pertanian dan perkebunan dengan tanaman rumput sebagai bahan pangan utama ternak sapi. Kondisi tersebut dipastikan akan terus terjadi bahkan meningkat jika melihat kebijakan pemerintah. Terhitung 2015-2019, Kalipucang dijadikan sebagai “Desa Susu” oleh pemerintah. Meski begitu, cerita tragis antara masyarakat Kalipucang dan Belanda akan terus diingat oleh para warga. Ialah susu, kopi dan cengkeh yang menjadi mawar di antara keduanya. Cerita tersebut akan terus berlanjut, turuntemurun, pada waktu yang tiada batasnya. [Fahrul]


Resensi Buku 32

Membaca Dinamika Ketahanan, Kemandirian dan Kesejahteraan Pangan di Jawa

P

angan adalah kebutuhan paling mendasar bagi kelangsungan hidup manusia. Kebutuhan ini tidak terikat oleh kondisi geograďŹ s ataupun strata sosial. Karenanya, kecukupan pangan menjadi indikator penting dalam membangun kesejahteraan masyarakat. Begitu pentingnya persoalan pangan, menjadikannya sebagai salah satu bagian dari hak asasi manusia. Kini kecukupan pangan dan keterbebasan dari kelaparan telah diakui sebagai hak yang paling mendasar bagi umat manusia. Dalam konteks kehidupan bernegara, ketahanan pangan menjadi indikator penting dalam membangun ketahanan nasional. Pengalaman dari perjalanan sejarah negara-negara di dunia telah mencatat bahwa negara yang tidak dapat memenuhi kebutuhan pangan, niscaya tidak akan sanggup membangun ketahanan nasionalnya. Sebaliknya, negara yang sanggup memenuhi kebutuhan pangan, cenderung berhasil dalam membangun ketahanan nasional. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 Tentang Pangan mendeďŹ nisikan ketahanan pangan sebagai “kondisi terpenuhinya pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan dan kebudayaan untuk dapat hidup secara sehat, aktif dan produktif secara berkelanjutan.â€? Sebagai landasan awal untuk mengetahui keseluruhan isinya, buku ini menjelaskan perbedaan

mendasar antara ketahanan pangan dan kemandirian pangan. Ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan dari negara sampai dengan perseorangan. Adapun kemandirian pangan diartikan sebagai kemampuan negara dan bangsa dalam memproduksi pangan yang beraneka ragam dari dalam negeri, terutama dari kearifan lokal. Sementara itu, daerah dapat disebut sebagai tahan pangan jika ketersediaan pangan lebih besar dari kebutuhan konsumsi terhadap pangan. Sebuah daerah dikatakan mandiri pangan manakala 100 persen kebutuhan pangan pokok dapat dipenuhi dari diproduksi internalnya. Sebaliknya, jika sebanyak 80 persen kebutuhan pangan pokok tidak dapat diproduksi sendiri, maka daerah tersebut dikatakan tidak mandiri pangan. Indonesia sebagai negara agraris dengan wilayah daratan yang luas, mempunyai potensi besar dalam hasil produksi pertanian. Setiap provinsi di Indonesia mayoritas wilayahnya adalah lahan pertanian dan di setiap Kabupaten/Kota pun pasti terdapat lahan pertanian. Menurut data dari Badan Ketahanan Pangan di bawah Kementrian Pertanian, dari tahun 2010 hingga tahun 2014, hasil produksi padi mengalami kenaikan sebesar 1,6 persen. Produksi jagung mengalami kenaikan sebesar 1,1 persen, sedangkan untuk hasil produksi kedelai juga mengalami kenaikan sebesar 1.9 persen (sumber: bkp.pertanian.go.id). Meski hasil produksi pangan nasional cenderung mengalami peningkatan, Tedy Dirhamsyah dalam bukunya ini menilai bahwa peningkatan ketahanan


Resensi Buku 33 pangan masih menghadapi berbagai tantangan. Persaingan akibat keterbukaan ekonomi dan pasar bebas adalah salah satu tantangan yang di hadapi pada ranah internasional. Sementara tantangan pada lokal adalah meningkatnya populasi penduduk dan kerawanan pangan, baik karena faktor ekonomi ataupun faktor alam.

Dalam buku berbasis riset ini, Dirhamsyah berusaha mengulas Program Desa Mandiri Pangan (Mapan) yang diluncurkan oleh Kementrian Pertanian melalui Badan Ketahanan Pangan. Program Desa Mapan adalah kegiatan pemberdayaan masyarakat pada desa yang terindikasi rawan pangan. Komponen Program Desa Mapan terdiri dari (1) Pemberdayaan masyarakat; (2) Penguatan kelembagaan; (3) Pengembangan sistem ketahanan pangan; dan (4) Integrasi program lintas sektor dalam membangun sinergi program kelembagaan. Program ini juga dilakukan melalui kegiatan pelatihan, pendampingan, dan peningkatan akses untuk pengembangan pertanian dengan meningkatkan kerjasama dengan berbagai aktor pangan dan pelaku pasar, melalukan pemberdayaan masyarakat dan kelompok tani. Dirhamsyah mengambil lima sampel daerah penelitian dari seluruh provinsi di Pulau Jawa kecuali DKI Jakarta. Kelima daerah tersebut adalah Kabupaten Pandeglang, Kabupaten Sumedang, Kabupaten Brebes, Kabupaten Bantul, dan Kabupaten Pacitan. Dari hasil penelitiannya, untuk kategori daerah tahan pangan, Kabupaten Bantul menjadi daerah yang paling tinggi nilainya. Hal ini karena didukung oleh

baiknya kondisi infrastruktur yang mendukung aktivitas pertanian. Infrastruktur tersebut meliputi jalan di daerah persawahan dan pedesaan serta irigasi pertanian yang menunjang. Kabupaten Pacitan menjadi daerah yang memiliki nilai paling tinggi dalam kemandirian pangan. Hal ini dikarenakan daerah tersebut mempunyai kepemilikan lahan pertanian terbesar dibanding daerah lain yang menjadi sampel penelitian. Hasil produksi pertanian yang tinggi mampu mampu disisihkan oleh daerah ini sebagai cadangan pangan. Sementara itu, untuk kategori daerah sejahtera pangan, Kabupaten Bantul kembali menjadi yang tertinggi. Hal ini karena Bantul ditunjang dengan infrastruktur pertanian yang meliputi jalan dan irigasi yang baik serta didukung oleh dekatnya akses dari ibu kota kabupaten dan provinsi. Dengan demikian distribusi penjualan hasil pertanian menjadi mudah dan mengurangi biaya transportasi. Dirhamsyah menyimpulkan bahwa kemandirian, ketahanan dan kesejahteraan pangan memiliki keterkaitan dan hubungan positif antar satu dengan yang lain. Semakin tinggi ketahanan pangan dan kemandirian pangan suatu daerah semakin tinggi pula kesejahteraannya. Sejalan dengan hal tersebut, semakin tinggi kesejahteraan, semakin tinggi pula kemandirian dan ketahanan pangannya. Buku ini menyajikan analisis data dan berbagai informasi secara sistematis, rinci dan ilmiah. Para mahasiswa pertanian, kebijakan publik, dosen dan pemerhati pangan perlu untuk membaca buku ini. Data-data dalam buku ini sangat menarik untuk dibaca oleh penentu kebijakan karena bisa menjadi sebuah perbandingan bagi ketersediaan data baik dari BPS maupun dari Kementrian Pertanian. Peresensi

M. Abdul Fatah

Judul Buku

Ketahanan Pangan: Kemandirian Pangan dan Kesejahteraan Pangan Daerah Rawan Pangan di Jawa

Penulis

Tedy Dirhamsyah Jangkung Handoyo Mulyo Dwidjono Hadi Darwanto Slamet Hartono

Penerbit

Plantaxia

Tahun Terbit

2016

ISBN

978-602-6912-07-7

Jumlah Halaman

188


Bilik Tani 34

Perjalanan Janu di Gunung Cikur etelah menempuh waktu setengah hari, akhirnya Janu sampai juga di lereng Gunung Cikur. Warna biru yang mulai berubah hijau kecokelatan telah menjadi tanda bahwa perjalanan jauh yang dia tempuh akan sampai pada tujuannya.

S

Dengan senyum kecut, sang supir membelokkan pikapnya ke halaman Mak Darsih. Dengan menggunakan sekop, Sopir pikap itu memindahkan tumpukan klethong di bak yang ada di halaman ke bak pikap.

Ia diperintahkan oleh Sapangat, dosennya, untuk melakukan penelitian di Dusun Sumber Lenthong. Di dusun ini, tinggal seorang petani tua bernama Ki Mastani. Sapangat sering berkunjung ke rumah petani tua itu. Konon, gelar doktor Sapangat diraih setelah “berguru” kepada Ki Mastani yang tak lulus Sekolah Rakyat (SR).

“Ok. Suwun ya,” ujar Mak Darsih sembari menerima selembar uang sepuluh ribuan dari Lelaki bertubuh tambun itu. Ia lantas pergi dengan pikapnya yang terseok-seok.

Sebenarnya, ada yang mengganggu pikiran Janu sejak dia menyusuri jalanan makadam di kawasan itu. Hamparan hijau yang nampak di lereng sebelah timur sejak dia melaju naik tadi, ternyata hanyalah rerumputan. Tak ada satu pun pohon yang menopangnya. “Apa tidak bahaya jika hujan lebat datang,” gumam Janu dalam hati. Memasuki perkampungan Dusun Sumber Lenthong, Janu merasakan suasana yang tenang. Janu menghentikan motornya di pinggir jalan. Dia melepas helm dan menggantungnya. Sejuk angin pegunungan rupanya telah mengeringkan ikat kepalanya yang nampak kumal oleh keringatnya. Di jalanan berbatu itu, nampak beberapa orang memanggul tabung kaleng alumunium di kepalanya. Janu sudah tahu kalau yang mereka bawa itu adalah susu segar. Sapangat sudah bercerita sekilas bahwa dusun di mana Ki Mastani tinggal adalah dusun penghasil susu. Perhatian Janu tertuju kepada perempuanperempuan renta yang turut memanggul kaleng susu dari arah timur. Dari sisi barat, melaju mobil pikap warna hitam. Jalanan terjal menjadikan kendaraan sehebat apapun akan terseok untuk bergerak. Tibatiba, muncul seorang perempuan dan berhenti di tengah jalan. Mak Darsih, demikian nama perempuan itu. Ia berdiri di tengah jalan sembari memberi tanda kepada pikap untuk berhenti. Sang sopir mengeluarkan kepalanya lewat jendela sembari berkata, “besuk saja ya, Mak. Aku buru-buru dipanggil bos iki,” ujarnya. “Tidak bisa. Seharusnya sejak kemarin klethong-ku kamu angkut. Kalau gak diambil sekarang, pikapmu tidak boleh lewat sini,” sentak Mak Darsih ketus.

Tak lama kemudian, Janu menghampiri Mak Darsih. Tentu saja untuk menanyakan rumah Ki Mastani. “Itu pas di samping musala,” jelas Mak Darsih sambil menunjuk ke arah barat. Janu pun mengangguk. Dari obrolan singkatnya bersama Mak Darsih, Janu mengetahui bahwa Sang sopir adalah anak buah Pak Sabrang, pengusaha besar yang memiliki kebun jeruk di dusun itu. Sabrang adalah pendatang. Dia membeli lahan pertanian jeruk di dusun itu. Untuk kebutuhan kebunnya itu, Sabrang membeli klethong dari penduduk dengan harga 10 ribu per pikap. Secara bergantian, klethong sapi dari warga dia borong dengan bantuan sang supir. “Walah, murah banget. Kalau di Gunung Kulon, harganya bisa belasan kali lipat. Apalagi kalau dikeringkan dulu, bisa lebih tinggi nilainya. Pak Sabrang itu benar benar…,” gumam Janu sembari menggenjot motornya. *** “Terus apa yang mau kau teliti di dusun ini?” tanya Ki Mastani. “Modal Sosial Kaum Tani, Ki. Jadi saya disuruh melihat kekuatan apa saja yang dimiliki petani di sini. Intinya saya disuruh belajar kepada petani di sini dan mencatatnya”, terang Janu. Ki Mastani terdiam beberapa saat. “Babagan opo iku? angel tenang,” Ki Mastani memancing. Janu kemudian menceritakan informasi awal yang dia dapat dari Sapangat tentang dusun ini. Janu juga menceritakan kisah perjalanannya. Termasuk kesan yang dia tangkap semenjak mau masuk ke Dusun Sumber Lenthong. Tentang petani yang merumput, tentang susu sapi dan tentang Mak Darsih. “Coba kasih penilaian dari sisi prasangka baikmu.


Bilik Tani 34 Sejak kamu masuk ke dusun ini” Setelah berpikir sejenak, Janu berujar,”Si mbah yang masih bekerja memanggul susu itu sedang menikmati hidupnya. Masih bekerja di usia senja merupakan cara mereka menghargai hidup. Saya jadi berpikir, ternyata petani sebenarnya adalah pekerja keras dan mencintai pekerjaannya.” “Lantas?” tanya Ki Mastani yang wajahnya mulai tersenyum. “Mak Darsih yang menjual klethong sapi dengan harga murah…”, lanjut Janu sembari mengernyitkan dahi. “…mungkin dia berpikir praktis. Tidak mau ribet. Lagi pula Pak Sabrang kan satu satunya pembeli”, lanjut Janu. “Siapa bilang”, Tukas Ki Mastani. “Tiap bulan selalu ada utusan Pak Wastu dari Punden Aji. Dia butuh klethong kering dalam jumlah besar, tiap bulan 3 ton. Tapi warga di sini belum berminat. Warga lebih memilih untuk diberikan kepada Sabrang.” “Jadi begitu ya Ki. Saya jadi mengerti. Mak Darsih lebih percaya kepada Pak Sabrang,” Janu mencoba berpendapat. “Pak Sabrang itu meski pendatang, dinilai baik sama warga. Kebun jeruknya sering mempekerjakan anak muda di sini.” “Pertimbangannya tidak hanya uang. Aktivitas ekonomi di sini tidak semata-mata hanya urusan untungnya berapa.” Ki Mastani mulai terkekeh. “Kon iki pancen mirip Sapangat”, sergah Mastani sambil menepuk pundak Janu. “ Anu Ki, tentang lereng gundul yang hanya berisi hamparan rumput tadi, saya khawatir, Ki. Karena…” Ki Mastani tak menanggapinya. Ia lantas berkata “Tinggallah di sini beberapa hari. Aku hanya mau bilang satu hal. Ngangsu kaweruh itu seperti menimba air. Agar air yang kamu timba bermanfaat, jangan biarkan airnya berdiam di dalam timba. Tuangkan air itu ke tempat yang butuh air. Biar bisa kau gunakan untuk menimba lagi” “Maksudnya gimana, Ki”, tanya Janu sambil berpikir. “Kamu datang ke sini tentu dengan bekal ilmu dan pengalaman pertanian. Kamu jangan canggung untuk berbagi pengalamanmu kepada masyarakat. Bagikan ilmumu sembari belajar kepada petani di sini. Termasuk ilmu per-klethong-an yang tadi sempat kau singgung. Mereka pasti senang jika kamu bagi pengalaman tentang kompos dan biogas.”. “Nggih, Ki”

“Tugas pertama. Besuk pagi, pergilah ke mata air Sumber Songo. Ambilkan air langsung ke sumbernya dengan kendil ini. Aku butuh untuk uji coba pestisida yang baru kutemukan” “Nggih,” jawab Janu penuh kepatuhan. *** Setelah pagi menjelang, Janu bergegas. Ia menyusuri jalan setapak melewati lereng Gunung Cikur. Sekali lagi dia terganggu dengan pemandangan lereng dengan kemiringan ekstrem yang tidak ada pepohonan. Setelah beberapa saat dia berjalan mendaki, Janu tertegun. Rupanya dia baru menyadari bahwa ada banyak kalen-kalen kecil di sela hamparan rumput gajah yang ia lalui. Rasa penasaran membuatnya menaiki bukit kecil untuk mendapatkan pandangan yang lebih luas. Ia ingin menelisik ke arah mana kelen-kalen itu bermuara. Ternyata di ujung bawah nampak seperti waduk kecil yang airnya dangkal. “Duh Gusti”, bibir Janu berucap lirih. Ia menyadari bahwa waduk kecil yang airnya dangkal itu berfungsi seperti embung. Waduk kecil itu ternyata dikelilingi sawah penduduk dusun. Janu sadar bahwa, lereng yang dibiarkan gundul itu ternyata sepertinya memang disengaja. Selain untuk membasahi rumput, rupanya airnya memang sengaja dibiarkan turun untuk ditampung di embung alami itu. Sembari melamun dan berjalan, sampailah Janu di Sumber Songo. Ia membasuh muka dan meminum beberapa teguk, Janu mengisi kendil dengan air dari sumber. Setelah istirahat sejenak, ia bergegas pulang. Kali ini memilih jalan memutar untuk berpetualang. Saat melewati balai dusun Setinggil, Janu melihat ada keramaian. Rupanya sedang berlangsung pemilihan pimpinan baru. Ada banyak orang berkumpul melihat dan mendengarkan sosok yang berbicara di panggung. “Kalau Saya dipercaya menjadi petinggi di dusun ini maka petani di sini akan makmur. Petani di sini perlu maju. Harus menerapkan teknologi modern. Petani di sini miskin karena tidak ada bantuan dari pemerintah, karena tidak ada yang memperjuangkan. Itu yang akan saya lakukan nanti. Saya punya banyak teman dari kampus-kampus. Teman-teman saya yang investor juga mau datang ke sini. Untuk itu, ayo maju dan bekerja keras bersama saya, Sukaryo.” Mendengar pidato berapi-api itu, Janu tersenyum. Lamat-lamat ia teringat kata-kata Sapangat, “Jangan langsung percaya kalau ada yang bilang bahwa petani itu malas, miskin, bodoh, perlu bantuan dan semacamnya. Itu adalah kebohongan.”


Tim pelaksana program PADI bersama stakeholder Kabupaten Pasuruan

Diskusi bersama kelompok tani dan perangkat Desa Kalipucang

Diskusi bersama kelompok tani dan perangkat Desa Wonosari

Diskusi bersama kelompok tani dan perangkat Desa Jatiarjo

KRPL di Desa Wonosari

Tim program PADI saat mengunjungi rumah bibit di Desa Jatiarjo

Peternak sapi perah Desa Kalipucang

Workshop perencanaan program PADI


artani Menebar Inspirasi dan Informasi Petani

ALAMAT REDAKSI: D'Wiga Regency A3-12, Kelurahan Mojolangu, Kota Malang (65142) Telp.: (0341) 3039081 info@averroes.or.id; www.padi.averroes.or.id; www.averroes.or.id Twitter: @avecom Instagram: @averroes.or.id


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.