Epaper edisi 15 juni 2014

Page 9

minggu, 15 juni 2014

Puisi-Puisi :

*Kinanthi Anggraini

Digjaya Pancasona Tak ada yang lebih digjaya selain Prabu Dasamuka Raja Alengka yang kebal dan sukar menemui ajalnya Biarpun telah terpotong dari leher hingga kepala Bersentuh tanah, lantas hidup dengan mudahnya Tujuh bulan menahan pantangan dan hasrat Dua kali dalam sepekan, sebelum hari ahad Beristirahat tiga hari sebelum bulan keramat Membangun fondasi untuk kesatria yang kuat Tibalah patigeni dijalankan Hari ke empat puluh satu, tidak tidur makan Berserah memohon ajian dambaan di turunkan Bersama mantra, tujuh puluh lima kali diucapkan ‘Kasangga ibu pertiwi tangi dewe urip dewe aning jagad mustika lananging jaya, aku si pancasona ratune nyawa sakalir’ Inilah warisan nusantara Buah ikhtiar kesungguhan yang ternama Namun adalah satu kelemahan darinya Saat kepala terpisah dan tak menyentuh tanahnya. Magetan, 3 Mei 2014

Siksaan Ilmu Kanuragan: Ramaparasu Pada sebercak luka yang mencacah di dada Gempuran kecewa yang meretakkan kepala Badai luka yang datang dari hilir bermuara Demi bakti kepada Jamadagni ayahanda Membunuh ibuku Renuka bermain cinta Pada Citraratra demi harga diri keluarga Dan tak terhitung hilang nyawa kesatria Atas kelenjar beracun pikiran perang semata Pekerti yang musnah hingga hilang ribuan jelata Dan pantang bagiku menjadi guru dari mereka Hanyalah turunan brahmana yang kuterima Bersebab budi pekerti menjaga indahnya dunia Namun ternyata Bisma dan Durna remukkan jiwa Bertambah Karna yang menipuku berlipat ganda Mengaku sebagai Brahmana muda Dan berjanji menjadi murid paling setia Hingga kuberikan ilmu paling digjaya Yang membuat lupa hikayatnya Sementara umurku menjelma Pada jalan panjang tak tiada ujungnya Hidup tanpa batas lengkung cakrawala Akulah Ramaparasu si Rama Bargawa Maka kucari mautku di setiap sudut marcapada Namun hilang jejak setelah aku berpijak disana Berharap tertancap tombak dengan kepala retak Dengan badan terlentang dan leher terinjak Pada kecewa aku bertanya Di manakah kesakitan ini berada Mencari kematian pada setiap kesatria ternama Namun kutaklukkan dengan beribu nyawa di hasta Aku dipermainkan dewa-dewa Menyembunyikan maut yang selama ini kupuja Kepada rama hendak kuminta takdirku padanya Kutantang raga saat memenangi sayembara Sinta Kuambil mautku dari senjata ujung senjatanya Untuk gugur meniti surga Bergelar Ramaparasu sang batara Aku si Rama Bergawa Terbebas dari siksa umur yang menyiksa Yang kini tinggal di swargaloka Bermandi keabadian selamanya. Magetan, 6 Juni 2014

Hikayat Karna i. Adalah lelaki yang terbuang oleh ibunda Di sungai gangga yang ditemu asuh adirata Ibu Kunthi wanita anggun dan mempesona Wanita yang selalu diberkahi hidup oleh dewa Aku adalah benih dari dewa surya Yang dihilangkan demi menjaga baiknya citra Adikku kesatria pandawa Lelaki digjaya yang dihormati semesta Mereka adalah titisan sang batara Bukan Pandu yang disebut ayahanda Maka, selalu dimenangkan oleh dewa Dan dimenangkan oleh para pencerita ii. Ajalku berkemah di Padang Kurusetra Saat ibunda gentar, aku beradu Arjuna Memintaku untuk meninggalkan kurawa Yang dipimpin yang mulia Duryudana

Nenek Penggembala Jeriken

S

ubuh belum terjaga saat nenek itu mengangkut delapan puluh jeriken kosong di atas pundaknya. Segera saja tubuhnya yang mungil tertelan jeriken-jeriken yang menggunung. Tali panjang sudah melingkar rapi di lengannya dan wajahnya yang terbasuh air sudah mulai benderang. Tak lupa dia membawa ban yang segera dimasukkannya di dalam tubuhnya saat masuk ke dalam sungai. Tujuannya hanya satu yaitu sampai di hulu sebelum pagi merekah. Dalam keremangan pagi dia seperti monster besar dengan punuk membengkak di punggung. Dengan sekuat tenaga dia berjalan melawan arus sungai yang besar di musim hujan. Tak ada kegentaran dalam hatinya. Nenek itu terus maju, tak patah arang. Sebenarnya perjuangannya dimulai bukan saat dia berangkat ke hulu, namun saat dia kembali ke hilir. Menurut cerita Wati, pembantuku, nenek itu mencari air di hulu. Dia akan menggali lubang di pinggir sungai dengan sekop kecil yang dibawanya. Saat air keluar dari lubang itu si nenek akan menyaringnya dengan peralatan sekadarnya. Air yang sudah disaringnya segera dimasukkan satu persatu ke dalam jeriken. Airnya cukup bening. Setelah semua jeriken penuh si nenek akan merangkai semua jeriken itu dengan talinya. Dengan susah payah dia menarik semua jeriken yang tak lagi ringan ke sungai. Arus sungai akan membantunya menarik jeriken itu sampai ke hilir. Dan dia akan berlaku seperti layaknya seorang penggembala yang mengontrol jeriken-jeriken yang memanjang seperti ular. Satu-satunya alat pengamannya hanyalah ban yang melingkar di dadanya yang berfungsi sebagai pelampung. Kusebut nenek itu si penggembala jeriken. Namanya Komariyah. Pagi itu aku sudah menunggu Nenek Komariyah sejak pagi dari jendela rumahku. Wati sudah menunggu di tepi sungai dengan wajah sebal. Mungkin dia tak suka berada di tepi sungai pagi-pagi. Kata orang-orang masih ada buaya di sungai itu dan mereka tentunya tak keberatan menelan tubuh belia Wati yang segar. Mungkin juga dia sedang memikirkan perintahku yang aneh dan merutuk dalam hati. Tepat saat matahari berada di antara pohon pala nenek Komariyah muncul dengan punggung melengkung. Tubuhnya bak sebuah layar yang mengontrol laju jeriken-jeriken yang berat itu. “Di mana airnya harus saya letakkan?” tanya Nenek Komariyah saat masuk dapur. Aku segera menyodorkan ember besar dengan tutup. “Di sini saja Nek.” Nenek Komariyah menuangkan isi jeriken sambil sesekali melirik keran yang terpasang di bak cuci piring. “Ibu langganan PAM atau punya pompa sendiri?” “Dua-duanya,” kataku. “Aneh, kenapa Ibu masih membutuhkan air saya?” tanya Nenek Komariyah dengan tersenyum. “Tak apa. Untuk jaga-jaga jika listrik mati.” “Tapi, Ibu membeli air saya bukan karena kasihan kan?” Dadaku berdesir. Aku cepat-cepat menggeleng. “Jadi berapa, Nek?” “Lima ribu.” Aku tercekat. Dia hanya meng-

Namun aku menolak pintanya Bagiku kesetiaan adalah utama Sekalipun kurawa ditakdirkan durjana Namun mengakui jasanya tak ternilai harga Dibanding kematian akhirnya bermuara Di mata panah Sang Arjuna Tak apalah ibunda Kelak aku bersama adikku pandawa di surga Kendati sekarang kurawa bagiku adalah nyawa Hingga harus berebut tahta di Padang Kurusetra Jika kau memahami Nasibku tak murah hati Bergaris mata perang senjata Untuk sakti raga bertanding pandawa Aku dikutuk dewa menjadi brahmana Tak dikehendaki menang melawan Arjuna Magetan, 9 Juni 2014 *Kinanthi Anggraini, aktif menulis puisi dan reportase. Karya puisinya pernah dimuat di puluhan media massa. Kini tercatat sebagai Mahasiswi Pascasarjana Pendidikan Sains UNS.

9

www.joglosemar.co

hargai satu jeriken air sebanyak lima ratus perak. Miris. Hatiku teriris-iris. Aku mengeluarkan uang lima ribu dan memberikan padanya. Tadinya aku ingin memberikan sepuluh ribu namun aku tak ingin dia berpikiran jika aku kasihan padanya meskipun sebenarnya memang begitu. “Kuantar Nek.” Nenek Komariyah mengumpulkan sepuluh jerikennya yang sudah kosong lalu memasukkan uang itu ke dalam kutangnya. Aku mengikutinya berjalan menuju sungai. “Kemana suamimu Nek. Kenapa bukan dia yang mencari air?” “Dia sudah lama meninggal.” “Lalu anak-anakmu?” “Mereka pergi merantau.” “Kenapa nenek tidak ikut mereka saja?” “Kehidupan mereka juga berat. Saya tak mau merepotkan mereka. Ehm, anak-anak Ibu apa masih ti-

tik dan segar. Aku tahu suamiku sempat bergetar karenanya sebab perempuan itu adik kelasnya dulu yang pernah ditaksirnya. “Ini tak ada kaitannya dengan mamamu. Aku hanya ingin tahu. Siapa anak-anak Nenek Komariyah yang tinggal di pinggir sungai itu.” “Kumohon, hentikan semua ini. Bagaimanapun aku tidak mengizinkan kamu menyusuri sungai dengan nenek itu.” Suamiku melangkah keluar dari rumah. Tak lama kemudian terdengar suara mobilnya yang terdengar seperti gemeletuk bara. Dan aku teringat dengan pernikahan lima belas tahun yang mulai terkikis kesabaran dan ketabahannya. Akar pernikahan ini mulai kisut dan penyakitan. Hanya tinggal menghitung waktu kapan dia akan tumbang. Namun aku tak ingin membiarkannya. Apapun kulakukan agar pernikahan ini kembali tegak berdiri seperti pohon trembesi di depan rumahku yang selalu mengayomi. Obrolan pendek tiap pagi ber-

pelampung milikku. Nenek Komariyah memandangiku dengan seksama dan dia mencontohku. “Bagus, begitu caranya. Sekarang kita menyusuri sungai ini bersama-sama. Katanya nenek akan menunjukkan anak-anak Nenek.” Nenek Komariyah memandang wajahku lekat lalu dia mengangguk. “Ikuti langkah saya. Jangan sampai lengah. Saya hafal dasar sungai ini. Ada yang aman ada yang berceruk dan penuh batu tajam. Saya tahu jalan aman.” Nenek Komariyah menyerahkan tali padaku lalu menalikan ujung tali lain di perutnya. “Apapun yang terjadi jangan lepaskan talinya,” katanya lembut. Aku mengangguk lalu mengikuti langkahnya. Jeriken kosongnya masih memunuk di punggungnya. Aku tak bisa melihat tubuh mungil Nenek Komariyah namun aku bisa memerhatikan langkah kakinya. Kami berjalan dengan pelan dan khidmat, menyusuri sungai yang airnya terasa dingin

dur kok tidak kelihatan pagi ini?” “Aku tak punya anak Nek,” jawabku. Hatiku menjadi ngilu. “Meskipun saya sendirian saya punya banyak anak,” katanya. “Benarkah?” Nenek Komariyah kembali tersenyum. Sudah puluhan senyum dia kembangkan sepagi ini. Dia pasti wanita luar biasa. Aku memerhatikan tangannya yang cekatan merangkai jeriken kosong itu pada tali yang tadi diikatnya di pohon. “Anak saya banyak. Jika Ibu ingin melihatnya Ibu harus ikut saya menyusuri sungai.” Selepas obrolan yang pendek itu tiba-tiba aku merasa bertemu dengan Nenek Komariyah adalah sebuah berkat. Aku harus menemuinya lagi. Kalau perlu setiap hari. *** “Kamu pasti sudah gila Savi!” seru suamiku saat aku mengutarakan niatku. “Menyusuri sungai bersama nenek itu? Ini pasti berhubungan dengan permintaan mama kan?” Aku tercekat. Bagaimana mungkin dia mengingatkanku akan permintaan mamanya yang sangat menyakitkan itu? Sudah lima belas tahun kami menikah dan tak punya anak. Ibunya mulai gelisah dan memaksa suamiku untuk poligami. Betapa sakit hatiku. Sejak awal pernikahan kami sudah berkomitmen apapun yang terjadi tidak akan ada yang namanya poligami. Tentunya mamanya tidak menawarkan seorang janda tua seperti Nenek Komariyah. Dia menunjuk pada seorang perempuan can-

sama nenek Komariyah yang sudah kulakukan sebulan ini selalu membuatku mengerti tentang sungai ini lebih dalam. Nenek Komariyah berkata jika sungai ini seperti rumah yang mengalir dan hidup. Rumah yang ingin dipahami dan memiliki hati yang panjang sepanjang alirannya. Rumah yang mengayomi banyak anak seperti seorang ibu yang selalu mengucurkan air susunya yang deras. Dalam nada suara Nenek Komariyah yang lembut aku percaya sungai itu memang berbicara padanya tentang banyak hal. Kuusap mataku yang tak berhasil mengeluarkan air mata. Sudah lama aku menangis tanpa air mata dan aku sudah rindu rasanya air mengaliri pipiku dan jatuh ke pangkuan. Mungkin memang sudah habis air mataku dan hatiku sudah beku. Aku mengusap jendela yang mengarah pada sungai dengan jariku. “Aku harus melakukannya,” desahku. *** “Ini untuk Nenek,” kataku sambil mengacungkan sebuah baju pelampung. ‘Ini untuk melindungi nenek saat menyusuri sungai. Jadi tak perlu pakai ban itu.” “Oh ya, saya pernah lihat bapak-bapak penyelamat memakai baju ini.” Nenek Komariyah memandangi rompi itu dengan matanya yang penuh kerutan di kelopaknya. “Dan saya punya satu lagi buat saya. Nah begini cara pakainya,” kataku sambil memakai baju

mengetuk-etuk tulang. Nenek Komariyah bergeming dari rasa dingin. Sepertinya dia sudah menganggap rasa dingin sebagai napas yang harus dihirup. “Itu anak sulung saya,” kata Nenek Komariyah sambil menunjuk pada sebuah pohon gaharu besar di tepi sungai. Nenek Komariyah memerciki pohon itu dengan air sungai. “Oh, jadi ternyata selama ini anak bagi Nenek Komariyah adalah pohon?” “Ya, dia melebihi anak buat saya. Saya menanamnya dua puluh tahun yang lalu dan dialah yang terkokoh di antara anakanak saya. Saya dan suami saya menanamnya bersama-sama. Hanya ini yang bisa kami lakukan untuk menjinakkan sungai, supaya dia tak kehilangan kebijaksanaannya. Kami menitipkan anak kami pada sungai dan mereka akan saling menjaga.” Aku terpana dengan kemuliaan wanita tua ini. Kebekuan hatiku sedikit demi sedikit mencair. Ada kesegaran yang meniup hatiku dan membuatku lebih baik. “Ibu juga bisa menitipkan anak Ibu di sini.” “Aku tidak membawa pohon.” “Saya membawa benih kemiri dan cendana. Mana yang Ibu pilih?” Nenek Komariyah menunjuk pada benih yang terselip di antara jerikennya yang tadi luput dari pandanganku. “Cendana,” jawabku. Nenek Komariyah lalu bercerita jika dia menyelipkan bebera-

* Ruwi Meita

pa rupiah untuk membeli benih pohon. “Di sana bagus untuk anak Ibu,” katanya. Dia menunjuk pada sebuah tanah yang sedikit lapang. Aku mengambil benih cendana dan menerima sekop kecil yang sering dibawa Nenek untuk menggali tanah di tepi sungai. Aku menggali tanah secepat yang aku bisa lalu dengan khidmat kumasukkan benih itu ke dalam lubang. Kubisikkan kata hidup lalu kembali ke sungai bersama Nenek Komariyah yang menungguku dengan sabar. Kami berjalan lagi selama lima menit dan pada saat itu Nenek Komariyah menunjukkan anak-anaknya yang lain. Pohon Uyeum, Pinang, Damar dan serumpun bambu yang subur. Aku mendengarnya dengan tenang. Setiap melewati anak-anaknya Nenek Komariyah pasti memercikinya dengan air sungai. Begitulah caranya menyapa. Lalu telingaku menangkap suara gemuruh. Aku menengadah ke langit yang bersih. Tak ada tanda awan di sana. Pagi yang indah dengan semburat warna kuning di horizon. Aku mungkin salah dengar. Lalu aku menatap punggung gunung jeriken Nenek Komariyah yang tiba-tiba bergeming. Nenek Komariyah melepaskan jerikennya lalu memasangnya di punggungku. Aku tak tahu apa yang terjadi. Namun tepat saat semua jeriken terpasang di punggung aku melihat gelombang besar menuju arah kami dari arah hulu. “Nenek!” seruku. Aku berusaha menarik tangannya namun gelombang itu terlalu kuat untukku. Tangan kami terlepas. Hanya dalam sekejap aku kehilangannya. Jeriken-jeriken itu menjadi pelampung besar untukku. Sekuat tenaga aku berusaha menyembulkan kepalaku, mencari Nenek Komariyah. Sekilas aku melihat tangannya teracung ke permukaan namun setelah itu lenyap. Setelah itu aku berjuang dengan diriku sendiri, berusaha mencari pegangan namun jeriken ini seperti sampan yang melintasi arus. Aku mulai kelelahan dan pandanganku mulai menggelap. Terakhir yang kuingat aku melihat pohon Gaharu itu menunduk dengan tenang. *** “Savi…Savi…” panggilnya. Aku membuka mata dan kulihat wajah suamiku yang pilu. Tangannya menggenggam tanganku. Aku mengerjapkan mataku. Kupikir jeriken-jeriken itu masih terpasang di punggungku tapi ternyata tubuhku telah membuat ceruk di sebuah ranjang putih bersih. “Nenek Komariyah…” Suamiku hanya terdiam. Dia mengusap dahiku dengan lembut. Hari itu dia tak mengabarkan apa-apa tentang nasib Nenek Komariyah. Air mataku turun dengan pelan dari sudut mataku. Untuk pertama kalinya aku bisa mengeluarkan air mata. Kelak orang-orang akan menceritakan cerita yang indah. Entah apa sebabnya pohon gaharu, anak sulung Nenek Komariyah melengkung dan menarik tubuh Nenek Komariyah ke dalam genggamannya. Sesaat setelah mereka menemukanku mereka menemukan tubuh Nenek Komariyah berbaring khidmat di antara ranting-ranting Gaharu. Tanpa napas. * Ruwi Meita, cerpenis tinggal di Jalan Seram, Banyudono, Ponorogo.

Prajurit Mumpuni Pengikut Pangeran Diponegoro Rubrik “Buka Buku Baru” ini merupakan ruang informasi mengenai buku-buku baru. Penerbit yang ingin bukubukunya diinformasikan ke publik, dapat mengirimkan ke Redaksi Joglosemar, Jalan Setia Budi No 89 Surakarta 57134. Hak pemuatan sepenuhnya ada pada Redaksi.

Judul: Panji Wirapati Pralaya di Tanah Jawa Penulis: Nugroho Widjajanto Penerbit: Tiga Serangkai Cetakan: Maret, 2014 Tebal: 770 halaman

N

ovel karya Nugroho Widjajanto menceritakan pertemuan di Randudoyong.

Di mana diceritakan bahwa pertempuran tersebut menyisakan luka yang mendalam bagi Panji. Dia harus kehilangan ayah sekaligus laskar perjuangan pengikut Pangeran Diponegoro, Ki Sancaka. Dalam kiprahnya, Ki Sancaka sebagai prajurit yang mumpuni sekaligus menyelaraskan diri dengan kehidupan alam dan rakyat jelata. Nah, sebagai keturunan Ki Sancaka, Panji menjadi bulan-bulanan pasukan Belanda serta pasukan Prasidra sebagai anteknya. Namun

sebagai pewaris ilmu kuntao, ilmu sapta pranggita disertai ilmu tameng, Panji terlalu sulit untuk ditaklukkan. Saya yakin Anda masih penasaran dengan kisah dalam novel ini. Meski setelah pensiun dari PNS, di tengah kesibukan mengajar di STAN, dia masih menyisihkan waktunya untuk menulis. Ia telah banyak melahirkan beberapa buku, namun untuk novel merupakan karya perdananya. Akhirnya, saya mengucapkan selamat membaca buku ini. n Eko Susanto


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.