Majalah Sastra Libri

Page 6

CERPEN

Mimpi yang Terputus oleh: Lintang Panjer Sore

“S

yira, setelah lulus SMA nanti, kamu mau langsung kerja, atau nerusin kuliah?” tanya Bapak sembari menyulut sebatang rokok di sela-sela jemarinya. “Syira ikut kata Ibu saja, Pak. Kalau disuruh cari kerja ya kerja, kalau disuruh nerusin kuliah ya kuliah. Lagian sekarang Syira kan baru kelas lima SD, masih lama, Pak,” jawabku sambil menatap ke arah Ibu yang meninabobokan Santi adikku. “Kok, Handi tidak ditanya, Pak?” protes kak Handi yang berada di meja belajar. “Iya, Handi nanti kalau sudah lulus SMA mau langsung cari kerja atau nerusin kuliah saja?” ucap Bapak yang mengulangi pertanyaannya sebentar tadi. “Handi kepengin nerusin kuliah sampai S3 Jurusan Kedokteran. Nah kalau Handi sudah jadi dokter nanti, seluruh penduduk desa tempat kita tinggal akan Handi layani dengan gratis dan sepenuh hati. Nah, kalau Syira nakal akan Kak Handi suntik pakai jarum yang gede,” ujar Kak Handi

projectgifted.com

seketika, membuatku nyeletuk dan tidak mau kalah dengan keinginannya. “Cita-cita Syira pengin jadi pramugari, jadi bisa naik pesawat ke manamana dengan gratis. Kalau Kak Handi kan harus duduk diam di rumah sakit, bau obat-obatan lagi. Enakan naik pesawat. Wek.” “Sudah, sudah, apa pun cita-cita kalian, Ibu hanya ingin kalian selalu ada untuk Ibu, untuk Bapak, ketika kami sedang membutuhkan kalian,” kata ibu seketika membuat kami akur untuk diam. “Syira, Handi, Ibu pergi ke ladang dulu ya.” Seperti pagi yang telah berlalu, lirih suara Ibu selalu membuat tidurku terjaga dan semua mimpi-mimpi indahku tentang sebuah cita-cita dan keluarga utuh terputus begitu saja. Dari celah-celah lubang dinding yang terbuat dari bambu, kulihat masih gelap di luar sana, tampaknya matahari pun belum terbangun dari tidurnya. Tak bisa menahan mata yang masih mengantuk, aku hanya bisa menjawab

suara ibu dengan raungan pelan dan kembali mengejar mimpi yang telah terputus. “Bibi, seragam sekolahku mana? Buku gambarku mana?” tanyaku kepada Bi Iyem pembantu rumah. Sambil tersenyum Bi Iyem menyodorkan sepasang seragam sekolah dan buku gambar milikku, yang baru saja diambilnya dari laci almari. “Habis tukar baju terus sarapan dulu ya, Non,” perintah Bi Iyem sambil berlalu. Setelah selesai ganti baju, perlahan langkah kakiku menuruni tangga, dari lantai atas menuju ruang makan yang terletak di lantai bawah. Kulihat kakak serta adikku telah duduk manis menikmati masakan Bi Iyem. Roti, selai dan susu segar semua tersedia di atas meja. Dadar telor, sosis goreng bikinan Bi Iyem memang sangat menggoda selera sarapan pagi. Setelah menyapa mereka dengan ucapan selamat pagi, kutarik kursi dan duduk manis di samping kakak. Ketika tangan kiriku meraih gagang garpu, Prang!! Suara benda jatuh membuyarkan semua mimpiku. Ketika kuterbangun dan beranjak dari tempat tidur, pecahan piring telah berserakan di lantai. Tutup nasi juga ikut tergeletak di depan tungku kayu. “Istri macam apa ibumu itu! Pagipagi kok meja makan dibiarkan kosong! Enggak masak lauk buat sarapan!” Pun seperti setiap pagi yang telah berlalu, dari balik daun pintu dapur aku mendengar suara bapak tiriku sedang marah. Mengumpat ibu yang katanya tidak masak buat sarapan. Walaupun semestinya, ibu selalu menanak nasi dan membakarkan sekeping terasi juga ikan asin buat mengisi perut kami sekeluarga sebelum pergi mengais rezeki, memunguti sisa-sisa panen di ladang orang. Setiap kali mendengar Bapak yang lagi marah, kakakku Handi langsung datang menyerahkan Santi, yang kini telah menginjak umur dua tahun dari hasil perkawinan Ibu dengan bapak tiriku “Syira, cepetan bawa Adik naik ke dipan,” suruh Kak Handi sembari menarik lenganku dan menidurkan adik di atas dipan. “Tetap diam di sini ya, jangan turun. Kakak akan pergi cari Bu De.” Setelah meletakkan adik di sampingku,

Majalah Sastra LIBRI - Edisi I/September 2012


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.