Seni Rupa Jogja 1990 2010

Page 84

Wacana Seni Rupa dalam Teks Surat Kabar: Pembacaan atas (Beberapa) Kritik Seni Rupa Populer dan Keterlibatan Penulis Seni Rupa Yogyakarta di Harian Kompas

yang dikritik diasumsikan menekankan dimensi kemasyarakatan, sementara ‘pendekatan teks-tual’ yang diunggulkan dianggap menekankan dimensi estetik. Pemisahan teks dan konteks semacam itu membuat pandangan mereka, tanpa sepenuhnya disadari, memasuki persoalan ilmu kein-dahan (estetika). … Kendati pandangan (ini) bisa dipedebatkan, dalam pemikiran kesenian penga-laman estetis tidak selesai pada hanya merasakannya. Ketika pengalaman estetis ini diangkat ke pembahasan (kritik seni, ulasan, pemikiran) dimensi estetik yang dipersoalkan tidak bisa menghindar dari estetika atau ilmu keindahan.” Menurut Supangkat, cara pandang Sahal terjebak pada upaya pemisahan: dikotomi antara teks dan konteks, yang pada gilirannya menyederhanakan dimensi analitis suatu tafsir karya seni rupa. Sebab dua unsur tersebut bagi Supangkat tidak mungkin dipisahkan manakala kita menempatkan seni rupa dalam wilayah karya seni sebagai salah satu manifestasi material sebuah “teks-sosial-politiksejarah kebudayaan” masyarakat tertentu, terutama di negara ‘Dunia Ketiga’ sebagaimana dalam diskusi di esai itu. Harus diakui bahwa perkembangan seni rupa Indonesia sangat diwarnai dengan masuknya pemikiran dan gagasan-gagasan estetik Barat—yang kata Supangkat hadir dalam ketidaklinieran bingkai waktu (muncul dan mapan di Barat lalu masuk ke Indonesia). Maka, ketika kita abaikan konteksnya yang terjadi adalah tercerabutnya nilai historis suatu karya seni rupa. Lain dengan Supriyanto yang kesan saya bereaksi agak lebih lugas— kalau tidak mau dikatakan ‘keras’. Melalui esai “Cultural Studies”, Kritik Seni, dan Apresiasi (Jumat 04/08/2000) ia menunjukkan bahwa argumen Sahal agak gegabah dan inkonsisten di sana-sini sehingga ketika argumen Sahal diterima, maka malah berisiko mempersempit area studi atau cara-cara menerangkan fenomena seni rupa yang ada (dan sedang berkembang). Sahal, bagi Supri-yanto, terjebak dalam simplifikasi skup kajian dan perspektif dalam CS. Ia contohkan hasil interpretasi yang tidak selalu kecebur dalam agenda politik emansipatoris yang serba praktis sebagaimana umumnya paradigma CS, seperti dalam ulasan Nirwan Ahmad Arsuka tentang novel-novel Umberto Eco atau Seno Sumira Ajidarma tentang aspek representasi yang berlapis-lapis dalam realitas fotografi (semuanya di Bentara). Intinya, menurut Supriyanto, ketika cara pandang modernisme Sahal disetujui (terkait oposisi biner) dan serta-merta menolak CS, maka kita akan hilang kesempatan untuk mengembang-kan atau bereksperimen dengan alternatif kaca mata kajian seni rupa, yang selama ini masih terpaku pada logika yang ‘baik-baik saja’—kurang gemas terhadap situasi sosial hari ini. Seni rupa kontemporer harus diakui merupakan bagian dari generasi yang merespon wacana baru dalam kesadaran 166

berlapis-­‐lapis dalam realitas fotografi (semuanya di Bentara). Intinya, menurut Supriyanto, ketika cara pandang modernisme Sahal disetujui (terkait Khidir M. Prawirosusanto oposisi biner) dan serta-­‐merta menolak CS, maka kita akan hilang kesempatan untuk mengembang-­‐kan atau bereksperimen dengan alternatif kaca mata kajian seni rupa, yang selama ini masih terpaku pada logika yang ‘baik-­‐baik saja’—kurang gemas baru pula,hari olehini. sebab dibutuhkan kerangka berpikir yang lebih terhadap situasi sosial Seni iturupa kontemporer harus diakui merupakan segar, yang kata Supriyanto harus mencoba keluar dari karakteristik bagian dari generasi yang merespon wacana baru dalam kesadaran baru pula, oleh tradisi kritik formalistik (literer)—yang cenderung adem-ayem. Dengan sebab itu dibutuhkan kerangka berpikir yang lebih segar, yang kata Supriyanto harus demikian kedua esai reaksi padaformalistik tulisan Sahal tersebut merupakan mencoba keluar dari karakteristik tradisi kritik (literer)—yang cenderung KSR populer, yang bisa ditempatkan dalam tataran adem-­‐ayem. Dengan demikian kedua esai reaksi pada tulisan diskusi Sahal mengenai tersebut perspektif, dan menjelaskan karyadiskusi ataupun event merupakan KSR populer, cara yang memandang bisa ditempatkan dalam tataran mengenai atau gejala kesenirupaan yang lain,karya utamanya bagi event para kritikus / perspektif, cara memandang dan menjelaskan ataupun atau gejala pengamat seni rupa. kesenirupaan yang lain, utamanya bagi para kritikus / pengamat seni rupa. Mengakhiri ini, danketidakmungkinan oleh karena ketidakmungkinan sayacontoh Mengakhiri uraian ini, dan uraian oleh karena saya menyajikan menyajikan lain m dengan tunjukkan lain dengan rinci, maka saya contoh tunjukkan elalui trinci, abel dmaka i atas saya bahwa dari segi melalui intensitas tabel di atas bahwa dari segi intensitas perdebatan, silang-pendapat, perdebatan, silang-­‐pendapat, dan semacamnya dapat kita jumpai melalui beberapa semacamnya kita jumpai melalui beberapa dialog tulisan dialog tulisan dan KSR di harian dapat Kompas. Umumnya, redaktur Kompas Minggu KSR di dalam harian label Kompas. Umumnya, redaktur Kompas mengelompokkannya ‘polemik’ atau ‘argumen tanding’, Minggu yang berbeda mengelompokkannya dalam label ‘argumen dengan predikat lain seperti ‘kritik‘, ‘wacana‘, dan ‘‘polemik’ seni rupa‘ atau (lihat tabel). tanding’, Wacana Seni Rupa dalam Teks Surat Kabar: Pembacaan atas Kritik Seni Rupa Populer dan eterlibatan Penulis Rupa ogyakarta di Tabel 1(. Beberapa) Beberapa Polemik Seni Rupa di KK OMPAS T ahun S2eni 000 – 2Y011

Kompas Polemik 1 (2000) – perbincangan perspektif, wacana seni kontemporer, dHarian an kritik atas |Khidir M. Prawirosusanto| kritik Bentara, Jumat 2 Juni 2000. Ahmad Sahal. “’Cultural Studies’ dan Tersingkirnya Estetika” Hlm. 29. Esai Minggu 11 Juni 2000. Agus Dermawan T. “Seni Rupa Yang ‘Mengutang’ dan Hlm: 18 ‘Bermuatan’" Esai Minggu 18 Juni 2000. Hendro Wiyanto. “Arisan Nama-­‐Nama: Misteri Apa dan Siapa” Hlm: 18. 146 Bentara, Jumat 7 Jul 2000. Jim Supangkat. “Bingkai Seni Kontekstual” Hlm: 26. Bentara, Jumat 4 Agus 2000. Enin Supriyanto. “’Cultural Studies’, Kritik Seni, dan Apresiasi” Hlm: 29. Polemik 2 (2000 – 2002) – tentang seni grafis Bentara, Jumat 3 Nov 2000. Bambang Bujono. Pameran Setengah Abad Seni Grafis Hlm: 37. Indonesia: “Jangan Malu-­‐malu, Jangan Mencetak Kemacetan” Bentara, Jumat 2 Maret F.X. Harsono. “Menjadikan Seni Cetak Grafis Warga Kelas Satu” 2001. Hlm: 31. Bentara Jumat 5 Jul 2002. Bambang Budjono. “Seni Grafis Yang Tak Lagi Malu-­‐malu (Dari Pameran Penjelajahan Media dan Gagasan)” Polemik 3 (2001) – tentang hiruk pikuk komodifikasi karya dan sikap para kritikus seni rupa Bentara, Jumat 6 April 2001. Hendro Wiyanto. “Komodifikasi, ‘Seni Lukis Kudapan’ dan Hlm: 34. Medan Seni” Bentara 6 Jul 2001. Hlm: 37. Eddy Soetriyono. Tuna Acuan yang Berlarut-­‐larut: “Pasar Lukisan yang Semu dan Sengkarut” Bentara, Jumat 3 Agust Adi Wicaksono. “Seni Rupa di Belakang Tengkuk” 2001. Hlm: 27. Bentara, Jumat 3 Agust Amir Sidharta. “Seni Rupa Indonesia Memerlukan 2001. Hlm: 28. Keseimbangan” Polemik 4 (2001 – 2002) – soal invasi pasar di seni rupa Bentara, Sabtu 15 Des 2001. Aminudin TH Siregar. “Seni Rupa Yogyakarta: Gemuruh Pasar Hlm: 23. Yang Tidak Mencerdaskan” Esai Minggu 23 Des 2001. M Dwi Marianto. “Atmosfer Kehidupan Seni Di Yogyakarta: Hlm: 14 Tanggapan atas Tulisan Aminudin TH Siregar Seni Rupa 167 Yogyakarta Gemuruh Pasar yang Tidak Mencerdaskan” Esai Minggu, 30 Des 2001. Hendro Wiyanto. “Surat Buat Ucok dan Para Perupa di Yogya”.


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.