Seni Rupa Jogja 1990 2010

Page 44

Agnesia Linda M

terlebih dahulu sebelum diramu dan dialihbahaskan ke dalam bentuk karya visual, Nindityo Adipurnono memiliki praktek yang berbeda. Di dalam prosesnya, terjadi selang-seling praktek penelitian (pembangunan gagasan) dan penciptaan karya. Sebuah eksperimentasi penciptaan karya kadang bisa menjadi ruang membangun gagasan, begitu pula sebaliknya. Agar lebih jelas, di dalam tulisan ini saya akan menghadirkan rekam jejak beberapa fagmen perjalanan kekaryaan Nindityo pada periode “seri konde”. “Oh tidak! Si lelaki Jawa Itu lagi dengan kondenya!”, demikian Farah Wardhani mengawali tulisan Melihat Kembali Potret Lelaki Jawa Itu Sebuah Latihan Intersubjektivitas, yang dimuat di dalam katalog pameran tunggal Nindityo Adipurnomo, WWW.MACHO tahun 2007. Idiom Konde memang telah ia geluti kurang lebih 18 tahun40, di dalam sejarah pengkaryaannya. Sebuah obsesi yang entah kenapa dirawat begitu lama, sampai-sampai ia membuat alamat emailnya pun www. kondenindityo@xxxxx.com. Mungkin karena itulah, Nindityo selalu diidentikkan dengan konde, disebut seniman konde, sampai sekarang meskipun ia telah meninggalkan idiom tersebut. Berangkat dari latar keluarga priyayi dan keterlibatannya di Pamulangan Beksa Sasmita Mardawa -pusat seni tari Pujokusuman Yogyakarta, Nindityo menuju ruang refleksi ke-Jawa-annya. Tahun 1990-1991 ketika tinggal di Belanda, ia menemukan cara pandang lain untuk melihat subculture Jawa, melalui sebuah kajian pola lantai Bedhoyo dengan perspektif mata burung yang dilakukan oleh Clara Van Brakel, antropolog Belanda. Di dalam kajiannya, Brakel menyebutkan bahwa sembilan penari Bedhoyo mewakili 9 lubang hawa nafsu manusia. Nindityo terkesan, karena kajian semacam itu tidak biasa dilakukan di Indonesia. Nindityo menceritakan bahwa konsep masyarakat Jawa mengenai sembilan lubang hawa nafsu tersebut tidak hanya dimanifestasikan ke dalam pola lantai tari Bedhoyo, namun juga berwujud sembilan gerbang di dalam tata ruang keraton Yogyakarta.

40. Melalui penelusuran data di IVAA dan melakukan konfirmasi melalui wawancara kepada Nindityo, idiom konde telah ia hadirkan di dalam karya-karya hasil dari studi formal awal tahun 90-an. Pertautan antara konde dan gagasan awal introvesion, ditandai dengan lahirnya karya berjudul Sanggul Jawa = Introvert (1993), dan idiom tersebut berlanjut hingga pertengahan 2008 dalam perwujudan fisik karya-karya konde rotan raksasa.

86

Nalar Dunia Simbolik: Penelitian Ala Seniman Seni Rupa Kontemporer

Konon, tata cara arus mobilisasi sembilan gerbang tersebut, sama dengan fungsi sirkulasi sembilan lubang hawa nafsu (lubang di tubuh manusia). Bagi Nindityo, sebagai orang Jawa, ia pun masih terkagum-kagum dengan kompleksitas masyarakatnya. Baginya, seolah semua aspek perilaku kehidupan telah memiliki aturan, yang kerap berwujud simbol-simbol, yang tak mudah diterjemahkan makna utuhnya, meskipun sebenarnya ia turut terlibat di dalamnya. Ia pun melanjutkan perenungannya, melihat kembali fungsi bahasa Jawa, sebagai bagian kompleksitas budaya Jawa. Tingkatan bahasa Jawa (undhak-undhuk basa) yang integral dengan etika masyarakat Jawa, menjadikan seorang Jawa harus senantiasa mampu menahan gejolak hawa nafsunya. Segala dorongan harus diatur dan dipilah, mana yang pantas diekspresikan (disalurkan ke luar) mana yang harus digiring masuk dan diolah di dalam diri. Tata prilaku (tata krama) yang diyakini masyarakat Jawa akan membawa keselarasan hidup semacam itu, ia asumsikan sebagai konsep dari “narimo”.41 Seperti ketika Nindityo belajar tari klasik gaya Yogyakarta di Pujokusuman, ia tidak bisa serta merta bertanya kepada guru; kenapa ia mengajarkan ragam gerak tertentu pada tahap belajar tertentu, apa maksud dari ragam gerak tersebut dan kenapa sang guru memilih cara-cara tidak langsung ketika mengomentari performanya. Nindityo harus menelan kembali semua pertanyaan tersebut, hingga suatu saat nanti, melalui penghayatan ia akan menemukan jawabannya sendiri. Nindityo menelan pertanyaanpertanyaan tersebut untuk kembali memuntahkannya, membuat saluran ke luar bagi pertanyaan-pertanyaan tersebut, entah dengan membuka diskusi, mengkonfrontasikan pikirannya dengan prespektif orang lain di luar Pujokusuman, atau mencari referensi literatur. Salah satu saluran yang ia pilih adalah melalui karya-karyanya. Gagasan tentang “narimo” dan kajian pola lantai Bedhoyo membawanya pada eksperimentasi penggabungan pertunjukan tari dengan elemen-elemen seni rupa, yang terwujud dalam karya Spiritual Space. 42

41. Wawancara dengan Nindityo Adipurnomo, tanggal 8 Oktober 2013 dan M. Dwi Maryanto, Tamarind From The Mountain, Salt From The Sea, Meet in the Cooking Pot, katalog KopiSusu, 1998, hlm. 2. 42. M. Dwi Maryanto, Tamarind From The Mountain, Salt From The Sea, Meet in the Cooking Pot, katalog Kopi-Susu, 1998, hlm. 2.

87


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.