
17 minute read
Tinjauan Pustaka
Tinjauan Pustaka
Pendidikan Kedokteran Kedepan: Hal yang Perlu Diperhatikan Permenkes No. 24 Tahun 2020
Advertisement
Disusun oleh Health Policy Studies Ikatan Senat Mahasiswa Kedokteran Indonesia Wilayah Dua dan Persatuan Senat Mahasiswa Kedokteran Gigi Indonesia dengan penyesuaian
Penulis sebagai mahasiswa kedokteran umum maupun gigi mempunyai perhatian khusus pada Permenkes No. 24 Tahun 2020 sebagai kebijakan yang mengatur standar pelayanan radiologi di layanan kesehatan dan dampaknya terhadap standar pendidikan kedokteran umum maupun gigi kedepannya secara umum maupun spesialistik.
Pertama, perlu disadari bahwa kebijakan Permenkes ini mengatur bidang pelayanan kedokteran, bukan kompetensi maupun pendidikan kedokteran. Namun, penulis melihat bahwa dasar pelayanan kedokteran adalah kompetensi. Kompetensi tersebut dicapai saat proses pendidikan, dan digunakan untuk menjawab kebutuhan dalam pelayanan. Sehingga, hal tersebut tidak bisa dipisahkan karena memang berketerkaitan. Sedangkan bila kita mendalami kebijakan Permenkes ini terkait substansinya yang membatasi pelayanan radiologi pada dokter spesialistik nonradiologi, penulis mempertanyakan urgensi apakah kedepan masih diperlukan capaian kompetensi bidang radiologi yang harus dicapai oleh mahasiswa kedokteran dan kedokteran gigi non spesialistik radiologi dalam proses pendidikannya.
Penulis secara khusus pula mendalami aspek hukum dalam kebijakan PMK tersebut pada pasal xxx terkait kewajiban sertifikasi kompetensi tambahan dari Kolegium Radiologi kepada dokter non spesialistik radiologi dalam menjalankan pelayanan radiologi di Klinik Pratama. Bila mengacu Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 Praktik Kedokteran pasal 8, kewenangan dalam penentuan kompetensi pendidikan kedokteran ada pada KKI, bukan pada Menteri Kesehatan serta produknya PMK, maupun hanya Kolegium Radiologi Klinik saja.
Pernyataan tersebut didukung oleh pasal 7 ayat (2) yang berisi, Standar pendidikan profesi dokter dan dokter gigi yang disahkan konsil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b ditetapkan bersama oleh Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) dengan kolegium kedokteran, kolegium kedokteran gigi, asosiasi institusi pendidikan kedokteran, asosiasi institusi pendidikan kedokteran gigi, dan asosiasi rumah sakit pendidikan.
Sebagai tambahan, pada pasal 7 ayat (1) sendiri tertulis bahwa, KKI mempunyai tugas untuk melakukan pembinaan terhadap penyelenggaraan praktik kedokteran yang dilaksanakan bersama lembaga terkait sesuai dengan fungsi masing-masing. Pernyataan tersebut ditunjang oleh Peraturan
KKI No. 54 Tahun 2018 tentang Registrasi Kualifikasi Tambahan Dokter Spesialis dan Dokter Gigi Spesialis pasal 6 ayat (1) yang berbunyi, Pendidikan subspesialis dilaksanakan oleh institusi pendidikan bekerjasama dengan kolegium dan rumah sakit pendidikan.
Aturan KKI dan Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik kedokteran telah menjamin kompetensi penggunaan alat radiologi oleh spesialis maupun dokter umum. Tiap-tiap pendidikan spesialis mempelajari detail penggunaan alat radiologi pada bidang keilmuannya. Selain itu, radiolog belum tentu menguasai irisan pelayanan radiologis pada semua spesialisasi dalam penegakan diagnosis. Jika dipaksakan berjalan maka setidaknya 8.935 peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) akan terdampak akibat perubahan standar pendidikan kedokteran saat ini.
Berdasarkan gambaran yang kami pelajari dan coba tuliskan tersebut, kami melihat butuh bentuk klarifikasi dan perbaikan dalam peraturan tersebut agar dapat bermanfaat bagi pendidikan kedokteran di Indonesia.
Pelayanan Kesehatan Optimal dengan Bergotong Royong: Hal yang Perlu Diperhatikan Permenkes No. 24 Tahun 2020
Disusun oleh Health Policy Studies Ikatan Senat Mahasiswa Kedokteran Indonesia Wilayah Tiga, Persatuan Senat Mahasiswa Kedokteran Gigi Indonesia dan Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Kedokteran dan Himpunan Mahasiswa Pendidikan Dokter Universitas Brawijaya, Badan Eksekutif Mahasiswa Keluarga Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya dengan penyesuaian
Pelayanan kesehatan seyogyanya ditujukan memberikan perlindungan kepada pasien, mempertahankan dan meningkatkan mutu pelayanan medis yang diberikan oleh dokter, memberikan kepastian hukum bagi masyarakat dan dokter; dengan kemampuan bekerjasama dengan sejawat dokter, tenaga kesehatan lain, dan tenaga non-klinis yang sebagaimana dikutip dari Pedoman Praktik Dokter dan Dokter Gigi di Indonesia. Hal ini sangat esensial untuk pelayanan dan asuhan pasien yang baik.
Pelayanan kesehatan sudah selayaknya diberikan oleh tenaga kesehatan yang memiliki kompetensi, menguasai kompetensi tersebut dan bekerjasama dengan sejawat agar tercapai pelayanan dan asuhan pasien yang baik, seperti dijelaskan pada Pedoman Praktik Dokter dan Dokter Gigi di Indonesia. Terlebih pedoman yang diterbitkan KKI tersebut telah mengingatkan kita bagaimana praktik kedokteran dapat bermasalah salah satu alasannya ketika seorang dokter melakukan ketidakpatutan (improper) yaitu kesalahan dengan salah satunya melakukan tindakan medis di luar kompetensi. Oleh karena itu penulis memahami bahwa substansi kompetensi dalam sebuah pelayanan medis sangatlah penting, dengan kolaborasi antar disiplin ilmu, kolaborasi antar kolegium dan terutama kolaborasi antar sejawat sehingga tercapai rangkaian pelayanan kesehatan yang mengutamakan asuhan pasien yang baik.
Permenkes No. 24 Tahun 2020 menyatakan bahwa peraturan sebelumnya terkait pelayanan radiologi klinis dinyatakan dicabut dan tidak berlaku, yaitu Permenkes No. 780 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Radiologi yang mengatur mengenai pelayanan radiologi diagnostik dan Keputusan Menteri Kesehatan No. 1014 Tahun 2008 tentang Standar Pelayanan Radiologi Diagnostik di Sarana Pelayanan Kesehatan. Secara tidak langsung Permenkes No. 24 Tahun 2020 tentang Pelayanan Radiologi Klinik menggantikan kedua produk hukum tersebut. Meninjau dari produk hukum tersebut, keduanya saling berhubungan dan di dalamnya juga mengatur tentang penyelenggaraan pelayanan radiologi serta standarisasi dalam pelayanan. Akan tetapi jika membaca isi dari keduanya, ternyata mengenai sumber daya manusia dalam hal Pelayanan Radiologi Klinik tidak jauh berbeda dengan yang disebutkan pada Permenkes No. 24 Tahun 2020. Penyebutan tentang dokter dan dokter spesialis lainnya dalam hal pelayanan radiologi tidak dijelaskan secara bermakna. Oleh sebab itu bisa dikatakan Permenkes No. 24 Tahun 2020 ini lebih memperjelas pelayanan radiologi oleh dokter dan dokter spesialis lainnya selain spesialis radiologi.
Meninjau Permenkes No. 24 Tahun 2020, tertera jelas bahwa terdapat pengaturan tentang bagaimana pelayanan radiologi di fasilitas kesehatan serta sumber daya manusianya. Disini dilihat juga dokter dan dokter spesialis lainnya, dijelaskan tidak mendapatkan wewenang secara langsung dalam melaksanakan Pelayanan Radiologi Klinik, tetapi harus melakukan pelatihan dan mendapat sertifikasi dari Kolegium Radiologi Klinik Indonesia sebagai penanggung jawab pelayanan radiologi diagnostik dan terapeutik. Hal ini tentunya kurang sesuai dengan apa yang tercantum pada Standar Kompetensi Dokter Indonesia (SKDI) yaitu pada interpretasi pemeriksaan radiologi tertentu, seperti X-ray yang seharusnya menjadi keterampilan dengan tingkat kemampuan 4A yang mana dapat dilakukan secara mandiri oleh dokter umum, dimana SKDI tersebut merupakan standar yang juga mengacu pada UU No. 29 Tahun 2004. Selain itu jika melihat dari perkonsil masing masing bidang spesialis, beberapa keterampilan klinis radiologi juga menjadi hal yang dikuasai dalam mengetahui dan melakukan keterampilan tersebut.
Pelayanan Radiologi Klinik pada Fasilitas Pelayanan Kesehatan, diatur dalam Permenkes No. 24 Tahun 2020 harus memiliki Organisasi Pelayanan Radiologi Klinik yang dapat berupa departemen, instalasi, unit, atau bagian yang disesuaikan dengan kebutuhan, ketersediaan sumber daya, dan struktur organisasi Fasilitas Pelayanan Kesehatan induknya. Penulis memahami bahwa Permenkes No. 24 Tahun 2020 dapat ditafsirkan hanya mengatur bagaimana Pelayanan Radiologi Klinik di Organisasi Pelayanan Radiologi Klinik sebuah fasilitas pelayanan kesehatan, namun dijelaskan di dalam pasal yang sama dengan Bab VI Pasal 21 yang mengatur Organisasi Pelayanan Radiologi Klinik bahwa staf medis radiologi dalam Organisasi Pelayanan Radiologi Klinik mencakup dokter spesialis radiologi atau dokter lain yang terlatih. Penulis juga memahami bahwa dokter akan menjadi terlatih dalam proses pendidikan sarjana kedokteran dan kedokteran gigi, proses pendidikan profesi dokter dan dokter gigi serta program pendidikan dokter spesialis dan dokter gigi spesialis.
Pelayanan dan perawatan kedokteran gigi sangat berkaitan dan membutuhkan proyeksi radiografi. Radiografi menjadi salah satu pemeriksaan penunjang utama yang dipakai dalam interpretasi diagnostik maupun perawatan. Hampir semua sub bidang di kedokteran gigi membutuhkan pemeriksaan radiologi. Salah satu contohnya adalah Perawatan Saluran Akar (PSA) gigi. Pada kasus gigi berlubang yang membutuhkan perawatan PSA, pembuatan serta interpretasi radiografi dilakukan pada saat sebelum, selama dan sesudah perawatan. Selama pengerjaan atau tindakan perawatan saluran akar, dokter gigi melakukan evaluasi pemasukan alat, pembersihan hingga pemasukan bahan pengisi. Evaluasi tumpatan atau tambalan pada sisi proksimal atau samping gigi pun juga membutuhkan evaluasi menggunakan radiograf. Evaluasi radiografi ini berfungsi untuk melihat hasil tumpatan agar mencegah adanya tambalan yang kurang (underfilled) ataupun berlebih dan mengemper (overhanging) yang dapat mengakibatkan tambalan mudah rusak atau gigitan menjadi tidak baik.
Pada beberapa kasus ekstraksi atau pencabutan gigi, biasanya dibutuhkan pemeriksaan penunjang radiografi ekstraoral panoramik dan pada kasus persiapan perawatan ortodonti juga dibutuhkan
pemeriksaan penunjang berupa radiografi cephalometri. Hal ini menunjukan pentingnya pencitraan dalam pelayanan kedokteran gigi.
Di dalam Permenkes No. 24 Tahun 2020 tentang Pelayanan Radiologi Klinik terdapat standar baru dalam pelayanan radiologi yang mengharuskan pelayanan radiologi klinik hanya boleh dilakukan oleh dokter spesialis radiologi atau dokter dan dokter spesialis lain dengan kewenangan khusus dibuktikan dengan sertifikasi oleh kolegium radiologi. Beban kerja dan kebutuhan akan pelayanan radiologi yang sangat tinggi tentu menjadi tidak proporsional bilamana hanya dibebankan pada dokter spesialis radiologi yang tersedia di Indonesia dengan jumlah yang belum memadai. Belum lagi banyaknya prosedur kedokteran gigi yang membutuhkan pemeriksaan radiografi lebih dari satu kali tentunya akan membuat alur pelayanan semakin rumit. Padahal sebelumnya dokter gigi bisa melakukan pelayanan radiologi klinik tanpa harus merujuk ataupun melakukan konsul selama dalam batas kompetensinya. Dampaknya jelas akan membuat prosedur perawatan menjadi tidak efisien. Hal ini tentu akan menyebabkan ketidaknyamanan dan merugikan dari sisi pasien maupun dokter gigi sebagai operator.
Di Indonesia sendiri berdasarkan data terbaru yang dikeluarkan oleh PDGI, terdapat setidaknya 53 orang dokter gigi spesialis radiologi kedokteran gigi. Namun sayangnya, di dalam Permenkes No. 24 tahun 2020 juga tidak sama sekali menyebutkan ataupun mengatur mengenai keberadaan dokter gigi spesialis radiologi kedokteran gigi. Padahal sebagaimana yang tertulis dalam surat permohonan PDGI terkait peraturan ini; “Dokter Gigi Spesialis Radiologi Kedokteran Gigi adalah spesialis yang pendidikan maupun profesinya telah diakui oleh pemerintah. Spesialis ini memiliki kompetensi untuk memberikan pelayanan radiologi lanjut kedokteran gigi seperti Panoramic, Cephalometri, dan Cone Beam Computed Tomography.” Maka seharusnya Spesialis Radiologi Kedokteran Gigi juga turut diatur dalam Permenkes No. 24 Tahun 2020 tentang Pelayanan Radiologi Klinik supaya masyarakat dapat terlayani oleh tenaga yang memiliki kompetensi khusus, sementara itu Dokter Gigi Spesialis Radiologi Kedokteran Gigi termasuk dalam kelompok dokter lain yang membutuhkan kewenangan khusus dibuktikan dengan sertifikasi dari Kolegium Radiologi Klinik Indonesia.
Dalam fasilitas pelayanan kesehatan, beberapa dokter spesialis lain dan dokter gigi spesialis; selain spesialis dokter radiologi memiliki standar kompetensi untuk melakukan keterampilan radiologi, diantaranya kebidanan dan kandungan, ortopedi, onkologi radiasi, jantung pembuluh darah dan dokter gigi spesialis radiologi kedokteran gigi. Standar keterampilan ini diatur dalam Perkonsil KKI masing-masing spesialistik. Sehingga, ketika dokter spesialis terkait dinyatakan lulus Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS), maka sudah sepatutnya memenuhi standar kompetensi keterampilan radiologi sesuai bidangnya, sehingga tidak perlu lagi sertifikasi dari Kolegium Radiologi Klinik Indonesia. Berikut dibawah ini adalah beberapa salinan gambar dari standar kompetensi keterampilan radiologi sesuai bidangnya.
Gambar 1. Salinan gambar standar kompetensi radiologi pada Dokter Spesialis Ortopedi
Gambar 2. Salinan gambar standar kompetensi radiologi pada Dokter Spesialis Jantung dan Pembuluh Darah

Gambar 3. Salinan gambar standar kompetensi radiologi pada Dokter Spesialis Paru

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi memang tidak bisa dipungkiri adanya dan pesatnya. Namun, selama beberapa tahun kebelakang tidak ada bentuk perkembangan ilmu pengetahuan maupun teknologi yang mengharuskan pembaharuan ‘total’ terkait ilmu pengetahuan maupun pemanfaatan modalitas pengion dan non-pengion dalam memberikan pelayanan radiologi klinik. Apalagi dengan terbatasnya fasilitas radiologi klinik di indonesia, maka dapat dipastikan bahwa alat yang digunakan di Indonesia kurang lebih sama dan masih mengacu pada ilmu pengetahuan yang selama ini digunakan. Kalaupun ada perubahan semacam itu, yang seharusnya diperbaharui adalah kompetensi pelaksanaan radiologi klinik di setiap kolegium kedokteran spesialis, termasuk di kolegium spesialis radiologi klinik itu sendiri. Namun, disini tanpa latar belakang yang jelas kewenangan kompetensi prosedural radiologi klinik diserahkan kepada salah satu kolegium padahal masih ada himpunan antar kolegium diatasnya. Dari sini perlu dipertanyakan motif dibalik adanya peraturan ini.
Sekiranya Permenkes No. 24 Tahun 2020 hanya mengatur pelayanan radiologi klinik dalam sebuah instalasi radiologi, hal tersebut dapat diperjelas sehingga tidak berpotensi mempengaruhi kesejawatan dan pelayanan kesehatan di fasilitas pelayanan kesehatan di luar instalasi radiologi.
Kewenangan Kelembagaan dalam Memberikan Sertifikasi Disusun oleh Himpunan Mahasiswa Kedokteran Umum Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, dan Persatuan Senat Mahasiswa Kedokteran Gigi Indonesia dengan penyesuaian
Hal pertama yang perlu diperhatikan dalam PMK 24 tahun 2020 adalah mengenai urgensi kewenangan khusus dari Kolegium Radiologi Klinik Indonesia. Di dalam Permenkes No. 24 Tahun 2020 disebutkan pelayanan radiologi klinik harus dilakukan oleh dokter spesialis radiologi. Padahal dalam standar kompetensi dokter gigi juga mencakup kompetensi dasar dalam bidang pencitraan hingga interpretasi radiografik intraoral maupun ekstra oral terutama pada regio kepala dan leher. Beberapa cakupan kompetensi radiologi kedokteran gigi secara umum diantaranya yaitu; menentukan pemeriksaan penunjang radiologi intra oral dan ekstra oral yang dibutuhkan (C4, P4, A4), menghasilkan radiograf dengan alat foto, sinar X intraoral (C3, P3, A3) dan menginterpretasikan hasil pemeriksaan radiologi intra oral dan ekstra oral secara umum (C4, P3, A3). Untuk bisa lulus sebagai dokter gigi, selama masa pendidikan sarjana hingga profesi kompetensi ini diberikan lewat berbagai pendekatan teori dan praktik serta evaluasi salah satunya lewat penyelesaian requirements kompetensi radiologi kedokteran gigi. Kompetensi ini sesuai dengan kebutuhan pemahaman dokter gigi dalam menunjang kinerjanya menangani pasien dalam melakukan diagnosis, perawatan hingga evaluasi dalam bidang kedokteran gigi.
Hal ini sebagaimana juga disampaikan dalam Surat Permohonan yang disampaikan oleh PDGI dimana dalam poin satu berbunyi, “Dokter Gigi / Dokter Gigi Spesialis pada saat menegakan diagnosis, maupun keperluan data DVI yang harus ada dalam odontogram rekam medis serta melakukan tindakan kedokteran gigi, membutuhkan pelayanan radiologi, bukan hanya dalam bentuk rujukan tetapi juga yang harus dilakukan langsung di tempat praktek Dokter Gigi / Dokter Gigi Spesialis itu sendiri seperti pada tindakan Perawatan Saluran Akar, dan lain-lainnya. Untuk itu Dokter Gigi / Dokter Gigi Spesialis pada saat pendidikan profesi telah dibekali kompetensi terbatas di bidang radiologi.” Pada bagian ketiga pasal 11 mengenai Sumber Daya, pada ayat 2 pun juga tidak menyebutkan dokter gigi maupun dokter gigi spesialis yang menunjukan tidak adanya sama sekali ruang bagi dokter gigi untuk melakukan pelayanan radiologi klinik. Padahal seperti yang disebutkan di atas bahwa pelayanan radiologi kedokteran gigi secara terbatas juga merupakan kompetensi dari dokter gigi. Maka Permenkes ini secara konseptual bersimpangan dengan sistem pendidikan dan pelayanan yang ada.
Pada Permenkes No. 24 Tahun 2020 tentang Pelayanan Radiologi Klinik terutama pada pasal 11 disebutkan bahwa pada pelayanan radiologi klinik tingkat pratama terdiri atas dokter spesialis radiologi, radiographer, petugas proteksi radiasi dan tenaga administrasi. Namun apabila pada suatu layanan fasilitas kesehatan tingkat pratama ini belum memiliki dokter spesialis radiologi, maka dokter atau dokter spesialis lain dengan kewenangan tambahan dapat memberikan layanan. Kewenangan ini adalah untuk mendapatkan pelatihan kompetensi terbatas yang dibuktikan dengan adanya sertifikat dari Kolegium Radiologi Klinik Indonesia. Ditambah, dokter atau dokter spesialis
lain ini setelah mendapatkan pelatihan kompetensi terbatas juga harus mendapatkan supervisi dari dokter spesialis radiologi, juga terkait dengan penerbitan ekspertisenya. Untuk layanan radiologi tingkat madya, utama, dan pratama hanya bisa dilakukan oleh dokter spesialis radiologi saja.
Permenkes ini memang tidak mengatur secara langsung terkait pencabutan kompetensi dokter non radiologi, akan tetapi pada peraturan ini mengatur bahwa pemberian kompetensi hanya diberikan pada dokter spesialis radiologi saja. Hal ini sama dengan telah mencabut kompetensi dari dokterdokter non radiologi. Padahal menurut UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran pasal 8, pengesahan standar kompetensi dokter dan dokter gigi merupakan wewenang dari KKI. Lalu sebagaimana diatur dalam pasal 28 ayat (1), untuk penyusunan standar kompetensi ini dilakukan oleh asosiasi institusi pendidikan kedokteran dan asosiasi pendidikan kedokteran gigi serta kolegium kedokteran dan kolegium kedokteran gigi. Bukan oleh Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Sehingga Permenkes No. 24 Tahun 2020 bila mengatur pelayanan radiologi di sebuah fasilitas pelayanan kesehatan di luar konteks instalasi radiologi saja, dapat dinyatakan telah menyimpang dari peraturan UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.
Seperti yang telah dijelaskan pada paragraf sebelumnya, pada Permenkes ini pada pasal 11 ayat 3 disebutkan bahwa kewenangan tambahan yang diberikan kepada dokter atau dokter spesialis lain terlebih dahulu melalui pelatihan untuk mendapatkan kompetensi terbatas sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, dan dibuktikan dengan sertifikat dari kolegium radiologi yang bertanggung jawab.
Permenkes ini secara tidak langsung berarti merubah standar kompetensi dokter yang telah disahkan oleh KKI. Padahal, KKI merupakan “jembatan” antara Kementerian Kesehatan sebagai pengguna dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sebagai pencetak dokter dan dokter gigi. Tugas, fungsi dan wewenang KKI bersifat utuh, dari hulu (pendidikan) sampai dengan hilir (pembinaan praktik kedokteran). Seharusnya jika ada perubahan kompetensi dokter, KKI lah yang lebih berwenang karena KKI lebih dekat dengan dunia pendidikan. Sehingga Permenkes No. 24 Tahun 2020 bila mengatur pelayanan radiologi diluar organisasi pelayanan radiologi klinik (seperti departemen, instalasi, dan lainnya) berpotensi memberikan gangguan untuk dunia pendidikan dokter, baik dokter umum hingga dokter spesialis.
KKI merupakan badan yang dilahirkan dengan UU Nomor 24 Tahun 2009. Dengan keberadaan KKI, saat ini Indonesia telah diterima dan diakui mengikuti kaidah yang universal dalam pembinaan profesi kedokteran, setidaknya di lingkup kawasan serta kelompok negara-negara persemakmuran yang menggunakan cara yang sama seperti di negara-negara jiran sekawasan, ASEAN.
Berkaca dari negara-negara tersebut, Konsil Kedokteran memiliki kewenangan yang utama dalam mengesahkan standar kompetensi dokter. Kewenangan ini adalah kewenangan sebuah konsil kedokteran di negara manapun. Misalnya di negara Singapura, Konsil Kedokteran yang bertugas untuk menentukan dan mengatur standar praktik dan kompetensi praktisi dokter. Jika kita
melangkah lebih jauh lagi, misalnya di New Zealand. Fungsi utama dari Medical Council of New Zealand adalah menetapkan standar kompetensi klinis hingga etika yang harus dimiliki dokter. Sehingga akan menyimpang apabila Kementrian Kesehatan yang mengatur kompetensi dari dokter, baik dokter umum hingga spesialis.
Permenkes No. 24 Tahun 2020 tentang Pelayanan Radiologi Klinik ini memerlukan pengkajian ulang terkait masalah yang menyangkut kompetensi dokter. Seharusnya dibutuhkan komunikasi yang lebih dengan KKI dan kolegium-kolegium kedokteran serta organisasi profesi apabila menyangkut perihal kompetensi dokter, agar dengan adanya peraturan yang baru ini tidak akan menimbulkan potensi kekacauan di dunia pendidikan baik yang sedang berlangsung atau di masa mendatang hingga dapat berdampak pada pelayanan kesehatan.
Kewenangan dalam Pelayanan Radiologi Disusun oleh Health Policy Studies Ikatan Senat Mahasiswa Kedokteran Indonesia Wilayah Tiga, dan Himpunan Mahasiswa Pendidikan Dokter Universitas Brawijaya dengan penyesuaian
Permenkes No. 24 Tahun 2020 bila mengatur pelayanan radiologi dalam suatu fasilitas pelayanan kesehatan berpotensi menimbulkan kekacauan dalam pelayanan kesehatan yang dampaknya pada masyarakat luas berupa keterlambatan dan menurunnya kualitas pelayanan serta dapat mengganggu layanan sekurang-kurangnya 16 bidang medis pada masyarakat. Dalam hal ini, masyarakat yang paling akan merasakan dampak dari Permenkes No. 24 Tahun 2020 ini karena layanan yang semestinya dijalankan oleh sekitar 25.000 dokter spesialis dari 16 bidang medis dan juga dokter umum, kini hanya akan dilayani oleh sekitar 1.578 dokter spesialis radiologi. Dampak ini juga akan berkelanjutan pada pendidikan kedokteran dan kedokteran gigi serta spesialisasi, dimana dapat terdapat perubahan dari standar pendidikan yang berlaku saat ini.
Pasal 11 dari Permenkes No. 24 Tahun 2020 menyatakan bahwa pelayanan radiologi klinik hanya dapat dilaksanakan oleh dokter spesialis radiologi atau mereka yang sudah mendapatkan kewenangan tambahan berupa sertifikasi dari Kolegium Radiologi Klinik Indonesia. Kewenangan ini dicapai melalui pelatihan tambahan. Selain itu, tindakan radiologi yang harus dilakukan di tempat dan pada waktu yang sama seperti USG dan terapi perawatan akar gigi sudah tidak dapat dilaksanakan lagi sehingga menghambat pemberian pelayanan tersebut kepada mereka yang membutuhkan. Benar adanya bahwa keberadaan suatu seorang dokter spesialis radiologi penting untuk memastikan pelayanan kesehatan yang aman bagi masyarakat, namun hal tersebut bukanlah cara yang paling sesuai dan bukan pula satu-satunya cara yang dapat diambil. Terlebih menimbang beberapa hal diantaranya adalah (1) keterbatasan sumber daya dokter spesialis radiologi justru menghambat berjalannya pemberian pelayanan kesehatan bagi masyarakat serta menurunkan kualitasnya, (2) kompetensi terbatas yang diperlukan untuk memberikan pelayanan radiologi yang aman dan nyaman sudah dimiliki oleh dokter spesialis lainnya yang sebelumnya berwenang untuk melaksanakan pelayanan radiologi melalui pendidikan spesialisnya, (3) kompetensi beberapa spesialisasi yang berbeda dengan kompetensi dokter spesialis radiologi, contohnya dokter gigi spesialis radiologi kedokteran gigi, dokter spesialis onkologi radiasi, dan dokter spesialis jantung dan pembuluh darah belum diatur dalam Permenkes ini. Melalui pertimbangan pertimbangan di atas, alangkah lebih baiknya, apabila peraturan disempurnakan terlebih dahulu disesuaikan dengan kenyataan yang ada di lapangan atau dipastikan konteksnya berlaku terbatas di dalam sebuah instalasi radiologi. Banyaknya ketidaksesuaian ini menunjukkan bahwa peraturan ini masih harus disempurnakan. Faktanya, memang, ternyata belum ditempuh jalur musyawarah untuk mencapai mufakat dengan pihak-pihak yang terkait secara langsung maupun tidak langsung dalam menyusun peraturan ini,
"Sebuah peraturan itu kadang-kadang sebelum dikeluarkan perlu ada harmonisasi. Ini (Permenkes 24 tahun 2020) harmonisasi tidak pernah dilakukan, tiba-tiba keluar begitu saja," kata Ketua MPPK Pudjo Hartono dalam konferensi pers virtual pada Rabu (7/10/2020).
Selama masa pandemi COVID-19 ini, kebutuhan akan pelayanan radiologi klinik kini terus meningkat beriringan dengan perkembangan kasus kejadian COVID-19. Sumber daya dalam pelayanan radiologi perlu dimanfaatkan semaksimal mungkin sehingga dapat berfokus pada apa yang masyarakat benar benar butuhkan. Dengan ditetapkannya Permenkes No. 24 Tahun 2020 ini dan bila konteksnya mempengaruhi seluruh bagian dari sebuah fasilitas pelayanan kesehatan (tidak terbatas pada instalasi radiologi saja), dokter spesialis radiologi mendapat lebih banyak tanggung jawab yang sebenarnya juga dapat dilaksanakan dengan baik secara kolaboratif oleh dokter spesialis lainnya dan fokus pada bidangnya masing masing. Selain itu, tingginya angka kejadian kasus COVID-19 sendiri sudah merupakan tugas tambahan bagi pada dokter spesialis radiologi ini. Maka dari itu, pelaksanaan Permenkes No. 24 Tahun 2020, secara ‘keseluruhan’, tidak sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 780/MENKES/PER/VIII/2008 yang menyatakan bahwa Penyelenggaraan Pelayanan Radiologi perlu disesuaikan dengan perkembangan dan kebutuhan pelayanan kesehatan, kebutuhan hukum masyarakat, dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Bilamana Permenkes No. 24 Tahun 2020 ini memberikan peluang baru bagi dokter umum dan dokter spesialis lainnya memberikan pelayanan radiologi klinik di sebuah organisasi pelayanan radiologi klinik pada klinik pratama, sekiranya hal tersebut dapat diperjelas.
"Dampak ini juga akan berkelanjutan pada pendidikan kedokteran baik spesialis maupun dokter, di mana akan ada perubahan dari standar pendidikan yang berlaku saat ini. Sementara itu akan diperlukan perubahan pula pada standar pendidikan radiologi terkait dengan pelayanan klinik yang meliputi diagnostik dan terapi," tambah Ketua MPPK Pudjo Hartono