Debate: Apakah Quran Wahyu Tuhan?

Page 1

Baca-an serius buat yg serius rindu Kebenaran

DEBAT:

APAKAH QURAN WAHYU TUHAN?

Sebuah Analisa Historis


twitter: @islamexpose

The Leicester Debate: Jay Smith vs. Shabir Ally
 Yang Mana Sabda Tuhan: Injil atau Qur'an?

Inilah topik debat di Universitas Leicester University, 8 May 1998 oleh Jay Smith, apologis Kristen di London, dan Shabir Ally dari the Canadian Islamic Propagation Centre. Siapa Jay Smith? Dapat ditelusuri di link ini. Sekitar 600 siswa memenuhi The Rattray Lecture Theatre dengan banyak lagi berkumpul di pintu-pintu dan gang-gang sekitar ruang pertemuan. Dan ada sekitar 200 orang menonton lewat layar TV yg disediakan kampus. Para 'pakar' Liberal Meminjam materi 'pakar' Kristen Liberal, Shabir sebelumnya menyerang otentisitas Injil Perjanjian Baru; menunjuk pada tuduhan tambal sulam, tidak konsisten dalam manuskrip-manuskrip dan mengatakan bahwa beberapa buku (eg. 2 Peter) tidak ditulis oleh para apostle. Ia menggunakan karya-karya Bruce Metzger, emeritus professor of New Testament at Princeton theological Seminary, dan penulis ‘Manuscripts of the Greek Bible’. Saat debat berlangsung nampak jelas bahwa ia sekedar mengutip (copy-paste) dari Metzger, dan sebenarnya Bruce Metzger sendiri mengutip pendapat-pendapat dari penulis lain. Bukti Manuskrip Jay Smith memulai pembelaannya dengan resume dampak Injil terhadap sejarah dunia sebelum menguraikan dukungan Qur’an pada otoritas Injil dan membedakan bukti arkeologis dan manuskrip kedua kitab suci itu. Dalam diskusi, Qur’an kalah telak. Dalam balasannya, Shabir menekankan kembali point-pointnya terdahulu dan kemudian mengritik keras hukum-hukum Perjanjian Lama. Seperti juga

email: namasamaran@riseup.net

1


twitter: @islamexpose

di Birmingham ia tidak berupaya [baca: tidak mampu] membela historisitas Qur’an dan tradisi Islam. Pembalasan Jay menunjukkan fakta bahwa hingga kini para akademisi Muslim belum memiliki jawaban atas pertanyaan otentisitas historis Qurannya sendiri. Ia lalu menunjukkan sebuah buku berjudul ‘101 Penjelasan Atas Kontradiksi Dalam Injil’ menjawab buku Shabir yg tadinya disampaikan di Birmingham. Diskusi Berguna Setelah debat itu, beberapa siswa Muslim menghampiri Shabir dan bertanya mengapa ia tidak sanggup membela historisitas Qur’an. Jelas bahwa mereka menunggu jawaban yg ia tidak mampu berikan. Dua kelompok siswa Muslim dan siswa atheis mengucapkan selamat kepada Jay Smith. Buku ‘Penjelasan Atas Kontradiksi Dalam Alkitab (PL-PB)’ bisa didapatkan gratis via email: namasamaran@riseup.net Kritik historis Jay Smith terhadap Qur’an dan Hadis dibahas dalam isu Isa al Masih dalam judul ‘Problems With The Qur'an’.

email: namasamaran@riseup.net

2


twitter: @islamexpose

Debat Kedua;

vs. Jamal Badawi

"Is The Qur'an The Word of God?" BY JAY SMIthn

A: PENDAHULUAN Bulan Agustus 1995 saya diundang berdebat tentang topik, "Apakah Qur'an Adalah Firman Tuhan?" dengan Jamal Badawi. Debat ini berlangsung di Trinity College, Cambridge dan setelah tesis kami berdua disampaikan kepada hadirin, disediakan 1 jam bagi pertanyaan untuk hadirin Muslim maupun non-Muslim. Dibawah ini adalah isi tesis saya dalam debat itu. Karena tingginya perhatian pada topik ini, kami menempatkan tesis ini beserta dengan 10 tesis apologis lainnya dan beberapa sanggahan Muslim disini. --------------------------------Islam mengatakan bahwa Qur'an bukan saja wahyu dari Tuhan tetapi pengungkapan terakhir kepada umat manusia. Ini bisa dilihat dari klaim islam tentang quran sebagai "Ibu semua kitab" dalam Surah 43:2-4. Muslim bersikeras bahwa Qur'an adalah ungkapan pernyataan Tuhan paling akhir dan setiap kata dalam Quran sama persis dengan apa kata Allah. Kitab Quran yang asli disimpan di surga. Surah 85:21-22 mengatakan, "Nay this is a glorious Qur'an, (inscribed) in a tablet preserved." Para pakar Islam oleh karena itu mengatakan bahwa surah ini merujuk pada kitab Quran yang disimpan di surga dan oleh karena itu tidak pernah diciptakan. Qur'an yg tersebar di bumi adalah identik dengan yg disimpan di surga, bahkan sampai kepada tanda titik, judul dan pembagian bab. Persis sama! Menurut tradisi Muslim, wahyu-wahyu ini diturunkan (Tanzil atau Nazil), pada bagian langit ketujuh yg paling bawah pada bulan Ramadan, pada malam lailat al Qadari (Surah 17:85). Sejak itu wahyu-wahyu diturunkan

email: namasamaran@riseup.net

3


twitter: @islamexpose

pada Muhamad secara bertahap, sesuai kebutuhan, lewat Jibril (Surah 25:32). Jadi, setiap huruf bebas dari pengaruh manusia, sehingga menampakkan Qur'an sebagai suci, memiliki otoritas dan integritas. Pernyataan-pernyataan diatas tidak pernah terbukti benar. Karena orang selalu enggan untuk memaparkan pertanyaan tentang Qur'an dan Muhamad karena takut mengundang reaksi negatif. [Karena muslim memang alergi terhadap setiap pemikiran kritis. Makanya mayoritas masyarakatarakat muslim kagak pernah maju-maju sampe sekarang, tetep miskin, stupid dan terbelakang. Kalo mau pinter dan maju harus sekolah dan berguru ke orangorang ‘kafir’ di dunia Barat sana. Banyak yg meninggalkan negerinya sendiri untuk mendapatkan kehidupan yg lebih layak di negeri kafir. Tapi setelah hidup enak di negeri kafir, bukannya berterimaksih malah mau ngejadiin Barat sebagai negeri taklukan islam! Sungguh masyarakatarakat muslim yg tak tahu balas budi. Memang islam tak pernah mengajarkan orang untuk menjadi baik budi. -adm]. Baru sekarang, para pakar Islam sekuler menguji kembali sumber-sumber islam ini. Dan mereka menemukan bahwa Qur'an tidak diturunkan kepada satu orang, tetapi merupakan kumpulan atau pengeditan oleh sekelompok orang selama beberapa abad (Rippin 1985:155; dan 1990:3,25, 60). Jadi, Qur'an yg kita baca sekarang tidak sama dengan apa yg ada pada abad ke 7M. Kemungkinan merupakan hasil abad 8M dan 9M (Wansbrough 1977:160-163). Akibatnya, tahap pembentukan Islam, menurut mereka, tidak berlangsung pada masa Muhamad, namun berkembang selama 200300 tahun berikutnya setelah kematian nabi islam (Humphreys 1991:71, 8389). Sumber-sumber materi bagi periode ini sangat sedikit. Dan diluar Qur'an, semua sumber berusia jauh setelah abad 7. Sebelum tahun 750M kita tidak memiliki dokumen yg bisa diverifikasi yg bisa menjelaskan periode pembentukan Islam ini (Wansbrough 1978:58-59). Tidak ada satupun materi yg eksis guna membuktikan materi tradisi Islam ini. Dokumen berikutnya hanyalah mencontek dokumen-dokumen sebelumnya, yg tidak lagi eksis (kalau memang pernah eksis). [Crone 1987:225-226; Humphreys 1991:73]. Periode klasik ini (sekitar 800 AD) menggambarkan masa lalu tetapi dari sudut pandangnya sendiri, seperti orang dewasa menulis tentang masa kecilnya yg cenderung mengingat-ngingat hal yg manis-manis saja sehingga kesaksian ini bersifat tidak obyektif dan oleh karena itu tidak dapat diterima sebagai otentik (lihat studi Crone tentang problema tradisi, khususnya mereka yg tergantung cerita-cerita para penyair setempat di Mekah... 1987, pp.203-230 dan ‘Slaves on Horses’, 1980, pp.3-17).

email: namasamaran@riseup.net

4


twitter: @islamexpose

Akibatnya, jurang pendapat antara pakar sejarah dengan Muslim semakin besar: Muslim ortodox percaya penuh bahwa wahyu Islam adalah intervensi Ilahi lewat Jibril selama periode 22 thnn (610-632 A.D.), masa yg menetapkan hukum dan tradisi yg akhirnya membentuk Islam. Tetapi teori ini pula diragukan sejarawan sekuler karena ini mengasumsikan bahwa pada abad ke 7, Islam, sebuah agama yg terdiri dari hukum dan tradisi yg njelimet dibentuk dalam sebuah budaya nomad terbelakang dan berfungsi penuh dalam hanya 22 thnn. Wilayah Arabia sebelumnya tidak dikenal sebagai wilayah dunia beradab. Periode ini bahkan dicap sebagai periode Jahiliyah (period keterbelakangan). Wilayah Arabia sebelum Muhamad tidak memiliki budaya maju, apalagi infrastruktur yg diperlukan untuk menciptakan keadaan yg mendukung pembentukan Islam (Rippin 1990:3-4). Jadi, bagaimana Islam diciptakan secepat dan serapih itu? dalam lingkungan padang pasir yg terbelakang? Muncullah kelompok-kelompok pakar sejarah baru tentang Islam, seperti dari. John Wansbrough, Michael Cook [dari SOAS, London], Patricia Crone dari Oxford - Cambridge, Yehuda Nevo dari University of Jerusalem, Andariew Rippin dari Canada, dll. Tulisan saya ini didasarkan atas studi mereka guna dapat mengerti asal-usul Qur'an. Ini merupakan materi yg perlu dihadapi para apologis Muslim dengan serius karena kebanyakan data mereka meragukan claim-claim para pakar Muslim tradisonal tentang Qur'an dan Muhamad. Mari kita mulai. B: PROBLEMA dengan TRADISI-TRADISI ISLAM B1: SUMBER-SUMBER ISLAM Semua studi tentang Quran harus dimulai dengan masalah sumber-sumber primer dan sumber-sumber sekunder. Sumber-sumber primer adalah materi yg paling dekat pada peristiwa yang bersangkutan. Sumber sekunder hanya menyangkut materi akhir-akhir ini, dan tergantung sumber-sumber primer. Dalam Islam, sumber-sumber primer yg kita miliki adalah 150-300 thnn setelah peristiwa yang bersangkutan, dan oleh karena itu cukup jauh dari peristiwa tersebut (Nevo 1994:108; Wansbrough 1978:119; Crone 1987:204).

email: namasamaran@riseup.net

5


twitter: @islamexpose

Oleh karena itu, sumber-sumber sekunder, tergantung dari materi lain, kebanyakan tidak lagi eksis. Sumber-sumber pertama dan terbesar adalah "tradisi Muslim atau Islam." Tradisi Muslim merupakan tulisan-tulisan yg disusun Muslim pada abad ke 810M tentang apa yg dikatakan dan dilakukan Muhamad pada abad 7M serta komentar-komentar tentang Qur'an. Ini merupakan materi yang paling luas yg pernah kita miliki tentang masa dini Islam. Tradisi-tradisi ini juga ditulis secara lebih mendetil, mencakup tanggal-tanggal dan keterangan tentang apa yg terjadi. Mereka merupakan pelengkap Qur'an. Qur'an sendiri sulit diikuti, membingungkan pembaca karena meloncat dari cerita yang satu ke cerita yang lain, dengan sedikit narasi latar belakang ataupun penjelasan, oleh karena itulah diperlukan Tradisi karena mereka menambahkan detil-detil yg hilang. Dalam beberapa hal tertentu, Tradisi lebih kuat ketimbang Qur'an. Contoh, saat Qur'an menyebut tentang tiga kali sholat (surah 11:114; 17:78-79; 30:17-18 dan 24:5, sementara Tradisi menyebut lima kali sholat, yg kemudian diterima Muslim. (Glasse 1991:381). Para pengarang Tradisi ini bukan penulis, melainkan pengumpul dan editor yg mengumpulkan informasi yg disampaikan kepada mereka dan lalu mereproduksinya. Ada banyak pengumpul informasi, tetapi empat orang dianggap yg paling otoritatif oleh Muslim dan kesemuanya mengumpulkan materi mereka antara thnn 750-923 AD. (atau 120-290 tahun setelah kematian Muhamad). Sirat Rasulullah adalah kesaksian tentang kehidupan tradisonal nabi (termasuk berbagai pertempurannya). Yang paling komprehensif ditulis oleh Ibn Ishaq (w. 765 AD), walau tidak ada satupun manuskripnya eksis di jaman ini. Akibatnya, kita tergantung Sirat-nya Ibn Hisham (wafat 833 AD), yg katanya diambil dari Ibn Ishaq, meski, menurut pengakuannya sendiri (menurut riset Patricia Crone) ia menghindari topik-topik yg dianggap rawan, seperti hal-hal yg dianggapnya keterlaluan, dan hal-hal yg tidak dapat ia percaya. (Crone 1980:6). Hadis adalah ribuan laporan pendek atau narasi (akhbar) tentang perkataan dan kelakuan muhammad yg dikumpulkan Muslim di abad 9-10M. Yang paling terkenal adalah koleksi hadis al-Bukhari (w. 870 AD) dan dianggap para muslim sebagai yg paling otoritatif. Ta'rikh adalah sejarah atau kronologi kehidupan sang ‘nabi,’ yg paling terkenal ditulis oleh al-Tabari (w. 923 AD) pada permulaan abad ke 10M. Tafsir adalah komentar dan exegesis

email: namasamaran@riseup.net

6


twitter: @islamexpose

tentang Qur'an, bahasa dan konteks; yang paling terkenal ditulis al-Tabari (w. 923 AD). B2: TANGGAL-TANGGAL TERLAMBAT Nah, pertanyaan pertama adalah, mengapa tradisi-tradisi diatas ini ditulis begitu terlambat? 150-300 tahun setelah kejadian? “Kita tidak memiliki satupun kesaksian dari masyarakatarakat Islam selama 150 tahun pertama, antara invasi-invasi Arab pertama [permulaan abad ke 7] dan timbulnya naratif-naratif sira-maghazi dari literatur Islam paling dini” [menuju abad ke8]. (Wansbrough 1978:119). Masa’ tidak ada sedikitpun bukti-bukti atas perkembangan tradisi kuno Arab menuju Islam selama 150 thnn itu? Faktanya memang, kita tidak temukan apa-apa! (Nevo 1994:108; Crone 1980:5) Muslim ada yg tidak setuju dan bersikeras bahwa ada bukti tradisi-tradisi yg lebih dini, khususnya dari Muwatta oleh Malik ibn Anas (lahir thnn 712M dan wafat 795M). Norman Calder dalam bukunya ‘Studies in Early Muslim Jurisprudence’ tidak setuju dengan tanggal dini itu dan mempertanyakan apakah karya-karya itu bisa diatribusikan kepada para pengarangpengarang dini. Katanya, kebanyakan teks jaman itu merupakan "teks-teks sekolah," ditransmisikan dan dikembangkan selama beberapa generasi dan dalam bentuk yg jelas jauh lebih modern dari pada jaman ‘pengarangpengarang asli.’ Setelah adanya asumsi bahwa hukum Shafi'i (yg menuntut bahwa semua hadis dicari sumbernya ke Muhamad) hanya berlaku sesudah thn 820, ia menyimpulkan bahwa karena Mudawwana sama sekali tidak menyinggung otoritas kenabian Muhamad (padahal Muwatta melakukannya), ini berarti bahwa Muwatta pastilah dokumen paling akhir. Akibatnya, Calder menempatkan Muwatta tidak sebelum thn 795, tetapi setelah ditulisnya Mudawwana pada thn 854. Malah Calder menempatkan Muwatta bukan di abad ke 7 tapi ke abad 11 di Cordoba, Spanyol (Calder 1993). Kalau memang ia benar, maka kita memang tidak memiliki bukti apapun tentang tradisi dari masa permulaan Islam. Humphreys mengatakan, "Muslimin, kami asumsikan, pastilah sangat berhati-hati dalam mencatat prestasi spektakuler mereka, sementara masyarakat yg mereka jajah, yg jauh lebih berpendidikan dan beradab, pasti sulit mengerti nasib apa yg menimpa mereka." (Humphreys 1991:69) Namun menurut Humphreys, semua yg kita temukan dari periode dini ini

email: namasamaran@riseup.net

7


twitter: @islamexpose

adalah sumber-sumber yg , "entah terpecah-pecah (fragmented) atau mewakili perspektif yg sangat spesifik atau bahkan eksentrik," sehingga menjadikan sulit untuk merekonstruksi abad pertama Islam secara memadai (Humphreys 1991:69). Pertanyaannya, oleh karena itu, dari mana para penyusun abad ke 8 dan 9M mendapatkan materi mereka? Jawabannya? Kita tidak tahu! "Bukti atas dokumentasi sebelum 750 AD terdiri dari hampir seluruhnya kutipan-kutipan meragukan yg tercatat dalam kompilasi abad berikutnya." (Humphreys 1991:80) KESIMPULAN, tidak adanya bukti yg meyakinkan bahwa Tradisi atau bahkan Qur'an memang berbicara secara jujur tentang kehidupan Muhamad (Schacht 1949:143-154). Kita diminta untuk percaya bahwa dokumendokumen ini, yg tertulis ratusan tahun dianggap akurat, walau tidak dibarengi dengan bukti diluar Isnad, yg tidak lebih dari daftar nama-nama mereka yg menurunkan tradisi-tradisi ini. Bahkan Isnad tidak didukung oleh dokumen yg bisa membuktikan otentisitas mereka! (Humphreys 1991:8183). Lebih jelas tentang Isnad, di akhir paper ini. B2a: TULISAN Muslim membela diri dengan mengatakan bahwa tanggal-tanggal terlambat dari sumber-sumber primer itu dikarenakan tradisi tulisan dalam kawasan terisolasi itu pada jaman itu belum ada. Ini jelas omong kosong karena tradisi menulis diatas kertas sudah dimulai jauh sebelum abad ke 7. Kertas tulis diciptakan di abad ke empat dan digunakan secara luas di dunia beradab setelah itu. Dinasti Persia, Umayyad, bermarkas di Syria, daerah yg tadinya Kristen Byzantin dan BUKAN Arab. Mereka merupakan budaya maju yg menggunakan sekretaris dalam istana-istana Kalifah, dan membuktikan bahwa penulisan manuskrip sudah dikembangkan disitu. Dikatakan bahwa jazirah Arab (atau dikenal sebagai Hijaz) di abad ke 7 dan sebelumnya merupakan daerah perdagangan dengan karavan-karavan melewati rute-rute utara-selatan dan mungkin timur-barat. Walau buktibukti menunjukkan bahwa perdagangan sebagian besar bersifat lokal (akan didiskusikan nanti), tradisi karavan memang sudah ada. bagaimana para pemilik karavan mencatat harga-harga dagangan mereka? dengan menghafal angka-angka?! Dan akhirnya, kita harus bertanya, BAGAIMANA KITA BISA MENDAPATKAN QURAN, KALAU TIDAK ADA ORANG SAAT ITU YG BISA MENULIS DI ATAS KERTAS?!? Muslimin bersikeras bahwa eksistensi sejumlah kodifikasi Quran ada tidak lama setelah wafatnya Muhamad, seperti miliknya Abdullah ibn

email: namasamaran@riseup.net

8


twitter: @islamexpose

Mas'ud, Abu Musa, dan Ubayy b. Ka'b (Pearson 1986:406). Apa kodekskodeks itu kalau bukan dokumen tertulis? Teks Usman sendiri harus ditulis, kalau tidak maka tidak akan disebut TEKS! Teknologi menulis diatas kertas sudah ada, tetapi karena alasan tertentu, tidak ada data-data yg membuktikan adanya dokumen-dokumen sebelum 750 AD. B2b: UMUR Pakar Muslim juga ada yg mengatakan bahwa alasan tidak adanya dokumen dini itu adalah karena usia tua! Bahan penulisan sumber-sumber primer itu entah rapuh karena usia atau karena manusia tidak hati-hati dalam menanganinya dan oleh karena itulah lumrah kalau mereka hancur. Argumen ini agak aneh. The British Library saja memiliki ribuan dokumen yg ditulis oleh masyarakat yg hidup di sekitar jazirah Arab, Timur tengah dan jauh lebih dini dari masa islam. Yg dipertontonkan adalah manuskripmanuskrip Perjanjian Baru seperti Codex Syniaticus dan Codex Alexandariinus, keduanya ditulis di abad ke 4, atau 300-400 tahun sebelum periode Muhamad! Kok mereka tidak rapuh karena usia?! Argumen tak ada dokumen karena usia tua ala Muslim ini lemah menyangkut Qur'an itu sendiri. "Teks Usman" Qur'an (kodeks final yg dianggap disusun oleh Zaid ibn thnabit, dibawah pengawasan kalif ketiga, Usman) dianggap Muslimin sebagai literatur yg paling penting yg pernah ditulis. Seperti yg kami sebutkan sebelumnya, menurut Surah 43:2-4, Quran adalah "ibu segala buku." Keunikannya adalah karena Quran ini adalah duplikat persis dari "kalam abadi" yg eksis di surga (Surah 85:22). Tradisi Muslim mengatakan bahwa semua kodeks dan manuskrip yg bersaingan dengannya DIHANCURKAN setelah 646-650. Bahkan "copy Hafsah," dari mana resensi final diambil telah DIBAKAR. Kalau teks Usman ini begitu penting, MENGAPA OH MENGAPA TIDAK DITULIS PADA KERTAS, atau pada bahan lain yg bisa awet sampai sekarang? Kalau memang manuskrip-manuskrip dini rapuh karena usia, mengapa mereka tidak diganti dengan tulisan-tulisan pada kulit binatang, seperti dokumen-dokumen kuno lainnya --yg lebih tua dari eksistensi islam-- sampai sekarang masih eksis? Kita tidak memiliki bukti absolut apapun tentang teks asal Qur'anic (Schimmel 1984:4). Kita juga tidak memiliki ke-empat copy yg dibuat dari resensi ini dan dikirim ke Mekah, Medinah, Basra dan Damascus (lihat argumen Gilchrist dalam bukunya “Jam' al-Qur'an”, 1989, pp.140-154, dan juga “The Quran” tulisan Ling & Safadi, 1976, pp.11-17).

email: namasamaran@riseup.net

9


twitter: @islamexpose

Bahkan kalau copy-copy ini rapuh karena usia, mana mungkin tidak ada sedikitpun bekas-bekas fragmen yg dapat kita jadikan bahan rujukan? Pada akhir abad ke 6, Islam meluas sampai Afrika Utara dan Spanyol dan bahkan sampai ke India. Qur'an merupakan buku suci para penjajah Muslim itu. Nah, kalau memang begitu, pastilah ada dokumen-dokumen ataupun manuskrip Qur'an yang masih eksis sampai hari ini. Nyatanya, tidak ada apapun yg tersisa dari periode itu! Sementara itu, Perjanjian Baru milik Kristen dapat dibuktikan oleh lebih dari 5300 manuskrip Yunani, 10.000 Latin Vulgates dan paling tidak 9300 versi dini, sehingga total manuskrip kuno Perjanjian Baru mencapai lebih dari 24.000 manuskrip YANG MASIH EKSIS (McDowell 1990:43-55), kebanyakan ditulis antara 25-400 tahun setelah masa penyaliban Kristus (McDowell 1972:39-49). Tetapi ISLAM TIDAK DAPAT MENUNJUKKAN SATU MANUSKRIPpun sebelum abad ke DELAPAN! (Lings & Safadi 1976:17; Schimmel 1984:4-6). Dokumen Injil Kristen yg umurnya jauh ratusan thn sebelum quran masih eksis, tapi dokumen/manuskrip quran yg umurnya lebih muda – yg seharusnya msh ada -- raib entah kmana. Lalu bagaimana kita membuktikan bahwa quran itu otentik? Kalau Kristen, bisa menyimpan puluhan-ribu manuskrip kuno dan semuanya ditulis jauh sebelum abad ke 7, pada saat KERTAS BELUM DICIPTAKAN, sampai harus menulis pada papirus yg akhirnya juga rapuh tetapi dicatat kembali lagi secara berulang-ulang, mengapa Muslim tidak mampu menunjukkan satu manuskrip apapun dari abad Quran dikatakan, ‘diturunkan’?! Jadi, argumen bahwa quran-quran kuno rapuh dimakan rayap adalah alasan yg dicari-cari. B2c: MANUSKRIP Muslim masih ngotot juga dan mengatakan bahwa mereka toh memiliki ‘resensi Usmani’ ini berupa copy-copy orijinal dari abad ke 7. Ada Muslim yg mengatakan copy-copy asli itu disimpan di Mekah, Kairo dan hampir di setiap kota kuno yg dijajah Islam. Tapi kalau saya meminta data yg bisa membuktikan usia manuskrip-manuskrip itu, (mengingat sekarang hal itu bisa dilakukan dengan teknik ‘carbon-dating’) ternyata manuskrip-manuskrip tersebut belum pernah diuji usianya. Muslim hingga kini tidak berani melakukan verifikasi usia dokumen dengan metode Carbon-dating pada manuskrip Usmani. Memang ada dua dokumen yg bisa dipercaya dan sering dirujuk Muslim. Ini dinamakan dengan manuskrip Samarkand, yg disimpan di Perpustakaan Soviet di Tashkent, Uzbekistan (bagian selatan ex Uni Soviet), dan manuskrip Topkapi, yg berada Museum Topkapi di Istanbul, Turki. Kedua

email: namasamaran@riseup.net

10


twitter: @islamexpose

dokumen ini memang tua, dan sudah banyak dianalisa secara etimologis dan paleografis oleh para skriptologis dan ahli kaligrafi Arab. MANUSKRIP SAMARKAND – diambil dari ‘Jam' al-Qur'an’-nya Gilchrist 1989, pp. 148-150: Manuskrip Samarkand bukan dokumen komplet. Malah, dari 114 surah yg ditemukan di Qur'an sekarang, hanya surah-surah 2-43 yg termasuk didalamnya. Dari surah-surah ini pun kebanyakan teks hilang. Inskripsi teks codex Samarkand ini menawarakan masalah karena tidak reguler. Ada halaman-halaman yg ditulis secara rapi dan seragam, sementara ada yg tidak rapi dan tidak seimbang (Gilchrist 1989:139 and 154). Di beberapa halaman, teks itu sangat ekspansif, sementara di halaman-halaman lain teksnya berjejalan dan padat. Kadang, huruf Arab KAF dikecualikan dari teks, sementara ditempat lain, huruf itu tidak hanya diperluas tetapi malah merupakan huruf dominan di teks yang bersangkutan. Karena kebanyakan halaman-halaman manuskrip begitu berbeda satu sama lain, asumsinya adalah bahwa manuskrip Samarkand tersebut merupakan kumpulan teks dari manuskrip-manuskrip yg berbeda (Gilchrist 1989:150). Bahkan dalam satu teks bisa ditemukan iluminasi artistic antara sesama surah, biasanya dalam bentuk barisan kotak-kotak berwarna dan 151 medali merah, hijau, biru dan oranye. Iluminasi ini menunjukkan kepada para skriptologis bahwa kodex itu berasal dari abad ke SEMBILAN, karena hiasanhiasan ornamen macam itu sudah pasti bukan praktek manuskrip jaman Usman abad ke 7 yg kemudian dibagi-bagikannya ke provinsi-provinsi jajahan Islam (Lings & Safadi 1976:17-20; Gilchrist 1989:151). MANUSKRIP TOPKAPI - Manuskrip ini berada di Istanbul, Turki dan juga ditulis pada papyrus dan tidak memiliki vokalisasi (Gilchrist, 1989, pp.151153). Seperti manuskrip Samarkand, manuskrip Turki ini dihiasi ornamenornamen medali yg menunjukkan jaman yg lebih maju, BUKAN ABAD 7 (Lings & Safadi 1976:17-20). Muslim juga mengatakan bahwa ini pasti juga salah satu dari copy-copy orijinal, kalau bukan memang yg asli yg dikumpulkan Zaid ibn thabit pada abad ke 7. Tetapi tidak sulit membandingkannya dengan codex Samarkand dan anda akan melihat bahwa tidak mungkin keduanya berasal dari jaman Usman. Misalnya, codex Topkapi memiliki 18 garis per halaman sementara codex Samarkand hanya memiliki setengahnya, antara 8-12 garis per halaman; codex Istanbul ditulis dalam bahasa formal, kata-kata dan garisgaris ditulis secara seragam, sementara teks codex Samarkand sering amburadul dan terdistorsi. Sulit dipercaya bahwa kedua manuskrip ini ditulis oleh jawatan yg sama.

email: namasamaran@riseup.net

11


twitter: @islamexpose

ANALISA MANUSKRIP: Para pakar menggunakan 3 tes untuk menentukan usia manuskrip. Mereka menguji usia kertas manuskrip itu dengan menggunakan proses kimiawi seperti ‘carbon-14 dating’. Penentuan usia antara +/-20 tahun sangat dimungkinkan. Tapi orang enggan menggunakan cara ini karena jumlah materi yg harus dihancurkan untuk proses ini (antara 1-3 gram) bisa menghancurkan manuskrip tersebut. Jadi digunakanlah bentuk carbon-14 dating yg lebih canggih yg dikenal dengan nama AMS (Accelerator Mass Spectometry) yg hanya memerlukan 0,5-1mg materi untuk diuji (Vanderkam 1994:17). Namun sampai sekarangpun, manuskrip-manuskrip Islam itu tidak pernah diuji dengan metode yg canggih ini. Pihak muslim ketakutan. Ada apakah gerangan kok takut?! Para pakar juga akan mempelajari tinta manuskrip dan dapat menentukan daerah asalnya atau apakah tulisannya telah dihapus atau ditulis diatasnya secara berulang kali. Tetapi akses pada manuskrip itu terutama dihalangi oleh para pejabat muslim yg sangat ketakutan untuk menyerahkannya kepada riset ilmiah. Jadi terpaksa para pakar hanya bisa menganalisa gaya tulisannya, apakah manuskrip itu memang kuno atau dari jaman yg lebih modern. Bidang studi ini dinamakan dengan Paleografi. Gaya-gaya penulisan berubah dengan jaman. Perubahan ini biasanya seragam karena manuskrip selalu ditulis oleh kaligrafis professional. Dan mereka selalu mengikuti aturan yg sudah ditetapkan, dengan hanya modifikasi secara bertahap (Vanderkam 1994:16). dengan mempelajari tulisan tangan yg tanggalnya sudah diketahui dan melihat perkembangan mereka, seorang paleografer bisa membandingkan mereka dengan teks-teks yg tidak ada tanggalnya dan menentukan asal periode mereka. Pengujian paleografis terhadap kedua manuskrip Samarkand dan Topkapi mencapai kesimpulan yang sangat menarik tentang tanggal asal mereka. Bukti inilah merupakan argument yg paling kuat bahwa kedua manuskrip tersebut BUKAN berasal dari jaman Usman ataupun eksis di abad ke tujuh. HURUF KUFI Apa yg tidak disadari kebanyakan Muslim adalah bahwa kedua manuskrip ini ditulis dengan huruf Kufi, huruf yg menurut pakar Quran modern seperti Martin Lings dan Yasin Hamid Safadi, tidak muncul sebelum abad ke 8 (setelah thn 790), dan sama sekali tidak digunakan di Mekah dan Medinah di abad ke 7 (Lings & Safadi 1976:12-13,17; Gilchrist 1989:145-146; 152-153). Alasannya sangat mudah. Huruf Kufi, yg dikenal dengan nama al-Khatt alKufi, berasal dari kota KUFA di IRAK (Lings & Safadi 1976:17).‌ Kota Kufa

email: namasamaran@riseup.net

12


twitter: @islamexpose

itu dulunya merupakan kota Sassanid atau Persia sebelum masa pendudukan Arab (637-8 AD). Jadi, walaupun bahasa Arab dikenal disana, bahasa itu bukan bahasa dominan, apalagi huruf dominan, kecuali pada masa berikutnya saat penjajahan islam. Fakta menunjukkan bahwa huruf Kufi disempurnakan pada akhir abad 8 (sampai 150 tahun setelah kematian Muhamad) dan setelah itu digunakan secara luas diseluruh kawasan wilayah jajahan Muslim (Lings & Safadi 1976:12,17; Gilchrist 1989:145-146). Ini masuk akal karena sejak 750AD, kerajaan Abbasid menguasai Islam, dan karena latar belakang Persia mereka, bermarkas di Kufa dan Bagdad. Oleh karena itu mereka ingin agar huruf mereka mendominasi. Karena mereka sendiri dulunya didominasi Umayyad (yg bermarkas di Damascus) selama 100 tahun, kini bisa dimengerti bagaimana huruf Arab yg berasal dari kawasan pengaruh mereka, seperti huruf Kufi, berkembang ke dalam apa yg kita temukan pada kedua manuskrip ini. FORMAT Faktor lain yg menunjuk pada usia jauh setelah abad ke 7 adalah melihat pada format penulisannya. Gaya huruf Kufi yang ber-elongasi (panjang), mereka menggunakan lembaran yang lebih lebar ketimbang tinggi. Ini dikenal sebagai ‘the landscape format', format yg dipinjam dari dokumendokumen Kristen Syria dan Iraq dari abad ke 8 dan 9. Format manuskrip Arab lebih dini semuanya ditulis dalam format ‘tegak.’ (terima kasih kepada Hugh Goodacre dari the Oriental and India Office Collections, yg menunjuk saya pada fakta ini bagi debat South Bank). Oleh karena itu, kedua manuskrip Topkapi dan Samarkand, karena mereka ditulis dalam huruf Kufi dan menggunakan ‘landscape format,’ tidak mungkin ditulis 150 tahun sebelum dikumpulkannya Resensi Usman; paling dini adalah thn 700-an atau permulaan 800-an (Gilchrist 1989:144-147). SKRIPs MA’IL dan MASHQ Jadi, apa huruf yg digunakan di jazirah Hijaz (Arab) pada saat itu? Kita tahu bahwa ada huruf Arab yg paling dini (tua) yg kebanyakan Muslim awam tidak mengetahuinya. Ini merupakan huruf al-Ma'il Script, yg dikembangkan di Hijaz, khususnya di Mekah dan Medinah, dan huruf Mashq, juga dikembangkan di Medinah (Lings & Safadi 1976:11; Gilchrist 1989:144-145). Hururf al-Ma'il digunakan pada abad 7 dan mudah di-identifikasi, karena ditulis agak miring (lihat contoh pada halaman 16 dari buku Gilchrist, Jam' al-Qur'an, 1989). Malah, kata al-Ma'il berarti "miring." Huruf ini bertahan selama dua abad sebelum kemudian ditinggalkan.

email: namasamaran@riseup.net

13


twitter: @islamexpose

Hururf Mashq juga dimulai pada abad ke 7, tetapi terus digunakan berabadabad kemudian. Bentuknya lebih horizontal dan ciri khasnya adalah gayanya yg lebih bulat dan relaks (Gilchrist 1989:144). Jika Qur'an disusun pada abad ke 7 ini, maka paling tidak Quran ditulis dalam huruf Ma'il atau Mashq. Anehnya, memang ada Qur'an yg ditulis dalam huruf Ma'il, dan dianggap sebagai Qur'an yg paling kuno yg kita miliki. Tetapi Quran ini tidak berada di Istanbul atau Tashkent, melainkan, ironisnya, di British Library di London (Lings & Safadi 1976:17,20; Gilchrist 1989:16,144). Ini juga dikatakan berasal dari sekitar akhir abad ke 8, oleh Martin Lings, mantan kurator manuskrip the British Library, yg sendirinya adalah seorang Muslim!! Oleh karena itu, dengan bantuan analisa huruf, kita yakin bahwa tidak ada manuskrip Quran yg eksis di dunia ini sebelum abad ke 7 (Gilchrist 1989:147-148,153). Hampir semua fragmen-fragmen manuskrip Quran dini tidak berasal dari jaman lebih dini dari 100 tahun setelah kematian Muhamad. dalam bukunya, ‘Calligraphy and Islamic Culture’, Annemarie Schimmel menggaris-bawahi point ini dengan mengatakan bahwa Quranquran yg baru-baru ini ditemukan di Sanaa, "fragmen-fragmennya berasal dari pertengahan abad ke 8." (Schimmels 1984:4) Kedelapan Qur'an dari Sanaa ini memang misterius karena pemerintah Yemen tidak mengijinkan orang-orang Jerman yg menemukannya untuk mengumumkan penemuan mereka ini. Mungkinkah ini untuk menyembunyikan asal jaman Quran-quran itu? Ada yg mengatakan bahwa huruf dalam kedelapan Quran ini tidak mirip dengan Quran yg kita miliki sekarang. Kami masih menunggu perkembangan ini. B3: KREDIBILITAS Bagaimana dengan kredibilitas penyusunan HADIS? Seperti dibahas sebelumnya, teks-teks bersejarah tentang Islam masa dini disusun antara thn 850-950 AD. (Humphreys 1991:71). Semua materi kemudian menggunakan penyusunan ini sebagai patokan mereka, sementara materi yg lebih dini tidak dapat dipastikan otentisitasnya (Humphreys 1991:71-72). Bisa saja bahwa tradisi-tradisi sebelumnya tidak lagi relevan, sehingga dibiarkan rapi atau dihancurkan. Kita tidak tahu. Apa yg kita tahu adalah bahwa para penyusun itu kemungkinan besar mengambil materi mereka dari koleksi yg disusun dalam abad sekitar 800 AD, dan bukan dari dokumen yg ditulis dalam abad ke 7, dan jelas bukan juga dari Muhamad atau para sahabatnya (Humphreys 1991:73, 83; Schacht 1949:143-145; Goldziher 1889-90:72). Kita juga tahu bahwa kebanyakan susunan mereka adalah cuplikan-cuplikan dari Akhbar-akhbar (anekdot dan anak kalimat) yg mereka anggap bisa

email: namasamaran@riseup.net

14


twitter: @islamexpose

diterima walau kriterianya masih misterius (Humphreys 1991:83). Sekarang nampak jelas bahwa aliran-aliran hukum permulaan abad ke 9 mencakupkan doktrin-doktrin mereka sendiri dengan mengatakan bahwa mereka datang dari para sahabat nabi dan bahkan dari nabi sendiri (Schacht 1949:153-154). Schacht memastikan bahwa sumber ketetapan ini adalah al-Shafi'i (w. 820 AD). Ialah yg menentukan bahwa semua tradisi hukum harus dilacak kembali ke Muhamad guna memastikan kredibilitasnya. Hasilnya, tradisi hukum dalam jumlah besar yg mencari otoritas sang ‘nabi’ ini timbul dari jaman Shafi'i dan sesudahnya, dan akibatnya mengekspresikan doktrindoktrin Irak saat itu, dan bukan doktrin-doktrin Arab kuno (Schacht 1949:145). Agenda inilah yg diberlakukan oleh setiap aliran hukum sehubungan dengan pemilihan tradisi pada abad 9 dan 10, yg dipercaya sebagai cara menguji otentisitas hadis. Wansbrough setuju dengan Humphreys dan Schacht kala ia mengatakan bahwa data-data literatur, walau menunjukkan diri sebagai sesuai dengan jaman terjadinya peristiwa yang bersangkutan, sebenarnya berasal dari masa jauh setelah berlangsungnya peristiwa tersebut, menurut pandangan mata jaman itu dan agar sesuai dengan tujuan dan agenda jaman itu. (Rippin 1985:155-156). Contoh, kaum Shi'ah. Agenda mereka sudah jelas karena mereka mengatakan bahwa dari 2000 hadis sahih, mayoritas hadis (1.750) berasal dari Ali, menantu nabi, yg menjadi panutan kaum Shi'ah. Anda mungkin akan bertanya: Kalau otentisitas bagi hadis-hadis oleh Shi’ah sepenuhnya bersifat politis, bagaimana dengan penyusun-penyusun tradisi lainnya? Pertanyaan yg harus diajukan adalah, adakah kebenaran sejarah yg bisa kita selidiki? Schacht dan Wansbrough keduanya skeptis tentang point ini (Schacht 1949:147-149; Wansbrough 1978:119). Patricia Crone mengatakan bahwa kredibilitas tradisi sudah hilang akibat subyektivitas setiap individu penyusun hadis. Katanya; Karya-karya penyusun pertama seperti Abu Mikhnaf, Sayf b.'Umar, 'Awana, Ibn Ishaq dan Ibn al-Kalbi tidak lebih dari timbunan tradisi-tradisi yg terpencar-pencar dan tidak merefleksikan satu kepribadian, aliran, tempat ataupun waktu: karena Ibn Ishaq dari Medinah menyampaikan tradisi yg menguntungkan Iraq, pihak Sayf Iraqi Sayf memiliki tradisi yg menentangnya. Dan kesemua kompilasi dikarakterisasi oleh pencakupan material yg mendukung aliranaliran legal dan doktrin yg saling bertentangan. (Crone 1980:10). Dengan kata lain, aliran-aliran hukum setempat membentuk tradisi-tradisi berbeda, dan bergantung pada hukum setempat dan pendapat para pakar setempat (Rippin 1990:76-77). Pada akhrinya, pakar-pakar itu menyadari

email: namasamaran@riseup.net

15


twitter: @islamexpose

perbedaan ini dan melihat perlunya menyatukan hukum Islam. Solusinya tercapai dengan memohon pada tradisi nabi, yg akan memiliki otoritas atas pendapat (ra'y) pakar. Oleh karena itu, tradisi yg diatribusikan kepada nabi mulai berkembang biak dari sekitar thn 820 AD (Schacht 1949:145; Rippin 1990:7). Contoh, Sirat Rasulullah yg memberikan materi terbaik atas kehidupan muhammad. Nampaknya Sirat mengambil sejumlah informasi dari Qur'an. Walaupun Isnad digunakan untuk menentukan otentisitas (yg sekarang diragukan kebenarannya, seperti yg akan kita lihat nanti), otoritasnya tergantung dari otoritas Qur'an, yg kredibilitasnyapun diragukan (juga akan dibahas dalam sesi berikutnya). Menurut G. Levi Della Vida, pembentukan Sirat didasarkan pada hal-hal berikut: Semakin meningkatnya pemujaan terhadap sosok Muhamad mengakibatkannya tumbuh sebagai tokoh legenda dengan karakter yg diidolakan, persis seperti karakter-karakter yg ada dalam tradisi Yahudi atau Kristen (mungkin juga Iran). (Levi Della Vida 1934:441) Ia menjelaskan bahwa material ini menjadi terorganisasi, tersistematisasi dalam aliran Muhaddithun Medinah lewat sebuah 'midariash,' yg terdiri dari ayat-ayat Quran dalam mana exegesis menganggap ilusi menjadi peristiwa nyata dalam hidup nabi. dengan cara inilah sejarah periode Medinah terbentuk. (Levi Della Vida 1934:441) Dengan begitu kita memiliki dokumen-dokumen dengan kredibilitas lemah (Crone 1987:213-215). Bahkan materi-materi sebelumnya tidak banyak membantu. Maghazi, atau cerita-cerita pertempuran-pertempuran nabi, adalah dokumen-dokumen Muslim paling dini yg kita miliki. Mereka seharusnya memberikan gambaran tentang jaman itu, tetapi merekapun tidak menyebut sedikitpun tentang ajaran dan kehidupan muhammad. Malah anehnya, dokumen-dokumen ini tidak sedikitpun memuat pemujaan terhadap Muhamad sebagai nabi! B4: KONTRADIKSI Masalah berikutnya adalah bahwa tradisi-tradisi ini penuh dengan kontradiksi, kebingungan, tidak konsisten dan malah keanehan. Contoh, Crone bertanya, "Apa yg kami lakukan dengan pernyataan Baladhuri bahwa Qiblat dalam mesjid Kufan pertama adalah arah barat... bahwa ada begitu banyak Fatima, dan bahwa 窶連li kadang disebut sebagai adik Muhamad? Ini sebuah tradisi yg informasinya tidak berarti apa-apa dan entah berakhir kemana." (Crone 1980:12)

email: namasamaran@riseup.net

16


twitter: @islamexpose

Al-Tabari, contohnya, sering memberikan kesaksian berbeda dan bahkan berlawanan tentang peristiwa yg sama (Kennedy 1986:362). Pertanyaan tentang bagaimana al-Tabari mengedit materinya oleh karena itu merupakan sebuah tanda tanya. Apakah ia memilih akhbar (narasi pendek) untuk mengembangkan dan mengilustrasikan tema-tema penting tentang sejarah kenegaraan Islam? Kita tidak tahu. Ibn Ishaq mengatakan bahwa Muhamad mengisi kekosongan politik saat memasuki Yathrib (Medinah), tetapi kemudian mengatakan bahwa ia MEREBUT otoritas dari penguasa yg sudah mantap disana (Ibn Hisham ed.1860:285, 385, 411). Ibn Ishaq juga mengatakan bahwa Yahudi di Medinah sangat suportif terhadap tetangga-tetangga Arab mereka, namun toh dilecehkan juga oleh mereka (Ibn Hisham ed.1860:286, 372, 373, 378). Jadi yg mana yg bisa dipercaya? Seperti dikatakan Crone, "Cerita-cerita ini disampaikan dengan sama sekali tidak mempedulikan fakta sejarah Medinah ketika itu." (Crone 1987:218) Contoh lain: Perbedaan antara satu penyusun dengan penyusun yg lain (Rippin 1990:10-11). Terdapat banyak variasi atas satu tema. Contoh, ke 15 kesaksian berbeda tentang pertemuan Muhamad dengan wakil agama nonIslam yg meramalkan kenabiannya (Crone 1987:219-220). Ada tradisi yg menyebuntukan pertemuan ini terjadi tatkala Muhamad masih bayi (Ibn Hisham ed.1860:107), ada yg mengatakan ia berusia 9 atau 12 (Ibn Sa'd 1960:120), sementara ada juga yg mengatakan bahwa ia kala itu berusia 25 (Ibn Hisham ed.1860:119). Ada yg mengatakan bahwa ia bertemu kaum Kristen Ethiopia (Ibn Hisham ed.1860:107), ada juga yg bilang Yahudi, bukan Ethiopia (Abd al-Razzaq 1972: 318), sementara ada juga yg mengatakan Muhamad ketemu peramal atau seorang Kahin di entah Mekah atau Ukaz atau Dhu'l-Majaz (Ibn Sa'd 1960:166; Abd al-Razzaq 1972:317; Abu Nu'aym 1950:95, 116f). Crone menyimpulkan bahwa kita memiliki tidak lebih dari "lima belas versi fiktif tentang peristiwa yg tidak pernah terjadi." (Crone 1987:220) Jadi, akibatnya sulit menentukan mana hadis yg sahih dan mana yg harus dibuang. Inilah problema Muslim sampai sekarang!!! B5: PERSAMAAN Dipihak lain, kebanyakan tradisi menunjukkan materi sama seperti yg lain, menunjukkan daur ulang data yg sama selama berabad-abad TANPA MENUNJUKAN ASAL MUASALNYA. Contoh: Sejarah al-Tabari tentang kehidupan muhammad yg mirip dengan Siratnya Ibn Hisham dan mirip dengan "Komentar tentang Qur'an-nya" yg

email: namasamaran@riseup.net

17


twitter: @islamexpose

juga tidak berbeda dengan koleksi Hadisnya Bukhari. Karena persamaanpersamaan ini pada tanggal yang cukup terlambat (dari jaman Muhamad), ini menunjukkan adanya satu sumber di abad ke 9, yg menjadi rujukan mereka (Crone 1980:11). Apakah ini menunjukkan adanya "canon" materi yg disetujui Ulama saat itu? Mungkin, kita tidak tahu pasti. Pertanyaannya adalah, apakah sumber-sumber primer eksis, dan kalau begitu bagaimana kita mengenalinya dengan menggunakan sumber-sumber sekunder yg kita miliki? B6: PROLIFERASI Seperti telah disebutkan sebelumnya, penyusunan Quran mulai timbul tidak sebelum abad 8 (200-300 tahun setelah peristiwa yang bersangkutan). Tibatiba mereka berkembang biak menjadi ratusan ribu. Mengapa? Siapa yg bisa menjelaskan proliferasi ini? Contoh, kematian 'Abdallah, ayah Muhamad. Para penyusun pertengahan dan akhir abad 8 (Ibn Ishaq and Ma'mar) setuju bahwa Abdallah wafat dan meninggalkan Muhamad sebagai anak yatim; tetapi detil kematiannya tidak dicatat, ‘hanya auwloh yang tahu' (Cook 1983:63). Namun 50 tahun kemudian, Waqidi, tidak hanya menulis tentang kapan Abdallah wafat, tetapi bagaimana, dimana dan berapa umurnya dan bahkan dimana persisnya penguburannya. Menurut Michael Cook, "evolusi dalam 50 tahun ini dari ketidakpastian kepada kepastian dan detil persis menunjukkan sesuatu yg diketahui Waqidi sebagai bukan fakta" (Cook 1983:63-65). Ini memang khas Waqidi. Ia selalu rajin memberi data-data persis, lokasi, nama, semantara Ibn Ishaq tidak memiliki apa-apa (Crone 1987:224). "Tidak heran," Crone mengatakan, bahwa para pakar begitu senang dengan Waqidi: dimana lagi mereka bisa menemukan info-info mendetil tentang apapun yg ingin mereka ketahui? Namun mengingat bahwa informasi ini tidak diketahui di jaman sebelumnya, jaman Ibn Ishaq, kebenaran Waqidi sangat diragukan. Dan jika informasi rawan yg tumbuh dalam hanya dua generasi antara Ibn Ishaq dan Waqidi, tidak sulit untuk berkesimpulan bahwa lebih banyak lagi informasi rawan yg terkumpul dalam tiga generasi antara muhammad dengan Ibn Ishaq." (Crone 1987:224) Para pakar Muslim sadar akan fenomena proliferasi ini dan alasan mereka adalah: agama Islam baru mulai menstabilisasi diri pada saat itu. Jadi wajarlah kalau karya-karya tulisan tampil semakin banyak. Tulisan-tulisan sebelumnya, kata mereka ,tidak lagi relevan bagi Islam baru dan akibatnya harus dibuang ataupun hilang (Humphreys 1991:72). Walau teori ini bisa dimengerti, mengapa kalau begitu tidak ada sedikitpun dokumen yg disimpan dalam sebuah perpustakaan atau dalam koleksi

email: namasamaran@riseup.net

18


twitter: @islamexpose

seseorang? Ternyata tidak ada sedikitpun yg tersisa dari Quran-quran pada jaman dini. Ini mencurigakan! Yang lebih penting adalah teks Quran-nya Usman (resensi final) yg katanya dikumpulkan oleh Zaid ibn Thabit tahun 646-650 AD. Menurut tradisi, semua copy dan kodeks dibakar Kalif Usman tidak lama kemudian dan ia hanya meninggalkan satu teks, yg dibuatkan kedalam 4 copy. NAH, DIMANA KEEMPAT COPY ITU? Quran yg kita miliki sekarang tidak lebih dini dari 690-750 AD. (Schimmel 1984:4) Jadi apakah para pakar Muslim diatas itu bersedia mengakui bahwa keempat copy ini JUGA DIBUANG karena mereka tidak lagi relevan bagi Islam baru?! Di pertengahan abad ke 9, timbul kira-kira 600.000 hadith. Malah, menurut tradisi, jumlah itu begitu banyaknya sampai kalif yg berkuasa meminta Al Bukhari untuk mengoleksi pernyataan asli ‘nabi’ dari ke 600.000 tersebut! JELAS, PADA SAAT ITUPUN SUDAH ADA KERAGUAN tentang KEBANYAKAN HADIS. Bukhari tidak pernah menyebutkan persyaratan bagi pilihannya, kecuali pernyataan samar-samar tentang "tidak dapat dipercaya" atau "tidak cocok" (Humphreys 1991:73). Pada akhirnya, ia hanya memilih 7397 hadis, atau kira-kira hanya 1,2% dari hadis yg ada! Namun, menghitung ayat-ayat yg diulang-ulang, net total adalah 2762 dari ke 600.000 (A.K.C. 1993:12). Ini berarti bahwa dari 600.000 hadis, 592.603 adalah PALSU dan harus dibuang. Jadi 99% dari hadis yg ada, dianggap MENCURIGAKAN, RAWAN, TIDAK JELAS!! ...Luar biasa!! Dari mana asal ke 600.000 hadis ini kalau mereka dianggap mencurigakan? Apakah mereka direkam dalam tulisan? Apakah ada bukti eksistensi mereka? Tidak sedikitpun!! Fakta bahwa mereka tiba-tiba muncul pada periode itu (abad ke 9, 250 tahun setelah peristiwa ybs), dan secepat itu pula mereka ditolak atau diterima, dan tidak pada masa sebelumnya. Ini membenarkan pernyataan Schacht bahwa para penyususn di abad 9 perlu mensahihkan hukum-hukum dan tradisi dengan mencari-cari hubungan ke muhammad. dalam ketergesa-gesaan mereka, mereka meminjam terlalu banyak yg kemudian memaksakan Ulama untuk turun tangan dan meresmikan hadis yg mereka anggap mendukung agenda mereka. Ini tetap mengundang pertanyaan tentang bagaimana caranya (metode) mereka diputuskan menjadi hadis yg otentik dan mana yg tidak. B7: ISNAD Inilah, kata pakar Muslim sebagai cara untuk menentukan mana hadis yg sahih dan mana yg tidak, yaitu penyampaian secara lisan (oral transmission) yg dalam bahasa Arab disebut Isnad. Ini, kata mereka adalah ilmu yg

email: namasamaran@riseup.net

19


twitter: @islamexpose

dipakai Bukhari, Tabari dan para penyusun abad ke 9 dan 10 untuk mensahkan kompilasi mereka. untuk mengetahui siapa penulis asli hadishadis itu, para penyusun memberikan sebuah daftar nama yg katanya, bisa ditelusuri sampai jaman nabi sendiri. Jad, untuk memberikan kredibilitas kepada hadis, sebuah daftar nama disertakan pada setiap dokumen yg, katanya, menunjukkan dari siapa hadis itu diturunkan. Jadi misalnya: Saya menerima ini dari Si A yg menerimanya dari Si B yang menerimanya dari sahabat nabi.' (Rippin 1990:37-39) Di Barat, transmisi secara lisan ini memang diragukan, tetapi di Arab, ini cara untuk menyampaikan sejarah. Problemanya, transmisi secara lisan ini dengan mudah bisa dimanipulasi karena tidak adanya formula tertulis atau dokumentasi untuk membuktikannya. Jadi, ini mudah dimanipulasi menurut agenda sang orator. Petanyaan selanjutnya adalah, dari mana kita tahu bahwa nama-nama ini otentik? Apakah orang yg menyampaikan Isnad itu memang mengatakan hal yg memang benar? Dalam tradisi Arab, semakin panjang daftar Isnad, semakin besar kredibilitasnya. Sama seperti kita sekarang mengutip nama-nama orang untuk memback-up pernyataan kita. Bedanya, para penyusun abad ke 9 TIDAK memiliki dokumen untuk membuktikannya. Orang-orang yg disebut dalam Isnad sudah lama mati dan tidak dapat membuktikan apa yg dikatakannya. Anehnya, "semakin kebelakang, isnad semakin tumbuh.' Dalam beberapa teks, sebuah pernyataan diatribusikan kepada seorang kalif Umayyad, misalnya. Namun di tempat lain, pernyataan yg sama ditemukan dalam bentuk hadis yg isnad lengkap sampai ke Muhamad atau sahabatnya." (Rippin 1990:3) Lebih-lebih lagi, ilmu Isnad hanya dimulai pada abad ke 10, jauh setelah Isnad-isnad itu seharusnya disusun (Humphreys 1991:81). Karena ini ilmu yg sangat tidak jelas kepastiannya, sejarawan memakai teori mudah: semakin panjang daftarnya, semakin mencurigakan otentisitasnya.' Kita tidak akan pernah tahu apakah nama-nama dalam isnad memang memberi informasi yang sama, atau memang benar-benar memberikan info. B8: STORYTELLING Possibly the greatest argument against the use of Muslim Tradition as a source is the problem of transmission. To better understand the argument we need to delve into the hundaried or so years prior to Ibn Ishaq (765A.D.),

email: namasamaran@riseup.net

20


twitter: @islamexpose

and after the death of Muhammad in (632 A.D.), since, "the Muslim 'rabbis' to whom we owe [Muhammad's] biography were not the original memory banks of the Prophet's tradition." (Crone 1980:5) According to Patricia Crone, a Danish researcher in this field of source criticism, we know little about the original material, as the traditions have been reshaped by a progression of storytellers over a period of a century and a half (Crone 1980:3). these storytellers were called Kussas. It is believed that they compiled their stories using the model of the Biblical legends which were quite popular in and around the Byzantine world at that time, as well as stories of Iranian origin. From their stories there grew up a literature which belonged to the historical novel rather than to history (Levi Della Vida 1934:441). Within these stories were examples of material which were transmitted by oral tradition for generations before they were written down. they were of two kinds: Mutawatir (material handed down successively) and Mashhur (material which was well-known or widely known) (Welch 1991:361). Patricia Crone, in her book: Meccan Trade and the Rise of Islam, maintains that most of what the later compilers received came from these story-tellers (Kussas) who were traditionally the real repositories of history: ...it was the storytellers who created the [Muslim] tradition. the sound historical tradition to which they are supposed to have added their fables simply did not exist. It is because the storytellers played such a crucial role in the formation of the tradition that there is so little historicity to it. As storyteller followed upon storyteller, the recollection of the past was reduced to a common stock of stories, themes, and motifs that could be combined and recombined in a profusion of apparently factual accounts. Each combination and recombination would generate new details, and as spurious information accumulated, genuine information would be lost. In the absence of an alternative tradition, early scholars were forced to rely on the tales of storytellers, as did Ibn Ishaq, Waqidi, and other historians. It is because they relied on the same repertoire of tales that they all said such similar things. (Crone 1987:225). Because the earliest written accounts of Muhammad's life were not written until the late Umayyid period (around 750 A.D.), "the religious tradition of Islam," Crone believes, "is thus a monument to the destruction rather than the preservation of the past," (Crone 1980:7) and "it is [this] tradition where information means nothning and leads nowhere." (Crone 1980:12) therefore, it stands to reason that Muslim Tradition is simply not trustworthny as it has had too much development during the course of its transmission from one generation to the next. In fact, we might as well repeat what we have already stated: the traditions are relevant only when they speak on the period in which they were written, and nothing more.

email: namasamaran@riseup.net

21


twitter: @islamexpose

there are so many difficulties in the traditions: the late dates for the earliest manuscripts, the loss of credibility due to a later agenda, and the contradictions which are evident when one reads them, as well as the proliferation due to aggressive redaction by the storytellers, and the inexact science of Isnad used for corroboration. Is it any wonder that historians, while obliged to refer to the material presented by Muslim Tradition (because of its size and scope), prefer to find alternative explanations to the traditionally accepted ideas and theories, while looking elsewhere for further source material? Having referred earlier to the Qur'an, it makes sense, therefore, to return to it, as there are many Muslim scholars who claim that it is the Qur'an itself which affords us the best source for its own authority, and not the traditions.

ali5196 (Translator) TRANSLATION DEDICATED TO NAMASAMARAN Sumber 01 - Sumber 02 - Sumber 03 See also: Bukti historis terbentuknya Quran. Lihat juga; Sejarah Quran, 4 artikel

email: namasamaran@riseup.net

22


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.