Wajah Baru Parlemen Meragukan

Page 16

B8

KAMIS, 24 APRIL 2014 WWW.INILAHKORAN.COM

CHENG LI

Bangga Jadi Urang Sunda

FOTO-FOTO: INILAH/ ARIEZ RIZA FAUZY

SOSOK pribadi yang ramah, rendah hati, murah senyum, dan sopan langsung terlihat saat bertemu dengan seniman sunda, Tan Lie Seng atau Tan Deseng. “Kuring lahir di tanah sunda, jadi asli urang sunda,” tegasnya.

P

Oleh : Ariez Riza Fauzy

enyataan tersebut memulai pembicaraan santai INILAH dengan seniman sunda tersebut di kediamannya, Komplek perumahan Holis Permai V no. 12, Kota Bandung, Rabu (23/4). Kebanggaannya sebagai urang Sunda tidak hanya dia perlihatkan melalui ucapan. Berbagai aktivitas dan kiprahnya selama ini tak lepas dari seni dan budaya Sunda. Lahir dari pasangan Tionghoa-Sunda,jiwa kesundaan sudah tertanam dalam diri seorang Tan Deseng. Bahkan pria kelahiran 22 Agustus 1942 ini pun nekad kembali ke Bandung saat dirinya berada di tanah Andalas, tepatnya Palembang. “Saat itu saya menginap di sebuah losmen dan mendengar musik tradisional Sunda yakni kacapi suling yang diputar di radio. Dan saat itu pula saya langsung ingat Bandung dan nekad pulang meski tidak punya ongkos. Disitulah saya semakin takin jika saya

urang Sunda,” ujar Tan Deseng. Kecintaannya terhadap budaya sunda tidak hanya pada kesenian belaka, namun juga diperlihatkan dalam kehidupan sehari-hari. Segala tindak tanduk seorang Tan Deseng setiap hari tak pernah lepas dari jatidiri kesundaan. Meski demikian, asal muasal dirinya sebagai keturunan Tionghoa pun tak pernah dia lupakan begitu saja. Hal itu pun mencirikan pedoman hidup (uga) urang Sunda yakni teu poho kana purwadaksa (tidak melupakan asal usul), jati ulah kasili ku junta (pribumi jangan merasa tersingkir oleh tamu0, dan asih ka sagalana (menyebarkan kasih sayang kepada semua mahkluk di dunia). “Tuhan itu membuatkan bumi bukan untuk suatu ras saja, tetapi untuk semua umat makhluk ciptaannya termasuk manusia,” tegasnya. Berkat ketekunannya mendalami seni budaya Sunda, nama seorang Tan Deseng

sudah sangat layak disejajarkan dengan maestro-maestro seniman Sunda lainnya. Kiprahnya di dunia seni Sunda, telah membawanya ke berbagai belahan dunia. Seperti Amerika, Portugal, hingga tanah leluhurnya, Republik Rakyat Tiongkok (RRT) Namun keberhasilannya tersebut dia rasakan belum apa-apa. “Justru saya merasa malu, karena saya belum bisa memberikan sesuatu yang berarti pada bumi pertiwi ini,” terangnya. Dan melalui seni budaya, Tan Deseng pun selalu tak lelah mengajak masyarakat untuk tidak pernah mempermasalahkan perbedaan ras maupun etnis. Hal tersebut justru akan memperlebar jurang pemisah dan akan berdampak buruk terhadap kehidupan sosial. “Dan melalui seni Sunda ini, saya ingin lebih merekatkan dan menminimalisir atau bahkan menghilangkan perbedaan pribumi dan Tiongkok,” pungkasnya. (ang)

Tan Lie Seng

Kiat Sukses Bisnis Warga Tionghoa, 3H dan 3C NET

SIAPA yang tidak mengenal kegigihan dan keuletan warga Tionghoa dalam berbisnis. Tidak hanya di Indonesia, banyak warga Tionghoa perantauan atau Hoa Kiu di berbagai belahan dunia pun berhasil meraup keberhasilan di negeri perantauan. Kiatnya? Setidaknya terdapat beberapa prinsip yang dipegang teguh warga Tionghoa dalam berbisnis dan membangun sebuah jaringan bisnis yang kuat. Setiap orang pun bisa belajar banyak dari prinsip tersebut untuk meraih sukses dalam berbisnis. Dikutip dari laman hdmessa.wordpress.com, secara singkat, prinsip tersebut bisa diistilahkan menjadi 3-H dan 3-C. Untuk tiga H yakni, Ho Peng, Ho Kie dan Hong Shui. Ho Peng bisa dianalogikan sebagai relasi yang terpercaya dan merupakan langkah awal dalam membangun sebuah bisnis. Kemudian berlanjut pada Ho Kie atau memilih bidang usaha yang tepat. Terakhir yakni memilih lokasi atau tempat usaha yang tepat pula dan diistilahkan dengan Hong Shui atau Feng Shui. Sedangkan prin-

sip 3-C yakni, Cheng Li, Ching Cay, dan Cwan. Kata C pertama yakni Cheng Li diartikan sebagai sebuah keadilan, Ching Cay yakni fleksibilitas dan

Cwan yakni untung atau laba. Blog seorang Senior Consultant/ Account Service Director di salah satu perusahaan konsultan strategi komunikasi ternama di Jakarta, Lawrence Tjandra pun menuliskan terkait filosofi berbisnis warga Tionghoa tersebut.

Dikutip dari artikel pendek kiriman seorang seniman Teguh Ostenrik, Lawrence Tjandra menuliskan tiga hal yang harus dijadikan pilar berbisnis berikut tiga pantangannya. Pilar pertama yakni Cheng Li atau adil. Hal ini kelihatan sederhana namun menyangkut kredibilitas dan reputasi. “Kalau ada pengusaha yang bisnisnya dianggap tidak ‘cengli’, mau menang sendiri, suka curang dan menipu, biasanya akan di-‘blacklist’ komunitas pengusaha lain dan akan dijauhi,” tulis Lawrence. C yang kedua yakni Cincai yang memiliki arti fleksibel dan mudah kompromi. Dalam kajian filosofis, Cincai sendiri memiliki arti yang mendalam. Yakni mengajarkan sikan merendah dan mengalah, mendisiplinkan kita agar lebih baik berteman dan membentuk net-work daripada menciptakan lawan dan musuh. “Cincai ini menganut ilmu bamboo, yang sangat kuat dan tidak mudah dipatahkan. Kekuatannya justru ada pada kemampuannya yang lentur dan fleksibel,” terangnya. Dan pilar C terakhir yakni Coan yang berarti laba. Kata inilah yang menjiwai semangat bisnis pengusaha Tionghoa meski terkadang dijadikan ledekan dan hinaan. Filosofi ini mendasari suistainability bisnis pengusaha Tionghoa sehingga mereka berperilaku tekun, rajin dan hemat. Itu pulalah yang membuat pengusaha Tionghoa seringkali sangat kompetitif dan gresif karena hitungan laba mereka seringkali sangat mepet dan tipis sekali. “Filosofi ini juga mendisiplinkan mereka untuk hemat dan menabung. Juga bijaksana melakukan investasi di wilayah-wilayah yang tidak pernah dilirik orang,” tandasnya. (ang)


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.