3 minute read

Perempuan dan Hajatan Kampung di Seram

Perempuan dan Hajatan

Kampung di Seram

Advertisement

Seorang penduduk Seram di atas perahunya -

Christina Desitriviantie - https://www.shutterstock.com/ id/g/Christina+Desitriviantie

Pesta pernikahan di Parigi, Seram -

Geger Riyanto

Hajatan di Parigi, Seram Utara, sewajah dengan hajatan di banyak kampung lain di Indonesia. Acara dibawakan oleh pejabat atau tetua kampung. Mereka biasanya adalah lelaki dewasa. Jika acara itu ialah pembacaan doa keselamatan, yang di Jawa disebut selametan, para pesertanya hanya lelaki dewasa.

Acara pernikahan pun demikian. Acara ini tentu saja dihadiri oleh perempuan, tetapi dari proses negosiasi mahar hingga hari pelaksanaan pernikahan, para bapaklah yang berada di depan dan memimpin prosesi.

Namun, peran perempuan tak tergantikan dalam hajatan-hajatan kampung. Pada saat doa keselamatan dibacakan, mereka ada di dapur untuk menyiapkan minuman dan kudapan. Ketika doa selesai, mereka akan dengan sigap menyajikan hidangan. Tuan rumah, khatib atau imam, dan tamu lantas mengobrol santai dan gayeng sambil menikmatinya. Para perempuan akan keluar setelah orang-orang pulang dan membereskan perkakas dan sisa makanan.

Ada doa-doa keselamatan yang membutuhkan camilan-camilan dengan persiapan yang lebih rumit seperti doa untuk mereka yang pernah keguguran. Camilan-camilan ini—biasanya kue cucur, wajik, dan karas—akan didoakan dan ditaruh di muka rumah seusai doa, tujuannya agar para jin yang menyebabkan keguguran turut keluar rumah. Mereka yang menyiapkannya sehari sebelum pembacaan doa tentu saja para perempuan di rumah atau kerabat-kerabat perempuan mereka.

Arti penting kerja perempuan lebih kentara lagi pada acara-acara besar seperti pernikahan dan tahlilan. Dengan banyaknya tamu yang hadir, acara-acara ini membutuhkan hidangan dalam jumlah besar. Para perempuan tetangga dan kerabat akan diundang atau datang sendiri untuk membantu empunya hajat menyiapkannya. Persiapan hidangan ini bisa mengambil beberapa hari sendiri.

Apabila warga kampung menghadiri hajatan besar di kampung lain, yang paling pertama dilakukan para perempuan adalah mendatangi kerumunan perempuan setempat yang sedang menyiapkan hidangan. Mereka lantas akan mengulurkan bantuan kepada yang lagi bekerja, terlepas kedua pihak belum saling mengenal secara pribadi.

Suatu waktu kala warga kampung pergi ke kampung lain untuk menghadiri pernikahan kerabat dan yang empunya hajatan bersikeras tak ingin dibantu, para ibu dari Parigi bingung sendiri.

“Katong [kita] lalu bikin apa di sini?” ujar seorang ibu kepada ibu yang lain. Naluri membantu kerja-kerja dapur sudah tertanam dalam benak para ibu, sehingga tidak melakukan apa pun di hajatan orang lain menjadi sesuatu yang ganjil buat mereka. Di mana para bapak dalam kunjungan ke kampung lain semacam itu? Mereka akan bercakap-cakap sambil mencari cara mengisi waktu, biasanya bersama lelaki dari pihak tuan rumah.

Menandai Momen Hidup

Hajatan adalah kegiatan inti dalam kehidupan kampung. Ia menandai momen-momen kunci hidup, menguatkan di waktu-waktu sulit, pun memberikan keamanan eksistensial saat diperlukan. Lelaki memimpin kegiatan-kegiatannya. Namun, adalah kerja tak terlihat perempuan yang memungkinkannya terlaksana.

Dalam situasi keseharian di Parigi, demikian juga yang terjadi dengan kerja-kerja perempuan, “Mencari”, atau kerja yang dilakukan lelaki dan lingkupnya di luar rumah, entah itu mengail ikan, berkebun, atau yang lain, adalah yang diakui sebagai kerja. Kecenderungan ini lebih banyak dilakoni ketimbang dieksplisitkan. Namun, ada satu kesempatan kala ia diekspresikan secara gamblang: kala seorang lelaki belia menegaskan ke adik perempuannya bahwa pekerjaannya lebih berat. Penegasan ini mencuat ketika si kakak malasmalasan diminta membantu adik yang sedang memasak makan malam.

“Coba katong dua tukar [pekerjaan],” ujarnya. “Se [kamu yang] mencari, turun mengail.”

Si adik ujungnya mengalah dan perdebatan tak dilanjutkan.

Dihadapkan dengan segenap gambaran ini, saya pikir penting bagi pemerhati kebudayaan dan tradisi untuk mencermati andil perempuan dalam denyut kehidupan kampung yang dicermatinya. Para pemerhati kerap terpaku pada apa yang dipentaskan dalam hajatan atau ritual dan mengabaikan aktivitas-aktivitas yang menopangnya. Dalam lanskap

Nelayan Seram -

Riana Ambarsari - https:// www.shutterstock.com/id/g/ p3nnylan3

seperti di Parigi, hal ini akan berujung pada persepsi picik tradisi sebagai sesuatu yang hanya berkisar di antara para lelaki.

Pun, kita perlu mempertimbangkan aktivitas saling membantu dan merawat di antara para ibu sebagai tradisi. Di Jawa, misalnya, ada tilik, yang sempat diangkat dalam film dengan judul yang sama. Mengapa, sebagaimana kecenderungan gotong royong para ibu di Parigi, ia selama ini tidak diperlakukan sebagai tradisi yang layak dicatat dan diperhatikan?

Pikiran-pikiran ini semoga membantu kita menavigasi kebudayaankebudayaan lain di Indonesia.

(Geger Riyanto/ Kandidat Doktor Universitas Heidelberg)

Para wanita menyiapkan kasuami -

Geger Riyanto

Salah satu masjid di Parigi, Seram -

Geger Riyanto