OpiniIAAS : Peran Diversifikasi Pangan Lokal terhadap Ketahanan Pangan Provinsi DIY

Page 1

STD IAAS LC UGM 2020/2021

I. PENDAHULUAN

Audley Thania T. S. Alleluia Maria A.K

Else Nathania K. Rafika Nur A.

Hartanti Tri Nugraheni Rut W.


Latar Belakang Pangan merupakan komoditas yang strategis dan penting karena makanan menjadi kebutuhan dasar bagi kehidupan manusia dan hal tersebut dijamin oleh UU No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan. Oleh karena itu, ketahanan pangan menjadi prioritas yang penting.

Ketahanan pangan nasional saat ini menghadapi berbagai tantangan. Indonesia memiliki populasi sebesar 269 juta jiwa dengan tingkat pertumbuhan sebesar 1,1 persen per tahun (BPS, 2019). Hal tersebut menjadikan pangan sebagai masalah yang sensitif baik dari sisi pemenuhan ketersediaan, akses, maupun pemanfaatannya karena seluruh masyarakat tentu butuh pangan untuk menjalankan aktivitas. Pemenuhan ketersediaan pangan dipengaruhi oleh penurunan luas lahan sawah ± 12,97% per tahun yang menyebabkan penurunan produksi beras sebagai bahan pangan pokok penduduk Indonesia. Selain itu, perubahan iklim yang mempengaruhi perubahan suhu dan curah hujan juga berdampak pada ketersediaan air, baik dari sisi kuantitas maupun kualitas untuk pertumbuhan dan produktivitas tanaman. Secara khusus, tanaman padi yang membutuhkan ketersediaan air permukaan yang tinggi akan sangat rentan terhadap perubahan iklim sehingga produksi beras akan sangat dipengaruhi oleh anomali iklim. Kemudian, pada sisi pola konsumsi pangan yang dilihat dari skor Pola Pangan Harapan (PPH), konsumsi pangan Indonesia juga masih menunjukkan kondisi yang belum ideal. Pada tahun 2018, skor PPH sebesar 91,3 dimana situasi konsumsi masyarakat Indonesia masih didominasi oleh kelompok padi padian terutama beras, yaitu sebesar 65,7 persen. Angka ini lebih besar jika dibandingkan dengan angka yang direkomendasikan, yaitu sebesar 50 persen. Dengan demikian, diversifikasi pangan menjadi salah satu pilar utama dalam mewujudkan ketahanan pangan.


Diversifikasi konsumsi pangan tidak hanya sebagai upaya mengurangi ketergantungan pada beras tetapi juga menjadi upaya peningkatan perbaikan gizi untuk mendapatkan manusia yang berkualitas dan mampu berdaya saing dalam percaturan globalisasi (Himagizi, 2009). Pola konsumsi makanan bermutu gizi seimbang mensyaratkan perlunya diversifikasi makanan dalam menu sehari-hari. Ini berarti menuntut adanya ketersediaan sumber zat tenaga (karbohidrat dan lemak), sumber zat pembangun (protein), dan sumber zat pengatur (vitamin dan mineral). Makanan yang beraneka ragam sangat penting karena tidak ada satu jenis makanan yang dapat menyediakan gizi bagi seseorang secara lengkap (Khomsan, 2004) Konsumsi makanan yang beraneka ragam akan menghindari terjadinya kekurangan zat gizi karena susunan zat gizi pada makanan saling melengkapi antara satu jenis dengan jenis lainnya sehingga diperoleh masukan zat gizi seimbang (Depkes RI, 2003). Dalam Undang-undang Nomor 18 Tahun 2012, sistem pangan nasional menempatkan kedaulatan kemandirian pangan sebagai salah satu dasar dalam melaksanakan pembangunan pangan nasional. Pada aspek kemandirian pangan, diprioritaskan produksi pangan yang beraneka ragam dari dalam negeri dengan memanfaatkan potensi dan kearifan lokal untuk menjamin pemenuhan kebutuhan pangan. Untuk mengurangi ketergantungan masyarakat terhadap beras sebagai bahan pangan pokok, pemerintah melalui Badan Ketahanan Pangan telah merilis Roadmap Diversifikasi Pangan Lokal Sumber Karbohidrat 2020-2024 sebagai kerangka kerja awal untuk provinsi - provinsi prioritas, salah satunya adalah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki potensi alam yang menjanjikan dengan ketersediaan berbagai jenis tanaman pangan lokal, seperti ubi jalar, ubi kayu, jagung, kedelai, sorgum, dan kacang-kacangan yang dapat menggantikan (substitusi) atau sebagai pendamping beras (komplemen). Upaya diversifikasi pangan berbasis pangan lokal akan berdampak terhadap ketersediaan bahan pangan lokal tersebut. Dengan demikian penulis tertarik untuk meneliti mengenai diversifikasi konsumsi pangan dengan judul “Peran Diversifikasi terhadap Ketahanan Pangan di Daerah Istimewa Yogyakarta”.


Rumusan Masalah 1. Bagaimana pola konsumsi beras di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta? 2. Bagaimana peran diversifikasi pangan lokal terhadap ketahanan pangan dengan mengetahui pengaruh produksi tanaman pangan non padi terhadap konsumsi beras di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta? 3. Bagaimana tantangan diversifikasi pangan lokal di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta?

Tujuan Penelitian 1. Mengetahui pola konsumsi beras di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta 2. Mengetahui peran diversifikasi pangan lokal terhadap ketahanan pangan DIY

dengan mengetahui pengaruh produksi tanaman pangan non padi terhadap konsumsi beras 3. Mengetahui tantangan diversifikasi pangan lokal DIY


II. TINJAUAN PUSTAKA Pangan Pengertian pangan menurut UU RI No. 11 tahun 2020 adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati produk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan, perairan, dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lainnya yang digunakan dalam penyiapan, pengolahan, dan/atau pembuatan makanan atau minuman.

Komoditas Pangan di Indonesia Indonesia sebagai negara agraris memiliki komoditas pertanian yang beragam. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, tanaman pangan adalah semua tumbuhan berbatang, berakar, dan berdaun yang dapat dikonsumsi oleh manusia. Moeljopawiro dan Manwan (1992) mengelompokkan tanaman pangan menjadi tiga kelompok, yaitu 1) komoditas utama: padi (beras), jagung, ubi kayu, ubi jalar, kedelai, kacang tanah, dan kacang hijau; 2) komoditas potensial: talas, uwi, sorgum, sagu, biji wijen, dan biji-bijian lainnya; 3) komoditas introduksi: ganyong, jewawut, dan gandum. Komoditas utama padi (beras) menjadi pilihan mayoritas penduduk Indonesia sebagai pemenuh sumber karbohidrat, tetapi tidak semua wilayah di Indonesia mengonsumsi beras sebagai makanan pokok. Berbagai wilayah di Indonesia memiliki potensi pangan lokal. Menurut UU RI No. 11 Tahun 2020, pangan lokal adalah makanan yang dikonsumsi oleh masyarakat setempat sesuai dengan potensi dan kearifan lokal. Keragaman pangan lokal yang dimiliki negara kita dapat dilihat dari pola konsumsi pangan masyarakat. Pola konsumsi pangan masyarakat ini berbeda antara satu daerah dengan daerah lainnya. Hal ini dipengaruhi oleh berbagai faktor, diantaranya adalah kondisi biotika lahan, ketersediaan pangan, sosial budaya, pengetahuan gizi, ekonomi, dan lingkungan. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa mengonsumsi aneka pangan lokal yang ada sudah menjadi kebiasaan masyarakat Indonesia sejak dahulu. Di wilayah Indonesia bagian timur, khususnya Provinsi Maluku dan Papua, penduduk lokal di sana menjadikan ubi kayu dan ubi jalar sebagai makanan pokok setelah sagu (Raharjo dkk, 2014). Lalu, ada juga tanaman pangan jagung yang menjadi makanan pokok penduduk Provinsi Nusa Tenggara Timur (Yusuf dkk, 2013). Tanaman pangan selain sumber karbohidrat, seperti kedelai juga lebih banyak dikonsumsi dan diproduksi di Pulau Jawa dan Pulau Sumatra dalam bentuk produk olahan, yaitu 88% diolah menjadi tahu dan tempe, 10% untuk pangan olahan lainnya, kemudian sisanya digunakan untuk benih (Kasryno et al, 1985 dalam Sudaryanto & Swastika, 2005) sedangkan tanaman pangan kacang hijau dan kacang tanah sebagian besar diproduksi di Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur, tetapi tingkat konsumsinya tersebar merata di seluruh Indonesia (Swastika, 2014).


Beragamnya tanaman pangan sumber karbohidrat non beras memiliki keunggulan dalam kandungan gizi. Sebagai contoh, ubi kayu yang memiliki kandungan serat tinggi dan angka indeks glikemik rendah sehingga baik dikonsumsi oleh penderita diabetes. Kemudian, ubi jalar yang kaya akan vitamin, mineral, dan antioksidan (Badan Ketahanan Pangan, 2020). Lalu, jagung, yaitu sebagai pengganti beras yang tepat bagi seseorang dengan masalah pencernaan karena kandungan seratnya yang tinggi. Di samping itu, tanaman pangan berupa kacang-kacangan, seperti kedelai, kacang tanah, dan kacang hijau pun memiliki nilai gizi yang tinggi. Kacang-kacangan mengandung vitamin B: thiamin, riboflavin, niasin, dan asam folat; serta mineral: Ca, Fe, P, K, Zn, Mg (Dostalova, 2009 dalam Ekafitri & Isworo, 2013). Dari uraian tersebut menunjukkan bahwa konsumsi tanaman pangan yang beragam merupakan salah satu upaya strategis untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang lebih sehat.

Permasalahan Pangan di Indonesia Thomas Robert Malthus dalam teori “Population Trap” mengemukakan bahwa pertumbuhan penduduk itu berkembang menurut deret ukur atau geometris dan akan bertambah dua kali lipat setiap 30-40 tahun. Di samping itu, pertumbuhan bahan pangan bertambah menurut deret hitung atau aritmatika. Teori Malthus ini mengingatkan bahwa generasi yang akan datang akan memiliki permasalahan ketersediaan pangan yang lebih kompleks. Indonesia merupakan negara dengan jumlah penduduk sebanyak 271 juta jiwa tentunya tidak lepas dari kebutuhan pangan.Pemenuhan kebutuhan pangan Indonesia dengan populasi terbesar keempat di dunia memiliki berbagai tantangan dan permasalahan. Permasalahan pangan di Indonesia meliputi ketersediaan dan diversifikasi konsumsi dan produksi. Menurut Purwaningsih (2008), ketercukupan jumlah pangan dan terjaminnya mutu pangan merupakan aspek penting dari ketersediaan pangan. Ketersediaan pangan di Indonesia tak lepas dari proses produksi hingga distribusi bahan pangan hingga sampai ke tangan masyarakat. Dalam memproduksi bahan pangan, lahan memiliki peran yang penting. Akan tetapi, lahan pertanian di Indonesia mulai menyempit karena adanya alih fungsi menjadi lahan non-pertanian, seperti permukiman. Dari sisi penyediaan, penurunan luas lahan sawah ± 12,97% per tahun dapat berdampak pada


penurunan produksi beras sebagai bahan pangan pokok penduduk Indonesia. Selain itu, perubahan iklim yang mempengaruhi perubahan suhu dan curah hujan juga berdampak pada ketersediaan air, baik dari sisi kuantitas maupun kualitas untuk pertumbuhan dan produktivitas tanaman. Secara khusus, tanaman padi yang membutuhkan ketersediaan air permukaan yang tinggi akan sangat rentan terhadap perubahan iklim sehingga produksi beras akan sangat dipengaruhi oleh anomali iklim. Permasalahan mengenai diversifikasi pangan pun tak ada habisnya. Meski Indonesia memiliki tanaman pangan non-beras yang cukup beragam, tetapi hal itu belum dimanfaatkan dengan baik. Hal ini disebabkan oleh perilaku konsumsi masyarakat yang masih berfokus pada beras sebagai sumber utama karbohidrat. Indonesia menempati peringkat keempat di dunia sebagai negara dengan volume konsumsi nasi terbesar (Index Mundi, 2021). Pada tahun 2018, pola konsumsi beras di Indonesia telah melebihi anjuran yang ditetapkan oleh BKP yaitu 100,4 kg/kap/tahun, sedangkan konsumsi beras Indonesia mencapai 265,9 kg/kap/tahun (BKP, 2019). Kemudian pada tahun 2019, konsumsi beras per kapita mengalami penurunan menjadi 259,9/gram/kap/hari, tetapi tetap saja melebihi anjuran konsumsi ideal (BKP, 2020). Hal tersebut menunjukkan bahwa masih rendahnya minat masyarakat Indonesia terhadap pola pangan lokal dan berpindah ke sumber karbohidrat beras atau mie (Rachman dan Ariani, 2019). Menurunnya minat masyarakat terhadap pola pangan lokal dapat disebabkan oleh berbagai faktor tertentu, seperti ketersediaan, daya terima masyarakat, ekonomi, dan budaya (Purwaningsih, 2008). Daya terima masyarakat dipengaruhi oleh kebudayaan makan nasi sebagai sumber karbohidrat yang sampai sekarang masih dilakukan sehingga minat masyarakat terhadap kelompok pangan yang lain menurun. Jika tidak diimbangi dengan produksi padi yang cukup, kebiasaan makan nasi yang masih tinggi ini dapat menimbulkan kurangnya ketersediaan beras di masyarakat. Potensi pangan lokal belum dimanfaatkan secara maksimal juga dapat dilihat dari margin yang tinggi antara produksi dan konsumsi pangan lokal di beberapa wilayah di Indonesia. Menurut data yang dirilis oleh Badan Ketahanan Pangan Indonesia melalui Roadmap Diversifikasi Pangan Lokal Sumber Karbohidrat Non Beras 2020-2024, ubi kayu paling banyak di produksi di Provinsi Lampung, namun tingkat konsumsi per kapita paling tinggi ada di Provinsi Papua. Hal tersebut juga terjadi untuk komoditas jagung. Provinsi Jawa Timur menempati tingkat produksi Jagung terbesar, namun tingkat konsumsi jagung tertinggi dipegang oleh Provinsi NTT. Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat korelasi yang positif antara sebaran produksi komoditas pangan dan tingkat konsumsinya.


Ketahanan Pangan Menurut UU RI No.11 Tahun 2020, ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi negara sampai dengan perseorangan yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik dari segi jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan. Badan Ketahanan Pangan (2018) menyatakan bahwa terdapat tiga aspek yang harus dipenuhi dalam mencapai ketahanan pangan, yaitu ketersediaan, keterjangkauan, dan pemanfaatan pangan. Tiga aspek tersebut berperan penting dalam penguatan sistem pangan. Pertama, aspek ketersediaan pangan berkaitan dengan produksi hingga pencadangan pangan berbasis sumberdaya lokal. Kedua, aspek keterjangkauan pangan mencakup pemasaran dan pasokan pangan kepada seluruh masyarakat, terutama pada masyarakat miskin dan rawan gizi. Ketiga, aspek pemanfaatan pangan mengawasi pola konsumsi pangan serta kecukupan gizi pada masyarakat. Oleh karena itu, penelitian ini berfokus pada ketahanan pangan aspek pemanfaatan pangan dengan penekanan pada upaya diversifikasi pangan lokal. Diversifikasi pangan lokal dilakukan dengan tujuan untuk memenuhi target pola pangan harapan (PPH). Menurut FAO-RAPA (1989) dalam BKP (2015) mendefinisikan pola pangan harapan sebagai proporsi keseimbangan dari konsumsi pangan yang beragam untuk memenuhi kebutuhan energi dan gizi dalam tubuh. Pentingnya perhitungan skor PPH ini adalah untuk mengevaluasi keragaman dan keseimbangan konsumsi pangan masyarakat demi mewujudkan ketahanan pangan nasional. Semakin tinggi skor atau nilai PPH (maksimal 100) menunjukkan bahwa pangan yang dikonsumsi masyarakat semakin beragam dan bergizi seimbang. Selain digunakan untuk mengevaluasi kualitas konsumsi masyarakat, skor PPH juga dapat digunakan untuk perencanaan penyediaan dan produksi pangan pada tahun-tahun berikutnya. Di samping itu, diversifikasi pangan adalah salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mengurangi risiko penurunan produksi tanaman pangan akibat perubahan iklim (Sumaryanto, 2009). Penurunan produksi tanaman pangan tersebut disebabkan oleh adanya peningkatan suhu dan salinitas tanah, terjadinya banjir dan kekeringan, serta meningkatnya serangan hama dan penyakit tanaman selama periode cuaca ekstrem. Pada umumnya, tanaman pangan merupakan tanaman semusim yang sensitif terhadap cuaca sehingga perlu adanya langkah berupa diversifikasi tanaman untuk menyesuaikan varietas tanaman dengan cuaca yang kerap berubah. Dari sisi konsumsi, diversifikasi pangan memperluas pilihan bahan pangan yang dikonsumsi masyarakat sehingga memperkuat ketahanan pangan (Asnawi, 2015).


Diversifikasi Pangan Upaya untuk mendiversifikasi pola konsumsi dan produksi pangan di Indonesia telah dilakukan Pemerintah Indonesia melalui Badan Ketahanan Pangan dengan mengadakan program diversifikasi pangan lokal sumber karbohidrat pengganti beras untuk mewujudkan ketahanan pangan Indonesia. Program diversifikasi pangan di Indonesia juga telah ada sejak 2002 yang tertulis dalam Peraturan Pemerintah No 68 tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan, disebutkan bahwa program diversifikasi pangan dilakukan demi mewujudkan swasembada beras dengan meminimalkan konsumsi beras agar tidak melebihi produksinya. Kini, diversifikasi pangan diamanatkan dalam Undang-undang Nomor 18 tahun 2012 tentang pangan dan Peraturan Pemerintah Nomor 17 tahun 2015 tentang Ketahanan Pangan dan Gizi untuk mengurangi ketergantungan konsumsi beras dan terigu. Diversifikasi pangan merupakan suatu usaha menyediakan berbagai ragam produk pangan, baik dalam jenis maupun bentuk dengan banyak pilihan sehingga tersedia bagi konsumen untuk memilih menu makanan yang diinginkan (Ekawati et al., 2019). Terdapat beberapa pengertian mengenai diversifikasi pangan. Pertama, diversifikasi pangan sebagai pemantapan produksi padi. Tujuannya untuk mengendalikan laju peningkatan konsumsi beras, minimal seimbang dengan kemampuan peningkatan produksi beras. Kedua, diversifikasi pangan untuk perbaikan mutu gizi makanan penduduk sehari-hari agar lebih beragam dan seimbang. Pada penelitian ini, fokusnya ada pada tujuan pertama, yaitu mengendalikan laju peningkatan konsumsi beras. Di sisi lain, adanya diversifikasi pangan juga dapat bermanfaat untuk mendapatkan nutrisi dari sumber gizi yang lebih beragam dan seimbang. Diversifikasi pangan umumnya dilakukan masyarakat kawasan ASEAN dan Indonesia. Hal ini dikarenakan mayoritas negara di wilayah Asia Tenggara merupakan wilayah penghasil beras dan mayoritas masyarakatnya mengkonsumsi nasi. Pada 2020, Kementerian Pertanian mengeluarkan kebijakan dua Strategi Cara Bertindak (CB) sebagai upaya peningkatan ketersediaan dan konsumsi pangan lokal sumber karbohidrat pengganti beras (BKP, 2019). Strategi CB pertama adalah peningkatan ketersediaan pangan di era new normal. Strategi yang dilakukan adalah meningkatkan produktivitas pangan lokal melalui teknologi budidaya, penggunaan bibit unggul, dan peningkatan skala usaha tani. Kedua, meningkatkan aksesibilitas masyarakat terhadap pangan lokal dan menjaga stabilisasi pasokan dan harga serta memperluas patokan usaha dan partner kerja sama. Ketiga, mengedukasi masyarakat bahwa pangan lokal dapat dimanfaatkan dan memiliki berbagai keunggulan dari segi gizi dan nutrisi. Strategi CB kedua adalah pengembangan diversifikasi pangan lokal berbasis kearifan lokal pada satu komoditas utama per provinsi.


Ketahanan Pangan di DIY Perwujudan ketahanan pangan di Provinsi Yogyakarta telah dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah Provinsi Yogyakarta dengan memiliki Dinas Ketahanan Pangan tersendiri, misalnya di Kabupaten Bantul. Upaya perwujudan ketahanan pangan tersebut bertujuan membantu masyarakat lokal untuk memenuhi kebutuhan dan ketersedian pangan yang ada di daerah Yogyakarta. Masyarakat akan mengalami kekurangan gizi apabila ketahanan pangan tidak memenuhi syarat yang berlaku. Kekurangan gizi, kemiskinan, dan perekonomian lemah merupakan beberapa dampak yang akan terjadi jika kekurangan pangan. Data yang dirilis oleh Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian RI menunjukan Indeks Ketahanan Pangan (IKP) di Daerah Provinsi Yogyakarta tahun 2020 berada pada peringkat 4 dengan skor 80,67. Apabila dilihat dari tahun sebelumnya yaitu 2019, indeks ketahanan pangan di Provinsi Yogyakarta adalah 83,63 sehingga menurun sebesar 2,96. Namun, dengan skor tersebut tetap menunjukkan bahwa Provinsi Yogyakarta memiliki ketahanan pangan paling baik karena masuk ke dalam cut off point kelompok 6. Cut off point adalah hasil penjumlahan dari masing-masing perkalian antara bobot indikator individu dengan cut off point indikator individu hasil standarisasi z-score dan distance to scale (0-100). Kelompok 1 merupakan daerah yang cenderung memiliki kerentanan terhadap ketahanan pangan dibandingkan dengan kelompok di atasnya. Kelompok 6 merupakan daerah yang memiliki ketahanan paling baik. Kelompok 1 dikategorikan dengan skor IKP provinsi ≤ 37,61, sedangkan kelompok 6 dikategorikan dengan skor IKP provinsi > 74,40. Dengan demikian, provinsi DIY termasuk ke dalam wilayah yang memiliki ketahanan pangan paling baik di Indonesia.

Diversifikasi Pangan di DIY Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) sebagai provinsi yang memiliki jumlah penduduk yang besar dengan tingkat konsumsi yang relatif tinggi menunjukkan bahwa pola konsumsi pangan masyarakat DIY masih didominasi oleh satu pangan pokok, yaitu padi-padian (Ismiasih et al., 2013). Capaian energi untuk padi-padian, umbi-umbian dan kelompok bahan pangan lainnya secara total masih di bawah standar kecukupan kalori. Konsumsi energi di DIY pada tahun 2019 sebesar 2145,58 kkal/kap/hari dan menunjukkan jumlah yang masih di bawah standar kecukupan secara nasional. Dari sejumlah kelompok komoditas pangan tersebut, padi-padian masih menyumbangkan energi yang paling banyak dikonsumsi oleh masyarakat, kemudian disusul berturut-turut dengan minyak dan lemak, telur dan susu, daging, kacangkacangan dan kelompok umbi-umbian sebesar 33,02 kkal. Hal ini menunjukkan bahwa pola pangan masyarakat di Provinsi DIY masih tergantung pada padi-padian, sementara pangan dari umbi-umbian masih tergolong rendah. Angka tersebut menunjukkan


bahwa secara mikro pada tingkat rumah tangga di Provinsi DIY masih terdapat masalah, yaitu keragaman konsumsi pangan yang belum beragam. Selain itu, dilihat dari pola konsumsi pangan di Provinsi DIY dari tahun 2017-2019, berdasarkan skor PPH yaitu 89,03-94,70% (Bappeda Provinsi DIY, 2021) menunjukkan hasil yang masih belum sesuai dengan pola pangan ideal yang diharapkan, seperti yang tertuang dalam PPH (standar yang dianjurkan: 100). Keragaman konsumsi pangan di DIY dari nilai PPH tergolong masih belum beragam. Dapat dibuktikan dari data Bappeda Provinsi DIY, pola konsumsi umbi-umbian pada tahun 2019 mendapatkan skor 0,90, padahal skor PPH standar adalah 2,50. Dalam hal pengembangan diversifikasi pangan di DIY, Pemerintah Daerah mengeluarkan Peraturan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 88 tahun 2012 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Gerakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Sumber Daya Lokal. Kebijakan tersebut diharapkan dapat mengurangi ketergantungan terhadap satu jenis bahan pangan dan memaksimalkan sumberdaya pangan lokal yang sangat berpotensi di DIY. Penelitian lain telah dilakukan untuk mengetahui bagaimana peran diversifikasi pangan terhadap ketahanan pangan. Salah satu contohnya adalah penelitian oleh Fadhla dan Tarmizi (2015) yang meneliti peran diversifikasi pangan non beras di Sumatera Utara. Penelitian dilakukan dengan metode analisis deskriptif dan Ordinary Least Square (OLS) dengan jenis data time-series pada kurun waktu 2000-2013. Berdasarkan hasil analisis deskriptif, diperoleh perkembangan konsumsi beras yang berubah sepanjang tahun selama kurun waktu penelitian. Penurunan terjadi pada tahun 2012 sebesar 12,49 kg/kap/hari menjadi 98,61 kg/kap/hari. Penurunan yang terjadi di Sumatera Utara tersebut disebabkan program diversifikasi yang semakin digalakkan dengan peningkatan konsumsi pangan non beras. Hasil analisis tersebut menyatakan bahwa variabel produksi jagung memiliki pengaruh signifikan dan positif terhadap konsumsi beras di Sumatera Utara. Sebaliknya, variabel produksi ketela memiliki pengaruh negatif terhadap konsumsi beras. Produksi ketela tidak memberikan pengaruh signifikan terhadap konsumsi beras dalam kurun waktu 2002-2013 (Fadhla dan Tarmizi, 2015). Sedangkan pada penelitian yang dilakukan oleh Ginting et al. (2015) dengan judul “Analisis Pengaruh Volume Produksi Kedelai, Jagung, Ubi Kayu dan Ubi Jalar Terhadap Tingkat Konsumsi Beras di Sumatera Utara” menggunakan metode data sekunder dengan jenis data kuantitatif bentuk time series. Penelitian tersebut mencakup dari 26 Kabupaten/Kota pada kurun waktu 15 tahun (1999 – 2013). Hasil dari penelitian menunjukan bahwa perlu ditingkatkannya pengembangan produksi terhadap kedelai, jagung, ubi kayu, dan ubi jalar untuk meningkatkan ketersediaan pangan non beras sebagai substitusi beras di Sumatera Utara. Hal ini sesuai dengan program dari Kementerian Pertanian (Kementan) RI yang menjadikan tanaman jagung, ubi jalar, dan ubi kayu sebagai komoditas alternatif dari komoditas beras. Dari semua


variabel, yaitu volume produksi kedelai, jagung, ubi kayu, dan ubi jalar, hanya volume produksi jagung yang berpengaruh nyata terhadap tingkat konsumsi beras di Sumatera Utara. Menurut Ginting et al. (2015), hal tersebut disebabkan jagung merupakan salah satu komoditas utama tanaman pangan yang memiliki peranan strategis karena mempunyai banyak kegunaan, baik untuk konsumsi langsung maupun sebagai bahan baku utama industri pangan. Oleh karena itu, perlu lebih ditingkatkan pengembangan hasil olahan seperti kedelai, ubi kayu dan ubi jalar sebagai upaya pengembangan diversifikasi pangan di Sumatera Utara (Ginting et al., 2015).


III. METODE PENELITIAN Daerah penelitian ditentukan secara purposive, yaitu Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yang terdiri dari 5 kabupaten/kota yaitu Sleman, Bantul, Gunungkidul, Kulonprogo, dan Yogyakarta. Data yang digunakan adalah data sekunder dengan jenis data kuantitatif bentuk time series tahunan pada kurun waktu 10 tahun (2009-2019). Data bersumber dari Badan Pusat Statistik, Dinas Ketahanan Pangan DIY, dan Kementerian Pertanian RI. Data yang digunakan dalam menganalisis pengaruh produksi tanaman pangan non padi terhadap tingkat konsumsi beras di provinsi DIY adalah data volume produksi kedelai, kacang tanah, kacang hijau, jagung, ubi kayu, ubi jalar, dan data konsumsi beras provinsi DIY dalam kurun waktu 10 tahun terakhir yaitu tahun 2009 - 2019. Seluruh data yang diperoleh terlebih dahulu ditabulasi kemudian dianalisis sesuai dengan tujuan penelitian. Data konsumsi beras DIY dianalisis dengan metode grafik dan trend linear analysis untuk melihat bagaimana kecenderungan tingkat konsumsi beras di Provinsi DIY. Untuk mengetahui peran diversifikasi pangan lokal terhadap konsumsi beras dilakukan analisis pengaruh volume produksi tanaman non padi yang memengaruhi konsumsi beras. Analisis yang dilakukan menggunakan analisis regresi linier berganda metode Ordinary Least Square (OLS) dengan alat bantu software STATA 4.0 yang melibatkan variabel dependen, yaitu konsumsi beras DIY yang menjelaskan Y dan variabel independen, yaitu volume produksi tanaman pangan non beras yang meliputi kedelai, jagung, ubi kayu, ubi jalar, kacang hijau, dan kacang tanah di DIY, yang menjelaskan X. Berikut ini merupakan bentuk persamaan regresi linier berganda yang digunakan : Y

= b0 + b1X1 + b2X2 + b3X3 + b4X4 + b5X5 + b6X6 + u

Y

= Konsumsi beras b0 = Konstanta / Koefisien Intersep

b1

= Koefisien Produksi Kedelai

b2

= Koefisien Produksi Kacang Tanah

b3

= Koefisien Produksi Kacang Hijau

b4

= Koefisien Produksi Jagung

b5

= Koefisien Produksi Ubi Kayu

b6

= Koefisien Produksi Ubi Jalar

X1

= Produksi Kedelai

X2

= Produksi Kacang Tanah

X3

= Produksi Kacang Hijau


X4

= Produksi Jagung

X5

= Produksi Ubi Kayu

X6

= Produksi Ubi Jalar

Koefisien yang dihasilkan dapat dilihat pada output regresi berdasarkan data yang dianalisis untuk kemudian diinterpretasikan serta dilihat signifikansi tiap-tiap variabel yang diteliti. R2 (koefisien determinasi) bertujuan untuk mengetahui kekuatan variabel independen menjelaskan variabel dependen. Uji simultan (F-test), bertujuan untuk mengetahui signifikansi statistik koefisien regresi secara simultan. Jika nilai (Prob>F) < 0.05 , maka H0 ditolak dan H1 diterima. Uji parsial (t-test), bertujuan untuk mengetahui signifikansi statistik koefisien regresi secara parsial. Jika 0.05 ≥ (P>|t|), maka H0 ditolak dan H1 diterima. Selain kriteria statistik, juga diperlihatkan uji asumsi klasik berupa uji multikolinearitas, uji heteroskedastisitas, dan uji normalitas. Sedangkan, untuk mengetahui tantangan diversifikasi pangan lokal di DIY dilakukan studi literatur.


IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Grafik Pola Konsumsi Beras di DIY

Pemerintah telah berupaya mewujudkan diversifikasi pangan sejak tahun 60-an. Sekitar tahun 1968, muncul istilah “beras tekad” yaitu campuran dari ubi jalar, kacang, dan jagung yang ditumbuk dan digiling agar menyerupai bulir-bulir beras. Pabrik beras tekad dibangun di Bandung dan Yogyakarta. Selain itu, pemerintah juga membuat program anjuran untuk mengkombinasikan beras dengan jagung atau lebih dikenal dengan istilah “beras jagung”. Secara resmi, kebijakan mengenai diversifikasi dicanangkan melalui Inpres No 14 tahun 1974 tentang Perbaikan Menu Makanan Rakyat (UPMMR) yang kemudian disempurnakan melalui Inpres No. 20 tahun 1979. Berdasarkan Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan Pemerintah Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta (2016), diversifikasi pangan di DIY kembali digalakkan mulai 2012. Hal tersebut selaras dengan hasil grafik yang ditampilkan bahwa pada 2012 konsumsi beras di DIY mengalami penurunan yang cukup drastis dari 2009-2011. Pada 2009- 2011, konsumsi beras di DIY hampir mencapai 100 kg/kapita, sedangkan tahun 2012 konsumsi beras DIY mengalami penurunan hampir mencapai 85 kg/kapita. Hasil dari gerakan diversifikasi pangan lokal terlihat pada 2013 sampai 2015. Pada rentang tahun tersebut terlihat sedikit penurunan konsumsi beras yang dibarengi dengan adanya peningkatan konsumsi jagung, kentang, dan ubi jalar. Konsumsi jagung dan ubi jalar menunjukkan peningkatan sebesar 0,3 kg/kap/tahun. Lalu, konsumsi kentang meningkat sebesar 0,9 kg/kap/tahun. Di samping itu, konsumsi beras mengalami penurunan sebesar 4,1 kg/kap/tahun (Bahan Ketahanan Pangan, 2019). Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa terjadi diversifikasi pangan di DI Yogyakarta terutama pada pangan sumber karbohidrat. Grafik di atas menunjukkan pola konsumsi beras yang ada di DIY. Dilihat dari grafik, pada 2016-2017, konsumsi beras sedikit turun. Selanjutnya, pada 2017-2019, terjadi penurunan konsumsi beras yang cukup drastis dibandingkan dengan tahuntahun sebelumnya. Menurut Wardani et al. (2019), terdapat beberapa faktor yang


mempengaruhi permintaan atau jumlah konsumsi masyarakat. Faktor-faktor tersebut antara lain, yaitu harga komoditas beras, harga komoditas lain, jumlah penduduk, dan pendapatan konsumen. Selain itu, penurunan konsumsi beras juga dapat menandakan keberhasilan diversifikasi pangan sesuai dengan tujuan dari diversifikasi pangan itu sendiri. Beberapa tahun terakhir pemerintah semakin menggalakan program diversifikasi pangan dengan melakukan sosialisasi peningkatan konsumsi bahan pangan non beras seperti umbi-umbian, kentang, sayuran, dan bahan pangan lainnya (Fadhla dan Tarmizi, 2015). Menurut Ismiasih, dkk (2013) pendapatan menjadi faktor utama peningkatan dan penurunan konsumsi beras. Pendapatan yang meningkat cenderung membuat diversifikasi pangan menurun karena lebih banyak uang akan teralokasi untuk bahan pangan yang berkualitas dengan harga yang lebih mahal dan jumlahnya terbatas. Pemerintah DIY terus melakukan gerakan diversifikasi pangan lokal dengan mengadakan penyuluhan, talkshow Gerakan Diversifikasi Pangan Lokal, dan pameran aneka produk UMKM pangan lokal yang dilakukan pada november 2020 secara tatap muka dan virtual di Grand Aston Hotel Yogyakarta.

Pengujian Model Analisis Pengaruh Volume Produksi Tanaman Pangan Non Beras Terhadap Konsumsi Beras di DIY Penelitian ini menggunakan analisis regresi linier berganda metode Ordinary Least Square (OLS) dalam menentukan pengaruh volume produksi tanaman pangan non beras terhadap konsumsi beras. Adapun variabel independennya meliputi: volume produksi tanaman pangan kedelai, jagung, ubi kayu, ubi jalar, kacang hijau, dan kacang tanah, sedangkan variabel dependennya adalah volume konsumsi beras DIY yang ada di Provinsi DIY. Dalam pengujian ini diharapkan memenuhi bebas semua asumsi yang disyaratkan. Diantaranya adalah asumsi multikolinearitas, heteroskedastisitas, dan normalitas. Dengan terpenuhinya asumsi tersebut, maka akan menghasilkan variabel estimasi yang tidak bisa atau disebut BLUE (Best Linear Unbiased Estimator). Jika terdapat salah satu asumsi dalam model estimasi tidak terpenuhi oleh model, maka kebenaran estimasi model atau pengujian hipotesis untuk pengambilan keputusan menjadi kurang valid. Uji multikolinearitas digunakan untuk mengetahui apakah dalam model estimasi terdapat hubungan linier antar variabel independen. Model regresi yang baik adalah yang tidak memiliki interkorelasi atau korelasi antar variabel independen. Jika terdapat multikolinearitas dalam suatu model estimasi akan menyebabkan hasil estimasi menjadi bias karena nilai varians dan standard error membesar. Pengujian multikolinearitas dapat diketahui dengan melihat nilai variance inflation factor (VIF) yang dimiliki setiap variabel independen. Batas nilai VIF adalah 10, apabila nilai VIF lebih besar daripada 10 maka dapat dikatakan terjadi multikolinearitas (Gujarati, 2006). Pada hasil pengujian di


tabel 1 didapatkan nilai VIF < 10 atau bernilai 2.95, maka dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat multikolinearitas antara variabel independen. Tabel 1 Pengujian Multikolinearitas

Uji normalitas digunakan untuk menganalisis apakah sampel dalam suatu model estimasi memiliki error yang terdistribusi secara normal atau tidak. Suatu model regresi dikatakan baik dan layak untuk dilakukan pengujian secara statistik ketika memiliki distribusi yang normal atau mendekati normal. Pengujian normalitas data pada penelitian ini menggunakan Test of Normality Shapiro Wilk menggunakan software statistik STATA. Uji Shapiro-Wilk merupakan metode uji normalitas yang pada umumnya penggunaannya terbatas untuk sampel yang kurang dari lima puluh agar menghasilkan keputusan yang akurat (Shapiro dan Wilk dalam Razali dan Wah, 2011). Data dinyatakan normal jika memiliki signifikansi (prob > z) lebih besar dari 0,05 (Priyatno, 2009). Berdasarkan hasil pengolahan data pada tabel 2, dua dari enam variabel independen yaitu variabel kacang hijau dan variabel ubi kayu memiliki nilai kurang dari 0,05 atau data tidak signifikan sedangkan empat variabel lainnya telah memenuhi uji normalitas. Alternatif pengujian normalitas lainnya adalah menggunakan Uji Normal Probability Plot untuk melihat apakah model regresi terdistribusi secara normal atau tidak. Pengambilan keputusan untuk menentukan apakah data berdistribusi normal adalah dengan melihat titik-titik plotting, jika data menyebar berada di dekat atau mengikuti garis diagonalnya, maka model regresi memenuhi asumsi normalitas (Ghozali, 2013). Sebaliknya, jika titik-titik menjauh, tersebar, atau tidak mengikuti garis diagonal maka menggambarkan data tidak berdistribusi normal. Berdasarkan grafik normal probability plot yang terdapat pada tabel 3, didapatkan bahwa titik-titik ploting selalu mengikuti dan mendekati garis diagonalnya. Sehingga dapat disimpulkan bahwa error dalam model estimasi berdistribusi normal. Dengan demikian, asumsi normalitas dalam regresi linear dapat terpenuhi.


Tabel 2 Uji Normalitas Shapiro Wilk

Tabel 3 Uji Normalitas Probability Plot

Uji heteroskedastisitas digunakan untuk mendeteksi ketidaksamaan varians residual dari pengamatan satu ke pengamatan lainnya. Jika varians dari residual memiliki nilai yang konstan kondisi ini disebut homoskedastisitas, jika berbeda disebut heteroskedastisitas. Model estimasi yang baik adalah homoskedastisitas atau tidak terjadi heteroskedastisitas. Uji heteroskedastisitas pada penelitian ini menggunakan metode Breusch-Pagan. Model estimasi dikatakan tidak terjadi gejala heteroskedastisitas apabila nilai P value yang direpresentasikan melalui “Prob > Chi2” memiliki nilai yang lebih besar dari > 0.05. Berdasarkan hasil uji pada tabel 4 diperoleh nilai Prob > chi2 sebesar 0.8811 artinya lebih besar dari 0.05 (5%), sehingga data ini terindependen dari masalah heteroskedastisitas sehingga asumsi klasik homoskedastisitas dapat terpenuhi.

Tabel 4 Uji heteroskedastisitas


Analisis Pengaruh Volume Produksi Tanaman Pangan Non Beras Terhadap Konsumsi Beras Provinsi DIY Analisis Pengaruh Volume Produksi Tanaman Pangan Non Beras terhadap konsumsi beras DIY dilakukan dengan analisis Regresi Linier Berganda. Volume produksi yang mempengaruhi konsumsi beras diantaranya adalah volume produksi kedelai, jagung, ubi kayu, ubi jalar, kacang hijau, dan kacang tanah. Ketepatan model yang diuji dengan menggunakan uji statistik, yaitu uji simultan (F-test), uji parsial (ttest), dan koefisien determinasi yang disesuaikan dengan R-sq (adj) Tabel 5 Persamaan Regresi Linier Berganda

Model Estimasi Y= 515472.4 - 1.297077Produksi Kedelai- 0.2751691Produksi Kacang Tanah + 157.3873 Produksi Kacang Hijau - 0.5200422Produksi Jagung - 0.0007594Produksi Ubi Kayu - 3.256671Produksi Ubi Jalar Keterangan : Y

: Konsumsi Beras

Produksi Kedelai

: Volume produksi kedelai

Produksi Kacang Tanah

: Volume produksi kacang tanah

Produksi Kacang Hijau

: Volume produksi kacang hijau

Produksi Jagung

: Volume produksi jagung

Produksi Ubi Kayu

: Volume produksi ubi kayu

Produksi Ubi Jalar

: Volume produksi ubi jalar


Uji Simultan (Uji F) Tabel 6 Uji Simultan (Uji F)

Uji simultan (uji F) dilakukan untuk melihat pengaruh dari seluruh variabel independen terhadap variabel dependen secara simultan. Jika nilai sig dibawah 0,05 maka variabel independen berpengaruh terhadap variabel dependen (Sujarweni,2015). Berdasarkan hasil pengujian diketahui nilai signifikansi (Prob>F) = 0,0345, yang berarti lebih kecil dari dari 0.05. Nilai signifikansi yang lebih kecil dari alpha menunjukkan berarti secara simultan volume produksi kedelai, jagung, ubi kayu, ubi jalar, kacang hijau, dan kacang tanah memiliki pengaruh yang signifikan terhadap konsumsi beras di Provinsi DIY. Berdasarkan hasil pengujian ini, dapat disimpulkan bahwa pengembangan produksi tanaman pangan kedelai, jagung, ubi kayu, ubi jalar, kacang hijau, dan kacang tanah penting untuk ditingkatkan dalam rangka mendukung ketersediaan sumber pangan karbohidrat non beras sebagai substitusi beras dan menekan pola konsumsi beras DIY. Hal ini sejalan dengan program Badan Ketahanan Pangan (BKP) berupa Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan (P2KP) sebagai salah satu upaya untuk mewujudkan program peningkatan diversifikasi pangan. Program ini merupakan realisasi dari Peraturan Presiden Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Kebijakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Sumber Daya Lokal dan yang ditindaklanjuti oleh Peraturan Menteri Pertanian Nomor 43 Tahun 2009 Tentang Gerakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Sumber Daya Lokal. Dalam hal ini, Kementerian Pertanian (Kementan) RI memprioritaskan tanaman jagung, ubi jalar, dan ubi kayu sebagai komoditas alternatif dari komoditas beras. Di tingkat DIY, program diversifikasi ditindaklanjuti dengan adanya Peraturan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 88 Tahun 2012 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Gerakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Sumber Daya Lokal. Untuk mendorong Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan (P2KP) diupayakan beberapa kegiatan, diantaranya sosialisasi kepada masyarakat untuk melakukan Program P2KP, peningkatan pengetahuan tentang konsumsi pangan Beragam, Bergizi Seimbang, Aman dan Halal (B2SAH), dan fasilitasi pengembangan usaha pengolahan pangan nusantara (pangan lokal) kepada pelaku usaha dan pengusaha di bidang pangan.


Hasil analisis menunjukkan konstanta variabel produksi lima jenis tanaman pangan, yaitu ubi jalar, ubi kayu, jagung, kacang tanah, dan kedelai bertanda negatif yang berarti produksi tanaman pangan non beras tersebut telah menjadi substitusi beras. Jika terjadi peningkatan volume produksi kelima jenis tanaman pangan tersebut, akan terjadi penurunan konsumsi beras di DIY. Hal ini dapat disebabkan oleh kemampuan dari masing-masing komoditas dalam memenuhi kebutuhan pangan masyarakat. Sedangkan, konstanta variabel produksi kacang hijau bertanda positif atau berbanding lurus terhadap tingkat konsumsi beras di DIY. Hal ini berarti makin besar volume produksi kacang hijau maka tingkat konsumsi beras juga makin besar.

Uji Parsial (Uji T) Tabel 7 Uji Parsial (Uji T)

1. Kedelai

Produksi kedelai memiliki pengaruh yang negatif dan signifikan terhadap tingkat konsumsi individu terhadap beras. Hal tersebut didukung oleh hasil uji hipotesis dimana P value (0.015) < 0.05. Apabila volume produksi kedelai meningkat sebesar 1 ton, maka tingkat konsumsi individu terhadap beras akan mengalami penurunan sebesar 1.297 ton, ceteris paribus.


2. Kacang Tanah

Produksi kacang tanah memiliki pengaruh yang negatif dan tidak signifikan terhadap tingkat konsumsi individu terhadap beras. Hal tersebut didukung oleh hasil uji hipotesis dimana P value adalah 0.313 dan lebih besar dari 0.05 sehingga tidak memenuhi syarat untuk menerima hipotesis alternatif. Berdasarkan hasil uji hipotesis tersebut maka didapatkan bahwa produksi kacang tanah tidak memiliki pengaruh atau memiliki pengaruh yang kecil terhadap konsumsi individu terhadap beras. Apabila volume produksi kacang tanah meningkat sebesar 1 ton maka tingkat konsumsi individu terhadap beras akan menurun sebesar 0.2751 ton, ceteris paribus. Variabel independen produksi kedelai memiliki arah yang negatif terhadap variabel dependen tingkat konsumsi individu terhadap beras.

3. Kacang Hijau

Produksi kacang hijau memiliki pengaruh yang positif dan signifikan terhadap tingkat konsumsi individu terhadap beras. Hal tersebut didukung oleh hasil uji hipotesis dimana P value (0.006) < 0.05. Apabila volume produksi kedelai meningkat sebesar 1 ton, maka tingkat konsumsi individu terhadap beras akan mengalami peningkatan sebesar 157.3873 ton, ceteris paribus.


4. Jagung

Produksi kacang hijau memiliki pengaruh yang negatif dan signifikan terhadap tingkat konsumsi individu terhadap beras. Hal tersebut didukung oleh hasil uji hipotesis dimana P value (0.010) < 0.05. Apabila volume produksi jagung meningkat sebesar 1 ton, maka tingkat konsumsi individu terhadap beras akan mengalami penurunan sebesar 0.5004 ton, ceteris paribus.

5. Ubi Kayu

Produksi ubi kayu memiliki pengaruh yang negatif dan tidak signifikan terhadap tingkat konsumsi beras. Hal tersebut didukung oleh hasil uji hipotesis dimana P value adalah 0.828 lebih besar dari 0.05, sehingga tidak memenuhi syarat untuk menerima hipotesis alternatif. Berdasarkan hasil uji hipotesis tersebut maka didapatkan bahwa produksi ubi kayu tidak memiliki pengaruh atau memiliki pengaruh yang kecil terhadap konsumsi individu terhadap beras. Apabila volume produksi ubi kayu meningkat sebesar 1 ton maka tingkat konsumsi individu terhadap beras akan menurun sebesar 0.0007 ton, ceteris paribus. Variabel independen produksi ubi kayu memiliki pengaruh terhadap variabel dependen tingkat konsumsi individu terhadap beras.


6. Ubi Jalar

Produksi ubi jalar memiliki pengaruh yang negatif dan tidak signifikan terhadap tingkat konsumsi individu terhadap beras. Hal tersebut didukung oleh hasil uji hipotesis dimana P value adalah 0.282 lebih besar dari 0.05 sehingga tidak memenuhi syarat untuk menerima hipotesis alternatif. Berdasarkan hasil uji hipotesis tersebut maka didapatkan bahwa produksi ubi jalar tidak memiliki pengaruh atau memiliki pengaruh yang kecil terhadap konsumsi individu terhadap beras. Apabila volume produksi ubi jalar meningkat sebesar 1 ton, maka tingkat konsumsi individu terhadap beras akan menurun sebesar 3.2566 ton, ceteris paribus. Variabel independen ubi jalar memiliki arah yang negatif terhadap variabel dependen tingkat konsumsi individu terhadap beras. Hasil uji t ini akan memberikan informasi pengaruh dari tiap-tiap variabel independen terhadap variabel dependen. Dari hasil uji t diketahui hanya volume produksi kedelai, kacang tanah, dan jagung yang mempunyai pengaruh signifikan terhadap tingkat konsumsi beras. Sebaliknya, volume produksi kacang tanah, ubi kayu, dan ubi jalar tidak mempunyai pengaruh signifikan terhadap tingkat konsumsi beras. Oleh sebab itu, penganekaragaman konsumsi pangan komoditas kacang tanah, ubi kayu, dan ubi jalar masih perlu ditingkatkan dan digiatkan sehingga dapat menarik minat konsumsi masyarakat.

Koefisien Determinasi (R2) Tabel 8 Koefisien Determinasi (Uji F)

Nilai Koefisien determinasi (R2) digunakan untuk mengetahui seberapa jauh keragaman variasi variabel dependen yang dapat dijelaskan oleh variabel independen.


Besarnya koefisien determinasi (R2) berkisar antara 0 (nol) dan I (satu). Apabila koefisien determinasi semakin mendekati satu, berarti kemampuan variabel independen dalam menjelaskan variabel dependen semakin kuat. Berdasarkan hasil pengujian, didapatkan nilai R-squared sebesar 0.9199. Hal ini menunjukkan bahwa seluruh variabel independen mampu menjelaskan variasi tingkat konsumsi individu terhadap besar sebesar 91.99%, sedangkan sisanya 8.01% dijelaskan oleh variabel-variabel di luar model.

Tantangan Diversifikasi Pangan Diversifikasi konsumsi pangan lokal masih mengalami banyak tantangan dan tantangan yang utama adalah konsumsi masyarakat masih didominasi oleh beras (Suyastiri, 2008). Didominasinya pola konsumsi masyarakat oleh beras atau kelompok padi-padian mengakibatkan konsumsi pangan masyarakat menjadi kurang variasi. Selain itu, prinsip bahwa makanan pokok beras tidak dapat digantikan dengan yang lain masih dipegang oleh masyarakat (Subagiyo, 2014). Umumnya masyarakat memilih beras sebagai pangan pokok mereka, jika tidak mengkonsumsi beras maka rasanya seperti tidak makan. Presentasi tingkat pengetahuan tentang diversifikasi konsumsi pangan masih terbilang rendah (Mariyam et al., 2009). Pengetahuan masyarakat mengenai pentingnya variasi konsumsi pangan alternatif untuk memenuhi kebutuhan gizi seimbang masih terbilang rendah. Masyarakat umumnya berpikir bahwa dengan mengkonsumsi beras sebagai pangan pokok sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan gizi. Masyarakat masih enggan untuk mengganti makanan pokok mereka dari beras menjadi umbi-umbian dan masyarakat hanya mengkonsumsinya sebagai camilan (Mariyam et al., 2009). Kondisi pendapatan rumah tangga di Indonesia yang masih tergolong rendah merupakan tantangan tersendiri dalam menerapkan diversifikasi konsumsi pangan karena ketidakmampuannya dalam membeli komoditas pangan lain yang sering kali lebih mahal daripada beras. Makin tinggi pendapatan rumah tangga maka semakin tinggi daya beli rumah tangga, baik dari kuantitas maupun kualitas. Hal tersebut menyebabkan kecenderungan bagi rumah tangga berpendapatan tinggi untuk mengonsumsi pangan yang bervariasi serta meningkatkan kualitasnya (YP, 2008). Naik turunnya harga pangan pokok yang dipengaruhi inflasi juga memberikan dampak kepada daya beli masyarakat (Resnia, 2012). Secara teori, jika harga pangan naik jumlah permintaan akan turun, begitu juga sebaliknya. Pendidikan kepala rumah tangga dan ibu dapat mempengaruhi diversifikasi konsumsi pangan pada tingkat keluarga. Berdasarkan penelitian oleh Hanani, et al. (2008), pendidikan yang baik akan memberikan pola pikir yang baik kepada orang tua untuk senantiasa meningkatkan variasi pangan demi memenuhi ketercukupan gizi. Hal ini disebabkan kepala rumah tangga memiliki kekuasaan untuk mengalokasikan pendapatan rumah tangga untuk konsumsi dan ibu rumah tangga yang menentukan menu konsumsi suatu rumah tangga.


V. PENUTUP Kesimpulan 1. Data konsumsi beras dalam kurun waktu 2009-2019 menunjukkan adanya kecenderungan penurunan konsumsi beras di DIY pada 2012, 2015, 2017, 2018, dan 2019. Hal tersebut dapat disebabkan keberhasilan program diversifikasi pangan yang mulai digencarkan pada tahun 2012 dan adanya faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi penurunan konsumsi beras di DIY. 2. Berdasarkan hasil analisis regresi linear berganda didapatkan volume produksi kedelai, jagung, ubi kayu, ubi jalar, kacang hijau, dan kacang tanah berpengaruh nyata terhadap tingkat konsumsi beras di DIY secara simultan. Namun, dari hasil uji parsial volume produksi kacang tanah, ubi kayu, dan ubi jalar tidak mempunyai pengaruh signifikan terhadap tingkat konsumsi beras. Adapun, berdasarkan analisis konstanta, volume kacang hijau berbanding terbalik dengan tingkat konsumsi beras. Berdasarkan hasil pengujian ini, maka pengembangan produksi tanaman pangan kedelai, jagung, ubi kayu,ubi jalar, kacang hijau, dan kacang tanah penting untuk ditingkatkan dalam rangka mendukung ketersediaan sumber pangan karbohidrat non beras sebagai substitusi beras dan menekan pola konsumsi beras DIY. 3. Pada beberapa tantangan yang dialami dalam diversifikasi pangan, yaitu pola konsumsi pangan yang masih didominasi beras, adanya prinsip bahwa makanan pokok beras tidak dapat digantikan dengan yang lain, masih kurangnya pengetahuan masyarakat mengenai pentingnya variasi konsumsi pangan, kondisi pendapatan rumah tangga di Indonesia yang masih tergolong rendah, dan naik turunnya harga pangan pokok.

Saran Berdasarkan penelitian ini, terdapat saran yang diberikan kepada pihak yang terkait, di antaranya: 1. Dalam rangka mencapai ketahanan pangan diperlukan kebijakan yang

mendukung program diversifikasi pangan. Kebijakan ini harus mempertimbangkan berbagai aspek dari hulu hingga hilir sehingga berpihak kepada konsumen dan produsen. 2. Sinkronisasi program diversifikasi konsumsi pangan dari tingkat kabupaten/kota sampai nasional. 3. Penelitian terkait diversifikasi pangan diharapkan semakin gencar dilakukan mengingat sumber daya pangan non beras yang melimpah di Indonesia. Selain


itu, inovasi produk masih perlu dikembangkan seiring dengan kemajuan teknologi dan perkembangan peluang pasar konsumen. 4. Masyarakat juga diharapkan melakukan diversifikasi konsumsi pangan untuk mengurangi ketergantungan terhadap konsumsi beras.


VI. DAFTAR PUSTAKA Asnawi, R. (2015). Perubahan Iklim dan Kedaulatan Pangan di Indonesia. Sosio Informa, 1(3), 293-297. Badan Ketahanan Pangan. (2015). Buku Panduan Pola Pangan Harapan (PPH). Jakarta: Kementrian Pertanian. Badan Ketahanan Pangan. (2018). Indeks Ketahanan Pangan 2018. Jakarta: Kementerian Pertanian Indonesia. Badan Ketahanan Pangan, K. P. (2019). Direktori Perkembangan Konsumsi Pangan 2019. Jakarta: Kementrian Pertanian. Badan Ketahanan Pangan, K. P. (2020). Direktori Perkembangan Konsumsi Pangan 2020. Jakarta: Kementrian Pertanian. Badan Ketahanan Pangan. (2020). Roadmap Diversifikasi Pangan Lokal Sumber Karbohidrat Non Beras (2020-2024). Jakarta: Kementrian Pertanian. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah. (2021). Skor Pola Pangan Harapan. Diakses dari,<http://bappeda.jogjaprov.go.id/dataku/data_dasar/cetak/124-skor-polapangan-harapan-pph>. Ekawati, A., Y. Wibowo, K. C. A. Dalu, Nurhayati. (2019). Determinasi Diversifikasi Vertikal Produk Olahan Jambu Merah. Jurnal Agroteknologi, 13(2), 195-202. Fadhla, U., dan Tarmizi, H. B. (2015). Peran Diversifikasi Terhadap Ketahanan Pangan di Sumatera Utara. Jurnal Ekonomi dan Keuangan, 3(5), 349-359. Ghozali, I. (2013). Aplikasi Analisis Multivariate dengan Program SPSS 21 (7th ed.). Semarang: Universitas Diponegoro. Ginting, B., Sebayang, T., & Jufri, M. (2015). Analisis Pengaruh Volume Produksi Kedelai, Jagung, Ubi Kayu dan Ubi Jalar terhadap Tingkat Konsumsi Beras di Sumatera Utara. Journal of Agriculture and Agribusiness Socioeconomics, 4(10), 94568. Gujarati, Damodar N. 2006. Dasar-dasar Ekonometrika Edisi Ketiga. Jakarta: Erlangga. Hanani, N., Asmara, R., & Nugroho, Y. (2008). Analisis Diversifikasi Konsumsi Pangan dalam Memantapkan Ketahanan Pangan Masyarakat Pedesaan. Agricultural Socio-Economics Journal, 8(1), 46. Ismiasih, S. Hartono, D.H. Darwanto, & J.H. Mulyo. (2013). Diversification of food consumption at household level in the Province of Yogyakarta Special Region (Index Entropy Approximated by Share Food). Jurnal Budidaya Pertanian, 9, 7278.


Mariyam, S., Yuliati, & S. Hidayati. (2009). Diversifikasi Konsumsi Pangan Masyarakat Kota Yogyakarta. Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan, dan Penerapan MIPA 2009. ISSN 978-979-96880-5-7. Moeljopawiro, S & Manwan, I. (1992). Pengembangan Pemanfaatan Tanaman Pangan Indonesia. Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Etnobotani, 288-299. Pemerintah Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan. (2016). Perubahan Rencana Strategis Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 2012-2017. Yogyakarta Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. (2012). Petunjuk Pelaksanaan Gerakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Sumber Daya Lokal (Peraturan Gubernur DIY No 88 Tahun 2012). Yogyakarta: Penulis. Diakses dari https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/28354. Purwaningsih, Y. (2008). Ketahanan pangan: situasi, permasalahan, kebijakan, dan pemberdayaan masyarakat. Jurnal Ekonomi Pembangunan: Kajian Masalah Ekonomi dan Pembangunan, 9(1), 1-27. Rachman, H. P., & Ariani, M. (2019). Penganekaragaman Konsumsi Pangan di Indonesia: Permasalahan dan Implikasi untuk Kebijakan dan Program. Analisis Kebijakan Pertanian, 6(2), 140-154. Raharjo, S. H. T., dkk. (2014). Keragaman Ubi Kayu dan Ubi Jalar di Seram Bagian Barat dan Peluang Pemanfaatannya untuk Ketahanan Pangan dan Industri. Percepatan Pembangunan Ekonomi Berbasis Hasil Kajian Pertanian dan Perikanan di Provinsi Maluku, 73-74. Resnia, R. (2012). Fluktuasi Harga Bahan Pangan Pokok (Bapok) dan Daya Beli Kelompok Masyarakat Berpendapatan Rendah. Buletin Ilmiah Litbang Perdagangan, 6(2), 169- 188. Subagiyo. (2014). Kajian Faktor yang Berpengaruh Terhadap Diversifikasi Pangan Non Beras di Daerah Istimewa Yogyakarta. Jurnal Pertanian Agros, 16(2), 442- 431. Sudaryanto, T. & Swastika, D. K. S. (2005). Ekonomi Kedelai di Indonesia. Kedelai: Teknik Produksi dan Pengembangan, 5-27. Sujarweni, V. Wiratna. 2015. Statistik untuk Bisnis dan Ekonomi. Yogyakarta: Pustaka Baru Press. Sumaryanto. (2009). Diversifikasi Sebagai Salah Satu Pilar Ketahanan Pangan. Forum Penelitian Agro Ekonomi, 27(2), 93-98. Suryana, A. (2014). Menuju Ketahanan Pangan Indonesia Berkelanjutan 2025: Tantangan dan Penanganannya. Forum Penelitian Agro Ekonomi, 32(2), 123-125. Swastika, D. K. S. (2014). Ekonomi Kacang Tanah di Indonesia. Monograf Balitkabi, 13, 1-8.


Suyastiri, N. M. (2008). Diversifikasi Konsumsi Pangan Pokok Berbasis Potensi Lokal dalam Mewujudkan Ketahanan Pangan Rumahtangga Pedesaan di Kecamatan Seminar Kabupaten Gunung Kidul, 13(1), 51-60. Wardani, C., Jamhari, S. Hardyastuti, A. Suryantini. (2019). Kinerja Ketahanan Beras di Indonesia: Komparasi Jawa dan Luar Jawa Periode 2005-2017. Jurnal Ketahanan Nasional 25(1), 107-130. YP, N. M. S. (2008). Diversifikasi Konsumsi Pangan Pokok Berbasis Potensi Lokal dalam Mewujudkan Ketahanan Pangan Rumahtangga Pedesaan di Kecamatan Semin Kabupaten Gunung Kidul. Economic Journal of Emerging Markets, 13(1). Yusuf, Pohan, A., & Syamsuddin. (2013). Jagung Makanan Pokok untuk Mendukung Ketahanan Pangan di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Seminar Nasional Serealia, 543-545.


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.