MINGGU, 1 SEPTEMBER 2013 | Nomor 2 Tahun I
HARIAN NASIONAL
C28 TRAVEL&LIFESTYLE
Kisah si Hak Tinggi Bila high heels pemakaiannya saat ini begitu lekat dengan figur seorang perempuan, maka di masa lampau kaum pria pun turut menggunakannya. HIGH HEELS bukanlah
pro duk modern. Berdasarkan lu kisan dinding Mesir kuno, alas kaki berhak tinggi dipakai ka langan masyarakat kelas atas Mesir- perempuan maupun laki-laki-sejak 3500 SM. Sepatu, selain sebagai bagi an fesyen secara umum, juga dapat digunakan sebagai penunjuk jender, kelas sosi al, bahkan juga bisa sebagai penunjuk dari bangsa dan etnik mana seseorang berasal. Di lukisan dinding Mesir kuno, dideskripsikan masyarakat kelas atasnya selain meng gunakan alas kaki berupa sepatu yang terbuat dari ku lit yang dirajut benang dan sebisa mungkin dibentuk me nyerupai simbol “Ankh” (yang merepresentasikan kehidup an), masyarakat kelas atasnya, baik perempuan maupun lakilaki, pada saat-saat tertentu juga menggunakan sepatu berhak. Saat itu selain kalangan bangsawan, tukang jagal di Mesir pun menggunakan sepa tu berhak untuk membantu memudahkan langkah mereka berjalan di atas darah. Serupa dengan di masa Me sir kuno, zaman Yunani dan Romawi kuno (200 SM) alas kaki berupa sandal berhak tinggi juga dipakai kalangan tertentu saja. Sandal beralas kayu atau gabus yang tinggi, begitu popu ler pemakai annnya di kalangan aktor kala itu. Para aktor akan menggu nakan sepatu berhak dengan ketinggi an beragam. Selain se bagai penunjuk tingkatan kelas sosial, juga berfungsi se bagai penunjuk seberapa pen ting peran yang ia mainkan.
Tidak hanya top di kalangan aktor, masa itu sepatu berhak tinggi pun populer di kalangan pelacur Romawi kuno. Pada masa Yunani dan Romawi kuno sandal berhak tinggi dikenal dengan sebutan khotorni, sedangkan pada masa Renaisans kemudian dikenal dengan sebutan buskins. Di Eropa pada abad perte ngahan hingga awal abad 20, baik laki-laki dan perempuan di masa itu ramai menggunakan patten, yaitu semacam cashing untuk alas sepatu yang terbuat dari kayu. Bila di Indonesia bisa diilustrasikan mirip dengan ba kiak. Patten saat itu digunakan masyarakat Eropa untuk me lindungi sepatu mahal mereka dari lumpur atau dari kotoran lainnya di jalanan. Selain di Mesir, Yunani, Ro
mawi, dan Eropa, Turki juga memiliki catatan tersendiri perihal sejarah sepatu berhak tinggi. Bila di Eropa terkenal dengan patten-nya, di Turki terkenal dengan chopines-nya. Chopines diperikirakan mulai digunkan masyarakat Turki pada tahun 1400-an. Kepopu leran chopines mulai meram bah kalangan masyarakat Ero pa pada pertengahan 1600-an. Chopines berfungsi seperti patten, yaitu sebagai cashing alas sepatu. Hanya bila patten digunakan laki-laki dan perem puan, maka chopines eksklu sif hanya digunakan perem puan saja. Keunikan chopines adalah, tingginya bisa mencapai 7-30 inci. Saking tingginya, para perempuan yang menggu nakannya, bahkan sampai ha
rus memerlukan ban tuan dari pembantu saat berjalan. Chopines biasanya terbuat dari semacam gabus atau kayu. Berkembang, di Venesia chopines menjadi penunjuk strata sosial kelas atas bagi perempuan pemakainya. Mes ki juga mendorong terciptanya seloroh humor chopines yang tinggi diciptakan oleh para suami agar para istri tidak dapat berlari dari mereka. Humor ini sebenarnya berafi liasi dengan kondisi negeri China di masa lampau, saat para sarjana berspekulasi penggunaan sepatu berhak tinggi oleh para permaisuri China bukan semata-mata untuk urusan estetika sema ta, tetapi juga untuk mence gah mereka melarikan diri dari suaminya, yaitu raja. l DARMA ISMAYANTO