HARIAN NASIONAL
SENIN, 18 NOVEMBER 2013 | Nomor 78 Tahun I
SPORTS B23 WAWANCARA EKSKLUSIF DENGAN INDRA SJAFRI
Jangan Mimpi bila Polanya Bobrok!
FOTO-FOTO: HARIAN NASIONAL | AULIA RACHMAN
JAKARTA (HN) Hidup adalah pilihan. Itulah filosofi pribadi Indra Sjafri, pelatih tim nasional Indonesia U-19 yang juara Piala AFF 2013, dan lolos ke putaran final Piala Asia 2014. Ia memilih untuk meninggal kan pekerjaan lamanya sebagai kepala kantor pos, dan memulai karier kepelatihan. Ia juga tidak ikut arus kebobrokan yang sem pat menggerogoti tubuh PSSI. Dengan itu, Indra (50 tahun) meniti jalan ksatrianya sendiri. Kisahnya bermula pada 2011 ketika mendapat tugas pertama dari PSSI untuk me nangani pasukan U-16 di kualifikasi Piala Asia U-16 2012. Indonesia tergabung di Grup G bersama Australia, Thailand, Hong Kong, Myan mar, dan Guam. Bukan target juara yang memberat kan langkah Indra, me lainkan fakta bahwa ia
harus menangani para pemain “titipan” dari PSSI. Indra pun meradang. Ia sudah menyiapkan tim ideal. Ia bahkan memiliki standar tinggi saat merekrut setiap pemain. “Saat itu saya pasrah. Saya toh tetap memutar otak un tuk meraih hasil maksimal, dan nyatanya kami gagal lolos ka rena hanya menempati peringkat tiga Grup G,” kata Indra dalam
INDRA SJAFRI PELATIH TIMNAS U-19
perbincangan khusus dengan HARIAN NASIONAL di Jakarta, Jumat (15/11) kemarin. Belajar dari pengalaman itu, Indra tak mau lagi menerima pe main-pemain pesanan. Ia pun tak berdiam diri menantikan munculnya talenta muda Indo nesia. Berbulan-bulan Indra blusukan ke seluruh pelosok di Tanah Air. Tak kurang dari 43 daerah yang sudah dikunjungi demi mencari bibit terbaik. Di tempat-tempat terpencil itu, tak jarang ia bertemu dengan para pemuda yang memiliki talenta dan komitmen yang sama. “Di Alor (NTT) misalnya, saya bertemu Yabes Roni Malavani. Dia muncul dengan tekad dan semangat untuk mem berikan yang terbaik. Ber jumpa talenta-talenta muda seperti mereka, yang kemudian terjadi adalah komunikasi dan hubungan yang berujung pada komitmen,” ucap Indra. Sebelum ditunjuk se bagai pelatih tim yunior, Indra adalah instruktur dan pemandu bakat (scout) di PSSI sejak Mei 2009. Menurutnya, tidak mudah mencari pemain muda yang me
menuhi standarnya. “Seperti membuat kue, yang terpenting adalah memilih bahan baku. Jika ingin kue berkualitas bintang lima, maka bahan baku nya juga harus kualitas super. Pilih yang terbaik, bukan bahan sisa yang banyak hamanya. Jika asal-asalan, hanya memasukkan pemain berdasarkan kedekatan atau memasang pemain karena ada imbalan, sepak bola Indo nesia tidak akan maju. Teruslah bermimpi untuk berprestasi jika masih menerapkan pola bobrok itu,” kata Indra. Kebiasaan lama itu sudah jadi borok tahunan. Indra mencoba mengobatinya, pelan-pelan. Man tan pemain PSP Padang pada era 1980-an ini masih percaya bahwa bangsa Indonesia punya potensi luar biasa. Saking percayanya dengan kemampuan putra asli Indonesia, Indra menolak kon sep naturalisasi. Baginya, itu ada lah cara instan untuk orang yang malas bekerja keras. “Apa gunanya menaturalisasi pemain yang sudah b erumur 30 tahun? Ia hanya bisa d ipakai satu tahun. Bayangkan apabila kita membina anak-anak U-19 ini. Kita berikan mereka kom petisi yang kompetitif. Berapa banyak pemain yang bisa di dapat, berapa tahun kita bisa memberdayakan tenaga me reka?” terang ayah dua putra ini. Jika ingin membentuk tim kuat, pemilihan pemain harus bagus. Ada empat krite ria standar yang jadi pegangan
Indra. Yang pertama adalah pe main yang mempunyai skill sepak bola, lantas kemampuan taktikal, kemampuan fisik, dan mental. “Kita melakukan tes untuk empat kriteria itu. Dari hasil tes, kita tentukan siapa yang pantas masuk timnas. Kita d iskusikan dengan tim pelatih. Jadi kita tidak sembarang saja memilih. Harus dengan data.” Aktivitas mendatangi daerah- daerah di seluruh pelosok tanah air itu ternyata memang jadi misi utama Indra Sjafri. S elain untuk menyeleksi langsung pemain-pemain di daerah yang selama ini luput dari radar talent scouting PSSI, juga untuk mem bangkitkan gairah sepak bola dan menularkan ilmu kepelatih an yang didapatnya. Kalau saja PSSI punya sistem pembinaan usia dini yang mapan, sejak dulu Indonesia sudah bisa menjadi “Macan Asia” dalam hal sepak bola. Mungkin lebih. Meskipun demikian, terlambat bukan menjadi halangan untuk Indra, khusus untuk hal ini. Sang Putra Padang tetap opti mistis dan antusias menangani pasukan “Garuda Muda”. Ia bah kan tampak posesif menyusuri jalan lebih terjal ke depannya, yakni membawa timnas Indonesia U-19 menuju Piala Dunia U-20 2015 di Selandia Baru. Kalau ber hasil, Evan Dimas dkk barangkali sudah layak untuk bertarung demi Piala Dunia 2018. l TIARA MAHARANI KUSUMA
Pe-Pe-Pa Bukan Tiki-taka SETAPAK demi setapak, Indra Sjafri membabat rintangan yang dihadapi. Kerja keras, keuletan, dan ketabahan memancar dalam caranya melatih. Tegak berdiri, memahami kehidupan. Seperti itu pula permainan yang di tunjukkan “Garuda Muda”. “Saya selalu menanamkan ke anakanak: kalau mau menang, kuasai bola. Kalau kita menguasai bola, kita tidak perlu khawatir bertahan. Perlu dike tahui, pertahanan kita lemah. Kalau begitu, kita buat musuh tidak bisa menguasai bola. Mereka tak akan bisa menyerang kalau tak punya bola.” Maka, lanjut Indra, penyerangan yang baik adalah pertahanan yang baik. Itulah satu alasan mengapa tim yang dibesut Indra Sjafri berada di posi si terbaik. Evan Dimas dkk juara di Pi ala AFF 2013, September silam. Anakanak U-19 itu pun mampu melangkah ke putaran final Piala Asia 2015 untuk kategori umur yang sama. Orang bilang, taktik Indra sangat
jenial. Indra mengaku, taktik dan teknik kepelatihannya berawal dari berbagai sum ber. Indra merajutnya, lantas memadukan nya dengan ciri khas sepak bola Indonesia. Taktik itu disebutnya Pe-Pe-Pa atau pen dek-pendek-panjang. “Kata orang mirip tiki-taka, tapi ini jus tru formasi asli Indonesia. Dalam sejarah sepak bola Indonesia, kita justru sering menang dengan taktik tersebut,” kata In dra. Lebih lanjut, Indra ingin membang kitkan gaya bermain ala Indonesia, ya itu lewat bola-bola pendek. Soal forma si, ia lebih suka memainkan 4-3-3, yang menurutnya sangat cocok dengan karakter orang Indonesia. “Kita itu punya banyak pemain sayap yang hebat. Kenapa harus memaksa mere ka menjadi gelandang hanya demi me mainkan formasi 4-4-2 yang berasal dari negeri lain?” Untuk memainkan bola pendek seper ti yang dibayangkannya, Indra membutuh kan pemain dengan kemampuan passing
yang mumpuni. Itu belum selesai. Indra harus mencari pemain pasangan, kalau bisa semuanya, yang memiliki kemampuan setanding sehingga tidak gugup saat men dapatkan umpan-umpan pendek atau bo la-bola yang bergerak. “Teknik bisa dipelajari. Tetapi ketika bermain yang berperan itu skill. Itu juga berarti kemampuan membaca situasi, merespons pertandingan, bereaksi terha dap lawan, dan bermain ketika hujan atau
di lapangan bersalju. Semua harus di kuasai oleh pemain-pemain saya,” kata Indra. Pe-Pe-Pa adalah senjata “Garuda Muda” saat ini. Mereka telah tumbuh, tertempa, dan semakin dewasa. Medan perang sepak bola Asia akan menjadi tantangannya. Harapannya, anak-anak muda ini bisa menjadi tulang punggung Indonesia untuk kelak bertarung demi Piala Dunia. l TIARA MAHARANI KUSUMA