Harian Jurnal Asia Edisi Rabu, 18 Mei 2016

Page 20

sains & Teknologi

Rabu, 18 Mei 2016

20

Proton konduktor alami Terkuat Terdapat pada Jelly di kepala Hiu Washington | Jurnal Asia Jelly internal bening yang membantu hiu dan fauna laut lainnya mendeteksi sinyal elektrik dari mangsa mereka merupakan proton alami dengan konduktiitas terkuat di dunia, menurut satu studi baru, seperti dilansir ScienceAlert, Selasa (17/5). Jelly yang menjadi pertanyaan ini terdapat di dalam ‘Ampulla Lorenzini’ (AoL)--suatu rangkaian sensor elektro yang ada pada ikan bertulang rawan seperti hiu dan pari. Meski para ilmuwan telah mengetahui tentang Ampulla

Lorenzini selama berabad-abad, konduktivitas yang luar biasa dari substansi mirip jelly itu cukup mengejutkan, dan bahkan bisa menciptakan aplikasi teknologi baru untuk bahan biologis. “Pengamatan konduktivitas jelly dengan proton tinggi itu sangat menarik,” kata ilmuwan material dan insinyur listrik, Marco Rolandi, dari University of Washington. “Kami berharap bahwa temuan ini dapat berkontribusi untuk studi masa depan mengenai fungsi sensor elektro dari Ampulla Lorenzini dan organ secara keseluruhan, yang memang agak luar biasa.” Ampulla Lorenzini terlihat pada kepala dan bagian bawah elasmobranch--sub-kelas dari ikan bertulang rawan--pori-pori kecil di permukaan kulit (Anda dapat

melihatnya pada gambar hiu di atas). Pori-pori di permukaan ini terhubung ke sel sensor elektro oleh kanal yang berisi jelly bening, kental, yang membuat ikan bisa mendeteksi medan listrik lemah yang dipancarkan oleh hewan lain di laut-bahkan sinyal lemah 5 nanovolts per sentimeter. Untuk mengukur konduktivitas jelly, peneliti mengekstraknya dari ikan sepatu dan hiu. Meski para peneliti belum sepenuhnya memahami bagaimana kontribusi jelly untuk fungsi ini, jelas bahwa itu memainkan beberapa peran, berkat kapasitas besar konduktivitas protonnya yang dikatakan tim sebagai tertinggi yang pernah diketahui untuk bahan biologis. Pada sekitar 2 ± 1 millisiemens per sentimeter, konduktivitas jelly

Kecerdasan Buatan Pelajari Penelitian Pemenang Nobel Australia | Jurnal Asia Sistem kecerdasan buatan yang semakin baik dalam melakukan pekerjaan pernah dianggap eksklusif hanya untuk manusia. Para peneliti telah menciptakan sistem kecerdasan buatan (Artiicial Intelligence-AI) canggih yang dapat menulis pidato politik dan bahkan secara akurat memprediksi siapa yang akan memenangkan Kentucky Derby. Sekarang, para ilmuwan mengambil risiko kehilangan pekerjaan mereka sendiri dengan menggunakan AI untuk menjalankan percobaan sains yang kompleks. Sepasang peneliti telah mengajarkan AI untuk meniru eksperimen isika yang memenangkan tiga isikawan pemenang Hadiah Nobel 2001.

Percobaan ini termasuk penjebak Kondensat Bose-Einstein (BEC), gas encer boson didinginkan sampai suhu yang sangat dingin di laser. Kondensat Bose-Einstein sangat sensitif terhadap luktuasi energi, yang membuatnya berguna dalam percobaan dan pengukuran. Sensor yang didukung oleh gasgas yang terperangkap berpotensi mendeteksi perubahan kecil pada medan magnet bumi atau gravitasi, sehingga peneliti memanfaatkannya sebagai sensor eksplorasi mineral dan sistem navigasi. Paul Wigley, dari Universitas Nasional Australia, dan Michael Hush, dari University of New South Wales, mengembangkan sistem AI yang mereka latih untuk mengelola perangkat laser penjebak gas. Mereka mendinginkan gas hingga

Paul Wigley dan Michael Hush, pembuat program perangkat lunak AI.

1 microkelvin kemudian menyerahkan kontrol sistem laser kepada AI, yang mendinginkan gas hingga nanokelvin dengan menerapkan teknik berbeda untuk memanipulasi laser yang dikatakan isikawan tak akan bisa diduga manusia. “Melalui kontrol mesin berulang eksperimen ilmiah dan pengamatan, ‘pelajar’ kami menemukan jalan penguapan optimal untuk produksi BEC,” lapor peneliti dalam jurnal Scientiic Reports, seperti dikutip TechTimes, Selasa (16/5). Para peneliti mengakui potensi menggunakan kecerdasan buatan dalam membuat percobaan semakin besar dan lebih baik. AI yang belajar melakukan eksperimen dari awal dalam waktu kurang dari satu jam, mungkin mampu mencari tahu cara kompleks yang belum dipikirkan manusia dalam melakukan pengukuran lebih akurat. Kemampuan sistem AI untuk membuat kondensat lebih cepat dan dalam jumlah lebih besar di bawah kondisi berbeda juga bisa membuatnya sangat berguna dalam pengukuran lapangan. “Ini lebih murah daripada membawa seorang isikawan kemana-mana dengan Anda,” kata Hush. “Anda bisa membuat perangkat kerja pengukur gravitasi dan Anda bisa duduk di belakang mobil ketika kecerdasan buatan mengkalibrasi ulang dan memperbaiki sendiri.” (aspan)

ini hanya 40 kali lebih rendah dari polimer Naion, bahan sintetis yang dikenal karena keunggulan konduktivitasnya. Konduktivitas proton adalah bentuk konduktivitas listrik di mana ion hidrogen positif membawa muatan, sebagai lawan elektron. Sementara elektron membawa muatan dalam logam yang sangat konduktif seperti perak dan tembaga, konduktivitas proton adalah proses penting dalam proses fotosintesis, dan dapat digunakan untuk membuat baterai yang lebih baik dan sel bahan bakar di masa depan. “Pertama kali saya mengukur konduktivitas proton jelly tersebut, saya benar-benar terkejut,” kata salah satu tim, Erik Josberger. “Saya tidak menduga bahan alami bisa mendekati konduktivitas proton

dari bahan rekayasa seperti Naion.” Jadi bagaimana substansi itu bisa memberikan konduktivitas yang mengagumkan? “Kami menduga, bahwa sulfat keratan, diidentiikasi sebelumnya diidentiikasi di dalam jelly AOL dan dikonirmasi di sini, mungkin berkontribusi pada tingginya konduktivitas proton jelly AOL bersama kelompok sulfatnya--gugus asam dan donor proton,” tulis para peneliti dalam Science Advance. Para ilmuwan berharap bahwa studi lebih lanjut mengenai jelly ini akan membantu kita memahami lebih banyak tentang sifatnya yang luar biasa, dan mereka menduga bahwa material--jika kita mampu mereplikasi versi sintetis dari bahan tersebut--bahkan bisa memunculkan cabang teknologi baru, mungkin

menjadi beberapa jenis perangkat sensor luar biasa. “Mengingat bahwa Naion merupakan bahan yang dipersiapkan dengan sangat hati-hati dan tepat, menarik untuk melihat bagaimana hiu telah mereplikasi sesuatu yang sangat mirip dengan materi tersebut dengan cara alami,” kata Josberger Sarah Kaplan di Washington Post, menjelaskan bagaimana masih banyak di antara kita yang tidak mengetahui tentang bagaimana cara kerja jelly ini dan Ampulla Lorenzini. “Saya selalu mengatakan, jika Anda memiliki semua jawaban, maka kami tak punya pekerjaan lagi,” tambah Rolandi. “Jadi, cukup menarik karena kami yang menciptakan pertanyaan bukannya jawaban.” (aspan)

Kacamata Hitam Kurangi Rasa Sakit Migrain California | Jurnal Asia Sepasang kacamata hitam khusus satu satu hari nanti mungkin akan memberi bantuan untuk mengurangi rasa sakit bagi orang yang mengalami migrain berat. Idenya berawal pada penemuan bahwa sinar pendek hijau yang dapat memberikan bantuan kepada mereka yang dikejutkan oleh sakit kepala luar biasa. Sebuah studi baru menunjukkan lampu hijau murni juga dapat mengurangi intensitas migrain seseorang. Sensitivitas cahaya atau fotofobia, adalah gejala yang sering terjadi pada sakit kepala migrain, yang mempengaruhi hampir 15 persen populasi dunia. Tapi peneliti menemukan bahwa lampu hijau secara signiikan mengurangi sensitivitas cahaya dan dapat mengurangi keparahan dan rasa sakit sakit kepala.

Jadi kacamata hitam yang menghalangi semua cahaya tapi meloloskan cahaya hijau murni terbukti bisa menjadi sarana pengobatan penyakit itu. Dr Rami Burstein, penulis dan Direktur Akademis di Comprehensive Headache Center di Beth Israel Deaconess Medical Center, mengatakan: “Meskipun fotofobia tidak biasa digunakan untuk melumpuhkan nyeri sakit kepala itu sendiri, ketidakmampuan untuk menahan cahaya dapat dinonaktifkan.” “Lebih dari 80 persen serangan migrain berhubungan dan diperburuk oleh sensitivitas cahaya, menyebabkan banyak penderita migrain mencari kenyamanan di kegelapan dan mengisolasi diri dari pekerjaan, keluarga dan kegiatan sehari-hari.” Sebuah studi baru yang dipimpin oleh para peneliti di Harvard Medical School dan Pusat Beth Israel Deaconess Medical (BIDMC) menemukan bahwa mengekspos penderita migrain untuk sebuah band sempit cahaya hijau secara signiikan mengurangi fotofobia dan dapat mengurangi sakit kepala parah itu. Peneliti meminta pasien yang mengalami serangan migrain akut melaporkan setiap perubahan sakit kepala bila terkena intensitas cahaya berbeda mulai dari biru, hijau, kuning dan lampu merah. Pada intensitas cahaya tinggi-seperti kantor yang terang--hampir 80 persen pasien melaporkan intensiikasi sakit kepala dengan paparan semua warna kecuali hijau.

Mereka menemukan bahwa lampu hijau bahkan mengurangi rasa sakit sekitar 20 persen. Dr Burstein menambahkan: “Temuan ini memberikan harapan nyata untuk pasien migrain dan memberi jalan menjanjikan ke depannya bagi para peneliti dan dokter.” Bersama dengan rekan-rekannya, Dr Burstein dan timnya, merancang percobaan di mana mereka mengukur besarnya sinyal-sinyal listrik yang dihasilkan retina mata dan korteks otak pasien dalam menanggapi setiap warna cahaya untuk menemukan kenapa cahaya hijau mengurangi rasa nyeri pada pasien migrain. Lima tahun lalu, Dr Burstein dan rekannya membuat penemuan mengejutkan bahwa cahaya biru menyakitkan bagi pasien migrain yang buta. Namun, karena studi yang hanya melibatkan pasien buta, yang tidak dapat mendeteksi semua warna cahaya, Dr Burstein dan rekanrekannya menemukan cara untuk mempelajari efek warna cahaya berbeda pada pasien sakit kepala tanpa gangguan penglihatan. Temuan ini mencuatkan pemikiran bahwa kepekaan abnormal terhadap cahaya selama migrain bisa diatasi dengan menghalangi cahaya biru. Para peneliti saat ini sedang mengembangkan bola lampu yang lebih terjangkau yang memancarkan cahahay hijau ‘murni’pada intensitas rendah, serta kacamata hitam yang terjangkau untuk memblokir semua cahaya tapi meloloskan cahaya hijau murni. (aspan)

Anjing Gunakan Medan Magnet untuk Cari Jalan Pulang Nottingham | Jurnal Asia Anjing disebut sebagai teman terbaik dan paling setia bagi manusia, dan dalam kasus Pero, seekor anjing gembala, pepatah itu benar adanya. Bulan lalu, seekor anjing luar biasa melakukan perjalanan sejauh 386km untuk kembali ke pemiliknya setelah diserahkan ke peternakan lain untuk ujicoba. Dr Jacqueline Boyd, seorang dosen dalam ilmu hewan di Nottingham Trent University, menjelaskan bagaimana hewan dapat menavigasi jarak jauh dalam sebuah artikel untuk The Conversation. Kemampuan hewan menavigasi jarak jauh telah lama diselimuti misteri. Mulai keterampilan balap merpati hingga menemukan jalan pulang, migrasi perkawinan paus bungkuk, sejumlah besar makhluk mampu menavigasi dengan cara yang konsisten, tepat dan efektif. Ilmu pengetahuan secara perlahan mulai mengidentiikasi sepenuhnya dan memahami proses serta isyarat yang terlibat dalam migrasi tersebut. Namun, bukti terbaru memperlihatkan bahwa beragam spesies, mulai dari kumbang, burung hingga anjing, menunjukkan kemampuan luar biasa dalam

melakukan perjalanan jarak jauh, tanpa menggunakan GPS elektronik-sesuatu yang mungkin telah menjadi ketergantungan bagi banyak manusia. Pada April lalu, kisah Pero, petualangan seekor anjing gembala empat tahun dilaporkan. Pero berhasil menemukan jalan dari Cockermouth di Cumbria kembali ke rumahnya sebelumnya, dekat Aberystwyth, di pantai pertengahan Wales. Dalam cerita kehidupan nyata mengingatkan kita pada ilm ‘Lassie Come Home’, Pero entah bagaimana bisa melakukan perjalanan sekitar 240 mil selama dua minggu. Secara signiikan, microchipnya menegaskan hal ini bukan kasus kesalahan identitas, anjing gembala muda ini benar-benar telah berhasil kembali ke rumah pertamanya. Cerita seperti itu dari Pero sering menarik perhatian media, membuat pembaca bingung tentang bagaimana hewan dapat melakukan perjalanan sejauh ini. Tanpa berspekulasi apakah anjing telah hanya diturunkan di sebuah pertanian oleh seseorang yang mengenalinya, cerita seperti ini rupanya membuktikan sifat luar biasa dari naluri hewan. Hubungan mendalam antara orang dan anjing mereka juga tampaknya mendorong keinginan

untuk meyakini bahwa ada sesuatu yang ajaib tentang kemampuan ini. Jadi, adalah keterampilan navigasi ini karena ‘ikatan pribadi’ antara pemilik dan anjing, atau apakah ada pemahaman ilmiah biologi terlibat? Berbagai macam hewan menggunakan sejumlah sistem sensorik yang berbeda untuk perjalanan jarak jauh. Semut gurun misalnya, menggunakan isyarat penciuman lingkungan dan bau bulu--awan aroma yang tersebar dengan memindahkan bau molekul angin-untuk menavigasi jalannya menuju sumber makanan atau kembali ke sarang. Lebah madu mampu mengingat rute situs makan bila mencium aroma dari lokasi tersebut. spesies lain seperti kura-kura laut, beberapa amibi, lobster berduri dan burung dapat menggunakan informasi posisi magnet untuk bermigrasi menuju lokasi tertentu. Kemampuan untuk mengeksploitasi informasi geomagnetik menjadi signiikan, karena sepertinya tak mungkin akan terpengaruh kondisi cuaca, siklus terang dan gelap, musim atau posisi global di mana isyarat lain mungkin akan terpengaruh. Selain ‘kompas magnetik’, burung juga tampak menggunakan ‘kompas’ matahari dan bintang untuk navigasi.

Tapi bagaimana Pero menemukan jalan pulang? Sangat mungkin bahwa banyak hewan, termasuk anjing, menggunakan navigasi integrasi dari banyak sistem sinyal internal dan eksternal yang disebutkan di atas. Anjing juga sangat terdorong mendapatkan sesuatu--sehingga asosiasi positif dengan tempat tertentu atau orang yang mungkin mengakibatkan keinginan untuk kembali. Kemampuan penciuman intens anjing juga cenderung untuk membantu pengetahuan lokasi. Menariknya, bukti terbaru menunjukkan bahwa anjing dan beberapa primata memiliki molekul yang terkait dengan magnetoreception--kemampuan untuk merasakan medan magnet-mungkin lebih menjelaskan bagaimana Pero pulang ke rumah. Cryptochrome 1 adalah molekul sensitif cahaya yang mengatur ritme sirkadian dalam beragam spesies seperti tanaman dan ikan. Tampaknya molekul ini hadir dalam sel-sel kerucut retina dari berbagai spesies lain juga, termasuk anjing, rubah, serigala, beruang dan luwak. “Juga telah diidentiikasi dalam beberapa spesies primata termasuk orangutan Borneo.” Alasan keberadaan molekul ini tetap belum dimengerti dan peneliti telah mengakui bahwa hal

itu tidak mungkin terkait dengan magnetoreception. Namun, identiikasi cryptochrome 1 di fotoreseptor mata mamalia ini identik dengan lokasi dari molekul yang sama pada burung. Ini mungkin menunjukkan bahwa kemampuan untuk menanggapi informasi posisi medan magnet ada pada burung dan beberapa mamalia. Memang, reseptor magnetik telah didokumentasikan dalam spesies mamalia berbeda, yang mengarah pada dugaan bahwa anjing bahkan mungkin buang air besar sebagai respon terhadap medan magnet bumi. Sangat menarik untuk dicatat bahwa para peneliti masih gagal mengidentiikasi molekul ini dalam spesies seperti kelelawar, hewan yang sudah lama dikenal mampu

menavigasi menggunakan medan magnet bumi. Mungkin beberapa spesies sudah berevolusi cara berbeda untuk menggunakan medan magnet dalam mengidentiikasi lokasi, atau sebaliknya, berbagai berinteraksi proses biologi mungkin terlibat. Penting diingat, bahwa Pero dan hewan lainnya dilaporkan telah melakukan perjalanan jarak jauh yang luar biasa cenderung menjadi pengecualian daripada aturan. Untuk setiap cerita yang luar biasa dari anjing atau kucing peliharaan yang perjalanan jarak jauh kembali ke ‘rumah’, ada banyak lagi yang cukup sederhana, hilang. Bagi binatang, bahkan ikatan mendalam dengan pengasuh manusia tak cukup untuk mendorong atau memfasilitasi kepulangan dari jarak jauh. (aspan)

Pero dan tuannya setelah kembali dari perjalanan


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.
Harian Jurnal Asia Edisi Rabu, 18 Mei 2016 by Harian Jurnal Asia - Medan - Issuu