haluanKepri 26mei13

Page 12

Ibu & Anak

Minggu, 26 Mei 2013

12

Ritual Si Kecil Sebelum Tidur Anak itu unik, ada kebiasaan-kebiasaan yang lucu dan kadang tidak masuk akal sehat orang dewasa. Sebelum tidur misalnya, ritual unik harus dilakukan agar si kecil bisa tertidur pulas. Berdampakkah bagi perkembangannya? Bisakah kebiasaan ini dihilangkan? Lili Lestari Liputan Batam Rindu kini sudah 6 tahun usianya. Ia sudah duduk di bangku SD kelas 1. Tetapi kebiasaan uniknya menciumcium siku lengan orang lain entah itu milik sang mama, kakak atau siapa pun yang ada di sampingnya masih berlangsung hingga kini. Sang mama, Nini, membiarkan saja Rindu seperti itu. Ia malah menyodorkan sikunya bila buah hatinya beranjak tidur. “Biarin aja, nggak apaapa,” katanya santai. Ritual sebelum tidur mungkin ditemui juga pada anak Anda. Ada yang biasabiasa saja seperti mengemut empeng atau ibu jari, menghisap ujung bantal atau guling, hingga kebiasaan lucu memegang alis atau tidur di bawah ketiak mama atau papanya. Karena bila tidak, si kecil tak akan bisa tidur pulas. Beberapa orangtua tampak santai saja menyikapi hal ini. Tapi orangtua lainnya ada pula yang khawatir kebiasaan itu akan mempengaruhi perkembangan anaknya nanti. Menurut Psikolog Anak dari Klinik Tumbuh Kembang Rumah Sakit Awal Bros Batam, Mariyana, MPsi., Psi., kebiasaan-kebiasaan unik yang dilakukan anak-anak usia pra sekolah sebelum tidur adalah normal. “Kebiasaan itu bukan suatu kelainan apa pun,” katanya. “Kondisi ini terjadi karena pada umumnya anak-anak

membutuhkan perasaan aman dan nyaman sebelum tidur. Tidak hanya bentuk yang disebutkan di atas, beberapa anak juga punya kecenderungan membawa mainan seperti boneka atau bendabenda lainnya untuk menemaninya tidur,” jelasnya lagi. Mariyana melanjutkan, “Sumber penyebabnya sama yaitu kebutuhan akan rasa aman. Bagaimana hal ini dapat memberikan rasa aman? Sederhana sekali, karena dengan begitu anak dapat merasakan mama atau papa masih tidur di sampingnya sampai ia tertidur. Karena alasan awal perilaku ini timbul karena kebutuhan akan rasa aman sebelum tidur, maka Mariyana menyebutkan hal ini bukanlah kebiasaan buruk. “Kebiasaan ini akan menjadi buruk atau dikatakan buruk, apabila kebiasaan itu terus terpelihara sampai anak tersebut besar atau dewasa. Anak menjadi tidak mandiri dan sangat bergantung kepada orangtuanya. Padahal saat anak menginjak usia 3-4 tahun, seharusnya anak sudah mampu tidur sendiri,” jelasnya lagi. Mariyana menyarankan agar orangtua tidak khawatir akan hal ini sepanjang si anak masih kecil (di bawah 2 tahun,red). Tetapi, apabila anak sudah mulai menginjak usia 3 atau 4 tahun, orangtua harus mulai menghilangkan kebiasaan anak secara perlahan. “Orangtua tentunya tidak perlu memarahi atau mela-

rang anak, tetapi caranya adalah dengan mengurangi frekuensi tingkah laku tersebut secara bertahap. Jika sebelumnya setiap malam, bisa dikurangi menjadi seminggu 4 hari, 3 hari dan seterusnya hingga kebiasaan ini hilang,” katanya memberi tips. Sebelumnya, orangtua juga perlu membuat kesepakatan dengan anak mengenai hal ini. Katakan bahwa anak harus belajar mandiri. Jika anak mampu melakukannya (tidur tanpa harus melakukan ‘ritual’nya), berilah pujian. Katakan bahwa anak sudah belajar untuk menjadi anak dewasa. Tentu, orangtua perlu konsisten dalam menerapkan perjanjian tersebut dengan anaknya. Namun seringkali yang terjadi justru adalah kebalikannya, orangtua lah yang tidak terbiasa. Sehingga niat untuk mengubah kebiasaan itu pun tidak dapat terlaksana. Bila dilakukan secara bertahap, Mariyana yakin tidak akan menimbulkan efek negatif pada anak. “Asalkan orangtua tidak melakukannya dengan cara memaksa atau memarahi anak, anak justru akan belajar untuk mandiri,” terang psikolog yang praktek setiap Senin hingga Sabtu di Klinik Tumbuh Kembang Anak, Rumah Sakit Awal Bros. Untuk menghilangkan kebiasaan ini, Mariyana mengatakan, “ Tidak ada yang dapat menjaminnya. Karena semua tergantung pada kerjasama anatara orangtua dan anak serta konsisten atau tidaknya upaya menghilangkan kebiasaan itu. Karena perilaku ini adalah suatu kebiasaan, jika kebiasaannya terus dilakukan, makan akan terus terpelihara. Dalam kasus-kasus tertentu memang bisa hilang sendiri, tetapi biasanya hal itu terjadi ketika anak sudah besar dan merasa malu untuk melakukannya lagi.” ***

Ngempeng Berdampak Buruk Kebiasaan anak sebelum tidur ada pula yang memiliki dampak buruk bagi pertumbuhan fisik anak. Seperti mengemut empeng atau botol susu. Kebiasaan ngempeng, menurut Psikolog Bibiana Diyah Sucahyani atau akrab disapa Mbak Dea, ditengarai akan mempengaruhi pertumbuhan gigi dan gusi anak. “Kebersihan empeng dan botol susu tidak selalu dapat terkontrol dengan baik, dikhawatirkan juga dapat menimbulkan diare pada si kecil,” jelasnya. Dampak psikologisnya, menurut Dea, antara lain ‘rasa aman yang semu’. Awalnya saat rewel anak diberi empeng, lama kelamaan setiap ada rasa ketidaknyamanan, anak jadi ngempeng dan melakukan ‘gerakan tutup mulut’. Padahal, lanjutnya, rasa aman harusnya didapat karena anak beradaptasi dengan lingkungannya. “Harusnya juga setiap merasa tidak nyaman, anak bisa

mengatakan penyebab ketidaknyamanannya atau situasi apa yang diinginkannya. Bukan malah ngempeng,” tukasnya. Secara fase perkembanganpun, penggunaan empeng harus berhenti secara bertahap di usia 7 bulan sampai 1 tahun. Ini dikarenakan usia tersebut, anak tidak lagi berada dalam fase oral. Sehingga keinginannya untuk menggigit atau mengisap tidak sekuat pada fase sebelumnya. “Sudah perlu dialihkan pada kegiatan atau aktivitas menyenangkan lainnya, sesuai dengan fase perkembangannya,” tegas Dea. Dea menjelaskan, pada usia 2 tahun seharusnya anak sudah harus berhenti mengempeng. Ia sudah banyak bersosialisasi dengan lingkungannya, sudah banyak mempunyai teman-teman sebaya disekitarnya. Jika masih mengempeng, tentunya akan muncul dampak psikologis. Misalnya anak

menjadi bahan ledekan dari teman-temannya, menjadi bahan contoh jelek dari lingkungannya. Dan situasi seperti ini bisa membuat anak menjadi malu dan rendah diri. “Dibutuhkan keteguhan, ketegasan dan kesabaran dari lingkungannya untuk membantu anak lepas dari ketergantungannya tersebut, sesuai dengan temperamen yang ditampakkan anak,” jelas Dea. Dea memberi tips menghilangkan kebiasaan ngempeng, “Orangtua bisa mencoba dengan ‘menghilangkan’ empengnya. Maksudnya, empeng diletakkan pada tempat tertentu dan menjadi sulit dicari. Bujuk anak untuk mencoba tidur tanpa empeng, sementara ibu akan mencari. Jika ini berhasil. Buatlah menjadi sering ‘hilang’. Setelah beberapa waktu, sampaikan kehebatan anak karena berhasil tidur tanpa empeng. Harapannya, ia menyadari bahwa tanpa empeng pun dia bisa

berhasil dan tidak ketergantungan lagi.” Tidak usah buru-buru membeli pengganti jika empengnya rusak. Bahkan, Anda bisa ‘merusak’ empeng, misalnya dengan ‘tidak sengaja’ jatuh di tempat sampah, karena jijik, akhirnya di buang saja. Atau, Anda ‘belum sempat’ membeli yang baru hingga beberapa waktu. Kemudian seperti contoh sebelumnya, Anda bisa membantu anak menyadari bahwa dirinya tidak lagi perlu tergantung pada empeng. Untuk mengurangi rewelnya anak saat tanpa empengnya, Alihkan aktivitas anak dengan bermain bersama sebelum tidur. Misalnya membacakan buku cerita, bermain petak umpet dalam selimut, menempel stiker sambil tiduran, membuka album foto dan sebagainya. Lebih baik lagi jauh sebelum tidur anak terlibat dalam kegiatan atau permainan hingga anak dalam kondisi lelah dan senang, sehingga bisa tidur begitu saja tanpa perlu empeng atau pengalihan perhatian. Umumnya, menurut Dea, anak yang menunjukkan ketergantungan pada empeng cenderung lebih membutuhkan rasa aman dan nyaman. Sehingga sangat penting bagi orang tua baik ibu atau ayah untuk terus menyisihkan waktu bersama anak, berkomunikasi dengan hangat serta memberikan perhatian-perhatian yang dibutuhkan anak. (hk/lili) Editor: Apsek, Layouter:Mulia Aditya


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.