Haluan kepri 26mar17

Page 5

5

Sastra dan Budaya

Minggu, 26 Maret 2017

Amplop Susulan

Puisi-Puisi Para Peminum Puisi: Sutardji Calzoum Bachri di lereng lereng para peminum mendaki gunung mabuk kadang mereka terpeleset jatuh dan mendaki lagi memetik bulan di puncak mereka oleng tapi mereka bilang --kami takkan karam dalam lautan bulan-mereka nyanyi nyai jatuh dan mendaki lagi di puncak gunung mabuk mereke berhasil memetik bulan mereka mneyimpan bulan dan bulan menyimpan mereka di puncak semuanya diam dan tersimpan Herman Karya: Sutardji Calzoum Bachri herman tak bisa pijak di bumi tak bisa malam di bulan tak bisa hangat di matari tak bisa teduh di tubuh tak bisa biru di lazuardi tak bisa tunggu di tanah tak bisa sayap di angin tak bisa diam di awan tak bisa sampai di kata tak bisa diam di diam tak bisa paut di mulut tak bisa pegang di tangan takbisatakbisatakbisatakbisatakbisatakbisa di mana herman? kau tahu? tolong herman tolong tolong tolong tolongtolongtolongtolongngngngngng! Mata Hitam Puisi: WS Rendra Dua mata hitam adalah matahati yang biru dua mata hitam sangat kenal bahasa rindu. Rindu bukanlah milik perempuan melulu dan keduanya sama tahu, dan keduanya tanpa malu. Dua mata hitam terbenam di daging yang wangi kecantikan tanpa sutra, tanpa pelangi. Dua mata hitam adalah rumah yang temaram secangkir kopi sore hari dan kenangan yang terpendam. Aku Berada Kembali “Puisi: Chairil Anwar Aku berada kembali. Banyak yang asing: air mengalir tukar warna,kapal kapal, elang-elang serta mega yang tersandar pada khatulistiwa lain; rasa laut telah berubah dan kupunya wajah juga disinari matari lain. Hanya Kelengangan tinggal tetap saja. Lebih lengang aku di kelok-kelok jalan; lebih lengang pula ketika berada antara yang mengharap dan yang melepas. Telinga kiri masih terpaling ditarik gelisah yang sebentar-sebentar seterang guruh 1949 Pada Suatu Hari Nanti Puisi: Supardi Djoko Damono Pada suatu hari nanti, Jasadku tak akan ada lagi, Tapi dalam bait-bait sajak ini, Kau tak akan kurelakan sendiri. Pada suatu hari nanti, Suaraku tak terdengar lagi, Tapi di antara larik-larik sajak ini. Kau akan tetap kusiasati, Pada suatu hari nanti, Impianku pun tak dikenal lagi, Namun di sela-sela huruf sajak ini, Kau tak akan letih-letihnya kucari. Sebuah Jaket Berlumuran Darah Puisi: Taufik Ismail Sebuah jaket berlumur darah Kami semua telah menatapmu Telah pergi duka yang agung Dalam kepedihan bertahun-tahun. Sebuah sungai membatasi kita Di bawah terik matahari Jakarta Antara kebebasan dan penindasan Berlapis senjata dan sangkur baja Akan mundurkah kita sekarang Seraya mengucapkan ’Selamat tinggal perjuangan’ Berikara setia kepada tirani Dan mengenakan baju kebesaran sang pelayan?. Spanduk kumal itu, ya spanduk itu Kami semua telah menatapmu Dan di atas bangunan-bangunan Menunduk bendera setengah tiang. Pesan itu telah sampai kemana-mana Melalui kendaraan yang melintas Abang-abang beca, kuli-kuli pelabuhan Teriakan-teriakan di atas bis kota, pawai-pawai perkasa Prosesi jenazah ke pemakaman Mereka berkata Semuanya berkata Lanjutkan Perjuangan.

Cerpen: Teguh Affandi

D

ADA rasanya diguncang gempa, ketika tangan kiri saya masukan dan raba-raba saku celana dan benda itu masih tersimpan di dalam sana. Amplop yang semestinya saya berikan kepada Ustaz Jazuli usai memberi ceramah di masjid kompleks. Keringat sebiji-biji nangka membasahi peci, menetesi pipi, dan seketika membuat kemeja koko yang saya kenakan basah oleh keringat gugup.

“Celaka!” saya refleks menepok jidat. Saya akan disalah-salahkan oleh panitia lain, bila tahu amplop yang diamanahkan kepada saya tertukar. Saya mendapatkan tugas membersamai Ustaz Jazuli, selama rehat sebelum beranjak ke mimbar untuk memberikan ceramah dalam rangka tasyakuran rampungnya pembangunan masjid kompleks. Meski saya pada dasarnya lebih senang untuk duduk menikmati sajian dan pengajian, tetapi tidak ada lagi yang dinilai panitia pantas menemani selain saya. Tak apalah, saya juga tak tega kalau Pak Supadi yang usianya sudah 45 tahun harus merangkap banyak hal. Atau saya juga tidak tega menyerahkan tugas sederhana, tapi krusial ini kepada Roni, Brian, Hudi, yang baru saja lulus SMK. Selain menemani, saya mendapatkan tugas membuat nyaman Ustaz Jazuli. Kesan baik harus saya tampilkan kepadanya karena ini kali pertama Ustaz Jazuli hadir di pengajian kompleks kami. Kami mengenal Ustaz Jazuli setelah beliau hadir di salah satu stasiun teve. Betapa beruntungnya kami, setelah mengetahui kalau kediamannya hanya berjarak satu setengah jam dengan mobil. Ah, itu sebuah anugerah besar. Apalagi, setelah tahu kalau Ustaz Jazuli bersedia meluangkan waktu ke kompleks kami karena mertuanya yang juga penghuni kompleks sini. Benar-benar anugerah. Bibir saya masih terkunci. Saya takut bila teman-teman panitia lain tahu dan mendakwa saya hendak menilap amplop yang seharusnya dijadikan uang bensin untuk Ustaz Jazuli. Meskipun saya tidak mengerti berapa jumlah rupiah yang ada di dalam amplop tersebut, saya sangat yakin panitia tidaklah orang yang sembarangan memberi uang bensin. Apalagi, kepada Ustaz Jazuli yang sudah kami rindukan itu.

Pengajian dimulai sedari jam 9 pagi dan selesai menjelang zuhur. Ustaz Jazuli mengimami jamaah sembahyang di masjid baru kami. Mungkin di titik inilah kealpaan saya tumbuh subur. Sudah saya pisahkan pada mulanya, bahwa amplop yang berisi uang untuk Ustaz Jazuli saya letakkan di saku celana sebelah kiri. Sedangkan, amplop lain dan barang-barang lain saya masukan ke saku kanan. Usai sembahyang Ustaz Jazuli masih melayani beberapa orang yang mengajak berfoto bersama dan salaman. Hamboro ketua panitia pengajian memberi kode kepada saya yang ada di belakang Ustaz Jazuli untuk menyibak kerumunan orang agar rombongan bisa segera masuk mobil. “Maaf, Maaf!” saya mencoba menyibak, membuat jalan. Ustaz Jazuli dan dua orang asistennya berjalan perlahan. Agar perlahan. Dan setelah susah payah, mereka berhasil masuk mobil. Ustaz Jazuli berada di jok belakang seorang diri. Dua asistennya ada di baris depan, dengan salah seorang menjadi juru kemudi. “Maaf, Bang.” Ini ada sedikit uang transport titipan panitia. Saya mewakili panitian mengucapkan terima kasih dan mohon maaf kalau banyak kekurangan, saya menyelipkan amlop ke telapak tangan asisten Ustaz Jazuli yang duduk di samping kemudi. Dia mengangguk, kemudian balik mengucapkan terima kasih dan mohon maaf. Saya yakin di titik inilah saya keliru meraih amplop. Amplop Ustaz Jazuli yang harusnya ada di saku celana kiri bukan teraih. Saya justru meraih amplop yang ada di saku celana kanan. Benar-benar. Manusia memang sarang salah dan lupa. Bagaimana bisa saya melakukan kesalahan fatal dan memalukan seperti ini? Keringat yang berkali-kali saya sapu dengan lengan baju koko, terus saja menderas. Seolah sumber kerin-

gat itu tak tertutup dan asat. Hamboro duduk mengipas-kipasi badannya. Penat dan keringat. Beberapa panitia lain juga mulai berbenah, menggulung kabel, merapikan piring yang tadi dipenuhi kudapan, menyapu sisa-sisa kotoran di karpet. Namun, lebih banyak lagi yang hanya ongkangongkang kaki, menghabiskan minuman dan kudapan. “Sanuka, sudah bereskan semuanya?” Hamboro memastikan. Saya hanya mengangguk. Kemudian, meraih telepon genggam. “Sibuk betul, mau ke mana?” Hamboro kembali mencecar. Kantor pos sudah tutup, Sabtu cuma setengah hari. Saya menengok angka jam digital di pojok telepon genggam. Benar sudah hampir setengah dua. Tak ada kantor pos yang masih melayani pengiriman surat kilat. Apalagi, surat yang seharusnya saya kirimkan kepada pabrik terbawa Ustaz Jazuli. Mengingat itu saya malu. Saya malu kalau sampai Ustaz Jazuli membuka amplop itu dan kemudian membaca isinya. Duh, mau saya simpan di mana wajah saya nanti. Saya seperti sebutir telur bergoyang-goyang di tubir meja. Sebentar lagi jatuh dan pecahlah semua isinya. Saya sudah pasti tak dapat mengajukan lamaran pabrik, sekaligus saya harus malu dan diujar-ujar oleh panitia lain. “Pamit dulu, ya! Ada janjian sama teman,” saya pamit kepada Hamboro. “Syukron ya. Ustaz Jazuli sepertinya puas.” Saya hanya mengangguk. Sedangkan, dalam pikiran saya berputar-putar memikirkan rencana untuk menghubungi salah satu asisten yang tadi menerima amplop. Malu. Ya, saya malu. Tetapi, lebih baik malu di depan manusia daripada harus saya tanggung rasa malu dan dosa sampai di hadapan Yang Mahakuasa. Saya merasakan keringat di hamparan kulit mulai surut, tapi baju koko dan telapak tangan sudah terlanjur lembap. Saya harus menyerahkan apa yang menjadi amanah saya dan hak Ustaz Jazuli. Saya menepi dari kerumunan. Tentu akan tidak enak kalau teman-teman memergoki saya. Saya kirim pesan kepada asisten yang tadi menerima amplop saya. Saya berharap agar cepat dibalas, nyatanya pesan balasan baru masuk ke telepon genggam saya lima belas menit. “Mas, kami ada di Restoran Nasi Kebuli. Kalau masih ada perlu, silakan gabung kami saja,” jawab asisten Ustaz Jazuli lewat

pesan pendek. Saya gegas tancap motor bebek menuju restoran yang disebut. Andai waktu bisa saya putar ulang, tentu kejadian konyol nan bodoh ini takkan terjadi. Andai waktu bisa saya percepat, saya ingin meloncat melewati fase-fase memalukan ini. “Afwan Ustaz Jazuli, saya Sanuka, panitia pengajian tadi, saya mencium punggung tangan Ustaz Jazuli.” Lama sekali. Saya ingin menuntaskan rasa salah saya di punggung tangan yang harum itu. Keringat yang wangi menyusup ke dalam tubuhku. Seolah mengalirkan rasa tenang. Penuh damai dan keikhlasan. “Ada apa, Nak? Sampai nyusul?” Ustaz Jazuli bertanya penuh heran. “Sebenarnya ada yang saya…, kalimat saya terpotong oleh segukan tangis yang terlanjur turun menjadi banjir di pipi saya. Saya benar-benar menyesal. Saya khilaf dan mengapa pula khilaf itu harus terjadi di saat seperti ini.” “Sudah tenang dulu,” Ustaz Jazuli mengelus punggung saya. Bukannya diam, tangis saya semakin kencang. Ustaz Jazuli memanggil pramusaji untuk menghidangkan minuman. Kemudian disodorkanlah kepada saya. “Minum dulu. Bismillah. Biar tenang,” kata Ustaz Jazuli begitu teduh. Saya raih dan tegukan saya begitu buas. Habis saya tandaskan dalam sekali. “Kamu pasti lapar, makan dulu ini,” Ustaz Jazuli menyodorkan sepiring nasi kebuli dengan potongan iga kambing. “Makan saja, kami sudah makan,” Ustaz Jazuli memerintahkan. Dua asisten yang sedari tadi memandangi saya mengangguk sebagai izin untuk saya melahap hidangan makan menjelang petang itu. Saya sendok perlahan-lahan. Kenikmatan merasuk. Bumbu yang sedap kemudian daging kambing empuk membuat saya tak begitu repot mengunyah. Ustaz Jazuli membaca buku. Dua asistennya sesekali mengajak saya berbincang. Setelah tandas, barulah asisten yang menerima amplop tadi berbicara. “Dik Sanuka, ada apa kok sampai nyusul?” “Begini Mas, sebelumnya saya mohon maaf kepada Ustaz Jazuli dan masmas. Saya salah. Khilaf. Sebenarnya amplop yang saya berikan tadi tertukar. Saya keliru memberikan,” saya terbata-bata. Keringat saya tidak membanjir. Tapi, gugup kali ini lebih maha. Saya menyodorkan amplop yang benar. “Oalah, tadi amlopnya

kamu kasih ke pengemis deket masjid, kan?” Ustaz Jazuli memandang asistennya. Dijawab dengan anggukan takzim. Sekarang giliran saya yang kebingungan. Betapa mulia Ustaz Jazuli, bahkan amplop yang menjadi hak atas lelah dan waktu yang diluangkan diberikan kepada kaum papa. Dada saya terenyuh lebih syahdu. Embusan pendingin udara menyapu wajah saya dan merasuk bersama aroma sitrus yang segar. Dan berkat keteledoran saya, niat baik itu berujung pada sia-sia. “Tidak apa-apa. Tidak ada yang sia-sia,” seolah mengerti kegundahan saya. Dengan lembut Ustaz Jazuli justru membuat saya kembali gugup. “Ini titipan panitia untuk Ustaz, saya menyodorkan kembali. Saya yang keliru, Ustaz,” kata saya. “Bukan. Itu sudah bukan hak saya. Itu untuk Dik Sanuka saja,” Ustaz Jazuli. Saya terdiam sebentar. Dada saya kembali dirayapi keraguan. Bukan soal uang. Tapi, apakah amanah saya sudah tertunai atau belum? “Tapi….” “Sudah, tidak ada tapitapian. Saya harus pulang Dik Sanuka, amplop itu pakai buat Dik Sanuka saja. Hak saya sudah saya ambil,” Ustaz Jazuli kini beranjak dari kursinya. Dua asistennya mengikuti. Saya pun turut. “Ustaz, saya nanti melaporkannya bagaimana?” “Kan sudah Ustaz bilang, amlop yang hak Ustaz sudah dikasihkan ke pengemis. Dan, amplop yang ini milik Dik Sanuka.” Bibir kelu kemudian disusul sendu akibat haru yang membiru. “Oh iya, Dik Sanuka, daripada melamar menjadi karyawan di pabrik kutang, mending uang itu dipakai buat modal usaha. Semoga barokah!” “Terima kasih Ustaz!” jawab saya. Ustaz Jazuli dan dua asistennya meninggalkan Restoran Nasi Kebuli, meninggalkan saya dengan amplop yang saya raba-raba cukup tebal. Kesadaran saya mendadak muncul, dari mana Ustaz Jazuli mengetahui saya hendak melamar menjadi karyawan di pabrik kutang? Pasti amlop berisi lamaran saya untuk menjadi penjahit di pabrik kutang itu telah dibuka Ustaz Jazuli. Saya malu. Malu betul. (rpc) Jakarta, 2017 TEGUH AFFANDI, lahir di Blora 26 Juli 1990. Menulis cerpen, esai, dan ulasan buku yang telah tersiar di banyak media massa

Bahasa Kita Jadi Bahan Bincang Dunia Maya Oleh: Bambang Kaswanti Purwo, Guru Besar Linguistik Unika Atma Jaya, Jakarta TULISAN Norimitsu Onishi tentang bahasa Indonesia, yang terbit di The New York Times (baca Kompas, 20 Juni 2015, halaman 6), tiga hari kemudian ditanggapi Michel S, seorang Indonesia yang menetap di Jerman. Pampangan dengan tajuk “Indonesian adopting English: but in what way?“, melanjutkan ulasan mengenai anak-anak Indonesia yang berbahasa pertama bahasa Inggris. Pampangan berbahasa Inggris ini menuai 27 tanggapan dari kalangan Indonesia dan dunia. Untuk menyekolahkan anak ke sekolah internasional yang layak, demikian secara ringkas pandangan Michel, bagi orang tua menengah-atas yang mampu bukanlah persoalan. Namun, bagaimana dengan orang tua lain, yang membesarkan anaknya dengan bahasa Inggris, tetapi bahasa Inggris mereka sendiri belepotan, didukung bahasa Inggris pekerja rumah tangga (PRT)-nya yang lebih berantakan lagi. Mungkin saja anak itu mampu berbicara dalam tiga bahasa (bahasa daerah, Indonesia, dan Inggris), tetapi ketiganya samasama rendah tingkat kemahirannya. Pandangan ini mengundang tanggapan David, yang berbagi kesannya bahwa banyak kalangan

menengah ke atas sesungguhnya tidak peduli apakah anaknya menguasai bahasa Inggris secara baik atau tidak. Yang membanggakan hanya ini: dari mulut anaknya dapat keluar bahasa Inggris. Sikap orang tua ini terkait ke perilaku unjuk lagak (snobbery): berbangga diri anaknya belajar di sekolah yang berbahasa Inggris. Lain lagi dari penanggap yang berinisial ET. Memang jelas ada unjuk lagak, tetapi ada juga tujuan praktis, yaitu menyiapkan anak meraih kemampuan untuk berkompetisi dalam keadaan masa kini yang terus berkembang (barangkali maksudnya tuntutan “globalisasi”). Segi ini belum terbayangkan oleh para nasionalis tahun 1920-an ketika mereka mencanangkan jati diri Indonesia. Namun, ketiganya ini barulah pendapat atau pandangan. Bagaimana hasil penelitian menyangkut kasus ini? Kasus ini unik karena bahasa pertama anak Indonesia yang lahir dan dibesarkan di Indonesia (Kompas, 20 Juni 2015) adalah bahasa asing, bahasa yang tidak diujarkan di lingkungan sekitar. Keluarga Jawa yang tinggal di Australia, misalnya, apabila melahirkan anak di sana, bisa jadi anaknya menjadi penutur berba-

hasa pertama bahasa Inggris. Kalau keluarga itu tinggal di India, bisa jadi anak Jawa tadi berbahasa pertama bahasa Hindi atau bahasa Inggris karena bahasa Inggris dan Hindi diujarkan di lingkungan kehidupan sehari-hari. Bahasa Inggris di India, seperti juga di Singapura, Filipina, bukan bahasa asing. Dijunjung di luar Di Indonesia, bahasa Inggris merupakan bahasa asing, bukan bahasa sehari-hari masyarakat luas, sebagaimana di India, Singapura, atau Filipina. Di sinilah keunikan Indonesia: mengapa dan bagaimana bahasa Inggris sampai bisa menjadi bahasa pertama bagi cukup banyak anak Indonesia yang lahir dan dibesarkan di Indonesia? Salah satu kemungkinan jawabannya dapat ditangkap dari hasil penelitian Rebecca Urip, mahasiswa Unika Atma Jaya, terhadap tiga keluarga di Jakarta dengan delapan anak, dalam rentang usia 4-17 tahun. Menurut penelitian yang tertuang di dalam tesis S-2-nya yang diuji 28 Mei 2015 di Program Studi Linguistik Terapan Bahasa Inggris, Sekolah Pascasarjana Unika Atmajaya, anak-anak itu sejak TK mengikuti sekolah dengan pengantar bahasa Inggris dan bergaul dalam lingkungan berbahasa Ing-

gris. Ketika kepada setiap orang tua diajukan pertanyaan, “Seandainya Anda harus memilih salah satu di antara kedua bahasa ini, mana yang harus dikorbankan: bahasa Indonesia atau Inggris?”, masingmasing sama jawabannya, “Bahasa Indonesia.” Ketika ditanya mengapa, jawaban yang muncul, antara lain, bahasa Inggris lebih efisien, lebih membuka peluang ke dunia luas, lebih banyak menyediakan sumber pengetahuan. Mengenai seni dan budaya Indonesia, mereka berpandangan bahwa itu sudah tidak relevan lagi dengan situasi saat ini. Alih-alih nonton ini, anak-anak dilimpahi tontonan yang berbahasa Inggris. Bagaimana dengan lingkungan komunikasi anak sehari-hari? Mereka di rumah bercakap-cakap dalam bahasa Inggris dan hanya bergaul dalam lingkungan yang berbahasa Inggris. Mereka pun sadar, memahami, dan menerima perlakuan orang tua yang diterapkan kepada mereka. “This is my parents’ policy. They don’t want me to mixup with Indonesian students because they want me to, you know, really learn English and everything.” Mereka hanya berbahasa Indonesia dengan PRT dan sopir, dengan logat as-

ing pula, seperti orang asing saat berbahasa Indonesia. Bagi anak-anak ini, bahasa Indonesia turun dan sempit fungsinya. Akan tetapi, di lingkup mancanegara, bahasa kita justru dijunjung tinggi dan menarik minat luas. Dalam posting-posting WordPress, setelah bahasa Spanyol, bahasa Indonesia merupakan bahasa yang menempati urutan ketiga paling banyak digunakan. Menurut Dirjen Informasi dan Diplomasi Publik Kementerian Luar Negeri Andri Hadi, saat ini ada 45 negara yang mengajarkan bahasa Indonesia. Di Vietnam, sejak akhir 2007, pemerintah daerah Ho Chi Minh City telah mengumumkan secara resmi bahasa Indonesia menjadi bahasa kedua. Vietnam adalah anggota ASEAN pertama yang menetapkan bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi kedua di negaranya. Bahwa bahasa Indonesia mulai tak lagi dikuasai oleh sebagian di antara anak-anak Indonesia masa kini, karena mereka mulai beralih jadi penutur yang lebih fasih berbahasa asing (Inggris) daripada berbahasa sendiri, suatu kekhasan yang barangkali tiada duanya di dunia. Apakah keunikan ini sesuatu yang patut dibanggakan atau diratapi? (rbw)

Editor: Ferry Heriyanto, Layout:Novrizal


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.