Diorama

Page 26

Pingkan Persitya Polla

Mengunjungi Monas Pertama kali saya menginjak Monas mungkin kirakira sembilan tahun yang lalu, ketika saya mulai menetap di Ibukota bersama ibu dan adik-adik saya. Saat itu, bapak saya yang harus tinggal terpisah dari kami sedang mengunjungi Jakarta dan mengajak keluarga kecilnya untuk berwisata ke Monas hanya karena anggapan beliau bahwa “Bukan orang Jakarta namanya jika belum mengunjungi Monas.” Saat itu, saya hanya mengiyakan saja karena, toh, saya juga ingin resmi dibilang sebagai “orang Jakarta”.

Kesan saya setelah pertama kali mengunjungi Monas adalah, “Buset! Cuman begini doang, nih?” Saya yakin pasti kesan ini juga dimiliki oleh hampir seluruh pengunjung Monas. Selain karena terlalu lama menunggu untuk masuk ke dalam ruang pa-mer diorama Monas dan ke puncak Monas, menurut saya Monas tidak menyuguhkan komoditas lain untuk menarik saya dan itu membuat saya merasa Monas tidak spesial untuk dikunjungi. Sejak saat itu, bapak saya, setiap kali datang ke Jakarta, pasti selalu mengajak keluarganya untuk piknik ke Monas. Kami semua sepakat untuk piknik ke Monas saat malam minggu saja, karena tidak kuat jika harus mengunjungi Monas saat matahari sedang terik-teriknya. Lagi pula, mengunjugi Monas saat malam hari lebih menyenangkan karena bisa berselonjor di atas rumput sambil makan kacang rebus dan melihat ondel-ondel, sepeda-sepeda berlampu LED, dan lampu-lampu cantik yang ditembak ke Tugu Monas. Sayangnya, kebiasaan itu berhenti ketika saya mulai memasuki bangku kuliah dan aktif di organisasi kampus.

Kurang lebih lima tahun kemudian, sejak kebiasaan piknik di Monas berhenti, saya diajak oleh seorang kawan untuk berkontribusi di Program AKUMASSA-

24

Diorama, melakukan penelitian tentang diorama di Museum Nasional, Monas. Entah ini adalah takdir atau konspirasi semesta, akhirnya saya kembali menemui Monas, bahkan hampir setiap hari saya mengunjungi Monas selama satu bulan. Ketika kembali ke Monas, saya agak kaget dengan perubahannya. Monas kini sudah lebih sistematis, walau tak bisa dipungkiri kalau masih ada kekurangan di sana-sini. Melihat Diorama Saat saya kembali melihat diorama Monas, tak dapat disangkal bahwa kepala ini penuh dengan recall memory akan pengetahuan sejarah yang sudah dipelajari dari bangku sekolah maupun dari buku-buku lain. Jelas ini menyulitkan saya sebagai pengunjung dengan otak bawel yang selalu bertanya, “Kenapa begini? Kenapa begitu?”, kepada setiap diorama yang dilihat, padahal kebutuhan riset menuntut saya untuk fokus mengamati visual diorama tanpa mengingat narasi besar yang ditawarkan oleh si pembuat diorama. Saya jadi jengkel dengan keberadaan kaca diorama yang menyulitkan saya untuk mengamati diorama lebih jauh. Diam-diam, saya berharap seandainya saya adalah Jinny, si jin cantik di sinetron Jinny Oh Jinny, mungkin saya sudah mengedipkan mata sambil mengangguk centil sebagai mantera supaya saya masuk ke dalam dioramadiorama itu, alih-alih berdiri di depan kaca diorama dan berusaha untuk melihatnya dengan susah payah.

Kaca diorama semakin membuat jengkel saya ketika saya ingin mengabadikan diorama dengan kamera ponsel saya karena sifatnya yang memantulkan bayangan di luar diorama dan cahaya-cahaya yang ada di ruang pamer diorama. Belum lagi, adanya penerangan yang rendah di beberapa diorama, seolah-olah mendukung kaca untuk memantulkan bayangan di luar lebih kuat lagi. Ditambah pula kapasitas pengetahuan saya yang masih terbatas


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.
Diorama by Forum Lenteng - Issuu