
5 minute read
FEATURE
Quality tourism : solusi pariwisata di masa pandemi
Saya sebenarnya termasuk tipe orang yang tidak mudah tertarik untuk mencoba sesuatu yang baru. Termasuk mengikuti kegiatan melihat burung. Memang benar terdengar aneh sekali kegiatan ini. Saya pun pada mulanya meragukan kegiatan yang akhir-akhir ini mulai saya gemari. Selain karena ini merupakan kegiatan yang menurut saya terdengar membosankan, “melihat burung” nampaknya sudah sering saya lakukan sehari-hari. Entah di Pasar Pasty ataupun di Pasar Pleret. Heuheuheu..
Advertisement
Pada suatu siang setelah kelas yang sangat mengasyikkan –obviously-, saya melangkahkan kaki menuju warung makan ramah dompet favorit saya untuk mengganjal perut yang sedari tadi meronta-ronta. Ditemani beberapa kawan, kami menerobos teriknya Jalan Agro yang terletak di utara Fakultas Kehutanan. Menyusuri pinggir Selokan Mataram, akhirnya kami sampai di Warung Santai. Seperti biasa setelah selesai makan kami ngobrol ngalor ngidul. Di sela obrolan, salah satu kawan saya yang menjadi anggota kelompok studi KP3 Burung mengajak saya untuk mengikuti kegiatan pengamatan yang akan mereka lakukan pada hari Minggu di Jatimulyo. Walaupun saya sempat ragu namun pada akhirnya saya mengiyakan ajakan kawan saya.
Tiba hari minggu ternyata kami agak kesiangan. Namun hal tersebut tidak mengurangi semangat kami untuk melakukan pengamatan. Karena jalan yang akan kami lewati lumayan terjal, saya memutuskan untuk nebeng motor Win tahun 1992 milik kawan saya daripada mengendarai motor Grand tahun 1997 saya. Walaupun sama-sama motor tua dengan cc yang sama pula, tapi motor Win terkenal lebih tangguh. Bahkan dahulu motor ini menjadi kendaraan operasional hampir semua pegawai negeri. Sebelum berangkat tidak lupa kami berdoa, berharap perjalanan kami aman, nyaman, dan selamat sampai lokasi pengamatan.
Namun entah karena doa kami yang kurang khusyu’ atau mungkin karena doa kami tertahan awan yang mendung. Baru sepuluh menit perjalanan, koordinator kami mengalami insiden kecelakaan dengan seorang ibu - ibu . Gubrakkk. Belum juga sampai Ringroad Barat dia harus jatuh tersungkur setelah menabrak ban belakang motor bebek ibuk tersebut. Dengan kondisi dengkul yang mlocot, badan pegel - pegel, dan perut keroncongan akhirnya dia memutuskan untuk melanjutkan perjalanan.
Setelah kurang lebih satu jam perjalanan, akhirnya kami sampai di lokasi pengamatan. Ternyata kedatangan kami sudah ditunggu oleh Kelompok Studi Biologi Atmajaya. Mereka sudah lebih dulu datang karena pada malam harinya menginap untuk melakukan pengamatan herpetofauna. Tanpa berlama-lama kami langsung menyiapkan peralatan lalu memulai pengamatan.
Kesan pertama setelah mencoba kegiatan yang akhir - akhir ini baru saya keketahui dinamakan birdwatching ini tenyata sangat menyenangkan. Selain effort lebih yang harus dikeluarkan karena sepanjang kegiatan harus ndangak


Foto kegiatan Try Out pengamatan oleh Tim UGM Research Expedition V MAPAGAMA UGM yang akan melakukan penelitian di Yapen, Papua
Selain effort lebih yang harus dikeluarkan karena sepanjang kegiatan harus ndangak, kegiatan yang semula saya sepelekan ini ternyata memerlukan kepekaan dua dari kelima panca indera yaitu pendengaran dan terutama penglihatan. Berbeda dengan melihat burung dalam kandang, melihat burung di alam ternyata tidak semudah yang saya kira. Burung-burung yang bertengger di ketinggian 3-15 meter tentu saja tidak mudah untuk diamati dengan mata telanjang. Pandangan manusia tentu saja terbatas. Melihat pohon yang dominan hijau digoyang angin, sepertinya agak mustahil untuk melihat burung-burung di atas sana. Disinilah fungsi binokular dan kamera dengan zoom tinggi mulai terasa. Sedangkan pendengaran yang baik mampu membantu mengenali jenis burung tertentu. Hal ini dikarenakan burung memiliki suara khasnya masing-masing.
Kondisi alam Jatimulyo yang sejuk menambah kenyamanan dalam mengamati burung. Meski dalam kelas di kampus juga memiliki kesejukan yang diakibatkan adanya AC, kesejukan yang diproduksi oleh alam tentu saja pada level yang berbeda. geografis Jatimulyo berada di ketinggian 500-600 mdpl pada kawasan berbukit yang dinamakan Pegunungan Menoreh . Hal ini menjadikan Jatimulyo memilki potensi wisata yang luar biasa.
Matahari mulai terik, menandakan kegiatan pengamatan harus disudahi. Saya sangat senang karena ini merupakan pengalaman pertama bagi saya. Setelah pengamatan kami berkumpul untuk membuat daftar jenis burung yang sudah kami temui. Selain itu, anggota baru KP3 Burung dan saya diperlihatkan foto burung dan melakukan identifikasi bersamasama. Pengamatan diakhiri dengan sarapan yang kesiangan di warung mie ayam dekat lampu merah Nanggulan.
Desa Jatimulyo: Konservasi dan Wisata
Jatimulyo menyimpan potensi alam serta keragaman flora dan fauna yang luar biasa. Terdapat beberapa gua, air terjun, 106 jenis burung, 30 jenis capung, dan jenis fauna yang lain. Tapi seperti kata Paman Ben dalam film Spiderman berkata “with great power comes great responsibility “. Nampaknya petuah tersebut berlaku juga bagi Jatimulyo. Dengan potensi yang amat besar, tentunya masyarakat Desa Jatimulyo memiliki tanggung jawab yang lebih pula untuk menjaga karunia dari Tuhan tersebut.
Beruntung masyarakat Desa Jatimulyo memiliki tekad untuk melestarikan sumberdaya alam yang mereka miliki. Desa yang memiliki kekayaan fauna ini ternyata dulu banyak

Kingfisher Photo by Kieren Ridley from Pexels
terjadi perburuan hewan, terutama burung. Masyarakat pemerintah desa melalui peraturan desa tentang lingkungan hidup membuat peraturan yang diharapkan mampu mempertahankan potensi alam mereka. Terdapat pula Kelompok Tani Hutan Wanapaksi yang secara aktif menjaga hutan di Jatimulyo.

Mereka membuat beberapa program untuk menjaga populasi burung. Melalui program adopsi sarang burung, warga diajak menjaga sarang burung yang berada di lahannya. Secara teknis jika ada orang yang menemukan sarang burung, maka tim dari KTH Wanapaksi akan memastikan lalu mengumumkannya baik melalui sosial media maupun getok tular. Nantinya beberapa persen uang akan diberikan kepada pemilik lahan agar telur yang berada di dalam sarang tetap terjaga hingga menetas dan keluar sarang. Di samping itu, orang atau lembaga yang mengadopsi sarang burung juga akan dibuatkan semacam rumah kamuflase yang nantinya bisa digunakan untuk mengamati burung yang telah menetas. Selain program tersebut terdapat pula ekoturisme pengamatan burung.
Saat memasuki kawasan hutan, pengunjung akan ditemani pemandu yang merupakan penduduk asli Desa Jatimulyo. Beberapa pemandu dulunya merupakan pemburu. Pengetahuan tentang burung yang dulu mereka peroleh ketika masih jadi pemburu, kini mereka gunakan untuk mengedukasi dan memandu pengunjung. Pelibatan masyarakat dalam upaya konservasi memunculkan peluang kerja baru bagi masyarakat lokal.
Wisata Sehat saat Pandemi, Mungkinkah?
Pengamatan burung mungkin mampu menjadi alternatif wisata yang dapat dilakukan di masa pandemi. Bagaimana tidak, trend wisata yang sebelum pandemi hanya mementingkan kuantitas kini harus beradaptasi menjadi wisata yang concern terhadap kualitas. Quality tourism diwujudkan dengan meningkatkan kualitas wisata baik dari segi keamanan dan kenyamannya. Pengamatan burung seperti di Desa Jatimulyo mampu menjadi pilihan berwisata karena tidak menimbulkan kerumunan. Selain itu mampu menyehatkan karena dalam pengamatan nantinya pengunjung akan berjalan kaki sekaligus menghirup udara segar Menoreh. Tentu saja penerapannya harus disertai dengan protokol kesehatan yang ketat.
Pada akhirnya saya percaya dengan hukum III Newton tentang aksi-reaksi. Jika kita memperlakukan alam dengan baik, maka alam juga akan memperlakukan hal yang sama. Seperti yang dilakukan masyarakat Desa Jatimulyo, alam mengembalikan kebaikan mereka dalam bentuk yang lain. Seolah alam menunjukan caranya berterima kasih .
Penulis/Refandy Dwi Darmawan Editor/Fabian Ayu