Majalah ETNONESIA edisi 2

Page 1

20 Januari 2013 - 3 Februari 2013


Ancaman Siring Pinang

Oleh A.R. Williams

Wanita-wani ta muda mangkal di sepanjang jalan di Taiwan menjual satu suguhan berbahaya yag makin digemari, buah pinanga. Pembeli mengolesi buah pinang dengan kapur mati, membungkusnya dengan daun sirih (yang member sebutan ramuan ini sirih pinang) memasukannya ke mulut, lalu mengunyahnya. Dan bisa menyebabkan ketagihan. Seperti sejumput tembakau, kunyahan ini memberikan pengunyah rangsangan, meredakan rasa lapar, dan mengusrir capek. Tapi juga jorok: ia merangsang kelenjar ludah dan menyebabkan ludah berwarna merah terang. Secara tradisional disuguhkan sebagai tanda keramah-tamahan, sirih pinang memiliki berbagai pennyajian sesuai wilayahnya. Suku-suku di dataran tinggi Thailand dan Kamboja misalnya, menambahkan cengkeh dan kayu manis. Di beberapa wilayah di India, kapulaga, selai buah, atau parutan kelapa serta gula bisa ditambahkan. Seringkali tembakau juga disertakan sebagai perangsang tambahan. Penelitian barumenunjukkan bahwa mengunyah sirih pinang berlebihan dapat menyebabkan kanker mulut dan menaikan risiko terkena sakit jantung, diabetes, asma, dan gagal hati. Selama bertahun-tahun, tembakau dituding sebagai penyebabnya. Kini jelas pinang juga karsinogen, membahayakan kesehatan beberapa juta pengunyah di seluruh Asia Selatan, Pasifik Selatn, dan komunitas imigran di seluruh dunia.


Di Ujung Semawa

Oleh Ahmad Zaenudin

Siang telah menerjang, tak terasa perjalanan Âą2 jam perjalanan dari Jakarta telah dilalui. Bandara Internasional Lombok menjadi awal dalam melihat indahnya bentangan Indonesia yang tak terekam dari Jakarta. Setelah itu, perjalanan laut masih harus ditempuh untuk mencapai titik yang saya kehendaki, tepatnya di Sumbawa Nusa Tenggara Barat.




Sore, itulah waktu yang yag akhirnya mempertemukan saya dengan bentangan alam indah Sumbawa. Terlihat, bapak tua yang melakukan aktifitas dikala usia pension. Jelas bukan pension dari pekerjaan formalnya, melainkan pekerjaannya menjadi seorang petani di desa Kakian, Moyo Hilir Sumbawa. Ia lebih asyik menatap laut yang berpadu dengan gunung di belakang yang membuat pemandangan begitu indah. Sumbawa memang indah. Itulah gambaran pertama saya melangkahkan kaki disini. Tak bisa dipungkiri memang, saat saya berputar 3600 terlihat bentangan alam antara paduan bukit, gunung serta hamparan lautan yang luas. Tentu, penduduk asli daerah ini akan sangat dimanjagan dengan pemandangan yang sedemikian indahnya. Semawa atau jauh lebih dikenal dengan Sumbawa adalah nama suku asli yang mendiami daerah Sumbawa Nusa Tenggara Barat. dalam kesehariannya, mereka menggunakan bahasa Semawa dengan berbagai dialek yang menyertainya seperti Semawa Taliwang, Semawa Baturotok, Batulante, Ropan SUri, Selesek, Lebah, Dodo, Jeluar, Tanganam, Geranta, dan Jerukweh. Orang Semawa bermata pencaharian dengan bercocok tanam, namun mereka juga biasa menangkap ikan yang memang tersedia melimpah dengan hantaran laut yang luas. Tak jarang mereka pun melakukan perburuan binatang-binatang


buruan sebagai kegiatan mereka. Hal ini bisa terjadi lantaran alam yang masih asri masih bisa dirasakan di wilayah Sumbawa. Savana-savana yang luas di wilayah NTB juga melakukan faktor pendukung dari alam yang membuat mereka terbiasa berburu. Sistem kekerabatan yang terjalin dalam keluarga Semawa adalah Patrilineal. Garis keturunan ditarik dari ayah yang biasanya dalam keluarga inti terbatas membentuk suatau kelompok untuk berdiam diri di suatu tempat membentuk kesatuan virilokal. Juga, sebagian yang lain ada pula yang membentuk neolokal. Dalam keluarga Semawa masa lalu, dikenal istilah Uma Panggu, yakni sebuah rumah panggung yang besar yang menjadi tempat tinggal keluarga inti yang besar, tentu dengan turunan-turunannya hingga rumah panggung besar tersebut penuh oleh kehadiran keturunan tersebut. Keluarga Semawa masa lalu adalah keluarga yang menarik garis keturunan hanya dengan tiga tingkatan. Artinya, keluarga yang diluar tiga tingkatan tersebut bisa dinikahi oleh keluarganya sendiri dan membentuk suatu keluarga baru.

Suatu desa Semawa, mengenal adanya beberapa istilah

kepeminpinan dalam suatu desa, yakni kepasa kampong, loka karang, malar, mandur, penghulu, modon, ketib, marbot, rura. Empat yang saya sebutkan diawal adalah mereka-mereka yang secara administrative men jalankan suatu desa, sementara sisanya yang saya sebutkan kemudian adalah mereka yang men-


jalankan hukum di suatu desa termasuk hukum perkawinan antara pemuda dan gadis Semawa. Orang Semawa sebagian besar beragama Islam, tak mengherankan jika pusat orientasi suatu desa di Sumbawa adalah sebuah masjid yang disebut Masiget. Namun, mereka pun masih sebagian kecil yang percaya pada kepercayaan leluhur dan mempercayai dukun sebagai penolong mereka. Dukun yang biasa mereka Sanro bertugas sebagai layaknya seorang Kyai dalam ajaran Islam. Selan itu, dalam suatu masyarkat Semawa, dikenal pula startifikasi sosial masyarakatnya yakni golongan bangsawan yang bergelar Datu atau Dea, golongan merdeka yang disebut Tan Sanak, serta golongan hamba sahaya yang dipanggila Lindin. Semawa dan Sumbawa merupakan suatu perpaduan yang unik dan indah. Bentang alam yang memanjakan mata ditambah budaya yang unik dari masyarakatnya membuat Sumbawa layak menjadi pesaing berat Bali. Kita nantikan.


Demi Ucok, Demi Batak!

Oleh Mahendra Laksono

“Kawin, lupa mimpi, and live boringly ever after� Itulah inti dari Glo tokoh utama dalam film Demi Ucok. Ia merupakan seorang pembuat film yag ingin mengejar mimpinya membuat film yang berkualitas. Namun apa dikata, sang ibu Mak Gondut ingin sesegera mungkin melihat anaknya tersebut menikah. Inilah putaran kisah dalam film Demi Ucok, film yang mengangkat budaya Batak sebagai latar kehidupan mereka. Kehidupan yang tentunya menyentuh logika-logika kita saat berinteraksi dengan Batak. Konflik, lebih tepatnya antara ibu dan akan menjadi menarik lantara Batak yang sering diinterpretasi masyarakat umum di Indonesia diterjemahkan dengan cara yang berbeda. Humoris. Tentunya bukan sekedar humor yang garing, melainkan humor yang menyentuh logika-logika kita sebagai masyarakat


non- Batak melihat masyarakat Batak. Dialog-dialog menggunakan bahasa Batak, lagu-lagu Batak dan berbagai pelengkap lainnya hadir disini untuk mengisi kekosongan jatidiri yang sering absen dalam kebanyakan film Indonesia lainnya. Syarak Mak Gondut sang ibunda Glo yang menginginkan anaknya menikah dengan pria Batak menjadi layak untuk dicermati. Dalam kebudayaan Batak, mereka tentunya lebih ikhlas jika menikah dengan sesamanya (tentunya buka dengan satu marga). Hal ini bisa jadi pengingat bagaimana nonBatak jika hendak atau berjodoh dengan orang Batak ada istilah membeli marga. Inilah lika-liku Glo dalam film tersebut.


pertentangan demi pertentangan yang dihadirkan segar tersaji dalam film ini. Satu hal yang patut diapresiasi dalam film ini selain pencapaian mereka merain penghargaan (Film terbaik versi Tempo 2012, Mak Gondut menjadi peran pembantu terbaik FFI, dan masuk 7 nominasi dalam FFI) adalah film ini begitu hidup. Artinya ia begitu dekat dengan keseharian kita dan uniknya kita tertawa saat menonton film ini. Sungguh, banyak penafsiran apakah film ini mencerminkan kita? Ataukah kita memang layak untuk ditertawakan?



Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.