I Gusti Ngurah Made Agung
Menginspirasi Manusia Bali NAMA I Gusti Ngurah Made Agung takkan pernah dilupakan. Bahkan tokoh sentral Puputan Badung tersebut, telah banyak menginspirasi ‘’nak Bali’’ untuk ‘’puputan’’ menjaga Bali. Jadi istilah puputan, tidak sekadar dalam mempertahankan harga diri dan kemerdekaan. Juga dalam menjaga alam, budaya dan manusia Bali itu sendiri. Pengakuan atas kirah dan komitmennya menjaga tanah air, telah diberikan kepadanya. Presiden Joko Widodo menganugerahi gelar Pahlawan Nasional kepadanya. Sebelum mendapat gelar Pahlawan Nasional, namanya telah diabadikan sebagai nama Lapangan Puputan Badung, Denpasar. Tak berlebihan, sebab I Gusti Ngurah Made Agung merupakan tokoh sentral dalam peristiwa heroik tersebut. Dilansir dari situs denpasarkota.go.id, Raja Badung VII ini memerintah tahun 1902- 1906. I Gusti Ngurah Made Agung lahir di Puri Agung Denpasar, 5 April 1876. Dia merupakan putra I Gusti Gede Ngurah Pemecutan atau Ida Tjokorda Gde Ngurah Pemecutan yang merupakan Raja Badung V. Sosok I Gusti Ngurah Made Agung adalah seorang Raja Badung yang berani dan pantang menyerah membela kebenaran, keadilan dan tanah airnya. Selain dikenal sebagai raja yang gagah berani melawan penjajah Belanda melalui perang puputan, juga dikenal sebagai seorang sastrawan besar pada masanya. Karya yang ditulisnya antara lain Kidung Loda, Geguritan Dharma Sesana, Geguritan Nengah Jimbaran, Geguritan Niti Raja Sesana, dan Geguritan Purwasengara. I Gusti Ngurah Made Agung gugur dalam peristiwa Puputan Badung atau perang melawan kolonial Belanda, 22 September 1906. Ia mendapat gelar kehormatan Ida Batara Tjokorda Mantuk Ring Rana yang artinya raja yang gugur di medan perang. Puputan Badung sendiri tercatat sebagai rangkaian perjuangan dalam merintis kemerdekaan Indonesia. Selain diabadikan sebagai nama lapangan, patung I Gusti Ngurah Made Agung juga dibuat di ujung jalan Veteran,
Denpasar. Kemudian, nama Jalan Veteran juga direncanakan berganti menjadi Jalan I Gusti Ngurah Made Agung. Di kalangan peminat sastra Bali, nama Cokorda Mantuk Ring Rana tidak asing lagi. Beliau dikenal sebagai pemimpin yang suka nyastra. Cokorda Mantuk Ring Rana menciptakan beberapa karya sastra dalam bentuk kakawin, kidung dan salah satu yang terkenal adalag geguritan Nengah Jimbaran yang menggunakan bahasa Melayu. Bahkan, tidak sedikit naskah-naskah karya Cokorda Mantuk Ring Rana dicetak dalam terjemahan. Cokorda Mantuk Ring Rana, selain sebagai seorang raja yang disegani dan dihormati oleh rakyatnya, beliau juga sebagai seorang pemimpin perang yang berjuang tanpa mengenal rasa takut terhadap penjajah Belanda. Semasa kepemimpinannya, rakyat Badung terkenal sangat makmur. Masyarakat kala itu merasakan kenyamanan, tentram, gemah ripah di Kerajaan Badung sebelum Perang Puputan Badung tahun 1906. Keadaan ini tercipta bekat kelihaian komunikasi dari I Gusti Ngurah Made Agung sebagai Raja Badung di masa itu. Hal ini juga ditopang oleh keberhasilan Kerajaan Badung dibawah pimpinan Ida Cokorda Ngurah Alit Pemecutan (wafat 1902; kakanda Ida Cokorda Ratu Made Agung Gede Ngurah Pamecutan) menguasai Kerajaan Mengwi (1891) sehingga pertanian di negeri Badung menjadi berkembang lantaran sumber air sudah bisa dikendalikan. Kesenian sesolahan pun berkembang, dibawah Ide Anak Agung Raka Putra (putra tertua dari Ida Cokorda Ngurah Alit Pemecutan). z Rindra/Asmara
Patung I Gusti Ngurah Made Agung yang berada di ujung Jalan Veteran.
23 - 29 November 2015
11