Bali Post - Minggu, 19-Juli-2009

Page 16

16

Minggu Pon, 19 Juli 2009

Peta Samar di Atas Peta Jemberana...

Jalan Panjang Jemberana...

Tempat Terpilih itu, Peta di Atas Peta ...

ADA empat gunung berjejer membentuk sebuah garis dari barat ke timur di peta Pulau Bali bagian barat. Keempat gunung itu adalah Gunung Sang Hyang, Gunung Merbuk, Gunung Mesehe, Gunung Musi. Garis gunung itu seakan membelah Bali Barat menjadi dua bagian. Belahan selatan masuk wilayah Jemberana. Belahan utara wilayah Buleleng. Yang tertinggi dari keempat gunung itu adalah Gunung Merbuk, sekitar 1300-an meter dari permukaan laut. Apabila dari Gunung Merbuk itu ditarik garis utara selatan, maka di titik paling utara yang berbatasan dengan laut adalah Pulaki. Sedangkan di titik paling selatan juga berbatasan dengan laut adalah Purancak. Pulaki-Purancak adalah dua titik krusial yang dihubungkan oleh garis lurus. Kedua garis itu (barat-timur dan utara-selatan) adalah dua garis pokok Bali Barat. Kedua garis itu membentuk tanda silang, atau tanda tambah, atau tapak dara menurut istilah mistis Bali. Tentu ada banyak cerita tentang tanda silang itu, tentang gunung yang berbaris dari barat timur itu, tentang Purancak-Pulaki yang dihubungkan oleh sebuah garis lurus itu. Dari banyak cerita yang ada itu, hanyalah sedikit yang sampai pada kita sekarang. Dari yang sedikit itu, hanya beberapa yang kita ingat karena syukur ada yang menuliskannya. Dari yang hanya beberapa itu, bisa jadi tidak ada yang sejatinya telah tuntas kita pahami. Justru karena itulah maka sebuah tanda, seperti garis silang di atas, adalah sebuah ‘’peta’’ di atas peta, sebuah petunjuk. INILAH salah satu cerita tentang garis silang Jemberana itu berdasarkan sumber historiografi, cerita lisan, dan tentu saja disertai dengan apa yang mampu saya bayangkan. Dang Hyang Nirartha yang datang dari arah barat dan membawa perubahan mendasar bagi Bali disebutkan mendarat di Purancak. Jelas bukan karena kebetulan pendeta legendaris ini mendarat di sana, tapi karena Purancak adalah tempat yang dipilih atau terpilih. Entah berapa lamanya Sang Wiku beserta rombongan berada di pesisir selatan Jemberana (termasuk Rambutsiwi) perjalanan kemudian dilanjutkan tidak menuju timur tapi utara. Dipilihnya utara adalah sebuah keputusan yang masih sulit dimengerti, karena menuju utara berarti akan menghadapi medan berat, jejeran empat gunung yang dikelilingi hutan belantara Bali Barat, rumah bangsa jalak putih, soroh monyet, para naga, dan aneka makhluk dari yang kasar sampai yang samara, bahkan sampai yang tidak kelihatan. Tapi memang begitulah, sebuah keputusan adalah sebuah pilihan. Dan kita tidak tahu mengapa pilihan itu yang diambil. Kita hanya punya dugaan-dugaan. PERJALANAN menuju gunung dan perjalanan di gunung-gunung itu sendiri tentu menyimpan banyak cerita suka duka rintangan dan hambatan. Sumber tertulis dan lisan sayang sekali tidak merekam bagian ini. Sesudah rombongan berhasil melewati barisan empat gunung dan tiba di Pulaki, kita juga tidak tahu apakah Pulaki adalah daerah tujuan atau tempat yang ‘’ditemukan’’ kemudian justru karena banyak peristiwa menimpa rombongan di sekitar tempat itu. Kita tidak tahu itu. Kita hanya punya dugaandugaan tentang itu. Untuk itulah kita memerlukan apa yang di atas disebut peta di atas peta Jemberana. Walau bukan jawaban yang akan diberikan oleh sebuah peta itu, tapi paling tidak akan ada petunjuk. Petunjuk pertama justru berupa sebuah pertanyaan tentang dua kemungkinan. Apakah perjalanan itu mengikuti gambar ‘’peta di atas peta’’ itu, atau sebaliknya perjalanan itulah yang kemudian membuat ‘’peta di atas peta’’ itu? Jika kita berpegang ada kemungkinan pertama, berarti Pulaki dan juga Purancak adalah dua tempat yang sudah dike-

CERPEN TIT! Tit! Tit! Aku mengawali semuanya dengan mengebel. Keluar wilayah rumah dengan mengebel. Mengawali pagi hari dengan bunyi bel tiga kali saat memasuki moncong jalan raya. Aku menyapa setiap jembatan, pohon besar, dan tempattempat yang kuanggap angker dengan bel motor yang nyaring. Aku si gila mengebel. Manusia, sepeda motor, truk, dan anjing-anjing di jalan tak luput kena suara bel. Aku hanya takut kecelakaan gara-gara aku lupa mengebel terulang lagi. Jadi, seumur hidup aku akan terus mengebel. Tit! Tit! Tit! Di jalanan pukul sembilan malam. Aku menerobos udara seperti peluru. Aku adalah peluru yang melubangi tubuh malam itu. Merapatkan jemari dalam dekapan kuku yang mati rasa. Aku dan ibuku menghitung jejak lampu pada barisan trotoar. Kami hendak mendahului kendaraan lain lewat haluan kanan. Entah atas alasan apa, dia membelokkan motornya ke arah kami. Tiba-tiba motornya berdecit ganas. Motornya menubruk motorku. Aku ingat deru bising terpental, lalu lengking teriakan. “Kenapa Anda tidak mengebel?” itu yang ditanyakan si penabrak. Orang-orang berdatangan. Aku ditanyai bertubi-tubi. Bagaimana keadaan kami? Adakah yang terluka? Darah yang mengucur dari dahi ibuku tak butuh pertanyaan sejenis. Kami butuh pertolongan, bukan bermacammacam pertanyaan. Lalu kudengar mereka berbisik-bisik bahwa akulah penyebab kecelakaan itu karena aku lupa membunyikan bel. Bertahun-tahun aku menjadi ter-

nal dengan baik oleh para pejalan-spiritual pada masa itu dan masa sebelumnya. Walaupun ahli arkeologi dapat menunjukkan satu dua peninggalan untuk mendukung teori ini, tetap saja kemungkinan itu masih bisa diperdebatkan. Jika kita berpegangan pada kemungkinan yang kedua, bahwa perjalanan itu yang kemudian menciptakan ‘’peta di atas peta’’ Jemberana, maka kita seperti menonton sebuah demontrasi dari konsep mistis kuno tentang mata angin. Kurang lebih konsep ini dapat digambarkan seperti berikut ini. Garis barat timur adalah garis yang sudah ada dan akan tetap ada sepanjang matahari terbit di timur dan tenggelam di barat. Garis timur barat itu adalah garis api-matahari yang disebut Suci. Dalam konteks Jemberana ini, garis itu terbentang berupa gunung-gunung. Dalam konteks planet bumi garis itu disebut khatulistiwa. Dalam Konteks Padma Mandala garis itu disebut garis Shiwa. Posisi garis timur-barat ini stabil. Yang bisa diubah, bahkan mungkin ‘’diputar’’, adalah garis utara-selatan. Titik Selatan adalah tempat api-tanah yang disebut pawaka. Api ini membubung ke atas, atau ke utara bila dilihat dalam sebuah gambar lingkaran. Titik Utara adalah tempat api-air yang disebut pawamana. Air ini menetes ke bawah atau ke selatan dalam sebuah gambar lingkaran. Di titik silang pertemuan garis timurbarat dan garis utara-selatan itulah bertemu tiga jenis api. Api yang bersumber dari matahari, api yang muncul dari dalam tanah, dan api yang muncul dari dalam air. Titik pertemuan itulah yang disebut ‘’pusat’’. Rute perjalanan Dang Hyang Nirartha di Bali Barat adalah perjalanan memotong garis timur-barat dengan membuat garis selatan-utara. Setelah persilangan garis-garis itu rampung barulah perjalanan dilanjutkan menuju timur dan kemudian juga selatan. Apa makna semua itu? Inilah yang di atas saya sebut sebuah ‘’demontrasi’’ konsep kuno tentang kekuatan sebuah arah. Dan kita sekarang berusaha membaca dan menafsirkannya dalam serba samarsama. Yang disebut samar-samar tidak sama artinya dengan tidak melihat sama sekali. Yang samar-sama itu bisa menimbulkan berbagai dugaan. Dan sebuah dugaan bisa menjadi indah karena dengan itu kita bisa mengembangkan fantasi dan imajinasi, sehingga terlahirlah berbagai cerita tentang itu. Cerita yang bersumber dari dugaan yang lemah akan hilang ditelan waktu. Sedangkan cerita yang bersumber dari dugaan yang kuat, akan lama tidak hilang. Begitulah, di sebuah wilayah hutan yang luas (jimbar wana), seorang wiku legendaris pernah menarik garis silang tapak dara sebelum menuju Bali Tengah dan Bali Timur. Itu terjadi di Jemberana lima abad silam. IBM. Dharma Palguna

IGA Komang Williani S A J A K Yang diam antara debur Adalah yang hancur Sekeping sajak yang hambur Tak pernah tertidur Kadang berbaur dalam amuk Hanya menepi ketika air menyusur Di celah-celah bebatu Yang mendengar suaranya sendiri Gemertuk terbawa arus Kau yang diam di antara debur sajak ini Tak pernah tertidur Karena kau Sajakku

Menarik Garis, Menentukan Arah Tempuh...

Sedang Menjadi Tembok.... SEDANG APA mereka? Sedang berlari-lari kecil di pasar yang mungil. Wah, meriahnya desa ini bagi buah bekul yang tidak laku terjual. Anak-anakku, anakanakmu juga berserakan bahkan kacau. Menurutmu mereka berlari dan membuang-buang tenaganya hanya untuk membesarkan desa. Kau tidak juga mengerti betapa mereka sangat berarti. Desa ini sudah tua, tetapi sungguh tiada perubahan, kecuali perubahan pada anak-anaknya. Mereka susah payah berkeliling menjaga desa ini dari serbuan nyitnyit, yang meski kecil sering membuat gatal. Mereka, buah-buah yang tidak ada pembelinya, mengetahui bahwa mereka diincar sampai-sampai mereka harus berlari. Kau Tahu, mereka kalau mau bisa berlari kencang. Namun, mereka menyadari bahwa mereka akan membuat binatang kecil itu semakin penasaran. Kau tahu, imajinasi mereka sangat liar. Mestinya kau sadari itu hingga tidak perlu bertanya. Lihatlah dari bongkahan kulit pohon asam yang tidak berbuah lagi, mereka

RAHASIA-RAHASIA... 1Aku tidak akan mungkin memendam ini lagi cintaku, betapa perasaan ini bagai tali mengikatku. Bukalah ingatanmu, apakah bayanganku masih tetap singgah di depanmu? Sebuah wajah yang kini tampak tua. Ada keriput di lingkarku, ada kesihan atas menunggumu. lihatlah cintaku, perlahan dalam malam yang lambat, mata angin yang dulu sempat berkisar di antara kita. IIBegitu cepat masa-masa datang dan pergi seperti sebuah sejarah yang dibaca dari buku ke buku. Begitu cepat usia memainkan waktu. lihatlah cintaku, kini waktu tak lagi muda, begitu pula denganmu. Ah betapa banyak masa lalu yang menikam kita. Mungkin hanya bayanganku yang terluka, mungkin tidak, mungkin dirimu ikut serta, mungkin juga tidak. Mungkin sedikit sakit yang singgah, hanya sebentar demi sebentar gemetar kenanganku di hadapmu. IIIBukalah ingatanmu kekasihku, jangan mengada lagi. Sebab di seberang sana alam pikiran kita akan mampu menampung setengah mengurung kemurungan. Dan di dalam kemurungan itu, kau akan mampu melihat dengan bayanganku yang melintas terbang menemui sebuah pulau jauh di seberang. Lalu tubuhmu seketika akan menjadi layar yang cemas-cemas menggigil, cemas-cemas memanggil dan

IGA Komang Williani SERANTING MIMPI

Siapa yang menebarkan kata Dan memetiknya hingga susut Di kertas manakah tersembunyi Cerita tentang gadis pemimpi Yang menujum datangnya hujan Di ladang dadamu Bertahun-tahun kau tunggu mimpi itu Dari seorang gadis yang kau biarkan tertidur Dan menunggu ia bercerita pada pagi hari Mimpi tentang hujan Menghujani dadamu yang ditumbuhi sebatang ranting Kau biarkan ia bercerita Tapi kali ini mimpinya bukan tentang hujan Tetapi embun yang hinggap di reranting Adakah sisa perjalanan hujan? Katamu Dan gadis itu menjawab Hujan akan datang ketika daun di ranting itu Meneduhi hatimu

Bel Oleh Putu Nopi Suardani sangka tunggal pembunuhan ibuku dengan tuduhan lupa mengebel. Ibuku meninggal gara-gara aku tidak memencet bel malam itu. Sebenarnya, apa susahnya menekan bel? Tinggal letakkan tanganmu di tempat bel yang semestinya, lalu tekan dengan ibu jari, dan berbunyilah bel itu. Beres. Tidak akan ada tabrakan. Tidak akan terjadi kematian. Aku memvonis diriku sendiri. Menyidangkan diri tanpa pembelaan. Menjatuhkan hukuman tanpa batas waktu yang jelas. Tit! Tit! Tit! Bunyikanlah bel sebelum kamu mengendarai sepeda motormu. Aku mengomando anak laki-lakiku. Kuajari dia mengendarai sepeda motor yang baik dan benar. Helm dan SIM sebenarnya tidak terlalu penting. Yang paling penting adalah di jalan raya jangan lupa mengebel. Aku dengan gamblang menjabarkan teori mengebel yang baku. Dia cepat hapal. Ketika melewati pertigaan atau perempatan, bunyikan bel sebanyak tiga kali. Ketika melewati pohon tua besar, angker, dan memberi sensasi merinding ketika kau lewat di bawahnya bunyikan bel sebanyak lima kali. Satu kali untuk jembatan kecil dan dua kali untuk jembatan yang lebih besar. Anjing, kambing, sepeda motor, truk, mobil, manusia tak perlu banyak-banyak bel. Sekali saja cukup. Aku ingin lihat seberapa paham anakku pada pelajaran mengebel hari itu. Ketika kami hendak keluar dari pekarangan rumah dia melakukan kesalahan pertama. Dia tidak mengebel. Agaknya dia hanya menang menghapal teori-teori itu. Kujitak kepalanya atas kesalahan perdananya. Itu peringatan

pertama dariku. Aku mengomel panjang lebar. Mendiktekan sekali lagi teori-teoriku dan dia dengan sekali dengar berhasil menghapalkan kata-kataku tanpa kesalahan titik koma. Kuharap dia mengalirkan ucapanku di pembuluh darah dan saraf-sarafnya. Jalanan pagi itu nyaris sepi dan tak ada satu pun makhluk hidup maupun tak hidup yang bisa dibel. Aku harus menguji anakku lagi. Tepat beberapa puluh meter di depan sana ada pertigaan. Kuperhatikan baik-baik reaksi anakku. Kali kedua kujitak kepalanya. Lagi-lagi dia melupakan hal yang paling tidak boleh dilupakan. Tak ada suara bel setelah kami lewat seratus meter dari pertigaan itu. Kujitak lagi kepalanya. “Kenapa ayah memukul kepalaku?” Kujitak kepalanya lebih keras. “Ayah, apa salahku?” Kujitak kepalanya bertubi-tubi. Dia meringis, lalu kujitak lagi. Dia mengangis, tapi aku belum berhenti menjitak-jitak. Tit! Tit! Tit! Akhirnya dibunyikannya bel itu. Aku pun berhenti memukulnya. Bunyi bel sudah merasuk ke ujungujung sarafnya. Lalu kami bertemu tanjakan tajam, pohon beringin besar, kerumunan sapi, dan beberapa manusia. Tit! Tit! Tit! Bunyi bel puluhan kali. Aku tidak lagi menjitak kepalanya sebanyak bunyi bel yang dia lupakan. Anakku sudah fasih mengebel sekarang. Kudengar suara bel sepeda motornya di jalan tanjakan di

mempermainkan nyit-nyit. Kulitnya dibuat mengkriput sambil berdoa supaya hujan datang dengan deras atau sama sekali tiada hujan. Hanya doa-doa itu yang bisa dibisikkan saat mereka berhenti sejenak dari pengejaran. Meski menurutmu, mereka mengorbankan petani karena doa mereka terkabulkan untuk tidak menjatuhkan air ke tanah kering, menurutku dia anak-anak kita dengan tingkah yang sewajarnya. Meski menurutmu, mereka bersujud dengan cara yang salah karena telah mengundang dewa air dari subak-subak untuk menggemburkan tanah yang retak, menurutku mereka hanya bersiasat supaya tersembunyi. Esok, setelah hujan deras dan tanah kering menjadi batas yang pasti bagi para petani atau pedagang, bijibiji itu akan tumbuh menjadi batas yang pasti bagi para petani atau pedagang, bijibiji itu akan tumbuh menjadi temboktembok yang kokoh untuk menahan nyitnyit nakal. Bahkan, mereka telah mempersiapkan diri biar tetap punya adat tanpa diintervensi, tanpa diintimidasi, tanpa dieliminasi dari wilayah yang teramat luas hanya karena tidak punya pasar yang ramai. Jadilah mereka tokohtokoh yang sederhana. Luh Arik Sariadi merasa akan sampai padaku. IVKetahuilah, orang-orang tua kita dulu membentuknya sebagai rahasia. Sebuah pula karang, yang katamu, sepasang ketam kawin dan penyu-penyu memeram telurnya. Katakanlah cintaku, bagaimana mimpi di mataku? Di pulau itu, mereka menciptakan silsilah, merancang pemandangan, membentuk garis edar bagai dongeng pulau mimpi. Dan di pulau itu pula dengan beberapa potong ingatan mereka berjanji untuk menyimpannya sebagai rahasia. Sebuah cinta yang malang-malang tumbuh, terkurung, tapi tak sanggup menyembunyikan lukanya. VO, kekasihku, aku tidak akan memendam ini lagi, mencatatnya sebagai rahasia, sebab wajah masa lalu begitu alpa seiring usia. Aku tak akan memendam ini lagi. Sebab dalam tubuh orang-orang tua kita dulu, aku telah paham bahwa ciptaan dan pandangan bukan hanya berkisar di antara masa lalu. Hingga kerja terus berputar menjadi cinta yang bergetaran. Eka Pranita Dewi

SETENGAH dari panjang jalan Denpasar-Gilimanuk melintasi wilayah Jemberana. Selalu sebuah jalan, apalagi jalan raya dan panjang, membuka sejarah baru baik bagi kedua daerah yang dihubungkan oleh jalan raya itu maupun daerah yang dilewati. Yang disebut sejarah baru itu dimulai dengan adanya peta yang berubah, penataan lingkungan yang berubah, perilaku orang-orang yang menyesuaikan diri, sampai akhirnya perlahan tapi pasti perubahan pada cara berpikir orang-orang. Sebuah jalan raya yang panjang akhirnya menjadi jalan bukan hanya bagi lalu-lintas, tapi juga jalan bagi perubahanperubahan. Dalam konteks jalan raya Denpasar Gilimanuk, yang menghubungkan pusat politik dan pusat ekonomi Bali dengan Jawa, maka Jemberana adalah wilayah yang dilewati, yang dilalui, yang didatangi untuk kemudian ditinggalkan. Kolonialisme adalah juga sebuah jalan raya yang panjang. Banyak negeri-negeri yang didatangi dan kemudian ditinggalkan

Dalang Ari Murtono SEMAR

lihatlah tubuh bungkuk penuh getar suaranya dalam dari tempat samar ‘’aku tahu segenap pengetahuan aku tahu masa lalu dan masa depan’’ memang kemudian orang-orang berdatangan penuh lelaku dan bikin gunungan dan ramayana juga mahabharata adalah apa yang sengaja diangankannya ‘’siapa butuh tuhan siapa butuh tuhan’’ suara-suara buruk seperti dalam pasar hewan kau tentu kenal siapa itu pandawa dan orang-orang seperti kerbau

run silent..., run deep.... in the long long run, sail along SMSoliloquy

Coming on Age in Balidwipamandala ... 16 Agustus 2008

16 Agustus 2010

Pijakan Start : Bulan TERINDAH Menuju Bulan PENDIDIKAN LAGI ke Utara, Singaraja, mungkin karena Singaraja kota pendidikan pertama dari FKIP sampai UNDIKSHA kini tetap terasa dan terjaga gaung pendidikannya dan itulah sejarah. Kalau lokasi alam lingkungan pastilah Bangli paling sajan-sajanan sedap, sedang Denpasar, Pasar Den itulah Indonesia Raya.... wah HALLO FBS - Undiksha Kampus Bawah Kampus Tengah berikut DSB, KSB, SAR, Embun Pagi, Bukit Manis, Pelangi Dewata, Manggala, Bhaktiyasa dkk Sebumi Den Bukit rencanakan Acara Bulan TERINDAH (Bulan Bahasa) Oktober 2009, dengan kontinyu pemanasan demi pemanasan menuju BULAN PENDIDIKAN khas, Undiksha Mei 2010 Once upon a time in Northern Lights...

Kembali ke Sekolah: Catatan Kecil, Prosa Puisi...

HEBOH tahun ajaran Baru baru mulai berputar, maka hasil libur panjang, darmawisata, pulang kampung berupa catatan catatan kecil dan prosa puisi/ liris langsungkan ke Apre-BPM Anda

how low (local-wisdom) can we go to SR (Segara-Rupek..) JEMBRANA Juli

BADUNG September

KARANGASEM Agustus

Oktober BULAN (YOGA-SASTRA) BAHASA Sumpah Pemuda TABANAN November IBUNDA-SR Desember GIANYAR Januari DENPASAR Februari SINGARAJA Maret KLUNGKUNG April BANGLI Mei BULELENG Juni HALLO Karangasem SANGGAR LAMPUYANG, Klungkung Sanggar BINDUANA dan Sanggar TUTUR Tabanan JUKUT ARES dan Sanggar SELAKUNDA..... Aura kemarau sudah mulai menggigit, angin Agustus kencang dengan gelombang laut bergelora 17 Agustus SEGERA menjelang, Agenda gradang-grudug Apre-BPM pastikan berputar... dekat rumah kami. Dia pergi dengan selamat. Pernah kudengar selentingan gosip-gosip tetangga, katanya anakku gila. Masak di setiap polisi tidur dia membunyikan bel. Ada pula yang protes karena anakku selalu membunyikan bel di depan rumahnya. Berisik, kata mereka. Tidak sopan, tidak waras, dan lain sebagainya. Namun, hal yang paling membuatku bangga adalah ketika seorang gadis kecil sambil menggendong anak anjing mengucapkan terima kasih padaku. Berkat suara bel sepeda motor anakku, anak anjingnya tidak jadi mati tertabrak motor. Dia benar-benar berterima kasih. Dia tak bisa hidup tanpa anak

anjing itu. Setelah kedatangan gadis itu, aku ingin segera bertemu anakku. Aku akan memberinya tanda kelulusan karena ilmu yang kuajarkan telah digunakan untuk menyelamatkan nyawa makhluk Tuhan. Akan kuberi tahu anakku sebuah rahasia. Dulu dia sering bertanya kenapa harus mengebel dan kenapa harus mengebel sebanyak tiga kali, lima kali, atau berkali-kali. Sekarang saatnya menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Ada suara motor masuk ke pekarangan rumahku tanpa suara bel. Aku pun memasang tampang kecut pada tamu yang datang secara tak sopan itu. “Bapak, Anda harus ikut saya sekarang,” katanya. “Buat apa?” “Ini tentang anak Bapak.” “Anak saya kenapa? Apa ada yang keberatan dia mengebel di depan rumah orang-orang?” “Bukan, Pak,” orang itu bicara berputar-putar, Anak Bapak kecelakaan di dekat pertigaan. Di depan sekolah yang tumbuh pohon beringin besar.” Berita buruk. Anakku tergeletak tak bernyawa. Kepalanya bocor menghantam trotoar. Sepeda motornya di seberang jalan. Orang-orang mengatakan sepeda motornya terpental. Siapa yang menabrak anakku? Tidak ada siapa-siapa yang menabrak anakku. Kerumunan itu berkata: anakku pasti lupa mengebel. Pohon beringin itu angker. Siapa pun yang lewat di bawahnya harus mengebel. Barang siapa yang tidak permisi maka penunggu pohon akan marah. Sudah puluhan kali terjadi kecelakaan di bawah beringin tua itu. Tidak mungkin anakku lupa mengebel. Anakku sangat fasih mengebel. Aku merasa ini tidak adil. Anakku yang tidak pernah lupa mengebel mati di bawah pohon angker itu. Sedangkan orang lain yang

oleh negara penjajah. Tapi selalu ada negeri yang dilewati dan dilewatkan. Di Asia Tenggara misalnya, kita mencatat Thailand adalah satu negeri berbentuk kerajaan yang menurut sejarahnya tidak pernah dijajah oleh bangsa Barat. Sejarah nasional yang diajarkan di sekolah-sekolah dasar di Thailand tidak mengenal apa yang disebut perang melawan penjajah. APA PERSAMAAN Thailand dengan Jemberana? Jalan raya yang panjang bernama kolonialisme itu juga rupanya hanya sekadar lewat di Jemberana. Jemberana tidak menjadi atau dijadikan daerah tujuan. Sehingga kita pun tidak mendengar dari sejarah bahwa di Jemberana ada perang melawan penjajah Belanda. Perang seperti itu kita dengar terjadi di Denpasar, di Klungkung, di Banjar, Buleleng. Itukah persamaannya? Tidak. Tidak itu. Tapi, keduanya sama-sama dilintasi oleh sebuah jalan raya. Itulah persamaannya. Sedangkan perbedaannya, jalan raya yang melintasi Thailand adalah sebuah metafora, gelombang penjajahan dilihat seperti sebuah jalan raya. Sedangkan jalan raya yang melintasi Jemberana adalah benarbenar jalan raja, tempat terjadinya pertemuan dan tabrakan-tabrakan kepentingan. HUTAN yang luas itu bernama Jemberana! Ketika para Mpu datang dari arah Barat menuju ke Timur, Jemberana hanyalah daerah tujuan-antara, yang didatangi dan kemudian ditinggalkan, karena bukan tujuan utama. Ketika penjajah Belanda juga datang dari arah Barat, Jemberana adalah daerah yang dicatat dan disebut-sebut dalam laporan perjalanan agenagen pemerintah Kolonial Belanda, karena daerah itu dilewati. Dicatat dan disebut-sebut dalam sebuah laporan perjalanan maupun laporan resmi, tidak berarti lebih dari sekadar dicatat dan disebut, karena agen-agen itu memang punya tradisi dan hobi mencatat. Ketika pariwisata lahir dan langsung besar di Bali, makhluk internasional itu memerlukan daerah-daerah tujuan wisata untuk keberlangsungan hidup dirinya. Dan sekali lagi Jemberana dengan beberapa objek unggulannya disebut-sebut dalam brosur sebagai daerah yang didatangi untuk kemudian ditinggalkan. JALAN RAYA yang panjang DenpasarGilimanuk adalah monumen tidur. Monumen yang tidak berdiri tegak tapi terlentang di tanah itu tidaklah merepresentasinya semua peristiwa di masa lalu itu. Karena kita tak tahu sejak kapan cikal bakal jalan ini ada. Tapi monumen tidur yang satu ini lebih bertutur tentang sebuah mobilisasi yang luar-biasa dua puluh empat jam sehari. Duduk di pinggir jalan raya itu, ketika memandang roda-roda kendaraan berputar dan terus melintas jalan, kita tidak tahu dari tempat bernama apa mereka datang, dan ke tempat bernama apa mereka pergi. Kita boleh menduga mungkin mereka datang dari tempat bernama Keterbelakangan menuju tempat bernama Kemajuan, atau dari tempat bernama Pinggiran menuju tempat bernama Pusat, atau dari tempat bernama Terikat menuju tempat bernama Bebas, atau dari tempat bernama Jual menuju tempat bernama Beli. Karena bukanlah tidak mungkin roda-roda itu hanya bulak-balik begitu saja tanpa ada tujuan. Lindas sana lindas sini tanpa ada terminal akhir. Baiklah! Kita tak mau lagi dibodohi oleh yang datang dan oleh yang pergi. Kita mungkin tidak tahu tujuan semua ini, tapi tidak mungkin kita tidak tahu ke mana arah semua ini. Sore ini, ketika saya mengetik tulisan ini, saya teringat sebuah lagu berbahasa Inggris yang berkata ‘’kita tak perlu peramal ahli untuk tahu ke arah mana angin berhembus!’’ Maka di hutan luas bernama Jemberana, lima abad silam seorang Mpu Dang Hyang menarik-narik garis menentukan arah. Ia tempuh arah yang ia tentukan. Apa atau siapa yang menentukan arah yang sedang kita tempuh ini? IBM. Dharma Palguna sering melaju sangat kencang, yang ingat atau lupa menbunyikan bel masih hidup dan masih baik-baik saja. Orang lain masih punya napas untuk melakukan kesalahan yang sama di jalan raya. Apa yang terjadi padaku? Dulu aku lupa mengebel dan kehilangan ibuku. Sekarang anakku mati gara-gara bel. Padahal tak pernah sekali pun dia lupa berapa kali suara bel yang harus dibunyikan di tempat-tempat tertentu. Aku marah pada kerumunan manusia itu. Aku berlari ke arah sepeda motor anakku. Meraih tombol belnya dan menekannya berulang kali. Sekeras-kerasnya. Tit! Tiiit! Tiiiiiit! Sekarang aku sudah membunyikan bel sebanyak mungkin. Aku berharap penghuni pohon itu mengembalikan nyawa anakku. Namun, anakku tetap mati. Aku pergi ke mana-mana untuk membunyikan bel. Aku tidak mau mati di jalan dan orang-orang akan menuduh aku mati karena lupa mengebel. Tidak akan! Aku yang akan membunuh mereka sebelum mereka menuduhku macam-macam. Kucuri bel mereka. Mereka akan mati di perempatan, di moncong gang, menabrak anjing, di jalan tanjakan. Malam-malam aku mencuri bel mereka. Kumasukkan ke dalam tas keresek hitam. Malam itu aku dapat sepuluh bel, dari bel truk, sedan, sampai bemo. Tunggu besok pagi. Mati kalian! Keesokan harinya terjadi kecelakaan mobil, tabrakan beruntun yang hebat. Saksi mata mengklarifikasi bahwa salah satu pengendara mobil itu lupa mengebel. Hahaha! Sekali pun dia ingat mengebel, kecelakaan itu pasti terjadi karena bel mereka sudah ada di tanganku. Tas keresek hitam yang kutenteng ribut bukan kepalang. Mereka bersuara macammacam bel kendaraan. Hal.17 Cerpen


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.
Bali Post - Minggu, 19-Juli-2009 by e-Paper KMB - Issuu