Edisi 01 November 2009 | Balipost.com

Page 17

Minggu Pon, 1 November 2009

BUKU Anjing Kintamani akan Punah karena Rabies? Judul Penulis Tebal Penerbit

: : : :

Anjing Bali dan Rabies Nyoman Sadra Dharmawan i-vii+140 halaman Arti Foundation

SETIAP ada upacara odalan di pura-pura di Bali, beberapa ekor anjing selalu hadir memeriahkan perayaan tersebut. Namun, kini setelah penyakit anjing gila (rabies) melanda Bali sejak November 2008, kita mulai curiga pada anjing. Padahal sebelumnya kita hidup berdampingan secara damai dengan anjing. Dari anjing peliharaan, anjing kacang, anjing kampung, bahkan anjing gudig sekali pun, kita tidak memasalahkan kehadirannya. Kini, setelah banyak warga Bali tewas mengenaskan dengan riwayat gigitan anjing, kita mulai punya perasaan curiga pada anjing. Anjing tiba-tiba menjelma seperti teroris. “Jangan-jangan anjing ini rabies?” begitu selalu banyak orang bergumam kalau didekati oleh anjing yang tak dikenal. Setelah rabies masuk Bali lewat anjing ras di Desa Ungasan Kuta Badung, kini keberadaan anjing “sang laskar mandiri” yang ada di gang-gang, di jalanan, di pasar-pasar, dan di tempat keramaian menjadi tidak aman. Anjing pun bagaikan pedagang kaki lima, diuber-uber. Bahkan perlakuan terhadap mereka jauh lebih buruk. Anjing yang tiada bersalah diburu, dijerat, digebugi, bahkan diracun dengan cara memberi dan menebar sosis yang di dalamnya telah disisipi racun strikhnin yang sangat mematikan. Namun, rabies bukannya terisolasi di Ungasan. Rabies menjalar bersama anjing tertular yang mendadak menjadi anjing pengelana. Rabies merambat ke Braban, Tabanan, kemudian ke Beng, Tunjuk, lalu Penebel. Di Denpasar rabies menyerang Desa Sesetan dan Sanur. Tiba-tiba rabies ada di Bebalang dan Susut Bangli, dan yang mengagetkan meledak di Kubu Karangasem. Upaya Pencegahan Berbicara tentang anjing kintamani yang menjadi pokok bahasan buku “Anjing Bali dan Rabies” karya Nyoman Sadra Dharmawan ini, tidak bisa lepas dari pusat pengembangan anjing kintamani secara tradisional di Desa Silawana, Kintamani, Bangli. Anjing gembrong berbulu putih, coklat, atau hitam sangat umum ditemukan berkeliaran di jalanan desa. Anjing rabies kini semakin dekat dengan Sukawana. Anjing rabies tersebut diperkirakan mampu berkelana hingga 10 km, maka dalam hitungan hari atau minggu pasti mendekati Kintamani, jika upaya sungguh-sungguh tidak dilakukan. Kalau sampai rabies menjangkau Sukawana, menurut Sadra, anjing-anjing kintamani yang dipelihara secara bebas tidak saja terancam, tapi suatu saat bisa punah. Apalagi anjing kintamani sangat agresif terhadap anjing lain yang memasuki teritorialnya, maka tidak ayal jika anjing rabies pengelana berani masuk, sudah pasti akan dibunuh. Namun, walaupun anjing rabies tersebut kalah, sedikitnya pasti anjing tersebut berhasil menggigit anjing kintamani itu. Akibatnya, terjadi penularan rabies lewat luka gigitan. Jauh sebelum rabies masuk ke Bali, upaya pencegahan telah dilakukan. Gubernur Bali Prof. Ida Bagus Mantra (almarhum) pada 1985 telah memulai memelopori merevitalisasi kecintaan kita terhadap anjing kintamani. Gubernur Mantra selalu hadir dalam kontes anjing kintamani yang diadakan dan mengusung tema mempertahankan Bali bebas rabies. Mantra berharap masyarakat mau memelihara anjing kitamani, bukan anjing ras asal luar Bali yang mungkin membawa rabies. Buku ini sangat berkaitan dengan itu dan sangat terinspirasi akan kesungguhan Gubernur Mantra. Tapi kini, setelah hampir 25 tahun berlalu, anjing luar Bali “bebas” masuk dan berkeliaran. Bukannya berniat rasialis terhadap anjing luar, tapi nyatanya salah satu dari mereka yang bermukim di Ungasan membawa rabies. Ini memang bukan buku pertama tentang anjing kintamani. Namun, buku ini menjadi istimewa karena terbit ketika rabies mewabah di Bali. Sadra menggugah kita agar mempertahankan dan mencintai plasma nutfah Bali ini dengan menunjukkan kelebihan-kelebihan dan karakteristik yang dimiliki dengan sangat rinci. Bukan hanya itu, anjing kintamani ternyata telah dikukuhkan menjadi anjing ras nasional pertama Indonesia pada “Kontes Nasional-Dog Show” pada 17 Maret 2006 di Jakarta, dan menunggu menjadi ras dunia lewat pengakuan federasi Kinologi Internasional. Posisi Penting Bagi orang Bali, anjing menempati posisi yang penting dalam kehidupannya. Anjing telah dijadikan sahabat setia tanpa pamrih paling dekat. Anjing bang bungkem misalnya, sesekali (10 tahun) dijadikan korban suci caru

BUDAYA

17

Gempuran Globalisasi Bahasa Menumbuhkan Kearifan Lokal BAHASA terikat oleh konteks budaya, demikian Guru Besar Fakultas Ilmu Komunikasi dan Pascasarjana Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung, Deddy Mulyana, dalam bukunya berjudul “Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar” (2007).

Oleh M. Irfan Ilmie

untuk mensucikan tanah pekarangan, dan anjing tersebut dijadikan penyeimbang dan penjaga pekarangan rumah dari roh-roh jahat. Kesetiaan anjing telah pula dikenal lewat cerita keagamaan di antaranya, Yudistira Swarga pada Parwa ke-17 Mahabharata. Diceritakan bahwa Yudistira tidak sudi masuk sorga jika dewa tidak mengizinkannya masuk bersama anjing putih yang setia menemani sejak meninggalkan Istana Indraprasta hingga ke puncak Gunung Mahameru tempat para dewa berstana. Masyarakat Bali bahkan piawai memilih karakter anjing. Hasil eksplorasi Dharmawan di Gedong Kirtya Singaraja menemukan lontar Carcan Asu. Orang Bali mengaitkan karakter anjing berburu yang kasat mata dengan sifat bawaan yang dimilikinya. Sedikitnya, ada 31 sifat yang didokumentasi. Di samping itu, orang Bali juga menentukan sifat anjing untuk berburu seperti paksa, jaya, guna, ketek, dan kiul secara kuantitatif. Caranya, panjang anjing diukur dari moncong hingga ujung ekor, kemudian dibagi dengan panjang ukuran dari moncong hingga titik di antara kedua mata. Jika sisa kelipatannya jatuh pada ketek misalnya, anjing tersebut baik untuk berburu, namun umurnya tidak panjang. Begitu pula jika jatuh pada paksa, anjing tersebut tidak cocok untuk berburu, tapi andal untuk menjaga rumah. Kearifan lokal ini menurut Sadra sangat perlu untuk didalami. Dalam buku ini, Sadra mencoba mencari “kawitan” anjing kintamani. Dugaan memang jatuh ke anjing Chow Chow yang dibawa pemukim Cina yang datang ke Kintamani. Orang Cina diperistri atau memperistri orang Bali, begitu pula anjing yang dibawa serta. Keturunan anjing-anjing itu kini diyakini menjadi anjing kintamani yang dikenal sekarang. Anjing kintamani bukan anjing sembarangan. Anjing tersebut cerdas. Pihak Kepolisian telah membandingkan anjing-anjing lokal Indonesia dan hanya anjing kintamani yang lolos tes sebagai anjing pelacak, bahkan telah ditugaskan di Aceh guna melacak ladang ganja. Selain itu, anjing kintamani bernama Brutus mampu melakukan segala yang dipersyaratkan agar pantas disebut anjing ras dunia. Lantas, betulkah Chow Chow tetua anjing kintamani? Sebenarnya, polisi Indonesia telah memiliki teknologi untuk melacak kekerabatan seseorang seperti kasus pembuktian teroris nomor wahid dari Malaysia, Noordin M Top. Noordin diteguhkan berdasarkan uji DNA dengan membandingkannya dengan anak-anaknya yang lahir di Indonesia dan kerabatnya di Malaysia. Jika teknik ini diterapkan pada anjing kintamani, kelihatannya kita perlu membandingkan DNA kedua anjing itu. Mungkin saja bisa dipastikan Chow Chow adalah tetua anjing kintamani atau malah bukan. Buku ini dilengkapi dengan data yang rinci dan lengkap, begitu pula foto-foto yang sangat mendukung. Kelihatannya seperti buku ilmiah, namun enak dibaca oleh siapa saja, terutama peminat anjing dan pencinta plasma nutfah asli Bali dan Indonesia. Di balik segala kelebihannya, ada satu foto yang mengganjal jika dibaca awam. Gambar pada halaman 124, walaupun niatnya menampilkan betapa seriusnya rabies diteliti oleh para dokter hewan pada kejadian belakangan ini di Bali, namun tampilan gambar anjing yang dipenggal dan dibelah batok kepalanya mungkin hanya cocok untuk dokter hewan, bukan pecinta anjing. i wayan batan, Lab Diagnosis Klinik Hewan FKH Universitas Udayana

Dengan ungkapan lain, bahasa dapat dipandang sebagai perluasan budaya. Dalam teori Relativitas Linguistik yang dikembangkan Sapir Whorf dijelaskan, setiap bahasa menunjukkan suatu dunia simbolik yang khas, melukiskan realitas pikiran, pengalaman batin, dan kebutuhan pemakainya. Bahasa yang berbeda sebenarnya memengaruhi pemakainya untuk berpikir, melihat lingkungan, dan alam semesta dengan cara yang berbeda karena perilakunya berbeda pula. Oleh sebab itu, Larry L. Barker dalam bukunya berjudul “Communication” (1984) memaparkan, bahasa memiliki tiga fungsi yaitu penamaan (naming atau labeling), interaksi, dan transmisi informasi. Di dunia ini terdapat berbagai kelompok manusia dengan budaya dan subbudaya yang berbeda. Tidak mengherankan bila terdapat katakata yang berbeda namun dimaknai secara sama. Konsekuensinya, dua orang yang berasal dari budaya yang berbeda boleh jadi mengalami kesalahpahaman ketika mereka menggunakan kata yang sama. Misalnya kata awak untuk orang Minang berarti “saya” atau “kita”, sedangkan dalam bahasa Melayu (Palembang dan Malaysia) awak berarti “kamu”. Fenomena itu merupakan potret dari ajang pertentangan makna antarbahasa daerah. Belum lagi perbedaan pemahaman antara bahasa daerah dan bahasa Indonesia yang secara kebetulan juga diserap dari bahasa

daerah. Bahkan, ada juga kata-kata dalam bahasa daerah atau bahasa Indonesia mirip dengan kata-kata dalam bahasa asing, tetapi memiliki makna yang berbeda. Kata seng kiu dalam bahasa Timor yang artinya “menanam pohon asam” kedengarannya nyaris tak ada bedanya dengan pengucapan kata thank you dalam bahasa Inggris yang berarti “terima kasih”. Peran Media Massa Globalisasi berimplikasi semakin tereduksinya berbagai nilai lokal dalam masyarakat. Indikasi itu dapat dilihat pada semakin menurunnya jumlah penutur bahasa daerah. Pengamat bahasa dari Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Listiyono Santoso, menyebutkan, dari 742 bahasa daerah yang masih terdapat di Indonesia, 273 di antaranya berada di Papua yang setiap tahun mengalami penurunan. Melemahnya penggunaan bahasa daerah sesungguhnya juga berimplikasi pada hilangnya nilai-nilai kearifan lokal di tengah masyarakat. “Alasannya sangat klasik, penggunaan bahasa daerah dianggap sebagai bagian dari cara berpikir tradisional di tengah gempuran modernisme yang semakin global,” kata Listiyono dalam seminar “Bahasa Media Massa” di Aula SMA Negeri 1 Tuban, belum lama ini. Padahal melalui bahasa daerah, kearifan lokal dapat ditransformasikan kepada tiap generasi dalam proses belajar dan mengajar. “Itulah

BPM/edi

MEDIA - Media massa berperan penting dalam melakukan sosialisasi nilai-nilai kultural di dalam sebuah masyarakat. Media massa memiliki kemampuan dalam membentuk opini publik karena salah satu fungsinya adalah penyebarluaskan kebudayaan masyarakat, termasuk soal kebahasaan. sebabnya berbagai upaya dalam penguatan kearifan lokal dan mempertahankan bahasa daerah merupakan langkah yang strategis agar masyarakat tidak kehilangan jati diri dalam pergaulan global,” katanya dalam seminar yang dihadiri para guru serta tenaga pengajar bahasa dan sastra Indonesia mulai dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi itu. Oleh sebab itu, Listiyono memandang, media massa berperan penting dalam melakukan sosialisasi nilainilai kultural di dalam sebuah masyarakat. Ia menilai media massa memiliki kemampuan dalam membentuk opini publik karena menurut Laswell sebagaimana dikutip Dedy Djamaludin Malik (1987), salah satu fungsi media massa adalah penyebarluaskan kebudayaan masyarakat. Sayangnya, budaya yang diproduksi media massa berbeda dengan produk budaya

pada umumnya. “Watak budaya massa yang dikonstruksikan oleh media massa bersifat komersial dan populer dengan produknya yang massal,” kata Listiyono yang sehari-hari mengajar di Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Unair itu. Ironisnya lagi, konstruksi budaya yang dibangun media massa semakin memarginalkan kearifan lokal. Bahasa media massa dewasa ini lebih akrab dengan istilah asing. “Nama rubriknya pun bertaburan dengan istilah-istilah asing, seperti ‘Main Issue’, ‘Woman’s Secret’, ‘Man of The Month’, dan ‘Life Style’. Tidak salah memang, tetapi apakah ini mengindikasikan bahwa kita memang sedang dibuat rendah diri terhadap bahasa kita sendiri?” katanya. Meskipun demikian, dia tetap memberikan apresiasi terhadap beberapa media massa yang masih setia terhadap kearifan lokal. “Masih ada me-

dia massa kita yang turut andil menyosialisasikan berbagai nilai kearifan lokal kepada masyarakat,” katanya. Kodrati Bahasa Kepala Biro LKBN Antara Jawa Timur, D. Dj. Kliwantoro, yang juga menjadi pembicara dalam acara seminar yang diselenggarakan Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional di Tuban itu mengatakan, media massa berbahasa Indonesia dalam mengakomodasi konsep lokal, perlu memerhatikan sifat kodrati bahasa. “Masalahnya, bahasa yang hidup di tengah masyarakat multilingual dan multikultural tidak bisa menghindari hukum asimilasi. Tak pelak, norma bahasa pun dapat berubah, menyesuaikan diri dengan kemauan pemakainya,” katanya. Hal. 18 Tidak Sama

Benarkah Bahasa Guru Kurang Santun? BULAN Oktober telah ditetapkan sebagai Bulan Bahasa. Salah satu dasar pemikiran menetapkan bulan Oktober sebagai Bulan Bahasa tentu mengingatkan masyarakat begitu pentingnya keberadaan bahasa, apalagi dikaitkan dengan sejarah perjuangan bangsa Indonesia dalam mempersatukan dan merebut kemerdekaan. Munculnya kalimat, “Menjunjung tinggi bahasa persatuan, bahasa Indonesia” merupakan ikrar yang mengandung nilai betapa pentingnya bahasa sebagai alat komunikasi demi sebuah cita-cita yang sangat besar, yakni berdirinya negara RI. “Bahasa menunjukkan jati diri bangsa”. Pernyataan ini bukanlah sekadar wacana atau ucapan tanpa makna. Pernyataan ini agar kita sebagai bangsa yang memiliki jati diri dengan bahasa sebagai salah satu indikatornya. Bagaimana kualitas penggunaan bahasa masyarakat lebih-lebih para pejabat? Untuk menilainya tentu menjadi wewenang Pusat Bahasa atau pakar bahasa. Biasanya, pada setiap puncak peringatan Bulan Bahasa ada pernyataan dari pakar atau tim penilai bahasa soal kualitas penggunaan bahasa. Misalnya, SBY (kini Presiden RI), pernah terpilih sebagai pengguna bahasa yang paling santun tahun 2003. Apakah karena kesantunan itu akhirn-

ya banyak orang bersimpati untuk memilih SBY sebagai presiden? Sebagian orang mengatakan ada kaitannya. Agaknya juga demikian, ada hubungan antara kesantunan menggunakan bahasa dengan simpati orang lain. Sekurangkurangnya apa yang dikemukakan oleh SBY saat itu untuk mencalonkan diri sebagai kandidat presiden membuat masyarakat percaya — walau bukan semua orang. Sejak 1980, bulan Oktober identik dengan Bulan Bahasa. Artinya, selama sebulan ini kita mengevaluasi penggunaan bahasa kita dan berusaha menggunakan bahasa sebagaimana mestinya. Yang salah diperbaiki, yang benar dipertahankan. Masalahnya, sudahkah hal itu kita lakukan? Inilah yang perlu kita jawab sebagai bangsa yang besar. Sedangkan kita sendiri tahu kebesaran bangsa Indonesia ini dipersatukan oleh bahasa Indonesia, seperti yang diikrarkan oleh para pemuda. Opini Siswa Di dunia pendidikan, Bulan Bahasa dirayakan di hampir semua sekolah, SMP dan SMA/SMK, apalagi instansi yang mengurusi masalah bahasa. Kadang perayaannya semarak, kadang sederhana. Di sekolah-sekolah, biasanya diadakan lomba-lomba yang berkaitan dengan penggunaan bahasa.

Oleh IGK Tribana Sehubungan dengan Bulan Bahasa, sekolah tempat penulis bertugas pun mengadakan berbagai kegiatan berkaitan dengan penggunaan bahasa. Siswa pun menyambut dengan baik bahkan lebih antusias daripada pelajaran bahasa di kelas. Mereka mengikuti lomba dengan semangat tinggi. Segala keperluan disiapkan sendiri oleh siswa, terutama OSIS. Kesungguhan mereka bekerja tentu dijiwai semangat jiwa muda “saya pasti mampu” selain semangat Sumpah Pemuda. Ada salah satu kegiatan lomba yang menggelitik perhatian penulis, saat menilai hasil menulis lomba opini para siswa. Beberapa siswa mengatakan bahwa bahasa guru kurang santun dalam berkomunikasi dengan murid. Yang menyoroti bahasa guru yang kurang santun ini bukan satu atau dua orang siswa, melainkan banyak siswa. Oleh karena topik tulisan baru diinformasikan menjelang lomba dimulai, maka kecil kemungkinannya mereka saling kontak sesama peserta lomba atau semacam membuat kesepakatan untuk menyoroti bahasa guru yang kurang santun itu. Penulis sendiri menduga tampaknya

bahasa guru yang kurang santun itu sudah terpatri di benak siswa. Ketidaksantunan bahasa tentu berbeda dengan kesalahan bahasa. Kesantunan berkaitan dengan sikap, sedangkan kesalahan berkaitan dengan kekurangtahuan. Kalau bahasa guru nonbahasa dikatakan penggunaan bahasanya kurang baik sudah biasa terjadi karena faktor ketidaktahuan. Katakanlah soal penerapan EYD, kesalahan tatabahasa, sudah menjadi keluhan guru bahasa Indonesia. Apa yang diajarkan oleh guru mata pelajaran bahasa Indonesia kurang mendapat perhatian dari guru nonbahasa Indonesia. Kita pahami dan masih bisa ditoleransi kesalahan kecil yang dialami oleh sejumlah guru nonbahasa Indonesia. Jangankan guru nonbahasa Indonesia, guru bahasa Indonesia pun kadang mengalami kesalahan. Bahasa yang kurang santun berkaitan dengan sikap. Pengguna bahasa bersikap kurang positif terhadap penggunaan bahasanya. Jika guru kurang sadar bahwa bahasanya kurang santun, ini tenatu merupakan keluhan yang perlu ditangani oleh kepala sekolah. Bahasa

yang kurang santun itu akan membawa citra guru yang baik di mata siswa. Kurang santun yang dimaksud murid bukan kesalahan yang dianggap wajar. Bahasa guru telah melukai perasaan para siswa. Guru telah mengata-ngatai siswa atas kesalahannya dengan bahasa yang kurang enak didengar, bahasa yang “kasar”. Dalam hal ini sepertinya tidak lagi seperti peribahasa, “Guru kencing berdiri, siswa kencing berlari”. Yang terjadi adalah guru telah “mengencingi siswa”. Siapa yang tidak merasa terhina jika merasa dikencingi? Kata orang bijak dan para pakar, kesantunan penggunaan bahasa adalah cermin kepribadian. Kesantunan penggunaan bahasa seseorang, termasuk guru, adalah cermin kepribadiannya. Selain itu, banyak kesulitan dapat diselesaikan dengan menggunakan bahasa yang santun. Misalnya, suatu aktivitas atau permintaan yang semula ditolak untuk dilakukan oleh seseorang namun dengan pendekatan penggunaan bahasa yang santun dan enak didengar, ternyata akhirnya mau dilakukan. Guru yang bijak, tentu akan menghindari penggunaan bahasa yang sampai menyakiti hati siswanya. Hal. 18 Kurang Dukungan

Budaya Bali di Tengah Sinergi Bahasa dan Seni ADALAH I Gusti Agung Wiyat S. Ardhi, seorang sastrawan Bali klasik dan modern, menuturkan dengan rona sumringah rasa optimismenya terhadap masa depan bahasa Bali. Ketika memberikan pandangannya sebagai salah satu juri lomba pidato berbahasa Bali tingkat SMP se-Bali di Bangli, Rabu (28/10) lalu, seniman Drama Gong dari Gianyar ini yakin bahasa Bali akan tetap kokoh di tengah di era globalisasi. Di hadapan peserta dan penonton lomba “Mapidarta Basa Bali” di aula Guru Kula, Bangli, itu Agung Wiyat menegaskan bahwa bahasa Bali tidak akan mati. Pada 1980-an, memang sempat muncul kegamangan terhadap keberadaan kebudayaan Bali pada umumnya. Gagasan gubernur Bali Ida Bagus Mantra menggelontorkan Pesta Ke-

senian Bali (PKB) sejak 1979 adalah sebuah strategi budaya untuk merevitalisasi kebudayaan Bali melalui dunia seni. Langkah ini diayunkan mengingat globalisasi dan modernisasi yang merambah Bali juga dirasakan membawa dampak negatif terhadap nilai-nilai budaya masyarakat. Krisis jati diri dan sikap imperior menggejala di tengah kepungan derasnya informasi dan geliat teknologi. Termasuk dalam konteks ini, memudarnya respek terhadap bahasa Bali. Imperioritas terhadap bahasa Bali sempat menggerogoti kalangan generasi muda pada umumnya. Bahasa gaul para pelajar adalah bahasa Indonesia ala Jakarta, bukan saja antara sesama teman di sekolah namun juga dilakoni di lingkungan keluarga di rumah yang berbahasa ibu. Menguak

anggapan lebih bergengsi berbahasa Indonesia dan sebaliknya malu bila dalam pergaulan menggunakan bahasa Bali. Lebih dari itu, berbahasa Bali dikonotasikan sebagai status sosial rendah dan sebaliknya bila dalam kesehariannya menggunakan bahasa Indonesia merasakan diri sebagai kalangan elit, maju, modern. Karena itu, tak sedikit orang atau keluarga menjadi eksklusif menggunakan bahasa Indonesia di lingkungan masyarakat berbahasa Bali. Kaum ibu-ibu di lingkungan kota khususnya, sejak bayi menyuapi anaknya bukan dengan bahasa ibu namun dengan bangga mencekokinya dengan bahasa Indonesia bahkan bahasa asing. Sejatinya, bahasa tak memiliki status sosial. Bahasa, bahasa daerah, nasional, internasional adalah perangkat simbol

terucap dan tertulis sebagai alat komunikasi. Sebagai alat komunikasi, bahasa mencerminkan bangsa. Demikian pula bahasa Bali mengandung nilainilai, konsep-konsep, dan identitas budaya dari pemakai bahasa itu yaitu orang Bali. Jika bahasa sebagai media komunikasi verbal tak berfungsi, lebih-lebih mati, tentu berarti kiamat pula bagi sebuah kebudayaan manusia, sebab bahasa adalah kebudayaan manusia yang menyebabkan manusia berinteraksi dengan sesamanya dan orang lain mengembangkan kebudayaan. Keterkaitan eksistensi bahasa dengan kebudayaan dapat dicermati di tengah masyarakat Bali, tampak dalam jagat seni. Beberapa seni pertunjukan yang dibingkai dengan estetika bahasa Bali, pada 1990-an, lunglai

satu persatu. Drama tari Arja yang menggunakan tembang macapat bahasa Bali sempoyongan, sepi penonton. Teater rakyat Drama Gong yang begitu digjaya pada 19701980-an, teronggok di pojok. Wayang Kulit sebagai seni pentas favorit masyarakat menjerit pailit, kalah pamor dengan sajian aneka hiburan pop tayangan televisi yang mengharu biru masyarakat Bali sejak tahun 1980-an. Berjaraknya sebuah generasi masyarakat Bali dengan keberadaan seni dan budayanya kiranya sangat kontekstual dengan kondisi bahasanya, pada suatu masa. Kini, lebih dari 20 tahun kemudian, keterpinggiran bahasa Bali agak bergeser ke posisi yang lebih melegakan. Selain menggunakan bahasa persatuan, Indonesia, masyarakat Bali

masa kini pada umumnya tidak lagi merasa kurang terhormat berbicara dalam bahasa Bali bila misalnya berbelanja di pasar swalayan maupun di pasar tradisional atau saat rapat di kantor pemerintah maupun parum di bale banjar. Bahkan kini muncul hal sebaliknya. Karena kurang mampu berbahasa Bali, tidak sedikit masyarakat Bali yang takut berkonsultasi menghadap pedanda, bungkam dan hanya manggut-manggut saat rapat di banjar, dan berkelit dengan bermacam alasan saat diminta jadi pembicara dalam upacara adat dan agama. Sebaliknya, yang fasih berbahasa Bali justru lebih memiliki kepercayaan diri dalam tata pergaulannya di tengah masyarakat. Kebangkitan kembali bahasa Bali merupakan buah kesadaran kolektif berbagai pi-

hak akan arti fundamental bahasa sebagai alat komunikasi dan identitas budaya. Media cetak dan elektronik yang ada di Bali kiranya juga ikut berperan memartabatkan bahasa Bali di tengah masyarakatnya. Lembaga pemerintah dan organisasi sosial juga berkontribusi menggairahkan bahasa Bali lewat berbagai terobosan. Salah satu kegiatan yang langsung berkaitan dengan keterampilan berbicara dalam bahasa Bali untuk kalangan generasi muda adalah lewat kompetisi berpidato yang digelar Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) Gianyar dan Bangli yang diselenggarakan di Bangli tersebut. Lalu, apakah reaktualisasi bahasa Bali ini akan disertai pula oleh geliat kesenian Arja, Drama Gong, Wayang Kulit dari keterpurukannya?

Selain bahasa sebagai penunjang estetik verbal, nilainilai artistik masyarakat Bali secara keseluruhan, kini patut dilindungi dan dikembangkan dengan sikap budaya keterbukaan yang kritis. Pradnya Larasari, siswi SMP Negeri 1 Sukawati, yang ditetapkan tim juri sebagai Juara I, dalam pidatonya mengimbau masyarakat Bali agar “mapamineh global maparisolah lokal” (think globaly act locally). Pengejawantahannya, “Krama Bali sareng sami patut ngajegang kesenian druwene. Yening iraga nenten pati rungu, sinah anak siosan jagi pacang ngakuinang, sekadi tari pendete, kaseledetan antuk semeton sakeng negeri jiran Malaysia,” katanya, disambut tepuk gemuruh penonton. kadek suartaya


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.