Edisi 01 April 2018 | Balipost.com

Page 15

Minggu Umanis, 1 April 2018

Kambing Zaman Now “Kambing bertebaran di hamparan firman-firman. Tentu ada kode, maksud tersurat atau tersirat di balik itu”, Pakde Brakodin meneruskan bab kambing, “Seakan-akan Tuhan memaparkan tentang fenomena-fenomena psikologi, watak, budaya, mungkin strategi politik manusia, melalui kisah Bani Israel dengan kambing betina” Di rumah-rumah ibadat tertentu para pemimpinnya menyebut diri Penggembala, sementara jemaatnya adalah dombadomba. Ketika Allah menggambarkan orang-orang yang mempunyai hati tapi tak dipergunakan untuk memahami, mempunyai mata dan telinga tapi menjalani karier hidup dengan buta dan tuli atas sesamanya, dengan “mereka seperti binatang ternak, bahkan lebih hina” mestinya yang paling populer dan ranking 1 binatang ternak adalah kambing. Meskipun orang juga berternak lembu, kerbau, bebek, ayam, lele. Bahkan ada yang berternak rakyat – yakni memperlakukan rakyat dengan tata kelola peternakan. Pun Nabi Daud yang perkasa, Bapaknya Nabi Sulaiman yang agung, ada urusan dengan kambing. Tuhan berkata kepadanya: “Sesungguhnya dia telah berbuat zalim kepadamu dengan meminta kambingmu itu untuk ditambahkan kepada kambingnya. Dan sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebahagian mereka berbuat zalim kepada sebahagian yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh; dan amat sedikitlah mereka ini”. Dan Daud mengetahui bahwa Kami mengujinya; maka ia meminta ampun kepada Tuhannya lalu menyungkur sujud dan bertaubat”. “Coba Jitul”, kata Pakde Brakodin, “apa yang kamu ingat tentang kambing”. “Dalam sejarah alam di mana manusia hadir, kambing selalu diternakkan”, jawab Jitul, “bermacam-macam cara menternakkannya, tapi diternakkan,

tidak dibiarkan liar. Ada yang dihimpun dalam kandang, pada siang hari digiring mencari rerumputan. Ada yang diikat lehernya dengan tali, dan tali itu diikatkan pada sebuah patokan” “Junit?”, Brakodin berpindah tanya kepada Junit. “Panjangnya tali ke leher kambing diukur berdasarkan jaminan keamanan bahwa kambing tidak memakan rumput yang bukan milik penggembalanya. Jangan sampai kambing menerobos masuk ke kebun yang bukan haknya” “Seger?” “Patokan kambing bisa sebuah batu, atau kayu yang ditancapkan. Atau kalau penggembalanya punya waktu luang, pangkal tali itu ia sendiri yang memegangnya. Seorang penggembala, karena ia manusia, bisa berdisiplin dengan tidak membawa kambingnya makan rumput yang haram baginya. Tapi bisa juga nakal, demi kepentingan kesuburan kambingnya, ia justru membawa kambingnya ke kebun-kebun yang bukan miliknya” “Toling?” “Kambing Zaman Now tidak mau ditali lehernya dan tidak ada patokan yang disiapkan untuk mengendalikannya”, jawab Toling, “kambing Zaman Now semakin banyak yang berpendidikan dan beradab. Mereka sangat sadar Hak Asasi Kambing. Mereka tidak mau ditali dan diikat oleh patokan. Mereka mandiri, memiliki pemikiran sendiri yang orisinal. Kambing-kambing Zaman Now hidup di kebun-kebun Demokrasi. Mereka merdeka. Mereka melakukan apa saja yang mereka ingin lakukan. Kambing Zaman Now memenuhi kota-kota, pantai-pantai, bentangan tanah-tanah seluas-luasnya, memakan semua rerumputan dan dedaunan serta apa saja dan di mana saja yang mereka mau…”. l Emha Ainun Nadjib Jakarta, 2 Desember 2017

Komunitas Sastra di Indonesia

Tumbuh kembangnya sastra dan sastrawan di Indonesia kadang hanya dianggap berkat jasa perguruan tinggi, lembaga kebahasaan, penerbitan buku, media massa (koran, majalah). Padahal banyak sastrawan yang “tanah kelahirannya” justru dari komunitas sastra. Awalnya tak mengenyam kuliah bahasa dan sastra, tak mengerti teori sastra. Namun, gara-gara suntuk berproses pada komunitas sastra ternyata berhasil juga menjadikan dirinya manusia kreator dan menyumbangkan karya-karya sastra yang berprestasi pada zamannya. Ironinya, keberadaan komunitas sastra nyaris kurang dicatat dan diakui oleh kalangan sastra formal di negeri ini. Sementara di daerah-daerah yang tidak terdapat perguruan tinggi sastra dan kebahasaan, aktivitas lembaga kebahasaannya rendah, media massa sastra juga tidak ada, peran penggiat, penggerak, dan penyediaan ruang kreatif justru ditangani oleh komunitas sastra yang sudah bertebaran di seluruh Indonesia. Di Bali banyak sastrawan telah berproses lewat Sanggar Minum Kopi, Komunitas Kembang Lalang, Komunitas Sahaja, Sanggar Sastra Bali Barat, Komunitas InTenSBeh, Komunitas Sastra Tetas, Komunitas Jati Jagat, dll. Di

kota Pangkalan-Bun (Kalimantan Selatan) yang dulu hanya dikenal karena memiliki pangkalan udara kecil milik AURI, kini terdapat Kantong Sastra Pangkalan-Bun. Di Palangkaraya (Kalimantan Tengah) terdapat Komunitas Sastra Terapung. Di Sulawesi Tenggara berdiri Komunitas Teras Puitika. Di Sumbawa besar ada Komunitas Aksara dan Kosakata. Sementara di Kabupaten Kendal (Jawa Tengah), komunitas sastra sudah berdiri di tingkat kecamatan. Di Kecamatan Pegandon ada Komunitas Rumah Diksi. Di Kecamatan Kaliwungu, ada Komunitas Plataran Sastra Kaliwungu dan Komunitas Sastra Tebing. Di Kecamatan Boja ada Komunitas Sastra Lereng Medini. Bahkan Wayan Jengki Sunarta sempat blusukan ke sana ketika KLM mengadakan kemah sastra di Kebun Teh Medini (2015). Maka, alangkah indahnya jika para sastrawan yang nama dan karyanya telah berkibar bersedia mencatat dan peduli pada komunitas kecil-kecil ini. Karena di sana ada ratusan sastrawan penyangga sastra kita terus berkarya, entah disapa atau tidak oleh para petinggi sastra di Indonesia. l Iman Budhi Santosa

Bukan Hari Biasa IA DATANG membawa kesunyian. Ia tinggalkan keramaian dan kebisingan, agar tak mengganggu keheningan. Sebab ini hari permulaan. Hari diawalinya hidup baru yang indah. Bagaimana aku tak bahagia kedatangan tamu mulia pembawa kabar gembira, telah lahir anak waktu memberi harapan kehidupan baru. Maka kujamu ia dengan perasaan gembira dan kelegaan hati-pikiran di ruang hening sunyi. SUNGGUH beruntung orang-orang yang menemukan hari yang sunyi. Tak ada keriuhan. Tak ada kebisingan dan kegaduhan. Tak ada kemeriahan. Tak ada hilir-mudik orang-orang kebingungan memuaskan hajat hidupnya yang tak pernah usai seperti hari-hari lainnya. ”Ini bukan hari biasa. Kesibukan di jagad raya diistirahkan. Jarum kehidupan diputar ulang, dikembalikan ke awal mula, ke titik nol.”

HARI yang luar biasa. Orang-orang yang menepi sepi, menemukan kepulangan diri, bermandi suci pada telaga sangkan paraning dumadi. Setelah mengembara, pulang ke rumah jiwa, nyemplung ke palung hening. Mensucikan diri di ruang kelahiran kembali. Sumeleh pada diri sejati. Mengosongkan hati pikiran, agar esok bisa diisi lagi dengan energi dan laku kebaikan yang lebih indah. MENYEPIKAN jiwa dan lelakon kehidupan. Menemukan harmoni cinta bersama laku-ilmu jiwa segala jiwa. Melepas segala ambisi, menanggalkan pakaian usang keduniawian, mengosongkan wadag dari segala kenikmatan-kelezatan kehidupan. Sepi ing pamrih. Agar esok bisa memulai langkah baru, mengisi dengan kerja pengabdian sepenuh cinta (dharma). Ramai ing gawe. Untuk meraih kehidupan sejati yang abadi. l Wayan Subali Japarani

Ramai-Ramai Kembali Ke Sunyi KARENA terlahir dari rahim sunyi, aku sebut diriku sunyi. Sunyi yang tak abai pada diri dan tak meniadakan yang lain. Sunyi yang membutuhkan kerbersamaan dan tak meniadakan karamaian sebagai penyeimbang, agar hidup ntidak jomplang. Semula kukira hanya diriku yang lahir dari kesunyian. Kupikir cuma diriku yang mendambakan kesunyian. Ternyata kalian juga banyak yang merinduk-dambakan kesunyian. Maka ketika dipertemukan, kita berbincang dan bertukar pengalaman kesunyian. Terkuaklah bahwa kita punya kecenderungan sama. Sama-sama mencari kesunyian di tengah hiduk pikuk kehidupan yang menjemukan. KITA ingin mengambil jarak dengan

l Anggur

keramaian dan kebisingan hidup, untuk menciptakan keseimbangan diri dan luar diri. Kita ingin mengontrol hati-pikiran, mengendalikan ambisi dan nafsu. Sepi ing pamrih, ramai ing gawe. Hingga terwujud harmoni diri. Namun magnet keramaian begitu besar melebihi energy dalam diri kita, keramaian jadi semacam candu yang membuat orang terlena dan lupa diri. Maka sebelum terjerat bujukrayu tipu daya keramaian, sebelum terlalu jauh tersesat, kita bersegera menyisih dan putar arah: kembali pada kesunyian.

Mister NO...

Pemanasan Ulang Tahun 25 April 2018

Jatijagat Kampung Puisi Bersama Sanggar PURBACARAKA Sanggar CAKRAWALA Jalan Nias 13 Denpasar Menjelang Enampuluh (60) Tahun FAKSAS-FIB UNUD Rabu Kliwon 25 April 2018 pukul 19:30 wita di JKP-109

Telaga Maiyah Kalau dibilang mimpi, kok bareng sekian orang dan isi mimpinya sama persis. Kalau dibilang khayal atau halusinasi, kok juga sama yang dialami oleh sekian orang. Jadi apa sebenarnya yang terjadi pada para Pakde dan anak-anak itu? Rumah Pakde Sundusin kosong, meskipun pintu-pintunya tetap terbuka. Hanya ada anak-anak kecil dolanan kalau sore, dan bakda Maghrib ada yang mengajari anak-anak mengaji dan nderes di ruang depan rumah. Bagian tengah sampai dapur terbuka, hanya bilik pribadi Pakde Sundusin yang terkunci rapat. Mereka sepakat melacak Markesot. Tiga orang tua dan empat anak-anak muda itu melakukan perjalanan aneh. Mungkin semacam eskapisme, membuntuti Markesot yang juga melarikan diri. Karena tidak sanggup menjawab berbagai pertanyaan tentang keadaan lingkungan dan zamannya. Mereka memasuki hutan, menembus rimba, menyibak gerumbul-gerumbul, menguak dinding-dinding alam, melompat ke seberang. Di suatu “tempat”, mereka duduk bersila. Melingkar. Mata mereka terpejam, kecuali Toling yang matanya kadang terbuka, mengintip ke kiri kanan. Wajah mereka menghadap lurus ke depan. Anak-anak muda itu mengikuti saja. Tetapi bengong tatkala tiga orang tua itu umik-umik entah mengucapkan apa. Kemudian tiga orang tua itu menggosok-gosokkan kedua telapak tangan, lantas merebak bebauan yang aneh. Empat anak muda itu mencium aroma yang ada unsur wanginya tapi campur bau busuk. Mereka hanya merasa asing, tapi belum bisa menyimpulkan apa-apa. Anak-anak muda itu, meskipun tak pernah memperbincangkan itu di antara mereka: tahu apa yang dilakukan oleh para Pakde. Tidak sukar diduga. Mereka mencari Markesot. Mereka memperkirakan, memperhitungkan, kemudian berspekulasi melacaknya. Dan juga tidak sukar ditemukan kenapa mereka mencari Markesot. Angin menyapu wajah mereka. Lamalama hembusan angin mengeras. Kemudian mendera dengan sangat deras. Angin berputar-putar. Membungkus mereka semua. Dan beberapa saat kemudian mereka diterbangkan pergi dari tempat mereka semula. Mereka berpindah ke bagian lain dari ruang dan waktu. Ketiga orang tua itu napasnya tersengal-sengal. Junit, Jitul dan Seger seperti mabuk. Dan Toling pingsan. Pakde Tarmihim segera memijiti tengkuknya, Pakde Sundusin menekan-nekan telapak kakinya. “Allahu Akbar”, hampir bersamaan mereka berteriak, tapi lirih. Allahu Akbar. Ada semacam telaga besar yang isi dan permukaannya bukan air, melainkan semacam kaca mengkilat. Tiga orang tua dan empat anak muda itu belum bisa tahu apa yang ada di bawah kaca bening itu. Apa itu semacam lantai marmer kelas tinggi di halaman Istana Kerajaan Baginda Sulaiman, yang Ratu Balqis tertipu dan terpesona. Toling yang kesadarannya mulai pulih, melayang di angkasa khayalannya. Ia merasa sedang menjadi pengawal Baginda Putri Balqis, Sang Ratu Saba, meskipun tidak terkait bahwa sebagian leluhurnya berasal dari daerah antara Banyumas dan Wanasaba. Seger diam-diam mencatat. “Dikatakan kepadanya: ‘Masuklah ke dalam istana’. Maka tatkala dia melihat lantai istana itu, dikiranya kolam air yang besar, dan disingkapkannya kedua betisnya. Berkatalah Sulaiman: ‘Sesungguhnya ia adalah istana licin terbuat dari kaca’. Berkatalah Balqis: ‘Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah berbuat zalim terhadap diriku dan aku berserah diri bersama Sulaiman kepada Allah, Tuhan semesta alam”. Karena kebingungan kasih judul, spontan saja Seger menulis: Telaga Maiyah. l Joko Umbaran Yogya, 18 Februari 2018 BERAMAI-ramai dan bersokongsokong kembali pada kesunyian, sehingga kecenderungan pada kesunyian menjadi trend.Banyak orang ikut-ikutan bersunyisunyi. Semua gandrung sunyi, demam sunyi. Sehingga ruang kesunyian berubah jadi ramai. Berisik. Sunyi yang ramai. Sunyi tak tak lagi sunyi, sebab dijejali orang-orang yang ikut-kutan bersunyisunyi yang tak mengerti laku arti kesunyian sejati. l Wayan Subali Japarani

Merah Persibu Ngampoeng Seni untuk Fenomena 27 dalam 72…

Kepada Pakde Tarmihim, Seger coba membuka pintu yang lain. “Apakah Mbah Markesot itu sok misterius seperti Baginda Khidlir? Ataukah Bambang Ekalaya Palgunadi yang nasibnya sial di dunia dan bahkan nyawanya dilindas oleh ketentuan qadla dan qadar, oleh skenario nasib, atau yang diklaim sebagai SOP langit, yang tampak kejam di mata kepolosan manusia dan di pandangan kebodohan materialisme? Ataukah Mbah Sot itu semacam Wisanggeni yang diwajibkan memborgol tangan kesaktiannya sendiri? Ataukah beliau itu seperti Abu Thalib paman Nabi yang membiarkan dirinya diperdebatkan apakah beliau Muslim atau bukan?” “Wah, muluk-muluk banget pertanyaanmu, Seger”, sahut Pakde Tarmihim. “Soalnya saya dan kami semua melihat beberapa hal yang pasti pada Mbah Sot. Maka kami mengejar yang belum jelas pada beliau” “Apa itu yang pasti pada Mbah Sot?” “Beliau bukan pewaris Nabi, karena bukan Ulama, Kiai atau Ustadz. Apalagi Mursyid, Syeikh atau Maula” Tarmihim tersenyum. “Itu terang benderang seperti terbitnya matahari” “Mbah Sot juga bukan tokoh di dunia. Tidak duduk di kursi besar yang bisa tampak di pandangan orang seantero Negeri. Beliau bukan ilmuwan, karena Kaum Ilmuwan adalah suku bangsa tersendiri yang jelas pagar batasnya. Beliau juga bukan siapa-siapa pun lainnya: budayawan, seniman, filosof, Sufi, Zahid, negarawan, apalagi politisi, sarjana, pengusaha dan penguasa. Sebab saya sudah buka semua lembar informasi resmi dan nama beliau tidak tercantum di lembar kategori manapun. Markesot adalah Mr. No” “Kenapa kamu mengasosiasikan ke Nabi Khidlir?”

15

“Karena tidak jelas. Karena serba No. Satu-satunya informasi adalah kisahnya dengan Nabi Musa. Nah kalau terkait dengan Nabi resmi, tidak mungkin tidak dicatat. Tapi legalitas informatifnya berasal dari kesepakatan para Ulama, perkiraan terhadap maksud Allah, sebab firman-Nya tidak eksplisit menyebut Khidlir. Sedangkan Mbah Sot tidak terkait dengan siapapun selain dengan para Pakde yang juga tak kalah tak jelasnya…” “Kalau Ekalaya Palgunadi?” “Pertama, tidak sekolah resmi seperi Janaka Arjuna. Hanya belajar kepada patung Kumbayana Durna. Tapi menjadi lebih sakti, menang duel lawan Arjuna Sarjana Utama. Tapi Arjuna dihidupkan kembali, malah Ekalaya yang dibunuh. Betapa sengsaranya. Apalagi perlawanannya terhadap Sarjana Utama itu karena Arjuna menyelingkuhi istrinya. Ekalaya dihancurkan eksistensinya, keluarganya, kesaktiannya, harga dirinya, martabat kelelakian dan kemanusiaannya. Betapa ghaibnya ketentuan Allah” “Wisanggeni?” “Diperintahkan untuk ‘tidak’, padahal ia yang paling dibekali untuk ‘ya’ melebihi siapapun lainnya…” “Dan mereka berkata: “Mengapa tidak diturunkan kepada Muhammad suatu mukjizat dari Tuhannya?” Maka katakanlah: “Sesungguhnya yang ghaib itu kepunyaan Allah, sebab itu tunggu sajalah olehmu, sesungguhnya aku bersama kamu termasuk orang-orang yang menunggu”. Tarmihim tertawa terbahak-bahak. Dan berkepanjangan: “Kamu datang menggali informasi kepada saya. Yang terjadi adalah saya yang mewawancaraimu…”, katanya kepada Seger. Kemudian tertawa lagi. l Emha Ainun Nadjib Yogya, 15 Februari 2018

Ayat Sulthan... Adapun Toling, karena kesadarannya semakin pulih, malah menjadi takut dan mencurigai khayalannya. Ia berpikir mana mungkin cecunguk seperti dia akan pernah bisa mengalami peristiwa sedahsyat itu. Toling hanyalah anak bawang, apalagi di antara teman-temannya sesama Muslim. Mencicipi jadi Santri pun ia belum pernah. Hanya sedikit terlibat dalam komunitas Markesot pada lingkar entah ke berapa. Berputar-putar pikiran Toling. Ia jadi ingat ayat “sulthan”. Memang ayat ini terbuka kemungkinannya bagi setiap Jin dan Manusia, tanpa disebut pagar atau batas kriterianya: “Hai masyarakat jin dan manusia, jika kamu sanggup menembus penjuru langit dan bumi, maka lintasilah, kamu tidak dapat menembusnya kecuali dengan sulthan”. Tetapi rasanya mustahillah kalau dia punya peluang untuk menembus-nembus, melintaslintas di antara bumi dan langit, di antara dimensi-dimensi, fisika-metafisika, awang-uwung, wilayah tak kasat mata, atau apapun yang Toling tak paham. Memang sangat jelas dan tegas pernyataan Allah bahwa “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dengan formula yang sebaik-baiknya. Kemudian Kami kembalikan dia ke kepribadian yang serendah-rendahnya”. Belum mengerti persis juga kenapa “Ahsanu Taqwim” di banyak terjemahan Al-Qur`an diterjemahkan menjadi “bentuk yang sebaik-baiknya”. Tapi memang ummat manusia sudah terbiasa dihadiri makhluk Jin ke dalam hidup mereka. Entah dalam urusan orang kerasukan Jin dan Ustadz mengusir Jin, Dukun kerjasama dengan Jin, dan macam-macam lagi. Kenapa manusianya sendiri yang justru heran dan sinis kalau ada kasus Manusia masuk dunia Jin? Kalau budaya manusia mengenal “Manusia kerasukan Jin”, kenapa heran pada fenomena yang sama, misalnya “Jin kerasukan Markesot”? Kenapa juga Kaum Muslimin senang dengan kecend-

erungan untuk membenci, mengutuk dan merendahkan Jin? Menurut Toling, Jin dan Manusia kan bersaudara. Bahkan Jin adalah saudara tua manusia. Kenapa orang-orang pintar di kalangan Kaum Muslimin merasa nikmat mengusir Jin? Apakah alam semesta, bumi, ruang dan waktu adalah hak monopoli manusia? Pada saat yang sama kenapa pula manusia hobi banget meremehkan dirinya sendiri. Kenapa manusia cenderung sangat malas melihat dinamika dirinya sendiri. Kenapa “Asfala Safilin” dikontekstualisasikan kepada ketika manusia menghuni Neraka. Kenapa tidak dilihat ada peluang dan kemungkinan dinamis bahwa ketika masih di dunia pun manusia sudah naik turun dan timbul tenggelam kualitas kemanusiaannya. Kenapa “Asfala Safilin” tidak mungkin ditarik garis konteksnya ke misalnya kegagalan dunia pendidikan, Sekolah dan Universitas. Atau perikehewanan dalam peradaban manusia. Atau dehumanisasi dalam politik. Bahkan kegagalan paham atas nilai-nilai Islam bukan tidak mungkin melahirkan manusia-manusia Asfala Safilin. Kenapa “baku” berpikirnya: bahwa Ahsanu Taqwim adalah manusia di dunia, dan Asfala Safilin adalah manusia di Neraka. Meskipun demikian Toling tidak berani lagi merasa bahwa ia berada dalam atmosfer firman yang analoginya ini: “Para jin itu membuat untuk Sulaiman apa yang dikehendakinya dari gedunggedung yang tinggi, patung-patung dan piring-piring yang besarnya seperti kolam dan periuk yang tetap berada di atas tungku”. Omong kosonglah. Memang Toling keturunan Nabi Sulaiman? Ia malah curiga ada Setan yang “ngerjain” dia: “Dan Kami telah tundukkan untuk Sulaiman segolongan setan-setan yang menyelam ke dalam laut untuknya dan mengerjakan pekerjaan selain daripada itu, dan adalah Kami memelihara mereka itu”. l Joko Umbaran Yogya, 19 Februari 2018

Mawas Diri Dalam perjalanan hidup manusia, apalagi sampai usia tua, tentu sudah mengalami berbagai macam peristiwa yang tak terhitung banyaknya. Walau kadang ada yang diingat atau tidak, dicatat atau tidak, dibaca atau tidak, dipahami atau tidak, dimaknai atau tidak. Karena manusia memiliki sikap abai seperti itu, tidaklah mengherankan ketika seseorang yang berusia 60 tahun diberitahu mengenai sesuatu yang tak diperhatikan selama ini, dia akan terpana dan bertanya-tanya. Bahkan bisa jadi tak percaya. Padahal demikianlah kenyataannya. Misalnya, mengenai tidur. Jika tidurnya setiap hari tidak kurang dari 8 jam (? hari), maka kalau ditotal lama tidurnya sudah mencapai ± 2O tahun sendiri. Siapa pun yang terkejut manakala ditunjukkan atau diingatkan mengenai segala sesuatu yang sudah dialami (dilakukan), bukannya aneh. Karena kebanyakan manusia merasa sejak dulu hingga kini diri pribadinya seakan ajek; tidak berubah. Tangan untuk mengambil, kaki untuk berjalan, mata untuk melihat, telinga untuk mendengar. Beda dengan ulat, kepompong, kupu-kupu yang mengalami metamorfosa sempurna. Artinya, terjadi perubahan fisik

yang demikian ekstrem dalam hidupnya di dunia. Karena ulat dan kupu-kupu adalah binatang, tentu dia tidak bisa memaknai apa yang dialami. Tetapi, bagi manusia yang dikaruniai akal budhi, seluruh peristiwa yang dialami di dunia perlu dijadikan buku untuk dibaca sebagai upaya “mawas diri.” Perjalanan hidup manusia memang tak ubahnya buku tebal yang ditulis masing-masing orang. Maka, betapa indahnya jika “buku” itu senantiasa dibaca, dijadikan semacam cermin atau kaca benggala bagi pribadi yang bersangkutan dan juga oleh siapa pun yang berkenan mengapresiasinya. Konon, berkaca pada diri sendiri itu perlu, walau kadang bias bayangan seseorang juga tampak pada sosok orang lain dan kehidupan di sekitarnya. Persis sebatang pohon yang tumbuh sendirian di tanah lapang. Pagi, bayangannya akan berada di sebelah barat. Tengah hari bayangannya berimpit dengan fisik pohon tadi. Sedangkan sore hari, bayangannya justru pindah ke timur. Artinya, bayangannya selalu berpindah sesuai dengan letak matahari. Mungkin saja penampakan sejarah kehidupan manusia demikian pula halnya. l Iman Budhi Santosa

l Spirit Ruh Bangsa, Tes Ke-Indonesiaan Raya Kita

CAKRA Yadnya EDUKASI (H) Cinta Nusantara 2018 l

JKPemerdekaan-109, Pijakan Start Ke-rasadiri-an l

Sangkan Paraning Dumadi, yang Terpanggil Sepenanggungan

April-Rememberance 27 in 72…, 72 in 27

Road to Homecoming 230 Years Old Denpasart!

HUBUNGI dan Aktif Mengikuti Wayan Jengki Sunarta via Facebook dua(2) Minggu sebelum KOMUNITAS ANDA di JKP-109


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.
Edisi 01 April 2018 | Balipost.com by e-Paper KMB - Issuu