Bali Post - Minggu, 25 Januari 2009

Page 17

BUDAYA

Minggu Pon, 25 Januari 2009

BUKU

Cerita Rakyat tentang Perang untuk Perdamaian Judul

: Perang Leak

Tebal

: i-vi, 70 hala-

Penerbit

: PT Grasindo,

man Jakarta 2008 MEMILIKI nuklir yang canggih dengan alasan untuk menjaga perdamaian, bagi sebagian orang, pasti dianggap alasan yang mengada-ada. Mereka akan mempertanyakan, bagaimana mungkin sebuah senjata canggih yang diperuntukkan untuk perang atau membunuh akan melahirkan perdamaian? Senjata dan perang hanya akan melahirkan dendam dan pembunuhan yang tak henti-hentinya. Sebagian orang lagi bisa dengan ngotot mengatakan bahwa hanya dengan memiliki kekuatan militer adidayalah seseorang bisa didengar perkataan maupun perintahnya. Dalam hal ini, tentu yang dimaksud adalah sekelompok orang atau bangsa mau menuruti perintah kelompok maupun bangsa itu karena takut akan diserang dengan senjata sakti tersebut. Atau alasan yang lain lagi, bahwa hanya dengan perang orangorang bisa menghargai keberadaan orang lain. Bagi beberapa orang, perang bisa dipakai sebagai media pembelajaran dan juga kesempatan untuk introspeksi diri. Melakukan perang, mempertunjukkan kesaktian dengan mengorbankan nyawa untuk menuju perdamaian, juga ada dalam salah satu cerita rakyat Bali yang terkumpul dalam buku berjudul “Perang Leak” yang diceritakan kembali oleh Made Taro ini. Cerita yang juga dijadikan judul dalam buku yang memuat 10 cerita ini berkisah tentang seorang tokoh sakti bernama Ki Balian Batur. Diceritakan bahwa Ki Balian Batur yang semula tinggal di Wintang Danu mendapat anugerah kesaktian dari Batari Danu. Ki Balian Batur kemudian meninggalkan tempatnya yang indah dan tenang untuk menetap di sebuah desa bernama Karang Kedangkan. Kebaikan hati Ki Balian Batur yang sakti dan keluarganya membuat orangorang segan dan hormat kepadanya. Salah seorang putrinya yang bernama Ni Made Wali berjualan nasi di Desa Cau yang terletak di sebelah timur Desa Karang Kedangkan. Karena makanannya juga enak dan pelayanannya yang bagus membuat jualan Made Wali laris. Tetapi semuanya berubah saat adat memfitnahnya bahwa yang dijual Made Wali adalah daging manusia. Hal ini tentu saja membuat orang muntah-muntah dan mencaci maki Ni Made Wali. Ketika hal itu disampaiakn kepada ayahnya, Ki Balian Batur, beliau marah dan bersumpah akan menjadikan Desa Cau sebagai tempat pengembalaan badak dan lembu. Apa yang dikatakan Ki Balian Batur terjadi, hal ini membuat raja Kawiapura, Cokorda Sakti Blambangan marah dan mengutus De Bendesa yang juga sakti untuk memerangi Ki Balian Batur. Tetapi kesaktian Ki Balian Batur tidak terkalahkan, sambil terbang di angkasa ia mengejek De Bendesa dan mengatakan bahwa ia hanya bisa dikalahkan oleh senjata bedil Ki Sliksik Narantaka. Perkataan Ki Balian Batur membuat De Bendesa dan Raja berpikir keras untuk mencari di mana senjata itu disimpan. Sayangnya Raja ingat bahwa senjata itu disimpan oleh Dewa Agung Raja

Pementasan

MAHASISWA Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris, Fakultas Bahasa dan Seni (FBS) Undiksha Singaraja sekali lagi mengocok perut seluruh penonton di Aula FBS Singaraja, Sabtu (17/1) lalu, dengan membawakan naskah “The Imnportance of Being Earnest” karya Oscar Wilde. Naskah Oscar Wilde menarik mahasiswa sejak tahun 2005 saat mereka mementaskan “Lady Windermeres Fan”, lalu disusul “Salome”, “Vera”, dan tahun ini “The Impotance of Being Earnest” serta “A Woman of No Importance” — keduanya komedi. Pementasan ini dilakukan dalam rangka tugas akhir mata kuliah drama, dan beberapa tahun terakhir ada empat kelas pementas yang beradu unjuk kebolehan. Di kampus ini, tiap tahun diadakan pelatihan dasar teater yang kebanyakan diikuti oleh mahasiswa FBS, dibawah bimbingan Hardiman. Hardiman adalah pegiat teater serta kurator seni rupa yang telah sukses menyutradarai “Tengul” (Arifin C. Noor) yang dipentaskan di Aula STSI/ISI Denpasar pada Desember 1998, disusul “Prita Istri Kita” (Arifin C. Noor)

Perlukah Lagi Ada Sebutan Pribumi dan Nonpribumi? SIAPA yang disebut peranakan Cina atau Cina peranakan? Kenapa keturunan Tionghoa yang sudah menyatakan berwarganegara Indonesia masih ditanyakan akte kelahiran asli ketika mengurus paspor atau ada tandatanda khusus ketika membuat KTP?

Pengarang: Made Taro

Semarapura, yang merupakan musuh leluhurnya di masa lalu. Permusuhan itu berlangsung sampai sekarang. Namun, demi mendapatkan senjata itu dan demi bisa membunuh Ki Balian Batur, Cokorda diminta untuk berdamai dengan Raja Semarapura dan melupakan pengalaman pahit masa lalu. Akhirnya Cokorda Blambangan menghadap ke Semarapura menghadap Raja Dewa Agung. Kedatangannya ternyata disambut hangat. Dengan senang hati Raja Semarapura meminjamkan senjata itu dan memberi bantuan prajurit-prajurit handalnya yang dipimpin oleh Anom Sirikan. Akhirnya Ki Balian Batur dapat dikalahkan oleh senjata itu. Tetapi sebelum tewas, Ki Balian Batur meminta maaf karena telah merepotkan kedua raja tersebut. Diungkapkannya bahwa pertempuran dahsyat antara pasukan Ki Balian Batur dan Cokorda Blambangan serta raja Semarapura terjadi atas perintah Batari Danu, yang menginginkan agar kerajaan Kawiapura dan Semarapura damai dan bersatu. Karena pengorbanan Ki Balian Batur tersebut, kedua raja mendirikan tempat suci untuk mengenang peristiwa itu. Hutan yang timbul akibat pertempuran menjadi kerajaan Sukaati dan dihadiahkan kepada Agung Anom Sirikan sebagai raja. Konon nama Sukaati diberikan karena pertempuran itu membuat hati suka. Sekarang daerah itu bernama Sukawati. Selain memuat kisah tentang kepahlawanan Ki Balian Batur, buku ini juga memuat kisah-kisah berjudul “Ular yang Bertapa di Danau Beratan”, “Riwayat Pisang Gedang Saba”, “Bima Mencari Tirta Amerta”, “Sang Matali Mencari Menantu”, “Pergumulan Jempana di Bukit Gumang”, “I Cupak dan I Grantang”, “Penyu pun Tak Mau Punah”, “Cincin Emas” dan “Si Harimau Belang”. Buku ini menarik dibaca karena di dalamnya berisikan cerita-cerita tentang filsafat hidup maupun kepercayaan masyarakat Bali yang sulit ditemukan pada buku-buku dongeng lainnya. I Made Taro bisa menceritakan hal-hal seperti ini dengan cara bercerita yang mudah dicerna anak-anak, karena selain seorang penulis, pendiri Sanggar anakAnak “Kukuruyuk” ini adalah juga seorang pendidik dan pelestari budaya. mas ruscita

17

Masalah seputar Cina atau Tionghoa mengemuka dalam diskusi panel bertopik “Keindonesiaan dan Ketionghoan : Menuju Harmoni Identitas dan Budaya” di Bentara Budaya, Jakarta baru-baru ini. Diskusi ini digelar oleh Komunitas Lintas Budaya Indonesia menyongsong Tahun Baru Imlek yang jatuh pada Senin (26/1) besok. Sineas Ariani Darmawan yang membuat film pendek “Anak Naga Beranak Naga” dan “Sugiharti Halim” mempertanyakan dirinya yang lahir dan kelak akan meninggal di Indonesia masih acap ditanyakan surat-surat asli ketika mengurus KTP dan paspor. “Padahal, saya tidak bisa berbahasa Mandarin, sehari-hari dengan teman di kampus dan sesama insan film berbahasa Jawa. Kalau papa mama saya yang tinggal di Purwokerto memang masih berbahasa Cina dan bahasa Belanda,” keluhnya. Ihwal asimilasi atau pembauran sesama etnis, Ariani sangat mendukung, asal tidak dipaksakan. Seperti mbak Ester Indahyati Jusuf (penerima “Yap Thiam Hien Award 2001”) menikah dengan orang Jawa. “Kalau dipaksakan, hasilnya instan dan kita akan jadi generasi banci yang tidak kenal siapa diri kita. Ganti nama dari nama Cina menjadi nama Indonesia dipaksakan dan diharuskan. Asimilasi harus berjalan secara alamiah dan saya lebih setuju jika pembauran terjadi di bidang budaya atau makanan,” jelas Ariani. Wanita sineas muda ini melanjutkan, ketika ia membuat film dokumenter tentang gambang kromong dan cokek — musik tradisi Betawi yang hidup di Tangerang, Ariani tersentuh dan tersentak. Ternyata, penari cokek bernama Asnah (80) yang tinggal di rumah sederhana di Tangerang itu aslinya dari Tiongkok. Suami, anak-anak dan cucu-cu-

BPM/ist

TIONGHOA - Dua di antara sejumlah film nasional yang bertutur tentang warga keturunan Tionghoa di Indonesia yang pernah beredar, film “Gie” dan “May”. cunya sudah lama membaur dengan penduduk pribumi. Dari wajah, kulit sampai adat istiadat mereka sudah tidak bisa lagi yang mana non-pribumi dan yang mana pribumi. Semuanya sudah menyatu. Jadi Korban Di bidang kuliner atau makanan, banyak makanan khas Cina kini sudah menjadi makanan Indonesia. Dari bakmi, bakso, tahu, tempe, capcay, siomay, kecap, tauco, kucai (sayuran) dan banyak lagi. Bahkan, istilah-istilah bahasa Tionghoa dari Hokian atau Sinkek (asli dari Cina daratan) sudah lama terserap dan menjadi bahasa seharihari seperti cepe, jigo, jeceng, gope, kamsia (terima kasih), wo ai ni (aku cinta padamu) dan masih seabreg lagi. Yang lucu, kalau ada pengendara sepeda motor melanggar rambu lalu lintas dan disemprit polisi, langsung ada yang teriak, “Prit, jigo!” Istilah pungli (pungutan liar) yang dulu pernah populer di zaman Pangkopkamtib Sudomo juga berasal dari bahasa Kuo Yu (Mandarin) yang artinya kurang lebih sama yaitu “pungutan tidak resmi”. Pertanyaannya, apakah masih relevankah istilah pri, nonpri, atau Cina, Chinese, Tionghoa atau “cina lole” di zaman globalisasi saat kini, sementara RRC kini sudah menjadi negara modern dan menerapkan kapitalisme modern? Pokoknya, setiap ada kerusuhan rasial dari zaman Soekarno sampai Soeharto, selalu yang jadi korban adalah orang Cina. Baperki dilarang dan dibubarkan karena dianggap proPKI. Menteri Oei Tjoe Tat yang pro Bung Karno dan pendiri partai Partindo dibui dan dibuang ke Pulau Buru tanpa disidang. Siauw Gok Tjhan (pendiri Baperki) dikucilkan sampai tutup usia karena sudah tua. Lihat pulalah peristiwa Mei 1963 sampai September

1965 hingga reformasi 1998 saat jatuhnya Soeharto. Dari golongan Tionghoa memang muncul demonstran seperti Liem Bian Koen, Liem Bian Kie, Soe Hok Gie, Arif Budiman (Soe Hok Djien) sampai pahlawan reformasi yang ditembak sebagai mahasiswa Trisaksi, Hendrawan Sie. Tetapi, semuanya tidak pernah dihargai oleh Pemerintah. “Memang ada orang Tionghoa yang jadi menteri, seperti Liem Koen Hian, Oei Tjoe Tat, Marie Pangestu sebagai Menteri Perdagangan di zaman SBY dan Menkeu Kwik Kian Gie di zaman ibu Megawati, tapi jumlahnya masih sedikit,” ujar Ester Indahyani Jusuf, seorang aktifis dan sarjana hukum yang mengamati masalah-masalah perempuan Cina yang jadi korban politik. Banyak Berjasa Di bidang ekonomi, ada istilah konglomerat dan selalu yang kena tuding adalah golongan Tionghoa. Padahal, ada konglomerat asli pribumi dan dia menduduki nomor satu sebagai orang terkaya di Asia. Dulu ada istilah Ali Baba, lalu di zaman Soeharto terkenal persekutuan dan kong-kalikong ketika beliau mengajak ratusan pengusaha nonpri ke Tapos dan siapa tak kenal Liem Sioe Liong alias Soedomo Salim. Seakan yang jelek-jelek saja yang diceritakan, dimuat di koran dan menghiasi layar televisi. Padahal, di dunia olahraga, Indonesia punya Tan Yoe Hok, Rudy Hartono, Ivana Lie, Liem Swie King, serta pasangan Susi Susanti dan Alan Budikusuma yang mengukir prestasi Olimpiade di Eropa. Bahkan, Alan jadi Ketua RT di suatu kawasan di Jakarta Utara. Di bidang budaya, orang kenal Teguh Karya (Liem Tjoan Hok), pelawak Ateng, Tan Tjeng Bok, Fifi Young, Agnes Monica, Sandra Dewi, Olga Lidya, Ferry Salim, sampai

Tina Toon. Ironisnya, meski banyak dari golongan Tionghoa berjasa terhadap negara Indonesia, di masa tuanya mereka masih ditanyakan surat akte kelahiran ketika mengurus KTP dan paspor. Ivana Lie ketika mudanya, kalau mau bertanding bulutangkis di luar negeri, segera dibuatkan paspor meminjam orang lain atas perintah seorang Menteri Olahraga, karena dia kala itu masih state-less alias tidak punya kewarganegaraan. Ada cerita, Alan dan Susi Susanti diperintah kalau menjawab pertanyaan wartawan di luar negeri, dilarang menggunakan nama Tionghoa mereka dan dilarang menggunakan tanda salib (mereka berdua Katolik). “Ini kan rasis dan sara,” urai Ester. Memang, berbeda-beda tapi tetap satu. Bhinneka Tunggal Ika seperti yang dicanangkan founthing father Bung Karno jalannya masih terseok-seok dan penuh onak. Atau dalam istilah Ester, “biarkan seribu bunga mekar bersama di taman Indonesia”. Banyak etnis dan suku di Nusantara, termasuk Tionghoa dan biarkan mereka berprestasi, jangan lagi dihalangi dan dicurigai. Prof. Dr. Gondomono, antropolog budaya Tionghoa dari UI menegaskan, ketika zaman Orde Baru, banyak orang Cina ketika mengurus KTP dan paspor diperas oleh oknum-oknum Lurah dan Imigrasi. “Namun, beberapa teman saya menceritakan kepada saya, ketika Mendagri-nya pak Rudini di tahun 1992, ada pemutihan SBKRI bagi orang-orang Cina dan langsung menjadi warganegara Indonesia asal orang-orang Tionghoa tersebut memilih Golkar,” cerita Gondomono. Mona Lohanda, penulis buku “Growing Pains” sependapat dengan Gondomono. “Saya setuju jika istilah pri dan nonpri dihapus saja. Kita kan sudah jadi bangsa Indonesia seutuh-

nya, apapun suku dan agamanya. Kenyataannya, tidak semua orang Tionghoa kaya dan jadi konglomerat atau jadi pengisap darah rakyat. Masih banyak orang Tionghoa melarat dan miskin di Tangerang (dikenal istilah Cina Benteng) dan menjadi petani serta nelayan di Singkawang, Pontianak dan Bagan Siapi-api,” ujar Mona. Juga, lanjut Mona, di bidang apapun, dari politik, hukum, budaya dan olahraga kita kenal banyak tokoh orang Tionghoa yang harum namanya dan membuat prestasi bagi nusa dan bangsa. “Ada Lie Tek Tjeng, Yap Thiam Hien, Soe Hok Gie (difilmkan dengan judul “Gie” oleh Riri Riza), Oyong Peng Koen (PK Oyong, pendiri harian Kompas) sampai Kwik Kian Gie, Rudy Hartono dan Teguh Karya,” katanya. Di zaman globalisasi, sudah sepatutnya prasangka anti-Cina dibuang jauhjauh. Prasangka historis ini sengaja diciptakan oleh kolonial Belanda yang memisah dan memilah bangsa Timur Asing kelas dua seperti Cina dan bangsa nomor satu Eropa yang beradab Belanda, Inggris, dll. Bangsa pribumi Indonesia sendiri acap disebut hanya menjadi kelompok paling bawah, tertindas dan melarat. Dulu ada kelompok Pecinan dan Kampung Arab, bahkan kapitan Cina yang sengaja dibuat eksklusif menjadi warga berpendidikan. Zaman kini, setelah Indonesia merdeka dengan falsafah Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika, seyogyanyalah dipertanyakan “kontribusi apa yang diberikan orang Jawa, Bali, Batak, Ambon, Papua, Padang, Tionghoa, Arab dll kepada negara”. Jangan katakan “apa yang sudah diberikan negara kepada Anda”. Itu dikatakan JF Kennedy, presiden AS yang menolak adanya perbedaan ras dan etnis. ipik tanoyo

Komedi Olok-olok Cerdas Aristrokrat Inggris Oleh Sunaryono Basuki Ks di Undiksha, di Faksas Unud, di Negara dan juga di Galeri Nasional Jakarta, hingga cuplikan “Pengakuan Pariyem” (Linus Suryadi). Kebanyakan pementasan Hardiman didukung mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris. “The Importance of Being Earnest” adalah sebuah komedi tingkah laku yang mengolok kehidupan aristokrasi Inggris. Komedi ini cenderung berkutat soal koda dari kelas menengah dan tinggi, dan sering ditandai dengan kecerdasan dan yang anggun serta rumit. Di Inggris, karya Shakespeare “Loves Labours Nest” dan “Much Ado Abouty Nothing” sering dianggap komedi tingkah laku. Dan Wilde menghidupkan kembali komedi jenis ini pada waktu yang tepat sebab dia menulis untuk penonton yang jarang ada setelah Perang Dunia I. Karya-karyanya yang digolongkan komedi ini adalah “Lady Windermeres Fan”, “A Woman of No Importance”, “An Ideal Husband” dan “The Importance of Being

Earnest”. Kekonyolan Aristrokrat Tersebutlah di sebuah flat Algernon Moncrieff (dimainkan Rika Pramana Putra) di kawasan mewah West End di London, yang menunggu kedatangan bibinya Lady Bracknell (Tanty Kusuma Dewi) dan puterinya Gwendolen Fairfax (GAYulia Wulandari). Namun Jack Worthing alias Earnest (I Gede Primantara) datang lebih dulu. Penonton langsung dibuat terpingkal-pingkal disuguhi permainan Rika yang sok pintar dan Primantara yang agak dungu, ditambah dengan kegenitan Tanty serta Yulia Wulandari, dua perempuan bangsawan yang penuh gaya. Gaya bicara mereka yang serba bangsawan dengan kualitas vokal prima membuat penonton yang memenuhi aula terpingkal-pingkal. Bukan sekadar banyolan sebagaimana dibawakan dalam comedy of humours yang mengandalkan gerakan lucu, namun benarbenar teks yang menggelitik yang mengajak orang tertawa.

Ternyata Gwendolen dan Earnest segera jatuh hati, dan alasan konyol Gwendolen untuk jatuh cinta lantaran Jack juga bernama Earnest. Jack melamar Gwendolen, namun Lady Bracknell tak serta merta memberi restu. Lebih dulu dia mewawancari Earnest mengenai hal-hal lucu seperti apakah dia merokok, berpengalaman dalam rumah tangga atau tidak, punya harta dan simpanan, dan keturunan siapa. Lucunya, Earnest mengatakan bahwa dia tak tahu anak siapa, dan dia hanya ditemukan di dalam sebuah tas yang ditinggalkan di Victoria Station di London. Kekonyolan terjadi di babak kedua saat Algernon bertemu dengan Cecily (Nengah Suparmini) dan mengaku sebagai Earnest, serta melamarnya. Rupanya yang bernama Earnest dalam catatan Cecily pernah melamarnya dan meninggalkannya. Mereka pun berniat bertunangan. Lebih konyol lagi saat Cecily dikunjungi Gwendolen yang mengungkap bahwa dirinya akan bertunangan dengan Earnest dengan menunjukkan bukti masing-masing di dalam buku catatan mereka. Mereka pun bertengkar sampai Jack tiba.

Jack dikenal oleh Cecily sebagai Uncle Jack. Jack tentu saja membantah mau bertunangan dengan Cecily. Syukurlah muncul Algernon yang segera digaet oleh Cecily dan dinyatakan sebagai Earnest, adik Jack Earnest. Pada babak terakhir baru terungkap siapa Earnest sebenarnya setelah muncul Miss Prism yang diingat oleh Lady Bracknell yang pernah dititipi bayi. Miss Prism (Ni Luh Witari) yang suka membaca ternyata menaruh bukubukunya di dalam kereta bayi dan menaruh bayi di dalam tasnya yang kemudian ditinggalkan di Victoria Station. Konyolnya, mengetahui fakta ini, Jack memanggil Miss Prism sebagai Ibu dan berkeras untuk tak merasa malu mengakuinya sebagai anak, apapun yang telah terjadi. Barulah dia mengatakan bahwa dia tidak menikah dan Jack adalah putera Earnest John Moncrieff, dan Jack adalah kakak kandung Algernon. Komedi ini disutradarai oleh Mega Susanti yang bekerja keras menjadikan komedi ini olok-olok cerdas untuk kaum aristrokrat Inggris. Saat menyiapkan pemen-

BPM/ole

DRAMA - Pentas drama “The Imnportance of Being Earnest” karya Oscar Wilde oleh mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris, Fakultas Bahasa dan Seni (FBS) Undiksha Singaraja, Sabtu (17/1) lalu. tasan ini, nampaknya mereka menyaksikan film “The Importance of Being Earnest” dan mencari di internet fotofoto pementasan komedi itu sehingga dengan tepat dapat meniru set komedi itu serta

kostum pemainnya. Namun, tanpa kerja keras dan bakat yang luar biasa tak mungkin lima aktor dan aktris pemula itu dapat membawakan komedi ini dengan sempurna. Lagak dan gaya aristrokrat

Inggris itu sudah meresap dalam jiwa mereka dan dengan encer dapat tampil begitu saja. Bravo! Penulis adalah pensiunan guru besar kuliah drama


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.
Bali Post - Minggu, 25 Januari 2009 by e-Paper KMB - Issuu