Bali Post - Minggu, 24 Mei 2009

Page 5

16

Minggu Paing, 24 Mei 2009

TRUNYAN... (Taru - Menyan)...

Dan Bangli Tanpa Laut...

DI DESA Trunyan, yang terletak tersembunyi di salah satu tepi danau Batur, belasan tahun silam saya melihat sebuah tengkorak manusia yang diletakkan di atas sebuah batu dekat undak-undakan pada jalan masuk ke kuburan khusus orang dewasa. Di tengkorak itu pengunjung meletakkan uang yang menurut lelaki pengantar disebut contribution. Saya masih ingat ketika itu, kesan seram yang ditampilkan oleh tengkorak dan beberapa mayat yang rebah di tanah dinetralisir oleh istilah contribution dan sejumlah uang yang tergeletak di tengkorak itu serta ocehan lelaki pengantar itu. Hanya saja saya tidak ingat apakah ketika itu saya bersyukur karena netralisasi dengan cara seperti itu akhirnya membuat perasaan saya biasa-biasa saja. Tidak seperti bayangan sebelumnya bahwa saya akan memasuki suasana yang jauh berbeda dengan suasana sehari-hari. Sampai saat ketika tulisan ini saya ketik, saya tidak pernah lagi datang ke Trunyan. Saya tidak tahu bagaimana Trunyan saat ini. Namun saya yakin Trunyan telah banyak berkembang dan berubah. Barangkali tengkorak itu masih ada di sana. Barangkali tidak. Tapi kesan tentang tengkorak dan istilah contribution itu masih ada di sini, di dalam memori saya. Selama belasan tahun saya tidak ke Trunyan, saya sempat datang ke berbagai tempat di dalam dan di luar Bali. Tanpa saya rencanakan hampir di berbagai tempat itu saya berkesempatan mengulang pengalaman di Trunyan itu. Misalnya, saya mengunjungi tempat penyimpanan mumi, pengawetan mayat, bertemu rombongan orang yang mengemis dengan menggunakan tengkorak sebagai mangkok, kawasan kuburan yang tempat menaruh mayat-mayat dibuat seperti rumah susun dengan puluhan ribu kamar-kamar kecil seukuran tubuh manusia, dan sebagainya, dan seterusnya. Sudah tentu pengulangan pengalaman itu terjadi dengan cara berbeda karena situasi dan kondisi. Sudah tentu pula saya mencerna pengulangan pengalaman itu dengan pandangan dan pemahaman yang tidak sama. Karena seperti halnya Desa Trunyan, saya pun berkembang dan banyak berubah. Tapi saya sebut itu pengulangan karena ada satu prinsip yang sama pada semua pengalaman itu. Prinsip yang sama itu adalah: tarik menarik antara persepsi seram yang ada dalam pikiran dengan kenyataan biasa-biasa saja. Tarik menarik antara dua kekuatan itu ternyata dimenangkan oleh kenyataan yang biasa-biasa saja itu. Saya sadar pengalaman dan pemahaman atas pengalaman itu sifatnya san-

DAN BANGLILAH tanpa laut. Seperti Switzerland di Eropa yang juga tidak punya laut. Bukan lautnya yang penting, tapi karena tidak punya laut maka Bangli seperti dikurung oleh kabupaten lain dari semua penjuru, kecuali atas dan bawah. Begitu pula nasib negeri Switzerland. Bukan keadaan terkurung itu yang penting, tapi posisi geografis itu menyebabkan Bangli bisa dengan mudah mengambil pengaruh dari luar. Misalnya, pengaruh budaya. Switzerland telah membuktikan hal itu. Negeri kecil itu mempergunakan bahasa-bahasa negeri tetangga sebagai bahasa sehari-hari baik dalam hubungan formal maupun tak formal, seperti bahasa Vlaams (Belgia Selatan), bahasa Jerman, bahasa Perancis, bahasa Italia. Dan Switzerland pun membuktikan bahwa terkurung tanpa laut itu bukan sebuah kelemahan, tapi kekuatan, kelebihan, strategis, modal penting untuk sebuah diplomasi budaya, ekonomi, dan politik. Itulah identitas. Berbeda tetapi khas. Itu pulalah potensi Bangli. Orang-orang Bangli berpotensi membalikkan keterkurungan geografis menjadi pusat sebuah lingkaran budaya, politik, dan ekonomi, pendidikan, dan seterusnya. Karena terkurung berarti berpeluang untuk ke luar melalui semua sisi. Atau, semua sisi adalah pintu. Setiap jalan ke luar adalah dengan sendirinya juga jalan masuk. Tak beda dengan pikiran dalam otak Cintamani (Kintamani) itu. Pikiran itu keluar dan masuk melalui jalan yang tidak berbeda. Yang masuk melalui mata (apa yang dilihat) setelah menjadi bagian dari isi pikiran, akan keluar juga melalui mata (pancaran sinar mata). DAN BANGLILAH tanpa laut. Tapi tentang laut ada ucapan seperti berikut ini. ‘’Laut itu indah jika dikunjungi, dan bisa kehilangan keindahannya manakala dimiliki.’’ Kita tidak tahu apakah ucapan itu benar atau sangat benar. Tapi ada satu metafora yang mendukung ucapan itu, yaitu metafora seekor katak dan kumbang. Katak merasa memiliki telaga, karena ia turun-temurun berumah di sana, bahkan lahir di sana. Tapi ia tak bisa mengapresiasi keindahan telaga dan terutama bunga tunjungnya, sedangkan seekor kumbang yang datang dari jauhlah yang tahu bagaimana mengisap sari bunga. Kita tidak hendak menilai apakah metafora ini relevan atau sangat relevan, karena kita tidak hendak menjadi juri atas katak dan kumbang dalam hubungan telaga. Tapi memang sering terbukti, misalnya, seorang wisatawan yang rumahnya jauh dari laut dan hanya sekali-sekali pergi ke laut, bisa bercerita banyak tentang laut. Dan ceritanya sering benar, indah dan menarik. Berbeda dengan petani rumpuh laut yang setiap hari bahkan tubuhnya berendam di asin air laut, tapi jarang dan hampir tidak bercerita tentang laut. Jadi, soal memiliki atau tidak memiliki adalah penjelasan lain tentang konsep jarak. Untuk mampu melihat, mendengar, memahami, dan kemudian bergerak, dibutuhkan adanya jarak. Dan itulah salah satu kelebihan dari keadaan tidak memiliki. Contoh ekstrimnya, orang kaya nampak punya kekurangan ketika berbicara tentang miskin. Tapi orang miskin seperti punya kelebihan ketika berbicara tentang kaya. Karena itulah Bangli yang tidak memiliki laut akan melihat lebih banyak dan lebih tajam lagi peluang-peluang bukan laut pada dirinya. DAN BANGLILAH tanpa laut. Tapi dalam ajaran yang melahirkan konsep Cintamani (‘permata pikiran’) disebutkan tidak hanya ada satu dari tujuh jenis laut (sagara) di jagat ini. Atau, laut

Seperti Magnet, Kedua Dunia Itu Tarik-menarik...

Esha Tegar Putra P E R I M B A lelaki perimba tiba dari basah selatan membesuk ingatan yang tertinggal mirip getah damar atau ingin menurunkan kapal yang disangkut dulu di batang besar? ah, hebatnya kenangan bermain di sela-sela jari, di bungkahan dada berisi ia lelaki yang menari dalam jambangan berkumur pedas tembakau hutan dengan merah gigi, dengan merah bibir yang disumbat gelungan daun nipah ia menjadi si pembakar diri dalam sebuah perhelatan yang dinamai pinangan: adakah yang datang selain beruk mungkin juga celeng yang tersungkur di lubang galian? ia perimba yang ingin lindap di kerumun belukar dulu telah disuruh menanam cempedak biar bisa digulai orang sekampung malah menjuluk bebuah masam yang condong ke parak orang

■ CERPEN AKU lebih suka menopang dagu dan memandangnya dari tempatku duduk. Memperhatikan senyum yang terpancar ketika ia berhasil menangkap kupu-kupu. Aku cukup duduk di sini, sedang ia bermain dengan rumput dan bunga-bunga musim semi, berlari-larian, dan angin yang lirih memainkan helai rambut hitamnya. Tak ada laba-laba yang membuatnya takut, hanya saja di antara dahan mangga, jaring-jaringnya berkilauan memantulkan cahaya jernih. Ia menyentuh sisa-sisa embun yang terperangkap di situ, lalu kembali berlari memanggil-manggil burung yang sedari tadi berputar di atas kepalanya. Ia menyelinap ke dalam semak setinggi lutut lalu keluar dengan kaki dan lengan yang dipenuhi lumpur cokelat tua. Langit yang sedari tadi bewarna biru kini digenangi cahaya jingga dan matahari mulai membenam, di arah barat, tempat kerangka beton yang dibangun untuk sebuah gedung berlantai 20. Kudengar lahan beberapa hektar itu akan dijadikan kompleks pertokoan. Aku mengajaknya pulang sebelumnya hari benar-benar gelap. Dengan menjanjikan es krim vanila, aku menggandeng tangannya. Ia menoleh ke belakang, pada jejak yang dibentuk oleh kaki kami yang menginjak lumpur. Apa yang kira-kira ia pikirkan tentang matahari tenggelam dan hari yang jadi malam? Pak Anwar tengah menungguku di ruang tamu. Aku memang berjanji akan segera menemuinya tapi tidak secepat ini. Pak Anwar dikenal sebagai seorang kontraktor yang berasal dari desa seberang. Ia datang untuk membicarakan masalah tanah. Ketertarikannya untuk membeli tanah

gat pribadi. Saya maklum bahwa pemahaman atas pengalaman ini tidak mewakili apa pun kecuali mewakili diri saya sebagai orang yang mengalami dan terus berusaha memahami. Jadi sama sekali tak bisa dikatakan bahwa tarikmenarik antara dua kekuatan tersebut, di tempat berbeda dan melibatkan orang lain, akan dimenangkan oleh ‘’kenyataan yang biasi-biasa saja’’ itu. Walaupun saya juga pernah mendengar perkataan orang banyak dan orang kebanyakan bahwa belakangan ini sudah banyak sekali hal-hal yang sebelumnya dipandang sakral sekarang menjadi ‘’biasa-biasa saja’’. Tapi terus terang saja saya belum tahu apakah publik mensyukuri perubahan ini atau hatinya jujur merasa kehilangan, atau juga merasa biasa-biasa saja. Saat ini ketika saya ngetik, pagi-pagi, saya tidak sedang berada di Trunyan. Tapi saya merasa Trunyan ada di dalam pikiran saya. Baik dalam pikiran maupun dalam perasaan, saya merasa biasa-biasa saja. Dan saya tidak hendak mencari sebab musabab mengapa saya merasa biasa-biasa saja. Karena saya sudah tahu, bahkan sejak dulu saya sadar, bahwa saya adalah manusia sehari-hari yang biasabiasa saja. Hal yang tidak bersifat seharihari, yang tidak biasa-biasa saya konsumsi dari sastra. Misalnya, yang relevan dengan topik ini, satu fragmen dalam kisah Sutasoma. Ketika Sutasoma menunggalkan apa yang disebut Tri Jnana Shunya keringatnya menetes dari dahi dan jatuh ke tanah. Bumi pun berguncang. Dari dalam bumi muncullah Dewi Widyutkarali (= shaktinya bumi) yang berpenampilan seram seperti Bhairawi yang tinggi, besar, perut buncit, taring tajam, mata merah mencorong dan di tangannya memegang sebuah tengkorak manusia berwarna putih. Dan seterusnya. Cuplikan kisah di atas bukanlah peristiwa sehari-hari, karena itu adalah sastra. Tapi yang namanya sastra tidak berhenti sampai di sana saja. Mengkonsumsi sastra adalah sebuah pengalaman. Ketika kita berjuang untuk memahami pengalaman ‘’membaca’’ itu, kita tanpa sadar sedang menciptakan satu ‘’dunia’’ yang berbeda dengan dunia sehari-hari. Dunia baru itu lama kelamaan ada dalam kesadaran, bahkan bawah sadar kita. Dunia baru itulah yang sering tanpa sadar kita proyeksikan ke dalam dunia sehari-hari. Seperti magnet, kedua dunia itu tarik-menarik. Dunia yang mana menang tergantung pengalaman dan pemahaman pribadi. Di Trunyan saya pernah gagal menyambung keduanya. IBM. Dharma Palguna

Para Pemimpi... ANEKA WARNA yang ceria, bahwa pelangi dari suatu negeri yang jauh, dengan surat-surat biru penuh pesan cinta rahasia dari para pemimpin yang gemar bernyanyi. Senandung mereka sampai di sini, mengetuk haru jendelaku, menggurat dinding kamarku dengan irama yang menggoda, menggoda diri ini turut bernyanyi, menari berputar, melayang dalam putaran waktu yang tak menentu. Para pemimpi

Menoleh (Melangkah) Disana Ada Cintamani...

Radite Wage-Dasawijaya Peretas Jalan

PRASASTI KEHEN yang menyebutkan tentang Kramani Bangli’ ditandatangani pada Radite Wage Krulut, Tithi Dasami Suklapaksa 1126 Isaka. Berdasarkan perhitungan kalender pawukon Radite Wage Krulut Tahun 1204 Masehi, jatuh pada 9 Mei 1204, tetapi Damais-seorang ahli sejarah menghitung pada 10 Mei 1204, dengan menggunakan perhitungan Tithi Dasami Suklapaksa Waisaka 1126 Isaka. Perhitungan tahun yang digunakan Damais adalah perhitungan SakaIndia, dimana Waisaka jatuh pada bulan Mei, sedangkan pada perhitungan kalender Bali, Waisaka jatuh pada bulan April. Berdasarkan perbandingan perhitungan pawukon dan perhitungan tithi yang dilakukan Damais, perhitungan Waisaka 1126 yang digunakan pada prasasti merupakan perhitungan kalender Hindu-India, yang kini menjadi perhitungan Hindu internasional-bahkan juga digunakan umat Buddha yang menetapkan Purnama Waisaka jatuh pada bulan Mei. Tetapi ada perbedaan satu hari antara perhitungan pawukon dengan perhitungan tithi yang digunakan Damais, yakni pawukon pada 9 Mei, sedangkan tithi pada 10 Mei. Pemerintah Kabupaten Bangli memilih 10 Mei sebagai peringatan hari lahirnya Kota Bangli, padahal perhitungan tithi seringkali meleset satu hari, karena faktor rumus tithi ksaya - pengalian’ (pengurangan hari) dalam Bahasa Bali. Rumus ini seringkali berubah pada setiap zaman. Sedangkan ‘’pawukon’’ lebih pasti dalam perhitungannya, sehingga pertemuannya dengan tanggal masehi senantiasa tepat. Tetapi peringatan pada 10 Mei juga bisa dikatakan tepat karena pada masyarakat Bali juga dikenal istilah ngemanisin (peringatan pada esok harinya). Hari kelahiran Kramani Bangli ini, yakni Radite Wage dan Pananggal (Suklapaksa) 10 Waisaka patut menjadi perhatian. Radite Wage menyiratkan makna sebuah energi sakti. Radite adalah kekuatan matahari, sedangkan Wage adalah kekuatan air (perlambang Wisnu). Sinar matahari dan air adalah energi penting pada setiap mahkluk hidup. Kedua hari ini melambangkan semangat dan kehidupan. Jadi, Radite Wage adalah semangat dan kehidupan masyarakat Bangli itu sendiri. Tanpa semangat, tidak mungkin ada kehidupan, demikian pula sebaliknya. Pananggal (Suklapaksa 10) merupakan simbol penting dalam khazanah Hindu. Umat Hindu memperingati hari kemenangan (wijaya) selama 10 hari (Wijaya Dasami). Hari kesepuluh, disebut dengan yang tak henti bernyanyi. Menyamarkan gugup tangan yang gemetar, kaki yang menyentak pelan dalam irama yang melenakan. Para pemimpi, kawan yang menidurkan dalam nyanyian membiarkan lupa pada angan akan suaramu bercerita. Taman-taman perdu, gaun-gaun merah jambu, surat-surat tak terbalas, di mana kini semua itu. Aku si pemimpin yang tak jemu bernyanyi. Menari berputar, tenggelam dalam riak nada pelan menghanyutkan. Aku si pemimpi, bermimpi kau bercerita tak henti.

run silent..., run deep.... in the long long run, sail along SMSoliloquy

Coming on Age in Balidwipamandala ... 16 Agustus 2008

16 Agustus 2010

maka jelajahlah Map - Mind Anda....

Dari Bali yang Selalu Hadir untuk Bali yang lebih Mengalir how low (local-wisdom) can we go to silent- recovery (SR) BANGLI Mei BULELENG Juni JEMBRANA Juli KARANGASEM Agustus BADUNG September BULAN BAHASA Oktober SP TABANAN November IBUNDA SR Desember GIANYAR Januari DENPASAR Februari SINGARAJA Maret KLUNGKUNG April Reuni Apresiasi BPM di Jantung Bali Utara KE-BALIBULIAN KEMBALI KEPERAYAKAN MAHARAYA NYEPI Tabik Pakulun Kesaksian dalam Balutan Kiblat Kenangan SELASA Kliwon 16 Juni 2009 di Ruang Seminar FBS - Undiksha jalan Ahmad Yani 67 Singaraja. Pagihari untuk SMP-SMA-SMK-sederajat berikut ibu-ibu dan pak guru. SORE dan malam hari untuk Mahasiswa/Mahasiswi dan Umum pecinta Apresiasi. InfoNONSTOP kring - 0362 - 25288 - 08123 - 966-200 - De-Wanda group Panca Damsha dkk.

Cita-cita Pembebasan

‘’Kuningan’’ (keemasan atau kemuliaan). Kemuliaan adalah buah daripada semangat dan kehidupan. Jika tidak ada semangat dan keberlangsungan kehidupan, tidaklah mungkin mencapai kemuliaan. Jadi, ada unsur ‘’wijaya’’, yang berarti kemenangan dalam penentuan hari kelahiran ini. Waisaka yang merupakan bulan kelahiran Bangli, adalah bulan penuh anugrah. Siddharta lahir pada bulan ini. Dalam mitoloogi Hindu, Waisaka berarti lengan kasih. Pada bulan ini, Tuhan konon memberikan anugerah pencerahan. Siddharta mendapatkan pencerahan pada bulan ini. Para yogi lainnya juga banyak mendapatkan pencerahan pada bulan ini. Karena bulan Waisaka adalah bulan yang penuh sinar. Matahari sedang bergerak ke utara katulistiwa pada bulan ini. Daerah-daerah Hindu, yakni Asia Tenggara dan India sedang memasuki musim panas yang menyenangkan. Bunga-bunga sedang tumbuh pada bulan-bulan ini, sehingga masyarakat banyak menggunakannya sebagai hari baik untuk perkawinan, bahkan hari baik untuk pesta, atau upacara persembahyangan. Pertemuan antar manusia atau pertemuan antara manusia dengan Tuhan, merupakan persekutuan yang membahagiakan sepanjang waktu. Sebab dalam pertemuan seperti itulah, cinta-kasih mengalir. Para Rsi yang bertemu dengan Tuhan, pasti memancarkan cinta kasih. Demikian juga orang-orang yang mau berdialog dengan sesamanya, pastilah memancarkan cinta kasih. Jadi, hari kelahiran Bangli mengandung unsur semangat, kehidupan, kemuliaan dan kasih sayang. Semua ini adalah dharma, artha, kama dan moksha yang menjadi empat tujuan hidup manusia dalam Agama Hindu. Keempat tujuan hidup tersebut bernama Catur Purusha Artha. Dharma adalah semangat mulia, artha adalah kehidupan yang mulia, kama adalah kasih sayang dan moksha adalah pencapaian kemuliaan. Semua itu adalah cita-cita kehidupan. Walaupun itu senantiasa jauh, namun manusia tidak boleh berhenti untuk bercita-cita. Shri Adi Kunti Ketana adalah raja yang mengajarkan masyarakatnya untuk bercita-cita. Beliau adalah pertapa yang telah menorehkan cita-cita kehidupan dalam batu tertulisnya. Beliau tidaklah penguasa yang telah banyak mengubur cita-cita manusia. Beliau adalaah pembuka jalan kebebasan, yang membuka cakrawala berpikir setiap manusia. Ini adalah pelajaran betapa kekuasaan mestilah diabdikan untuk pembebasan. Sebab kekuasaan-walaupun tidak diabdikan untuk kebebasan tetap juga tidak akan langgeng. Dengan demikian, alangkah indahnya manakala kekuasaan yang tak langgeng itu, bisa menjadi peretas jalan bagi cita-cita pembebasan. I Gede Sutarya KUTEMUKAN lagi sebentuk wajah yang membayang di sampingku. Dan kutemukan kau di antara segala rindu yang tak mau menunggu. Tiada akhir yang sempurna. Maka sedari awal kukatakan pada diri bahwa suatu saat semua akan pergi, lalu tinggal aku dan waktuku sendiri. Yang datang kali ini adalah daun daun gugur yang tergeletak sempurna, lalu seorang bocah kecil memungutnya satu-satu, dan memasukkannya ke saku. Dia melambai pada seorang yang bisu di sudut taman itu. Menengadahkan wajah seolah ingin bersapa pada sesuatu di atas sana. Tapi hanya langit yang sungguh diam, yang tak ingin menjawab. KESUNYIAN tidak pernah menepi seperti sampan kecil di lautan dalam. Ia tak mengenal pesisir juga gadis pantai yang duduk sendiri di atas gugusan karang. Kini aku berlarian di dalamnya. Seperti gasing yang berpusing, namun tak tahu bagaimana menghentikan putranya. Dan tempat yang kubayangkan mungkin hanya kesiasian. YA, TINGGAL AKU dan waktuku sendiri. Mengembara, menyusur jalan jalan tanpa penanda. Namun selalu, gelisah itu hadir dalam langkahku. Meski berkali pasrah, mencoba melepas hari yang tak pasti. Entah karena aku cuma pemimpi yang terikat sepi atau karena aku seorang diri

Adikku dan Kupu-Kupu Oleh Rainia Rastiti yang merupakan warisan kedua orangtuaku itu membuatku tak berdaya. Dan pikiran bahwa gedung supermarket setinggi puluhan meter akan segera dibangun di situ menimbulkan perasaan muak yang tak kumengerti. Adikku masih menikmati es krim vanilanya ketika kubuka pintu dan kusapa Pak Anwar yang tengah menyeruput kopi. Kucoba menutupi keenggananku dengan menjabat tangannya dan berusaha bersikap ramah. Ia benar-benar tahu senyumnya itu, yang kini ditunjukkan dengan begitu jelas padaku, mengisyaratkan bahwa ia adalah orang yang tak segan melakukan apapun untuk memperoleh keinginannya. Aku merasa ngeri membayangkan apa yang akan ia lakukan jika aku menolak menjual tanah itu. Namun, selama beberapa hari ini aku belum mendapat alasan yang cukup masuk akal untuk mempertahankan tanah itu, selain tawa riang anak-anak yang sering bermain bola, serta kegemaran adikku mengejar kupu-kupu di taman berbentuk lingkaran yang berada di tengah-tengah tanah yang dijadikan lapangan sepak bola oleh anak-anak setempat. Uang yang kuperoleh tentu saja dapat kugunakan untuk keluar dari kota ini, menuju suatu tempat di pelosok desa bersama adikku sambil tetap menulis. Tapi, apakah aku dapat melupakan anak-anak yang saban sore selalu berkunjung ke rumah dan minum es jeruk bersama mereka? Kunjungan singkat Pak Anwar berakhir. Ia beralasan harus segera keluar kota malam ini karena mandat langsung dari sponsornya. Tapi aku sama sekali tak peduli dengan

semua itu. Aku senang ia segera pulang. Semakin lama bersamanya, aku seperti menghabiskan seluruh tenaga untuk mencoba bersikap seramah mungkin. Ketika aku mengantarnya keluar rumah, hari benarbenar telah gelap dan lampu di jalan pun menyala. Sekelompok anak berdiri di depan rumahku, membawa bola penuh lumpur. Aku mengajak anak-anak masuk untuk minum es jeruk bersama, tapi mereka menolak, tidak seperti biasanya. Aku tak tahu bagaimana harus membalas pandangan mereka. Aku pun tak menemukan kata-kata yang tepat untuk mereka. Yang mereka tahu saat ini adalah mereka akan kehilangan tempat bermain, satu-satunya yang mereka miliki di tengah hiruk pikuk kota ini. Panggilan adikku, Adit, membuyarkan lamunanku. Anak-anak itu juga telah menghilang di tikungan namun bau keringat mereka masih memenuhi udara. Suatu ketika adikku terserang demam tinggi. Ia mengigau semalaman. Aku tak mengerti yang ia katakan. Kadang ia mengucapkan kata kupu-kupu berulang lalu memanggil Ibu. Setelah tak berhasil menurunkan suhu tubuhnya dengan mengompres keningnya, aku mulai kelelahan dan memanggil taksi untuk mengantarkan kami ke rumah sakit. Dr. Budi yang menangani adikku, menunjukkan raut muka yang tak bisa kujelaskan. Ia mengajakku ke kantornya. Aku tak dapat merangkai kata-kata dokter itu menjadi suatu kalimat bermakna. Yang kuingat adalah kata operasi, kepala, tumor, lumpuh, dan kata-kata itu terus menerus berulang memenuhi ruang di kepalaku. Di kamar pasien, aku beru-

saha menahan rasa sakit di kepalaku, lalu tertatih menuju ruang rawat adikku. Untuk pertama kalinya aku tak dapat menahan tangis. Seakan segala kepedihan yang kurasakan sejak lama telah menjadi mendung dan kini jadi hujan deras yang begitu menyesakkan. Pandanganku begitu buram. Operasi pun akan dilaksanakan dua minggu kemudian. Selama itu, aku begitu tersiksa melihat betapa lemahnya adikku. Perasaan itu bahkan tak sama dengan ketika aku menunggui kedua orangtuaku dulu. Sepanjang hari aku membacakan komik kesukaannya sebab ia selalu merengek ingin bermain

yang tak mampu lari dari hari-hari lalu yang gegas pergi dari batas mataku. Tarian ini berputar, selalu demikian. Nyanyian ini mengalun, membawa hangat sejenak yang mirip dirimu. Tapi terlampau jauh kini. Sebab hanya ada aku dan waktuku sendiri.

NPS Rainia Rastiti

di taman. Pernah suatu kali karena kehilangan kesabaran aku membentaknya ketika ia ingin berjalan-jalan di luar. Setelah itu, aku menyesal dan seharian aku minta perawat menemaninya karena tak sanggup mendengar tangis kesakitan dan keinginannya mengejar kupu-kupu di taman. Sudah kuputuskan untuk menjual tanah itu. Aku berencana membeli sebuah rumah di pinggir pantai. Kupikir dengan seluruh tabungan, pasti akan cukup. Setelah operasi aku akan membawa adikku pergi bersama segala kenangan menyedihkan di dalamnya. Meski aku tahu aku akan sangat merindukan anak-anak yang kerap bermain di lapangan dan berkunjung ke rumah untuk minum es jeruk bersama, aku tetap harus mengambil keputusan ini. Ketika pulang dari rumah sakit, aku melewati lapangan. Tak ada suara anak-anak yang biasanya bermain saban sore seperti sekarang. Panggilan seorang anak menyadarkanku. “Kak, di taman ada banyak ulat, mereka menghabiskan daun-daun, sampai-sampai banyak pohon yang gundul,” suaranya terbata-bata. “Maaf, dik. Kakak harus cepat-cepat pulang lalu kembali ke rumah sakit. Adit kan sedang nunggu kakak di sana,” kataku. Sejenak anak itu menganga. “Ah, kak. Kalau pohonnya habis, Adit bisa sedih. Tapi, teman-teman tak berani membunuh ulat-ulat itu, Kak.” Mendengar ucapannya aku terhenyak. Mereka begitu tulus. Aku berusaha menahan perasaan, lalu menyetujui ajakannya melihat ulat-ulat itu. Sesampainya di sana, aku lihat sekumpulan anak memandang nanar ke arah pohon yang daun-daunnya, seperti yang mereka katakan, telah habis dimakan ulat-ulat itu. Seorang dari mereka mendekat ke arahku, “Kak, maaf ya. Mestinya kami jaga taman ini untuk Adit.” Aku terharu, “Adik-adik, ulat ini tidak jahat. Mereka makan daun-daun pohon agar bisa menjadi kupu-kupu.”

yang tidak dimiliki Bangli itu hanya salah satu dari tujuh jenis lautan (sapta sagara) yang diperuntukkan oleh alam kepada makhluk-makhluk yang berpikir dan berbudi. Yang tidak dimiliki Bangli hanyalah lautan asin (lawana). Masih ada enam jenis lautan yang lain menurut Kitab Cintamani , yaitu lautan susu, lautan mentega, lautan minyak, lautan gula, lautan anggur, dan lautan gajih. Walaupun masih ada lautan yang lain, seperti lautan padang pasir (sagara wedi) misalnya, tapi sejatinya permasalahannya memang bukan laut, bukan soal memiliki atau soal tidak memiliki. Tapi, bagaimana Cintaman’ itu benar-benar ada di Bangli seperti Kintamani itu. Maka, sekali lagi, orang Bangli harus berdiri di Panelokan hati dan Panelokan Pikiran sehingga akan melihat apa yang ada dan apa yang bisa diadakan. DAN BANGLILAH tanpa laut. Tapi justru di Bangli, di kompleks Pura Batur, ada Pura khusus untuk Bathara Cina, yaitu Bathara dari seberang lautan. Menurut cerita sejarah, para pelaut Cina pada mulanya datang ke Bali melalui laut Buleleng. Mereka membawa barang-barang keramik seperti piring, gelas, mangkok, guci dan kain-kain sutera yang bagus-bagus sebagai persembahan kepada raja-raja, dan pasti juga sebagai barang dagangan. Tapi mengapa justru di Bangli ada monumen interaksi budaya antara manusia laut dengan manusia tanpa laut itu? Jawaban yang paling relevan adalah karena leluhur orang Bangli yang tidak punya lautan itu mengetahui bagaimana berinteraksi dengan kebudayaan dari seberang lautan. Dan sampai sekarang pun dapat kita lihat bahwa keturunan dari leluhur itu, yaitu orang-orang Bangli modern, juga tahu bagaimana menjaga interaksi budaya itu dengan menjadikannya sebagai bagian dari kehidupan mereka. Secara ekstrem dapat dianalogikan seperti ini: seorang perempuan tidak perlu menjadi laki-laki hanya untuk mengerti laki-laki. Kita tidak perlu menjadi orang lain untuk mengerti ‘’orang lain’’. Bangli tidak perlu menjadi Denpasar atau New York bila ingin menjadi tempat ke mana pandangan orang menoleh dan kaki orang melangkah. Bangli paling tepat menjadi Bangli karena di sana ada Cintamani. IBM. Dharma Palguna

Kadek Wara Urwasi DI HUTAN HUJAN Kucari-cari kabut dini hari entah kemana ia bermain semenjak petang Kuturuni bukit dan kami berkejaran di antara jejaknya, di hutan hujan Terkadang derainya menghilang terlalu cepat seperti bunga belum sempat mekar melayu, penuh kesedihan Kemanakah pula, daun-daun menghilang apakah mereka turut formasi burung layang di musim ini sayap ingin mengepak, kembali ke utara Bukankah rimbunnya yang memberi teduh tangannya yang memberi hidup sinarnya yang menghangatkan kau yang masih kanak dan durhaka mengapa tak menjawab naluri? Mereka menangis sebab terasing padahal cintanya mendalam bening Mungkin aku harus berlari lagi berbalik arah, ikut awan dan air jadi embun lalu menguap mencari berkah langit ujarnya, hujan takkan rampung Di kemudian hari, harmoni dimainkan pagi-pagi yang melodinya gemulai, membahana sana sini saat rimba usai, matahari padam

“Ah, tidak mungkin ulat jelek begini bisa jadi kupu-kupu yang cantik,” ujar seorang anak. “Ya, tidak mungkin, Kak,” kata anakanak lainnya. “Kalian lihat saja, nanti ulat ini akan jadi kepompong, lalu akan menetas jadi kupukupu.” “Wah, ajaib ya,” ujar anak-anak itu hampir bersamaan. Waktu kemudian berlalu begitu cepat. Operasi telah usai dilaksanakan, tetapi Adit terus menerus mengeluhkan kepalanya sakit. Berulang kukatakan hal itu pada dokter, namun mereka menganggap tangisan anak kecil seperti itu sebagai hal yang biasa. Aku pun tak bisa berbuat apa-apa. Tanah warisan kedua orangtuaku pun sudah terjual dan aku mencoba tidak peduli pada apa yang akan terjadi pada anak-anak itu. Lalu, meski sudah agak baikan, aku belum memperoleh kepastian kapan Adit bisa pulang. Namun, aku telah memesan sebuah rumah pinggir pantai di daerah Parangtritis. Sedikit demi sedikit kupindahkan barang-barangku. Kusewa seseorang untuk melakukannya karena aku tak tahan jika harus berhadapan dengan anakanak itu. Suatu pagi aku mendengar langkahlangkah ramai dari koridor rumah sakit ketika menemani Adit sarapan. Seseorang mengetuk pintu dan aku mempersilahkannya masuk. Ternyata anak-anak sepermainan Adit. Mereka seperti menyembunyikan sesuatu, diiringi bisik-bisik. Mereka lantas menyerahkan toples kecil bening padaku. Alangkah terkejutnya aku karena dalam toples itu ada seekor ulat kecil yang sudah mati dan kepompong yang mengering. Seorang anak berkata, “Maaf, Kak, kami tak bisa menjaga bayi kupu-kupu itu untuk Adit. Semuanya mati, soalnya pohon-pohon di taman sudah ditebang.” Penulis, Mahasiswi Ilmu Keperawatan Unud


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.