BUDAYA
Minggu Umanis, 12 Juli 2009
BUKU Kekuatan Gaya dalam Karya Judul
: Stilistika Kajian Puitika Bahasa, Sastra, dan Budaya Penulis : Prof. Dr. Nyoman Kutha Ratna Tebal : x-xi, 480 halaman Penerbit : Pustaka Pelajar Yogyakarta, 2009 HIDUP di dunia tak mungkin tanpa gaya. Dengan gaya, hidup menjadi lebih variatif. Dengan variasi, hidup menjadi lebih menggairahkan. Dengan mengandaikan bahwa sebuah karya (sastra) itu hidup, penuh daya vitalitas, sebagaimana puisipuisi Chairil Anwar, maka kekuatan gaya ikut bermain di dalamnya. Karenanya, gaya setiap genre karya sastra dari pengarang yang satu dengan yang lain dalam periode tertentu, selalu berbeda. Perbedaan gaya pengarang dapat menjadi ciri pemerlain yang bisa merangsang pembaca atau penikmat menemukan cara dan daya ungkap yang inspiratif bagi kehidupan bermasyarakat. Agar gaya yang digunakan bisa menginspirasi, pengarang perlu memahami ilmu gaya bahasa yang disebut stilistika. Dengan memahami stilistika, pengarang memiliki modal untuk mengaplikasikan rasa dan rasio ke dalam karyanya. Sampai saat ini, buku yang secara khusus membicarakan stilistika, masih sangat langka. Kelangkaan itu bagi Kutha Ratna adalah peluang yang dapat membangunkan kegelisahan akademikanya sehingga lahirlah bukunya keenam, yaitu “Stilistika Kajian Puitika Bahasa, Sastra, dan Budaya”. Sebelumnya, telah terbit lima bukunya. Secara intertekstual, keenam buku Kutha Ratna itu berhubungan satu sama lain dalam melihat sastra dari konteks sosial budaya sehingga dapat dijadikan referensi untuk membedah karya sastra dari usnur ekstrinsik tanpa melupakan unsur instrinsik. Pun dengan buku ini yang dari judulnya saja, penulis tampaknya hendak menyaturagakan bahasa, sastra, dan budaya dalam sekali hembusan napas. Hal ini logis karena sastra menggunakan bahasa sebagai medium penyampaian, sedangkan bahasa adalah salah satu unsur universal dari kebudayaan manusia menurut Kuntjaraningrat. Namun demikian, sebagai judul besarnya, buku ini memberikan porsi lebih pada stilistika dalam pembahasannya. Buku yang terdiri dari 9 bab ini, 7 bab isinya ikhwal stilistika dikaitkan dengan ilmu humaniora khususnya bahasa sastra dan budaya. Hal ini bisa dicermati dalam bab I sampai bab VIII, kecuali bab IV dan bab IX. Bab IV memfokuskan perhatian pada proses kreatif, karya sastra, dan peranan masyarakat pembaca. Sementara itu, bab IX bertajuk kesimpulan yang berisi rangkuman terhadap 8 bab sebelumnya. Lebih lanjut, buku ini berusaha mengajak pembaca keluar dari model tradisional dalam menganalis karya sastra sekaligus menemukan cara-cara berbeda dalam analisis sehingga memberikan horizon harapan baru bagi studi sastra khususnya dan studi humaniora pada umumnya. “Menemukan arah baru, sekaligus model penelitian dengan teori stilistika kontemporer, stilistika postmodern” (hal. 2). Dengan demikian, kesan monoton dan monolitik sebagai bagian dari upaya penyeragaman dalam kajian sastra berubah ke arah kajian yang mengedepankan keberagaman analisis yang memberikan warna baru bagi pengembangan studi humaniora. Selain itu, buku ini juga menelusuri sejarah perkembangan stilistika dari Barat sampai Indonesia, mencoba membedakan titik perpisahan antara stilistika bahasa dengan sastra, dan mengidentifikasi ciriciri khas stilistika sastra dengan cara menemukan identitasnya dalam karya sastra. Pemikiran Barat Betapa pun buku ini menawarkan model penelitian dengan teori stilistika kontemporer, Kutha Ratna tampaknya banyak mengompilasi pemikiran Barat. Tokohtokoh Barat yang dirujuk seperti Fowler, Murry, Shipley, Hough, Teeuw menandakan betapa kecilnya perhatian sarjana Indonesia terhadap kajian di bidang stilistika. Dalam Kata Pengantar buku ini disebutkan, “Sampai saat ini, selain buku yang ditulis oleh Umar Junus, terbit di Malaysia berjudul Stilistik: Satu Pengantar (1989) dengan menggunakan ragam bahasa Melayu, belum ada buku teks yang secara khusus berbicara mengenai stilistika” (hal. vi). Jika mengacu pada pernyataan itu, maka buku ini adalah buku pertama yang membahas secara khusus tentang stilistika dalam bahasa Indonesia oleh pakar sastra Indonesia. Dengan mengompilasi pemikiran sarjana barat dan timur, kajian stilistika yang dibincangkan dalam buku ini, jika mengacu pada fungsi pengarang (penulis)
17
PKB dan Pelestarian Seni Budaya SEPERTI dimaklumi, Bali sudah dikenal sejak sebelum Perang Dunia II karena seni budayanya. Seni budaya Bali yang adiluhung sebagian besar produk desa pakraman dengan berbagai jenis kesenian seperti barong, rangda, baris, wayang, wayang wong, gambuh, arja, legong, dan sebagainya. Juga berbagai barung gamelan seperti gambang, gong luang, saron/ caruk, slonding, smar pegulingan, pelegongan, gong gede, hingga gong kebyar.
Oleh Wayan Sinti, M.A.
dalam terminologi Barthes, Kutha Ratna tidak lebih dari seorang kompilator, orang yang mengumpulkan dan menambahkan hal-hal tertentu (hal. 95). Peran kompilator juga mewarnai hampir semua buku susunan Kutha Ratna. Hal ini paling tidak mencerminkan dua hal terhadap proses kreativitas penulisnya. Pertama, sebagai penulis, Kutha Ratna adalah orang yang terbuka dengan pemikiran Barat, tanpa melupakan pemikiran Timur. Teori digali dari barat, tetapi objek yang dikaji adalah karya sastra dari negeri sendiri. Ini adalah konsekuensi dari seorang akademikus yang suntuk memperdalam teori sastra dan budaya. Kedua, Kutha Ratna telah membangun jembatan persahabatan dengan konvergensi pemikiran tanpa dikotomi. Dengan cara itu, pergaulan akademik dibangun melalui teks yang menjadi objek kajian. Konsekuensi dari pemaknaan itu membuat Kutha Ratna tampil dengan gayanya sendiri dalam menulis buku. Dengan gaya seorang kompilator, susah dibedakan antara gagasan pribadi penulisnya dengan gagasan ahli yang dikompilasi. Selain itu, buku ini juga minim contoh bagaimana stilistika dioperasikan dalam analisis bahasa dan budaya sesuai dengan judulnya. Hanya ada satu bab yang membincangkan stilistika dan analisis karya sastra, walaupun secara implisit bahasa dan budaya sering menyatu dalam karya sastra. Walaupun Kutha Ratna memiliki pijakan teori sastra yang kuat dengan referensi yang beragam dari dunia Barat dan Timur, karena perannya sebagai kompilator dalam menulis buku, maka gaya (menulis) yang dilakoninya pun terasa baku kaku, terkesan takut keluar dari bahasa yang ditradisikan oleh ilmuwan kampus. Berbeda dengan Darma Putra misalnya, yang lihai mengoperasionalkan teori Barat, untuk melihat persoalan Timur. Perbedaan ini berkaitan dengan perkara gaya dan selera, di samping juga latar belakang penulis. Kutha Ratna dengan latar belakang akademis murni yang berkutat lebih banyak di dunia teori sastra dan budaya telah membatasi diri dalam gaya baku penulisan. Lain dengan Darma Putra, dengan latar belakang akademis plus jurnalis, kajian yang dibuatnya menjadi lincah, seakan tidak terikat pada teori. Teori digunakan untuk memperkuat argumentasi dengan mencairkan kebekuan. Hal inilah yang mempengaruhi pilihan gaya dalam menggunakan bahasa. Walaupun demikian, buku ini telah menawarkan paradigma baru dalam kajian stilistika yang bisa dijadikan referensi untuk melihat persoalan gaya bahasa secara lebih komprehensif. Karenanya, buku yang diterbitkan secara nasional ini, sangat penting dibaca oleh para mahasiswa, guru, dosen, para pemerhati, penulis, atau peneliti yang bergulat dalam dunia sastra khususnya dan humaniora umumnya untuk menambah wawasannya dalam bergaya bahasa. Buku ini memberikan modal dasar membangun kekuatan gaya dalam karya.
Jenis kesenian itu biasanya dipentaskan terkait dengan upacara piodalan di masing-masing desa pakraman, dipentaskan minimal 6 bulan atau setahun sekali. Artinya, parahyangan di Bali, secara tidak langsung juga ikut “melestarikan” kesenian Bali karena pada setiap upacara piodalan kesenian selalu dilibatkan. Budaya Bali dijiwai agama Hindu, nafasnya adalah kesenian, sehingga suasana piodalan menjadi hidup. Tidak ada upacara panca yajnya di Bali tanpa kehadiran kesenian. Namun sejak beberapa tahun belakangan ini, tradisi itu tidak sepenuhnya dapat dilaksanakan di setiap desa pakraman, disebabkan oleh berbagai hal, di antaranya terbentur dengan masalah dana. Memang, pemerintah sudah menaruh perhatian dengan memberikan bantuan dana pembinaan khususnya untuk jenis kesenian langka, namun kadang-kadang bantuannya tidak nyambung. Karenanya, desa pakraman sungguh sangat mengharapkan bantuan dana secara kontinyu setiap tahun untuk dipakai melestarikan serta menggali kembali jenis kesenian yang hampir punah. Jika bisa, pengelolaannya agar dipercayakan langsung kepada prajuru dan tokoh-tokoh desa setempat. Pemerintah dalam hal ini cukup memantaunya saja. Peranan PKB Guna menghidupkan kembali jenis kesenian yang hampir punah, sebaiknya dimanfaatkan seniman (alam) setempat. Namun, kalau tidak ada, barulah mencari pelatih ke desa lain. Jika hal itu dapat dilaksanakan, sedikitnya 6 bulan sekali di setiap desa pakraman di Bali dapat dilaksanakan “Pesta Kesenian Bali (PKB) kecil” dengan jangka waktu sekitar 3 hari, disesuaikan dengan hari piodalan di masing-masing kahyangan desa sehingga suasana di pedesaan menjadi hidup kembali. PKB memang dilaksanakan setiap tahun. Namun, maaf, yang ramai hanya di seputaran Denpasar dan sekitarnya saja, sedangkan suasana di desa pekraman pada umumnya sepi. Terkait dengan upacara piodalan, di jeroan pura dilaksanakan upacara persembahyangan dengan disertai ilenilen, unen-unen, dan sebagainya. Di jaba pura ada tabuh rah serta para pedagang menjual berbagai macam produk dagangannya dengan menu khas Bali, sehingga menambah suasana makin semarak. Mungkin hal ini memberi-
kan inspirasi kepada panitia PKB, sehingga sejak beberapa tahun belakangan ini, terkesan ada lomba makanan khas Bali. Ya, tentu saja para pedagang hingga tukang parkir juga merasa senang karena dapat mengais rezeki. Jika hal seperti itu dapat dilaksanakan di setiap desa pakraman di Bali, maka desa pakraman yang dianggap sebagai benteng terakhir budaya Bali menjadi hidup. Krama Bali di desadesa akan dapat merasakan betapa indahnya Bali. PKB yang digagas Prof. Dr. IB Mantra dan digelar mulai tahun 1978 hingga kini sudah terlaksana — hingga tahun ke-31. Secara umum, PKB memberikan manfaat yang bagus khususnya kepada masyarakat seniman di Bali. Pelaksanaannya cukup bagus, namun masih perlu penyempurnaan. Warisan seni budaya adiluhung yang diwariskan oleh para pendahulu kita patut diselamatkan dan dipelihara dengan sebaik-baiknya. Jenis keseniannya dari tahun ke tahun mengalami pengembangan. Pertanyaannya, seberapa jauhkan kita boleh mengembangkannya? Mengembangkan secara berlebihan, salah-salah bisa merusak kesenian itu sendiri. Sejak beberapa tahun belakangan ini, istilah “kolaborasi” sangat populer, sehingga tidak sedikit jenis kesenian Bali yang dikolaborasikan. Menurut penulis, kolaborasi itu sah-sah saja asalkan tidak sampai merusak tatanan yang sudah mapan. PKB bertujuan tidak semata-mata untuk hiburan, namun juga bersifat mendidik. Karenanya, kita sepatutnya memberikan pendidikan yang benar, baik itu menyangkut seni tari, tabuh, hingga vokal agar generasi mendatang tidak bingung setelah menonton di PKB. Sementara ini penulis menyaksikan, ada beberapa jenis kesenian seperti joged, janger, dan sebagainya yang dikolaborasikan, baik itu menyangkut tabuh maupun tarinya. Maaf, apa yang penulis saksikan, sangat berbeda dengan apa yang menjadi harapan — sebagaimana kita disuguhi makanan lawar bercampur mie. Langka dan Populer Kesenian langka seperti wayang wong, gambuh, baris gede, hingga jogged pingitan, demikian pula gamelan langka seperti gambang, saron/ caruk, genggong, gong luang, sampai slonding, perlu diacarakan secara kontinyu di PKB. Agar tidak membosankan, menurut penulis, pemen-
tasannya bisa diatur dengan, misalnya, difestivalkan (kompetisi) yaitu dua jenis kesenian dengan acara yang sama dipentaskan pada panggung yang sama dengan dinilai oleh para juri. Bisa pula diparadekan yaitu dua jenis kesenian dengan acara tidak harus sama, dipentaskan pada panggung yang sama tetapi tidak dinilai. Pun bisa disandingkan yaitu dua jenis kesenian berbeda dipentaskan pada panggung yang sama secara bergantian secara utuh dan tidak dinilai. Artinya, pementasan kesenian langka dengan kesenian populer, misalnya saron/caruk dengan gong kebyar, gambang dengan angklung, genggong dengan joged, mandolin dengan janger, slonding dengan jegog, dan seterusnya. Tentu saja kesenian langka diberikan kesempatan pentas lebih dulu dengan waktu sekitar satu jam, lalu dilanjutkan dengan pementasan kesenian populer. Untuk itu, ada beberapa langkah yang bisa dilakukan sbb.: 1. Festival atau kompetisi sebaiknya dihentikan saja, karena mengandung beberapa risiko, antara lain fanatisme yang berlebihan dari masingmasing kabupaten/pemkot. Hal ini mungkin menyebabkan seniman antar-kabupaten/pemkot menjadi kurang akrab. Jenis kesenian yang terus menerus dilombakan, disadari atau tidak, akan mengarah pada standarisasi. Hampir pada setiap pelaksanaan festival gong kebyar, suasana pementasan, sikap penonton khususnya, terkesan seperti menonton pertandingan sepak bola. 2. Parade masih tetap bisa dilaksanakan dan dilanjutkan. 3. Disandingkan dimaksudkan bisa mengurangi kesan monoton atau kejenuhan seperti yang sering menjadi wacana publik belakangan ini. Maka dari itu, berbagai jenis kesenian langka dapat disandingkan saja dengan kesenian
populer. Mudah-mudahan dengan cara seperti ini kesenian langka keberadaannya bisa terangkat dan diminati oleh generasi muda. Dapat dimaklumi bahwa anak-anak muda pada umumnya kini lebih tertarik menonton kesenian populer. Mudah-mudahan dengan pengaturan dan penyajian seperti itu, maksudnya sebelum menonton kesenian populer, mereka mau menonton kesenian tua dan langka. Amat menarik tulisan Darma Putra yang dimuat pada Mingguan Tokoh terbitan Minggu (5/7) perihal diperlukannya kritikus seni terkait dengan setiap pelaksanaan PKB. Pertanyaanya, sudah siapkah panitia dan para peserta PKB untuk dikritik? Menurut penulis, perihal kritik seni bukanlah hal baru di Bali. Sesuai dengan pengalaman penulis di lapangan, para tetua di kampung kami di Desa Ubung Kaja (Denpasar), ketika berkarya misalnya membuat satu bangunan style Bali, menjelang akhir dari karyanya dengan sengaja diundang teman seprofesinya untuk memberikan saran dan kritik. Jika temannya tidak memberikan kritik, dengan sedikit memelas, seniman bersangkutan meminta agar temannya mau memberikan penyempurnaan. Sangat berbeda dengan apa yang penulis pernah alami, ketika mengkritik satu pementasan gambuh dengan diiringi gamelan smar pegulingan beberapa tahun silam, yang dikritik malah terkesan marah (galak) yang membara! Memang, kritik seni itu sangat perlu demi sempurnanya suatu karya. Hal itu penulis selalu lakukan dalam menciptakan lagu-lagi Bali — vokal maupun instrumental. Gamelan Gambang Penulis betul-betul merasa bahagia dengan diacarakannya lebih banyak gamelan gambang untuk pertama
kalinya pada PKB ke-31. Terlebih lagi ada yang mengikuti jejak penulis dengan menyertakan vokal (kidung). Menurut catatan penulis, ada sekitar 200 buah pupuh gambang, namun kebanyakan tanpa teks. Pupuh gambang yang ada teksnya, antara lain malat, wargasari, puja smara, srinandi, sondong, cupak, dll. Itulah yang dinyanyikan terkait antara gambang dengan vokalnya, dan bukan diambilkan dari kidung lain. Perihal kidung, memang cukup banyak jumlahnya, antara lain kidung wilet mayura, caruk, rundah, macammacam wilet, walingi, rangganoja atau rangga doja, jagulanom, dll. Namun, adalah salah besar kalau misalnya mengaitkan kidumg wilet mayura dengan pupuh gambang panji marga, kidung jagulanom dengan pupuh gambang manukaba, atau kidung malat dikaitkan dengan pupuh gambang bangkung arig, dll. Memang, kidung dan gambang sama-sama mempergunakan notasi yang sama, yaitu notasi gambang (dingdong). Namun, keduanya memiliki jati dirinya masingmasing, dan jangan sekalikali dicampur adukkan. Untuk mengaitkan pupuh gambang dengan teksnya memerlukan ketekunan dan intelegensi tinggi. Adalah “dosa” kalau kita mentransfer ilmu yang salah kepada si anak didik, sama halnya dengan meracuni masyarakat karena ilmu yang didapatnya akan dikembangkannya di masyarakat. Sungguh bersyukur kita punya PKB yang secara terus menerus digelar secara prosedural. Melalui PKB, marilah secara substansial kita bersama-sama berkomitmen menggali, memelihara atau melestarikan, mengembangkan serta outcome-nya benar-benar melestarikan seni budaya Bali yang adiluhung agar tetap dicintai oleh masyarakatnya, serta para tamu, ilmuwan dan cendekiawan dan dari mancanegara.
Merajut Indonesia lewat Kesenian Bali KESENIAN Bali kini bukan hanya diakrabi orang Bali. Di tengah kebhinekaan seni dan budaya Indonesia, gamelan dan tari Bali khususnya, juga dicintai oleh saudara sebangsa.
i nyoman tingkat Simaklah penampilan anak-anak dan para remaja Jakarta pada arena Pesta Kesenian Bali (PKB), Minggu (5/7) siang lalu di Wantilan Taman Budaya Bali. Mereka yang bernaung dibawah Lembaga Kebudayaan Bali (LKB) Saraswati yang bermarkas di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta itu, membuat tertegun penonton lewat sajian tabuh dan lenggang tarinya. Selain menyuguhkan gending “Jaya Semara”, “Gilak Jagul”, dan “Gesuri” yang dibawakan oleh gabungan penabuh anak-anak dan remaja, LKB Saraswati Jakarta yang berdiri sejak 1968 ini juga menampilkan penabuh pria dewasa. Konser dengan menyajikan dua tabuh kreasi, “Gora Merdawa” dan “Gelar Sanga” itu cukup memukau penonton. Mereka, para penabuh itu, semuanya memang berasal dari Bali namun telah puluhan tahun merantau dan menetap di Jakarta. Pergulatan mereka menekuni kesenian Bali di Jakarta, kali ini, dipersembahkan untuk masyarakat Bali. Gamelan dan tari Bali telah menunjukan geliatnya di Jakarta sejak tahun 1970-an lewat sanggar-sanggar seni. LKB Saraswati adalah salah satu G.397645-rpa
BPM/ist
MANCANEGARA - I Wayan Sinti, M.A. bersama murid-muridnya dari mancanegara dalam suatu pergelaran gamelan Manikasanti di Taman Budaya Denpasar beberapa waktu lalu.
wadah bagi masyarakat Jakarta dan orang-orang urban Bali mengenyimpungi gamelan dan tari Bali. Lembaga yang mengusung motto “Kesenian untuk Kedamaian dan Persaudaraan” yang dipimpin I Gusti Kompiang Raka ini, telah mengangankan sejak lama untuk bisa tampil di PKB. “Kendatipun berkecimpung di Jakarta, kiblat berkesenian kami tetap pada dinamika perkembangan gamelan dan tari yang terjadi di Bali,” ujar seniman asal Banjar Kutri, Singapadu, Gianyar, ini, sebelum pementasan. Anak-anak dan remaja Jakarta yang menggeluti tari Bali pada LKB Saraswati, juga diajarkan gamelan Bali, baik berupa iringan tari maupun tabuh instrumental. Siang itu, dengan percaya diri mereka menabuh gamelan Gong Kebyar. Uniknya, mereka tak berpakaian penabuh melainkan berkostum tari yang akan dipakai tampil menari setelah menabuh. Beberapa orang berpakaian tari “Margapati” memainkan instrumen gangsa. Ada yang berbusana tari “Manukrawa” memukul ugal. Ada lagi, beberapa orang memakai pakaian tari “Satya Brasta” berpencar memainkan reong, jublag, cengceng, dan kajar. Tiga gending mampu mereka mainkan dengan lancar. Seusai menabuh, mereka kemudian menari dengan iringan para penabuh dewasa tadi. Selain menyuguhkan tari angkatan lama seperti “Panji Semirang” dan “Margapati” yang dibawakan secara massal, anak-anak dan remaja Jakarta ini juga memen-
taskan tari kreasi seperti “Manukrawa”, “Satya Brasta”, “Saraswati”, “Rebong Puspamekar”, dan “Gadung Kasturi”. Skill tari yang mereka tunjukkan cukup bagus. Bahkan kemampuan wirasa (ekspresi atau mimik) mereka rata-rata sangat mantap. Tari kreasi “Satya Brasta” ciptaan Nyoman Cerita misalnya, dibawakan cukup apik, yang, seluruh penarinya adalah remaja putri. Jagat tari Bali di Jakarta memang umumnya diminati oleh kaum wanita. Mereka berasal dari beragam latar belakang etnis seperti Jawa, Sunda, Betawi, Batak, Menado, Bugis hingga keturunan Cina. Begitu pula mereka yang berkesenian di LKB Saraswati. Sadar pentingnya kemesraan persaudaraan sebangsa itu, dalam penampilannya di arena PKB, secara khusus mereka menggarap tari “Rampak Nusa” yang mengekspresikan sebuah rajutan, penghormatan, dan perayaan terhadap kemajemukan budaya Indonesia lewat mosaik tari bernuansa Nusantara. “Rampak Nusa” dibawakan oleh 13 orang penari. Diawali dengan penampilan semacam ritual keagamaan yang diwakili oleh tari “Rejang” dan “Baris”. Selanjutnya dalam anyaman musik gamelan dan lenggang tari, penonton seakan dibawakan keliling Nusantara lewat penggalanpenggalan tari disertai lagu yang menjadi ciri khas masing-masing daerah. Tari “Giring-giring” (Kalimantan), “Saman” (Aceh), “Gending Sriwijaya (Sumatera), “Pakarena”
(Sulawesi) dan sebagainya silih berganti mengayun penonton. Pada klimaksnya, seluruh penari yang berbusana berornamen Bali bersatu perpegangan tangan dibawah kibaran bendera merah putih yang diacungkan penari Baris. Esensi damai jagat seni dipercaya memiliki spirit menumbuhkan kasih persaudaraan antar sesama. Bagi Indonesia yang bersemboyan “bhineka tunggal ika”, seni adalah salah satu perekat bangsa yang ampuh. Untuk itulah rupanya, anak-anak dan para remaja Jakarta yang mereguk keindahan gamelan dan tari Bali di LKB Saraswati Jakarta, kali ini diterjunkan langsung agar mengenal dan menghayati lebih dekat lingkungan budaya Bali. Selain tampil dalam PKB, mereka juga berkesempatan pentas ngayah di Pura Desa, Kutri, Singapadu, Gianyar, pada Jumat (3/7) malam lalu. Di tengah suasana odalan nan komunal, penampilan penabuh dan penari LKB Saraswati Jakarta itu disaksikan dengan antusias penonton setempat. Tampaknya terjadi komunikasi dari hati ke hati lewat media pentas gamelan dan seni tari tersebut. Para penonton tampak menunjukkan respek yang tinggi terhadap kemampuan menabuh dan menari yang disajikan oleh tim kesenian dari Jakarta itu. Sebaliknya para penabuh dan penari itu pun menampakkan rona berbinar suka cita. kadek suartaya