Bali Post -minggu, 05 Juli 2009

Page 17

BUKU Menapak Kiprah 30 Tahun Teater Mini Badung Judul Penulis Tebal Penerbit

: Tri Dasa Warsa Teater Mini Badung : Jiwa Atmaja : i-xxi, 352 halaman : Udayana University Press

PADA 18 Juni 2009, Teater Mini Badung (TMB) pimpinan IB Anom Ranuara genap berusia 30 tahun. Serangkaian peringatan hari jadi ini, diterbitkan buku berjudul “Tri Dasa Warsa Teater Mini Badung”. Dengan dibantu sejumlah kontributor, buku ini ditulis Jiwa Atmaja, dosen sastra Universitas Udayana yang juga pengamat dan kritikus. Dalam kata pengantar, Jiwa Atmaja mengaku semula tidak terpikir untuk mendokumentasikan, apalagi menulis sebuah buku yang merekam aktivitas TMB selama tiga dekade. “Dalam kenyataannya, tidak tersedia data yang merupakan rekaman aktivitas teater ini secara lengkap. Bersyukur pendiri dan pimpinan TMB sendiri masih menyimpan dokumen kegiatan TMB yang masih bisa diselamatkan dari kerusakan dimakan rayap dan cuaca. Bahan-bahan inilah, ditambah informasi dari anggota TMB, maka ide untuk menulis buku ini dapat diwujudkan,” tulisnya. Menurut Jiwa, TMB — terutama pendirinya dan para personelnya — telah turut membangun dunia perteateran di Bali. TMB disebutnya sebagai sejenis teater yang tampak modern karena antara lain menggunakan naskah atau script, namun tidak meninggalkan tradisi, bahkan mengolahnya sedemikian rupa sehingga menjadi tontonan teater yang menarik dan diminati masyarakat Bali, tanpa mengabaikan kualitas. Jiwa mengaku terdorong dan termotivasi untuk menulis dan menerbitkan buku ini agar masyarakat yang pernah “tergila-gila” dengan pementasan dan penayangan TMB di televisi pada era 1980-an itu dapat mengetahui bagaimana sesungguhnya aktivitas TMB yang belakangan terhenti kegiatannya karena kurang mendapatkan media pendukungnya. Buku ini sepenuhnya menelisik seluk-beluk TMB, dari kelahirannya, masa-masa kejayaannya, masa-masa vakumnya, sampai upaya-upayanya untuk bangkit kembali. TMB terbentuk berawal gagasan Anom Ranuara mengumpulkan anak-anak yang suka bermain drama. Anak-anak itu umumnya berasal dari daerah Panjer sampai Sesetan, Denpasar. Agar perkumpulan anak-anak ini menjadi organisasi teater, Anom Ranuara kemudian memberinya nama Teater Mini. Drama Klasik Pada perkembangannya, Teater Mini pun beranggotakan banyak orang dewasa dan menerima tawaran untuk mengisi acara di stasiun TVRI Denpasar dalam tayangan “Bhineka Tunggal Ika” yang disiarkan secara sentral dari Jakarta. Tawaran ini diterima dan direspons dengan garapan drama “Jayaprana”. Garapan inilah yang memberikan kesan tersendiri bagi Anom Ranuara dan kelompok Teater Mini-nya. Peristiwa ini pula yang kemudian memberikan inspirasi dan semangat baru pada Anom Ranuara untuk menambahkan nama Badung guna melengkapi nama kelompoknya sehingga menjadi Teater Mini Badung. Pemberian nama ini lalu dijadikan tonggak dimulainya TMB dan ini terjadi pada 18 Juni 1979. Nama Badung muncul secara sederhana berhubungan dengan faktor wilayah, karena aktivitas Teater Mini berada di wilayah pemerintahan Kabupaten Badung ketika itu. Dengan makin meningkatnya aktivitas TMB, berefek pula terhadap perekrutan anggota yang tidak lagi berasal dari daerah Badung, namun sudah merambah ke daerah lainnya, bahkan dari seluruh Bali. Keberhasilan TMB dalam menggarap drama “Jayaprana” akhirnya mengundang sejumlah permintaan berbagai pihak, terutama dari TVRI Denpasar, untuk mengolah cerita-cerita tradisional lainnya. Untuk itu, Anom Ranuara mencoba mengangkat dunia pewayangan yang bersumber dari Mahabharata dan Ramayana. Setelah dua kali penayangan di televisi, Anom Ranuara lalu ditanyai oleh bagian penyiaran TVRI mengenai apa nama drama yang ditayangkan itu — drama tradisional, drama modern, atau drama wayang? Dari situlah kemudian Anom Ranuara menyebut garapannya sebagai drama klasik karena ia mementaskan atau menampilkan cerita-cerita klasik yang bersumberkan pada Itihasa, yakni cerita Ramayana dan Mahabharata. Drama klasik yang dimaksud Ranuara tak sebatas memainkan cerita pewayangan, namun juga dikembangkan dengan menampilkan cerita-cerita rakyat yang mengisahkan peristiwa sekitar abad ke-10 sampai ke-14, yang digolongkannya ke dalam kisah-

kisah klasik. Sebagaimana diketahui, drama klasik yang ditayangakan TVRI Denpasar pada 1980an merupakan tontonan yang sangat ditunggu-tunggu pemirsa. Masa Vakum Namun, dalam perjalanannya, TMB sempat mengalami fase vakum. Fase ini terjadi ketika TVRI Denpasar yang notabene “milik” pemerintah berubah status ke Perjan. Perubahan status ini berdampak besar bagi perjalanan Anom Ranuara dan TMB-nya karena kesempatan mengisi acara di stasiun televisi itu terputus. Alasan pemutusan itu, antara lain karena biaya operasional dan tayangan hampir semua acara TVRI Denpasar mesti disandang pengiklan, bahkan biaya itu harus dicari sendiri oleh pengisi acara. Ketetapan ini disusul dengan penghentian mata acara drama klasik yang diisi rutin TMB karena alasan tidak tersedia dana. Akibat lebih jauh adalah TMB yang menempatkan TVRI Denpasar sebagai “panggung” kreativitasnya selama itu pun menjadi stagnan. TMB lalu masuk dalam fase vakum berkepanjangan. Masyarakat yang terbiasa dan malah kecanduan menonton tayangan drama klasik di TVRI Denpasar merasa sangat kehilangan. Tidak ada lagi Bima, Gatotkaca, Drona, Dewi Supraba, Rahwana, Rama, Anoman, atau Sekuni dalam jalinan kisah berdialog bahasa Indonesia yang penuh dengan pesan-pesan moral dan Filsafat mendalam itu. Banyak pemirsa kecewa, apa boleh buat. Akan tetapi, di masa vakum itu, Anom Ranuara malahan berupaya tidak vakum dari kreativitas. Ia lantas mencoba mencari kemungkinan untuk tampil di panggung-panggung pentas. Kebetulan juga kemudian banyak pihak, lembaga, atau instansi yang “menanggap” atau memesan kesenian Anom Ranuara. Dari sini pula, Anom Ranuara lantas rutin dan hampir setiap tahun mengisi sejumlah perayaan, event Pemda Bali, dan sebagainya dengan paket pertunjukan sendratari atau fragmen bekerjasama dengan sanggar-sanggar lain. Seperti biasa, Anom Ranuara menulis naskah dan menyutradarai semua pementasannya. Belakangan, media radio pun minta Anom Ranuara menggarap sandiwara radio. Lantas, di tengah kondisi TVRI Denpasar yang sangat berbeda dari masa sebelumnya, Anom Ranuara pun sempat mengisi acara lagi. Tidak dalam bentuk tayangan drama klasik, namun dalam paket acara fragmen bertajuk “Warung DPRD” — berisi sketsa sosial terkait isu-isu yang tengah hangat di masyarakat. Reuni dan Buku Kini, meskipun sudah jarang muncul lagi di layar kaca, namun spirit TMB tak pernah redup. Kontak atau komunikasi kekerabatan antar-anggota TMB masih tetap terjalin hangat. Selama masa vakum, ada percik-percik kerinduan di antara para anggota TMB yang menumpuk-numpuk seperti itu, akhirnya digelarlah acara temu reuni TMB pada Juni 2008 di Balai Budaya Gianyar. Acara ini dihadiri hampir sebagian besar anggota TMB, senior maupun junior. Efek dari acara reuni ini pun bergaung, beberapa program berikutnya dirancang. Dari beberapa program yang dirancang, atas beberapa uluran donatur, Anom Ranuara lalu mengisi agenda program ini dengan penerbitan buku. Sejumlah naskah drama yang pernah ditulisnya dari naskah drama klasik, fragmen, sampai cerita anak dibukukan secara bertahap, termasuk buku “Tri Dasa Warsa Teater Mini Badung” ini. Jika disimak rinci, muatan buku “Tri Dasa Warsa Teater Mini Badung” ini ternyata bukan sematamata untuk kepentingan TMB. Namun, lebih jauh bagi kepentingan dunia teater dan proses kreatif seputar kesenian secara umum. Para peminat kesenian, terlebih teater, layak membaca buku ini. (tin)

17

BUDAYA

Minggu Wage, 5 Juli 2009

Memaknai Pesta Kesenian Bali ‘’SENI merupakan untaian luhur dari jiwa-jiwa yang ikhlas. Seni tak akan tercipta dan dipahami ketika jiwa telah dihinggapi oleh kemunafikan. Ia merupakan bahasa kebebasan murni tanpa tiori, tanpa rekayasa, yang kelahirannya adalah bahasa keindahan yang sebelumnya disinari oleh cahaya Tuhan. Percikan-percikan ataupun untaian seni akan selalu hadir di segala zaman. Mengajari manusia akan kelembutan budi, kehalusan rohani, mengajak manusia pada kesadaran terdalam, mengaca ke dalam batin dan menemukan Tuhan. Ia adalah bahasa kelembutan dan cinta, dan tidak terlahir oleh jiwa-jiwa yang tidak mempunyai cinta. Ia adalah bahasa kasih sayang-Nya, yang tergores lewat tangan sang seniman, dan tidak terlahir oleh jiwa yang tidak menempatkan keindahan Tuhan dalam batinnya.” Untaian kata nan relegius itu ditulis Luqman dalam artikelnya “Keagungan Makna Seni” di http://my.opera.com. Jika diperas, akan ditemukan paling sedikit tiga nilai yang terdiri dari tiga kata: satyam, sivam, sundaram (kebenaran, kesucian, keindahan). Sesanti itu rupanya tidak bisa dipisahkan dengan kegiatan akbar Pesta Kesenian Bali (PKB) yang digelar tiap tahun di Bali. Pada hakikatnya ia adalah ideologi yang menjadi landasan filosofis, jiwa penggerak, sekaligus cita-cita ideal PKB. Ideologi itu kemudian semakin klop setelah disandingkan dengan gambar suci nan agung Siwa Nataraja, manifestasi Tuhan sebagai dewa penguasa kesenian yang dalam budaya lokal sering disebut dewa penganugerah taksu. Setelah PKB berlangsung ke31, tentu kembali perlu adanya evaluasi, yang bisa dijadikan acuan demi penyempurnaan penyelenggaraan PKB di masamasa mendatang. Untuk itu, berbagai komentar terlontar di media massa maupun di forum-forum pertemuan perlu didengar. Ada yang mengatakan, PKB terlalu monoton. Ada pula yang memberi usul agar PKB digelar tiap dua atau tiga tahun sekali. Ada pula yang menyoroti materi acara, baik tentang keseniannya, maupun materi lain termasuk pameran dan beraneka dagang yang menjual berbagai produk. Pandangan dan penilaian masyarakat tentu saja harus dialisis, digodok dengan sematangmatangnya dengan mempertimbangkan berbagai aspek seperti aspek filosofis, historis, sosiologis dan yuridis. Tri Semaya: wartamana (masa lalu), atita (masa kini), dan nagata (masa yang akan datang) tentu saja perlu menjadi

acuan dalam evaluasi tersebut. Sejumlah Makna Terlepas dari semua komentar yang telontar, yang patut dicatat adalah, bahwa PKB tentulah memiliki sejumlah makna, atau setidak-tidaknya perlu dimaknai. Sebab, semua kebudayaan memiliki makna yang mendalam bagi kehidupan manusia. Manusia memiliki peran penting dalam memberikan makna pada kebudayaan yang diciptakannya, baik dalam wujud konseptual atau ide, perilaku maupun kebudayaan material (benda). Demikian pula dalam penyelenggaraan PKB, tentu ada sejumlah makna yang bisa ditemukan dengan mengacu pada bentuk aneka ragam seni yang ada di arena ini. Beberapa makna itu antara lain sebagai berikut. Pertama, makna kehidupan. PKB merangsang kehidupan dalam arti luas, termasuk kehidupan berkesenian. Sebuah pementasan tidak cukup hanya dengan persiapan satu minggu atau satu bulan. Secara individu, mereka telah melakukan persiapan sejak dini, berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun untuk dapat tampil dalam PKB mendatang. Mereka juga selalu berdoa, mengucapkan nama-nama Tuhan untuk mohon keselamatan dalam hidup agar tujuannya dapat tercapai. Hal itu telah ditunjukkan oleh lambang Siwa Nataraja (logo yang terpatri dalam PKB) yang merupakan manifestasi Dewa Siwa sebagai penari tertinggi, sebagai dewanya penari. Dewa Siwa terus menari sehingga menimbulkan ritme dan keteraturan di dalam alam semesta. Gerakan Siwa merupakan pancaran tenaga prima sehingga alam semesta ini tercipta. Seorang seniman tidak akan berhenti berkesenian sepanjang hajat. Selain panggilan hati nuraninya, hal itu telah diajarkan Bhagavadgita III.24 yang menyatakan, “Jika sedetik saja Aku tidak bekerja, alam semesta ini akan hancur lebur. Kalau Aku berbuat demikian, berarti Aku menyebabkan kehancuran umat manusia dan menghancurkan kedamaian semua makhluk”. Kedua, membina kerukunan. Olah karena dalam setiap kegiatan selalu bertemu, berkomunikasi, berinteraksi, maka lambat atau cepat akan tumbuh rasa kasih sayang yang pada gilirannya da-

BPM/eka

KESENIAN - Salah satu pentas kesenian dalam Pesta Kesenian Bali (PKB) ke-31 di Taman Budaya Denpasar. pat membina kerukunan. Dalam sebuah pementasan arja, drama gong, gong kebyar, dan pertunjukan lain yang melibatkan banyak orang, tentu kerja sama yang baik sangat diperlukan. Kerja sama itu tidak hanya dilakukan antar-seniman, tapi juga masyakat pendukungnya. Kerja sama yang baik, tentu baru bisa terjadi kalau adanya interaksi positif yang dilandasi kasih sayang dan dalam suasana yang rukun. Kerukunan dalam kesenian, tentu tetap dibawa dalam kehidupan sehari-hari, dalam berbagai aktivitas. Ketiga, pendidikan. Dalam sebuah kesenian pertunjukan, para seniman selain berperan sebagai subjek juga objek. Sebagai subjek, ia menyampaikan pesan-pesan demi pencerahan kepada orang lain. Sebagai objek, ia tentu harus belajar, mengisi dirinya. Ibarat batrei, tanpa di-charge tidak akan maksimal memberikan penerangan. Seni adalah bentuk ekspresi yang dicurahkan dari dalam jiwa manusia, disampaikan dalam berbagai bentuk dan diterima oleh indra. Dalam mengekspresikan seni, tentulah jiwa sangatlah berpengaruh karena akan menentukan karakter dan corak dari seni yang dihasilkan. Keindahan dari sebuah seni tentulah harus didukung oleh kemampuan seseorang dalam mengolahnya agar seni tersebut dapat dinikmati oleh orang lain. Dengan demikian PKB telah mendorong para seniman

khususnya untuk belajar terus menerus. Keempat, menumbuhkan kesadaran multikultural. Dengan adanya partisipasi kesenian luar negeri dan daerah lain, PKB tidak hanya arena pestanya kesenian Bali, tapi juga pestanya kesenian internasional. Interaksi positif dari berbagai bangsa, negara dan agama ini akan menimbulkan kesadaran multikultural. Menurut Abdul Munir Mulkhan dalam makalah yang disampaikan dalam “Seminar Nasional Multikulturalisme, Agama, dan Etnisitas” di Unhi Denpasar pada 2007, multikulturalisme adalah pandangan dan sikap hidup bahwa keber-liyan-an atau the other adalah hal penting atau terpenting dalam hidup sosial daripada keserupaan atau homoginitas. Kesadaran bahwa hidup dalam dunia berbeda dan tidak mungkin hidup tanpa berhubungan atau bersama dengan orang berbeda, perlu diperkukuh. Setiap orang atau kelompok perlu memberi ruang liyan orang dengan segala keberbedaannya. Hidup akan menjadi lebih indah karena keindahan adalah keragaman yaitu keber-liyan-an itu sendiri, bukan keseragaman yang monoton. Kelima, semangat ber-yadnya. Pengertian yadnya dalam arti luas, tidak hanya upacara (ritual), tapi pengorbanan atau persembahan yang tulus ikhlas.

Menghibur atau membuat orang lain senang, sesungguhnya juga yadnya. Dalam arena PKB, para seniman sesungguhnya ingin menghibur penonton. Mereka jauh lebih puas jika penontonnya merasa terhibur ketimbang honorarium yang dikantonginya. Senada dengan itu, I Gusti Bagus Sugriwa dalam tulisannya berjudul “Dasar-dasar Kesenian Bali” mengatakan bahwa seni berasal dari bahasa Sansekerta sani yang berarti pemujaan, pelayanan, donasi, permintaan atau pencarian yang jujur. Keenam, meraih kebahagiaan. Pada akhirnya, tujuan dari semua kegiatan termasuk PKB adalah mencapai kebahagiaan, yang dalam bahasa agama Hindu disebut ananda atau moksha. Dalam sastra agama disebutkan, moksha bisa dicapai semasa hidup yang disebut jiwan mukti. Bukan hanya bisa diraih setelah seseorang meninggal dunia. Hal itu bisa diraih, jika PKB selalu dilandasi dan dijiwai satyam, sivam, sundaram. Jika disusupi atau didominasi oleh ideologi lain, misalnya ideologi pasar yang mendewa-dewakan uang, tujuan ideal PKB tidak akan sempurna. Rupanya masih ada beberapa makna lain yang bisa ditemukan. Sebagai sebuah kesimpulan singkat, bahwa PKB memiliki makna yang positif jika selalu berpedoman pada satyam, sivam, sundaram. z wayan supartha

Mereka Menggali dan Mewariskan Tradisi Made Taro dan Granoka Terima Anugerah Kebudayaan PADA Jumat (26/6) lalu, bersamaan dengan dibukanya pameran “Pekan Produk Kreatif Indonesia 2009”, bertempat di Jakarta Convention Center Assembly Hall, Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono menyerahkan penghargaan Anugerah Kebudayaan kepada 30 orang seniman/budayawan Indonesia. Di antara yang mendapat penghargaan itu terdapat dua seniman dari Bali, yakni Made Taro dan Ida Wayan Oka Granoka. Anugerah Kebudayaan tahun ini (2009) meliputi empat kategori — maestro seni tradisi, hadiah seni, pelestari dan pengembang warisan budaya, dan anugerah anak/pelajar yang berprestasi di bidang kebudayaan. Kategori maestro seni tradisi berjumlah sembilan orang, di antaranya dua dari Bali, sisanya dari Sulawesi Utara, Sumatera Utara, Bengkulu, Sumatera Barat, Jawa Tengah, Jawa Barat, Kalimantan Selatan, dan Sulawesi Selatan. Penekanan penilaian dari kategori maestro itu adalah jasa-jasa mereka menggali dan mewariskan pengetahuan dan keterampilan kepada generasi muda yang telah dilakukannya sejak puluhan tahun. Kegiatan Bercerita Made Taro yang lahir di Sengkidu, Manggis, Karangasem, 16

Cerpen Dari Hal. 16 Kututup telingaku, tak tahan rasanya aku mendengar komentar pahit itu, dalam hati aku berdoa agar sakaratul mautnya diringankan. “Biar saya yang membimbing,” kata pak Jamali yang baru tiba. Dukun kami ini sudah sangat terkenal di mana-mana. “Maaf pak Haji Muji, papuq Ketok niki ye tuselaq bunga. Nyawanya tidak akan terlepas sampai kita melakukan satu syarat,” jelasnya. Semua warga menajamkan mata dan pendengaran, menunggu kalimat pak Jamali berikutnya. “Jangan asal bicara pak Jamali, kita tidak boleh menuduh papuq Ketok tuselaq jika tidak ada bukti,”

April 1939 memulai kegiatannya bercerita tahun 1973. Kemudian kegiatan itu berkembang bukan saja dengan kegiatan bercerita tetapi juga bermain, bernyanyi dan berteater. Kegiatan itu ditampung melalui wadah yang disebut Sanggar Kukuruyuk yang didirikannya pada 15 April 1979. Tayangan perdana di televisi Denpasar adalah operet yang mengangkat cerita rakyat “Kaki Cubling” yang dibingkai, diramu dan dipadukan dengan permainan rakyat dan nyanyian rakyat. Selain menggarap tayangan-tayangan di televisi dan pentas dalam event tertentu, Taro juga melanglang buana mendongeng sambil bermain, dari kota-kota — Denpasar, Padang dan Jakarta — hingga ke desa-desa terpencil. Dalam mendongeng sambil bermain bersama-sama anak miskin, anak cacat dan anak-anak yang menderita korban bencana itu, Taro selalu menekankan penanaman nilai-nilai moral yang berkepribadian Indonesia dan pengembangan sikap optimistik menghadapi masa depan. Ketika ditugasi mengajar di beberapa sekolah di Darwin, Australia, Taro mempergunakan kesempatan itu untuk memperkenalkan cerita rakyat Nusantara dan seni cungklik Bali. Selain kegiatannya sehari-hari menulis di koran, majalah, dan kata pak Haji Muji pedas. “Saya tidak menuduh pak Haji, tapi inilah kenyataan. Papuq Ketok ini memang tuselaq bunga. Saya pernah melihatnya sedang duduk di atas awan mencari makan di sana,” kata pak Jamali yang menyebabkan makin menambah minat warga untuk tidak beranjak dari rumah papuq Ketok sampai klimaks. “Tuselaq bunga adalah tuselaq yang baik. Dia tidak memakan bangkai hewan atau mayat manusia seperti tuselaq lainnya. Makanannya adalah telur burung walet dan bunga-bungaan. Ilmunya hanya dia gunakan jika nyawanya terancam, tidak seperti tuselaq lainnya yang biasa menggunakan ilmunya untuk mengganggu dan merusak orang lain.” “Apa syaratnya, pak Jamali?” tanya ibuku yang terlihat sangat sedih. Ibu pernah bercerita padaku,

BPM/ist

MAESTRO - Dua maestro seni tradisi, Ida Wayan Oka Granoka dan Made Taro yang tahun ini menerima Anugerah Kebudayaan dari Presiden RI. mengasuh sanggar, Taro juga telah menulis lebih dari 30 judul buku yang terbit di Bali, Jakarta dan Yogyakarta. Di antara bukubukunya yang mendapat penghargaan nasional dan daerah itu, ada yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Dari proses panjang yang tak pernah melelahkan itu, Taro dinilai mem-

berikan kontribusi dan warisan budaya kreatif bagi generasi mendatang.

saat kecil dulu papuq Ketok-lah yang menjadi pengasuhku. Walaupun tak dapat melihat, ia selalu bisa menjagaku. Itulah sebabnya ibu tak pernah lupa pada papuq yang nyaris menyentuh usia seratus tahun itu. “Lidahnya harus disentuhkan dengan tanah, baru nyawanya bisa terlepas dan dia akan meninggal dalam tenang,” jelas pak Jamali. “Dicoba saja, pak Haji,” saran pak RT disambut anggukan setuju para warga. “Tidak ada salahnya, pak Haji, kasihan papuq Ketok sudah hampir sehari sekarat,” tutur ibuku dengan air mata yang sudah tumpah tak terbendung lagi. Akhirnya pak Haji menyetujui dengan berat hati. Ia menyilahkan pak Jamali untuk mulai beraksi. Dia berlutut mengeruk lubang kecil di pekarangan yang dipadati war-

ga, kemudian diambilnya segenggam tanah dari hasil kerukan itu lalu didekatinya tubuh lunglai papuq Ketok. Dibisikkannya sesuatu di telinganya yang terdengar seperti syahadat. Diangkatnya kepala papuq Ketok dan didekatkannya tangan kanannya yang membawa segenggam tanah. Lalu untuk kedua kalinya pak Jamali berbisik pada papuq Ketok. Ajaibnya, papuq Ketok seolah dengan sadar menjulurkan lidahnya hingga mengenai tanah yang dipegang pak Jamali. Beberapa saat setelah dibaringkan kembali, tiba-tiba diafragmanya sudah tak terlihat lagi. Dan untuk terakhir kalinya papuq Ketok menarik napas panjang. Seminggu berlalu sejak kematian papuq Ketok, hidupku kembali seperti semula. Tak ada lagi mimpi-mimpi konyol tentang leluhurku

Total Teater Ida Wayan Oka Granoka, lahir di Budakeling, Bandem, Karangasem, 4 Maret 1949. Melalui Bajra Sandhi, sanggar kreativitas seni yang didirikannya pada 5

Oktober 1991, Granoka melahirkan karya seni total teater yang sarat dengan filosofi. Yang dimaksud dengan total teater adalah seni pertunjukan yang memadukan tabuh, tembang, dan dalang sekaligus. Salah satu karya seninya adalah “Imen-imen Pulina Bali” terdiri dari Sekaa Gender Madu Suara Sandhi, Sekaa Gending Bajra Suara Sandhi, dan Sekaa Barong Bajra Jnyana Sandhi. Kegiatan kreativitas seni yang didukung oleh istri dan putra-putrinya ini selalu menampilkan filsafat seni yang tenggelam dalam yoga musik. Menurut Granoka, yoga tidak selalu harus dilakukan dengan sikap diam, hening dan konsentrasi penuh (meditasi), namun juga dapat dilakukan dengan tari, tabuh, dan tembang, sehingga seluruh penari, penabuh dan penembang menjadi pelaku yoga. Tujuannya adalah mencapai seni pembebasan, seni yang membangun etika lebih tinggi yakni spirit keTuhanan. Kegiatan seni yang berpusat di Desa Batukandik itu berlangsung puluhan tahun tak putus-putusnya. Bagi tim penilai, Granoka telah menanamkan filsafat seni, dan memberikan kontribusi yang sangat berharga untuk diwariskan kepada generasi seterusnya. (kmb/tin) seperti kata ibu. Namun suatu malam aku terbangun dari tidurku sambil menggenggam seuntai kalung berliontin setengah lingkaran. Di antara kesadaranku yang belum sepenuhnya pulih itu tibatiba saja kalung itu masuk ke dalam dadaku tanpa dapat dihentikan. Dan sejak saat itu, setiap sore menjelang magrib aku melihat banyak sekali mahluk halus yang berkeliaran di sekitar rumah pak Jamali. Lalu di sudut ruang tamu rumahku selalu kutemukan sesosok gadis yang duduk manis tersenyum padaku dan selalu ikut ke manapun aku pergi. Beleke, April 2009 Catatan: Papuq = Baloq = Tuselaq = Nike ye =

nenek. nenek buyut. sejenis leak. ini adalah.


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.