MEDIA KALIMANTAN SABTU 18 FEBRUARI 2017

Page 22

RELIGI

C6

SABTU, 18 FEBRUARI 2017/21 JUMADIL AWWAL 1438 H

Bayar Utang

Dzikir DARI Abu Hurairah RA: Ada orang bertanya kepada Nabi SAW, ‘Siapakah orang yang paling berbahagia dengan syafa’at (pertolongan) Anda (Nabi SAW) di hari kiamat? Jawab Nabi SAW, “Saya kira, hai Abu Hurairah, belum ada orang bertanya perkara ini kepadaku sebelum ini. Mungkin barangkali karena saya lihat engkau sangat rakus (ingin mendapat sesuatu dengan banyak) mendapatkan hadis. Orang yang paling beruntung mendapat pertolonganku hari kiamat, ialah orang yang mengucapkan ‘Laa ilaaha illallaah’, benar-benar ikhlas dari hati sanubari dan seluruh jiwanya.” (HR Imam Bukhari RA)

Tanya: Assalamu’alaikum. Habib, saya selalu dijepit utang. Bagaimana solusinya, terimakasih. Wassalam. (085332478xxx)

Jawab: Wa’alaikumsalam Wr Wb. Perbanyaklah bersedekah dan memberi makan anak yatim. Bersedakah dalam makna yang luas, tidak mesti harus pakai duit, bisa juga pakai tenaga dan lainnya (membantu orang lain dalam hal kebaikan). Memberi makan juga tidak harus banyak, jadi kerjakanlah sesuai kemampuan anda, wallahu’alam.

Mengajarkan Kecintaan Kepada Anak Dalam hidup, tidak lupat dari yang namanya masalah. Apalagi dalam menjalani kehidupan berkeluarga. Namun tetap harus memiliki harapan-harapan untuk masa depan. Wartawan: Bulkini/MK

WP.PRODUCTION.PATHEOS.COM

Syekh Syamsuddin Sumatrani (Bagian Pertama)

Sufi Ternama Mufti Aceh, Penggurat Corak Esoteris Sejak lama Aceh telah dikenal sebagai satu-satunya daerah yang aksentuasi keIslamannya paling menonjol. Selain menonjolnya warna keIslaman dalam kehidupan sosio-kultur di sana, di Serambi Makkah ini pernah tersimpan pula sejumlah Sufi ternama, seperti Samsuddin Sumatrani.

S

YAMSUDDIN Sumatrani adalah salah seorang tokoh sufi terkemuka yang telah turut mengguratkan corak esoteris di wajah Islam di Aceh. Sayangnya, perjalanan hidup sang sufi ini sulit sekali dirangkai secara utuh. Hal ini, selain karena tak ditemukan catatan otobiografisnya, juga karena langkanya sumber-sumber akurat yang dapat dirujuk. Bahkan, peneliti seperti Prof Dr Azis Dahlan yang pernah meneliti untuk disertasinya, merasa kesulitan akibat langkanya sumber-sumber tentang tokoh sufi yang satu ini. Di antara sumber tua yang dapat dijumpai mengenai potret Syamsuddin Sumatrani ialah Hikayat Aceh, Adat Aceh, dan kitab Bustanu alSalathin. Itu pun tak memotret terang perjalanan hidupnya secara rinci. Meski demikian, dari serpihan-serpihan data historis yang terbatas itu kiranya cukuplah bagi umat Islam untuk sekadar memperoleh gambaran tentang kiprahnya, berikut spektrum pemikirannya. Soal asal-usulnya, tidak diketahui secara pasti kapan dan di mana ia lahir. Perihal sebutan Sumatrani yang selalu diiringkan di belakang namanya, itu merupakan penisbahan Syamsuddin kepada “negeri Sumatera” alias Samudra Pasai. Sebab, di kepulauan Suma-

tera ini tempo dulu pernah berdiri sebuah kerajaan yang cukup ternama, yakni Samudra Pasai. Itulah sebabnya ia juga adakalanya disebut Syamsuddin Pasai. Menurut para sejarawan, penisbahan namanya dengan sebutan Sumatrani, ataupun Pasai, mengisyaratkan adanya dua kemungkinan. Pertama, orang tuanya adalah orang Pasai (Sumatera). Dengan begitu, bisa diduga bahwa ia dilahirkan dan dibesarkan di Pasai. Jika pun ia tidak lahir di Pasai, kemungkinan kedua bahwa sang ulama terkemuka pada zamannya ini telah lama mukim di Pasai, bahkan Syekh Syamsuddin Sumatrani wafat dan dikuburkan di sana. Berbicara tentang peranan Sumatera sebagai pusat pengajaran dan pengembangan Islam, Negeri Pasai itu memang lebih dulu terkemuka daripada Banda Aceh. Paling tidak, Samudera Pasai lebih dulu terkemuka pada kisaran abad ke-14 dan 15 M. Yakni sebelum akhirnya Pasai dikuasai Portugis pada 1514. Beralihnya tampuk kekuasaan Negeri Pasai ke Kerajaan Aceh Darussalam, baru berlangsung pada 1524. Pada masa pemerintahan Sayyid Mukammil (15891604), Syamsuddin Sumatrani sudah menjadi orang kepercayaan Sultan Aceh. Sayang dalam kitab Bustan al-Salathin

tidak disingkapkan bagaimana perjalanan Syamsuddin Sumatrani, sehingga ia menjadi ulama yang paling dipercaya dalam lingkungan istana Kerajaan Aceh selama tiga-empat dasawarsa. Syamsuddin Sumatrani wafat pada 1039 H/1630 M, dan selama beberapa dasawarsa terakhir dari masa hidupnya, Syekh Syamsuddin Sumatrani merupakan tokoh agama terkemuka yang dihormati dan disegani. Ia berada dalam lindungan dan bahkan berhubungan erat dengan penguasa Kerajaan Aceh Darussalam. Syamsuddin Sumatrani adalah satu dari empat ulama yang paling terkemuka. Ia berpengaruh serta berperan besar dalam sejarah pembentukan dan pengembangan intelektualitas keIslaman di Aceh pada sekitar abad ke-l7, dan beberapa dasawarsa sebelumnya. Keempat ulama tersebut adalah Hamzah Fansuri, Syamsuddin Sumatrani (wafat 1630), Nuruddin Raniri (wafat 1658), dan Abdur Rauf Singkel (1615/20-1693). Mengenai ada tidaknya hubungan antara Syamsuddin Sumatrani dengan ketiga ulama lainnya, ada baiknya disinggung seperlunya. Mengenai hubungan Hamzah Fansuri dengan Syamsuddin Sumatrani, sejarawan A Hasjmy cenderung memandang Syamsuddin Sumatrani sebagai murid dari Hamzah Fansuri. Pandangan ini diperkuat dengan temuan dua karya tulis Syamsuddin Sumatrani yang merupakan ulasan (syarah) terhadap pengajaran Hamzah Fansuri. Kedua karya

tulis Syamsuddin Sumatrani itu ialah Syarah Ruba’i Hamzah Fansuri, dan Syarah Syair Ikan Tongkol. Adapun hubungannya dengan Nuruddin ar-Raniri, hal ini tak diketahui secara pasti. Yang jelas, bahwa tujuh tahun setelah Syamsuddin Sumatrani wafat, Raniri memperoleh kedudukan seperti sebelumnya diperoleh Syamsuddin Sumatrani. Ia diangkat menjadi mufti Kerajaan Aceh Darussalam pada 1637 oleh Sultan Iskandar Tsani. Karena fatwanya yang men-zindiq-kan (mengkafirkan) paham wahdatul wujud Syamsuddin Sumatrani, maka para pengikut Hamzah Fansuri dan Syamsuddin Sumatrani dihukum pihak penguasa dengan hukuman bunuh. Bahkan literatur-literatur yang mereka miliki dibakar habis. Namun demikian, para pengikut paham Sumatrani, ternyata tidak punah semuanya. Di kisaran tahun 1644, Raniri disingkirkan dari kedudukannya selaku mufti Kerajaan Aceh Darussalam. Ia pun terpaksa pulang ke Ranir, Gujarat. Sebagai penggantinya, Sultanah Tajul Alam Safiatuddin (1641-1675) mempercayakan jabatan mufti kerajaan kepada Saifur Rijal. Saifur Rijal adalah seorang Minang yang juga penganut paham wahdatul wujud. Pada waktu itu ia baru pulang kembali ke Aceh dari pendalaman kajian agama di India. Dengan begitu, paham tasawuf Syamsuddin Sumatrani kembali mewarnai corak keIslaman di Kerajaan Aceh Darussalam.(bulkini/bbs)

M

ENGAJARKAN cinta kepada anak adalah bagian penting dalam hidup beragama. Di antara cinta tersebut adalah mencintai Rasulullah SAW, Ahlulbait, dan mencintai Alqur’an. Habib Ismail bin Yahya Balghais mengatakan, didiklah anakanak dengan kecintaan. Di antaranya, kecintaan kepada Rasulullah SAW, ahlul bait, dan Alqur’an. Hal ini sebagaimana yang diterangkan dalam hadits, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassallam bersabda, “Didiklah anak-anak kalian untuk tiga hal; mencintai Nabi kalian, mencintai ahlul baitnya, dan membaca Alqur`an.” “Dulu, orangtua-orangtua mendidik anak mencintai Rasulullah SAW dengan melantunkan “Lailaaha illallaah Muhammadarrasulullah”, ketika mengayun anak saat hendak tidur, atau sambil membaca shalawat,” ujar Habib Ismail, yang kini berstatus Wakil Gubernur Kalimantan Tengah. Sebab, menurut Habib Ismail, umat Nabi SAW dianjurkan untuk memberikan pendidikan pada anak dari buayan (ayunan) hingga liang lahat. Silakan membelikan film-film power ranger kepada anak, tapi selingi dengan pendidikan-pendidikan agama. Misalnya, putarkan pula maul-

id Habib Syekh, maulid Abah Guru (KH Zaini bin Abdul Gani, Sekumpul, Martapura). “Ajak anak-anak kita untuk ikut maulidan. Meski dia belum fasih mengikuti, diharapkan akan menjadi kebiasaan (cinta),” ujar Habib kelahiran Banjarmasin 1970 ini. Habib Ismail mengaku kerap menyaksikan orangtua-orangtua dulu ketika menidurkan anak dalam ayunan dengan dzikir dan shalawat. Kesaksian tersebut diketahui Habib Ismail, ketika menjalani hidup di Teluk Tiram Banjarmasin. Setelah cinta kepada Rasulullah, lanjut Habib Ismail, didik anak kita mencintai ahlul bait Rasulullah SAW. Ahlul bait tersebut di antaranya adalah dzurriyat Rasulullah SAW. “Ahlul bait Nabi ini layaknya perahu Nabi Nuh AS, yang menyelamatkan umat dari amuk banjir besar,” ujar Habib Ismail. Dan, yang ketiga, kata Habib Ismail, adalah membaca Alqur’an. “Alhamdulillah, di Kalimantan Selatan, ulama dan habaib melimpah. Rugi, kalau sudah ulama dan habaib banyak, tapi kita tidak bisa membaca Alqur’an. Hal itu berbeda di Kalteng, orang yang mau belajar banyak, tapi pengajarnya kurang,” ujar Habib Ismail. Karena itu, Habib berterimakasih banyak kepada para ulama, ustadz, dan da’i yang bersedia masuk ke pedalaman Kalteng untuk menyampaikan agama Islam di tengah-tengah masyarakat Kalimantan Tengah.()


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.