Memberdayakan Suku Baduy

Page 1

MEMBERDAYAKAN SUKU BADUY

P

emerintah

memang

cukup

serius dalam memberdayakan

komunitas adat terpencil (KAT) di Indonesia, termasuk Suku Baduy yang Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Berbagai program pemberdayaan diberikan agar mereka memiliki akses dalam berbagai bidang; sosial, ekonomi, dan politik. Namun demikian, fakta menunjukkan, tidak semua program pemberdayaan itu mereka terima. Pembangunan jalan untuk akses kendaraan bermotor misalnya, dengan tegas mereka tolak. Mereka juga menolak program-program yang

Memberdayakan Suku Baduy

bermukim di Kecamatan Leuwidamar,

bersifat konsumtif lainnya.

Djoharis Lubis

MEMBERDAYAKAN SUKU BADUY

Di balik itu semua, disadari atau tidak, mereka mulai terimbas modernisasi. Mereka kini gemar menyantap makanan kemasan, mi, permen, dan lain-lain. Di sisi lain, mereka masih buta huruf. Fenomena ini cukup mengkhawatirkan. Sebab, bagaimana mereka tahu kalau makanan kemasan yang mereka konsumsi itu sudah kedaluwarsa? Lalu, program-program pemberdayaan apa saja yang sesuai bagi mereka? program pemberdayaan sebelumnya. Dari buku ini, diharapkan pemerintah nantinya tidak mengulangi kesalahan serupa dalam memberdayakan Suku Baduy.

l

l

Penerbit Buku Ilmiah Populer PT. Sarana Komunikasi Utama PO BOX 167/BOO Bogor 16001 Telp/Fax.: 0251-8379752 e-mail: sku_buku@yahoo.com Web: www.penerbitsku.ucoz.com

Djoharis Lubis

Buku ini mencoba untuk menyodorkan berbagai alternatif berdasarkan evaluasi

ISBN 978-979-1291-26-2 9 789791 291262

KEMENTERIAN KOORDINATOR BIDANG KESEJAHTERAAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA 2009


Bagian Pertama

Baduy Selayang Pandang



Suku Baduy yang Unik Kehidupan suku Baduy memang unik. Di tengah-tengah gemerlapnya teknologi, mereka tak bergeming. Mereka masih memegang teguh nilai-nilai adat tradisional.

T

erisolasi dan terpencil. Itulah selayang pandang kehidupan masyarakat Baduy Dalam (Kajeron). Mereka terbilang unik, anti modernisasi. Tak ada radio atau pesawat televisi. Apalagi telepon seluler (hand phone). Ketiadaan benda-benda sarat teknologi itu bukan lantaran mereka tak mampu membeli. Namun hal itu lebih disebabkan pola hidup mereka yang memang anti modernisasi. Mereka senantiasa menjunjung tinggi nilai-nilai tradisional. Mereka lebih suka menikmati kehidupan sepi teknologi modern. Bagi mereka, lereng-lereng bukit dan pedalaman hutan menjadi tempat yang ideal sebagai kawasan permukimannya. Tak ada akses jalan desa yang menghubungkan antara permukiman mereka dan kawasan di sekitarnya. Akses jalan desa hanya sampai perkampungan Baduy Luar. Untuk menuju Baduy Dalam yang berjarak sekitar 10 km, kita harus berjalan kaki menembus hutan, kebun, dan bukit. Meski berada di pedalaman, suhu udara pada siang hari terasa panas. Apalagi kebiasaan para peladang berpindah yang sering

Baduy Selayang Pandang


Gambar 1. Peta Desa Kanekes, Leuwidamar, Kabupaten Lebak.

M E M B E R DAYAKAN SUKU BADUY


menebangi hutan untuk dijadikan lahan pertanian dan perkebunan. Meski siang panas, namun suhu udara pada malam hari masih terasa sejuk. Alamnya juga terbilang subur. Kawasan seluas sekitar 5.101,85 ha ini berada pada ketinggian 434 meter di atas permukaan laut (m dpl). Komunitas ini terdiri dari 3 kampung, yakni Cibeo, Cikeusik, dan Cikartawana. Jarak antarkampung sekitar 5-17 km. Akses untuk mencapai permukiman tetangga dicapai dengan berjalan kaki. Maklum, kondisi geografis perkampungan mereka berada di lembah-lembah yang dikelilingi pegunungan Kendeng dan di antara sela-sela lembah yang dalam dan curam. Lain lagi dengan komunitas di Baduy Luar. Memang, kedua suku tadi, secara administrasi berada di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Namun masyarakat Baduy Luar lebih modern. Maklum, kawasan yang dihuni masyarakat Baduy Luar tidak terisolir dan tidak terpencil secara administratif. Karena faktor itulah, komunitas Baduy Luar tidak masuk dalam kategori terpencil sebagaimana ciri-ciri atau kategori yang dirumuskan Departemen Sosial (Depsos). Menurut Depsos, salah satu kriteria komunitas terpencil adalah menetap sementara, tetapi sebenarnya mereka adalah masyarakat yang meneGambar 2. Suku Baduy.

Baduy Selayang Pandang


Gambar 3. Situasi perkampungan Suku Baduy yang berada di antara lembah dan dikelilingi pegunungan Kendeng

M E M B E R DAYAKAN SUKU BADUY


tap secara permanen sejak beberapa generasi. Lagi pula wilayah tersebut relatif mudah dicapai dan dapat ditempuh dengan menggunakan kendaraan bermotor. Jarak tempuh dari Ibu kota Kabupaten Rangkasbitung hanya berjarak sekitar 47 km. Di kawasan ini terdapat 24 kampung serta 9 bobokan (huma). Huma merupakan tempat tinggal sementara yang berlokasi di luar kampung itu. Jumlah penduduk Baduy Luar diperkirakan mencapai 498 kepala keluarga (KK) atau 1.354 orang.

Ras Melayu Karakteristik Komunitas masyarakat Baduy termasuk dalam ras Melayu (Deutromelayu). Ini artinya, mereka tidak jauh berbeda dengan orang Indonesia pada umumnya. Dari bentuk fisik kepala mereka termasuk Mesocephalis dan ada juga Brochicephalis. Bentuk bibir mereka sedang, tidak seperti orang Negroid yang berbibir relatif tebal. Mata mereka umumnya coklat, kulit sawo matang dan kuning, dengan warna rambut coklat tua dan hitam dengan model rambut yang bervariasi, ada yang lurus dan bergelombang. Ciri fisik serta bahasa mereka seperti komunitas Sunda.

Baduy Selayang Pandang


Gambar 4. Selain pertanian dan berkebun, suku Baduy Dalam juga memanfaatkan sumber daya alam yang tersedia.

Mata Pencaharian Hampir sebagian besar masyarakat Baduy bermata pencaharian pokok di bidang pertanian dan berladang. Untuk menambah penghasilan, mereka juga berdagang, menjadi buruh perkebunan, serta mencari buah-buahan dari hasil hutan dan ladang mereka. Di bidang pertanian, mereka menganut sistem ladang berpindah, yaitu sistem pengolahan tanah dengan cara menebang/tebas dan membakar hutan yang terletak di lereng-lereng pegunungan. Uniknya, selama bercocok tanam padi, kacang-kacangan, sayursayuran, dan buah-buahan, mereka tidak menggunakan pupuk. Mereka tidak menanam pohon-pohon. Dalam satu huma atau tempat, hanya boleh digunakan untuk dua kali pengolahan. Sumber penghidupan lain dari komunitas Baduy adalah berdagang. Dulu, Komunitas Baduy Luar menggunakan sistem barter yaitu menukarkan hasil bumi dengan kebutuhan makan sehari-hari, seperti ikan asin, terasi, garam, serta kebutuhan lain yang berguna bagi mereka. Namun seiring dengan perkembangan jaman, mereka sekarang menggunakan cara-cara jual beli konvensional dengan menggunakan uang sebagai alat pembayaran yang sah.

M E M B E R DAYAKAN SUKU BADUY


Sementara itu, di bidang kesenian, masyarakat Baduy mengenal seni sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan religi, adat istiadat, dan berbagai upacara yang sering dianggap feodal. Salah satu peralatan kesenian yang dinilai memiliki nilai kesakralan tersendiri adalah angklung dan gamelan. Karena itu, untuk membunyikan kedua alat musik tersebut memiliki aturan tersendiri dan tidak boleh dibunyikan setiap waktu. Bahkan pada bulan-bulan tertentu, kedua alat musik tersebut harus disimpan dan dikukus dengan kemenyan. Soal agama yang dipeluk, mereka menganut kepercayaan yang disebut agama Sunda. Kekuasaan tertinggi dalam kehidupan mereka ada di Tangan Yang Maha Esa (Allah Taala, Guriang Tunggal, Gusti Ni Maha Suci). Mereka juga percaya dan memuja nenek moyang yaitu Paramunggu Karuhun atau Wangtua. Masyarakat Baduy juga percaya bahwa mereka dihadirkan oleh Ambu Luhur (Pencipta Dunia) yang mula-mula menciptakan dunia dari sebesar lada dan lama-kelamaan menjadi besar. Menurut kepercayaan mereka, Desa Kanekes merupakan pusat terjadinya bumi (Pancar Bumi). Dari situ jelas bahwa tanah yang mereka huni itu merupakan titipan dari Ambu Luhur. Ambu luhur tersebut juga menciptakan Batara Tujuh dan yang mengurusi dunia disebut sang Hyang Tujuh.

Baduy Selayang Pandang


Mengenal Komunitas Baduy Asal-usul dan adat istiadat komunitas Baduy menarik untuk ditelusuri. Pengetahuan lokal (local knowledge) mereka juga menarik perhatian. Kita dapat belajar banyak dari gaya hidup sehat mereka.

P

ertanyaan yang sering terlontar adalah mengapa pola hidup komunitas Baduy berbeda dengan suku-suku lainnya di Pulau Jawa? Hal itu tentu tak terlepas dari sejarah yang mengiringinya. Tidak mudah memang merunut sejarah tersebut. Apalagi saat ini telah berkembang empat versi berbeda mengenai asal usul komunitas masyarakat Baduy. Versi pertama, komunitas Baduy berasal dari pelarian orangorang Pajajaran yang melarikan diri saat diserbu Kesultanan Banten (ketika itu dipimpin Sultan Maulana Yusuf). Mereka melarikan diri karena tidak mau menganut agama Islam, seperti yang diajarkan oleh orang-orang Banten. Karena alasan itulah mereka akhirnya menyingkir dan mengasingkan diri ke Pegunungan Kendeng. Versi kedua lebih unik lagi. Menurut pemahaman masyarakat Baduy, mereka adalah keturunan Nabi Adam. Sehingga mereka pun mengklaim telah menetap �������������������������������������������� di pegunungan Kendeng sejak berabadabad yang lalu dan tidak pernah berpindah. 10

M E M B E R DAYAKAN SUKU BADUY


Gambar 5. Di perkampungan inilah masyarakat Baduy telah menetap sejak berabad-abad lamanya.

Lain lagi dengan versi ketiga. Berdasarkan sejarah pergerakan penduduknya, mereka berasal dari daerah Banten utara yang tidak mau menganut agama Islam. Mereka kemudian menduduki aliran Sungai Ciujung sampai ke Pegunungan Kendeng dan menetap di sana dengan mendirikan perkampungan. Versi keempat, menurut beberapa pendapat orang tua, komunitas Baduy berasal dari pantai utara Pulau Jawa. Hal ini jika dihubungkan dengan adat dan kebiasaan masyarakat Baduy yang setiap tahunnya mempersembahkan seba (semacam upeti) ke erang. Namun sekarang, upeti tersebut diserahkan ke Lebak.

Mengenal Adat Istiadat Terlepas dari berbagai versi tersebut, masyarakat Baduy juga memiliki adat-istiadat tersendiri. Mereka menjunjung tinggi adat tersebut. Salah satunya adalah dalam sistem perkawinan. Mereka menganut perkawinan eksogami keluarga. Menurut mereka, perkawinan yang

Baduy Selayang Pandang

11


baik adalah perkawinan antar-cross cousin dan parental cousin. Namun, ada ketentuan bahwa pengantin laki-laki harus dari pihak kakak. Jadi, bila ada dua kakak beradik berjenis kelamin laki-laki dan dua kakak beradik berjenis kelamin wanita akan menikahkan anaknya, maka ada dua pasangan perkawinan yang harus dipatuhi. Pasangan pertama adalah antara anak sulung (kakak) laki-laki dan anak sulung (kakak) wanita. Pasangan kedua adalah anak bungsu (adik) laki-laki dengan anak bungsu (adik) wanita. Bagi masyarakat Baduy Luar, perkawinan mereka disahkan oleh penghulu. Maklum, mayoritas komunitas Baduy Luar menganut agama Islam. Lain lagi dengan Baduy Dalam, perkawinan mereka disahkan oleh Puun. Namun demikian, ada persamaan di antara kedua komunitas tersebut. Baik masyarakat Baduy Dalam maupun Baduy Luar dilarang berpoligami. Mengenai hubungan kekerabatan, masyarakat Baduy menganut sistem parental dengan garis keturunan bilateral. Dengan demikian semua unsur dalam kemasyarakatan seperti perkawinan, warisan, dan lain-lain dihubungkan dengan kekeluargaan. Soal pembagian harta warisan misalnya, antara laki-laki dan wanita memperoleh bagian yang sama. Komunitas Baduy juga menyelenggarakan upacara adat sesuai dengan siklus pertanian mulai dari membersihkan tanah sampai menanam padi. Upacara Nawearas misalnya dilakukan saat mereka membersihkan tanah. Lalu ada juga Nyacar, memotong pohon kecil dengan menyediakan bermacam sesaji kecil yang disediakan oleh mereka sendiri. Ketika Nukuh (kegiatan untuk menebang pohon besar), mereka juga menyediakan sesajian. Setelah itu ada Ngaburu yaitu membakar

12

M E M B E R DAYAKAN SUKU BADUY


ranting-ranting dan abunya dibiarkan menjadi pupuk. Terakhir adalah Ngaseuk yaitu upacara menanam padi. Semua upacara tersebut intinya dimaksudkan untuk memohon keselamatan kepada Sang Pencipta Alam Semesta dan diberi rezeki.

Memahami Iptek Masyarakat Baduy sebenarnya juga melek ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek). Hanya saja mereka mendapatkan ilmu pengetahuan dari pendidikan nonformal, yaitu melalui pewarisan nilai-nilai dan tradisi dari nenek moyang mereka. Melalui cara ini, generasi mudanya diharapkan dapat meneruskan kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan nenek moyang mereka dalam kehidupan sehari-hari. Ya, mereka lebih memilih cara seperti itu daripada menyekolahkan anaknya ke sekolah formal seperti SD, SMP, dan SMA. Mereka beranggapan, jika anaknya disekolahkan melalui pendidikan formal, kelak anak mereka akan menjadi anak yang sok pandai atau menyepelekan orang tua (osok minteran ka kolot). Mereka khawatir anaknya akan menjadi orang yang tidak benar dan membangkang apa yang dikatakan orang tua. Karena pandangan seperti itulah masyarakat Baduy memilih tidak menyekolahkan anaknya di pendidikan formal. Ini terbukti ketika pemerintah mendirikan SD di Desa Kenekes. Bangunan tersebut tidak dimanfaatkan untuk proses belajar-mengajar. Begitu juga di bidang kesehatan. Memang sebagian komunitas Baduy Luar sudah mau berobat medis ke mantri kesehatan atau tenaga medis yang ada di Puskesmas Leuwidamar. Namun hal itu mereka lakukan jika obat-obatan tradisional tidak berhasil menyembuhkan penyakitnya. Jadi, mereka berobat ke Puskesmas merupakan pilihan terakhir dalam mengobati penyakit-

Baduy Selayang Pandang

13


nya. Asupan makanan dan gizi mereka juga dinilai kurang terpelihara. Mereka juga tidak perlu menjalankan Keluarga Berencana (KB). Sebab, mereka punya cara-cara tradisional untuk mengatur kehamilan istrinya. Berlatar belakang demikian, bisa jadi mereka dianggap belum memahami pengetahuan medis modern. Tak heran kalau ada pendapat yang menyimpulkan kalau mereka memiliki tingkat kesehatan yang rendah. Benarkah demikian? Menurut pengamatan penulis, secara fisiologi, kondisi mereka, khususnya masyarakat Baduy Dalam, sebenarnya sehat lahir dan batin. Hal itu tak terlepas dari beberapa faktor yang mendorong tubuh mereka tampak sehat. Coba lihat lingkungan tempat mereka bermukim. Alamnya tampak asri. Pohon-pohon menyelimuti mereka. Tak ada polusi udara dan pencemaran air. Tak ada juga kebisingan yang memekakkan telinga. Begitu juga dengan makanan yang mereka konsumsi. Sumber makanan itu berasal dari hasil pertanian yang bebas pestisida. Tak ada ra-

14

Gambar 6. Pintu masuk di Baduy Luar tampak rapi dan sudah cukup modern.

M E M B E R DAYAKAN SUKU BADUY


cun yang ikut masuk ke tubuh mereka. Secara psikologis, mereka juga jarang bahkan tidak pernah terkena stres. Jiwa mereka selalu lapang, hati mereka bersih dan pikiran mereka jernih dalam menyikapi kehidupan. Tak ada penumpukan harta kekayaan. Mereka selalu merasa cukup. Nilainilai kultur mereka terima secara mutlak. Dengan cara seperti itu mereka tidak hidup dalam tekanan sistem sosial seperti orang yang hidup di kota besar. Mereka sangat memegang teguh nilai-nilai kebersamaan. Mereka, khususnya Baduy Dalam tidak mengenal “trik-trik persaingan�. Jelas dilihat dari perspektif ekologis dan psikologis, komunitas Baduy Dalam memiliki tingkat kesehatan yang prima.

Baduy Selayang Pandang

15


Pemberdayaan Suku Baduy, Sudahkan Sesuai? Suku Baduy merupakan bagian dari Komunitas Adat Terpencil (KAT). Mereka membentuk kelompok sosial budaya yang bersifat lokal, relatif kecil, tertutup, tertinggal, homogen, terpencar, dan berpindah-pindah atau menetap. Lalu, sudahkah sesuai pemberdayaan Suku Baduy selama ini?

T

idaklah mudah memberdayakan Suku Baduy. Maklum mereka masih berpegang teguh pada adat-istiadat, bermukim di sebuah kawasan yang sulit dijangkau, dan penghidupannya masih tergantung dengan alat sederhana. Karena itu perlu dilakukan pendekatan kultural sosiologis dengan tetap mengacu pada pola pikir holistik komprehensif, multidisiplin, dan multi sektor. Patut diketahui, komunitas Baduy memang jauh lebih maju, jika dibandingkan dengan KAT yang hidupnya di pulau terpencil, perbatasan kedua negara, pantai, rawa-rawa, pedalaman, dan pegunungan atau dataran tinggi. Bukan apa-apa, KAT tersebut bertahan hidup dari hasil berburu, menangkap ikan, memanfaatkan hasil hutan, dan bercocok tanam secara berpindah-pindah. 16

M E M B E R DAYAKAN SUKU BADUY


Pengertian KAT Keputusan Presiden No 111 Tahun 1999 mendefinisikan, KAT adalah kelompok sosial budaya yang bersifat lokal dan terpencar serta kurang atau belum terlibat dalam jaringan pelayanan sosial, ekonomi, dan politik. Menurut Ipujono dan Indrawati, kehidupan KAT tidak terlepas dari alam. Ketergantungan mereka terhadap alam sangat tinggi, karena bagi mereka memelihara kelestarian alam adalah satu-satunya cara untuk mempertahankan kelangsungan hidup. Dalam mengelola sumber daya alam, mereka juga mempunyai budaya dan kearifan lokal yang khas. Joseph Heffernan dalam bukunya Social Work and Social Welfare An Introduction (1998: 166) yang dikutip Suroyo mengatakan, ”Community may be defined as groups of people who live within certain incorporated limits”. Menurut Saroyo, keberadaan puluhan bahkan ratusan keluarga di lokasi terpencil, terutama dilihat secara geografis dan merupakan kelompok sosial budaya, baik yang bersifat lokal maupun terpencar serta kurang atau belum terlibat dalam jaringan dan pelayanan umum tergolong KAT. Pemberdayaan, KAT menurut Kepres No. 111/1999 adalah kegiatan nyata untuk membantu terciptanya kondisi sosial politik, ekonomi, filosofi, dan budaya warga masyarakat KAT, dengan harapan mampu mengembangkan diri menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Jadi, ����������������������� pemberdayaan KAT adalah upaya penguatan untuk menentukan sendiri pemenuhan kebutuhan hidup. Menurut Saroyo, pemberdayaan sosial kepada warga masyarakat KAT mengandung makna adanya sebuah upaya terencana dan sistematis dalam meningkatkan kemampuan dan partisipasi seluruh sasaran pemberdayaan KAT. Termasuk ���������������������������� adanya peningkatan kemampuan KAT dalam mengelola sumber daya yang tersedia, baik

Baduy Selayang Pandang

17


sumber daya alam, sumber daya manusia, maupun sumber daya sosial. Sementara itu, tujuan umum program pemberdayaan KAT, menurut Hikmat, adalah meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan komunitas adat terpencil secara bertahap sebagaimana masyarakat Indonesia pada umumnya, serta memperoleh kesempatan untuk berperan aktif dalam pembangunan. Sasaran yang ingin dicapai adalah meningkatkan taraf kesejahteraan sosial komunitas adat tertinggal yang terletak di daerah-daerah terpencil dengan tetap memelihara ilmu pengetahuan dan kearifan lokal. Selain itu, program ini diharapkan mampu melayani apa yang menjadi hak setiap warga negara. Maklum, keterpencilan secara geografis menjadi hambatan untuk mendapatkan hak tersebut. Penelitian terhadap perkembangan Suku Dayak dalam karakter masyarakat pernah dilakukan Dasuki (2008). Menurutnya, ada tiga permasahan umum yang dihadapi keluarga/masyarakat KAT, yaitu ekonomi, sosial budaya, dan pendidikan. Masalah ekonomi terkait dengan pemenuhan kebutuhan hidup keluarga yang tidak stabil. Sebuah program dikatakan berhasil dan sukses apabila memenuhi kriteria keberhasilan yang ditetapkan. Membahas mengenai kriteria keberhasilan sebagai patokan evaluasi tidak terlepas dari pembahasan standar dan indikator. Makna ketiga konsep tersebut tentunya tidak sama, tetapi memiliki kaitan satu dengan yang lainnya. Mutrofin dan Hadi menjelaskan, kriteria merupakan karakteristik program yang dianggap basis penting untuk melakukan riset evaluasi pada program tersebut. Pendapat ini senada dengan apa yang disampaikan Winkel dan Hastuti, bahwa kriteria adalah patokan dalam evaluasi program. Berbeda dengan kriteria, standar memiliki penekanannya pada pertanyaan �seberapa banyak kriteria penting telah mencukupi?�.

18

M E M B E R DAYAKAN SUKU BADUY


Sementara itu, indikator merujuk pada ukuran yang digunakan untuk mengumpulkan data sehubungan dengan performansi nilai kriteria (valued kriteria). Kriteria merupakan karakteristik program yang dianggap sebagai basis relevan dan penting untuk melakukan riset evaluasi. Pemberian nilai pada kriteria didasarkan pada keyakinan, pengalaman pribadi, pengalaman orang lain, dan hasil kajian teoritis. Berdasarkan pendapat ahli tersebut, maka kriteria yang digunakan untuk menentukan efektifitas program pemberdayaan KAT dalam konteks evaluasi CIPP dapat dilihat pada Tabel 1.

Imbas Modernisasi Terletak di Provinsi Banten, Suku Baduy perlahan-lahan terkena imbas modernisasi. Setidaknya mereka sudah mulai mengonsumsi makanan olahan seperti mi instan, kembang gula (permen), dan makanan kaleng. Di luar masalah itu, mereka masih tetap mempertahankan budaya nenek moyang mereka yang sudah ratusan, bahkan ribuan tahun silam. Berlatar belakang sejarah dan budaya masyarakat Baduy itulah, pemberdayaan KAT bagi masyarakat Baduy tidak terlepas dari berbagai aspek sosial, kultural, ekonomi, politik, dan psikologis yang mempengaruhi pola kehidupannya. Karena itu, membuka akses mereka dengan dunia luar sedapat mungkin menghindari cultural shock yang berat. Seperti diketahui, ada tiga pola pendekatan dalam pemberdayaan Suku Baduy yang digarap Departemen Sosial (Depsos). Tiga pola pendekatan tersebut adalah pemberdayaan dari tempat asal, pengembangan usaha melalui stimulus, dan pemberdayaan di tempat baru atau dipindahkan.

Baduy Selayang Pandang

19


Ada dua masalah penting yang harus diatasi, yakni internal dan eksternal. Masalah internal menyangkut terbatasnya akses pelayanan sosial dasar, terpencil, terisolasi, sulit dijangkau, dan jalur terbatas. Selain itu, ekonominya masih subsistem, bahkan rawan pangan. Mereka juga masih menggunakan teknologi sederhana, belum mengenal budidaya, sumber terbatas, dan menurunnya kualitas lingkungan. Sementara itu, masalah eksternal menyangkut kesenjangan sosial, ekonomi, budaya, dan wilayah. Daya serap pemberdayaan dan populasi juga masih terbatas. Perhatian pemerintah daerah juga kurang proporsional. Di samping itu, masyarakat dan LSM bidang pemberdayaan KAT juga belum banyak berperan. Hal ini masih ditambah lagi dengan sosialisasi keberadaan dan pemberdayaan KAT yang masih minim. Aspek lain yang yang cukup penting dalam program pemberdayaan KAT, menurut Fanggidae, adalah terkait dengan evaluasi terhadap pemberdayaan KAT itu sendiri. Menurutnya, hingga saat ini evaluasi pemberdayaan KAT masih lebih banyak dilaksanakan pihak luar, yaitu para stakeholders. Dengan demikian, ke depan pola seperti ini perlu dimodifikasi dengan melibatkan warga KAT untuk mengevaluasi sampai sejauh mana hasil pemberdayaan dapat mereka rasakan. Sebab, merekalah yang paling mengetahui. Merekalah yang pertama kali merasakan berhasil-tidaknya program pemberdayaan tersebut.

20

M E M B E R DAYAKAN SUKU BADUY


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.