Banjarmasin Post edisi Rabu, 22 Mei 2013

Page 30

Aspirasi

30 TAJUK

Tugas ‘Politis’ Menkeu Baru TUGAS berat sebagai menteri keuangan dipercayakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kepada Chatib Basri. Mantan kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) itu ditugasi melanjutkan tugas Agus Martowardojo yang digeser sebagai gubernur Bank Indonesia (BI). Sebelum menjabat kepala BKPM, Chatib adalah wakil ketua Komite Ekonomi Nasional (KEN). Melihat jejak langkah, penunjukan Chatib bukanlah sesuatu yang mengejutkan. Meski tidak berlatar partai politik (parpol), sudah sejak lama dia menjadi bagian dari pemerintah. Track record dia sebagai ekonom juga cukup mumpuni. Selain dosen di almamaternya, Universitas Indonesia, Chatib sudah melanglang buana seagai konsultan di berbagai lembaga internasional seperti Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia, AUSAID dan UNCTAD. Kemampuan intelektual dan pengalaman kerja Chatib diyakini presiden bakal mampu melaksanakan tugas utama yakni menjaga, mengembangkan dan menjalankan kebijakan fiskal serta memberikan dukungan kebijakan agar investasi meningkat. Memang tugas berat, namun banyak kalangan menilai Chatib bisa mengembannya. Sekali lagi jika melihat kemampuannya, tidak ada meragukannya. Namun, jabatan menteri selalu bersinggungan dengan kondisi politik. Tantangan paling awal, meski telah ditunjuk presiden, Chatib harus mampu meyakinkan DPR. Chatib yang jelas didukung partai pemerintah, Partai Demokrat --mungkin juga partai anggota sekretariat gabungan-- harus belajar dari Sri Mulyani Indrawati dan Agus Martowardojo yang kerap ‘diserang’ politisi di Senayan.

Pekerjaan berat itu antara lain meyakinkan DPR mengenai rencana anggaran pendapatan belanja negara (APBN) perubahan 2013 terkait rencana kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi. Tentu juga program terkait kebijakan itu, pengucuran bantuan langsung sementara masyarakat (BLSM). Sudah diketahui, ada parpol koalisi bahkan parpol pendukung pemerintah yang mengisyaratkan penolakan terhadap kebijakan itu. Tak hanya itu yang bakal dihadapi Chatib di legislatif. Politisi parpol koalsi kemungkinan besar akan meminta dia mengubah haluan kebijakan ekonomi nasional yang dinilai cenderung liberal. Mereka menilai, kecenderungan arah kebijakan itulah yang mengakibatkan makin melebarnya ketimpangan dan kian terabaikannya pemerataan pembangunan. Meski berlatar belakang aktivis mahasiswa, bagi sebagaian politisi, Chatib dicap ekonom neoliberal. Chatib memang nonparpol, namun ketika dia dijadikan bagian dari pemerintah, politisi Senayan tentu melihatnya sebagai ‘orang parpol istana’. Kecurigaan itu tidak bisa dihindari, apalagi dia ditunjuk sebagai menteri pada setahun sebelum pelaksanaan pemilu. Syak wasangka dia mendapat tugas khusus dari Yudhoyono yang notabene ketua umum Partai Demokrat terkait pemilu, tentu muncul. Kini, ‘bola panas’ di tangan Chatib. Mampukah dia meyakinkan para politisi di DPR? Juga mampukah dia mengemban tugas berat di ‘dunia politik’ yang tidak mengenal kawan dan lawan abadi? Diasudah mengambil keputusan untuk maju. Kini, waktu yang akan menjadi saksi kuat tidaknya dia menduduki ‘kursi panas’ sebagai menteri keuangan. (*)

SUARA REKAN

Mimpikah yang Pemekaran? KETUA Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten (DPRK) Nagan Raya Samsuardi, dan Ketua DPRK Aceh Barat Ishak Yusuf, menolak secara tegas usulan pembentukan provinsi Aceh Barat Selatan (Abas). Mereka berpendapat, pemekaran Aceh memecah belah masyarakat, serta bertentangan dengan MoU Helsinki dan konstitusi Republik Indonesia, yakni Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA). “Pemekaran wilayah menjadi Provinsi Aceh Barat Selatan (Abas) ini hanya mimpi di siang bolong,” teriak Samsuardi. Politisi partai lokal yang kerap disapa Juragan itu mengatakan, pemekaran Aceh hanyalah usaha pihak tertentu yang menginginkan masyarakat terpecah belah. Juragan dkk akan meminta Pusat supaya tidak merespon tuntutan pemekaran Aceh menjadi tiga provinsi. Nyaris senada dengan Juragan, Ketua DPRK Aceh Barat Ishak Yusuf menegaskan, “Secara pribadi saya tidak setuju dengan usulan pemekaran wilayah, karena hanya akan menambah masalah baru.” Intinya ia menginginkan perdamaian Aceh yang selama ini sudah berjalan supaya dipertahankan, jangan menciptakan konflik baru dalam masyarakat. Berbeda dengan pandangan Juragan dan Ishak Yusuf, para pendukung pemekaran provinsi ALA dan Abas justru merasa sangat sadar bahwa mereka tidak sedang bermimpi di siang bolong. Misalnya, akhir pekan lalu, ratusan warga wilayah barat selatan Aceh berkumpul di Nagan Raya mendiskusikan berbagai masalah terkait pembentukan provinsi ABAS. Dalam diskusi itu berkembang berbagai hal, termasuk seruan agar memakai/mencantumkan nama provinsi ABAS di pamflet maupun

plang nama lembaga pemerintahan, pendidikan, organisasi, dan lain-lain sebagai bagian dari sosialisasi. Pertemuan di Nagan itu merupakan lanjutan dari pertemuan Meulaboh pada 20 April 2013 yang mendeklarasian Provinsi Abas. Per temuan Nagan juga dirangkai dengan penggalangan tanda tangan sebagai bentuk dukungan berbagai elemen masyarakat untuk segera terwujudnya Abas. Dengan demikian jelas betul terlihat bahwa mereka merasa tidak sedang bermimpi di siang bolong. Tapi justru sedang berjuang untuk perbaikan nasib. Bicara soal pemekaran, sesungguhnya bukanlah barang haram di Indonesia pascareformasi. Cuma saja, sepanjang dibukanya kran pemekaran wilayah sejak 15 tahun terakhir, hasil evaluasinya mengisyaratkan pemekaran wilayah kurang mencapai sasaran. Banyak di antaranya bahkan gagal dan hanya menjadi beban pemerintah. Karenanya, kini Pusat bersikap ekstra hati-hati dalam hal pemekaran wilayah kabupaten/kota dan provinsi. Alasannya, ya itu tadi, banyak yang kurang berhasil memperbaiki nasib rakyatnya. Selain itu, gencarnya KPK menciduk koruptor, membuat politisi Senayan yang sebelumnya diketahui banyak yang menjadi calo pemekaran, kini “tiarap”. Namun demikian, perjuangan untuk pemekaran tetap saja bukan barang haram. Yang penting bagaimana menyiapkan data dan fakta serta analisa yang kuat untuk meyakinkan Pusat bahwa provinsi ini layak dimekarkan. Jadi, motivasi pemekaran tidak karena emosi, sakit hati, kecewa, dan sebagainya. Akan tetapi semata-mata karena memang pantas dimekarkan demi perbaikan pelayanan serta kesejahteraan rakyat. Nah!? (*)

Homepage: http//www.banjarmasinpost.co.id Penerbit SIUPP

: PT Grafika Wangi Kalimantan : SK Menpen No. 004/SK MENPEN/ SIUPP/A.7/1985 tgl 24 Oktober 1985 Sejak Tanggal : 2 Agustus 1971 Direktur Utama : Herman Darmo

e-mail : redaksi@banjarmasinpost.co.id Pemimpin Umum : HG (P) Rusdi Effendi AR Pendiri : Drs H J Djok Mentaya (1939-1994) Drs H Yustan Aziddin (1933-1995) HG (P) Rusdi Effendi AR

Banjarmasin Post Group Pemimpin Redaksi: Yusran Pare Wakil: Harry Prihanto Redaktur Pelaksana: Dwie Sudarlan Manajer Peliputan: Elpianur Achmad Asisten Manajer Peliputan : R Hari Tri Widodo Manajer Produksi: M Taufik Redaktur Eksekutif: Muhammad Yamani (Banjarmasin Post/Online), Mulyadi Danu Saputra (Metro Banjar), Irhamsyah Safari (Serambi UmmaH), Manajer Redaksi: Irhamsyah Safari Wakil: Agus Rumpoko Redaktur: Sigit Rahmawan A, Umi Sriwahyuni, Syamsuddin, Alpri Widianjono, Kamardi, Mahmud M Siregar, Aya Sugianto, Sofyar Redhani, M Royan Naimi, Siti Hamsiah. Asisten:Eka Dinayanti, Murhan, Anjar Wulandari, Ernawati,Idda Royani, Mohammad Choiruman. Staf Redaksi: Sudarti (Reporter Senior), Hanani, Burhani Yunus, AM Ramadhani, Halmien Thaha, Syaiful Anwar, Syaiful Akhyar, Khairil Rahim, Ibrahim Ashabirin, Sutransyah, Faturahman, Irfani Rahman, Jumadi, Edi Nugroho, Budi Arif RH, Doni Usman, Mustain Khaitami (Kabiro), Hari Widodo, Ratino, M Risman Noor, Salmah, George Edward Pah, Rahmawandi, M Hasby Suhaily, Helriansyah, Didik Triomarsidi (Kabiro), Nia Kurniawan, Mukhtar Wahid, Rendy Nicko Ramandha, Restudia, Yayu Fathilal, Aprianto, Frans, Nurholis Huda. Fotografer: Donny Sophandi, Kaspul Anwar. Tim Pracetak: Syuhada Rakhmani (Kepala), M Syahyuni, Aminuddin Yunus, Syaiful Bahri, Edi Susanto, Sri Martini, Kiki Amelia, Rahmadi, Ibnu Zulkarnain, Achmad Sabirin, Rahmadhani, Ahmad Radian, M Trino Rizkiannoor, M Denny Irwan Saputra, Samsudi. Biro Jakarta: Febby Mahendra Putra (Kepala), Domuara Ambarita, Murdjani, Antonius Bramantoro, Budi Prasetyo, Fikar W Eda, FX Ismanto, Johson Simandjuntak, Rahmat Hidayat, Yulis Sulistyawan, Choirul Arifin, Hendra Gunawan, Sugiyarto

Pemimpin Perusahaan: A Wahyu Indriyanta General Manager Percetakan: A Wahyu Indriyanta Asisten General Manager Percetakan : Suharyanto Wakil PP (Bidang Humas dan Promosi): M Fachmy Noor Asisten Manajer Iklan : Helda Annatasia (08115803012) Manajer Sirkulasi : Riadi (08115003012) Alamat: Gedung HJ Djok Mentaya, Jl AS Musyaffa No 16 Banjarmasin 70111, Telepon (0511) 3354370 Fax 4366123, 3353266, 3366303 Bagian Redaksi: Ext 402-405 ; Bagian Iklan: Ext. 113, 114 Bagian Sirkulasi: Ext. 116, 117 Pengaduan Langganan: 08115000117 (0511) 3352050 Biro Jakarta-Persda: Redaksi, Jl Pal Merah Selatan No 12 Lantai II Jakarta 10270, Telp (021) 5483008, 5480888 dan 5490666 Fax (021) 5495358 Perwakilan Surabaya: Jl Raya Jemursari 64 Surabaya, Telp (031) 8471096/ 843428, Fax (031) 8471163 Biro Banjarbaru: Jl Mister Cokrokusumo Kav 15-17 Widya Chandra Utama, Cempaka, Kota Banjarbaru Telp (0511) 4780355 Fax (0511) 4780356, Biro Palangka Raya: Jl Tjilik Riwut Km.2,5 Palangka Raya, Telp (0536) 3242361 Tarif Iklan: zDisplay Umum: Hitam Putih (BW): Rp 22.500/mmk Berwarna (FC): Rp 45.000/mmk zDisplay Halaman 1: Hitam Putih (BW): Rp 45.000/mmk Berwarna (FC): Rp 90.000/mmk zIklan kolom/Duka Cita: Hitam Putih (BW): Rp 15.000/mmk Berwarna (FC): Rp 30.000/mmk zIklan Kuping: (FC) Rp 100.000/mmk zIklan Baris: (FC) Rp 20.000/baris: (BW): Rp 15.000/baris zIklan Satu Kolom : (FC)Rp 30.000/mmk, (BW): Rp15.000/mmk Catatan: Harga belum termasuk PPN 10%. Harga Langganan: Rp 75.000/bln Percetakan: PT Grafika Wangi Kalimantan Alamat: Lianganggang Km 21 Landasan Ulin Selatan Banjarbaru Telepon (0511) 4705900-01 Isi di luar tanggung jawab percetakan Setiap artikel/tulisan/foto atau materi apa pun yang telah dimuat di harian “Banjarmasin Post” dapat diumumkan/dialihwujudkan kembali dalam format digital maupun nondigital yang tetap merupakan bagian dari harian “Banjarmasin Post”.

Penasihat Hukum: DR Masdari Tasmin SH MH

WARTAWAN “BANJARMASIN POST GROUP” SELALU DIBEKALI TANDA PENGENAL DAN TIDAK DIPERKENANKAN MENERIMA/MEMINTA APA PUN DARI NARASUMBER.

Banjarmasin Post RABU 22 MEI 2013

Merawat Independensi Penyelenggara Pemilu ..parties and their candidates must have access to the mass media, and that access is expensive. This puts tremendous pressure on candidates and parties in large democracies to raise money”. Itulah kutipan tulisan Robert Mundt bertajuk Corruption and Democracy dalam Buku Democracy and The Quest for Justice yang diterbitkan di New York 2004. Tulisan itu menggambarkan betapa demokrasi (elektoral) di Rusia dan Amerika, tempat dimana Mundt mengambil setting dari tulisannya, yang menyimpan potensi korupsi yang besar dalam pemilu yang diselenggarakan di sana. Tentu Mundt tidak tendensius terhadap media. Ia hanya memberi satu contoh, betapa pemilu mengharuskan kandidat memobilisasi dana yang tak sedikit untuk pemenangannya. Korupsi yang dimaksudkan Mundt adalah penyalahgunaan berbagai kewenangan, memanipulasi kekuasaan, termasuk penggunaan dana yang bersumber dari kas negara dan sumber lain yang tak jelas sumbernya untuk memenangkan proses demokrasi elektoral melalui Pemilu. Kondisi Pemilu Amerika dan Rusia sebagaimana digambarkan Mundt itu belakangan terjadi secara kasat mata di negara kita. Sistem pemilu kita yang proporsional dengan daftar calon terbuka dan menggunakan suara terbanyak, membuat kompetisi antar dan intra partai politik terjadi begitu ketat. Terlebih di Pemilu 2014 kompetisi akan semakin meruncing, karena partai peserta pemilu hanya 12 kontestan. Jumlah yang jauh lebih sedikit dibanding pemilu-pemilu sebelumnya. Pada kondisi itu, harapan akan hadirnya pemilu yang jujur dan adil (jurdil) dan langsung, umum, bebas dan rahasia (luber) sebagaimana amanah Pasal 22E ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 tak hanya diembankan pada partai politik sebagai peserta pemilu. Ia terbebankan pula pada pundak publik sebagai pemilih dan yang tak kalah penting pada penyelenggara pemilu. Konstitusi kita dalam Pasal 22E ayat (5) UUD NRI Tahun 1945 menyatakan : Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri. Tafsir suatu komisi pemilihan umum dalam ketentuan itu oleh Mahkamah Konstitusi dalam Putusannya pada Perkara Nomor 11/PUUVII/2010

Oleh: M Rifqinizamy Karsayuda Pengajar Hukum Tata Negara FH Unlam dinyatakan tidak merujuk kepada sebuah nama institusi, akan tetapi menunjuk pada fungsi penyelenggaraan pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap dan mandiri. Dengan demikian, menurut

Komposisi ini tak sebanding dengan aparat penyelenggara sampai level TPS sebanyak tujuh orang per/TPS. Dalam konteks ini, pembentuk UU nampaknya berkehendak agar pengawasan pemilu tak dapat dilaksanakan maksimal. Mahkamah, fungsi penyelenggaraan pemilihan umum tidak hanya dilaksanakan KPU, akan tetapi termasuk juga lembaga pengawas pemilihan umum dalam hal ini Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) sebagai satu kesatuan fungsi penyelenggaraan pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri. Putusan MK itu kemudian diformulasikan dalam UU No.15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu. Dalam UU tersebut selain kedua institusi penyelenggara pemilu itu, juga dihadirkan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), suatu institusi yang bertugas sebagai mahkamah etik pada tingkat pertama dan terakhir bagi pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh penyelenggara

pemilu, baik KPU dan Bawaslu beserta aparatnya sampai tingkat paling bawah. Selain menghadirkan DKPP, UU No 15 Tahun 2011 juga mereformulasi kedudukan dan kewenangan Bawaslu yang selama ini dianggap mandul. Reformulasi itu hadir setidaknya dalam dua hal. Pertama, kedudukan Bawaslu dan Bawaslu Provinsi menjadi permanen dengan masa tugas lima tahun. Rezim Panwaslu di tingkat provinsi yang ad hock telah diakhiri oleh UU ini. Kendati demikian, untuk Panwaslu Kab/Kota ke bawah sifatnya masih ad hock. Kedua, Bawaslu diberikan kewenangan untuk menyelesaikan sengketa pemilu yang ketentuan lebih lanjutnya diatur dalam UU terkait Pemilu. Dalam menyelesaikan sengketa pemilu, Bawaslu melakukan upaya mediasi dan musyawarah. Ketika upaya itu tidak berhasil, maka dilakukan langkah adjudikasi. Putusan Bawaslu terkait hal ini bersifat final dan mengikat, kecuali dalam dua tahapan pemilu, yaitu tahapan verifikasi partai politik dan tahapan penetapan daftar calon tetap Pemilu Legislatif. Dalam dua tahapan itu, keputusan Bawaslu dapat dimintakan upaya hukum ke PT TUN. Secara a contrario, seluruh tahapan diluar dua tahapan dimaksud dapat diselesaikan sengketanya oleh Bawaslu yang keputusannya bersifat final dan mengikat. Begitu pula halnya dengan KPU, independensi yang harus dipelihara dan dipertahankan oleh lembaga yang diberi independensi oleh konstitusi itu. Secara teoritik, independensi itu setidaknya meliputi tiga hal, yaitu: independensi institusional, independensi fungsional, dan independensi personal. Ketiga independensi itu tak mengizinkan adanya keberpihakan KPU dan Bawaslu pada kepentingan (politik) tertentu. Ikhtiar untuk menghasilkan independensi itu salah satunya sangat serius dinyatakan oleh MK yang melalui Putusannya Nomor 81/PUUXI/2011 yang membatalkan ketentuan dalam Pasal 11 huruf i dan Pasal 85 huruf i UU No 15 Tahun 2011. Pasal itu berisi frasa ..mengundurkan diri dari keanggotaan partai politik ... pada saat mendaftar sebagai calon”. Ketentuan itu oleh MK dinyatakan bertentangan dengan Pasal 22E ayat (5) UUD 1945 dan mesti dimaknai “sekurang-kurangnya dalam jangka waktu lima tahun telah mengundurkan diri dari ke-

anggotaan partai politik pada saat mendaftar sebagai calon”. Setumpuk Masalah Setumpuk masalah mengkhawatirkan independensi penyelenggara pemilu kita, di antara dikarenakan konstruksi aturan kepemiluan kita. Ketentuan dalam UU No 15 Tahun 2011 yang mendelegasikan banyak hal terkait ketentuan lebih teknis penyelenggaraan pemilu pada pedoman yang disusun oleh KPU dan Bawaslu dengan terlebih dahulu berkonsultasi dengan DPR merupakan catatan kritis tersendiri. Dari sisi teori perundangundangan, DPR tidak memiliki kewenangan turut serta membentuk produk hukum semacam Peraturan KPU maupun Bawaslu. DPR hanya memiliki kewenangan dalam pembentukan UU. Ketentuan ini dapat mereduksi kemandirian KPU dan Bawaslu dalam penyelenggaraan pemilu, karena semua produk hukum KPU dan Bawaslu, khususnya yang berbentuk peraturan harus dikonsultasikan dengan DPR yang notabene berasal dari partai politik yang akan menjadi kontestan dalam pemilu. Peraturan KPU No 8 Tahun 2012 tentang verifikasi partai politik yang memerintahkan KPU Kab/Kota untuk melakukan verifikasi kepengurusan partai hanya sampai dengan tingkat kabupaten, tanpa menyentuh kepengurusan pada level kecamatan adalah contohnya. Padahal ketentuan dalam UU No 8 Tahun 2012 menegaskan syarat keikutsertaan partai politik salah satunyanya adalah keberadaan pengurus partai itu sedikitdikitnya 50 persen pada kecamatan pada kab/kota yang bersangkutan. Ketentuan dalam UU No 15 Tahun 2011 sejak awal juga membuat komposisi pengawas tak sebanding dengan penyelenggara. Pengawas di tingkat lapangan (PPL) hanya disediakan 1-5 orang per desa. Dalam kenyataannya, setiap desa di luar Jawa biasanya hanya ada seorang pengawas lapangan, sementara jumlah TPS-nya berkisar 3-5 TPS. Komposisi ini tak sebanding dengan aparat penyelenggara sampai level TPS sebanyak tujuh orang per/TPS. Dalam konteks ini, pembentuk UU nampaknya berkehendak agar pengawasan pemilu tak dapat dilaksanakan maksimal. Di tengah setumpuk masalah dan ikhtiar inilah, kita dihadapkan pada “harapan” akan lahirnya pemilu yang jurdil pada 2014. Wallahu’alam. (*)

Tulisan Opini bisa dikirim ke email: redaksi@banjarmasinpost.co.id (Maksimal 5.000 karakter tanpa spasi). Sertakan nama, alamat lengkap, nomor telepon, nomor rekening dan fotokopi (KTP). Opini yang terbit akan kami berikan imbalan ke nomor rekening penulis. Terima kasih. Artikel yang masuk batas waktu pemuatannya maksimal dua minggu.

Bakal Caleg Dipenuhi Keluarga

Indonesia Bukan Kerajaan PEMILU Legislatif sebentar lagi, nama-nama caleg pun sudah diserahkan ke Komisi Pemilihan Umum (KPU). Namun, yang mengherankan sekarang ialah dilihat dari nama-nama caleg tersebut merupakan kerabat dekat bahkan keluarga penguasa, pejabat atau tokoh partai politik. Sebuah keegoisan yang tak seharusnya dilakukan di

negara kita ini. Ditambah lagi negara kita bukan berbentuk kerajaan yang menentukan calon pemimpin berdasarkan keturunan. Tapi tampaknya hal ini sudah jadi kebiasaan. Bahkan bukan hanya caleg, tapi kepala daerah pun ada yang ingin menurunkan jabatannya kepada anak, istri atau saudaranya.

Mungkin karena masa depan yang menjanjikan yang membuat mereka seegois itu dinegara demokrasi kita ini. Seharusnya dicek dulu kemampuan para caleg sejauh mana. Jangan mentang-mentang ia anak atau kerabat orang besar maka langsung saja ditetapkan sebagai caleg. Utamakan kualitas diri. (*)

M Iqbal Khatami Warga Kecamatan Takisung

Sudah Ada Sejak Orba CALON legislatif satu keluarga seperti anak, ayah dan saudara atau lainnya, sebenarnya bukan hanya ada sekarang di era Reformasi di mana setiap pemilihan legislatif dilaksanakan secara langsung. Ketika masa Orde Baru hal ini sudah ada dan mapan padahal anggota legislatif waktu itu ditentukan oleh partai politik. Bahkan karena yang memilih orang penting di partai politik, maka yang duduk juga keluarga mereka. Sebut saja di Senayan, ketika HM Suharto menjadi Presiden RI, sejumlah anak-anaknya juga menjadi anggota

Yuni Jalan S Parman Banjarmasin

legislatif dari Golkar. Demikian juga putra alm Sukarno melalui bendera PDI ada beberapa putranya duduk di Senayan. Jadi itu bukan hal asing lagi. Bedanya kalau sekarang bukan hanya calon anggota legislatif yang berasal dari satu keluarga tetapi juga dalam pemilihan kepala daerah. Bila sang ayah sudah menjadi kepala daerah dua periode, hingga tak bisa ikut

pemilihan lagi, maka sang anak, istri atau saudara yang ikut mencalonkan. Memang tak semuanya berhasil, namunada pula yang langgeng. Konon sangat tergantung dengan dana penyokong. Misalnya Bupati Kukar di Kaltim sekarang yang menjabat adalah putri mantan bupati, walaupun sudah diterpa kasus korupsi sang ayah dan kasus asusila si calon bupati, toh akhirnya terpilih juga. Jadi tergantung selera rakyat yang memilih. Nepotisme juga dihidupkan oleh rakyat yang memilih. (*)

Tema minggu depan: Tak Rela Indonesia Raya Dilecehkan SAMPAIKAN komentar Anda maksimal 500 karakter secara santun ke redaksi@banjarmasinpost.co.id, disertai salinan kartu identitas diri dan foto (mohon jangan pasfoto). Komentar terbaik untuk tiap minggunya, mendapat kenang-kenangan manis dari BPost. Jadi, saatnya Anda bicara demi kebaikan bersama.


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.