17
Banjarmasin Post MINGGU 17 FEBRUARI 2013
www.banjarmasinpost.co.id
malah terpikir menuliskan Jurusan Dokter Gigi. Saya pikir nggak ada salahnya juga, karena menjadi dokter gigi kan harus mengutak-atik gigi dan mulut pasien sebab saya dari kecil memang senang mengutak-atik sesuatu,” kata Sapta Rianta membeberkan alasannya memilih menjadi dokter gigi kala itu. “Ternyata, saya lulus di pilihan pertama. Pas sekali. Saya masuk pada 1990,” kenang perempuan kelahiran Medan, Sumatera Utara, 24 September 1971 ini. Lulus pada 1996, dia langsung ditempatkan di sebuah desa terpencil di Kalimantan Tengah karena harus menjalani wajib kerja sukarela (WKS). Selama tiga tahun dia menjalani WKS di sana dan menjadi pegawai tidak tetap (PTT). Setelah itu, baru ada seleksi penerimaan PNS dan dia izin belajar ke Pulau Jawa. Pada 2001 hingga 2006, dia melanjutkan pendidikannya di Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta spesialisasi penataan gigi (orthodontik). Selepas pendidikan, dia pun berdomisili di Banjarmasin sejak 2007. “Dulu, memasang kawat gigi itu hanya untuk merapikan susunan gigi yang bermasalah. Namun sekarang lebih ke fashion. Apalagi, sekarang karetnya bervariasi warna dan bentuknya, seperti bunga, amor, dan sebagainya, membuat gigi pemakainya tampak modis,” ujar anak ketujuh dari delapan bersaudara. Pemakaian kawat gigi menurutnya sudah ngetren sejak dia masih kuliah dokter gigi di era 90an. Hanya kala itu, terbatas pada kalangan berduit. Bahkan, dulu ada istilah bagi pemakai kawat gigi yaitu senyum one million dollar karena terinspirasi dari film Hollywood, The Six Million Dollar Man. “One million artinya sejuta, karena biaya pemasangan kawat gigi kan memang mahal, jutaan rupiah dan identik hanya untuk orang kaya. Dulu pun, pemakai kawat gigi hanya untuk perawatan dan memperbaiki gigi yang bermasalah, bukan untuk gayagayaan,” beber perempuan berambut panjang ini. Namun untuk di Banjarmasin,
menurut ibu dari tiga anak ini, mulai tren sekitar 10 tahun belakangan ini. Sekarang, memakai kawat gigi terkesan bergaya dan ada kebanggaan. Tampak seperti orang kaya, walaupun mungkin memasangnya hanya di tukang gigi biasa. “Biaya pemasangan kawat gigi di saya bervariasi. Kisarannya jutaan hingga belasan juta rupiah sekali pasang,” ujarnya.
“
Dulu, memasang kawat gigi itu hanya untuk merapikan susunan gigi yang bermasalah. Namun sekarang lebih ke fashion
“
SENYUM, tentulah setiap orang bisa melakukannya. Tak hanya membahagiakan bagi yang melakukan, menyenangkan pula untuk orang yang diberi senyuman. Senyum seseorang, bakal makin indah bila gigi geliginya putih dan tersusun rapi bak biji mentimun. Untuk itu, banyak cara dilakukan. Bahkan sejak beberapa tahun terakhir, memasang kawat gigi atau behel menjadi tren. Apalagi, gigi juga adalah bagian penting dalam anatomi tubuh manusia. Fungsinya sebagai pemotong dan pengunyah makanan. Dokter gigi pun menjadi tempat menjawab terkait hal-hal itu, seperti dijalani drg Sapta Rianta Hutasoit SpOrt dan drg Anna Fajar. Kedua perempuan ini telah belasan tahun malang melintang sebagai dokter gigi. Banyak suka dan duka yang telah mereka alami, terutama selama berkarier di Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Bagi Sapta Rianta Hutasoit, menjadi dokter memang cita-citanya sejak kecil. Namun kala itu, dia tak tahu ingin menjadi dokter apa. Lulus SMA, dia lantas mendaftar di Universitas Sumatera Utara (USU), Medan. Ketika itu, untuk pilihan pertama dia mendaftar di Fakultas Kedokteran Jurusan Dokter Gigi. Pilihan kedua di FMIPA yaitu Matematika dan ketiga di Statistik. “Waktu itu, sempat bingung, tapi tiba-tiba
SAPTA RIANTA HUTASOIT Dokter Gigi di Banjarmasin
Sebagai seorang dokter gigi, demi menunjang penampilan, dia juga rutin melakukan perawatan gigi. Biasanya, dilakukannya sendiri. Namun jika dia kesulitan, tak jarang dia juga meminta bantuan rekannya sesama dokter gigi. Kesibukannya sebagai dokter gigi, terkadang cukup memakan waktu. Oleh sebab itu, sejak anaknya masuk usia TK dia mengaku enggan membuka tempat praktik di luar rumahnya. Sekarang, dia praktik di rumahnya di Jalan Sutoyo S, Banjarmasin agar lebih mudah mengurus keluarga. Selain itu, sesempat mungkin dia harus memiliki waktu khusus untuk keluarganya. Misalnya, ketika pagi harus dia yang mengantarkan anak-anaknya ke sekolah. “Kalau suami saya sih, mendukung saja pekerjaan saya,” ujar istri dari Ramlan Silaen ini. Sedangkan drg Anna Fajar, baginya menjadi dokter gigi banyak suka dan dukanya. Sukanya karena begitu lulus bisa langsung kerja dan lebih bebas, karena tidak ada atasan seperti jadi karyawan. Dukanya, ketika harus berhadapan dengan pasien yang susah sekali diberi pengertian tentang kesehatan gigi. “Banyak yang seperti itu. Padahal, idealnya, periksa gigi minimal enam bulan sekali,” kata Anna Fajar.
Sejak kecil juga bercita-cita menjadi dokter, tapi bukan dokter gigi tetapi dokter umum. “Soalnya orangtua saya dokter umum. Jadi, saya ingin seperti mereka,” ungkapnya. Mendaftar kuliah kedokteran puluhan tahun silam di Universitas Moestopo, Jakarta, dia menuliskan dokter umum di pilihan pertama dan dokter gigi di pilihan kedua. “Lulusnya malah di pilihan kedua, dokter gigi. Jadinya, ya sudah saya jalani saja, ternyata enak juga walaupun tak sesuai citacita,” kenangnya. Dia tidak mengambil spesialisasi apapun. Untuk urusan memasang kawat gigi, dia hanya melayani yang lepasan. “Artinya, yang malam dilepas dan pemakaiannya tak lama. Kalau yang lebih dari itu kan yang bisa drg Sapta,” ungkapnya. Menjadi seorang dokter gigi, juga menuntutnya harus profesional. Khususnya dalam hal penampilan. Dia juga mengaku rutin perawatan gigi. “Biasanya, saya minta bantuan ke rekan sesama dokter gigi. Soalnya, menjadi dokter gigi kalau giginya bermasalah kan malu. Masak iya, kita mengobati gigi pasien tetapi dokternya giginya malah bolong-bolong?” ungkap perempuan kelahiran Surabaya, Jawa Timur, 2 Maret 1961. Soal keluarga, juga sangat mendukungnya. Suaminya seorang dosen di Palangkaraya, Kalimantan Tengah. Dia dan suaminya bisa memiliki waktu banyak juga bersama anak-anak mereka. “Membagi waktu antara urusan pekerjaan dengan keluarga kan bisa diatur. Di waktu senggang, bisa dimanfaatkan berkumpul dengan keluarga,” paparnya. (ath)
Tangani Kanker Gigi BERGELUT sebagai dokter gigi, berbagai pengalaman unik tentunya pernah dialami. Drg Sapta Rianta SpOrt pun pernah mengalami, kala itu dia masih kuliah di spesialisasi orthodontik di Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta. Dia pernah menangani pasien yang gigi taringnya terpendam di dalam gusi. Penanganannya sulit sekali sehingga harus dioperasi. “Itu di Jawa ya dan kasus seperti itu langka sekali. Namun di Banjarmasin, saya banyak sekali menemukan kasus begitu,” kata Sapta Rianta. Penyebab itu, lanjutnya, karena kebanyakan makanan di Banua ini lunak sehingga kurang bagus untuk merangsang perkembangan gusi. Sementara di Jawa, masyarakatnya senang mengonsumsi makanan keras seperti kerupuk, keripik, jambu klutuk, sehingga bagus untuk perkembangan gusi. “Ini analisa saya saja ya. Kemungkinan penyebabnya seperti itu. Solusinya ya harus dioperasi. Karena di sini tak ada dokter spesialis bedah mulut, biasanya pasien saya rujuk ke Jawa atau sesekali saya panggil dokter bedah mulut di Jawa kemari untuk membantu menangani pasien saya,” paparnya. Senada, diungkapkan drg Anna Fajar. Dokter yang sehari-hari menjadi dokter PNS di RSUD Ulin Banjarmasin ini, bahkan pernah menangani pasien yang giginya unik sekali. “Kejadiannya sudah lama, di awal saya praktik pada 1989,” kenang Anna Fajar. Pasiennya itu lelaki, gigi gerahamnya ditutupi gusi dan giginya berbentuk seperti kembang kol. Anehnya, ketika dihilangkan, tak lama malah tumbuh lagi membentuk jaringan sehingga harus dioperasi di Pulau Jawa. “Ternyata itu kanker gigi. Ini tergolong kasus langka, karena setelah diteliti itu disebabkan faktor genetik. Bukan karena makanan,” bebernya. (ath) BANJARMASIN POST GROUP/YAYU FATHILAL