24 Seni Budaya
Banjarmasin Post MINGGU 10 JUNI 2012
Pesan di Dinding Lanting K
urebahkan tubuhku diteras lanting kami. Beralaskan tikar purun dan dibuai semilir angin, aku mencoba mengusir rasa lelah dan kesalku. Bagaimana tidak? Dari pukul setengah sembilan pagi sampai setengah dua siang, dosen yang kutunggu-tunggu untuk bimbingan penyusunan skripsi tidak kunjung datang. Akhirnya aku pulang dengan tangan hampa. Aku sekarang sedang sendiri di rumah, sebab Ayah dan Ibu menghadiri hajatan perkawinan anak kerabat di Hulu Sungai Selatan. Bias sinar matahari yang menerpa permukaan air, tampak berkilauan laksana permata. Deru mesin kelotok dan kapal yang berlalu lalang seakan-akan menyanyikan lagu untukku. Memang bagi kami yang tinggal di lanting, suara mesin kelotok dan kapal yang melintas, sudah kami anggap seperti nyanyian merdu. Sudah biasa juga bagi kami, gelombang yang ditimbulkan oleh kapal dan kelotok yang berselewiran itu membuat rumah kami bergoyang-goyang dan menimbulkan suara berderit-derit. Semakin besar gelombang yang mengempas, semakin besar pula goncangan yang dibuatnya. Bunyi yang menderit-derit pun akan semakin nyaring dan lama. Beberapa temanku yang pernah bermalam di sini, tertawa cekikikan ketika merasakan rumah lanting kami bergoyang-goyang akibat diempas gelombang. Mereka bilang seperti ada gempa. ***** Rumah lanting yang kami tempati ini sudah tergolong tua. Bahan utama rumah yang terbuat dari kayu, hampir enam puluh persen lapuk dan perlu diganti. Ketika kumiringkan tubuhku ke arah dinding bagian depan rumahku, terbaca lagi olehku catatan kecil yang terpahat di situ. “1972 - 406”. Entah sudah berapa ribu kali aku membacanya. Dari mulai aku baru bisa membaca sampai sekarang, angka-angka itu selalu terbaca. Menurut keterangan Ayah, rumah lanting ini memang dibuat pada tahun seperti yang tertera di dinding itu, dua tahun setelah Ayah menikah dengan Ibu. Menurut cerita ayah lagi tukang yang mendirikan rumah lanting ini adalah almarhum Kai Aman, tukang terkenal pada masa itu. Yang menjadi rahasia tidak terpecahkan oleh kami sampai sekarang adalah angka 406 itu. Mengapa Kai Aman memahatkan angka 406 dan apa maksudnya? Kata hatiku, biarlah angka 406 itu tetap menjadi misteri.
ILUSTRASI/MIRZA
Aku teringat. Suatu hari, saat kami sedang mengganti atap rumah yang bocor, Ayah berkata,”Rif, jika kuliahmu telah selesai, Ayah dan Ibu mempunyai rencana, kita akan pindah ke darat saja. Kebetulan langganan Ayah seorang pengembang rumah. Dia bersedia memberikan potongan harga jika ayah mengkredit rumah di sana. Rumah yang kita tempati sekarang sudah kurang layak lagi dihuni. Jika diperbaiki maka akan menelan biaya yang tidak sedikit karena harus diganti dengan bahan yang baru. Sekarang kayu-kayu sulit dicari dan terlampau mahal.” “Mengapa tidak sekarang saja dan mengapa harus menunggu saya selesai kuliah?” tanyaku ketus. Jujur, aku paling tidak setuju jika kami pindah ke daratan. Bukankah rumah lanting seperti yang kami tempati sekarang hampir punah? Bukankah sebuah kebanggaan jika mendiami rumah lanting? Dengan lembut ayahku menjawab,” Sekarang hasil kerja Ayah hanya bisa untuk membiayai kuliahmu. Sebagai tukang cukur keliling, kamu tahu sendiri barapa pengasilan Ayah?” Mendengar penuturan Ayah, aku merasa sedih dan berdosa. “Karena keasyikan tinggal di sini, kita tidak mempunyai tanah sejengkal pun di daratan. Lagipula hak milik rumah lanting tidak jelas hukumnya karena berdiri di atas jalur sungai,” tambah Ayah menjelaskan. Setelah sering kupikir-pikir, ternyata rencana Ayah dan Ibu memang cukup beralasan. Ibuku juga pernah berkeluh kesah padaku,”Beberapa tahun terakhir ini, Ibu sering
Oleh: Muhammad Yusuf khawatir akan keselamatan kita mendiami rumah lanting ini. Selain cuaca yang sering tidak bersahabat lagi seperti hujan berangin kencang disertai gelombang besar, arus sungai yang sangat deras ketika air pasang serta kapal dan tongkang batu bara yang sering melintas di sini, merupakan bahaya yang bisa saja mengancam kita setiap saat.” Aku hanya terdiam mendengar penuturan Ibu. Aku teringat, kejadian di bulan puasa kemarin, rumah lanting Amang Ijuh tetangga sebelah kanan kami, hangus terbakar akibat meledaknya sebuah kapal penarik tongkang yang sedang bertambat di lanting Amang Ijuh. Kejadian itu hampir saja menghanguskan lanting kami pula. Untung saja Ayah dan beberapa tetangga dengan sigap memadamkan api. Setelah kejadian itu, Amang Ijuh sekeluarga pindah ke Teluk Dalam. Kalau dua tahun yang lalu, masih ada enam rumah lanting di sini tetapi sekarang cuma tersisa dua buah yaitu lanting kami dan lanting tetangga kami, Acil Ijum yang sehariharinya berjualan lontong ketupat. “Wuuaaaaaah!” Aku menguap. Nyanyian burung-burung yang sesekali menukik ke permukaan sungai, ditambah angin semilir yang menyejukkan dan ayunan ombak kecil yang mengoyanggoyangkan lantingku, akhirnya membuatku tertidur. ***** Aku terlonjak dan terjaga dari tidur. Sebuah benturan keras menghantam lantingku.
Lantingku tergoncang hebat. Sesaat aku cuma bisa melongo. Jantungku berdetak kencang. Setelah beberapa detik kemudian baru aku menyadari, sebuah kapal feri bermuatan pasir menabrak lambung kanan rumah lanting kami. “ Rif, cepat bercebur nanti kamu terhimpit,” teriak Amang Alan tetanggaku dari teras dapurnya, di tepian sungai. Aku pun dengan segera meloncat ke air. Aku berenang agak ke tengah. Karena kerasnya benturan, lantingku terdorong dan terdesak, kemudian membentur lanting milik Acil Ijum. Dua buah pilar ulin yang tertancap di dasar sungai sebagai penambat lanting kami tercabut. Lanting kami tergeser sepuluhan meter lebih dari tempat semula. Lanting kami yang terdorong, baru terhenti setelah menabrak titian pemandian warga. Tak ayal lagi, lanting yang telah kami huni selama puluhan tahun ini rusak berat. Salah satu batang kayu gelondongan yang menopang rumah kami terlepas membuat badan lanting kami menyeruduk ke air. Suara Acil Ijum yang panik diiringi tangisnya terdengar menyayat hati dari dalam rumahnya. Jeritan warga di tepian sungai yang menyaksikan kejadian tersebut mengundang warga lain segera berdatangan. Aku berenang menepi menuju ke rumah Amang Alan. Aku naik ke titian. Aku dipapah oleh Amang Alan masuk ke rumahnya. “Kamu di sini saja istirahat, biar kami yang menyelesaikan masalah ini dengan pihak kapal,” kata Amang Alan sambil
menyodorkan segelas air putih. Hatiku terasa diiris-iiris. “Bagaimana caranya menjelaskan semua ini kepada orangtuaku?” Bisik hatiku. ***** Keesokan harinya, aku berdiri terpaku di depan reruntuhan rumah lanting kami ditemani cahaya mentari pagi. Rumah lantingku kini telah rusak, separuh badannya menyeruduk ke air. Semalam di bantu oleh para tetangga, aku mengevakuasi barang-barang yang masih bisa diselamatkan. Lantingku mengalami kerusakan hampir tujuh puluh persen. Untung saja lanting Acil Ijum tidak mengalami kerusakan berarti. Semalam, Acil Ijum sempat berkata dengan lirih kepadaku” Kalau kalian pindah, aku juga pindah.” Aku merasa iba dengan Acil Ijum. Di usia yang sudah terbilang tua, dia hidup dan berjuang sendiri. Tiba-tiba pandanganku tertuju lagi pada tulisan yang terpahat di dinding. Angka “1972-406” itu ternyata tidak hilang walaupun papannya telah patah. Hatiku bagai tercekat. Tiba-tiba aku merasakan sanggup memecahkan makna dari tulisan tersebut. Hatiku berkata,”Kalau rumah lanting ini didirikan pada tahun 1972 sedangkan sekarang tahun 2012, berarti lanting ini telah berusia empat puluh tahun. Angka 40 dari 406 telah kutemukan maksudnya. Jadi angka 406 harus dipisah menjadi 40 dan 6. Sedangkan peristiwa ditabraknya lanting kami oleh kapal bermuatan pasir itu terjadi kemarin pada tanggal 6 bulan Juni. Dalam urutan bulan pada tahun masehi, bulan Juni terletak di urutan keenam.” Bulu kudukku berdiri. Aku merinding. “Ya Allah, inikah pesan yang terselip pada tulisan di dinding itu?” tanya hatiku. Kabut pagi yang menari-nari di atas permukaan sungai seakan-akan membenarkan analisaku. “Rif, cepat sarapan!” Panggilan Acil Ijum dari lantingnya memudarkan lamunanku. Semalam aku tidur di lanting Acil Ijum sedangkan barang-barang kami yang selamat untuk sementara kutitipkan di rumah Amang Alan. “Sudah kamu telepon orangtuamu dan kapan mereka pulang?” tanya Acil Ijum sembari menuangkan air teh hangat untukku. “Saya belum sanggup menyampaikan kejadian ini, Cil.” Jawabku pelan. Nasi hangat yang kukunyah terasa duri walaupun deru mesin kapal dan kelotok yang berlalu lalang masih tetap menyenandungkan lagu merdu untukku. (*)
Dahaga Karya: Muhammad Ery Zulfian
Aku akan..... Aku kan kembali Seperti matahari yang terbit Aku takkan menyerah Seperti cinta Majnun pada Layla Aku kan bersemangat Seperti anak-anak Laskar Pelangi Aku takkan bersedih Seperti kuatnya hati sang pengagum rahasia Aku kan berusaha Seperti pekerja keras menafkahi keluarga Aku takkan lelah Seperti para musafir berkelana Aku kan menjadi hebat Seperti yang mereka mau Aku takkan berhenti menulis Seperti penyair menginginkan ketenangan
Tanpa Tulisan Kata mampu mengolah kalimat dalam diam Kalimat mampu bereinkarnasi Menjadi sebuah paragraf dinamis Paragraf mampu bersatu menjadi tulisan bermakna luas Tulisan dapat meluluhlantakkan hati seseorang Atau sekadar curahan emosi yang tak terkendali Tak semua orang bisa merasakan tulisan ini Tak semua orang mampu berucap kata suci di atas tulisan ini Banyak kesedihan yang tak dapat dipungkiri Terekam dalam ingatan semua makna yang berbeda Tanpamu tulisanku mati merana dan sepi
Cinta Bersketsa Sketsa wajah itu mengingatkanku pada seseorang Siapa lagi selain dia, masa lalu Hanya goresan pensil bergaris Namun menyeretku ke gerbang penantian Melayang jauh ke masa terindah Mendekap mimpi yang sudah dibangun Tak pelak harum cintanya Seolah fatamorgana Meski hanya lewat hati yang tersingkap Meski hanya lewat doa yang terselip Angin tolong bawa aku pergi dari sini Tuk menemui sketsa cintaku
10 9 8 7 6 5 4 3 2 1
Ungu - Kau Anggap apa Majka - Indahkan Hari Maleo - Akankah Davinci - Rindu Merana Cokelat - Betapa Aku Mencintaimu d’Masiv - Natural Anji - Kekasih Terhebat Armada - Hargai Aku Kerispatih - Melekat di Jiwa Penta Boys - Sayang Bilang Sayang New entry
Vidi Aldiano - Lupakan Mantan Sandhy Sandoro - Tak Pernah Padam
Anak Pahuluan Kreasikan Tari Banjar Homepage: http//www.banjarmasinpost.co.id Penerbit SIUPP
: PT Grafika Wangi Kalimantan : SK Menpen No. 004/SK MENPEN/ SIUPP/A.7/1985 tgl 24 Oktober 1985 Sejak Tanggal : 2 Agustus 1971 Direktur Utama : Herman Darmo
e-mail : redaksi@banjarmasinpost.co.id Pemimpin Umum : HG Rusdi Effendi AR Pendiri : Drs H J Djok Mentaya (1939-1994) Drs H Yustan Aziddin (1933-1995) HG Rusdi Effendi AR
Banjarmasin Post Group
Design grafis/illustrator: Ivanda Ramadhani.
Pemimpin Perusahaan: A Wahyu Indriyanta General Manager Percetakan: A Wahyu Indriyanta Pj Asisten General Manager Percetakan : Suharyanto Wakil PP (Bidang Humas dan Promosi): M Fachmy Noor Pj Asisten Manajer Iklan : Helda Annatasia (08115803012) Manajer Sirkulasi : Fahmi Setiadi - Riadi (08115003012) Alamat: Gedung HJ Djok Mentaya, Jl AS Musyaffa No 16 Banjarmasin 70111, Telepon (0511) 3354370 Fax 4366123, 3353266, 3366303 Bagian Redaksi: Ext 402-405 ; Bagian Iklan: Ext. 113, 114 Bagian Sirkulasi: Ext. 116, 117 Pengaduan Langganan: 08115000117 (0511) 3352050 Biro Jakarta-Persda: Redaksi, Jl Pal Merah Selatan No 12 Lantai II Jakarta 10270, Telp (021) 5483008, 5480888 dan 5490666 Fax (021) 5495358 Perwakilan Surabaya: Jl Raya Jemursari 64 Surabaya, Telp (031) 8471096/ 843428, Fax (031) 8471163 Biro Banjarbaru: Jl Wijaya Kusuma No 11 Telp (0511) 4780356, Biro Palangka Raya: Jl Tjilik Riwut Km.2,5 Palangka Raya, Telp (0536) 3242361 Tarif Iklan: zDisplay Umum: Hitam Putih (BW): Rp 22.500/mmk Berwarna (FC): Rp 45.000/mmk zDisplay Halaman 1: Hitam Putih (BW): Rp 45.000/mmk Berwarna (FC): Rp 90.000/mmk zIklan kolom/Duka Cita: Hitam Putih (BW): Rp 15.000/mmk Berwarna (FC): Rp 30.000/mmk zIklan Kuping: (FC) Rp 100.000/mmk zIklan Baris: (FC) Rp 20.000/baris: (BW): Rp 15.000/baris zIklan Satu Kolom : (FC)Rp 30.000/mmk, (BW): Rp15.000/mmk Catatan: Harga belum termasuk PPN 10%. Harga Langganan: Rp 75.000/bln Percetakan: PT Grafika Wangi Kalimantan Alamat: Lianganggang Km 21 Landasan Ulin Selatan Banjarbaru Telepon (0511) 4705900-01 Isi di luar tanggung jawab percetakan Setiap artikel/tulisan/foto atau materi apa pun yang telah dimuat di harian “Banjarmasin Post” dapat diumumkan/dialihwujudkan kembali dalam format digital maupun nondigital yang tetap merupakan bagian dari harian “Banjarmasin Post”.
Biro Jakarta: Febby Mahendra Putra (Kepala), Domuara Ambarita, Murdjani, Antonius Bramantoro, Budi Prasetyo, Fikar W Eda, FX Ismanto, Johson Simandjuntak, Rahmat Hidayat, Yulis Sulistyawan, Choirul Arifin, Hendra Gunawan, Sugiyarto
WARTAWAN “BANJARMASIN POST GROUP” SELALU DIBEKALI TANDA PENGENAL DAN TIDAK DIPERKENANKAN MENERIMA/MEMINTA APA PUN DARI NARASUMBER.
Pemimpin Redaksi: Yusran Pare Wakil: Harry Prihanto Redaktur Pelaksana: Dwie Sudarlan Pjs Manajer Peliputan: Elpianur Achmad Pjs Asisten Manajer Peliputan : R Hari Tri Widodo Manajer Produksi: M Taufik Redaktur Eksekutif: Muhammad Yamani (Banjarmasin Post), Mulyadi Danu Saputra (Metro Banjar), Irhamsyah Safari (Serambi UmmaH), Ribut Rahardjo (Online/Radio). Manajer Redaksi: Irhamsyah Safari Wakil: Agus Rumpoko Redaktur: Sigit Rahmawan A, Umi Sriwahyuni, Syamsuddin, Alpri Widianjono, Kamardi, Mahmud M Siregar, Aya Sugianto, Sofyar Redhani, M Royan Naimi, Siti Hamsiah. Asisten:Eka Dinayanti, Murhan, Anjar Wulandari, Aries Mardiono, Ernawati,Idda Royani. Staf Redaksi: Sudarti (Repoter Senior), Hanani, Burhani Yunus, AM Ramadhani, Halmien Thaha, Syaiful Anwar, Mohammad Choiruman, Anita Kusuma Wardhani, Syaiful Akhyar, Khairil Rahim, Ibrahim Ashabirin, Eko Sutriyanto, Sutransyah, Faturahman, Irfani Rahman, Jumadi, Edi Nugroho, Budi Arif RH, Doni Usman, Mustain Khaitami (Kabiro), Hari Widodo, Ratino, M Risman Noor, Salmah, George Edward Pah, Rahmawandi, M Hasby Suhaily, Helriansyah, Didik Triomarsidi (Kabiro), Nia Kurniawan, Mukhtar Wahid, Rendy Nicko Ramandha, Restudia, Yayu Fathilal, Aprianto, Frans, Nurholis Huda. Fotografer: Donny Sophandi, Kaspul Anwar. Tim Pracetak: Syuhada Rakhmani (Kepala), M Syahyuni, Aminuddin Yunus, Syaiful Bahri, Edi Susanto, Sri Martini, Kiki Amelia, Rahmadi, Ibnu Zulkarnain, Achmad Sabirin, Rahmadhani, Ahmad Radian, M Trino Rizkiannoor.
LIMA penata tari yang bukan hanya dari Banjarmasin tapi juga dari Tanjung, Marabahan dan Kotabaru melakukan pergelaran kemarin, Sabtu (9/6) di Gedung Balairungsari Taman Budaya Kalsel Jalan Brigjen H Hasan Basry, Banjarmasin. “Dari Banjarmasin ada Sanggar G’anpa dan Taranusa. Sementara Sanggar Langit dari Tanjung, Sanggar Pusaka Saijaan dari Kotabaru, dan dari Marabahan tampil Sanggar Kindang Bahalap,” kata Kepala Taman Budaya Kalsel, Noor Hidayat Sultan. Sebelum pergelaran, acara dimulai dengan launching (peluncuran) buku berjudul Japin Banjar karya Mukhlis Maman. “Launching buku juga didukung Taman Budaya. Karena relevan, jadinya kita jadikan satu acara saja,” bebernya. Mengenai pergelaran lima sanggar tari tersebut, Hidayat mengakui sebagai apresiasi dan sudah merupakan program Taman Budaya Kalsel. “Sebagai contoh G’anpa yang merupakan singkatan Gabungan Anak Pahuluan, kita sangat apresiatif dengan anak-anak muda tersebut yang hingga kini masih sangat peduli dengan budaya Banjar,” ungkapnya. Dijelaskan Hidayat, G’anpa ini merupakan gabungan anak-anak dari hulu sungai
BANJARMASIN POST GROUP/YAYU FATHILAL
DARA MANGINANG - Galuh Banjar menarikan tari kreasi Dara Manginang di Gedung Balairungsari Taman Budaya Kalsel. Kemarin, Sabtu (9/6) di tempat yang sama dilaksanakan Pergelaran Lima Penata Tari Banjar.
yang merantau di Banjarmasin untuk menuntut ilmu tapi mereka masih peduli dengan budaya Banjar termasuk tarian. Mengenai tari dibawakan, pastinya tari Banjar tapi ada juga yang dikreasi. Seni tari Banjar ada tiga, yakni tari tradisi seperti Balian, Gantar, Bakanjar dan Babangai. Sementara tari klasik seperti Baksa Kembang, Topeng dan Radap Rahayu. Sedangkan tari rakyat berupa Japin Sisit, Tirik Lalan, Gambut, Kuda Gepang dan Rudat. “Selain pergelaran penata
tari, juga diskusi membahas tarian dibawakan. Berbagai masukan dipersilakan diberikan untuk kebaikan budaya Banjar,” ujarnya. Tak dibantah Hidayat, walaupun tarian Banjar bisa dikreasi bukan berarti bisa seenaknya melakukannya. Aturan baku tarian banjar tetap dipegang, sehingga tidak meninggalkan warisan budaya aslinya. “Pergelaran tarinya keren,” puji Arief Rahman Heriansyah, salah seorang penonton.
Bagi ahasiswa IAIN Antasari yang juga finalis Nanang Banjarbaru 2012, dunia tari juga sudah menjadi bagian dirinya. Sirajul Huda, salah satu seniman senior memberikan komentar keras. Satu sanggar membawakan tarian hingga mencapai setengah jam, dan itu dianggapnya terlalu lama. Sementara Mukhlis Maman, bersyukur bukunya bisa diluncurkan sesuai harapan. Buku mengenai budaya Banjar ini menjadi buku kelima yang ditulisnya. (ris)
INFO PENGASUH BAGI rekan-rekan yang mengirim tulisan berupa puisi atau cerpen, kami meminta untuk melengkapinya dengan data diri/copy kartu identitasi dan nomor rekening bank Anda. Honor tulisan yang dimuat akan kami transfer. Tulisan bisa dikirim lewat pos ke alamat Kantor Banjarmasin Post Gedung HJ Djok Mentaya Jalan AS Musyafa Nomor 16 Banjarmasin. Sudut kiri amplop ditulis Seni dan Budaya. Bisa juga kirim via email ke hamsibpost@yahoo.co.id