Banjarmasin Post edisi cetak Selasa 17 April 2012

Page 22

22 Mimbar Opini

Banjarmasin Post

SELASA 17 APRIL 2012

TAJUK

Nasib Tragis Murid Pinggiran KABAR kurang menyenangkan terkait kondisi murid di Banua yang tinggal di kawasan pinggiran kembali terkuak. Kali ini, berita itu datang dari Desa Tanipah, Kecamatan Aluhaluh, Kabupaten Banjar. Nasib murid sekolah dasar di desa yang sebagian besar penduduknya bermatapencaharian sebagai nelayan dan petani itu boleh dibilang tragis. Mengapa demikian, murid yang usianya sangat belia itu atau kalau dikategorikan tergolong masih bocah itu saaat menuju sekolah harus mengarungi sungai yang berarus cukup deras. Penyebabnya, karena jembatan yang menghubungkan permukiman mereka dengan lokasi sekolah ambruk akibat diterjang banjir sekitar sebulan lalu. Justru yang lebih memprihatinkan, banyak murid di sekolah itu yang membolos, gara-gara orangtua mereka tidak memiliki biaya untuk membayar ongkos getek (kelotok penyeberangan) bagi sang buah hati yang besarnya Rp 4.000 pulang pergi. Itu bisa dimaklumi, karena penghasilan penduduk setempat memang sangat paspasan. Kawasan itu sebenarnya, bukanlah daerah pertanian potensial. Sistem pengairan modern dan tradisional sama sekali tidak ada. Mereka hanya mengandalkan sistem pertanian tadah hujan. Artinya, panen hanya sekali setahun. Itu pun jika musim mendukung alias tidak terjadi kemarau berkepanjangan. Hasil menangkap ikan juga tidak bisa diandalkan, sebab warga setempat hanyalah nelayan tradisonal yang sangat tergantung dengan cuaca di laut. Mencermati fakta itu, memang tidak berlebihan jika dikatakan nasib murid di desa memprihantikan. Apalagi desa itu sebenarnya letaknya tidak terlalu jauh. Dari Banjarmasin, Ibukota Kalimantan Selatan cuma perlu waktu sekitar 1,5 jam menggunakan kelotok. Jika menggu-

nakan speedboat tentu waktu yang diperlukan jauh lebih singkat. Dari Martapura, Ibukota Kabupaten Banjar, desa yang terletak di pinggiran Sungai Barito ini juga tidak terlalu jauh. Bisa ditempuh lewat jalur darat sekitar dua jam perjalanan. Hanya, jalannya memang tidak mulus. Apa yang terjadi di Desa Tanipah itu hanyalah salah satu contoh dari sekian banyak masalah pendidikan yang belum diselesaikan di Banua ini. Lalu, siapa yang bertangggung jawab terhadap itu. Jawaban pertama tentu pemerintah. Karena pemerintah yang memiliki anggaran untuk persoalan seperti. Di sisi lain, pemerintah pula yang diamanatkan oleh undang undang memperhatinkan pendidikan warga negaranya. Lagipula bukankah pemerintah selalu mendengung-dengungkan pendidikan menjadi prioritas perhatian mereka. Prioritas itu, bukan berarti hanya menaikkan gaji guru dan membangunkan gedung yang bagus. Namun sarana menuju sekolah itu juga harus menjadi perhatian utama . Warga yang mampu pun bukan berarti lepas tangan terkait masalah seperti ini. Jika memang ada kepedulian terhadap mereka mereka berikanlah bantuan. Sebab bagaimana pun, mereka adalah tunas bangsa yang juga memiliki hak yang sama untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Paling penting, persoalan seperti ini harus diselesaikan secepat mungkin. Murid tidak memerlukan rapat yang terlalu sering membahas sarana mereka atau tinjauan ke lapangan, namun tindaklanjutnya lamban.Yang mereka perlukan adalah dibangunnya sarana yang mempermudah mereka menuju sekolah. Mungkin slogan Pak Jusuf Kalla (JK) ‘Lebih Cepat Lebih Baik’ harus segera diterapkan mengatasi problem tersebut. Jika tidak, nasib tragis murid pinggiran, sulit untuk berakhir. (*)

SUARA REKAN

Jamur Baliho SEMINGGU terakhir, di Kota Bandung banyak bermunculan baliho. Wajah yang terpampang dalam baliho ada yang sudah populer, ada juga yang mungkin baru. Siapa mereka? Tak lain adalah orang-orang yang memiliki niat mulia ingin memperbaiki kesejahteraan hidup warga Jawa Barat (Jabar). Tapi, mereka meminta syarat. Mereka meminta kita memilihnya menjadi gubernur dan wakil gubernur Jabar. Tapi itu nanti, pada 2013. Lalu mengapa mereka kepedean memajang wajah dengan ukuran begitu besar di sejumlah sudut kota, bahkan ada yang sengaja di pasang di trotoar, tempat berjalan kaki? Itu karena mereka sedang merayu. Jika diterjemahkan dalam bahasa tulis, simbol komunikasi massa itu bisa saja akan berbunyi, “Jangan lupa ya, pilih saya!” Mereka yang sudah kita kenal, ingin mempertegas bahwa dirinya yang paling pantas menjadi pemimpin Jabar. Dan mereka yang baru ingin mengingatnya saat kelak pencoblosan dilakukan. Meskipun mereka terus menambah baliho di sejumlah titik di Jabar, sebagai orang yang memiliki hak untuk menentukan siapa yang akan menduduki kursi gubernur Jabar, kita jangan termakan rayuan dan wajah dalam baliho. Kita perlu mengingat-ingat, apa yang sudah mereka lakukan untuk Jabar. Apakah mereka termasuk orang yang pantas mendapatkan amanah. Dan yang juga penting adalah, apakah mereka adalah orang-orang yang memegang teguh janji. Jika tak ada unsur tersebut dalam diri mereka, tak perlu ragu untuk membuangnya dalam ingatan. Menjelang pemilukada Jabar, isu kemiskinan, pendidikan, dan pengangguran, akan terus diputar. Anehnya, angka potret kemiskinan dan pengangguran tetap saja tidak berkurang. Dampak global, seperti isu kenaikan Bahan Bakar Mi-

nyak, memang turut menyokong angka kemiskinan, karena daya beli masyarakat merosot. Tapi, itu tidak bisa menjadi alasan. Di Kabupaten Bandung Barat, tercatat ada 18 anak mengalami gizi buruk (baca:kurang asupan gizi). Dan yang memilukan, ada di antara mereka yang tak tertolong jiwanya. Pemerintah menduga karena masalah kemiskinan, tingkat pendidikan yang rendah, dan kurangnya kesadaran untuk melakukan pemeriksaan. Soal kasus gizi buruk memang terjadi belum lama ini, tapi upaya memperbaiki tingkat pendidikan dan perbaikan ekonomi rakyat sudah dideklarasikan sejak para pemimpin Bandung Barat dan Jabar hendak berkuasa. Jika pemerintah masih beralasan soal rendahnya tingkat pendidikan dan masalah kemiskinan, artinya para pemimpin kita tidak berhasil menyelesaikan masalah tersebut. Cerita lain, di Sumedang, ada warga di empat desa yang sudah seminggu kesulitan mendapatkan bahan bakar gas elpiji. Jika kemudian mereka menemukan, harganya sudah mahal. Ternyata ada persoalan pendistribusian yang didasarkan pada hari kerja. Artinya, pada hari libur, pendistribusian pun libur. Padahal kebutuhan harian masyarakat tidak libur. Bukannya ditambah pasokannya, pemerintah malah mengatakan akan mengurangi. Aneh. Ini adalah catatan-catatan kecil harian yang terjadi di masyarakat dan lambat dalam penanganan. Belum lagi masalah fasilitas publik yang kian memprihatinkan kondisinya. Jalan rusak. Lampu penerangan jalan mati. Drainase mampet. Dan gedung-gedung sekolah yang hampir roboh. Lucunya, mereka dengan percaya diri mengatakan telah berhasil menjadi seorang pemimpin. Sekali lagi, Anda jangan tertipu dengan wajah-wajah gagah mereka yang terpampang dalam baliho di setiap sudut kota. (*)

Homepage: http//www.banjarmasinpost.co.id Penerbit SIUPP

: PT Grafika Wangi Kalimantan : SK Menpen No. 004/SK MENPEN/ SIUPP/A.7/1985 tgl 24 Oktober 1985 Sejak Tanggal : 2 Agustus 1971 Direktur Utama : Herman Darmo

e-mail : redaksi@banjarmasinpost.co.id

Koalisi Gotong Royong Layak Jadi Pilihan SEBAGAI konsekuensi logis dari suatu sistem politik yang memiliki subsistem multipartai, adanya pemerintahan koalisi menjadi hal lumrah. erbeda dengan sistem negara tanpa partai atau satu partai dimana pemerintahannya terdiri dari koalisi para pribadi yang saling beda namun tanpa tambahan arah loyalitas disamping “demi negara”. Dalam pemerintahan koalisi antar-partai para pribadi dalam kabinet harus tetap mengutamakan loyalitas pada kepentingan partainya, karena yang berkoalisi, dan yang mendudukkan mereka dalam jabatan-jabatan berkuasa itu, adalah partainya. Dengan begitu pemerintahan mengandung celah dan benih kelemahan. Segala jalur konspirasi pada sekitar kabinet, parlemen dan partai-partai akan tumbuh subur berikut segala akibatnya.

B

Koalisi yang terbangun seperti ini bisa menyebabkan pecah kongsi dalam mendukung pemerintahan. Kita bisa lihat contoh pada kasus pemerintahan SBYBodiono yang menyebabkan koalisi pada Dalam demokrasi mayoritas, pembentukan pemerintahan koalisi ditempuh melalui koalisi minimal partai pemenang, dengan tujuan untuk menciptakan mayoritas diparlemen yang diperlukan untuk memperlancar penyelenggaraan pemerintahan. Sehingga koalisi dengan sistem politik seperti ini bukan didorong semangat demokrasi, tetapi oleh keinginan mendominasi pemerintahan. Koalisi yang terbangun seperti ini bisa menyebabkan pecah kongsi dalam mendukung pemerintahan. Kita bisa lihat contoh pada kasus pemerintahan SBY-Bodiono

Redaktur: Sigit Rahmawan A, Umi Sriwahyuni, Syamsuddin, Alpri Widianjono, Kamardi, Mahmud M Siregar, Aya Sugianto, Sofyar Redhani, M Royan Naimi, Siti Hamsiah. Asisten:Eka Dinayanti, Murhan, Anjar Wulandari, Aries Mardiono, Ernawati,Idda Royani. Staf Redaksi: Sudarti (Repoter Senior), Hanani, Burhani Yunus, AM Ramadhani, Halmien Thaha, Syaiful Anwar, Mohammad Choiruman, Anita Kusuma Wardhani, Syaiful Akhyar, Khairil Rahim, Ibrahim Ashabirin, Eko Sutriyanto, Sutransyah, Faturahman, Irfani Rahman, Jumadi, Edi Nugroho, Budi Arif RH, Doni Usman, Mustain Khaitami (Kabiro), Hari Widodo, Ratino, M Risman Noor, Salmah, George Edward Pah, Rahmawandi, M Hasby Suhaily, Helriansyah, Didik Triomarsidi (Kabiro), Nia Kurniawan, Mukhtar Wahid, Rendy Nicko Ramandha, Restudia, Yayu Fathilal, Aprianto, Frans, Nurholis Huda. Fotografer: Donny Sophandi, Kaspul Anwar. Tim Pracetak: Syuhada Rakhmani (Kepala), M Syahyuni, Aminuddin Yunus, Syaiful Bahri, Edi Susanto, Sri Martini, Kiki Amelia, Rahmadi, Ibnu Zulkarnain, Achmad Sabirin, Rahmadhani. Design grafis/illustrator: Ivanda Ramadhani. Biro Jakarta: Febby Mahendra Putra (Kepala), Domuara Ambarita, Murdjani, Antonius Bramantoro, Budi Prasetyo, Fikar W Eda, FX Ismanto, Johson Simandjuntak, Rahmat Hidayat, Yulis Sulistyawan, Choirul Arifin, Hendra Gunawan, Sugiyarto

WARTAWAN “BANJARMASIN POST GROUP” SELALU DIBEKALI TANDA PENGENAL DAN TIDAK DIPERKENANKAN MENERIMA/MEMINTA APA PUN DARI NARASUMBER.

Negara kita sangat membutuhkan koalisi besar yang harus mampu menjamin stabilitas pemerintahan yang dalam konteks Indonesia amat diperlukan untuk mendorong pembangunan nasional. Bukan pada politik koalisi dengan melembagakan partai oposisi Ini yang meresahkan kita semua, sudah kehilangan jati diri politik bangsa yakni demokrasi gotong royong yang seharusnya dilaksanakan melalui sharing of power partai politik atau kekuatan politik dalam lembaga eksekutif dan legislatif. Karena negara kita sangat membutuhkan koalisi besar yang harus mampu menjamin stabilitas pemerintahan yang dalam konteks Indonesia amat diperlukan untuk mendorong pembangunan nasional. Bukan pada politik koalisi dengan melembagakan partai oposisi. Karena Negara kita punya tatanan nilai demokrasi sendiri yakni Pancasila.(*) Pengamat Politik Pemerintahan FISIP Unlam

Rancangan UU Larangan Mengenakan Rok Mini

Bukan Pemerintah atau DPR

Pemimpin Umum : HG Rusdi Effendi AR Pendiri : Drs H J Djok Mentaya (1939-1994) Drs H Yustan Aziddin (1933-1995) HG Rusdi Effendi AR

Pemimpin Perusahaan: A Wahyu Indriyanta General Manager Percetakan: A Wahyu Indriyanta Pj Asisten General Manager Percetakan : Suharyanto Wakil PP (Bidang Humas dan Promosi): M Fachmy Noor Pj Asisten Manajer Iklan : Helda Annatasia (08115803012) Manajer Sirkulasi : Fahmi Setiadi - Riadi (08115003012) Alamat: Gedung HJ Djok Mentaya, Jl AS Musyaffa No 16 Banjarmasin 70111, Telepon (0511) 3354370 Fax 4366123, 3353266, 3366303 Bagian Redaksi: Ext 402-405 ; Bagian Iklan: Ext. 113, 114 Bagian Sirkulasi: Ext. 116, 117 Pengaduan Langganan: 08115000117 (0511) 3352050 Biro Jakarta-Persda: Redaksi, Jl Pal Merah Selatan No 12 Lantai II Jakarta 10270, Telp (021) 5483008, 5480888 dan 5490666 Fax (021) 5495358 Perwakilan Surabaya: Jl Raya Jemursari 64 Surabaya, Telp (031) 8471096/ 843428, Fax (031) 8471163 Biro Banjarbaru: Jl Wijaya Kusuma No 11 Telp (0511) 4780356, Biro Palangka Raya: Jl Tjilik Riwut Km.2,5 Palangka Raya, Telp (0536) 3242361 Tarif Iklan: zDisplay Umum: Hitam Putih (BW): Rp 22.500/mmk Berwarna (FC): Rp 45.000/mmk zDisplay Halaman 1: Hitam Putih (BW): Rp 45.000/mmk Berwarna (FC): Rp 90.000/mmk zIklan kolom/Duka Cita: Hitam Putih (BW): Rp 15.000/mmk Berwarna (FC): Rp 30.000/mmk zIklan Kuping: (FC) Rp 100.000/mmk zIklan Baris: (FC) Rp 20.000/baris: (BW): Rp 15.000/baris zIklan Satu Kolom : (FC)Rp 30.000/mmk, (BW): Rp15.000/mmk Catatan: Harga belum termasuk PPN 10%. Harga Langganan: Rp 75.000/bln Percetakan: PT Grafika Wangi Kalimantan Alamat: Lianganggang Km 21 Landasan Ulin Selatan Banjarbaru Telepon (0511) 4705900-01 Isi di luar tanggung jawab percetakan Setiap artikel/tulisan/foto atau materi apa pun yang telah dimuat di harian “Banjarmasin Post” dapat diumumkan/dialihwujudkan kembali dalam format digital maupun nondigital yang tetap merupakan bagian dari harian “Banjarmasin Post”.

yang menyebabkan koalisi pada pemerintahan tidak lagi menunjukkan semangat demokrasi. Kenapa itu terjadi, tidak lain karena para politisi di parlemen lebih mementingkan komitmen akan idiologi dan perjuangan partai, bukan pada penciptaan dominasi pemerintahan yang tidak lain adalah dalam rangka stabilitas untuk mendukung kebijakan-kebijakan pemerintah. Lain halnya dengan beberapa negara di Eropa Timur, menunjukkan motivasi utama politisi dan partai dalam pembentukan koalisi adalah untuk kepentingan individu dan partai. Hal ini terjadi karena yang menjadi motivasi utama adalah kesamaan kebijakan politik, sehingga mendorong politisi dari partai yang berbeda untuk membentuk koalisi yang mampu memenuhi janji politik mereka. Pada rentangan motivasi self dan policy seekers itulah koalisi dapat dibentuk. Untuk masyarakat majemuk seperti Indonesia yang para elit politik-nya menganut budaya politik koalisional atau bersemangat gotong royong. Seorang Arendt Lijpahart (1994) memperkenalkan suatu model demokrasi konsosiasional (consociational democracy) yang secara bebas dapat diterjemahkan menjadi demokrasi kekeluargaan atau demokrasi gotong royong melalui pemilihan langsung.

semangat kedaerahan yang semakin menguat. Dalam konteks ini, maka demokrasi konsosiasional atau demokrasi gotong royong ala Indonesia asli layak untuk kemudian dipertimbangkan sebagai pilihan. Tapi yang menjadi persoalan adalah maukah partai politik saat ini untuk berjiwa besar menerapkan sistem dengan pola demokrasi seperti ini. Maka jawabannya adalah sangat sulit kalau saat ini kita menaruh harapan pada partai politik dengan system politik multipartai yang mengkombinasi dengan sistem presidensiil. Karena di sisi lain partai politik sangat getol memperjuangkan kepentingan partainya pada sisi lain juga mau masuk koalisi dipemerintahan.

Tulisan Opini bisa dikirim ke email: redaksi@banjarmasinpost.co.id (Maksimal 5.000 karakter tanpa spasi). Sertakan nama, alamat lengkap, nomor telepon, nomor rekening dan fotokopi (KTP). Opini yang terbit akan kami berikan imbalan ke nomor rekening penulis. Terima kasih. Artikel yang masuk batas waktu pemuatannya maksimal dua minggu.

Banjarmasin Post Group Pemimpin Redaksi: Yusran Pare Wakil: Harry Prihanto Redaktur Pelaksana: Dwie Sudarlan Pjs Manajer Peliputan: Elpianur Achmad Pjs Asisten Manajer Peliputan : R Hari Tri Widodo Manajer Produksi: M Taufik Redaktur Eksekutif: Muhammad Yamani (Banjarmasin Post), Mulyadi Danu Saputra (Metro Banjar), Irhamsyah Safari (Serambi UmmaH), Ribut Rahardjo (Online/Radio). Manajer Redaksi: Irhamsyah Safari Wakil: Agus Rumpoko

Oleh Dr Samahuddin Muharram

Demokrasi konsosiasional sama dengan demokrasi konsensus dalam semangat gotong royong, tetapi menggunakan pemilihan berbeda. Demokrasi konsensus menggunakan cara pemilihan tidak langsung sedangkan demokrasi konsosiasional menerapkan pemilihan langsung. Demokrasi permusyawaratan-perwakilan ala Indonesia asli yang ditetapkan UUD 1945 itu adalah bentuk demokrasi konsensus. Dalam demokrasi konsosiasional ini, karakteristik paling penting adalah adanya power sharing melalui pemerintahan koalisi besar. Namun untuk mendukung koalisi besar tersebut sangat diperlukan semangat saling asah, dan saling asuh pada elit bangsa, bukan pola hubungan pemerintah dan oposisi. Karena itu bangsa Indonesia perlu terus mencurahkan tenaga dan memperkokoh sistem demokrasi dan sistem pemerintahan presidential yang ditetapkan melalui empat kali amandemen terhadap UUD 1945. Konstitusi telah menerapkan sistem demokrasi mayoritas dengan pemilihan langsung dan sistem pemerintahan presidential. Padahal sistem demokrasi mayoritas hanya cocok untuk masyarakat homogen tidak seperti Indonesia. Sementara mengkompilasi system pemerintahan presidensiil dengan system multi partai dari beberapa penelitian diberbagai negara yang menerapkan sistem seperti ini, secara empirik tidak mampu menciptakan stabilitas pemerintahannya. Demokrasi permusyawaratan seperti yang ditetapkan dalam UUD 1945 asli adalah demokrasi konsensus yang akan terlaksana bila semangat persatuan tumbuh kuat dalam negara bangsa yang memiliki ke-bhinekaan agama dan sosio-kultural di bawah pimpinan tokoh kharismatik yang dihormati oleh semua unsur bangsa. Contoh, Yugoslavakia pernah memiliki tokoh seperti Presiden Tito dan Indonesia pernah memiliki Bung Karno dan Bung Hatta. Sayangnya sekarang syarat-syarat untuk menerapkan kembali demokrasi permusyawaratan-perwakilan sudah tidak kita miliki dan sebagai bangsa kita terpecah belah karena perseteruan pejabat negara sudah secara terbuka, elit politik yang saling antagonistis dan

Saputro PNS Paringin

BANYAK agenda negara yang lebih penting dan harus diselesaikan oleh DPR. Rok mini itu hanya produk budaya, penerapannya serahkan saja pada individu dan mekanisme norma sosial yang berlaku. Masyarakatlah yang harus aktif ‘menghukum’ dan jangan permisif terhadap hal-hal yang dianggap menyimpang dari aturan moral. Buat dibuat UU jika kita mau saja menikmati

pemandangan indah perempuan mengenakan rok mini? Bila RUU larangan mengenakan rok mini itu ada, maka nantinya DPR akan super-repot karena harus juga membuat RUU larangan mengenakan bikini, RUU larangan bertelanjang, dan sejenisnya. Selain itu, bila UU sudah ada maka diperlukan pula penegak hukumnya. Mungkin kita perlu polisi khusus untuk menjaring sesiapa mengenakan rok mini lalu diproses secara hukum. (*)

Sopan Lebih Baik PERASAAN menjadi miris ketika menonton tayangan di TV ketika hampir di berbagai acara ada-ada aja public figure yang mengenakan celana pendek & rok mini, bahkan di Banjarmasin pun banyak yang mengenakan begituan. Fakta di lapangan sangat bertentangan dengan fakta lainnya yang mengatakan Negara Indonesia mempunyai penduduk ber-Agama Islam terbanyak di dunia sekaligus bertitel negara ketimuran.

Hal ini merupakan dampak dari arus globalisasi yang tak terbendung lagi, di mana kebanyakan masyarakat khususnya remaja menelan bulat-bulat kebudayaan dari luar khususnya barat, ditiru secara keseluruhan tanpa memikirkan plus minus dari sebuah budaya. Kalau dilihat dari sisi kerugian banyak salah satunya rok mini dapat membahayakan si pemakai. Soalnya kebanyakan dari korban kejahatan pakaiannya serba mini. Karena pakaian tersebut

membuat mereka terlihat mencolok dan menjadi sasaran empuk bagi penjahat. Sisi positifnya rasanya tidak ada. Boro-boro terlihat cantik, ujung-ujungnya ntar malah masuk angin. Maka dari itu RUU ini mau dibuat untuk melindungi kaum perempuan, jadi sudah sepatutnya rencana pemerintah ini diapresiasi dan didukung serta dijalankan dengan sebaik-baiknya, sehingga dampak positif dari RUU ini kelak bisa dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat. (*)

Ridha Akmal Putra Siswa SMAN 7 Banjarmasin

Tema minggu depan: Menuju Ujian Nasional yang Mencerahkan SAMPAIKAN komentar Anda maksimal 500 karakter secara santun ke redaksi@banjarmasinpost.co.id, disertai salinan kartu identitas diri dan foto (mohon jangan pasfoto). Komentar terbaik untuk tiap minggunya, mendapat kenang-kenangan manis dari BPost. Jadi, saatnya Anda bicara demi kebaikan bersama.


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.