Festival Film Santri 2013: Respect Through Understanding

Page 1

ca t a lo g

“Memahami untuk Menghargai” “Respect through Understanding” 1


2


Kata Pengantar

Foreword

3


Kata Pengantar

4

F

estival Film Santri (FFS), yang dibuka pada 21 Juni 2013 di Erasmus Huis, Jakarta, digagas untuk menciptakan ruang apresiasi terhadap film dokumenter karya santri Indonesia. Lewat festival ini, kita tidak hanya sekedar menonton, memberikan masukan atau kritikan atas karya mereka, tapi juga memahami dunia anak-anak muda pesantren secara utuh dari ide, cita-cita dan apa yang mereka rasakan melalui proses kreatif yang mereka jalani.

Kami telah menerima 21 film karya santri dari 10 pesantren, masing-masing di Tangerang, Lebak, Tasikmalaya, Bogor, Cirebon, Cilacap, Solo, Lamongan, Palembang dan Makassar, yang sebelumnya telah mengikuti workshop Dokumenter Kreatif yang diselenggarakan oleh Search for Common Ground (SFCG) Indonesia. Workshop ini setidaknya memakan waktu tiga bulan; dari proses workshop sejak 21 Januari 2013 hingga penyerahan seluruh film dokumenter pada 7 April 2013. Dari semua film karya santri tersebut, kami telah memilih 10 film yang akan diputar dalam FFS yang berlangsung selama sebulan di Jakarta, Bandung,

Tangerang, Bogor, Lebak, Tasikmalaya, Cirebon, Solo, Lamongan, Palembang dan Makassar. Menurut penilaian kami, 10 film yang sinopsisnya ada di hadapan Anda ini relatif mampu mengintegrasikan ide-ide ke dalam naskah cerita, teknik dan kualitas gambar. Tema yang diangkat film-film ini berkisar seputar toleransi, menghargai perbedaan, hidup damai, anti kekerasan dan budaya lokal. Dari semuanya, kami menemukan benang merah dari proses kreatif yang mereka jalani: “Memahami untuk Menghargai”, yang akhirnya kami pilih sebagai slogan festival film santri ini. Seperti halnya proses pembelajaran, proses memahami yang dijalani oleh para santri sepanjang pembuatan film-film dokumenter ini tak mengenal kata henti. Kita, masyarakat Indonesia yang sehari-hari dihadapkan pada kondisi keberagaman agama, ras, etnis, bahasa, kelompok atau aliran, sudah sepatutnya terus mengembangkan budaya “memahami” untuk “menghargai” perbedaan yang ada. Semoga karya-karya para sineas muda pesantren ini berhasil mencapai tujuan, yaitu mengajak kita semua untuk “memahami untuk menghargai” dalam interaksi dan praktik sosial demi koeksistensi yang damai. Salam damai, Tim SFCG


F

estival Film Santri (Santri Film Festival), launched at Erasmus Huis, Jakarta on June 21, 2013, was initiated to offer an appreciation space for the documentary films created by Indonesian santris (pesantren students). Not only does the festival allow us to watch and give feedback about the santris’ works, it also aims to better our understanding of the world of young people living in the pesantren (Islamic boarding school) – their ideas, future goals and creative process. We are delighted to have received 21 documentary films created by santris from 10 different pesantrens, namely: Tangerang, Lebak, Tasikmalaya, Bogor, Cirebon, Cilacap, Solo, Lamongan, Palembang and Makassar. Prior to the filmmaking, the santris attended a workshop on creative documentary films conducted by Search for Common Ground (SFCG) Indonesia. The workshop was held in 10 pesantrens for about three months, starting from January 21, 2013 to April 7, 2013. Out of the 21 films created by the santris, we are pleased to present 10 selected films that will be played during this festival. The FFS runs for one month in Jakarta, Bandung, Tangerang, Bogor, Lebak, Tasikmalaya, Cirebon, Solo, Lamongan, Palembang and Makassar. The 10 chosen films were the strongest candidates in our evaluations, in terms of script, technique and quality. Tolerance, respecting diversity, living peacefully, anti-violence and local cultures are the various

themes of these films. However, there is a common message that they all share: “Respect through Understanding,” which we saw fit as the slogan of the Santri Film Festival. Similar to learning process, the understanding process that the santris’ went through during the filmmaking will last a lifetime. We, the Indonesian society who faces religious racial, ethnic, cultural, lingual and communal diversity on a daily basis, should continuously promote the culture of “understanding” in order to “respect” this diversity. We hope that the young filmmakers’ works will be able to encourage us to “respect through understanding” in our interactions and social practices for a peaceful coexistence. Yours peacefully, SFCG Team

Fo r e w o r d

Similar to learning process, the understanding process that the santris’ went through during the filmmaking will last a lifetime. We, the Indonesian society who faces religious racial, ethnic, cultural, lingual and communal diversity on a daily basis, should continuously promote the culture of “understanding” in order to “respect” this diversity.

5


6


Sinopsis

Synopsis

7


8 SANTRI PUNK Tim Pesantren Nahdlatul Ulum Maros – Sulawesi Selatan

K

omunitas punk kerap dinilai sebagai kelompok remaja yang nakal, tidak berpendidikan dan berkeliaran di jalanan sambil mengacau, memberontak dan meresahkan masyarakat. Sementara itu, santri yang dididik di pesantren yang penuh kedamaian dan kental dengan nuansa keagamaan dipandang memiliki akhlak terpuji. Gaya hidup antar dua kelompok pemuda ini terlihat bagai dua kutub yang saling bertolak belakang. Namun, Zauki Al Gazali tidak beranggapan demikian. Di luar kegiatannya sebagai santri kelas 3 Madrasah Tsanawiyah, di Pondok Pesantren Nahdlatul Ulum Soreang, Kabupaten Maros, Zauki juga anggota komunitas punk. Menurutnya, tidak semua yang dilakukan anak punk bernilai negatif seperti yang dilihat kebanyakan masyarakat. Dia mendapati bahwa teman-teman punk-nya punya solidaritas yang tinggi dan rasa kebersamaan yang kuat. Bagaimana cara Zauki menyeimbangkan kehidupannya sebagai santri dan anak punk? Dalam film ini, dia ingin menunjukkan kepada masyarakat luas bahwa anak punk dan anak santri bisa saling berdampingan dan memberikan nilai-nilai positif.

KUDA LUMPING Tim Pesantren Sabilul Hasanah Banyuasin – Sumatera Selatan

S

ebelum menjadi santri di Pondok Pesantren Sabilul Hasanah, Susi adalah penari kuda lumping. Untuk menampilkan tari tradisional Jawa Tengah dan Jawa Timur ini, dia harus melewati proses ritual yang cukup panjang: dari berdandan, melakukan tarian persembahan, tarian pembuka, sampai mabuk (kesurupan) yang membuatnya merasa pusing hingga muntahmuntah. Susi, bersama warga keturunan Jawa lainnya, berupaya melestarikan seni kuda lumping di tanah kelahirannya, desa Sukadamai, Banyuasin, Sumatera Selatan. Namun, setelah menjadi santri, Susi mengetahui adanya larangan bermain dengan hal-hal yang mengundang setan dalam hukum Islam. Dia pun dilarang oleh guru mengajinya untuk bermain kuda lumping. Kini, Susi telah meninggalkan dan melupakan keinginannya menjadi penari kuda lumping. Namun, semangatnya tak putus untuk selalu mengembangkan budaya yang dibanggakannya itu.


SANTRI PUNK PUNK SANTRI Nahdlatul Ulum Pesantren Team Maros – South Sulawesi The punk community is commonly labeled as a group of rowdy and uneducated teenagers who lives on the streets destroying, rebelling and creating chaos within society. On the other hand, santris are students who are educated in the pesantren, a place seen as peaceful and religious. Santris are typically perceived as people with high moral values. The lifestyles of these two groups of youth are viewed as worlds apart. However, Zauki Al Gazali has a different view. Zauki is a santri at class 3 (grade 9) of Madrasah Tsanawiyah, at Nahdlatul Ulum Pesantren, Soreang, Maros district. Yet, Zauki is also a member of a punk community. According to him, not all punk members’ activities are negative, as most people think. By joining the community, he found out that there’s actually strong solidarity and togetherness among his punk friends. How is Zauki balancing his life as a santri and a punk member? In this film, he wants to show that punk members and santris can actually live side by side and give positive values to the society.

KUDA LUMPING Sabilul Hasanah Pesantren Team Banyuasin – South Sumatera

Before studying as a santri at Sabilul Hasanah Pgesantren, Susi was a kuda lumping (literally leather horse) dancer. To perform this traditional dance from Central Java and East Java, she had to follow a long ritual process: dressing, the offering dance, the opening dance, and the trance phase, which made her feel dizzy and vomit. Susi, along with other Javanese descendants, attempt to preserve kuda lumping dance in the land of their birth, Sukadamai village, Banyuasin, South Sumatera. However, when she became a santri, she came to know that Islam prohibits spirit calling acts. Her religion teacher also prohibited her from performing kuda lumping dance. Today, Susi has left behind her dream of becoming a kuda lumping dancer. However, her passion to preserve the culture she takes pride in lives on.

9


10 MUJAJI Tim Pesantren As-Shiddiqiyah Tangerang – Banten

A

hmad Mujaji, santri Pondok Pesatren Asshiddiqiyah yang berasal dari daerah Paku Haji, Tangerang, sudah bercita-cita menjadi seorang ulama sejak kecil. Impian ini terinspirasi oleh idolanya, KH. Zaenuddin MZ. Namun, Mujaji juga harus berjuang melawan penyakit kulit dan mata yang dideritanya. Berbagai usaha telah dia lakukan untuk menyembuhkan penyakitnya ini, namun belum juga menunjukkan hasil. Penyakitnya ini juga membuatnya diejek oleh teman-temannya di pondok pesantren. Bahkan, sampai ada yang meremehkan impian besarnya menjadi kyai. Meski begitu, Mujaji menjadikan ejekan teman-temannya itu sebagai motivasi. Di balik semua hambatan dan kekurangannya, Mujaji selalu terlihat ceria dalam menjalani aktivitas kepesantrenan sehari-hari. Dia tetap semangat mendalami ilmu-ilmu agama, seperti Al-Qur’an, qira’ah, nahwu shorof dan fiqih yang merupakan modal dasar untuk menjadi seorang kyai besar.

SHALAWAT Tim Pesantren Qothrotul Falah Lebak – Banten

D

alam bahasa Arab, shalawat berarti sejahtera atau kedamaian. Sedangkan menurut istilah, shalawatan merupakan puji-pujian kepada Allah dan para rasulnya. Shalawat juga bisa dialunkan dengan iringan musik untuk menambah keindahan dan dapat dituturkan dalam berbagai bahasa di dunia. Walaupun menggunakan bahasa yang sederhana, shalawat mengandung makna yang penting dan luas. Ada shawalat yang berisi nasihat, puji-pujian kepada Allah, bahkan sindiran. Para santri menyadari bahwa shalawat bisa menenangkan hati dan menjadi bahasa jiwa untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah. Yang menarik, banyak shalawat yang menggunakan bahasa Sunda atau Jawa. Sayangnya, jarang yang menuliskan atau membukukannya. Kebanyakan leluhur yang dulu mengenal dan hafal shalawat-shalawat Sunda dan Jawa ini sudah meninggal tanpa mewariskannya kepada generasi-generasi berikutnya. Akibatnya, saat ini sangat jarang orang yang mengetahuinya, apalagi di kalangan generasi muda.


MUJAJI As-Shiddiqiyah Pesantren Team Tangerang – Banten

SHALAWAT Qothrotul Falah Pesantren Team Lebak – Banten

Ahmad Mujaji, a santri at Asshiddiqiyah Pesantren in Tangerang, has always dreamt of becoming a cleric. This dream was inspired by his idol, KH. Zaenuddin MZ, a prominent Indonesian kyai. Unfortunately, Mujaji suffers from skin and eye diseases. Countless efforts have been taken to cure them, but he has not had any luck so far. His friends in the pesantren mock him for his sickness, some even underestimate his dream to be a cleric. However, Mujaji turns these ridicules into motivation. Despite challenges and obstacles in his life, Mujaji stays happy in his daily activities in the pesantren. He is passionate about studying theology and learning Al-Qur’an, qira’ah, nahwu shorof and fiqih, which are the skills required to being a great cleric.

In Arabic, shalawat means wealth or peace. As a term, shalawatan means praises to Allah and His disciples. Shalawat can also be sung with musical accompaniment to enhance its grace and can be spoken in many languages. Though it uses simple language, shalawat implies important and ample meanings. Shalawat offers advice, praises to Allah and even satires. Santris realize that shalawat can soothe hearts and bring them closer to Allah. Interestingly, some shalawats use Sundanese (West Javanese) and Javanese languages. Unfortunately, these shalawats are generally unwritten and undocumented. Ancestors who knew Javanese and Sundanese shalawats by heart passed away without passing it to their next generations. Thus, rarely do people, especially among the youth, know about the shalawats today.

11


12 SANTRI BUKAN BIBIT TERORIS Tim Pesantren Al-Ghazaly Bogor – Jawa Barat

I

lham Kurniawan, santri pondok pesantren Al-Ghazaly Bogor, merasa prihatin karena santri di pondok pesantren sering dihubungkan dengan terorisme. Karena itu, dia mencari tahu apakah keduanya memang saling berhubungan atau tidak. Ilham pun mendatangi gereja yang terletak tepat di sebelah pondok pesantrennya dan bertemu dengan seorang pendeta untuk mengonfirmasi anggapan tersebut. Ternyata, pendeta gereja tersebut tidak setuju bahwa santri merupakan bibit teroris. Sang pendeta tersebut menegaskan bahwa semua umat beragama diciptakan dan dibina untuk berbuat kebaikan. Melalui pencarian atas jawaban itu, Ilham ingin membuktikan kepada masyarakat luas bahwa santri bukanlah bibit teroris, melainkan golongan masyarakat yang mampu hidup berdampingan dengan umat beragama lain.

HARMONI SUTARJI Tim Pesantren Darul Ma’arif Lamongan – Jawa Timur

S

utarji dan keluarganya memeluk agama Hindu. Namun, ketika anak-anak Sutarji dewasa dan menikah, mereka memilih agama sesuai dengan keyakinan mereka masing-masing. Ada yang tetap beragama Hindu, ada juga yang pindah ke agama Islam dan Kristen. Sutarji memang memberikan kebebasan pada anakanaknya untuk memilih agama. Terlepas dari perbedaan agama antara Sutarji dan anak-anaknya, mereka tetap hidup rukun bersama dengan saling toleransi. Mereka bahkan menyesuaikan jadwal beribadah. Selama bulan Ramadan, Sutarji beribadah di pura sebelum Maghrib agar tetap bisa berkumpul dengan keluarga ketika berbuka puasa. Di hari Nyepi, anak-anak Sutarji yang Muslim dan Kristen tidak menyalakan lampu dan makan di luar agar tak mengganggu ibadah orangtua mereka. Mereka juga merayakan Natal dan Lebaran bersama, selayaknya Natal dan Lebaran yang dirayakan keluarga-keluarga lain. Keluarga Sutarji adalah potret keberagaman masyarakat Balun, sebuah desa di Kecamatan Turi, Kabupaten Lamongan. Kehidupan masyarakat Balun dibangun atas keberagaman dan toleransi yang tinggi guna mendorong masyarakat yang aktif berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan desa. Di sini, kopiah bukanlah simbol agama tertentu, melainkan simbol kerapian. Kenduri, selamatan dan syukuran menjadi milik bersama di mana masjid, gereja dan pura menjadi saksi harmoni.


HARMONI SUTARJI SUTARJI’S HARMONY Darul Ma’arif Pesantren Team Lamongan – East Java

SANTRI BUKAN BIBIT TERORIS SANTRIS ARE NOT TERRORIST SEEDS Al-Ghazaly Pesantren Team Bogor – West Java Ilham Kurniawan, a santri at Al Ghazaly Pesantren, Bogor, West Java, is concerned about a perception among the society that associates pesantrens and santris with terrorism. It is his mission to find out if they are, in fact, related. He visits a church near his pesantren and meets a priest to confirm this perception. It turns out that the priest disagrees with the perception that santris are the seeds of terrorists. The priest also emphasizes that all human beings are created and nurtured to do good things. Through his quest to answer the question, Ilham aims to prove that the perception is wrong. Santris are not the seeds of terrorists. Instead, they are part of society members, who are able to live side by side with people from other faiths.

Sutarji is a Hindu man and all of his family members used to be Hindus as well. However, when his children grew up and got married, they converted to other religions. Some are still Hindus; the rest converted to Islam or Christianity. Sutarji gives freedom to his children to choose their own religions. Although differing in faiths, Sutarji and his children live harmoniously and tolerantly. They even adjust their religious ritual schedules to respect each other. For example, during Ramadan (a month of fasting and prayer for Muslims, before Eid al-Fitr), Sutarji and his wife go to the temple before Maghrib prayer (at dusk time) so they can have dinner together. On the Nyepi day (Day of Silence, a Hindu celebration), Sutarji’s Muslim and Christian children do not turn the lights on. They take their meals outside of the house to respect their parents’ Nyepi ritual. The whole family also celebrates Christmas day and Eid al-Fitr together. Sutarji’s family is a portrait of diversity in Balun, a village in Turi sub-district, Lamongan, East Java. Diversity and high tolerance are the foundations of Balun’s society, where people actively participate in various village activities. In this village, kopiah (a type of hat worn by Muslim men) is not only a symbol of a particular religion, it is also a symbol of properness in dressing. Kenduri, selamatan, syukuran (traditional celebrations) are common traditions shared by all villagers. Mosques, churches and temples are the witness of the village’s harmony.

13


14 DHEWEK BE ISLAM Tim Pesantren Al-Ihya Ulumaddin Cilacap – Jawa Tengah

B

anyak Muslim di di Gunung Selok, Adipala, Cilacap, Jawa Tengah, menjalankan Islam yang sarat dengan ritual adat, yang biasa dikenal sebagai “Islam Kejawen”. Mereka melakukan ritual khusus pada waktu tertentu dan jika ada maksud tertentu. Masyarakat umum biasanya menganggap Islam Kejawen aneh dan ganjil karena bagi mereka ritual dilakukan hanya untuk mendapatkan keuntungan tertentu, seperti pesugihan. Perbedaan opini muncul di masyarakat. Menurut juru kunci Goa Ratu, Mbah Yanto, orang-orang yang melakukan ritual di goa itu menganut Islam, meskipun mereka sedikit berbeda. Alasan mereka berada di goa hanya untuk menenangkan diri atau menghormati leluhur. Namun seorang tokoh agama, Kyai Subandi, menganggap prilaku Islam Kejawen ini hanya bertujuan mendapatkan wangsit atau petunjuk. Masyarakat seakan terpecah menjadi dua: masyarakat Islam Kejawen dan masyarakat yang menjalankan Islam seperti pada umumnya. Namun, anggapan ini tidak benar. Sebaliknya, perbedaan mendewasakan masyarakat. Ketika kelompok Islam Kejawen mengadakan ritual keagamaan, masyarakat lain ikut meramaikan. Begitu pula ketika kelompok Islam non-Kejawen mengadakan acara, kelompok Islam Kejawen pun turut andil. Ini adalah bukti bahwa semangat keberagaman masyarakat di Selok telah mengakar.

SASAMBAT Pesantren Madinah Rasul Babakan, Cirebon – Jawa Barat

S

epintas, kegiatan sebuah pesantren di Cirebon terlihat normal, seperti halnya pesantren-pesantren lainnya. Di sini, para santri melakukan kegiatan-kegiatan biasa seperti mengaji dan kerja bakti. Namun, ternyata ada sesuatu yang menarik dan unik di pondok pesantren ini. Suatu malam sekelompok orang melakukan permainan di mana seseorang kerasukan. Tetapi ini bukan kerasukan biasa. Orang-orang tersebut memanggil makhluk halus dan dengan sengaja memasukkannya ke dalam tubuh. Permainan yang disebut Sasambat ini hanya bisa dimainkan oleh orang-orang dengan keahlian khusus. Sebelum melakukan Sasambat, ada syarat-syarat yang harus dipenuhi, seperti berzikir, berpuasa dan membaca bacaan-bacaan khusus. Melalui penuturan tentang beberapa kejadian yang pernah dialami santri di pesantren tersebut, film ini menceritakan bahwa sasambat adalah permainan tradisional santri yang sudah turun-temurun di pesantren itu dan memiliki tujuannya sendiri.


DHEWEK BE ISLAM We are Also Muslims Al-Ihya Ulumaddin Pesantren Team Cilacap – Central Java Many Muslims in Selok Mountain, Adipala, Cilacap, Central Java, practice a traditionally ritualistic Islam, known as “Islam Kejawen”. They perform special rituals at particular times and for certain purposes. The society perceives Islam Kejawen as unusual because the rituals are usually conducted to achieve material gains, such as pesugihan (a ritual practiced to gain wealth). Opinions are divided among the society. According to Mbah Yanto, the caretaker of Ratu Cave, a cave in Selok Mountain, the people who attend the rituals at Ratu cave are Muslims; they are just different from the mainstream Muslim population. The reason why they come to the cave is to meditate or to respect their ancestors. On the contrary, Mr. Subandi, a religious leader, believes that Islam Kejawen followers perform these rituals to get divine inspirations and directions. The society seems to be segmented into Islam Kejawen followers and mainstream Islam followers. But the assumption is not true. Instead of dividing the society, these differences allow the society to mature and develop. When the Kejawen Islam followers carry out their religious rituals, mainstream Muslims participate. And when mainstream Muslims hold events, Islam Kejawen people participate as well. It demonstrates that pluralism in Selok is well rooted in these communities.

SASAMBAT Madinah Rasul Pesantren Team Babakan, Cirebon – West Java At a glance, activities of a pesantren in Cirebon appear normal, just like any other pesantren. Here, santris do regular activities such as Qur’an recitation and community services. However, an interesting and unique event also takes place. One night, a group of people play a game, in which one person goes into a trance. But this is not a regular trance. The people call the spirits to enter a human body. This game is known as Sasambat and only can be played by people with special skills. Before performing Sasambat, some requirements need to be fulfilled, such as dzikir, fasting and reading Qur’an verses. By revealing some events experienced by santris in this pesantren, this film describes that Sasambat is a traditional santri game that has been practiced from generation to generation for certain purposes.

15


16 SATU ALAMAT Tim Pesantren Al-Muayyad Solo – Jawa Tengah

N

isa, santri di salah satu pesantren di Solo, sering mengunjungi tempat-tempat yang menarik di daerahnya. Suatu saat, dia menemukan sebuah masjid dan gereja yang bersebelahan, bahkan beralamat sama: Masjid Al-Hikmah dan Gereja Kristen Jawa (GKJ) Joyodiningratan. Al-Hikmah tidak memiliki bedug dan GKJ Joyodiningratan tidak memiliki lonceng. Jamaah di kedua rumah ibadah tersebut memang saling toleransi. Dalam perayaan hari besar agama masingmasing, kedua jamaah ini saling tolong-menolong. Apabila Natal jatuh pada hari Jumat, umat Muslim di Al-Hikmah melaksanakan shalat Jumat dengan tenang dan tertib. Sementara apabila Idul Fitri atau Idul Adha jatuh pada hari Minggu, umat Kristen di GKJ Joyodiningratan melaksanakan kebaktian setelah Sholat Ied selesai. Nisa kagum karena meskipun berbeda, kedua umat tetap hidup rukun, damai, dan harmonis. Ini sesuai dengan ajaran Islam, di mana sebuah ayat Al-Quran berbunyi, “Bagimu, agamamu dan bagiku, agamaku” yang berarti saling menghormati keyakinan masing-masing untuk hidup berdampingan.

TATA CARA TANTE CORA Tim Pesantren Nahdlatul Ulum Maros – Sulawesi Selatan

H

amsiah, atau biasa dipanggil Tante Cora, adalah seorang anggota jamaah Tarekat Khalwatiyah (Tarekat Sufi) yang tinggal di pondok pesantren Nahdlatul Ulum (NU). Dia hidup sederhana bersama suami dan lima anaknya sebagai pedagang di kantin sekolah NU. Sebelum berjualan di kantin NU, Tante Cora bekerja sebagai penggarap sawah dengan penghasilan yang jauh lebih kecil. Tante Cora memilih untuk menganut Tarekat Khalwatiyah karena membuatnya khusyuk dan memberikannya kebahagiaan tersendiri. Berbeda aliran dari lingkungan pesantren yang menjalankan Islam mainstream, Tante Cora bersama keluarganya memilih beribadah di sebuah rumah, bukan di lingkungan pesantren. Namun di luar itu, dia tidak ingin perbedaan itu menjadi penghalang untuk saling bermuamalah (berinteraksi) dengan santri-santri NU. Film ini menceritakan bagaimana Tante Cora menyeimbangkan perbedaan antara lingkungan ibadahnya dengan lingkungan tempatnya mencari nafkah. Di sini juga diceritakan tentang pentingnya kebebasan memilih jalan hidup masing-masing dan menghargai satu sama lain.


SATU ALAMAT ONE ADRRESS Al-Muayyad Pesantren Team Solo – Central Java

TATA CARA TANTE CORA AUNT CORA’S WAY Nahdlatul Ulum Pesantren Team Maros – South Sulawesi

Nisa, a santri at a pesantren in Solo, regularly visits many interesting places in the city. One day, she finds a mosque and church that are located side by side, and even share the same address: Al-Hikmah Mosque and Java Christian Church Joyodiningratan. Congregants of both of these places of worship are tolerant of each other. Al- Hikmah mosque does not own a drum like most mosques, while Joyodinigratan church does not have a bell like most churches. They also help each other in every religious celebration. When Christmas is celebrated on Friday, Muslims at Al-Hikmah mosque perform their Friday prayer quietly. When Eid al-Fitr and Eid al-Adha are celebrated on Sunday, Christians at Joyodinigratan church hold their Sunday service after Salat al-Eid (Eid prayers). Nisa admires the two group’s ability to coexist peacefully and harmoniously despite their differences. After all, tolerance and peaceful coexistence are part of Islamic teaching, like a Qur’an verse that says “Unto you your religion and unto me my religion.”

Hamsiah, nicknamed Tante Cora (Aunt Cora), is Khalwatiyah Congregation (a Sufi congregation) member, who lives at Nahdlatul Ulum Pesantren. Tante Cora leads a simple life with her husband and five children, working as a canteen vendor at the pesantren. Before working at the pesantren canteen, Tante Cora used to work as a farm worker with much less income than what she earns now. Tante Cora decided to join the Khalwatiyah Congregation because she feels that this congregation makes her more devout and brings happiness to her. This congregation also makes her different from most people at the pesantren who practice mainstream Islam. Due to this difference, Tante Cora and her family choose to pray at a house outside of the pesantren’s vicinity. Nevertheless, she does not want it to stop her from interacting with the santris. This film tells about how Tante Cora balances the differences between her religious life and her work environment. This film also illustrates the importance of freedom in choosing our own way of life and respecting each other.

17


18

Tanpa mereka

, Festival Film Santri tidak akan terlaksana. Search for Common Ground Indonesia mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:

Without them, Search For Common Ground Indonesia could not host Festival Film Santri. We would like to express our biggest gratitude to:


The Wahid Institute (WI) Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) Pesantren Qothrotul Falah, Lebak Pesantren As-Shiddiqiyah, Tangerang Pesantren YIC Al-Ghazali, Bogor Pesantren Baitul Hikmah, Tasikmalaya Pesantren Roudlotul Banat, Babakan, Cirebon Pesantren Ihya Ulumaddin, Cilacap Pesantren Al-Muayyad, Surakarta Pesantren Darul Ma’arif, Lamongan Pesantren Sabilul Hasanah, Palembang Pesantren Nahdlatul Ulum, Makassar Endah W. Sulistianti Kisno Ardi Morenk Beladro Ian White Kingdom of the Netherlands Embassy Erasmus Huis Jakarta

19


20


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.