8 minute read

Kepolisan Resort Tangerang

d. Lanjut Perkara, dalam hal Diversi ditolak / tidak ada kesepakatan antara kedua belah pihak, Pihak

Penyidik/Penyidik Pembantu melanjutkan / menyerahkan perkara tersebut ke Kejaksaan Negeri

Advertisement

Tangerang untuk diproses lanjut sesuai dengan ketentuan yang berlaku namun tetap memperhatikan kepentingan

Anak.102

3. Faktor Pendukung Dalam Proses Penyidikan Anak

Adapun faktor pendukung dalam proses penyidikan anak yaitu antara lain :

a. Infrastuktur (sarana dan prasarana). Pada saat pemeriksaan, Anak yang berhadapan dengan hukum tidak berada di ruangan yang sama dengan orang dewasa, walaupun Ruangan pemeriksaan menggunakan ruangan yang sama. Apabila terdapat pemeriksaan terhadap Orang dewasa dan Anak di waktu yang sama,

Penyidik/Penyidik pembantu memindahkan pemeriksaan terhadap Orang dewasa di ruangan yang berbeda. Tidak hanya perlakuan yang berbeda dengan orang dewasa namun pembedaan tersebut juga terdapat dalam registrasi administrasi penyidikan, dimana registrasi berkas perkara Anak baik penahanan, penangkapan, surat panggilan memiliki nomor register yang berbeda dan memiliki pengarsipan tersendiri.

102 Kitab Undang-Undang HUKUM PERDATA, (Burgerlijk Wetboek), Penerbit Fokusmedia cetakan pertama, Hal.420

b. Kualifikasi Penyidik/Penyidik Pembantu. Kualifikasi Tenaga Penyidik / Penyidik Pembantu yang ada di Unit PPA Satuan Reserse Kriminal Kepolisian Resort Tangerang sebagai berikut : Penyidik Penuh : 2 (dua) Orang, terdiri dari : KAPOLRES & KASAT RESKRIM ; Penyidik Pembantu : 5 (lima) Orang, terdiri dari : 2 (dua) POLWAN dan 3 (tiga) POLKI. Penyidik / Penyidik Pembantu yang ada berpengalaman sebagai penyidik, mempunyai minat, perhatian, dedikasi dan memahami masalah anak serta telah mengikuti pelatihan teknis tentang peradilan Anak melalui pelatihan –pelatihan dan pendidikan pengembangan spesialis (DIKBANGSPES BRIGADIR POLWAN PPA) yang diadakan oleh Lembaga Pendidikan POLRI.

B. Kendala Penyidik dalam memberikan Perlindungan Hukum terhadap Anak sebagai Pelaku Tindak Pidana Kekerasan Anak di Kepolisan Resort Tangerang.

Kendala timbul dari faktor keluarga dan lingkungan, dalam praktiknya menurut Aiptu Hasmawati Hamzah, banyaknya anak yang telah menjadi residivis atau anak tersebut pernah dihukum dan mengulangi lagi tindak kejahatan yang serupa khususnya tindak kejahatan kekerasan anak merupakan kurangnya tindakan pencegahan oleh orang tua anak tersebut. Artinya, apabila anak tersebut telah digolongkan sebagai residivis akan ada pertimbangan untuk pemberian pemberatan hukuman yang akan diberikan.

Tabel 1.3

Pelaku Anak Tindak Pidana Kekerasan Anak yang Digolongkan Sebagai Residivis

No Tahun 1 2014 Resdivisi Anak 3 anak

2 2015 5 anak

3 2016 3 anak

4 2017

4 anak Jumlah 15 anak Sumber : Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Kepolisian Resort Tangerang. Berdasarkan data diatas, pelaku anak tindak pidana kekerasan fisik yang digolongkan sebagai residivis di yurisdiksi Kepolisian Resort Tangerang memang menjadi salah satu kendala yang harus diberikan tindakan pencegahan mengingat anak merupakan salah satu aktor penerus generasi di kehidupan berbangsa dan bernegara. 103

Kekuasaan Penyidikan adalah tahap yang paling menentukan dalam operasionalisasi Sistem Peradilan Pidana Terpadu tersebut dalam rangka tercapainya tujuan dari Penegakan Hukum Pidana, karena pada tahap penyidikanlah dapat diketahui adanya tersangka suatu peristiwa kejahatan atau tindak pidana serta menentukan tersangka pelaku kejahatan atau tindak pidana tersebut sebelum pelaku kejahatan tersebut pada akhirnya dituntut dan diadili di pengadilan serta diberi sanksi pidana yang sesuai dengan perbuatannya. Tanpa melalui proses

103 Kitab Undang-Undang HUKUM PERDATA, (Burgerlijk Wetboek), Penerbit Fokusmedia cetakan pertama, Hal. 423

atau tahapan penyidikan maka secara otomatis, tahapan-tahapan selanjutnya dalam proses peradilan pidana yaitu tahapan penuntutan, pemeriksaan di muka pengadilan dan tahap pelaksanaan putusan pidana tidak dapat dilaksanakan. 104

Pada tahap penyidikan, penyidik wajib mengupayakan Diversi, yang bertujuan mencapai perdamaian antara korban dengan anak, menyelesaikan perkara anak di luar proses peradilan, menghindarkan anak dari perampasan kemerdekaan, mendorong masyarakat untuk berpartisipasi, menanamkan rasa tanggung jawab kepada anak. Dalam melakukan penyidikan anak, penyidik wajib meminta pertimbangan atau saran dari pembimbing kemasyarakatan, dan apabila perlu juga dapat meminta pertimbangan atau saran dari ahli pendidikan, ahli kesehatan jiwa, ahli agama, atau petugas kemasyarakatan lainnya. Akan tetapi, dalam mewujudkan itu semua terutama perintah dari dasar hukum Undang – Undang nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak masih ditemukan beberapa kendala baik secara normatif maupun secara praktiknya. 105 Kendala normatif dalam mewujudkan perintah Undang –Undang nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak sebagai dasar hukum materiil ialah masih berlandaskan dengan hukum formil Kitab Undang – Undang Hukum Acara Pidana. Sebagai contoh dalam praktiknya, Pasal 32 ayat (3) Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem

104 Kitab Undang-Undang HUKUM PERDATA, (Burgerlijk Wetboek), Penerbit Fokusmedia cetakan pertama, Hal. 425 105 Kitab Undang-Undang HUKUM PERDATA, (Burgerlijk Wetboek), Penerbit Fokusmedia cetakan pertama, Hal. 427

Peradilan Pidana Anak menentukan bahwa alasan penahanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dinyatakan secara tegas dalam surat perintah penahanan. Pelanggaran atau kelalaian atas Pasal 32 ayat (3) Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, tidak diatur dengan tegas akibat hukumnya, sehingga dapat merugikan anak.

106

Penahanan anak, didasarkan atas pertimbangan kepentingan anak dan kepentingan masyarakat yang harus dinyatakan secara tegas dalam surat perintah penahanan. Dalam praktik di daerah hukum Kepolisian Resort Tangerang, inilah salah satu kendala perlindungan hukum kepada pelaku anak, sebagaimana pihak pelapor dan/atau korban menginginkan agar supaya para pelaku anak ditahan, sehingga apabila para pelaku anak tidak ditahan, pihak pelapor dan/atau korban berasumsi kepada penyidik bahwa laporannya itu tidak dijalankan sesuai dengan hukum yang Kendala lain dalam praktiknya di daerah hukum Kepolisan Resort Tangerang, sebagaimana faktor lingkungan yang tentunya sangat berperan fundamental, para anak – anak kebanyakan bergaul atau bersosialisasi tidak pada lingkungan yang seharusnya, para anak – anak ini bergaul atau bersosialisasi dengan tidak sesama anak – anak bahkan mereka cenderung bergaul atau bersosialisasi dengan orang yang lebih dewasa, akibatnya banyak diantara anak – anak ini terpengaruh dengan kebiasaan orang yang lebih dewasa.

Tentu peran orang tua sangat diperlukan disini, akan tetapi kebanyakan dari anak – anak ini menyatakan bahwa

106 Kitab Undang-Undang HUKUM PERDATA, (Burgerlijk Wetboek), Penerbit Fokusmedia cetakan pertama, Hal. 430

ketika orang tua mereka bekerja ataupun tidak berada di lingkungan rumah, hal inilah yang menjadi kesempatan untuk mereka bergaul dan bersosialisasi dengan bebas bahkan melewati batas. Perlu diperhatikan juga bahwa tempat penitipan anak yang layak di daerah hukum Kepolisian Resort Tangerang memang hampir dikatakan belum maksimal sebagai solusi tempat para anak – anak bergaul atau bersosialisasi sesama anak – anak. 107

107 Kitab Undang-Undang HUKUM PERDATA, (Burgerlijk Wetboek), Penerbit Fokusmedia cetakan pertama, Hal. 433

BAB IV

PENUTUP

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian dan pembahasan mengenai “kontroversi kastrasi sebagai efek jera pelaku pedofil ditinjau dari perspektif hukum dan HAM” maka dapat diambil kesimpulan bahwa pedofil merupakan seseorang yang memilih menunjukan aktivitas seksual kepada anak yang berumur kurang dari 13 tahun. Seseorang untuk dapat dikatakan pedofil setelah menjalani pemerikasaan psikologis, karena tidak semua pelaku kejahatan seksual terhadap anak-anak merupakan pedofil. Kekerasan seksual yang dilakukan oleh pedofil mempunyai dampak buruk terhahap korban. Kasus kekerasan seksual di Indonesia setiap tahunnya bertambah. Maraknya kasus kekerasan seksual terhadap anak menjadi perhatian pemerintah untuk membuat Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang (Perppu). Di Indonesia kastrasi menjadi wacana hukuman tambahan bagi pelaku kekerasan seksual pada anak yang kemudian direalisasikan dalam isi Perppu Nomor 1 Tahun 2016 perubahan kedua Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014. Hukuman tambahan kastrasi menimbulkan kontroversi di berbagai pihak karena dinilai melanggar HAM bagi pelaku, tetapi disisi lain diharapkan mampu untuk melindungi anakanak dan memberikan efek jera bagi pelaku pedofil. Hukuman yang ada di Indonesia masih ringan bagi pelaku pedofil.

B. Saran

Berdasarkan uraian dan pembahasan di atas, maka diperlukan saran atau masukan-masukan mengenai “kontroversi kastrasi sebagai efek jera pelaku pedofil ditinjau dari perspektif hukum dan HAM” adalah sebagai berikut:

1. Orang tua sebaiknya menjaga anak-anaknya dari ancaman pelaku pedofil yang saat ini marak terjadi di

Indonesia. 2. Pemerintah sebaiknya segera mengambil langkah nyata untuk memberikan efek jera kepada pelaku pedofil.

Salah satunya dengan adanya hukuman tambahan, agar jumlah korban kekerasan seskual terhadap anak tidak meningkat. Kastrasi yang menimbulkan kontroversi sebagai hukuman tambahan harus benar-benar dikaji jika akan dijadikan landasan hukum untuk menghukum pelaku pedofil.

DAFTAR PUSTAKA

Adami Chazawi. 2014. Pelajaran Hukum Pidana Bagian I. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Abdul Wahid dan Muhammad Irfan. 2001. Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan Seksual Advokasi atas Hak Asasi Perempuan. Bandung: Refika Aditama. Donald Albert Rumokoy dan Frans Maramis. 2014. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Dwidja Prayitno. 2013. Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara Di Indonesia. Bandung: Refika Aditama. Endang Sutrisno. 2007. Bunga Rampai Hukum dan Globalisasi. Yogyakarta: Genta Press. Hendrojono. 2005. Kriminologi Pengaruh Perubahan Masyarakat dan Hukum. Jakata: Srikandi Ishaq. 2012. Dasar-Dasar Ilmu Hukum. Jakarta: Sinar Grafika. Luh Ketut Suryani dan Cokorda Bagus Jaya Lesmana. 2009. Pedofil Penghancur Masa Depan Anak. Jakarta: Pustaka Populer Obor Maidin Gultom. 2014. Perlindungan Hukum terhadap Anak dan Perempuan. Bandung: Refika Aditama.

Merry Magdalena. 2014. 10 Pedofil Paling Berbahaya Di Dunia. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia.

Mukhtie Fadjar. 2005. Tipe Negara Hukum. Malang: Banyumedia Publishing.

Nashriana. 2011. Perlindungan Hukum Pidana bagi Anak di Indonesia. Jakarta: Rajawali Press. Peter Mahmud Marzuki. 2009. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Kencana

Rika Saraswati. 2009. Hukum Perlindungan Anak Di Indonesia. Bandung: Citra Aditya Bakti. Setya Wahyudi. 2011. Implementasi Ide Diversi dalam Pembaruan Sistem Peradilan Anak Di Indonesia. Yogyakarta: Genta Publishing. Abdulsalam, R. 2007. Sistem peradilan pidana. Jakarta : Restu agung.

Andi Hamzah, 2006, Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, Cet.5, Sinar Grafika, Jakarta.

Andi Sofyan, Nur Azisa. 2016. HUKUM PIDANA. Pustaka Pena Press : Makassar.

Barda Nawawie Arief, Beberapa Aspek Hak Asasi Manusia Ditinjau dari Sudut Hukum Pidana, Makalah Seminar Nasional Hak Asasi Manusia diselenggarakan oleh FH. UNDIP, tanggal 25 Januari 1993

Chandra Gautama, 2000, Konvensi Hak Anak Panduan Bagi Jurnalis, Lembaga Studi Pers Dan Pembangunan : Jakarta.

Erdianto Efendi, 2011. Hukum Pidana Indonesia Suatu Pengantar. Yang Menerbitkan PT Refika Aditama: Bandung.

Fatahilla A.Syukur. 2011. Mediasi Penal: Penerapan Restorative Justice di Pengadilan Anak I ndonesia. Depok : Indie Pre Publishing. .

Kadja, Thelma Selly M, 2000, Perlindungan Terhadap Anak Dalam Proses Peradilan, Jurnal Hukum Yurisprudensia.

Kartini Kartono, 1992, Pathologi Sosial (2), Kenakalan Remaja, Rajawali Pers : Jakarta,

Khumaidi Tohar, 2007. Artikel “Memahami perilaku Delinkuensi dan Rasionalisasinya”. Jakarta.

Leden Marpaung, 2009. Asas – Teori - Praktik Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta.

Lilik Mulyadi, 2005. Pengadilan Anak Di Indonesia, CV.Mandar Maju, Bandung.

KONSEP PERLINDUNGAN ANAK DALAM PANDANGAN ISLAM DAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERLINDUNGAN ANAK

SKRIPSI

Diajukan sebagai syarat untuk memperoleh S1 (Strata 1) Pada Program Studi Hukum Keluarga Islam Sekolah Tinggi Ilmu Syariah Nahdlatul Ulama Nusantara (STISNU NUSANTARA) Tangerang, Tahun Akademik 2019-2020

Oleh :

RIKI ARI DARMAWAN

NIM: 14.15.01.16

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM

STISNU NUSANTARA TANGERANG

2020

2020

This article is from: