Kata Pengantar; Dr. A Setyo Wibowo
kita mau mengkontraskan Plotinos dengan filsafat kristiani, saya berani mengatakan bahwa Yang Satu, Noûs, Psukhe dan Dunia ini benarbenar bersifat “imanen”. Namun saya cenderung menghindari istilah anakronis ini karena problematika “imanensi” tidak pernah menjadi masalah bagi Plotinos dan para filsuf Yunani pada umumnya. Kata “Imanensi” adalah kata yang tidak membantu untuk memahami kekayaan problematika pemikiran soal “keterpisahan sekaligus kesalingterangkuman segala sesuatu”, “satu dan banyak”, “perubahan dan gerak”. Kepercayaan kepada Imanensi Bertitik tolak dari penumpang-tindihan istilah yang mengatakan bahwa sejak di Yunani sudah ada “transendensi”, sehingga dengan demikian seluruh tradisi filsafat berbicara tentang “transendensi”, akibatnya kita menjadi cukup kerepotan untuk selalu membedakan “transendensi yang imanen” dari “transendensi yang transenden (agamais)” di satu sisi, dan “imanensi yang imanen” dari “imanensi yang bersupposisi transendental (agamais)” di sisi lain. Buku yang baik biasanya mengklarifikasi posisi dan istilah dengan cukup jelas sehingga se-spekulatif apa pun argumentasinya, kita tidak diwajibkan setiap kali membedakan makna sebuah kata menjadi ini atau itu. Sejak Heidegger, lalu dilanjutkan dengan fenomenologi à la française, kita memang cukup direpotkan dengan kata-kata rumit seperti: das Nicht (ketiadaan) yang lebih ada daripada adaan-adaan yang kita kenali ini, namun ketiadaan di situ bukanlah nihil dalam konteks ex nihilo-nya Kristianisme melainkan sebuah nihil lain yang tak ada hubungannya dengan penciptaan, dengan kata lain sebuah nihil imanen bukan nihil dalam kaitannya dengan yang transenden. Di satu sisi kita bisa kagum dengan kehebatan bahasa Jerman dan Prancis yang bisa membuat sebuah kata bermain-main, namun di sisi lain, harus diakui, sangat melelahkan. Dan lebih parah lagi, seturut komentar Jeanne Hersche, semua klarifikasi kata yang dibuat Heidegger dengan sedemikian detil adalah sebuah pencerahan yang malah membutakan. Dalam garis membela “ketiadaan yang imanen” (artinya, kexxi