GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012-2013

Page 1

Publikasi Khusus Special Publication

Periode 2012-2013

GEOLOGY STUDENT RESEARCH CENTER HIMPUNAN MAHASISWA TEKNIK GEOLOGI JURUSAN TEKNIK GEOLOGI FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS GADJAH MADA


Publikasi Khusus Special Publication

Periode 2012 – 2013

GEOLOGY STUDENT RESEARCH CENTER HIMPUNAN MAHASISWA TEKNIK GEOLOGI JURUSAN TEKNIK GEOLOGI FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS GADJAH MADA


Hak Cipta Š 2013 Departemen Penelitian dan Pengembangan Semua bagian dari karya tulis dalam buku ini telah dipublikasikan dalam konferensi/lomba tingkat regional/nasional/internasional. Pengutipan tanpa pemberian sitasi yang benar akan dianggap plagiasi dan mendapat sanksi intelektual yang berlaku. Buku ini tidak boleh diperbanyak melalui rekaman elektronik (pindai), fotokopi, penyalinan, atau sejenisnya tanpa izin dari Departemen Penelitian dan Pengembangan, HMTG FT UGM. GeoResearch HMTG Annual Proceeding Periode 2012 – 2013 (Edisi Perdana) Program Geology Student Research Center Diterbitkan oleh Departemen Penelitian dan Pengembangan Himpunan Mahasiswa Teknik Geologi Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada Jalan Grafika 2, Kompleks Fakultas Teknik, UGM Yogyakarta www.hmtg.ugm.ac.id ii


Pelindung

Dr. Sugeng Sapto Surjono

Penasihat

Salahuddin Husein, Ph.D.

Penanggung Jawab

Rhyno Senbyla Sesesega

Dewan Redaksi Ketua

Yan Restu Freski

Anggota

Syayidu Guntur Ma’arif Triyanto Juli Prasetyo Kevina Ekawati Risa Silmi Lestari M. Anzja Chabbani Ista’la Ahmad Faiz Mubarok

Alamat: Departemen Penelitian dan Pengembangan Himpunan Mahasiswa Teknik Geologi Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada Jalan Grafika 2, Kompleks Fakultas Teknik, UGM Yogyakarta www.hmtg.ugm.ac.id iii


KATA SAMBUTAN Ucapan selamat dan ungkapan apresiasi yang besar sepatutnya saya alamatkan kepada Departemen Penelitian dan Pengembangan HMTG FT UGM, atas kerja keras dan langkah panjangnya dalam upaya menerbitkan GeoResearch ini. Berawal dari harapan dan mimpi akan adanya satu dokumentasi resmi atas prestasi ilmiah para mahasiswa Jurusan Teknik Geologi FT UGM, GeoResearch hadir bukan hanya untuk mewujudkan harapan dan mimpi tersebut. GeoResearch ini membawa harapan dan mimpi yang lebih besar dari hanya sekedar alat dokumentasi, yaitu sebagai alat pendorong bangkitnya iklim penelitian ilmiah mandiri di kalangan mahasiswa dalam wadah HMTG. Sehingga kelak, pada edisi berikutnya, saya ingin sekali tidak lagi melihat kategori KP (Kategori Profesional; yaitu makalah yang ditulis oleh dosen dengan dibantu mahasiswa peneliti) dalam daftar makalah yang dihimpun GeoResearch. Sudah selayaknya seluruh makalah merupakan KM (Kategori Mahasiswa; dimana makalah ditulis oleh mahasiswa peneliti yang disupervisi oleh dosen pembimbing), karena memang itulah semangat sesungguhnya yang dibawa oleh GeoResearch ini. Bila saat ini kita tengah memegang dan membolak-balikkan halaman demi halaman GeoResearch ini, sadarilah bahwa yang tengah kita baca ini adalah lembaran-lembaran semangat juang rekan-rekan kita yang berlapis-lapis dalam mengejar ujung dari rasa ingin tahu (curiosity) akan hal-hal yang menarik minat mereka dalam bidang Geologi. Rasa ingin tahu merupakan fondasi dari ilmu pengetahuan. Rasa ingin tahu hanya akan tersemai baik dalam lingkungan yang menghargai ilmu pengetahuan. Rasa ingin tahu hanya akan tumbuh subur dalam udara yang mengapresiasi jerih payah para peneliti. Sehingga, saya dengan sepenuh hati mengucapkan selamat kepada para mahasiswa yang namanya telah masuk ke dalam GeoResearch edisi ini. Inilah salah satu wujud apresiasi lingkungan kampus ini kepada anda. Dan bagi mahasiswa lain, bulatkan tekad dan semangat untuk membajakan niat agar nama kalian ada di edisi GeoResearch berikutnya. Saya percaya, Departemen Penelitian dan Pengembangan HMTG dan dibantu oleh seluruh staf Dosen Teknik Geologi FT UGM akan membantu mewujudkan harapan anda tersebut. Selalu ada langkah pertama yang terasa sulit dalam hal apa pun. Namun percayalah, akan ada langkah kedua dan ketiga yang terasa mudah. "Sesungguhnya dibalik kesulitan, selalu menunggu kemudahan". Januari 2014 Sekbid Akademik Jurusan Teknik Geologi Salahuddin Husein, Ph.D.

iv


KATA PENGANTAR Puji syukur Alhamdulillah kami ucapkan kepada Allah Subhanahu wa ta’ala atas sukses terkumpulnya dan diterbitkannya berbagai karya tulis mahasiswa Jurusan Teknik Geologi FT UGM dalam bentuk publikasi khusus GeoResearch HMTG Annual Proceeding untuk Periode Penulisan 2012-2013. Pembuatan prosiding ini bertujuan sebagai upaya dokumentasi prestasi mahasiswa dalam perannya sebagai bagian dari Tridharma Perguruan Tinggi: melakukan penelitian yang diwujudkan dalam bentuk makalah. Makalah yang dihimpun dalam prosiding ini telah dipublikasikan secara oral maupun poster dalam konferensi, seminar, dan kompetisi setingkat daerah, nasional atau internasional. Harapan kami, mahasiswa dapat melihat bentuk makalah sekelas profesional maupun mahasiswa di berbagai konsentrasi studi yang disajikan dalam prosiding ini, untuk dapat digunakan sebagai acuan dalam penulisan makalah selanjutnya. Terimakasih kami ucapkan kepada seluruh dosen dan mahasiswa yang telah turut membantu mengumpulkan makalah yang kami sajikan dalam buku ini. Desember 2013 Dewan Redaksi GeoResearch HMTG Annual Proceeding

v


Periode 2012 – 2013 KATA SAMBUTAN

iv

KATA PENGANTAR

v

DAFTAR ISI

vi

SDE 1

Accelerating Methane Production in the Reaction Between Methanogen Bacteria and Coal: A Pilot Project for Optimizing Biologically Enhanced Coal Bed Methane KM; Mohamad Amin Ahlun Nazar, Jasmin Jyalita, Ahmad Zakariya Al Ansori, Sarah Sausan, Gusti Faisal Ismawan.

1

SDE 2

Karakteristik Reservoir Geothermal KM; Muhammad Destrayuda, Ruth Amelia, Nanda Ayu Safira Mariska

13

SDE 3

Kendali Stratigrafi dan Struktur Gravitasi pada Rembesan Hidrokarbon Sijenggung, Cekungan Serayu Utara KP; Salahuddin Husein, Jasmin Jyalita, Moch. Azis Qosim Nursecha

21

SDMGK 1

Karakteristik Bentonit Boyolali Sebagai Liner Tempat Pembuangan Akhir Sampah KM; Fahmi Hakim, I Wayan Warmada, Wawan Budianta, Fraga Luzmi Fahmi, Dian Yesy Fatimah

39

SDMGK 2

Utilization of Yogyakarta Clay as A Landfill Liner KM; Fraga Luzmi Fahmi, Fahmi Hakim

49

SDMGK 3

Ore and Alteration Mineralogy of Paningkaban-Cihonje Gold Prospect, Gumelar District, Banyumas Regency, Central Java: A New Dicovery of Carbonate Base Metal Gold Epithermal Deposit KM; Fahmi Hakim, Arifudin Idrus, Jochen Kolb, Peter Appel

59

SDMGK 4

Ore and Alteration Mineralogy of Muara Bungo Gold Prospect, Jambi Province: Implication for Deposit Genesis KM; Fahmi Hakim, Arifudin Idrus, Indra Sanjaya

71

GL 1

Community Empowerment Program of Landslide Hazard in Sepanjang 79 Village KM; Erwandi Yanto, Arkanu Andaru, Rudianto, I Gde Budi Indrawan, and Wahyu Wilopo

GL 2

Geological Disaster Mitigation, Early Warning System Landslide Disaster, Auto Soil The Transmission Shifts Detector Wireless KM; Alfredo Di Stefano, Anarita Widyaningrum, Muhammad Faqih Alfyan, Aditya Sapta Nugraha

vi

87


GL 3

Early Warning System Bencana Tanah Longsor, Detektor Pergeseran Tanah Otomatis Berbasis Ekstensometer, Mikrokontroler, dan Sistem Peringatan SMS KM; Alfredo Di Stefano, Ahmad Zakariya Al Ansori, Astika Prassidha, Aditya Sapta Nugraha, Anita Purba Nilam Hapsari, Wawan Budianta

93

GL 4

Aplikasi Peta Geologi Skala Detail Daerah Tenggara Gunung Ijo, Kulon Progo, D.I.Y., Sebagai Penunjang Master Plan Kandidat Geowisata Unggulan Indonesia KM; Muhamad Rizki Asy’ari, Sarah Sausan, Ario Geger, Rezky Destrio Nugroho, Hanief Hamzah Purwandono

99

GD 1

Pemanfaatan Citra Digital Elevation Model (DEM) untuk Studi Evolusi Geomorfologi Gunung Api Merapi Sebelum dan Setelah Erupsi Gunung Api Merapi 2010 KM; Yustian Ekky Rahanjani, Agung Setianto, Srijono

109

GD 2

Pengaruh Kompetensi Batuan Terhadap Kerapatan Kekar Tektonik yang Terbentuk pada Formasi Semilir di Daerah Piyungan, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta KM; Budi Santoso, Yan Restu Freski, Salahuddin Husein

123

GD 3

Karakteristik Kekar Tiang pada Lava Andesit di Daerah Randubang, Wonogiri, Jawa Tengah KM; Aditya Pratama, Fahmi Hakim

131

GD 4

Analisis Pembelokan Aliran Sungai Opak Saat Bermuara di Samudra Hindia KM; Yan Restu Freski, Darmadi

141

GD 5

Pengembangan Kawasan Hutan Bakau dalam Perspektif Morfodinamika Muara Sungai Opak Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta KM; Yan Restu Freski, Srijono

149

GD 6

Mekanisme Pembentukan Spit pada Muara Sungai Opak dalam Morfodinamika Pesisir Selatan Pulau Jawa berdasarkan Analisis Citra Multi-temporal KP; Srijono, Yan Restu Freski

155

GD 7

Mekanisme Abrasi Pesisir di Kawasan Pantai Depok, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta KM; Yan Restu Freski, Srijono

163

GD 8

Perkembangan Karstifikasi Formasi Sentolo di Timur Sungai Progo Daerah Istimewa Yogyakarta KP; Srijono, Budi Santoso, Fajar Setiyawan, Christina Putri Widyaningtyas

171

SS 1

Penentuan Formasi Batuan Sumber Gununglumpur di Sekitar Purwodadi Berdasarkan Kandungan Fosil Foraminifera KP; Moch. Indra Novian, Peter Pratistha Utama, Salahuddin Husein

179

vii


SS 2

Biostratigrafi Nannofossil Gampingan, Lintasan Gunung Temas, Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten, Propinsi Jawa Tengah KM; Yohannes Ardhito, Akmaluddin

193

SS 3

The Sand-rich Tide Dominated Delta Model of Bangko Formation in “AB� Area Using High-resolution Sequence Stratigraphy and Ichnofacies Analysis KM; Mohamad Amin Ahlun Nazar, Alfredo Di Stefano, Ananyamatya Bella Talita, Jarot Setyowiyoto, Kirandra Ferari Budi Prasodjo

210

SS 4

Facies Study by Using Extended Markov Chain Method: Case Study on Sambipitu-Oyo Formation, Ngalang River Track, Ngalang Village, Gunung Kidul, DIY KM; Sarah Sausan, Octa Fiandani Putra

221

Keterangan singkatan SDE : Sumberdaya Energi SDMGK : Sumberdaya Mineral dan Geokimia GL : Geologi Lingkungan GD : Geologi Dinamik SS : Sedimentologi dan Stratigrafi KM KP

viii

: Kategori Mahasiswa : Kategori Profesional


GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

SDE 1 - ACCELERATING METHANE PRODUCTION IN THE REACTION BETWEEN METHANOGEN BACTERIA AND COAL: A PILOT PROJECT FOR OPTIMIZING BIOLOGICALLY ENHANCED COAL BED METHANE Mohamad Amin Ahlun NAZAR*, Jasmin JYALITA*, Ahmad Zakariya Al ANSORI**, Sarah SAUSAN**, Gusti Faisal ISMAWAN* * Geological Engineering Department Universitas Gadjah Mada ** American Association of Petroleum Geologists - Universitas Gadjah Mada Student Chapter Best Paper in Indonesian Petroleum Association - IPA13-SE-126 37th Annual Convention & Exhibition, Jakarta, May 2013

ABSTRACT There are some challenging ideas that being pursued by a student research group in UGM. First, to accelerate methane production in CBM field, second, so it could gain more economical value with faster Break Event Point and third, to extend the life of a brown CBM field. Some pilot laboratory researches was conducted to make this big picture happen. This project was called “Biologically Enhanced Coal Bed Methane�. In this paper the newest result from the research project will be revealed, it was simulating the natural condition of CBM formation water in lab, in order to prove the method could run in nature. Coal bed methane (CBM) is a type of natural gas with 100% methane content produced by coal reservoir. It is also known as an unconventional energy.This experimental research focus as the pilot project to develop the second method by using methanogen bacteria from cow rumen which have lower price and easier to gather than other sources. Coal, rumen, and water are reacted in the sealed tube that simulate natural condition of formation water. The coal used in this experiment originally came from North Kutai Sub Basin, Indonesia. High volatile bituminous samples, BE and E2, were used in this experiment because it was proven as the best in generating methane than other coal samples in reaction between coal and cow rumen. The natural condition of CBM were simulated by using oven to maintain and applying 3 salinity condition, fresh, brackish, and saline. Methane from the tube was then calculated using the gas chromatograph in the every three days. After the laboratory procedure, production of methane was analyzed by using linier regression of each data chart to find the best/mostoptimum formation condition in terms of salinity and temperature for rumen BECBM method to be applied, which resulted methanogen bacteria fits the brackish water the most, while temperature does not really affect the rate of methane formation.

INTRODUCTION Coal bed methane (CBM) is a type of natural gas that has 100% methane content produced by a coal reservoir. CBM is generated through the petrification and coalification process of coal. In the 20th century, CBM appeared to be a rising alternative energy to petroleum gas. Indonesia has 337 TCF of CBM resources (Stevens and Sani, 2001). CBM production can be enhanced by using several methods. This research is the pilot project to develop the enhancement method with methanogen bacteria.

1


GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013 Previous Researches on Biologically Enhanced Coal Bed Methane (BECBM) BECBM is a new method to accelerate methane production by using bacteria. This method nowadays develops in limited progress. First idea to improve the methane production by utilizing methanogen bacteria was pointed out by Jones et al. (2008) using rare methanogen bacteria from modern wetland sediment with following conclusion: a. Sub-bituminous samples from different locations (Alaska, Texas, Wyoming, and Pennsylvania) were used and reacted with bacteria. b. The samples that came from non-gas-producing reserves produce the most methane gas. Continued in this research, Savitry (2010) proved that cow rumen is a source of methanogen bacteria with the following conclusion: a. Bacteria from cow rumen can be used to generate biogenic methane in the laboratory at a temperature of 39째C and by using fresh water as the medium. b. The coal samples vary from low grade to medium grade; high volatile bituminous, low volatile bituminous, semi anthracite, and sub bituminous B and C. The high volatile bituminous sample produces the most methane. It also has more liptinite and exudatinite macerals than the other samples do. In this research, cow rumen is selected as source of methanogen because it is easy to gather, has a low economic price, and a good potential to be developed as large source of methanogen. Utilizing the animal husbandry to produce cow rumen instead of milk and meat is also an advantage because the company can support and empower local communities. The main ideas of this research are: 1. To simulate the natural conditions of the formation water and prove that methanogen from cow rumen can react in the natural state. 2. To find the best temperature and salinity that is suitable for microbial enhancement using cow rumen. Kutai Basin as the Source of Coal The coal samples used in this experiment originally came from the Kutai Basin (Figure 1) supported by PT. Kaltim Prima Coal, Indonesia. The Kutai Basin is located in the east of Borneo Island (Indonesia). This basin is classified as a coal and petroleum basin. Rock formations in the North Kutai Basin are products of the ancient Sangatta Delta (Sadinan et al., 1994). This deltaic deposit contains a series of coals that are used in the research. The coal properties are as follows (KPC, 2007): Total Moisture % as received Proximate Analysis % air dried basis Moisture Ash Volatile Matter Fixed Carbon Calorific Value kcal/kg Air dried Gross as received Net as received HGI Abrasion Index, mg steel/kg coal 2

10.5 5.0 5.0 41.0 49.0 7100 6689 6389 46 10


GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013 Ultimate Analysis (daf) % Carbon Hydrogen Nitrogen Sulfur Oxygen Sulfur (adb) % Chlorine (adb) % Phosphorus (db in coal) % Ash Fusion Temperature (oC) Reducing Initial Deformation Spherical Hemispherical Flow Ash Analysis (% in ash) SiO2 Al2O3 Fe2O3 CaO

80.0 5.50 1.60 0.67 12.2 0.60 < 0.01 0.009 1200 1230 1300 1350 56.0 24.5 9.5 1.70

Methanogen Bacteria & Microbial Methanogenesis Methanogen is a diverse group of organisms that can be found in an anaerobic environment, such as anaerobic sludge digester, the wood of trees, sewage, rumen, black mud, and black sea sediments. Methane is a product of the organism’s metabolism, which utilizes carbon dioxide and hydrogen (Sirohi et al., 2010, see Table 1). In general, methanogen bacteria can be found in many environments, such as wetlands that produce marsh gas, marine sediments, hot springs, hydrothermal vent, and groundwater. The biogenic gas formed in nature by bacteria is from the activity of methanogen or anaerobic bacteria. This process begins with the anaerobe fermentation of organic material, breaking the organic polymers in the coal, forming organic acids and alcohol. Additions of hydrogen (H2) through the fermentation process convert the latter material into format and acetate. On the last stage, the methanogen bacteria and actrotopic bacteria consume the format and acetate, and methane and carbon dioxide are formed as side products. Figure 2 illustrates the process. Water Classification The chemical content of the water is widely used to separate this difference. According to Gorrel (1958), water is divided based on the Total Dissolve Solid (TDS) parameter into: fresh water (0 to 1,000 ppm); brackish water (1,000 to 10,000 ppm); salty water (10,000 to 100,000 ppm); and brine water (greater than 100,000 ppm). The TDS parameter is used in this experiment to separate the water type from fresh water, brackish water, and saline water. Hydrochemical analysis of groundwater is done using the trilinier diagram (Piper, 1944), which compares the water used in the experiment and the natural water conditions. Natural Condition of CBM Co-Produced Water Information regarding the natural coal conditions is gathered from three sources: 1. Ferron CBM (from Rice, 2003)  The characteristic of formation water is Na-Cl-HCO3 type with total dissolved solids ranging from 6300–43000 mg/l that derive from the evaporite dissolution or from mixing with saline brine. 3


GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013  The pH condition of the water is relatively neutral, and the temperature of the water depends on the reservoir depth from the surface, and ranges from 17.6–30.1°C. 2. Illinois Basin (from Strapoc et al., 2008)  This basin has a significant microbial activity, which produces microbial methane.  The water condition that supports the system has a pH of 7.4–8.79 with total dissolved solids ranging from 0.59–12.08 g/L and the temperature ranging from 16– 17.4°C. According to the DOE (1994), the molar composition of seawater is: H2O 53.6; Cl- 0.546; Na+ 0.469; Mg2+ 0.0528; SO2-4 0.0282; Ca2+ 0.0103; K+ 0.0102; CT 0.00206; Br- 0.000844; BT 0.000416; Sr2+ 0.000091, and F- 0.000068. We assume that the TDS parameter and the ionic composition of the seawater used in the experiment represent the saline and brackish water in the CBM to co-produce the water. Figure 3 shows the trilinier piper plot of seawater.

METHODS The sample used in this experiment is the BE sample from pit E2, which, from the proximate and ultimate analysis, is categorized as high volatile bituminous. The BE sample was crushed into powder in the laboratory using sterilized martyr and heated at 150°C for 10 min to reduce the moisture from coal powder. Sample E2 was not heated to maintain the original condition from the field. Rumen gathered from cows was used as a source of methanogen bacteria (see Figure 4). After extraction of the rumen from the cow, the rumen was filtered through filter paper in the laboratory to ensure that no organic and cellulose material was included in the reaction, so that the reaction would be purely between coal and methanogen bacteria. The proportion of coal:water:rumen is 1:4:5, which was formulated from the volume-mass-density relationship. Table 2 shows the variation of temperature and salinity in the experiment.

RESULTS From the data above, we know that the reaction between the methanogen from the cow rumen and coal could happen at different salinities and temperatures. This fact is an advantage for its development in the future. The methane that occurs in this experiment is expected from the methanogenic reaction between coal and bacteria from cow rumen. At first, the bacteria will react with the organic content of coal so microbial fermentation occurs. While this fermentation occurs, the bacteria breaks the chemical bonds in the coal, decomposing the coal into several basic chemical compounds, such as CH3COOH, H2, format, and acetate. This compound later reacts with methanogen acetrophic, and H2 consumes the bacteria, producing methane and CO2 as described in the following reaction: CH3COOH  (Bacteria) CH4 + CO2 4H2 + CO2  (Bacteria)CH4 + 2H2O Figure 2b illustrates the proposed process for producing methane in this experiment. Figure 5 explains the results from the experiments, while Figure 6 shows the linear relationship of the methane concentration for a period of 19 days (which suggests it is unsuitable for a longer duration). The E2 and BE samples, as illustrated, show the highest “rate of methane concentration growth” in salinity of brackish water for the given temperature, while the lowest rate is in the saline water. Although the samples were 4


GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013 examined and controlled every day, the E2-04 (fresh water with 39°C temperature) sample showed an exception due to an unknown error. The relationship between salinity and “rate of concentration growth” (as shown by the gradient in Figure 7) in the E2 and BE samples is illustrated on Figure 7. The E2 data reflect the coal in the natural condition, and from Figure 7, we know that brackish water is the best condition for the microbial enhanced CBM method. Salinity that affects the methane production is interpreted as the inability of bacteria to adapt in a high salinity environment. From the results, we can state that the methanogen bacteria fit the brackish water the best. According to Harris et al. (2008), bacteria require nutrition to grow and produce methane as part of their metabolism. This research also shows that methanogen bacteria require a balance in nutrition as provided by the brackish salinity level. A high salinity concentration may harden the bacteria to diffuse methane as their inability to adapt. The gradient from Figure 6 shows that temperature only affects the methane production slightly. From the trend lines (of the given temperature, 34°C and 39°C), we can see that the methane concentration decreases as the temperature rises.

CONCLUSIONS CBM is a type of natural gas with 100% methane content produced by coal reservoir. In this research, it is proven that methanogen bacteria (contained in cow rumen), in addition to the coal formation, can enhance CBM production. The experiment using two samples – E2 and BE – proves that under certain conditions (due to the salinity and temperature); methanogen bacteria can improve CBM production. The methane production reaction is the fermentation of organic material by bacteria in the cow rumen. This fermentation then produces methane, CO2, and H2O. To complete the reaction, the coal and cow rumen need to be mixed with water. The water used in this research is of different salinities (to simulate the variation of formation water), ranging from fresh to brackish to saline water. The salinity is determined using TDS and Piper principles before the reaction. These tests also show the water composition. Besides the salinity, the natural temperature is also divided into 34°C and 39°C, based on the suitable temperature for bacteria to live, in. From the results, we can see that the methane production (as shown by Figure 7) peaked in the samples with brackish salinity. The most methane production is caused by the perfect situation for the bacteria to live in while the temperature does not cause any significant changes or improvements in methane production. From this statement, it can be concluded that BECBM from cow rumen is suitable for its formation with brackish salinity and a temperature of 34°C temperature. Note that this method is only valid for time range of 19 days.

DISCUSSION CBM is an abundant source of energy for the future. However, it has short life span from 7– 10 years, while natural gas can be produced for 20–30 years. It occurs because coal generates a limited amount of absorbed gas in the coal instead of releasing it in huge amounts from its pores as in natural gas. As in Langmuir (1916), the process of coal generation is called desorption. The desorption process of methane in coal requires several basic parameters, volume, and pressure. If both the parameters exceed the results from Langmuir, the methane will be desorbed. This is why CBM has a short life span. This pilot project shows that several cases of decreasing CBM production can be handled by adding methanogen bacteria to them. Bacteria from cow rumen that is easy to gather and has a low price can adapt in the natural conditions of formation water to

5


GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013 produce methane. Therefore, is it possible for this method to produce methane at an economic rate if it is applied in the CBM field?

SUGGESTIONS 1. A longer time range is needed in future research to ensure the stability of the methane production pattern and that this method is valid for a long CBM production time. 2. Besides biologically enhanced CBM, the authors hope that the next research can involve other substrates or materials that accelerate the methane production, such as chemical mixtures like formate and carbonate. 3. Further research is still needed to complete the data from this research, so that it can be developed in the CBM field as a new enhanced CBM practical method.

ACKNOWLEDGMENTS Sponsorship from PT. CHEVRON PACIFIC INDONESIA and PT. KALTIM PRIMA COAL; guidance from Dr. Donatus Hendra Amijaya (GED UGM), Mr. Ferian Anggara, H.T. Sudibyo; support from Dr. Salahuddin Husein, (Faculty Advisor of AAPG UGM SC), Dr. Sugeng Sapto Surjono (Head of GED UGM), Adrienne Pereira (AAPG Asia Pacific), and Geovanni C. Kaeng (AAPG Asia Pacific) are acknowledged.

REFERENCES DEPARMENT OF ENERGY USA (DOE), 1994, Handbook of Methods for the Analysis of the Various Parameters of the Carbon Dioxide System in Sea Water, 2, ORNL/CDIAC-74. FLORES, R.M., RICE, C.A., STRICKER, G.D., WARDEN, A., ELLIS, M.S., 2008, Methanogenic Pathways of Coal-Bed Gas in the Powder River Basin, United States: the Geologic Factor. International Journal of Coal Geology, Vol 76, 52-75. GORREL, H.A. 1958. Classification of Formation Waters Based on Sodium Chloride Content, Bull. American Association of Petroleum Geologists, vol 42., p. 2513 HARRIS, S.H., SMITH, R.L., BARKER, C.E., 2008, Microbial and Chemical Factors Influencing Methane Production in Laboratory Incubations of Lowrank Subsurface Coals. International Journal of Coal Geology, Vol 76: 34-45. JONES, E.J.P., VOYTEK, M.A., WARWICK, P.D., CORUM, M.D., COHN, A., BUNNELL, J.E., CLARK, A.C., OREM, W.H., 2008, Bioassay for Estimating the Biogenic Methane-Generating Potential of Coal Samples. International Journal of Coal Geology, Vol 76: 138-150. KANDUC, T., MARKIC, M., ZAVĹ EK, MCINTOSH, J., 2011, Carbon Cycling in the Pliocene Velenje Coal Basin, Slovenia, Inferred from Stable Carbon Isotope. International Journal of Coal Geology. Doi:10.1016/j.coal.2011. 08.008. KALIM PRIMA COAL (KPC), 2007, Melawan a Indicative Coal Quality, http://www.kpc.co.id. LANGMUIR, I, 1916, The Constitution and Fundamental Properties of Solids and Liquids. Journal of the American Chemical, 38: 2221-95. Doi:10.1021/ja02268a002. PIPER, A.M., 1944, A Graphic Procedure in the Geochemical Interpretation of Water Analyses. American Geophysical Union Transactions, 25, 914-923. 6


GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013 RICE, C.A., 2003, Production Waters Associate with the Ferron Coalbed Methane Fields, Central Utah: Chemical and Isotopic Composition and Volume. International Journal of Coal Geology, Vol 56: 141-169. SADINAN, W.S., IMANHARDJO, D.N, KUNTO, T.W., 1994, The Ancient Sangatta Delta: New Insight to the Middle Miocene Northern Kutai Basin Deltaic Systems, East Kalimantan. Proceedings Indonesian Petroleum Association Twenty Third Annual Convention, October 1994. SAVITRY, C.D., 2010, Pemanfaatan Batubara Peringkat Rendah – Sedang untuk Menghasilkan Gas Metana dengan Menggunakan Bakteri Metanogen. Universitas Gadjah Mada, Unpublished, Yogyakarta. SIROHI, S. K., PANDEY, N., SINGH, B., PUNIYA, A. K., 2010, Rumen Methanogens: a Review. Indian Journal of Microbiology, Vol 50, No 3: 253-262. Doi: 10.1007/S12088-010-0061-6. STEVENS, S.H., AND SANI, K., 2001, Coalbed Methane Potential of Indonesia: Preliminary Evaluation of a New Natural Gas Source. Proceedings Indonesian Petroleum Association Twenty Eight Annual Convention, 2001. STRAPOC, D., MASTALERZ, M., SCHIMMELMANN, A., DROBNIAK, A., HEDGES, S., 2008, Variability of Geochemical Properties in a Microbially Dominated Coalbed Gas System from the Eastern Margin of the Illinois Basin, USA. International Journal of Coal Geology, Vol 76: 98-110. TABLE 1 Different properties of methanogen in rumen (after Sirohi et al., 2010).

7


GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013 TABLE 2 Samples and variables in the experiment.

Figure 1 - (a) The location of Borneo Island and Kute Basin, Indonesia. (b) Coal face in the field.

8


GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

Figure 2 - (a) The microbial methanogenesis process (after Zinder, 1993 in Flores, et al., 2008); (b) The proposed process of methane formation in this research.

Figure 3 - Trinilier piper diagram of water with different properties and data tables. (a) The sea water composition (After DOE, 2010); (b & c) the trilinier diagrams and TDS parameter plot of three CBM co-produced water data; (b) Data diagram from Rice (2003); (c) Data from Strapoc et al. (2008) and from Kanduc, et al. (2011). The main objective for this data is to consider which parameters will be used to simulate the natural condition of coal formation water in the experiment.

9


GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

Figure 4 - The experiment processes in the farm and laboratory. From upper left side in clockwise rotation: gathering rumen from the cow; filtering the rumen; coal samples E2 and BE; the coal weight measurement; the gas chromatograph to measure the methane concentration; reaction tubes in the oven; reacting the coal powder, rumen, and water; “ingredients� used in the reaction.

10


Figure 5 - Data from the experiment, see explanation in paragraph.

GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

11


GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

Figure 6 - The linear graph and mathematical formula of each sample. Diagonal lines show the rate of methane production formed by certain samples and temperature.

Figure 7 - The rate of methane concentration growth (gradient from Figure 6) vs. salinity from samples BE and E2.

12


GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

SDE 2 - KARAKTERISTIK RESERVOIR GEOTHERMAL Muhammad DESTRAYUDA*, Ruth AMELIA*, Nanda Ayu Safira MARISKA* *Jurusan Teknik Geologi Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada Jl.Grafika No.2 Yogyakarta, 55281 Dipresentasikan dalam bentuk poster pada Seminar Nasional Jurusan Kimia Fakultas MIPA Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 18 Mei 2013

ABSTRACT There are many problems in energy demand, especially when dealing with fossil fuel as main resource of energy in the world. As the fossil fuel quantity decreases, the demand for energy increases. This problem leads to a new solution for renewable energy which can fulfill the need of energy and also eco-friendly. One example to a renewable energy is geothermal, energy that comes from the heat generated by the earth itself. To know how a geothermal system works, we need to know the characteristics of the reservoir rocks which contain fluid to generate the generator inside the powerplant. In this paper, we will give simple, brief, and clear description and explanation about the characteristics of geothermal reservoir rocks. Kata Kunci: characteristic, energy, geothermal, reservoir, rocks.

PENDAHULUAN Energi geothermal adalah salah satu jenis energi yang tidak diketahui oleh kebanyakan orang sebagai sumber daya alternatif. Menurut etimologinya, geothermal berasal dari kata Yunani “Geo” yang berarti bumi dan “Thermal” berarti suhu. Pemanfaatan energi panas bumi dilakukan dengan menangkap panas di bawah kerak bumi untuk menjadikannya sebagai sumber daya energi yang dihasilkan oleh magma. Magma yang bisa berupa intrusi inilah yang nantinya akan memanaskan air di sekitarnya sehingga menghasilkan uap panas. Uap panas tersebut dimanfaatkan untuk menggerakkan turbin yang akan memutar generator sehingga menghasilkan energi untuk memenuhi kebutuhan yang ada, seperti listrik. Pembangkit listrik tenaga panas bumi hampir tidak menimpulkan polusi atau emisi gas rumah kaca. Selain itu, hemat ruang dan pengaruh dampak visual yang minimal. Ini mampu memproduksi secara terus-menerus selama 24 jam sehingga tidak membutuhkan tempat penyimpanan energi karena tingkat ketersediaan yang sangat tinggi, yaitu di atas 95%. Tenaga listrik panas bumi dapat langsung dimanfaatkan untuk kegiatan usaha pemanfaatan energi atau fluida. Indonesia yang merupakan daerah dengan potensi geothermal yang sangat besar karena merupakan pertemuan dari 2 sirkum besar di dunia, yakni Sirkum Mediterania dan Sirkum Pasifik. Namun sayangnya, pemanfaatan geothermal ini belum dimanfaatkan secara maksimal karna sumber daya manusia yang belum mencukupi dan juga dukungan teknologi yang terbatas. Padahal geothermal itu sendiri bisa menjadi salah satu energi alternatif terhadap kebutuhan energi yang semakin besar ini.

13


GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

Gambar 1.

Lokasi Lapangan Lapangan Panas Bumi di Indonesia (Sumber : LIPI , 2005)

METODE PENELITIAN Metode penelitian yang kami gunakan dalam pengerjaan paper ini adalah dengan menggunakan metode studi pustaka. Metode ini digunakan dengan mengambil beberapa literatur dan jurnal yang nantinya menjadi dasar penulisan paper dan pembahasan mengenai geothermal ini.   

14

Bahan Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah beberapa literatur dan jurnal yang berkaitan dengan geothermal, hidrogeologi, dan alterasi hidrotermal. Peralatan Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah komputer sebagai media sumber, analisis, dan penyimpanan data; serta alat tulis. Prosedur Prosedur ini merupakan langkah kerja yang telah kami lakukan selama pembuatan pengerjaan paper ini. Prosedur ini dapat terbagi menjadi beberapa sub prosedur, diantaranya : 1. Penentuan topik dan judul Topik yang dibahas adalah mengenai energi terbarukan yakni panas bumi (geothermal) dengan mengambil spesifikasi dari aspek reservoir. Ini menjadi dasar pembuatan judul yakni Karakteristik Reservoir Geothermal. Ini dimaksudkan untuk meningkatkan minat dan pengetahuan dasar para saintis muda dalam mengembangkan energi terbarukan ini. 2. Pengumpulan data dari literatur yang terkait Data yang digunakan adalah data berupa literatur dan jurnal yang terkait dengan topik yang telah dipilih. Data ini akan bersinergi dan dikomparasikan agar mendapatkan sifat dinamis, sehingga pemikiran dan kesimpulan yang dihasilkan dapat berkembang. 3. Pembuatan abstrak Abstrak dimaksudkan untuk memberi gambaran secara umum atau garis besar dari isi paper yang telah dibuat. Abstrak ini menjadi dasar pengembangan dalam pembuatan paper ini. 4. Pengumpulan data Pengumpulan data ini dilakukan kedua kalinya untuk mendapatkan sumber data dan referensi yang lebih banyak sehingga dapat dibandingkan antara satu data dengan yang lainnya. 5. Analisis data dari berbagai sumber Setelah pengumpulan data dilakukan, lalu dilakukan tahap analisis data. Tahap ini meliputi hasil dan pembahasan yang tertera dalam paper ini. Di


GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013 tahap inilah literatur dan jurnal diperlukan menjadi dasar pemikiran yang lebih baik dalam pembuatan paper ini. 6. Kesimpulan Kesimpulan berisi rangkuman keseluruhan yang bisa menjadi suatu pedoman bagi para saintis untuk mengembangkan energi yang dibahas dalam paper ini. 7. Penerbitan Penerbitan dilakukan dalam acara Seminar Nasional Kimia UGM 2013 dengan cara display poster dan presentasi dari paper yang telah dibuat.

HASIL DAN PEMBAHASAN Geothermal sebagai suatu sistem dapat dimanfaatkan menjadi sumber energi bersih, ramah lingkungan, dan terbarukan. Sistem Geothermal dapat diklasifikasikan berdasar keseimbangan sistem, suhu sistem, tipe fluida, dan batuan sumber yang ada pada suatu reservoir geothermal. Berdasarkan keseimbangan sistem, sistem geothermal dapat dibagi menjadi sistem dinamis (apabila panas ditransfer melalui mekanisme konveksi) dan sistem statis (apabila panas ditransfer melalui mekanisme konduksi). Berdasarkan suhu sistem, geothermal dibagi menjadi sistem suhu tinggi (apabila suhu sistem >150 0 C) dan sistem suhu rendah (apabila suhu sistem <1500 C). Berdasarkan tipe fluida geothermal dibagi menjadi sistem dominan cairan (fluid-dominated) dan dominan gas (gasdominated). Berdasarkan batuan sumber atau reservoirnya, sistem geothermal dibagi menjadi sistem asal batuan sedimen dan sistem asal batuan volkanik, bagian ini akan dibahas lebih lanjut pada subbab ini.

Gambar 2. Skema Sistem Geothermal Ideal (Sumber : http://ptbudie.files.wordpress.com)

Gambar 3. Geothermal Reservoir dan Daur Hidrologi (Sumber : http://taman.blogsome.com)

Batuan reservoir geothermal dapat berasal dari segala jenis batuan, namun yang paling umum berasal dari batuan vulkanik atau batuan sedimen silisiklastik, sedangkan batuan beku dan metamorf harus lapuk terlebih dahulu untuk dapat mengalirkan fluida yaitu air yang akan menjadi uap yang digunakan sebagai sumber energi. Hal ini didasarkan pada karakteristik reservoir geothermal yaitu: permeabilitas dan porositas batuan, konduktivitas termal batuan, tipe alterasi batuan, ada tidaknya struktur geologi, dan sifat air yang dihasilkan reservoir. Permeabilitas dan Porositas Batuan Permeabilitas batuan dapat didefenisikan sebagai kemampuan batuan untuk melewatkan air, sedangkan porositas adalah jumlah pori pada batuan yang berbanding terbalik terhadap volume total batuan dan dikontrol oleh bentuk dan susunan butir pada batuan, ukuran butir batuan, dan derajat sementasi atau kompaksi. Permeabilitas dan porositas sangat terkait pada volume air yang terkandung didalam batuan dan sifat batuan saat berinteraksi dengan air. Batuan reservoir yang baik harus memiliki tingkat porositas

15


GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013 dan permeabilitas yang cukup tinggi, sehingga dapat mengalirkan dan menyimpan air sebagai sumber uap yang akan dimanfaatkan untuk memutar turbin pada generator. Tabel 1. Rentang Besaran Porositas pada Batuan (Sumber : http://arifpanduwinata.blogspot.com)

Batuan yang dimaksud adalah akuifer, yaitu tubuh batuan yang dapat menyimpan dan mengalirkan air yang cukup berarti dibawah kondisi permukaan dengan nilai Konduktivitas Hidrolika >5x103 m/hari (Suharyadi, 1984). Selain reservoir geotermal, sistem geotermal juga membutuhkan suatu batuan penutup atau cap rock yang berfungsi untuk mencegah kalor menyebar sehingga uap tidak terbentuk secara optimal. Batuan ini identik dengan akuiklud pada istilah hidrogeologi, yaitu tubuh batuan yang dapat menyimpan air namun tidak dapat mengalirkan air dalam jumlah cukup berarti. Nilai Konduktivitas Hidrolika antara 10-4 – 10-6 bagi lapisan setengah kedap air dan Konduktivitas Hidrolika sebesar <10-6 bagi lapisan kedap air (Suharyadi, 1984) Konduktivitas Thermal Yang dimaksud dengan konduktivitas hidrolika adalah perbandingan antara kecepatan aliran air terhadap landaian hidrolika yang bisa diidentikkan dengan kelerengan. Konduktivitas termal batuan adalah panas laten yang dapat disimpan oleh batuan yang dinyatakan pada persamaan Q = m. c. ΔT yang dapat diubah menjadi Q = . V. c. ΔT dengan Q adalah kalor laten, adalah massa jenis, V adalah volume batuan, c adalah kapasitas jenis batuan, dan ΔT adalah beda suhu batuan terhadap suhu pada titik tertentu.

16


GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013 Tabel 2. Nilai konduktivitas berdasarkan jenis batuan (Sumber : http://ptbudie.files.wordpress.com)

Batuan yang menjadi reservoir yang baik harus memiliki konduktivitas termal yang besar sehingga dapat menyimpan panas yang cukup untuk memanaskan air menjadi uap. Tipe Alterasi Batuan Tipe alterasi pada batuan reservoir hidrotermal berkisar pada jenis alterasi tipe propilitik – argilik/ argilik lanjut (Nicholson, 1993, p.19-24). Alterasi tipe propilitik disebabkan oleh fluida hidrotermal yang memiliki suhu tinggi mengubah mineral pada batuan yang dikandungnya menjadi mineral sekunder berupa klorit atau epidot pada suhu yang cukup rendah dibawah 1500 C. Tabel 3. Tipe Alterasi Hidrotermal (Sumber : reinesin.blogspot.com)

Jenis alterasi ini menandakan letak batuan reservoir yang berada tidak terlalu dekat pada sumber panas seperti magma sehingga besar kemungkinan jenis sistem hidrothermal 17


GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013 adalah sistem didominasi oleh cairan (liquid-dominated). Sedangkan jenis alterasi argilik/argilik lanjut dipengaruhi oleh fluida hidrotermal yang mengubah mineral pada batuan menjadi mineral sekunder berupa kaolin, haloysite, dan mineral lempung lainnya pada suhu diatas 2000 C. Tipe alterasi ini sangat berguna didalam menentukan berapa suhu sistem sehingga dapat ditentukan berapa besar jumlah uap air yang dapat diambil dan apa sifat fluida yang diperoleh. Sifat Air yang Dihasilkan Reservoir Sifat air dapat berupa pH, salinitas, kelimpahan ion, suhu air, dan kandungan gas. pH mencerminkan tingkat keasaman air pada batuan reservoir sebagai akibat interaksi air dengan suhu tinggi terhadap mineral dalam batuan yang dapat terlarut atau bereaksi menyebabkan perubahan pH air. Besarnya nilai pH bergantung pada faktor salinitas, suhu, dan kelimpahan ion. Salinitas air sangat bergantung pada garam – garam terlarut didalam air. Garam tersebut dapat bersifat asam atau basa dan akan sangat berpengaruh terhadap pH air. Kelarutan garam – garam didalam air akan dipengaruhi suhu air. Jika suhu air tinggi, maka kelarutan garam – garam dalam air juga akan ikut bertambah. Jika suhu air bertambah, maka kelimpahan ion didalam air juga akan ikut bertambah. Kegunaan mempelajari sifat air yang dihasilkan oleh reservoir, sebagai salah satu karakteristik reservoir, adalah untuk melihat pengaruh sifat air pada umur mesin dan peralatan pada pembangkit saat digunakan. Jika pH air terlalu asam, maka kemungkinan komponen mesin pembangkit mengalami korosi akan semakin besar, begitu juga jika pH terlalu basa. Hal ini juga berlaku pada suhu air. Jika suhu air begitu tinggi dan material generator tidak memadai, maka korosi akan semakin mungkin terjadi. Struktur Geologi Karakteristik reservoir yang terakhir adalah keberadaan struktur geologi yang “memotong” batuan reservoir. Yang dimaksud sebagai struktur geologi yang “memotong” reservoir adalah rekahan pada batuan sehingga memungkinkan terjadinya migrasi dari uap air yang dihasilkan oleh pemanasan air dari sumber panas tertentu sehingga uap air ini dapat digunakan menjadi sumber energi. Struktur geologi dapat berupa patahan yang “memotong” batuan ataupun kekar yang terbentuk akibat tektonik atau karena peregangan saja. Karakteristik ini mencerminkan kondisi tektonik dari daerah yang mengandung batuan reservoir sehingga dapat diperkirakan apakah reservoir yang akan dimanfaatkan layak atau tidak untuk dijadikan sumber energi geothermal. Hal ini dikarenakan keberadaan struktur geologi juga mencerminkan tingkat bahaya dari pengembangan daerah tersebut menjadi pembangkit energi. Sehingga reservoir yang baik seharusnya telah “terpotong” struktur geologi yang sebaiknya sudah tidak aktif atau pergerakannya sangat minim yang memungkinkan adanya pergerakan uap air dari bawah permukaan menuju permukaan dan tidak akan mengganggu aktivitas pembangkit energi dalam jangka waktu tertentu selama pembangkit energi digunakan.

KESIMPULAN Geothermal adalah salah satu dari sekian banyak energi terbarukan ramah lingkungan yang bisa dikembangkan di Indonesia. Aspek yang ditekankan yakni reservoir dapat diindentifikasi dari permeabilitas dan porositas batuan, konduktivitas termal batuan, tipe alterasi batuan, ada tidaknya struktur geologi, dan sifat air yang dihasilkan reservoir.

18


GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih kami dedikasikan kepada : 1. Tuhan Yang Maha Kuasa 2. Ir. Pri Utami, M.Sc., Ph.D, ahli geothermal, Dosen Teknik Geologi UGM 3. Keluarga dan teman-teman yang telah membantu dan mendukung dalam pengerjaan paper ini.

DAFTAR PUSTAKA BEST, MYRON G. 2003. Igneous and Metamorphic Petrology. Italia : Blackwell Publishing EDWARDS, L.M, G.V CHILINGGAR, DKK. 1982. Handbook of Geothermal Energy. Houston : Gulf Publishing Company NICHOLSON, KEITH. 1993. Geothermal Fluids, Chemistry and Exploration Techniques. Berlin : Springer Verlag,Inc. SUHARYADI. 1984. Diktat Kuliah Geohidrologi (Ilmu Air Tanah). Yogyakarta : Jurusan Teknik Geologi Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada TODD, DAVID KEITH. 1995. Groundwater Hidrology. Canada : John Wiley and Sons, Inc.

19


GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

20


GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

SDE 3 - KENDALI STRATIGRAFI DAN STRUKTUR GRAVITASI PADA REMBESAN HIDROKARBON SIJENGGUNG, CEKUNGAN SERAYU UTARA Salahuddin HUSEIN*, Jasmin JYALITA**, Moch. Azis Qosim NURSECHA** *) Staf Pengajar - Jurusan Teknik Geologi Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada, email: shddin@ugm.ac.id **) Mahasiswa - Jurusan Teknik Geologi Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada Diterima tanggal 15 November 2013 Dipresentasikan pada Seminar Nasional Kebumian ke-6 Jurusan Teknik Geologi Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, tanggal 12 Desember 2013

SARI Cekungan Serayu Utara merupakan salah satu dari dua cekungan yang menyusun Jawa Tengah. Di Cekungan ini, banyak dijumpai rembesan hidrokarbon (minyak dan gas bumi) di permukaan, sebagai salah satu tanda aktifnya sistem petroleum. Meski demikian, kompleksitas geologi yang dimiliki cekungan ini membuatnya dikenal sebagai “terra incognita� dalam dunia eksplorasi migas di Pulau Jawa. Sebagai salah satu manifestasi permukaan, rembesan hidrokarbon dapat menjadi jendela dan titik tolak pendekatan dalam mempelajari kondisi geologi bawah permukaan bagi unsur-unsur penting dalam sistem petroleum. Berlandaskan pemahaman tersebut, penelitian ini bermaksud untuk mempelajari faktor-faktor geologi yang pernah bekerja di Cekungan Serayu Utara yang mengontrol terjadinya rembesan hidrokarbon di Desa Sijenggung, Kecamatan Banjarmangu, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah. Di permukaan, rembesan tersebut terjadi pada singkapan Formasi Rambatan yang berumur Miosen Awal-Miosen Tengah. Pendekatan yang dipergunakan adalah pengumpulan data-data geologi permukaan, berupa data stratigrafi dan struktur geologi. Penurunan Cekungan Serayu Utara sebagai cekungan belakang busur (back-arc basin) di Miosen Awal mempengaruhi pengendapan Formasi Rambatan, yang diisi oleh perselingan serpih, napal, dan tuff. Kandungan material volkaniklastik halus diduga berasal dari volkanisme Waturanda di Busur Volkanik Serayu Selatan. Mekanisme pengendapan litologi Rambatan tersebut terpengaruh kondisi cekungan yang terus menurun, menghasilkan gangguan-gangguan sedimentasi (soft sediment deformation) akibat luncuran gravitasi di lereng cekungan. Memasuki Miosen Akhir, busur volkanik Jawa Tengah berpindah ke cekungan belakang busur, menghasilkan endapan-endapan vulkaniklastika kasar yang berselingan dengan klastika halus laut pada formasi-formasi Halang, Tapak, dan Pemali. Deformasi yang dominan pada Formasi Rambatan adalah luncuran gravitasi (gravity sliding) ke arah utara-timurlaut dalam rejim ekstensional, yang secara lokal menghasilkan sesar anjak pada bagian ujung luncuran (toe- thrusting). Selanjutnya, saat aktifitas volkanisme menjadi dominan di Cekungan Serayu Utara, pembebanan tubuh gunungapi (volcanic load) juga menghasilkan deformasi luncuran gravitasi ke arah lateral, terutama bergerak ke arah selatan-baratdaya, yang tidak hanya bekerja pada dormasi-formasi Neogen Akhir tetapi juga mempengaruhi Formasi Rambatan yang lebih tua.

21


GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013 Rembesan hidrokarbon di Desa Sijenggung pada Formasi Rambatan yang memiliki potensi sebagai batuan penyimpan (reservoar) dan batuan penyekat (seal) sekaligus, diduga melalui mekanisme pecahnya batuan penyekat (seal failure). Hal ini terjadi karena rendahnya kualitasnya litologi penyekat yang rendah akibat deformasi luncuran gravitasi, sehingga hidrokarbon dapat mencapai permukaan. Kata kunci: rembesan hidrokarbon, Formasi Rambatan, struktur luncuran gravitasi, Sijenggung, Serayu Utara.

PENDAHULUAN Cekungan Serayu Utara merupakan salah satu dari dua cekungan yang membentuk Jawa Tengah. Melimpahnya rembesan hidrokarbon pada lokasi ini menandakan bahwa dengan tatanan struktur geologi dan stratigrafi yang sedemikian rupa, terdapat sistem petroleum aktif yang bekerja pada Cekungan Serayu Utara. Satyana et al. (2007) menyebut Cekungan Serayu Utara sebagai terra- incognita, yaitu daerah dengan kondisi geologi yang belum dikenal baik dalam eksplorasi migas, yang memicu munculnya banyak pendapat berbeda mengenai kondisi geologi daerah setempat. Sebagai salah satu manifestasi permukaan, rembesan hidrokarbon dapat menjadi jendela dan titik tolak pendekatan dalam mempelajari kondisi geologi bawah permukaan bagi unsur-unsur penting dalam sistem petroleum. Berlandaskan pemahaman tersebut, penelitian ini bermaksud untuk mempelajari faktor-faktor geologi yang pernah bekerja di Cekungan Serayu Utara yang mengontrol terjadinya rembesan hidrokarbon di Kali Pekacangan, Desa Sijenggung, Kecamatan Banjarmangu, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah. Di permukaan, rembesan tersebut terjadi pada singkapan Formasi Rambatan yang berumur Miosen Tengah. Pendekatan yang dipergunakan adalah pengumpulan datadata geologi permukaan, berupa data stratigrafi terukur (outcrop measured section) dan struktur geologi.

GEOLOGI REGIONAL Fisiografi orogenik Jawa Tengah dibentuk oleh dua jalur pegunungan utama, yaitu Zona Serayu Selatan dan Zona Serayu Utara (Gambar 1). Dalam sejarah geologinya, kedua jalur pegunungan tersebut juga berperan sebagai cekungan sedimenter. Zona Serayu Selatan berkembang dari daerah hulu aliran Sungai Bogowonto (sebelah utara Kota Purworejo) di sebelah timur dimana hingga lembah Sungai Citanduy (sebelah selatan Kota Majenang) di sebelah barat. Secara umum, Zona Serayu Selatan melampar relatif timur-barat dengan bentuk melengkung ke arah utara. Batas fisiografi sebelah timur zona ini tidak begitu tegas, dimana mereka bergabung dengan ujung utara Pegunungan Kulon Progo yang melampar berarah utara-timurlaut – selatanbaratdaya serta tertutup oleh endapan volkanik G. Sumbing. Batas fisiografi sebelah barat cukup tegas, dengan adanya lembah sempit bentukan erosi vertikal Sungai Cikawung yang menjadi batas zona ini dengan Zona Bogor yang masih memiliki fisiografi serupa dengan Zona Serayu Selatan. Van Bemmelen (1949) membagi Zona Serayu Selatan menjadi dua, bagian timur dan bagian barat, yang dipisahkan oleh dataran rendah Jatilawang pada aliran Sungai Serayu. Kedua bagian Serayu Selatan tersebut memiliki hubungan geometris susun genteng tumpuk kiri (left- stepping en echelon), memberikan kesan adanya sesar geser sinistral regional berarah timur-barat yang mempengaruhi keduanya. Bagian barat memiliki panjang 60 km dan lebar 15 km serta pelamparan berarah baratlauttenggara. Bagian timur melampar timur-barat dengan panjang 115 km dan lebar mencapai 35 km, dimana bagian tengah zona ini tersingkap batuan dasar pra-Tersier di daerah Karangsambung. 22


GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013 Zona Serayu Utara berkembang lebih sederhana bila dibandingkan dengan Zona Serayu Selatan. Zona Serayu Utara hanya terdiri dari satu jalur pegunungan berarah timurbarat, dengan geometri melengkung membuka ke arah selatan, dan kedua ujungnya ditempati oleh gunungapi Kuarter. Ujung bagian timur dimulai dari penjajaran G. Sumbing dan G. Sindoro berarah baratlaut- tenggara, yang dilanjutkan dengan kehadiran kompleks volkanik Dieng ke arah barat- baratlaut. Ujung barat Zona Serayu Utara ditandai dengan kehadiran G. Slamet. Stratigrafi regional dan deformasi tektonik kedua zona Serayu tersebut memiliki keterkaitan satu dengan lainnya (Gambar 2, 3). Zona Serayu Selatan memiliki batuanbatuan pra-Tersier dan Paleogen yang tersingkap ke permukaan di daerah Karangsambung. Kompleks Luk-Ulo yang berumur Kapur Akhir, serta Formasi Karangsambung dan Formasi Totogan yang berumur Paleogen, terbentuk oleh proses longsoran gravitasional laut dalam pasca kolisi antara Sundaland dan lempeng kontinen mikro Jawa Timur (Hall, 2012), dimana fragmen aneka bahan (batuan metamorfik, batuan beku, batuan sedimen laut) bercampur-bancuh dalam massa dasar batulempung. Terdapat perkembangan karakter sedimentasi yang menarik dari matrix-dominated pada Kompleks Luk-Ulo dan Formasi Karangsambung menjadi lebih fragment-dominated pada Formasi Totogan (Asikin, dkk., 1992b). Hal ini dapat mengindikasikan semakin mendangkalnya lingkungan sedimentasi dan semakin kuatnya pengangkatan Karangsambung saat Paleogen Akhir. Memasuki Oligosen Akhir, Jawa Tengah diduga mengalami segmentasi tektonik busur volkanik yang telah dimulai semenjak Eosen Tengah (Hall, 2012), dengan berkembangnya busur volkanik di Zona Serayu Selatan dan terbentuknya peregangan cekungan belakang busur di Zona Serayu Utara. Volkanisme Serayu Selatan ditandai dengan pengendapan Formasi Gabon di tepi selatan (van Bemmelen (1949) menganggap breksi volkanik Gabon sebagai bagian dari Zona Pegunungan Selatan Jawa Tengah) dan Formasi Waturanda di bagian tengah Zona Serayu Selatan. Formasi Gabon tersusun atas breksi andesit, setempat tuf lapili, lava, dan lahar, dimana sebagian besar litologi tersebut telah mengalami alterasi (Asikin dkk., 1992a). Sedangkan Formasi Waturanda terdiri atas batupasir vulkanik di bagian bawah, mengandung sisipan napal tufan, dan berubah menjadi breksi andesit di bagian atas. Ke arah utara, Formasi Rambatan mulai diendapkan semenjak Miosen Awal di lingkungan lereng cekungan belakang busur yang labil, menutupi kelompok sedimen gravitasional Wora-wari yang lebih dahulu terbentuk saat Oligosen Akhir akibat pembukaan cekungan belakang busur Serayu Utara (kelompok Wora-wari dimasukkan dalam Formasi Totogan oleh Condon dkk., 1996). Formasi Rambatan terdiri dari batupasir karbonatan dan konglomerat dengan perselingan serpih, napal, dan tuff. Meskipun Condon dkk. (1996) menempatkan perkembangan Formasi Rambatan dimulai Miosen Awal, Lunt et al. (2009) menduga umur dari Formasi Rambatan lebih muda, yaitu Miosen Tengah (N10-N15). Memasuki Miosen Tengah, volkanisme Serayu Selatan berkurang intensitasnya, yang kemungkinan disebabkan oleh efek rotasi berlawanan arah jarum jam yang dialami oleh Sundaland yang mempengaruhi proses subduksi di selatan Jawa saat itu. Pada masa ini, batugamping terumbu Formasi Kalipucang menutupi tinggian volkanik Formasi Gabon (Asikin dkk., 1992a), dan batulempung gampingan Formasi Penosogan berkembang di bagian yang lebih dalam di Busur Vulkanik Serayu Selatan. Napal dan tuf masih dijumpai menyisip dalam Formasi Penosogan (Asikin dkk., 1992a,b). Ke utara, Formasi Penosogan menjemari dengan Formasi Rambatan yang masih terus diendapkan selama Miosen Tengah.

23


GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013 Miosen Akhir ditandai perkembangan busur vulkanik ganda (double-arc) di Jawa Tengah, dengan reaktifasi vulkanisme Serayu Selatan yang bersamaan munculnya vulkanisme Serayu Utara (Gambar 3). Secara umum, pada periode ini, batupasir vulkanik Formasi Halang mendominasi kedua zona. Fraksi kasar dan fragmen vulkanik disumbangkan oleh Formasi Peniron di Zona Serayu Selatan dan Formasi Kumbang untuk Zona Serayu Utara (Asikin dkk., 1992b; Condon dkk., 1996). Pada periode ini, dapat dianggap bahwa cekungan belakang busur Serayu Utara telah berubah menjadi busur vulkanik. Perubahan konfigurasi tektonik regional diduga kembali terjadi pada kala Pliosen, ditandai dengan berhentinya aktifitas vulkanisme Serayu Selatan dan berkurangnya intensitas vulkanisme Serayu Utara (Gambar 3). Hall (2012) mengaitkannya dengan fase akhir rotasi Sundaland. Pada masa tectonic quiescence ini, sedimentasi batupasir gampingan Formasi Tapak berlangsung di kedua zona Serayu. Fragmen moluska banyak dijumpai dalam Formasi Tapak (Asikin dkk., 1992a; Condon dkk., 1996; Djuri dkk., 1996). Lunt et al. (2009) menempatkan awal sedimentasi Tapak di Miosen Akhir (N17). Semakin ke atas, Formasi Tapak semakin menghalus. Di daerah Serayu Utara, anggota Tapak yang tersusun atas napal dan batulempung gampingan dinamakan Formasi Kalibiuk, dan nama Formasi Kaliglagah bagi yang mengandung lignit (Djuri dkk., 1996). Pada periode tectonic quiescence Pliosen inilah proses perlipatan di zona Serayu Selatan dan Serayu Utara berlangsung intensif. Plistosen ditandai dengan reaktifasi Busur Vulkanik Serayu Utara, dengan serangkaian aktifitas vulkanisme di lingkungan darat oleh Ligung, Mengger, Gintung dan Linggopodo untuk bagian barat (Djuri dkk., 1996), dan vulkanisme Ligung, Damar, dan Kaligetas untuk bagian timur (Condon dkk., 1996). Vulkanisme Plistosen tersebut dilanjutkan dengan vulkanisme Holosen oleh Jembangan, Dieng, Sumbing, dan Sindoro untuk bagian timur (Condon dkk., 1996), dan vulkanisme Slamet untuk bagian barat (Djuri dkk., 1996). Tingginya aktifitas vulkanisme Kuarter di Zona Serayu Utara tersebut diduga menghasilkan volcanic load yang besar yang dapat memicu pengangkatan isostatik Zona Serayu Selatan sebagai proses deformasi paling akhir dan yang paling berperan menghasilkan bentukan fisiografi yang tampak saat ini di kedua zona tersebut (Gambar 3). Pada periode ini, akibat pengangkatan isostatik yang intensif, bagian inti Zona Serayu Selatan mengalami proses denudasi yang paling besar hingga menyingkapkan batuan-batuan pra-Tersier dan Paleogen di Karangsambung. Sistem petroleum yang bekerja di Zona Serayu Utara tersusun atas elemen-elemen berupa batuan induk yang berumur Miosen Awal, batuan reservoar dari Formasi Rambatan dan Halang, batuan penyekat intra- formasi Rambatan dan Formasi Tapak, serta jebakan hidrokarbon berupa antiklin dan sesar anjak. Petroleum play yang dapat berlaku ialah konsep toe-thrusting yang berhubungan dengan pengangkatan Neogen, sistem antiklin yang terinversi, serta sistem terumbu pada horst cekungan tersebut (Satyana, 2007).

GEOLOGI DESA SIJENGGUNG Berdasarkan peta geologi daerah Banjarnegara dan Pekalongan (Condon dkk., 1996), lokasi penelitian terdiri dari lima formasi, yaitu Formasi Tapak, Kumbang, Halang, Rambatan, serta anggota batuan gunungapi Jembangan dan intrusi-intrusi diorit. Litologi yang mendominasi lokasi penelitian meliputi serpih, napal, batupasir gampingan, batupasir tufan, konglomerat, breksi andesit, lava andesit, tuf, batugamping terumbu, serta batuan beku seperti diorit hasil intrusi. Dari sini, diketahui bahwa litologi- litologi penyusun daerah penelitian berumur Miosen Awal hingga Pleistosen akhir (Condon dkk., 1996). 24


GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013 Struktur geologi yang dijumpai pada lokasi penelitian didominasi oleh sesar-sesar naik yang berarah baratlaut – tenggara serta sesar geser sinistral berarah utara timurlaut – selatan baratdaya.

METODE PENELITIAN Penelitian ini bertujuan mengungkap mekanisme terjadinya rembesan hidrokarbon di Kali Pekacangan, Desa Sijenggung. Pendekatan yang dipergunakan adalah pengumpulan data geologi permukaan, berupa stratigrafi dan struktur geologi. Jalur Kali Pekacangan dipilih karena selain di jalur tersebut terdapat rembesan hidrokarbon, di lembah sepanjang aliran sungai tersebut banyak tersingkap batuan-batuan yang menyusun elemen sistem petroleum Serayu Utara. Data stratigrafi diperoleh dengan melakukan metode penampang terukur, dengan alat bantu tongkat Jacob dan meteran tali. Koreksi kemiringan topografi terhadap ketebalan stratigrafi terukur langsung dilakukan di lapangan dengan bantuan busur protaktor dan kompas geologi. Sampel batuan diambil secara sistematik pada bagian yang mewakili unit litologi yang tengah diukur. Data struktur geologi diperoleh di lapangan dengan dua tahapan, yaitu: (i) identifikasi jenis struktur dan geometrinya, dan (ii) identifikasi kinematika struktur dengan mengamati pergeseran lapisan batuan. Data struktur yang telah direkam di lapangan tersebut kemudian dicantumkan pada peta kerja yang telah digambarkan sebaran litologinya. Gabungan dari data struktur dan sebaran litologi tersebut memungkinkan pembagian unit-unit struktur (kompartemen struktur) untuk memudahkan analisis kinematika keseluruhan. Sintesis data stratigrafi dan struktur geologi dibuat untuk memperoleh pemahaman proses-proses geologi yang mengontrol sedimentasi. Selanjutnya sintesis tadi akan ditelaah dalam perspektif proses tektonostratigrafi regional sehingga hubungan antara daerah penelitian dengan Cekungan Serayu Utara dapat dibangun dalam perspektif ruang dan waktu. Tahap terakhir adalah menentukan sistem petroleum yang bekerja di daerah penelitian dan hubungannya dengan sistem petroleum yang bekerja secara regional di Cekungan Serayu Utara. Pada tahap terakhir ini juga ditentukan mekanisme penyebab terjadinya rembesan dalam sistem petroleum di daerah penelitian.

REKONSTRUKSI STRATIGRAFI KALI PEKACANGAN Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, lokasi penelitian terletak pada bagian barat Cekungan Serayu Utara. Pada lokasi penelitian (khususnya pada lintasan Kali Pekacangan), ditemui paket-paket struktur slump hasil luncuran gravitasi dengan arah kemiringan yang berubah-ubah secara intensif. Analisa paleontologi kemudian dilakukan untuk mengetahui umur sebenarnya dari Formasi Rambatan tersebut. Berdasarkan data paleontologi berupa foraminifera plangtonik dan foraminifera bentonik, didapatkan kisaran umur dan lingkungan pengendapan batuan di daerah penelitian. Untuk jalur Kali Pekacangan (Formasi Rambatan), terdapat dua sampel analisa paleontologi yaitu sampel AJ 2 dan AJ 13. Umur tertua yang dijumpai pada lokasi penelitian yaitu pada Formasi Rambatan adalah pada zona N12 – N18 dengan ditemuinya foraminifera plangtonik berupa Globorotalia menardii A dan B (Bolli), sedangkan umur termuda pada zona N19 dengan ditemuinya foraminifera plangtonik berupa Sphaeroidinella dehiscens (Parker & Jones). Selain pada Formasi Rambatan, analisa paleontologi juga dilakukan pada Formasi Tapak yang beranggotakan napal dan batugamping terumbu. Satu sampel paleontologi 25


GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013 yang dianalisa menunjukkan umur N19 – N23 dengan ditemuinya foraminifera plangtonik berupa Globorotalia menardii cultrate (d’Orbigny). Struktur sedimen yang dominan berkembang pada lokasi penelitian adalah laminasi paralel, laminasi konvolut, gradasi normal, flute cast, slump, dan bioturbasi. Struktur load cast juga berkembang pada lokasi penelitian ini, khususnya dijumpai pada batupasir dengan sementasi yang kuat. Laminasi dapat terbentuk dari pengendapan partikel berukuran halus dari suspensi dan transportasi traksi pasir pada kondisi yang sama (Boggs, 2006). Gradasi normal dapat timbul akibat penurunan kekuatan aliran selama sedimentasi, tetapi pada umumnya dari dispersi butir dan buoyancy effect yang biasa terjadi pada endapan dengan konsentrasi sedimen yang rendah. Flute cast pada daerah ini terbentuk akibat erosi pada serpih (yang kemudian terisi oleh batupasir) dengan bentuk memanjang. Struktur sedimen tersebut digunakan dalam penentuan arah arus saat pengendapan unit-unit batuan tersebut terjadi. Berdasarkan struktur flute-cast pada batupasir tufan Rambatan di dekat jembatan Kali Pekacangan Desa Sijenggung, arah sedimentasi diamati berarah ke timurlaut. Struktur slump terbentuk akibat luncuran gravitasi melalui suatu bidang gelincir. Struktur ini terbentuk dalam skala besar yang dapat ditemui hampir di sepanjang lintasan Kali Pekacangan. Struktur bioturbasi yang dijumpai pada lokasi penelitian berupa ichnofasies Nereites (Gambar 6). Ichnofasies Nereites dicirikan oleh fosil jejaknya yang didominasi oleh cetakan horizontal, baik hanya dengan bentuk memanjang maupun bentuk-bentuk yang lebih kompleks. Fosil jejak tersebut mengindikasikan lingkungan pengendapan laut dalam. Struktur terakhir ialah load cast yang terbentuk akibat pembebanan oleh batupasir (material sedimen berukuran kasar) pada serpih di Formasi Rambatan. Struktur sedimen tersebut digunakan dalam penelitian ini untuk menentukan top dan bottom dari lapisan batuan. Shale yang ditemui pada Formasi Rambatan didominasi oleh shale yang berwarna hitam (Gambar 4). Hal ini menunjukkan bahwa satuan batuan tersebut kaya akan material organik, sehingga lingkungan pengendapan bersifat reduktif. Selain shale, lokasi penelitian juga tersusun atas litologi berupa batupasir karbonatan, batupasir tufan, serta batugamping. Lingkungan pengendapan pada lokasi ini adalah berupa laut dalam dengan pengendapan turbidit dan gravity gliding yang menyebabkan melimpahnya struktur slump (Gambar 5).

TEKTONIK GRAVITASI DAN KAITANNYA DENGAN STRUKTUR GEOLOGI DESA SIJENGGUNG Struktur geologi utama yang menyusun daerah penelitian tidak hanya murni karena tenaga endogenik yang mengompresi maupun meregangkannya, melainkan juga akibat tenaga gravitasi. Pada Miosen Awal, mulai terjadi pengangkatan di Busur Vulkanik Serayu Selatan akibat aktivitas magmatisme Andesit Tua yang berumur Oligo-Miosen, dan terbentuknya Cekungan Belakang Busur Serayu Utara. Tataan tektonik busur vulkanik ini menyebabkan terbentuknya lereng yang mengarah ke utara menuju dalaman Serayu Utara. Kondisi ini mempengaruhi sedimentasi Formasi Rambatan yang tengah berlangsung di Cekungan Serayu Utara, menyebabkan sebagian besar dari sedimen Rambatan yang terendapkan di tepi selatan Serayu Utara tergelincir (gravity gliding) menuju ke arah utara. Proses tersebut melakukan sedimentasi ulang (reworking) yang menghasilkan struktur slump. Pengukuran stratigrafi permukaan di lintasan Kali Pekacangan menunjukkan adanya ciri-ciri proses reworking dari sedimen yang telah terendapkan sebelumnya. Di samping itu, perubahan arah kemiringan lapisan batuan yang sangat 26


GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013 intensif dalam jarak yang tidak terlalu jauh mengindikasikan beberapa unit struktur slump yang terbentuk akibat luncuran gravitasi. Meskipun struktur sedimen menunjukkan arah sedimentasi ke utara- timulaut, namun struktur geologi di lokasi penelitian justru menunjukkan serangkaian sesar naik ke arah selatan-baratdaya (Gambar 7, 8). Struktur demikian diduga terbentuk akibat luncuran sedimen Formasi Rambatan untuk kedua kali yang terjadi kala Miosen Akhir. Pada saat itu, pengendapan Formasi Rambatan telah berakhir dan digantikan oleh sedimentasi vulkaniklastik Formasi Halang yang didominasi oleh batupasir tuf dengan fragmen lapili. Kehadiran Formasi Halang menunjukkan perubahan tataan tektonik Jawa Tengah, dimana Cekungan Serayu Utara berubah fungsi dari cekungan belakang busur menjadi busur vulkanik (Gambar 2, 3). Kondisi demikian menghasilkan pengangkatan di Zona Serayu Utara yang menghasilkan perubahan arah kelerengan cekungan sedimenter di sana. Bila sebelumnya kelerengan sedimentasi di daerah Sijenggung diduga berarah ke utara-timurlaut menuju deposenter Serayu Utara, maka dengan perubahan tataan tektonik yang ditandai oleh naiknya Serayu Utara tersebut menyebabkan terbentuknya kelerengan sedimentasi ke arah selatan-baratdaya. Hal ini menyebabkan batuan Formasi Rambatan mengalami tektonik gravitasi untuk kedua kalinya, dimana sebagian besar mereka menjadi meluncur ke arah selatan-baratdaya mengikuti kemiringan cekungan sedimenter yang baru. Hasil akhir dari proses ini tampak dari penampang geologi Kali Pekacangan menunjukkan beberapa sesar naik yang diduga merupakan bagian sesar anjak (toe-thrust) bentukan dari beberapa paket slump akibat gravity gliding (Gambar 7, 8). Di lokasi penelitian, Formasi Rambatan dijumpai telah tersingkap ke permukaan, dan Formasi Halang dan Formasi Tapak yang menutupinya telah tererosi dengan ditandai banyak bongkah-bongkah batupasir vulkanik Halang di sepanjang jalur Sungai Pekacangan. Hal ini menunjukkan adanya pengangkatan daerah penelitian kembali untuk ketiga kalinya pada kala awal Plistosen, setelah pengendapan Formasi Tapak. Pengangkatan tektonik ketiga inilah yang diduga bertanggungjawab terhadap mekanisme rembesan hidrokarbon di daerah penelitian.

REMBESAN GAS BUMI DI KALI PEKACANGAN Seperti yang telah disinggung sebelumnya, rembesan hidrokarbon merupakan indikasi awal adanya suatu sistem petroleum aktif yang menyusun suatu lokasi. Terjadinya rembesan hidrokarbon di permukaan menunjukkan adanya kebocoran dalam sistem petroleum, baik secara langsung dari batuan induk maupun dari batuan penyimpan (reservoar) melalui jalur-jalur yang dibentuk struktur geologi maupun tatanan stratigrafi suatu daerah. Menurut Gluyas (2003) pembentukan rembesan hidrokarbon terdiri dari tiga fase yang meliputi: (i) pecahnya batuan penyekat atau tudung (seal failure) akibat deformasi tektonik, (ii) migrasi tersier (tertiary migration) dari batuan penyimpan menuju permukaan melalui bidang patahan, dan (iii) penguapan di permukaan (dissipation near the surface). Rembesan gas bumi di Kali Pekacangan, Desa Sijenggung terjadi pada Formasi Rambatan yang beranggotakan batupasir dengan selingan serpih, napal, dan tuf. Formasi ini memiliki kualitas yang cukup baik pada perlapisan batupasir tuf sebagai batuan penyimpan (reservoar). Batuan penyekat yang menutupinya ialah serpih dari Formasi Rambatan itu sendiri (penyekat intra- formasional). Di bagian atasnya, dijumpai batupasir vulkanik Formasi Halang yang juga berpotensi sebagai batuan reservoar.

27


GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013 Melihat tataan stratigrafi dan struktur geologi yang berkembang secara lokal, terjadinya rembesan gas bumi Sijenggung dapat dikelompokkan karena terangkatnya batuan reservoar ke permukaan, sehingga hidrokarbon yang seharusnya menempuh migrasi sekunder dari batuan reservoar Formasi Rambatan menuju batuan reservoar Formasi Halang, dapat melalui batuan penyekat yang telah pecah (mekanisme pertama: seal failure) akibat pengangkatan tektonik yang ketiga (awal Plistosen), untuk kemudian merembes melalui patahan menuju permukaan (mekanisme kedua: tertiary migration), dan membentuk rembesan (mekanisme ketiga: dissipation near surface).

KESIMPULAN 1. Perubahan dan dinamika tektonik busur gunungapi mempengaruhi sedimentasi yang terjadi di Cekungan Serayu Utara. Cekungan Serayu Utara merupakan cekungan belakang busur pada rentang Miosen Awal hingga Miosen Tengah, dan kemudian berubah menjadi busur vulkanik semenjak Miosen Akhir. 2. Daerah penelitian mengalami tiga kali pengangkatan tektonik: (i) pengangkatan Serayu Selatan pada Miosen Awal, (ii) pengangkatan pertama Serayu Utara pada Miosen Akhir, dan (iii) pengangkatan kedua Serayu Utara pada awal Plistosen. 3. Pengangkatan pertama dan kedua mempengaruhi sedimentasi Formasi Rambatan dengan membentuk unit-unit struktur slump, dengan mekanisme luncuran gayaberat (gravity gliding). 4. Akibat gravity gliding yang terjadi pada daerah penelitian, terbentuklah struktur toe-thrust faults beserta endapan yang berkarakter turbidit pada Formasi Rambatan. 5. Formasi Rambatan di lokasi penelitian tersusun atas serpih, batulempung, dan batupasir gampingan. Umur tertua yang dijumpai pada Formasi Rambatan di lokasi penelitian adalah pada zona N12–N18 dengan ditemuinya foraminifera plangtonik berupa Globorotalia menardii A dan B (Bolli), sedangkan umur termuda pada zona N19 dengan ditemuinya foraminifera plangtonik berupa Sphaeroidinella dehiscens (Parker & Jones). Dari jenis litologinya, formasi ini berpotensi untuk menjadi reservoar dan batuan segel intra-formasional. 6. Pengangkatan tektonik Serayu Utara yang ketiga menyebabkan tersingkapnya Formasi Rambatan ke permukaan dan memicu terjadinya rembesan hidrokarbon Sijenggung. 7. Rembesan hidrokarbon di Sijenggung terjadi melalui tiga tahapan mekanisme: (i) pecahnya batuan penyekat akibat pengangkatan tektonik ketiga, (ii) rembesan melalui patahan, dan (iii) menguap di permukaan.

UCAPAN TERIMA KASIH Rasa terima kasih penulis sampaikan kepada Jurusan Teknik Geologi FT UGM yang telah mendukung penelitian ini melalui hibah penelitian dan memberi kesempatan untuk mempresentasikan dalam seminar nasional. Ungkapan terima kasih juga ditujukan Bapak Moch. Indra Novian, M.Eng. yang telah mendampingi observasi dan berdiskusi di Banjarnegara.

DAFTAR PUSTAKA ASIKIN, S., A. HANDOYO, B. PRASTISTHO, DAN S. GAFOER (1992a). Peta Geologi Lembar Banyumas. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi. ASIKIN, S., A. HANDOYO, H. BUSONO, DAN S. GAFOER (1992b). Peta Geologi Lembar Kebumen. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi.

28


GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013 BOGGS, S. JR., 2006, Principles of Sedimentology and Stratigraphy: Fourth Edition, Pearson Education, Inc., New Jersey, 662p. CONDON, W.H., L. PARDYANTO, K.B. KETNER, T.C. AMIN, S. GAFOER, DAN H. SAMODRA (1996). Peta Geologi Lembar Banjarnegara dan Pekalongan, edisi ke-2. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi. DJURI, M., H. SAMODRA, T.C. AMIN, DAN S. GAFOER (1996) Peta Geologi Lembar Purwokerto dan Tegal, edisi ke-2. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi. GLUYAS, J. AND R. SWARBRICK (2003) Petroleum Geoscience, Blackwell Jersey.

Publishing. New

HALL, R. (2012) Late Jurassic–Cenozoic reconstructions of the Indonesian region and the Indian Ocean. Tectonophysics, 570–571, pp. 1–41 LUNT, P., G. BURGON, A. BAKY (2009) The Pemali Formation of Central Java and equivalents: Indicators of sedimentation on an active plate margin, Journal of Asian Earth Sciences, 34, pp. 100-113. SATYANA, A.H. (2007) Central Java, Indonesia – a “Terra Incognita” in Petroleum Exploration: New Considerations on the Tectonic Evolution and Petroleum Implications, Proceedings of Indonesian Petroleum Association 31 st Annual Convention and Exhibition, Jakarta. VAN

BEMMELEN, R.W. (1949) The Geology of Indonesia Vol. IA, Martinus Nijhoff. Belanda.

29


GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

Gambar 1. Fisiografi Zona Serayu.

Gambar 2. Tektonostratigrafi Kenozoikum Zona Serayu (dikompilasi dari Asikin dkk., 1992a; Asikin dkk., 1992b; Condon dkk., 1996; Djuri dkk., 1996; Lunt et al., 2009; Hall, 2012). Formasi Pemali yang seumur dengan Formasi Tapak tidak dimasukkan karena sebarannya menempati Zona Bogor.

30


GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

Gambar 3. Diagram rekonstruksi evolusi geologi Zona Serayu berdasarkan tektonostratigrafinya (lihat Gambar 2). Tanpa skala. Pada Oligosen Akhir (b) cekungan belakang busur terbentuk di Zona Serayu Utara, dengan pengendapan gaya-berat Wora-Wari terbentuk di bagian tepi selatannya. Pada Miosen Awal (c) naiknya genang laut memicu terendapkannya Formasi Rambatan menutupi Wora-Wari. Proses re-sedimentasi akibat gaya-berat menghasilkan banyak struktur slump.

31


GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

Gambar 3 (lanjutan). Pada Miosen Tengah (d) proses magmatisme Serayu Selatan berhenti, diduga terganggu oleh proses rotasi Sundaland yang baru berjalan. Jawa Tengah mulai mengalami pemendekan (shortening). Kondisi genang laut maksimum (highstand) mendorong pertumbuhan batugamping terumbu Formasi Kalipucang. Pada Miosen Akhir (e) terbentuk dua busur vulkanik (double-arc) di Zona Serayu, dengan reaktifasi vulkanisme Serayu Selatan dan munculnya vulkanisme Serayu Utara. Beban dari tubuh gunungapi Serayu Utara menekan Formasi Rambatan dan Wora-Wari sehingga mereka bergerak ke arah luar dari tepi cekungan. Akibat rotasi dan shortening, Karangsambung mulai terangkat dan terlipat.

32


GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

Gambar 3 (lanjutan). Pada Pliosen (f) terjadi perubahan tataan subduksi akibat proses rotasi Sundaland yang kembali berlanjut dan disertai pemendekan/kompresi. Sekali lagi magmatisme dan vulkanisme Jawa Tengah berhenti, dan pengendapan Formasi Tapak berlangsung. Karangsambung dan Wora-Wari terus terangkat. Pada Plistosen (g) vulkanisme Serayu Utara kembali aktif. Beban dari tubuh gunungapi kembali menekan Formasi Rambatan dan Wora-Wari sehingga mereka bergerak naik ke arah selatan. Lembah Serayu (Zona Serayu sensu-stricto) terbentuk diantara tinggian Karangsambung dan Wora-Wari. Perkembangan selanjut kala Holosen ditandai dengan intensitas denudasi yang sangat tinggi, baik di Serayu Selatan maupun di Serayu Utara. Di Karangsambung, erosi menyingkapkan Formasi Karangsambung sebagai inti dari antiklin. Sedangkan di Wora-Wari, erosi menyingkapkan Formasi Rambatan (seperti di daerah penelitian), bahkan hingga ke batuan Wora-Wari.

33


GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

Gambar 4. (Kiri) Perselingan shale dan batupasir karbonatan yang menyusun Formasi Rambatan pada tempuran Kali Pekacangan, kamera menghadap ke timur. (Kanan) Struktur sedimen load cast, laminasi konvolut, dan laminasi paralel pada batupasir Formasi Rambatan.

Gambar 5. Kondisi litologi dan struktur geologi Kali Pekacangan

34


GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

Gambar 6. (Atas) penampang panorama singkapan di utara tempuran Kali Pekacangan, di daerah Asinan. (Kiri) Struktur sedimen laminasi konvolut dan paralel. (Kanan) Fosil jejak pada batupasir Formasi Rambatan yang digunakan sebagai salah satu penentu top-bottom lapisan batuan.

35


Gambar 7. Penampang geologi jalur 1 (Kali Pekacangan)

GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

36


GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

Gambar 8. Penampang geologi jalur 2 (Tempuran Kali Pekacangan)

37


GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

38


GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

SDMGK 1 - KARAKERISTIK BENTONIT BOYOLALI SEBAGAI LINER TEMPAT PEMBUANGAN AKHIR SAMPAH Fahmi HAKIM*, I Wayan WARMADA, Wawan BUDIANTA, Fraga Luzmi FAHMI, dan Dian Yesy FATIMAH Jurusan Teknik Geologi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Indonesia *email: fahmigeologi09@gmail.com Diterima tanggal 15 November 2013 Dipresentasikan pada Seminar Nasional Kebumian ke-6 Jurusan Teknik Geologi Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, tanggal 11 Desember 2013

ABSTRAK Salah satu tantangan yang dihadapi oleh pengelola perkotaan adalah penanganan masalah persampahan. Salah satu aspek yang perlu didekati dalam pengelolaan persampahan adalah aspek teknik yaitu mengenai Tempat Pembuangan Akhir (TPA) yang ramah lingkungan, yaitu menggunakan metode sanitary landfill. Oleh karena itu dibutuhkan liner yang dapat mencegah terjadinya hal itu. Dalam penelitian ini, salah satu bahan liner yang murah dan banyak terdapat di alam adalah lempung, terutama dari jenis bentonit. Namun tidak semua lempung dapat digunakan sebagai liner. Oleh karena itu perlu dilakukan karakterisasi dari lempung tersebut. Sampel bentonit untuk penelitian diperoleh dari lima titik yang terletak di Boyolali, Jawa Tengah. Sampel penelitian terdiri dari 7 sampel bentonit dengan sifat fisik yang berbeda. Bentonit ini terdapat pada Anggota Banyuurip, Formasi Kerek. Berdasarkan hasil uji karakteristik geoteknik berupa uji plastisitaskompetensi, ukuran butir, dan permeabilitas, semua sampel bentonit ini memiliki nilai yang memenuhi syarat sebagai liner. Kemudian uji mineralogi yang dilakukan yaitu uji CEC dan XRD. Dimana dari hasil uji XRD, terdapat komposisi mineral lempung berjenis bentonit yang cukup dominan seperti nontronite dan stevensite, serta mineral lain berupa kaolinite, lizardite, carlosturanite, surite, kalsit dan kuarsa. Dari ketujuh sampel yang diuji sampel BL-007-A merupakan sampel yang cukup potensial dijadikan liner karena memiliki nilai permeabilitas yang paling rendah. Dari hasil penelitian ini disimpulkan bahwa Bentonit Boyolali dari daerah Simo, Karanggede, dan Wonosegoro memiliki potensi yang baik sebagai liner tempat pembuangan sampah akhir. Kata kunci: Landfill, Leachete, Liner, Bentonit Boyolali

PENDAHULUAN Salah satu tantangan yang dihadapi oleh pengelola perkotaan adalah penanganan masalah persampahan. Berdasarkan Badan Pusat Statistik (BPS) Pusat tahun 2008, dari 384 kota yang menimbulkan sampah sebesar 80.235,87 ton setiap hari, penanganan sampah yang diangkut ke dan dibuang ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) adalah sebesar 4,2% yang dibakar sebesar 37,6%, yang dibuang ke sungai 4,9% dan tidak tertangani sebesar 53,3%. (Ditjen TPTP, Dep. Kimpraswil, 2001). Para ahli lingkungan merekomendasikan agar pengelolaan TPA menggunakan sistem sanitary landfill, namun demikian dari sekian banyak TPA yang ada di Indonesia, umumnya menggunakan sistem open dumping atau controlled dumping (JICA and PT. Arconin. Report on Solid Waste Data in Indonesia). Salah satu hasil dari dekomposisi sampah tersebut adalah leachate sampah yang berupa cairan. Apabila rembesan leachate sampai ke lapisan tanah dan mengalir masuk ke dalam air tanah maka akan mencemari kualitas air tanah. Padahal sebagian 39


GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013 besar masyarakat kita masih menggunakan air sumur (yang berasal dari air tanah) sebagai sumber air bersih. Oleh sebab itu, tindakan yang perlu dilakukan adalah bagaimana cara membuat TPA yang aman terhadap lingkungan. Sampah-sampah yang dibuang di TPA yang belum didesain yang aman terhadap lingkungan dapat menyebabkan leachate atau limbah cair yang dihasilkan dari sampah tersebut dapat langsung masuk ke air tanah yang kemudian akan membahayakan manusia dan makhluk hidup yang mengkonsumsi air tanah tersebut. Salah satu cara membuat TPA yang aman terhadap lingkungan adalah dengan mencegah merembesnya leachate ke air tanah, dengan cara dasar dari tempat pembuangan sampah harus dibuat kedap atau tidak tembus air. Konsep yang dinamakan sanitary landfill ini merupakan sistem TPA yang paling modern saat ini (Gambar 1). Sedangkan jenis lapisan yang umum dipakai sekarang ini pada sanitary landfill di negara maju adalah dengan menggunakan bahan geosintetik yang mahal, namun dalam hal ini perlu diteliti mengenai lempung lokal berjenis bentonit yang bisa dipakai sebagai clay liner. Lempung merupakan bahan yang murah, banyak terdapat dialam dan memiliki nilai permeabilitas rendah, sehingga cocok digunakan sebagai liner. Tujuan akhir dari penelitian ini adalah untuk mengetahui karakteristik dan potensi bentonit untuk menjadi clay liner tempat pembuangan akhir sampah (TPA) dilihat dari karakteristik geoteknik dan komposisi mineralogi.

Gambar 1. Konsep sanitary landfill dengan menggunakan bentonit sebagai liner

GEOLOGI Menurut Pringgoprawiro (1983), Stratigrafi daerah penelitian berada pada Zona Kendeng yang mana merupakan bagian dari Formasi Kerek. Formasi ini tersiri dari perselingan antara lempung, napal lempungan, napal, batupasir tufaan gampingan dan batupasir tufaan. Berdasarkan fosil foraminifera planktonik dan bentoniknya, formasi ini terbentuk pada Miosen Awal – Miosen Akhir (N10 – N18) pada lingkungan laut dangkal. Ketebalan formasi ini bervariasi antara 1000 – 3000 meter. Formasi ini terdiri dari 3 anggota: Anggota Banyuurip, Anggota Sentul dan Batugamping Formasi Kerek. Sedangkan daerah penelitian termasuk Anggota Banyuurip yang tersusun oleh perselingan antara napal lempungan, napal, lempung dengan batupasir tuf gampingan dan batupasir tufaan dengan total ketebalan 270 meter (de Genevreye & Samuel, 1972). Pada bagian tengah perselingan ini dijumpai batupasir gampingan dan tufaan setebal 5 meter, sedangkan bagian atas ditandai oleh adanya perlapisan kalkarenit pasiran setebal 5 meter dengan sisipan tipis dari tuf halus. Anggota ini berumur N10 – N15 (Miosen Tengah bagian tengah – atas). Pada daerah penelitian, perselingan antara napal lempungan, lempung dan batupasir tufaan dijumpai secara luas dengan ketebalan bervariasi ulai dari 5 cm hingga 50 cm (Gambar 2.a). Geomorfologi daerah penelitian merupakan daerah perbukitan landai dengan kontrol struktur geologi. Sungai merupakan salah satu agen dalam proses ekshumasi batuan yang berumur tua di daerah penelitian (Gambar 2.b). Jenis struktur yang banyak 40


GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013 dijumpai struktur berupa sesar naik, sesar turun/ekstensional (Gambar 2.c), sesar geser mendatar, serta lipatan. Di bagian utara daerah penelitian (Gambar 2.d) ditemukan indikasi batuan telah terlipat dan mungkin terbalik dengan dijumpai dip batuan yang hampir tegak (90째).

Gambar 2. a. Perselingan antara napal lempungan, lempung dan batupasir tufaan pada B01 b. Sungai (aliran air permukaan) sebagai agen ekshumasi batuan berumur tua pada B-03-04 c. Sesar ekstensional pada daerah penelitian pada B-03-04 d. Dip batuan yang hampir tegak pada Formasi Kerek di B-05

METODE PENELITIAN Dalam penelitian ini, jenis lempung yang ingin diketahui karakteristiknya diperoleh dari lima titik yang terletak di Kecamatan Simo, Karanggede, dan Wonosegoro, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah. Sampel penelitian terdiri dari 7 sampel lempung dengan sifat fisik yang berbeda. Dimana pada lokasi pengambilan sampel B-03-04 dan B-06-07 diambil 2 lempung sekaligus dalam satu lokasi namun dengan karakteristik berbeda. Jenis lempung yang dicari adalah yang memiliki swelling capacity yang baik yaitu dari jenis bentonit. Hampir di setiap lokasi pengambilan sampel dijumpai lempung dengan karakteristik yang serupa dengan bentonit. Lokasi Pengambilan sampel dapat dilihat pada Gambar 3. Dalam penelitian ini sampel lempung yang diambil akan dilakukan 2 metode pengujian, yaitu uji karakteristik geoteknik dan uji komposisi mineralogi. Uji karakteristik geoteknik meliputi analisis distribusi ukuran butir, uji permeabilitas, serta uji plastisitas dan konsistensi. Sedangkan uji komposisi mineralogi meliputi uji CEC (Cation Exchange 41


GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013 Capacity) dan analisis XRD (X-Ray Diffraction). Menurut Murray, et al, (1992), sampel yang layak menjadi liner adalah harus memenuhi kriteria sebagai berikut: 1. koefisien peremeabilitas ≤ 1,0 10-9 m/s 2. persentase silt/clay >10% dan gravel <30% 3. memiliki nilai Liquid Limit (LL) ≤ 90% dan memiliki nilai Plasticity Index (PI) ≤ 65%

Gambar 3. Peta lokasi pengambilan sampel

HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Geoteknik 1. Analisis Ukuran Butir Analisis ini dilakukan untuk mengelompokkan distribusi ukuran butir dari batuan yang di sampel. Menurut ASTM (1996), untuk butir penyusun tanah dan batuan dapat dibagi menjadi beberapa ukuran, dari lempung sampai kerikil. Untuk ukuran butir kasar, seperti pasir sampai kerikil, digunakan metode ayakan. Selanjutnya, butiran yang berukuran halus, seperti lanau sampai lempung akan diuji dengan metode hidrometer. Pada akhirnya, material sedimen yang berukuran lanau-lempung yang akan dimanfaatkan sebagai liner. Dengan menggunakan metode tersebut, maka dapat diketahui perbandingan ukuran butir tanah, mulai dari silt/clay yang paling kecil, hingga gravel yang paling besar. Berdasarkan hasil analisis laboratorium, maka sampel diperoleh data distribusi ukuran butir. Dari hasil tersebut, diperoleh persentase silt/clay yang cukup melimpah dan jauh diatas 10%, serta nilai gravel yang kurang dari 30%, maka seluruh sampel lempung dapat dikatakan baik dan layak digunakan sebagai liner berdasarkan kriteria oleh Murray,et al, (1992).

42


GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

2. Koefisien Permeabilitas

Karakteristik geoteknik yang kedua adalah koefisien permeabilitas. Koefisien permeabilitas dicari dengan melakukan pengujian permeabilitas untuk mengetahui sifat lempung dalam meloloskan air. Menurut Craig (1994), semua jenis tanah bersifat lolos air. Sedangkan lempung dalam praktek dianggap bersifat tidak lolos air atau secara garis besar koefisien permeabilitas lempung kecil. Berdasarkan Murray et al. (1992) syarat-syarat lempung yang baik untuk penggunaan liner dalam pengujian permeabilitas ini adalah yang memiliki nilai koefisien permeabilitas kurang atau sama dengan dengan 1,0 10-9 m/s. Dari ketujuh sampel yang diuji terlihat satu sampel yaitu BL-007 yang hampir memenuhi syarat dari Murray et al., (1992) yang dapat dilihat pada Tabel 1. Penyebab yang diketahui adalah pada sampel BL-007 dijumpai campuran berupa mineral lempung berjenis kaolinite yang menurut beberapa penelitian jika tercampur dalam kondisi yang tepat mampu menurunkan koefisien permeabilitas dan swelling capacity bentonit. Tabel 1. Hasil uji distribusi ukuran butir dan uji permeabilitas Silt/Clay Debit rata-rata (%) (q) ( cm3/s)

Koefisien permeabilitas (k20)

No. Sampel

Density (gr/cm3)

Gravel (%)

Sand (%)

BL-001-A

2,52

0,00

87,52

12,48

0,08667

4,6 x 10-7 m/s

BL-002-A

2,53

0,00

24,07

75,93

0,05600

4,2 x 10-8 m/s

BL-003-A

2,60

0,00

9,76

90,24

0,07333

9,7 x 10-8 m/s

BL-004-A

2,62

0,00

2,87

97,13

0,02667

1,4 x 10-8 m/s

BL-005-A

2,62

0,74

16,09

83,17

0,01600

2,1 x 10-8 m/s

BL-006-A

2,60

0,00

30,85

69,15

0,07200

7,6 x 10-8 m/s

BL-007-A

2,62

0,00

59,84

40,16

0,00333

1,8 x 10-9 m/s

3. Plastisitas dan Konsistensi Menurut Brand and Brenner (1981) dan Craig (1994), perubahan jumlah kandungan air pada lempung mempengaruhi perubahan plastisitas (pelunakan dan kekenyalan). Karakter plastisitas lempung dapat diidentifikasi dengan batas-batas konsistensi atau dikenal sebagai batas-batas Atterberg (Atterberg Limits). Atterberg memberikan cara dalam membagi kedudukan fisik lempung pada kadar air tertentu, dengan kadar air pada kedudukan padat, semi padat, plastis dan cair. Masing-masing kedudukan kadar airnya dipisahkan oleh batas susut, batas plastis dan batas cair. Uji batas cair (Liquid Limit (LL), yaitu dengan menguji nilai kadar air pada batas antara keadaan cair dan plastis. Jika kadar air terus berkurang, maka butiran-butiran menjadi mendekat satu sama lain sampai kedudukan pada batas plastis (Plastic Limit) (PL). Batas plastis merupakan kadar air tanah pada kedudukan antara plastis dan semi padat. Pada pengurang kandungan air tanah selanjutnya akan dijumpai batas dimana butiranbutiran tidak dapat mendekat satu sama lain dan volume tidak terubah dan lempung menjadi retak-retak. Kadar air pada kedudukan ini disebut batas susut (Shrinkage Limit) (SL). Selisih antara LL dan PL disebut Plasticity Index (PI). Plasticity Index merupakan interval kadar air dimana lempung tetap dalam kondisi plastis. Berdasarkan Murray et al. (1992) syarat-syarat lempung yang baik untuk penggunaan liner dalam pengujian plastisitas dan konsistensi ini adalah yang memiliki nilai Liquid Limit (LL) ≤ 90% dan memiliki nilai PI ≤ 65%. Dari ketujuh sampel yang diuji hampir 43


GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013 seluruhnya memenuhi syarat untuk digunakan sebagai liner tempat pembuangan sampah (Tabel 2).

Karakteristik Mineralogi 1. Cation Exchange Capacity (CEC) Pengukuran CEC digunakan untuk penafsiran awal kandungan lempung yang mengembang dari tanah lempung. Nilai CEC yang tinggi menandakan persentase dari mineral lempung. Jika tanah lempung tersusun secara signifikan jenis lempung yang mengembang, maka akan menyebabkan penambahan atau pengurangan nilai konduktivitas hidraulik. Dari hasil uji CEC yang didapatkan maka kandungan mineral lempung yang hadir cukup banyak sekitar 23,47 - 47,78 (me/100g). Nilai CEC yang cukup tinggi menandakan bahwa sampel lempung pada daerah penelitian didominasi oleh mineral lempung berjenis bentonit/smektit. Tabel 2. Hasil uji plastisitas dan konsistensi serta uji CEC

No. Sampel

Liquid Limit (LL)

Plastic Limit (PL)

Plasticity Index (PI)

Natural Water Content (wN)

Liquidity Index (LI)

CEC (me/100 g)

BL-001-A

-

-

-

-

-

47,78

BL-002-A

52,91 %

31,89 %

21,02 %

43,41 %

0,55

36,64

BL-003-A

52,51 %

29,76 %

22,75 %

26,86 %

-0,13

27,04

BL-004-A

51,57 %

23,23 %

28,34 %

25,75 %

0,09

23,47

BL-005-A

52,34 %

27,65 %

24,69 %

21,89 %

-0,23

31,51

BL-006-A

53,60 %

27,96 %

25,63 %

22,79 %

-0,20

33,98

BL-007-A

54,53 %

26,94 %

27,59 %

20,29 %

-0,24

30,13

2. X-Ray Diffraction (XRD) Disamping pengukuran CEC, perlu diketahui juga jenis-jenis mineral lempung terutama jenis bentonit pada sampel lempung. Analisis yang dilakukan untuk mengetahui jenis minerla lempung ini adalah analisa XRD (X-Ray Diffraction). Analisa XRD (X-ray Diffraction) dilakukan pada sampel tidak terorientasi (keseluruhan batuan) dan sampel terorientasi (pecahan lempung). Dari hasil analisis XRD didapatkan bahwa jenis lempung yang selalu hadir pada setiap sampel adalah bentonit dengan jenis nontronite (Gambar 4 dan 5). Pada sampel BL-003 dijumpai juga bentonit berjenis stevensite (Gambar 4). Bentonit ini yang membuat nilai CEC pada sampel menjadi tinggi. Hal ini berarti kandungan bentonit sangat melimpah pada masingmasing sampel. Selain mineral lempung berjenis bentonit, dijumpai juga mineral lempung lain seperti kaolinite, lizardite, carlosturanite, dan surite. Mineral lain yang muncul adalah kuarsa dan kalsit yang merupakan mineral umum penyusun batuan sedimen.

44


GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

Gambar 4. Grafik XRD dari sampel BL-003 dan BL-005 (bentonit yang dijumpai berjenis nontronite dan stevensite)

45


GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

Gambar 5. Grafik XRD dari sampel BL-006 dan BL-007 (bentonit yang dijumpai berjenis nontronite)

46


GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil analisis uji karakterstik geoteknik meliputi uji distribusi ukuran butir, uji koefisien permeabilitas, serta uji plastisitas dan konsistensi, sampel bentonit Boyolali secara umum memiliki nilai koefisien permeabilitas yang kecil yaitu di kisaran 9,7x10-8 1,8x10-9 m/s, serta memiliki nilai Liquid Limit (LL) 51,57 - 54,53% dan nilai Plasticity Index (PI) 21,02-28,34 %. Sedangkan dari uji komposisi mineralogi uji CEC serta analsisis XRD, memperlihatkan bahwa seluruh sampel lempung Boyolali yang diteliti dalam penelitian ini didominasi oleh mineral lempung dengan nilai CEC 23,47 - 47,78 (me/100g). Sedangkan jenis lempung yang hadir merupakan grup smektit (bentonit) berjenis nontronite dan sedikit stevensite. Dari ketujuh sampel yang diuji sampel BL-007-A merupakan sampel yang cukup potensial dijadikan liner karena memiliki nilai koefisien permeabilitas yang paling rendah (1,8x10-9 m/s). Secara umum seluruh sampel bentonit Boyolali ini layak dan baik untuk digunakan sebagai liner tempat pembuangan sampah. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mencari nilai koefisien permeabilitas yang lebih kecil (≤ 1,0 10-9 m/s) baik mengenai pencampuran yang tepat antara bentonit dengan material lain (misal kaolin) maupun dengan melakukan proses kompaksi.

DAFTAR PUSTAKA ASTM., 1996, Annual Book of ASIM Standards. Section 4, Volume 04.08. Soil and Rock: American Society for Testing and Materials. BRAND, E.W. DAN BRENNER, R.P., 1981. Soft Clay Eng, Elsevier Scientific Publishing Company. CRAIG, R. F., 1994, Soil Mechanics, Fifth Ed., GB: Chapman and Hall Press. DE GENEVRAYE, P., DAN SAMUEL, L., 1972. Geology of the Kendeng zone (Central and East Java). In: Proceedings of the Indonesian Petroleum Association, 1st Annual Convention, hal. 17–30. DITJEN TPTP, 2001, Data dan Informasi Umum, Pembangunan Perkotaan dan Perdesaan, Jakarta: Ditjen TPTP, Dep. Kimpraswil. JICA DAN PT. ARCONIN, 2008, Report on Solid Waste Data in Indonesia, JICA and PT. Arconin. MURRAY, E. J., RIX, D. W. DAN HUMPHREY. R. D. 1992. Clay Linings to Landfill Sites. Quarterly Journal of Engineering Geology, 25, 3714176. PRINGGOPRAWIRO, H., 1983, Biostratigrafi dan Paleografi Cekungan Jawa Timur Utara-Suatu Pendekatan Baru-Abstrak Disertasi Doktor, ITB, Bandung (tidak dipublikasikan)

47


GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

48


GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

SDMGK 2 - UTILIZATION OF YOGYAKARTA CLAY AS A LANDFILL LINER Fraga Luzmi FAHMI* and Fahmi HAKIM* *

Geological Engineering Dept., Faculty of Engineering, Universitas Gadjah Mada

Presented in Geoscience Student Competition 2012, Geophysic Department, Faculty of Mathematic and Natural Sciences, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

ABSTRACT One of the challenges faced by the urban management was handling the problem of urban solid waste. Engineering aspect that needed to be approached in waste management was sanitary landfill method which is landfill (TPA) was environmentally friendly. However, this method has leachate common obstacles that can contaminate groundwater. Clay liner can be a material to support environmentally landfill that prevented groundwater contamination at surrounding landfill area. A local clay as a clay liner was the cheap solution. This study focused on Yogyakarta’s clay, that was taken in Godean and Seyegan, Sleman, which was became the object of research. The sample was based on 3 different sample types of clay with different physical properties taken from different location. The clay liner quality was determined by geotechnical and mineralogical laboratory test. The geotechnical characteristics of plasticity-competency test, grain size and permeability, clay was used to measure physical and engineering properties of clay liner. The result showed the sample was contain enough clay size material (55,76% - 77,55%) with plasticity index 19,38% - 20,05% and liquid limit 46,36% - 55,36%. The permeability of sample 1 showed the best result, 3,5 10-9 m/s. Then, based on mineralogical test the CEC, XRD, and SEM test, the clay mineral composition was determined. The clay mineral composition mainly composed of smectite, caolinite, illite, and quartz. Depend on the laboratory testing, samples YKC-1 and YKC-3 are potentially considerable because the samples contains quite a lot of smectite minerals that have swelling capacity. From the results of this study concluded Yogyakarta clay from Godean, Sleman has good potential as a landfill clay liner. Key words: waste, landfill, leachate, liner, Yogyakarta clay

INTRODUCTION One of the challenges faced by urban managers is handling waste. According to the Central Statistics Agency (BPS) in 2008, about 384 cities rise 80.235,87 tonnes of waste every day. Handling of waste transported and disposed to landfill is equal to 4,2%, being burned was 37,6%, which is dumped into the river was 4,9% and untreated amounted to 53,3%. (Ditjen TPTP, Dep. Kimpraswil, 2001). One of the aspects that need to be approached in waste management is an aspect of technique, which is closely related to the activity of this research is the final disposal. The experts recommend that the management of the landfill using sanitary landfill system, however, of the many existing landfill in Indonesia, generally using a system controlled open dumping or dumping (JICA and PT. Arconin. Report on Solid Waste Data in Indonesia). One of the results from decomposition of waste is liquid waste leachate. If the leachate seepage into the soil and flow into the ground water, it will contaminate the ground water quality. Though most of the people we are still using well water (from groundwater) as a source of clean water. Therefore, action needs to be done is how to create an environmentally safe landfill. 49


GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

BACKGROUND AND CONCEPTS Based on SNI 13-1990-F about the Procedure for Urban Waste Management Techniques, waste defined as solid material, consisting of organic and inorganic substances that are considered useless and should be managed so as not to harm the environment and protecting development investments. Waste that is a by product of human activity has led to a very complex problem, among others the issue of aesthetics and comfort, is a nest or a gathering place for a variety of animals can be vectors of disease, causing pollution air, water and soil, and then causing clogging canals or drainage of waste water (Tchobanoglous, 1993 or Damanhuri and Padmi, 2006). The increase in urban population cause urban waste problem. Waste problem generally occurs in every city in Indonesia, including the increased complexity of the problem of waste as a logical consequence of city population growth, increasing population density requires improved better methods/patterns of waste management and other issues (Tchobanoglous, 1993 or Damanhuri and Padmi, 2006). The composition of waste includes percentage of components of waste that can be physically distinguished between organic waste, paper, plastics, metals and others. The composition of this waste can be used as consideration to determine the feasibility of waste management options in particular recycling and composting as well as the possible use of landfill gas as an alternative energy (Darmasetiawan, 2004). Operational techniques of waste management include covering the basics container planning, collection, removal, transport, processing, and disposal of waste in landfill (Damanhuri and Padmi, 2006). TPA is a place where waste reached the final stage in its management, starting from the source, collection, removal/ transportation, processing and disposal. Management of the existing waste management has an impact on the load that is too heavy at the landfill both in terms of land requirement and the burden of environmental pollution. Generally, the final processing of waste is done on the landfill is landfilling process (accumulation), and mostly done by open dumping that causes environmental problems such as odor, contamination of ground water, the onset of smoke, and so on. For example, in Yogyakarta, the method has been carried out in controlled landfill dump site Piyungan Yogyakarta (Simon, WA, 2007). One of cause of the pollution of the environment is contaminated by leachate or liquid leachate from landfill waste in the disposal site. The leachate will seep into the soil and consequently the surrounding soil will contaminated by leachate. If the leachate seepage into the soil and then flow into the ground water, it will contaminate the ground water quality. Though most of the people we are still using well water (from groundwater) as a source of clean water. Therefore, action needs to be done is how to create a secure landfill on the environment, particularly contamination by leachate. To prevent leakage of leachate into groundwater, the base of landfills should be made impermeable to water. Layer type commonly used in developed countries is geosynthetic. Schematic drawing liner in the landfill can be seen in Figure 1. A few studies have been conducted to examine the compacted clay, and used for landfill liner (Obrike, et.al, 2009; Sudjianto, 2008; Met, et.al, 2004). We conducted research mainly on clay in Yogyakarta, precisely in Godean. Geologically, this area has investigated potentially significant amount of clay derived from the weathering of igneous intrusive (Ikhlas, 2006).

50


GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

Figure 1. Schematic drawing of liner on the landfill

Figure 2. Advanced development of liner on the landfill to manage gas and liquid on waste.

51


GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

RESEARCH METHOD For detailed information, method of research can be shown below.

Clay Sampling

Laboratory Analysis Mineralogy Testing

Geotechnical Testing Grain size analysis

CEC (cation exchange capacity)

Permeability

XRD (X-Ray Diffraction)

Plasticity and consistency

SEM (scanning electron microscope)

Atterberg Limits Liquid Limit (LL) Plasticity Index (PI) Plastic Limit (PL)

Data Analysis and Conclusion Figure 3. Flow chart of research method

GEOTECHNICAL PROPERTIES 1. Grain Size Analysis At this stage it will be done by grouping grain size distribution of soil. According to ASTM (1996), for soil constituent grains can be divided into several sizes, from clay to gravel. For coarse grain size, such as sand to gravel, use a sieve method. Furthermore, fine grain size, such as silt to clay will be tested with a hydrometer method. At the end, from the soil sample, silt-clay material considered to be used as a liner. This method compared the soil grain size, ranging from the smallest size, silt/clay, to the largest gravel. Based on the results of laboratory analysis, the sample grain size distribution of the data obtained as follows (Figure 4, Figure 5, and Figure 6):

52


GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

Figure 4. Cumulative frequency graph grain size of sample YKC-1.

Figure 5. Cumulative frequency graph grain size of sample YKC-2.

Figure 6. Cumulative frequency graph grain size of sample YKC-3.

53


GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013 Table 1. Grain size distribution of test results Sample No.

Spesific gravity

Gravel

Sand

Silt/ Clay

YKC-1

2,69

16,28%

11,99%

71,73%

YKC-2

2,68

8,47%

35,76%

55,76%

YKC-3

2,62

0,00%

22,45%

77,55%

From these results, obtained percentage of silt / clay are relatively abundant and well above 10%, and the value of gravel that is less than 30%, then the entire clay sample can be good and fit for use as a liner based on the criteria by Murray, et al, (1992) .

2. Coefficient of Permeability At this stage the permeability testing will be conducted to determine the nature of the clay for escape the water. According to Craig (1994), all types of soil are water escapes. While clay is considered to be in practice did not pass the water or have a small permeability coefficient based on Murray et al. (1992). According to Murray et al. (1992) terms a good clay liner for use in testing the permeability is the permeability coefficient has a value less than or equal to 1.0 Ă— 10-9 m/s. From the three samples tested, no one meet the terms of Murray et al, (1992). The cause is known is that clays tested have not done compaction so that the water can still pass through the pores. So, to get better feasibility needs higher compaction of clay material. Table 2. Grain size distribution of test results Sample No.

Average Recharge (q)

Correction factor (Rt)

Coefficient of Permeability (k20)

YKC-1

0,00333 cm3/s

0,838

3,5

10-9 m/s

YKC-2

0,00867 cm3/s

0,838

1,1

10-8 m/s

YKC-3

0,00667 cm3/s

0,838

1,7

10-8 m/s

3. Plasticity and Consistency According to Brand and Brenner (1981) and Craig (1994), changes in the water content in the clay affect the plasticity changes (softening and suppleness). Plasticity clay characters can be identified with the boundaries of consistency otherwise known as Atterberg Limit. Atterberg Limit provides a way to divide the physical position of clay at certain moisture content, the water content on solid footing, semi-solid, plastic and liquid. Each position of the water level is separated by the shrinkage limit, plastic limit and liquid limit. Test the liquid limit (LL), by testing the water content at the boundary between the liquid and plastic state. If water levels continue to decrease, the grains become closer to one another until the notch on the plastic limit (PL) plastic limit is the water content of the soil at the position between the plastic and semi-solid. On further reduction of soil water content will be found within which the grains could not get 54


GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013 close to each other, and the volume is not altered and clay into the cracks. Levels of water in the position are referred to as shrinkage limit (SL). Difference between LL and PL are called plasticity index (PI). Plasticity index is the interval where the water content of clays remains in a state of plastic. According to Murray et al. (1992) terms clay good for use in testing liner plasticity and consistency is of value liquid limit (LL) ≤ 90% and has a value of ≤ 65% PI. All of the three samples that tested are qualified as a landfill liner.

Table 3. Plasticity and consistency test results Sample No.

Liquid Limit (LL)

Plastic Limit (PL)

Plasticity Index (PI)

Natural Water Content (wN)

Liquidity Index (LI)

YKC-1

46,36%

26,98%

19,38%

34,77%

0,40

YKC-2

69,00%

28,74%

40,26%

30,95%

0,05

YKC-3

55,56%

35,51%

20,05%

43,74%

0,41

MINERALOGY 1. Cation Exchange Capacity (CEC) Cation Exchange Capacity (CEC) measurements are used for early interpretation of the content an expanding clay in soil. The CEC measurements may be used for a preliminary assessment of the swelling clay mineral content of clayey soils where high CEC values may indicate the presence of clay minerals. If the clay is composed of clay types significantly expands, it will be possible to increase or decrease the value of hydraulic conductivity. From CEC test obtained, results clay mineral content is relatively abundant, from 12.40 to 16.40 (me/100g). This indicates the sample in this study within contains abundant clay minerals. Table 4. CEC test result

Sample No.

CEC (me/100 g)

YKC-1

15,60

YKC-2

12,40

YKC-3

16,40

2. X-Ray Diffraction (XRD) Besides the CEC measurements, XRD (X-ray Diffraction) was analyzed to determine the type of clay minerals in the clay samples. Analysis of XRD (X-ray Diffraction) was conducted on a sample oriented not (whole rock) and oriented samples (clay fraction). Sample YKC-1 contains kaolinite, smectite, and quartz. Sample YKC-2 contains kaolinite and quartz. Sample YKC-3 contains kaolinite, quartz, illite, smectite. Smectite is expected because of the ability to expand. Thus, sample YKC-1 and YKC-3 have clay mineral composition suitable for landfill liner.

55


GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

Figure 6. 2θ value graph the results of the X-Ray Diffraction of sample YKC-1

Figure 7. 2θ value graph the results of the X-Ray Diffraction of sample YKC-2

Figure 8. 2θ value graph the results of the X-Ray Diffraction on a sample YKC-3

3. Scanning Electron Microscope (SEM) The Analysis of SEM (Scanning Electron Microscope) was used to test the clay mineral content of the sample. Types of minerals have been obtained from XRD analysis. So this analysis gives an overview of the shape of the surface of clay minerals. So that we can know the relationship between surface texture of clay with its geotechnical properties. From the appearance of the SEM, clay texture look less flat and only slightly visible clay structure. They sheet structure of clay mineral cannot be shown due to limitation of SEM apparatus. SEM appearance shows the influence of clay minerals are exposed to water can fill the voids between the

56


GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013 grains in the soil. The more clay mineral content can reduce the value of the coefficient of permeability and prevent the infiltration of leachate into the rocks.

Figure 9. Scanning electron micrograph of YKC-1 sample

Figure 10. Scanning electron micrograph of YKC-2 sample

Figure 11. Scanning electron micrograph of YKC-3 sample

57


GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

CONCLUSION AND RECOMMENDATION The results of geotechnical analysis and mineralogical test based on grain size distribution, the coefficient of permeability, plasticity and consistency, and XRD analysis, showed that all of clay Yogyakarta samples studied in this study are suitable and considered as a landfill liner. Utilization of Yogyakarta clay as a liner would be better if given a higher pressure to make the coefficient of permeability becomes smaller and minimize seepage of leachate. Yogyakarta clays useful as landfill liner can also be used as a substitute or complement of geotextile materials that are more expensive. Compacted clay liner can also be applied to both manufacturing as well as planning a new landfill liner landfill cover to replace the landfill that are not able to accommodate waste.

REFERENCES DITJEN TPTP, DEP. KIMPRASWIL, 2001, Data dan Informasi Umum, Pembangunan Perkotaan dan Perdesaan, Jakarta: Ditjen TPTP, Dep. Kimpraswil. DAMANHURI, E., AND PADMI, T, 2006, Pengelolaan Sampah, Bandung: Institut Teknologi Bandung. DARMASETIAWAN, M., 2004, Sampah dan Sistem Pengelolaannya, Jakarta: Ekamitra Engineering. IKHLAS, 2006, Geologi dan kaitannya terhadap Genesa Pembentukan Kaolin di Gunung Ngampon Desa Margodadi Kecamatan Sayegan Kabupaten Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta, Skripsi S-1 Jurusan Teknik Geologi, UGM, Yogyakarta: Jurusan Teknik Geologi, FT UGM. JICA AND PT. ARCONIN, 2008, Report on Solid Waste Data in Indonesia, JICA and PT. Arconin. MET, AKGÜN AND TÜRKMENOĞLU, 2004, Environmental geological and geotechnical investigations related to the potential use of Ankara clay as a compacted landfill liner material, Turkey, Journal Environmental Geology, Volume 47, Number 2, 225-236 OBRIKE, OSADEBE AND OMONIYI, 2009, Geotechnical analysis of two Nigerian soils for use as clay liners, Bulletin of Engineering Geology and the Environment, Volume 68, Number 3, 2009, p.417-419 SUDJIANTO, A.T., 2008, Perilaku Rembesan Leachate Pada Dasar Clay Liner di LPA Supit Urang Kota Malang, Jurnal Teknik Sipil, Volume 8 No. 2, 2008, p.148 – 158 SIMON, W.A., 2007, Pemrosesan Sampah di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sampah Piyungan Melalui Usaha Daur Ulang dan Pengomposan, Thesis pada Program Studi Teknologi dan Manajemen Lingkungan, ITB, Bandung SNI 13-1990-F, tentang Tata Cara Pengelolaan Teknik Sampah Perkotaan TCHOBANOGLOUS, G, THIESEN, H, AND VIGIL, S, 1993, Integrated Solid Waste Management – Engineering Principles and Management Issues, New York: Mc-Graw Hill Book Co. Inc.

58


GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

SDMGK 3 - ORE AND ALTERATION MINERALOGY OF PANINGKABAN-CIHONJE GOLD PROSPECT, GUMELAR DISTRICT, BANYUMAS REGENCY, CENTRAL JAVA: A NEW DISCOVERY OF CARBONATE BASE METAL GOLD EPITHERMAL DEPOSIT Fahmi Hakim1, Arifudin Idrus1, Jochen Kolb2 & Peter Appel2 1 Department

of Geological Engineering, Gadjah Mada University, Yogyakarta, Indonesia 2Geological Survey of Denmark and Greenland (GEUS)

Diterima tanggal 15 November 2013 Dipresentasikan pada Intenational Conference on Georesources and Geological Engineering, Geological Engineering Dept. Faculty of Engineering Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, tanggal 11 Desember 2013

ABSTRACT The research area is located in Cihonje and Paningkaban Village, Gumelar District, Banyumas Regency, Central Java Province. The research area is found by many artisanal and small-scale gold miners (ASGM) are operating in that area. Based on that, researchers wanted to know the types of deposits that produce gold. In the research area there are several lineament which is estimated a fault line with the relative direction north-south, east-west, northwest-southeast and northeast-southwest. Host rock of the mineralization are turbidite volcaniclastic sedimentary rocks of Miocene Halang Formation, consist of interlayered sandstone and siltstone with occurences of breccia diatreme. There are 3 zones of alteration: chlorite/smectite (sub-propylitic neutral pH) zone, chlorite/smectitequartz-carbonateÂązeolite (sub-propylitic alkaline pH) zone, illite/smectite-dickitecarbonate-quartzÂąchlorite (argillic) zone. Hydrothermal alteration zones that show high mineralization with the set of ore minerals such as native gold, electrum, native silver, chalcopyrite, sphalerite, galena, arsenopyrite, cubanite, and tennantite is generally found in the argillic alteration zone. Hydrothermal structures were identified as en echelon tension gash vein and diatreme breccia. Various types of vein textures are present, such as massive, cockade, banded, bladed carbonate, drussy cavities, and saccharoidal. Something interesting about this study is almost all of gangue minerals present are carbonate and minor quartz with a high grade of gold (until 83 g/t Au). Based on the data and comparison to existing models, it indicates that the ore deposits types present in the research area is typical of low sulphidation epithermal especially carbonate base metal gold mineralization system. Keywords: Alteration, Carbonate, Gold, Basemetal Gold

Low Sulphidation Epithermal, Carbonate

INTRODUCTION The research area is located in Cihonje and Paningkaban Village, Gumelar District, Banyumas Regency, Central Java Province. The research area is located in UTM coordinate: 59


GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013 9179000-9181500 and 278000-281000 (Figure 1). The research area is found by many artisanal and small-scale gold miners (ASGM) are operating in that area. Based on that, researchers wanted to know the types of deposits that produce gold. In this study, there are five (5) analysis method used in the laboratory, the first is petrological observations of handspecimen sample, petrographic analysis of thin section, analysis of ore microscopy (mineragraphy), XRD analysis, and geochemical analysis of ore. The samples were examined in this study amounted to 44 samples for petrographic analysis, 29 samples for ore microscopy analysis, 8 samples for XRD analysis, and 8 samples of ore for geochemical analysis (FA-AAS). Mineralogical analysis such petrography, ore microscopy, and XRD was carried out at Department of Geological Engineering FT-UGM and for geochemical analysis was carried out at Intertek Laboratory, Jakarta.

Figure 1. Index and Topographic Map of Research Area

RESULT AND DISCUSSION Geology In the research area there are several lineament which is estimated a fault line with the relative direction north-south, east-west, northwest-southeast and northeast-southwest. Geological structures that can be identified are joint, left step of strike slip fault, thrust fault, normal fault, and folds (syncline and anticline). Then the rocks in the area of research consists of four main unit of lithologies, from the oldest to youngest are interlayered of sandstone and siltstone, tuff, calcareous sandstone, and limestone. The geological map of research area can be seen in Figure 2.

60


GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

1. Interlayered of Sandstone and Siltstone Unit This rock unit is the oldest the study area. This unit is categorized into the Miocene Halang Formation. This unit have largely been having intense alteration (Fig.3.1). The freshrock has characteristics that are gray, compact like andesite, contain rich of feldspar (Fig.3.2). This rock unit is the hostrock of mineralization. According Djuri, et al. (1996) the age of magmatism was Late Miocene. Meanwhile, according to Kastowo (1975), the age of magmatism was Late Miocene - Early Pliocene. In general, activities of magmatism occurred before the Tapak Formation sedimented in Pliocene. In some location like in center of ASGM area and surrounding area, the rocks have intense alteration from subpropylitic to argillic alteration. The intensity of alteration is likely to vary from strong to weak alteration. Commonly, the rocks with weak alteration found in subpropylitic zones and for strong alteration found in argillic alteration zone (Fig.3.3).

2. Tuff Unit This rock unit is younger than interlayered of sandstone and siltstone unit. This rock unit is categorizes into Upper Miocene of Kumbang Formation. This rock unit was still fresh (Fig.3.4). Tuff was estimated as lithocap of the mineralization process.

3. Calcareous Sandstone Unit This rock unit consist of small amount volcaninc breccia at the bottom and calcareous sandstone at the middle and top. This rock unit is categorizes into Pliocene Tapak Formation. These lithologies are not yet altered.

4. Limestone Unit This rock unit is the youngest of study area. This unit categorizes into Limestone Member of Tapak Formation. This rock unit consist of clastic limestone which had a good karstification. These lithologies are not yet altered too.

61


GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

Figure 2. Geological Map and Profile of Research Area

62


GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

Fig.3.1. Strong Argillic Alteration of Sandstone

Fig.3.2. Fresh Rock of Sandstone

Fig.3.3. Altered Sandstone (Subpropylitic)

Fig.3.4. Fresh Rock of Tuff

Fig.3.5. Dilational Vein showing a paragenetic sequence (Banded-Cockade-Massive-Bladed)

Fig.3.6. Massive Vein Which Rich of Gold, Pyrite, and Base Metal (Sample: PWT-S.1)

Fig.3.7. Bladed Carbonate Texture

Fig.3.8. Tuff Fragment in Diatreme Breccia 63


GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

Alteration Mineralization at study area formed by dilational ore environment as a jog caused by sinistral movement on two strike-slip fault with N-S direction (en echelon vein type). Dilation vein shown by some stage of gangue and vein deposition (Fig.3.5). Alteration that occurs in the study area is divided into 3 main alteration zones are Sub-propylitic (neutral pH) alteration zone, Sub-propylitic (alkaline pH) alteration zone, and Argillic alteration zone. Alteration map and profile of research area can be seen in Figure 4.

1. Sub-propylitic (neutral pH) alteration zone This zone is located on the outermost of the alteration zone. This zone is characterized by a wide distribution and the presence of chlorite-smectite minerals with small amounts of carbonate mienerals (calcite). Hydrothermal fluid dominantly by meteoric water, so the pH was neutralized. Petrographic observations of several thin sections are generally have weak altered. This alteration only change the rock matrix into chlorite-smectite (Fig.6.1). Primary texture of the original rock still visible. There are calcite veins with a thickness about 0.3-1 cm. Ore minerals found in this zone like pyrite and hematite (oxidized mineral).

2. Sub-propylitic (alkaline pH) alteration zone This alteration zone are usually located on the outside of the argillic zone. This zone was characterized by a high amount of alteration minerals such as smectite-chlorite, quartz and carbonate minerals (Fig.6.2) with small amount of zeolite group like heulandite, chabazite, and stilbite/epistilbite (from XRD). The spread of this alteration in the study area is not too large, just at the edge of the argillic alteration zone. The high of pH due to the influence of bicarbonate waters (CO2 -rich water). Generally, the rock in this zone indicated a medium-strong level altered, where the texture, structure and origin of rocks constituent minerals hard to be recognized anymore. In this alteration zones found that the ore minerals like pyrite, marcasite, and hematite (oxidized).

3. Argillic alteration zone This alteration zone characterized by high abundance of clay minerals such as illite/smectite, illite, smectite, and dickite. Carbonate, adularia, quartz and chlorite also frequently be found (Fig.6.3). The early stage of mineralization formed at neutral-high pH characterized by alteration mineralogy such as quartz, chlorite and carbonate, and the late stage characterized by dickite formed by mixing acid sulfate water. From petrographic observations of thin section of the rocks which had argillic alteration characterized by strong altered and pervasive. The original texture and composition of the rock can’t be recognize anymore. There are variety texture and structure of carbonate¹adularia-quartz veins (Fig.6.4) such as massive vein, banded, cockade, bladed carbonate, saccharoidal, comb, drussy cavities, and sheeted vein with thickness about 1-40 cm associated with ore minerals such as pyrite, arsenopyrite, chalcopyrite, sphalerite, galena, native gold native silver, electrum, tennantite, marcasite, cubanite, and covellite. Massive vein contain rich of gold and base metal ore (Fig.3.6), but bladed carbonate just rich in precious metal ore (Fig.3.7). From XRD analysis type of carbonate vein present are calcite, dolomite and ankerite. Diatreme breccia was found near this alteration zone. Diatreme breccia/fluidized breccia in this research area characterized by milled matrix of pyrite and clay with sericite altered. Tuff and accretionary lapili are well milled in fragments composition (Fig.3.8). The term of diatreme breccia is the same with phreatomagmatic breccia (Corbett and Leach, 1998). 64


GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

Figure 4. Alteration Map of Research Area

Figure 5. Alteration Profile of Research Area

65


GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

Figure 6. Petrography Sample

Ore Mineralogy, Ore Geochemistry and Paragenetic Sequence A number of ore minerals found in the observation of polishes sections. The abundance of the ore minerals vary depending on their alteration type and their alteration zone. Argillic zone show high amount of ore mineralization. Ore minerals that can be identified in ore microscopy observations are pyrite (Py), arsenopyrite (Apy), chalcopyrite (Cp), sphalerite (Sph), galena (Gn), native gold (Au), native silver (Ag), electrum (El), tennantite (Ten), marcasite (Mrc), cubanite (Cub), and hematite (Hem), covellite (Cv) as a supergene ore mineral. From the microscopic observation was found the presence of copper bearing sulfide minerals such as chalcopyrite, cubanite, and supergene minerals like covellite (Fig.7.1). The presence of chalcopyrite as a exsolution in sphalerite (chalcopyrite disease), seen in sample PWT 18 and PWT 12, indicates that the deposit are formed at relatively high temperature (~≼ 300ºC). The first stage of ore mineralization is the presence of pyrite and arsenopyrite which an euhedral texture. Euhedral texture of arsenopyrite showing that arsenopyrite formed early at stage 2 until stage 3 and then followed by 66


GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013 deposition of base metal (galena and sphalerite) ore which associated with gold and copper sulphide. Visible gold is present as free gold in ore microscopy samples of PWT 18, PWT 12 and the high amount of gold seen in PWT-S1 (Fig.7.2). The late stage of mineralization characterized by hematite as supergene/oxidized mineral (Fig.7.4). The paragenetic sequence of ore mineralization can be seen in Table 1. From data FA-AAS in several vein, vein in Stage 3.2 has the highest base metal / precious metal content. The highest grade of gold was 83 ppm and silver was 114 ppm in PWT-12 (Table 2) Grade of gold and silver is not too much different. The grade of base metal especially Pb and Zn also high too. From the gangue mineralogy, ore mineralogy and ore geochemistry analysis and then compared with existing models (Figure 8) the deposit were present in the study area is typical of carbonate base metal gold epithermal system. The term of carbonate base metal gold refers to Corbett (1998, 2004, and 2005).

Figure 7. Ore Microscopy Sample

67


GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

Table 1. Paragenetic Sequence of Mineralization at Study Area

Table 2. Geochemical Ore of Several Samples ELEMENTS PWT.12 PWT.19 PWT.20 PWT.F.1 PWT.7.B PWT.8 PWT.9 PWT.3.A

68

Au Cu Pb Zn Ag As VeinTexture Stage PPM % % % PPM % 83 0.39 8.79 6.55 114 0.06 Massive 3.2 29.4 0.16 1.46 3.63 34 0.05 Massive 3.2 0.696 <0.01 0.16 0.16 <5 0.22 Banded 3.1 0.091 <0.01 0.02 0.02 <5 <0.01 Disseminated 6.28 0.45 3.04 1.75 65 0.08 Bladed 3.2 3.89 0.02 0.24 0.14 8 0.03 Sheeted 3.2 13.1 0.02 0.29 0.56 10 0.01 Sheeted 3.2 0.992 <0.01 <0.01 <0.01 <5 0.01 Banded 3.1


GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

Figure 8. Carbonate Base Metal Gold Style (Corbett, 2004)

CONCLUSION Host rock of the mineralization are turbidite volcaniclastic sedimentary rocks of Miocene Halang Formation, consist of interlayered sandstone and siltstone with occurences of diatreme breccia. Mineralization at study area formed by dilational ore environment as a jog caused by sinistral movement on two strike-slip fault with N-S direction (en echelon vein type). There are 3 zones of alteration: chlorite/smectite (sub-propylitic neutral pH) zone, chlorite/smectite-quartz-carbonate±zeolite (sub-propylitic alkaline pH) zone, illite/smectite-dickite-carbonate-quartz±chlorite (argillic) zone. Hydrothermal alteration zones that show high mineralization with the set of ore minerals such as native gold, electrum, native silver, chalcopyrite, sphalerite, galena, arsenopyrite, cubanite, and tennantite is generally found in the argillic alteration zone. Hydrothermal structures were identified as en echelon tension gash vein and diatreme breccia. Various types of vein textures are present, such as massive, cockade, banded, bladed carbonate, drussy cavities and saccharoidal. Something interesting about this study is almost all of gangue minerals present are carbonate (calcite, dolomite, ankerite) and minor quartz with high grade of gold (until 83 g/t Au). The Mineralization of gold and base metal most frequently found in stage 3 especially in massive and bladed vein texture. of sulfide Based on the data and comparison to existing models, it indicates that the ore deposits types present in the research area is typical of low sulphidation epithermal especially carbonate base metal gold mineralization system.

REFERENCES CORBETT, G.J., 2004. Epithermal and porphyry gold – geological models. Proceedings PACRIM Congress 2004, Adelaide. pp. 15-23. CORBETT, G.J., 2005. Epithermal Au-Ag deposit types – implications for exploration: Proexplo Conference Peru May 2005, published on CD.

69


GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013 CORBETT, G.J., DAN LEACH, T.M., 1998. Southwest Pasific Rim Gold-Copper Systems: Structure, Alteration, and Mineralization. Colorado: Bookcrafters. DJURI, M., SAMODRA, H., AMIN T.C., AND GAFOER, S., 1996. Geological Map Sheet of PurwokertoTegal, scale 1:100.000. Centre of Geological Research and Development, Bandung. KASTOWO, 1975. Geological Map Sheet of Majenang, scale 1:100.000. Centre of Geological Research and Development, Bandung.

70


GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

SDMGK 4 - ORE AND ALTERATION MINERALOGY OF MUARA BUNGO GOLD PROSPECT, JAMBI PROVINCE: IMPLICATION FOR DEPOSIT GENESIS Fahmi HAKIM1, Arifudin IDRUS1 & Indra SANJAYA2 1 Department

of Geological Engineering, Gadjah Mada University, Yogyakarta, Indonesia of Geological Engineering, Diponegoro University, Semarang, Indonesia

2Department

Diterima tanggal 15 November 2013 Dipresentasikan pada Intenational Conference on Georesources and Geological Engineering, Geological Engineering Dept. Faculty of Engineering Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, tanggal 11 Desember 2013

ABSTRACT The research area is located in Pelepat area, Muara Bungo regency, Jambi province. The research area is found by many artisanal and small-scale gold miners (ASGM) are operating in several mainly river in that area. Based on that, researchers wanted to know the types of deposits that produce gold. In the research area there are several lineament which is estimated a fault line with the relative direction northwest-southeast and from that, most of major rivers in the study area has a relatively northwest-southeast direction like a Tengkulak river. The research area composed by two lithological units. There are diorite and andesite intrusions units. Rocks that were around the andesite intrusion zone generally altered and having mineralization. From the field study, there are 3 zones of alteration: propylitic, argillic, and phyllic. Mineralogy analysis included the observation petrology of handspecimen samples, petrographic analysis of the thin section and ore microscopy (mineragraphy) for polished section. From petrographic observations in some samples, the type of alteration found in the study area can be divided into three: the propylitic, argillic and phyllic alterations. There are also found alteration, which leads to transitional phyllic to potassic alteration. Hydrothermal alteration zones that show high copper-gold ore mineralization is generally found in the phyllic alteration zone. Vein structures were identified as stockwork and stringers. Various types of veins are present, such as D vein (dominant), a bit of C and M vein type. Something interesting about this study is the discovery of some hydrothermal alteration mineral assemblage mainly phyllic and transition to potassic (secondary biotite) and the set of sulfide minerals such as chalcopyrite, bornite, digenite, and oxide mineral such as magnetite (high temperature (~≥ 400°C). It indicates that the ore deposit types present in the study area is typical of porphyry Cu-Au deposit. Keywords: Mineralization, Copper-gold ore, Phyllic to potassic alteration, Porphyry CuAu, Muara Bungo.

INTRODUCTION The research area is located in Pelepat area, Muara Bungo regency, Jambi province.The study area which are along the Tengkulak River can be categorized into hilly cut sharp/steep in morphological unit’s (Figure 1). This unit have slope beetween 56 to 140%. (Van Zuidam, 1985). The research area was found by many artisanal and small-scale gold miners (ASGM) were operating in several mainly river in that area. Pohan (2005) reported that the area have an indication and potency of gold deposit such as Gambir river,

71


GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013 Mangkuang River, Tambangcucur and Benit River. Based on that, Researchers wanted to know the types of deposits that produce gold.

Figure 2. Index and Topographic Map of Study Area

METHODS OF RESEARCH The research method is divided into two stages. The stages include field work and laboratory analysis. The field work includes detailed geological mapping, alteration mapping and systematic sampling from surface rock. There are three (3) mineralogical analysis method used in the laboratory, the first is petrological observations of handspecimen sample, petrographic analysis of thin section observations for identifier of alteration minerals and analysis of ore microscopy (mineragraphy) to determine the types of ore mineralogy and its paraganesis. Mineralogical analysis was carried out at the Laboratory of Mineral Resources, Department of Geological Engineering, Gadjah Mada University. The samples were examined in this study amounted to 16 samples for petrography analysis and 20 samples for ore microscopy analysis. This method can provide initial conclusions about the type of deposits that exist in this research area.

RESULT AND DISCUSSION In the research area there are several lineament which is estimated a fault line with the relative direction northwest-southeast and from that, most of major rivers in the study area has a relatively northwest-southeast direction like a Tengkulak river. Then the rocks in the area of research consist of two main lithologies, the first is a diorite unit and andesite intrusion unit is younger (Figure 2). The diorite unit is occupying about 80% of the study area. Diorite rocks in the target area have largely been having intense alteration Commonly, diorite with weak alteration found in propylitic zones and for strong alteration found in argillic and phyllic alteration zone. The andesite unit has a less extensive than diorite, which is about 20% in the research area. Andesite outcrops found in the center of the research area and it’s in the 72


GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

mineralization zone. Alteration that develops in these lithologies is propylitic, argillic and phyllic.

Figure 2. Geological Map of Study Area

Figure 3. a. Diorite with strong alteration b. Diorit with weak alteration c. Andesite intrusion which cut diorite in PS-11 d. Andesit intrusion which cut diorite in PS-14

73


GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013 The rocks in the research area had varying intensity of alteration from weak to strong (total) and pervasive. (Figure 3). The research area is divided into 3 zones of alteration: propylitic, argillic, and phyllic (Figure 4). Propylitic alteration zone is located on the outside of the phyllic alteration zone. This zone is characterized by a wide distribution and the presence of aggregate minerals like epidote, chlorite and a little of sericite quartz, and carbonate mienerals (calcite). Petrographic observations of several thin sections are generally have medium to strong altered and pervasive. It was difficult to know primary texture of the original rock, because the primary mineral is transformed into secondary minerals such as opaque minerals, epidote, chlorite, sericite, calcite, and quartz with crystal size <0.03-4 mm (Figure 5a). There are calcite veins with a thickness about 0.3-1 mm. Key mineral of propylitic alteration zones are chlorite and epidote which is always present and is observed from petrographic observation. Sericite sometimes present but not abundant. In this alteration zones found that the presence of fine grain pyrite and a little chalcopyrite.

Figure 4. Alteration Map of Study Area

Argillic alteration zone is characterized by the presence of clay minerals are abundant such as kaolinite, smectite and illite. The spread of argillic alteration in the study area is not too large and is local only. In the study area, argillic alteration found in Tengkulak river that are fault zones or lineaments. Generally, the rock which have argillic alteration indicate a very strong level altered, where the texture, structure and origin of rocks constituent minerals can’t be recognized anymore (figure 5b). In this alteration zones found that the presence of fine grain pyrite.

74


GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013 Whereas the phyllic alteration characterized by the presence of a relatively abundant sericite, pyrite, quartz and minor minerals such as chlorite, illite and rutile (Beane and Titley, 1981). This alteration zone is usually located on the outside of the potassic zone. In the research area of alteration is found in locations with very high fracture intensity (look map of alteration). Mostly rocks which altered to phyllic alteration have quartz-vein stockworking. The appearance of detail obtained from petrographic observations where the thin seciton of the rocks which had phyllic alteration have characteristics altered to pervasive and powerful, it does not show the original texture of the rock and it’s composed of secondary minerals such as sericite, quartz, clay minerals, opaque (pyrite), and a little epidote and chlorite with crystal size are about <0.03-1 mm (Figure 5c). There are quartz veins and ore with the thickness are 0.03-1 mm, and there are intersecting. Sulphide minerals that were found are pyrite and chalcopyrite. Oxide mineral like magnetite and hematite were found too. There are uniqueness to the PS10 sample, that showing potassic alteration direction, it is characterized by the discovery of secondary minerals such as ortochlase (K-feldspar) and secondary biotite (Figure 5d) with a little sulphide mineral like bornite and digenite (Figure 6a).

Figure 5. Petrography Sample

75


GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013 A number of ore minerals found in the observation of polishes sections. The abundance of the ore minerals vary depending on their alteration type and their alteration zone. Ore minerals that can be identified in ore microscopy observations are chalcopyrite (Cp), pyrite (Py), magnetite (Mag), hematite (Hem), malachite (Mal), covellite (Cv), digenite (Dg), bornite (Bn), gold (Au), and ilmenite (Ilm). From the microscopic observation was found the presence of copper bearing sulfide minerals such as chalcopyrite, bornite, digenite (Figure 6a) and supergene minerals like covellite (Figure 6b). The presence of chalcopyrite and bornite (even though rarely) in the samples, indicated that the deposit are formed at relatively high temperature (~≼ 400ºC). Generally, these sulfide minerals present in the phyllic alteration zone to potassic. Vein structures were identified as stockwork and stringers. Various types of veins are present, such as D vein (disseminated pyrite dominant), a bit of C (chalcopyrite) and M (magnetite) vein type. The sulphide mineral are chalcopyrite, bornite, digenite, and oxide mineral are magnetite and hematite. It indicates that the ore deposit types present in the study area is typical of porphyry CuAu deposit. Visible gold is present as free gold in ore microscopy samples of PS-14 (Figure 6c). Detailed exploration including systematic drilling, detailed subsurface geophysical surveys, and ore geochemical surveys are needed to determine the model of deposit type. Calculation and evaluation of detailed exploration will determine whether this type of deposit to be mined economically or not.

Figure 6. Ore Microscopy Sample

76


GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

CONCLUSION The rocks in the area of research consists intrusive igneous rocks such as diorite and andesite. Both of them were altered and mineralized. The type of alteration in this study area is divided into 3 zones: argillic, propylitic and phyllic zone. Several sample show phyllic transition to potassic alteration which the presence of alteration minerals such as secondary biotite and k-feldspar. It is also found hipogen ore minerals such as bornite, chalcopyrite, digenite and magnetite, that indicates formed at high temperature (~≼ 400°C). Vein structures were identified as stockwork and stringers. Various types of vein are present, such as D vein (disseminated pyrite dominant), a bit of C vein (chalcopyrite) and M vein (magnetite). Based on the data above, it can be concluded that the type of ore deposit were present in the study area is typical of porphyry Cu-Au deposit.

REFERENCES BEANE, R.E., TITLEY, S.R., 1981, Porphyry Copper Deposit, Part II: Hydrothermal Alteration and Mineralization, Economic Geology, 75th Anniversary Volume, p. 235-269. EVANS, A. M., 1993, Ore Geology and Industrial Mineral. 3rd Edition, Blackwell Scientific Publication, London. POHAN, M.P., 2005, Pendataan dan Evaluasi Bahan Galian Pada Bekas Tambang dan Wilayah Peti Di Daerah Kabupaten Bungo, Provinsi Jambi, Kolokium Hasil Lapangan, ESDM. VAN ZUIDAM, R.A., 1985, Aerial Photo- Interpretation in Terrain Analysis and Geomorphologic Mapping, ITC, Enschede, The Netherlands.

77


GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

78


GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

GL 1 - COMMUNITY EMPOWERMENT PROGRAM OF LANDSLIDE HAZARD IN SEPANJANG VILLAGE Erwandi YANTO, Arkanu ANDARU, RUDIANTO, I Gde Budi INDRAWAN, and Wahyu WILOPO Geological Engineering Department, Universitas Gadjah Mada, Indonesia Diterima tanggal 15 November 2013 Dipresentasikan pada Intenational Conference on Georesources and Geological Engineering, Geological Engineering Dept. Faculty of Engineering Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, tanggal 11 Desember 2013

ABSTRACT Sepanjang village, which is located in Tawangmangu, Central Jawa, Indonesia, is very prone area to landslides. The area is characterized by a steep sloped morphology and a thick residual soil of weathered volcanic and alluvial materials. A community empowerment program has been initiated and implemented to increase the community awareness of and response to the landslide hazard and, therefore, to mitigate the impact of the geological hazard. The program involves multiple stakeholders and includes socialization of the landslide hazard, identifications of landslide zone and evacuation points through mapping, installations of warning signs around high susceptibility landslide areas and installations of evacuation route signs, installations of drainage systems and vegetative slope cover to prevent soil erosion and landslide, and evacuation drills in the events of landslide hazard. The program has led to improvement of the community awareness of and response to the landslide hazard indicated by the improved score of quiz given during the program. A landslide susceptibility zone map has been developed and updated regularly by the local community. Lastly, a landslide hazard response team comprising well-trained villagers and the community leader has been established to monitor regularly the identified landslide zone, to give early warning of landslide hazard, and to provide a fast response in the events of landslide hazard. Key words: community empowerment program, evacuation, hazard response team, landslide.

INTRODUCTION Sepanjang village, which is located in Tawangmangu, Central Jawa, Indonesia, is very prone area to several types of landslides, such as rock fall, debris flow, and debris fall (Fig.1). Loss of live and property repeatedly occurs due to the lack of the awareness and knowledge of the community and local government to the geological hazard. A community empowerment program was initiated and implemented by the students and staff of Universitas Gadjah Mada in early 2013. The objective was to increase the community awareness of and response to the landslide hazard and, therefore, to mitigate the impact of the geological hazard. The program was set to be a multidisciplinary approach, led by students of geological engineering department, and supported by students of various departments, such as medical, agricultural, law, dentistry, forestry, and political departments. This paper describes the successful community empowerment program, which is applicable to other geological hazard-prone areas, particularly in Indonesia.

79


GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

GEOLOGY Sepanjang Village consists mostly of steep slopes, which are covered by a thick residual soil of weathered volcanic and alluvial materials. According to Sampurno dan Samodra (1997), the volcanic materials are of Sidoramping Lava Formation (Qvsl) comprising of porphyritic andesite lava, while the Alluvial deposits (Qlla) consists of andesite, basalt, and small amount of pumice- volcanic sand mixtures. The area is controlled by strike-slip and reverse faults with NW-SE, W-E, and N-S orientations. The faults are hardly exposed due to alteration and soil cover.

Fig.1. Location of Sepanjang Village.

Fig.2. Typical rockfall hazard.

80


GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

LANDSLIDE The types of landslide which often occurs in Sepanjang village are rock fall, debris flow, and debris fall (Dwikorita, 2005). Rock fall often occurs from steep and fracture rock slopes and is triggered by rock mining activities conducted by local community (Fig.2). Debris flow occurs in area with relatively gentler slopes covered by thick residual soils, where the water contents increase significantly during the rainy seasons. Meanwhile, debris slide often occurs after earthquake events. A typical tension crack develops due to the landslide is shown in Fig.3. The landslides have forced the local community to abandon their houses (Fig.4).

Fig. 3. Typical tension crack develops in soil slope.

Fig.4. Typical steep slope and abandoned houses.

COMMUNITY EMPOWERMENT PROGRAM Socialization

The first stage of the implementation of the community empowerment program was to give information related to the program and landslide hazard to the community through socialization.

Fig.5. Public education of landslide hazard Fig.6. Public education of landslide hazard for the adults. for the children through fun games. The socialization was set to be conducted to two main groups of the community, i.e., the adults and children. Separation was needed because the two groups had different levels of understanding and required different approaches. The adults were given a general knowledge related to the landslide (i.e., types, controlling factors, impact, and mitigation of 81


GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013 landslides) in formal and informal forums (Fig.5). The community was given quizzes of general knowledge related to landslide and the mitigation prior to and after the socialization. Meanwhile, the socialization to the children was conducted in schools through various fun games, such as Ular Tangga (snake trails), Tas Siaga Bencana (disaster alert bags), and Kentongan (bamboo drum) (Fig.6).

Mapping of Landslide Susceptibility Areas and Evacuation Routes

As a part of the program, the community, particularly the adults, was given knowledge of basic landslide mapping (Fig.7). The knowledge included how to read the map contour, how to understand the map legend, and how to develop a map of areas susceptible to landslide hazard.

Fig. 7. Public education of basic mapping of landslide susceptibility. Subsequently, the community was trained to develop landslide zoning in the village based on the susceptibility levels (Fig.8). The lowest susceptibility zones were marked in green, the moderate susceptibility zones were marked in yellow, while the highest susceptibility zones were marked in red. The green zone was generally characterized by gentle slopes (< 30ยบ ), a less than 2 m thick soil cover, and a dense vegetation with strong roots. The yellow zone was characterized by moderate slopes (30ยบ-45ยบ), less vegetation, soil cracks, and various symptomps of landslide, such as slope creeping and seepage. The red zone was characterized by steep slopes (> 45ยบ ) and frequent events of small scale landslides. In addition, the landslide symptoms in the red zone, such as slope creeping and slumping, and cracks in house walls, were more severe than those in the yellow zone.

82


GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

Fig.8. Landslide susceptibility map developed during the program. In addition to the mapping of the landslide prone areas, the community was also trained to determine evacuation routes and points. The maps of landslide susceptibility and evacuation routes were updated regularly following regular monitoring of the village. Upon completion of the mapping, landslide warning and evacuation route signs were installed at several points in the village to always remind the community of the potential hazard and evacuation routes in the events of disaster (Fig.9).

83


GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

Fig.9. Installation of landslide warning sign by the local community. Installation of Drainage System and Slope plantation

Installation of drainage system and slope plantation were conducted by the local community during the program. One of the controling factors of debris flow or landslide is the increase of soil water content and sebsequent reduction of soil strength. The increase in soil water content can be controlled by installing a drainage system. In addition, vegetation also remove soil water through transpiration process. The vegetation roots may enhance mechanically the soil slope stability by anchoring the unstable surficial soil into the deeper stable layer or bedrock (Mattia et al., 2005).

Disaster Response Team and Evacuation Drill In addition to increase the community awareness of the landslide hazard, the objective of the community empowerment program was to enable the community to independently respond to the landslide hazard. A landslide hazard response team was then established to monitor regularly the identified landslide zones, to give early warning of landslide hazard, and to provide fast response in the events of landslide hazard. The team, which was essentially representative of the National Disaster Management Agency, was led by the community leader and comprised of well-trained villagers, where each of them had a specific job and responsibility.

Fig.10. Medical response team helping the survivors during the evacuation drill.

84


GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013 An evacuation drill was conducted to enable the community to be ready physically and mentally in the event of emergency due to the landslide disaster (Fig.10). During the drill, the community was evacuated through the evacuation routes to the predetermined evacuation points. The medical team of the disaster response team was trained by medical staff from a local hospital to help the survivors. While some pre-selected members of the response team evacuated the community to the evacuation points, other members, which were supported by the community living in unaffected areas, provided logistics.

CONCLUSION The relatively high level of community participation, the improved score of quizzes given after the socialization, the ability to identify symptoms of landslide and to develop maps of landslide susceptibility areas and evacuation routes, as well as the update, and the establishment of the disaster response team were positive indicators of the success of the implemented community empowerment program, which was expected to increase the community awareness of and response to the landslide hazard and, therefore, to mitigate the impact of the geological hazard. To date, the program has been continuously and closely monitored to ensure the sustainability of the implemented program. Fortunately, rock falls, which were often triggered by mining activities, have not been occurred since the implementation of the program. The number of debris flow occurrence has reduced significantly most likely due to installation of drainage system and soil slope plantation, which limits the increase in soil water content and subsequent the reduction of soil strength.

REFERENCES MATTIA, C., BISHETTI, G., AND GENTILE, F. 2005. Biotechnical characteristics of root systems of typical Mediterranean species. Plant and Soil, 278(1), pp. 23-32. KARNAWATI, D. 2005. Bencana Alam Gerakan Massa Tanah di Indonesia dan Upaya Penanggulangannya., Jurusan Teknik Geologi Fakultas Teknik UGM, Yogyakarta. SAMPURNO DAN SAMODRA, H. 1997. Peta Geologi Lembar Ponorogo-Jawa Edisi Kedua, Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Bandung.

85


GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

86


GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

GL 2 - GEOLOGICAL DISASTER MITIGATION, EARLY WARNING SYSTEM LANDSLIDE DISASTER, AUTO SOIL THE TRANSMISSION SHIFTS DETECTOR WIRELESS Alfredo Di STEFANO1*, Anarita WIDYANINGRUM1, Muhammad Faqih ALFYAN1 , Aditya Sapta NUGRAHA2 1

Geological Engineering, Faculty of Engineering, Gadjah Mada University Engineering, Faculty of Engineering, Gadjah Mada University *Corresponding author : alfredodstefano@yahoo.com

2Electrical

Diterima tanggal 15 November 2013 Dipresentasikan pada Seminar Nasional Kebumian ke-6 Jurusan Teknik Geologi Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, tanggal 11 Desember 2013

ABSTRAK Saat ini, Internet menjadi salah satu kebutuhan utama masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, akan lebih baik apabila internet dapat dikembangkan menjadi komponen penting dalam mitigasi bencana. Indonesia memiliki banyak daerah yang berpotensi mengalami longsor. Tanah longsor dari tahun ke tahun selalu merugikan bagi masyarakat, baik dari segi material dan immaterial. Hal ini dapat dicegah dengan membuat sistem peringatan dini dengan teknologi berbasis internet. Sistem peringatan dini juga dapat mendidik masyarakat dengan cara melibatkan masyarakat dalam mengembangkan sistem peringatan dini. Secara umum, metode yang digunakan adalah tahap lapangan dan tahap bengkel. Observasi lapangan adalah untuk mengetahui kondisi geologi termasuk geomorfologi, kemiringan dan tata guna lahan. Sedangkan tahap bengkel adalah pembuatan alat dan simulasi. Konsep sistem peringatan dini adalah dengan menggunakan potensiometer sebagai Sensor Mekanik dan Tiltmeter untuk sensor kemiringan. Sensor mekanik memiliki tuas penarik kawat yang ditanam pada kedalaman tertentu. Ketika terjadi gerakan tanah, tuas penarik kawat akan tertarik dan akan diubah menjadi tegangan oleh sensor potensiometer . Sementara tilt sensor bekerja ketika ada perubahan dalam kemiringan lokasi pemasangan detektor dibuat dan dibaca dalam Minimum Sistem Pengolahan Data ATMEGA 32 sebagai menentukan apakah tanah dianggap sebagai suatu kegiatan atau tanah longsor. Setiap data yang disimpan MMC (Memory Card Micro). Jika gerakan tanah dianggap sebagai tanah longsor, sirene akan diaktifkan dan modul Wireless Xbee Pro 900 XSC Prima akan mengirim pesan melalui internet ke lokasi sekitar bencana sehingga masyarakat memiliki waktu untuk mengungsi. Kata kunci : Tanah Wireless

Longsor , Potensiometer , Sistem Minimum ATMEGA 32 ,

PENDAHULUAN Gerakan tanah atau yang dikenal dengan tanah longsor adalah salah satu peristiwa geologi berupa pergerakan massa/tubuh tanah dengan berbagai jenis gerakan. Gerakan tanah ini dipengaruhi oleh dua faktor utama yaitu gaya penahan dan gaya pendorong. Gaya penahan berkaitan dengan kepadatan tanah dan kekuatan batuan. Sedangkan gaya pendorong berkaitan dengan kandungan air dalam tanah, sudut kelerengan, beban dan densitas tanah atau batuan. Apabila gaya pendorong lebih besar dibandingkan dengan gaya penahan, 87


GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013 maka akan terjadi ketidakseimbangan sehingga dapat menyebabkan gerakan tanah atau tanah longsor. Terjadinya tanah longsor dapat dipicu oleh beberapa hal seperti tingginya curah hujan, kemiringan lereng yang terjal, tanah yang kurang padat, batuan dasar yang tidak terlalu kuat, tata guna lahan, getaran, pengikisan atau erosi dan penambahan beban. Indonesia memiliki karakteristik daerah yang didominasi oleh topografi tinggian dan rendahan, curah hujan yang tinggi dan berada pada jalur cincin api (ring of fire). Beberapa hal tersebut menjadikan Indonesia rentan terhadap bencana tanah longsor. Telah tercatat bahwa Indonesia memiliki kurang lebih 918 lokasi rawan bencana tanah longsor yang mengancam kehidupan manusia serta kerugian material yang tidak sedikit. Sampai saat ini juga masih banyak kejadian tanah longsor yang menelan banyak korban jiwa. Intensitas bencana longsor pun semakin meningkat dari tahun ke tahun dengan sebaran luas wilayah yang juga semakin meningkat. Hal itu disebabkan karena sekitar 60% daratan di wilayah Indonesia merupakan daerah rentan longsor dan daerah yang rentan longsor tersebut terus menerus mendapat gangguan untuk pembangunan yang kurang berwawasan lingkungan (BNPB, 2011). Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi pada masa kini terutama dalam bidang komunikasi berkembang begitu pesat. Salah satu contoh adalah perkembangan internet dan teknologi wireless yang saat ini telah lazim digunakan oleh masyarakat luas. Di masa depan, teknologi ini akan menjadi kebutuhan standar seiring dengan perkembangan teknologi yang lain di masa mendatang. Dengan begitu, pemanfaatan internet dan wireless dapat diaplikasikan ke dalam berbagai bidang seperti peringatan dini tanah longsor seperti yang dibahas dalam gagasan ini. Terlebih Indonesia mencanangkan diri menjadi cyber country pada tahun 2030, dimana seluruh kawasan di Indonesia telah memiliki akses internet wifi, (Menkominfo, 2012). Gagasan ini diangkat sebagai salah satu upaya optimistik dan visioner yakni dengan memanfaatkan teknologi semaksimal mungkin demi kebermanfaatan masyarakat Indonesia. Dengan semakin majunya teknologi dan ilmu pengetahuan dalam pemanfaatannya, gagasan ini akhirnya diangkat. Selain itu, gagasan ini diharapkan mampu stimulus seluruh masyarakat Indonesia khususnya para pemuda dan pemudi untuk terus mengembangkan inovasinya di bidang teknologi. Tidak hanya di bidang mitigasi bencana, gagasan ini diharapkan mampu menjadi semangat untuk pengembangan teknologi di bidang lainnya. Pengembangan teknologi dalam bidang bidang mitigasi bencana akan difokuskan kepada tanah longsor. Untuk mengurangi dampak negatif tanah longsor yang ditimbulkan baik berupa kerugian secara material maupun korban jiwa, maka diperlukan suatu alat yang secara otomatis memberikan tanda atau sinyal jika akan terjadi bencana tanah longsor. Alat tersebut dapat memberikan peringatan dini sehingga masyarakat dapat melakukan evakuasi dini untuk menghindari daerah yang rentan terjadi bencana tanah longsor. Dengan sistem peringatan dini yang bekerja secara otomatis tersebut diharapkan dapat mencegah adanya korban jiwa maupun kerugian material akibat bencana tanah longsor. Dengan menggunakan detektor pergeseran tanah otomatis yang menggunakan sistem peringatan melalui transmisi wireless dan internet, diharapkan bencana tanah longsor dapat dihindari lebih dini dan menjadi solusi tepat pengembangan alat deteksi dini tanah longsor.

TINJAUAN PUSTAKA Geologi dan Gerakan Tanah Longsor adalah salah satu jenis gerakan tanah. Berdasarkan hasil pengamatan lapangan serta kajian pada beberapa teori gerakan tanah. Gerakan tanah merupakan suatu gerakan 88


GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013 menuruni lereng oleh massa tanah atau batuan penyusun lereng, akibat dari terganggunya kestabilan tanah atau batun penyusun lereng tersebut.

Proses Terjadinya Gerakan Tanah Gerakan tanah merupakan salah satu proses geologi yang terjadi akibat interaksi pengaruh antara beberapa kondisi yang meliputi kondisi morfologi, geologi, struktur geologi, hidrogeologi dan tata guna lahan. Kondisi-kondisi tersebut saling berpengaruh sehingga mewujudkan suatu kondisi lereng yang cenderung atau berpotensi untuk bergerak, namun belum mengalami pergerrakan. Lereng yang dikategorikan sebagai lereng yang rentan bergerak merupakan suatu lereng dengan massa tanah atau batuan panyusun yang sudah siap untuk bergerak, namun belum dipastikan kapan gerakan itu akan terjadi (gambar 1) Berikut skema tahapan terjadinya gerakan tanah :

Gambar 1 : Proses terjadinya gerakan tanah dan komponen-komponen penyebabnya (Karnawati, 2005) Gerakan pada lereng baru benar-benar dapat terjadi apabila terdapat pemicu gerakan. Pemicu gerakan tersebut berupa proses-proses alamiah ataupun non alamiah yang dapat merubah kondisi lereng yang semula siap bergerak menjadi mulai bergerak. Pemicu tersebut umumnya berupa hujan, getaran-getaran ataupun aktivitas manusia pada lereng, seperti penggalian, pemotongan, pembebanan berlebilah ataupun proses masuknya air ke dalam lereng melalui kebocoran pada saluran atau kolam dan sebagainya.

Pemicu Gerakan Tanah Gangguan yang merupakan pemicu gerakan tahan merupakan proses alamiah atau non alamiah ataupun kombinasi keduanya, yang secara aktif mempercepat proses hilangnya kestabilan pada suatu lereng. Secara umum gangguan yang memibu gerakan tanah dapat berupa : hujan, getaran, aktivitas manusia Hujan merupakan pemicu yang bersifat alamiah, getaran-getaran dapat bersifat alamiah (misalnya gempa bumi) ataupun non alamiah (misalnya ledakan atau getaran lalu lintas). Aktivitas manusia seperti penggalian atau pemotongan pada lereng dan pembebanan merupakan pemicu yang bersifat non alamiah.

89


GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

KOMPONEN ALAT Secara garis besar perangkat keras (gambar 2) maupun lunak dari komponen alat antara lain: 1. Modul detektor longsor 2. Sirine mini 3. Program komputer berbahasa C untuk monitoring retakan tanah dan kemiringan dengan peringatan dini sirine dan pengirim data wireless

Gambar 2 : Perangkat Keras Sistem Peringatan Dini Sementara itu, program dan situs untuk data logging di website sedang dalam proses pengembangan. Sistem yang sudah dikembangkan terdiri dari:

1.

Sensor Jarak

Sensor jarak untuk pengukuran rekahan tanah adalah potensiometer sebagai pembagi tegangan. Potensiometer yang digunakan berdimensi panjang 8 cm, sehinga bisa mengukur jarak 0-8 cm dengan error sebesar 3,7% (hasil pengamatan data kalibrasi). Dengan pemanfaatan ADC (Analog to Digital Converter) pada mikrokontroller yang dipakai, data analog berupa jarak 0-8 cm ini bisa dikonversi ke data digital 8-bit menjadi 0-1011. Data inilah yang akan diproses pada mikrokontroler. Ketidaklinearan hubungan jarak dengan nilai ADC diatasi dapat diatasi dengan penghitungan rumus persamaan hubungan tidak linear dengan pendekatan regresi pangkat dua. Dimana untuk potensiometer yang dipakai diperoleh hubungan (gambar 3) :

r = jarak rekahan; X = nilai digital pembacaan potensiometer

2.

Sensor Kemiringan

Sensor kemiringan digunakan untuk pendeteksian gejala longsor di samping rekahan tanah, yaitu amblasnya tanah. Untuk sementara ini sensor kemiringan yang digunakan adalah simple tilt meter berbasis air raksa. Sensor kemiringan ini akan aktif jika badan sensor miring, tanpa bisa diakses besaran derajat kemiringannya. Pengaturan derajat pemicu aktifnya sensor 90


GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013 dilakukan secara mekanis yaitu dengan pengaturan kemiringan pemasangan sensor pada badan perangkat. Kedepannya akan dikembangkan accelerometer dan atau gyrometer sebagai sensor kemiringan. Dengan sensor jenis ini, data derajat kemiringan dapat dibaca dan diolah dengan mikrokontroler. (Gambar 3a)

3. Main Board Mainboard yang digunakan adalah modul keluaran dari Arduino berbasis mikrokontroler ATMEGA 328. Dengan fitur ADC, pin I/O dan kapasitas program yang ada, modul mikrokontroler ini sudah mencukupi untuk digunakan sebagai pusat pengolah data (gambar 3b).

4. Media Komunikasi XBee Wireless Communication Module (chip antenna) XB24-ACI-001 adalah salah satu varian dari modul wireless yang dikembangkan oleh Neo Robotics dengan fitur yang cukup lengkap. Suatu informasi berupa data dalam bentuk tulisan, suara atau paket data dapat dikirim menggunakan media modul wireless ini yang nantinya akan memberikan informasi kepada masyarakat terkait dengan bencana tanah longsor yang akan terjadi. Modul ini mendukung kecepatan data hingga 115kbps. Ini memiliki berbagai ruangan dari 30 meter dan outdoor RF line-of-sight jarak hingga 100 meter. (Gambar 3c)

5. Antar-Muka Untuk antarmuka, digunakan sebuah LCD dot-matrix 16x2 dan keypad dengan 6 tombol. Antar-muka ini sebagai media bantu untuk pengembangan perangkat dan pembantu pada setting perangkat ketika alat ini diaplikasikan. Selebihnya pada kondisi perangkat standby, unti antar muka ini akan dinonaktifkan karena tidak digunakan(gambar 3d).

A

B

D C Gambar 3 : Pemasangan Simple Tilt Sensor (A); Main Board berbasis ATMEGA328 (B); Modul GSM-GPRS (C); Unit antar muka (D)

KETERCAPAIAN TARGET LUARAN Karena setiap daerah mempunyai kondisi geologi yang berbeda jenis dan kompleksitasnya, standarisasi aplikasi sistem alat ini juga berkesesuaian dengan kondisi geologi daerah yang akan dipasang. 91


GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013 Untuk antarmuka, digunakan sebuah LCD dot-matrix 16x2 dan keypad dengan 6 tombol. Antar-muka ini sebagai media bantu untuk pengembangan perangkat dan pembantu pada setting perangkat ketika alat ini diaplikasikan. Selebihnya pada kondisi perangkat stand-by, unti antar muka ini akan dinonaktifkan karena tidak digunakan(gambar 3d). Untuk antarmuka, digunakan sebuah LCD dot-matrix 16x2 dan keypad dengan 6 tombol. Antar-muka ini sebagai media bantu untuk pengembangan perangkat dan pembantu pada setting perangkat ketika alat ini diaplikasikan. Selebihnya pada kondisi perangkat stand-by, unti antar muka ini akan dinonaktifkan karena tidak digunakan(gambar 3d).

KESIMPULAN Sistem peringatan dini sangat diperlukan untuk menghadapi bencana yang mengancam kehidupan masyarakat. Pada dasarnya, peringatan dini adalah suatu cara untuk memberikan informasi kepada masyarakat dalam bahasa yang mudah dimengerti oleh masyarakat. Keadaan kritis, waktu yang sempit dan keselamatan masyarakat merupakan hal-hal yang membutuhkan peringatan dini. Dengan adanya gagasan untuk mengembangkan alat detektor tanah longsor menggunakan transmisi wireless dan internet, diharapkan dapat mengurangi resiko akibat bencana tanah longsor melalui sistem peringatan dini. Sistem peringatan dini yang bekerja pada alat tersebut dapat membantu masyarakat untuk melakukan evakuasi dini sebelum longsor benar-benar terjadi. Kedepannya, Indonesia di masa yang akan datang akan menjadi pilot project dalam hal mitigasi bencana khususnya mitigasi bencana tanah longsor berbasis teknologi.

DAFTAR PUSTAKA ABRAMSON L.W, LOE T. SI., SHARMA S., DAN BOYCE G.M. 1996. Slope Stability and Stabilization Methods, John Wiley & Sons, New York. CLAYTON, C.R.I, MATTHEWS, M.C. DAN SIMONS, N.E. 1995. The Site Investigation, Second Edition, Blackwell Science. FATHANI, T.F. AND NAKAMURA, H. 2005. A new method for Estimating the Shear Stength parameters at the Critical Slip Surface. Journal of the Japan landslide Society. Vol.42, No.2. 159-168. JAPAN LANDSLIDE SOCIETY. 1996. Landslides in Japan (The Fifth Revision)-National Conference of Landslide Control KARNAWATI, D. 2005. Bencana alam Gerakan Massa Tanah di Indonesia dan Upaya Penanggulangannya. Yogyakarta : Jurusan Teknik Geologi FT UGM. KARNAWATI, D. DAN FATHANI, T.F. 2001. Pemasangan dan Sosialisasi Sistem Peringatan Dini Bencana Alam Bagi Upaya Perlindungan Lingkungan Hidup di Kabupaten Banjarnegara dan Kabupaten Situbondo. Laporan Akhir. Tanah Longsor di Ambon, 4 Orang Tewas. Kompas. http://regional.kompas.com/read/2011/07/31/13065322/Tanah.Longsor.di.Ambon.4. Orang.Tewas

92


GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

GL 3 - EARLY WARNING SYSTEM BENCANA TANAH LONGSOR, DETEKTOR PERGESERAN TANAH OTOMATIS BERBASIS EKSTENSOMETER, MIKROKONTROLER DAN SISTEM PERINGATAN SMS Alfredo Di Stefano1*, Ahmad Zakariya Al Ansori1, Astika Prassidha1, Aditya Sapta Nugraha2, Anita Purba Nilam Hapsari2, Wawan Budianta1 1Jurusan

Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada Teknik Elektro, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada *Corresponding author : alfredodstefano@yahoo.com

2Jurusan

Dipresentasikan pada Pertemuan Ilmiah Tahunan Ikatan Ahli Geologi Indonesia ke-41, Yogyakarta, September 2012 dan memperoleh predikat Best Student Oral Presentation

ABSTRAK Bencana tanah longsor merupakan salah satu bencana yang paling sering terjadi di Indonesia. Intensitas bencana longsor pun semakin meningkat dari tahun ke tahun, dengan sebaran luas wilayah yang juga semakin meningkat. Bencana longsor tersebut memberikan dampak bagi masyarakat, baik berupa kerugian material maupun korban jiwa. Hal ini terjadi akibat kurang optimalnya sistem peringatan dini. Sistem peringatan dini yang selaras dengan pemberdayaan masyarakat merupakan sebuah pilihan bijak yang cukup mendesak untuk diterapkan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk membuat sistem peringatan dini bencana tanah longsor yang juga mengikutsertakan peran masyarakat. Metode yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas tahap lapangan dan tahap bengkel. Tahap lapangan meliputi pengamatan karakteristik kondisi geologi, geomorfologi, kelerengan dan tata guna, sedangkan tahap bengkel berupa pembuatan alat dan simulasi. Konsep sistem peringatan dini ini adalah dengan menggunakan sensor mekanik berupa Ekstensometer dan sensor kemiringan berupa Simple Tilt Sensor di lokasi yang rawan longsor pada kedalaman tertentu. Ekstensometer terdapat kawat penarik tuas yang dikaitkan pada suatu tiang pada kedalaman tertentu sebagai sensor deteksi tanah longsor, sedangkan sensor kemiringan akan bekerja apabila terjadi amblesan pada lokasi pemasangan alat detektor. Apabila terjadi tanah longsor, kawat penarik tuas akan tertarik dan akan ditransformasikan menjadi tegangan oleh sensor potensiometer. Pengolahan data dilakukan di Minimum System ATMEGA 32 sebagai penentu apakah aktivitas tanah dianggap sebagai tanah longsor atau tidak. Setiap data pergeseran tanah disimpan pada media MMC (Micro Memory Card) Storage. Jika aktivitas tanah dianggap sebagai tanah longsor, maka sirine akan diaktifkan dan modul GSM (Global System for Mobile) SIM300C akan diperintahkan untuk mengirim SMS (Short Message Service) kepada Petugas atau Masyarakat sekitar. Kata Kunci : Tanah Longsor, Ekstensometer, Minimum System ATMEGA 32, Sirine, SMS (Short Message Service)

PENDAHULUAN Bencana gerakan massa tanah merupakan salah satu bencana yang paling sering terjadi di Indonesia yang oleh masyarakat umum lebih dikenal sebagai bencana longsor. Bencana tanah longsor terutama terjadi setelah hujan ataupun segera setelah gempabumi terjadi. Intensitas bencana longsor pun semakin meningkat dari tahun ke tahun dengan sebaran luas wilayah yang juga semakin meningkat. Hal itu disebabkan karena sekitar 60% 93


GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013 daratan di wilayah Indonesia merupakan daerah rentan longsor dan daerah yang rentan longsor tersebut terus menerus mendapat gangguan untuk pembangunan yang kurang berwawasan lingkungan. Sejak 2001 hingga saat ini tercatat telah terjadi lebih dari 45 peristiwa bencana longsor di berbagai daerah yang berbeda dan telah memakan korban meninggal dunia sebanyak 1736 jiwa dan rumah rusak atau tertimbun sebanyak 4064 rumah. Oleh karena itu dibutuhkan upaya untuk meminimalisir resiko yang ditimbulkan oleh bencana tersebut. Sebagai contoh bencana tanah longsor yang terjadi di Indonesia, diantaranya adalah yang terjadi di daerah Ambon pada tanggal 31 Juli 2011 yang memakan korban hingga 4 orang, kemudian di Minahasa pada tanggal 4 September 2011 yang menelan 1 korban. Dan terakhir adalah yang terjadi di daerah Sorong Barat pada tanggal 15 September 2011 yang merenggut 2 orang. (kompas.com, diakses pada tanggal 20 September 2011) Mengapa banyak korban yang jatuh akibat adanya longsor? Hal ini dikarenakan proses tanah longsor tersebut berlangsung secara cepat dan mendadak. Hal ini menyebabkan para korban untuk berlari menyelamatkan diri. Oleh karena itu, diperlukan suatu media atau alat yang dapat mendeteksi lebih dini mengenai adanya kemungkinan bencana tanah longsor. Untuk meminimalisasi jumlah korban ataupun untuk memberikan antisipasi dini terhadap tanah longsor, maka diperlukan alat yang secara otomatis memberikan tanda atau sinyal kepada masyarakat untuk segera melakukan evakuasi dari daerah yang rawan bencana. Otomatisasi alat ini diharapkan agar sebelum bencana tanah longsor tersebut terjadi, masyarakat dapat melakukan penyelamatan terlebih dahulu sehingga tidak menimbulkan korban jiwa maupun kerugian material akibat bencana tersebut. Dengan menggunakan detektor pergeseran tanah otomatis berbasis ekstensiometer, mikrokontroler dan sistem peringatan SMS diharapkan bencana tanah longsor dapat diantisipasi lebih dini dan menjadi pilot project solusi pengembangan alat deteksi dini tanah longsor.

TINJAUAN PUSTAKA Geologi dan Gerakan Tanah Longsoran merupakan salah satu jenis gerakan tanah. Berdasarkan hasil pengamatan lapangan serta kajian pada beberapa teori gerakan tanah (Varnes, 1978) gerakan tanah merupakan suatu gerakan menuruni lereng oleh massa tanah atau batuan penyusun lereng, akibat dari terganggunya kestabilan tanah atau batun penyusun lereng tersebut. Definisi di atas menunjukkan bahwa massa yang bergerak dapat berupa massa tanah, massa batuan ataupun pencampuran antara massa tanah dan batuan penyusun lereng. Apabila massa yang bergerak tersebut didominasi oleh massa tanah dan gerakannya melalui bidang pada lereng, baik berupa bidang miring ataupun lengkung, maka proses pergerakan tersebut diartikan sebagai longsoran tanah. Proses Terjadinya Gerakan Tanah Gerakan tanah merupakan salah satu proses geologi yang terjadi akibat interaksi pengaruh antara beberapa kondisi yang meliputi kondisi morfologi, geologi, struktur geologi, hidrogeologi dan tata guna lahan. Kondisi-kondisi tersebut saling berpengaruh sehingga mewujudkan suatu kondisi lereng yang cenderung atau berpotensi untuk bergerak, namun belum mengalami pergerrakan. Lereng yang dikategorikan sebagai 94


GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013 lereng yang rentan bergerak merupakan suatu lereng dengan massa tanah atau batuan panyusun yang sudah siap untuk bergerak, namun belum dipastikan kapan gerakan itu akan terjadi (gambar 1) Berikut skema tahapan terjadinya gerakan tanah :

Gambar 1 : Proses terjadinya gerakan tanah dan komponen-komponen penyebabnya (Karnawati, 2005) Gerakan pada lereng baru benar-benar dapat terjadi apabila terdapat pemicu gerakan. Pemicu gerakan tersebut berupa proses-proses alamiah ataupun non alamiah yang dapat merubah kondisi lereng yang semula siap bergerak menjadi mulai bergerak. Pemicu tersebut umumnya berupa hujan, getaran-getaran ataupun aktivitas manusia pada lereng , seperti penggalian, pemotongan, pembebanan berlebilah ataupun proses masuknya air ke dalam lereng melalui kebocoran pada saluran atau kolam dan sebagainya. Pemicu Gerakan Tanah Gangguan yang merupakan pemicu gerakan tahan merupakan proses alamiah atau non alamiah ataupun kombinasi keduanya, yang secara aktif mempercepat proses hilangnya kestabilan pada suatu lereng. Secara umum gangguan yang memicu gerakan tanah dapat berupa : hujan, getaran, aktivitas manusia Hujan merupakan pemicu yang bersifat alamiah, getaran-getaran dapat bersifat alamiah (misalnya gempa bumi) ataupun non alamiah (misalnya ledakan atau getaran lalu lintas). Aktivitas manusia seperti penggalian atau pemotongan pada lereng dan pembebanan merupakan pemicu yang bersifat non alamiah.

KOMPONEN ALAT Secara garis besar perangkat keras (gambar 2) maupun lunak dari komponen alat antara lain: 1. Modul detektor longsor 2. Sirine mini 3. Program komputer berbahasa C untuk monitoring retakan tanah dan kemiringan dengan peringatan dini sirine dan SMS

95


GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

Gambar 2 : Perangkat Keras Sistem Peringatan Dini Sementara itu, program dan situs untuk data logging di website sedang dalam proses pengembangan. Sistem yang sudah dikembangkan terdiri dari: 1. Sensor Jarak Sensor jarak untuk pengukuran rekahan tanah adalah potensiometer sebagai pembagi tegangan. Potensiometer yang digunakan berdimensi panjang 8 cm, sehinga bisa mengukur jarak 0-8 cm dengan error sebesar 3,7% (hasil pengamatan data kalibrasi). Dengan pemanfaatan ADC (Analog to Digital Converter) pada mikrokontroller yang dipakai, data analog berupa jarak 0-8 cm ini bisa dikonversi ke data digital 8-bit menjadi 0-1011. Data inilah yang akan diproses pada mikrokontroler. Ketidaklinearan hubungan jarak dengan nilai ADC diatasi dapat diatasi dengan penghitungan rumus persamaan hubungan tidak linear dengan pendekatan regresi pangkat dua. Dimana untuk potensiometer yang dipakai diperoleh hubungan (gambar 3) :

r = jarak rekahan; X = nilai digital pembacaan potensiometer

Gambar 3 : Grafik perbandingan pembacaan jarak real dengan hasil regresi

96


GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013 2. Sensor Kemiringan Sensor kemiringan digunakan untuk pendeteksian gejala longsor di samping rekahan tanah, yaitu amblasnya tanah. Untuk sementara ini sensor kemiringan yang digunakan adalah simple tilt meter berbasis air raksa. Sensor kemiringan ini akan aktif jika badan sensor miring, tanpa bisa diakses besaran derajat kemiringannya. Pengaturan derajat pemicu aktifnya sensor dilakukan secara mekanis yaitu dengan pengaturan kemiringan pemasangan sensor pada badan perangkat. Kedepannya akan dikembangkan accelerometer dan atau gyrometer sebagai sensor kemiringan. Dengan sensor jenis ini, data derajat kemiringan dapat dibaca dan diolah dengan mikrokontroler. 3. Main Board Mainboard yang digunakan adalah modul keluaran dari Arduino berbasis mikrokontroler ATMEGA 328. Dengan fitur ADC, pin I/O dan kapasitas program yang ada, modul mikrokontroler ini sudah mencukupi untuk digunakan sebagai pusat pengolah data (gambar 4b). 4. Media Komunikasi Modul GSM yang digunakan adalah SIM900C dengan kemampuan untuk pengiriman dan penerimaan data suara, sms dan paket data internet via GPRS. Selain itu juga menggunakan sirine untuk menyampaikan pesan (gambar 4c). 5. Antar-Muka Untuk antarmuka, digunakan sebuah LCD dot-matrix 16x2 dan keypad dengan 6 tombol. Antar-muka ini sebagai media bantu untuk pengembangan perangkat dan pembantu pada setting perangkat ketika alat ini diaplikasikan. Selebihnya pada kondisi perangkat standby, unti antar muka ini akan dinonaktifkan karena tidak digunakan(gambar 4d).

A

B

D C Gambar 3 : Pemasangan Simple Tilt Sensor (A); Main Board berbasis ATMEGA328 (B); Modul GSM-GPRS (C); Unit antar muka (D) Karena setiap daerah mempunyai kondisi geologi yang berbeda jenis dan kompleksitasnya, standarisasi aplikasi sistem alat ini juga berkesesuaian dengan kondisi geologi daerah yang akan dipasang.

97


GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013 Gangguan yang merupakan pemicu gerakan tahan merupakan proses alamiah atau non alamiah ataupun kombinasi keduanya, yang secara aktif mempercepat proses hilangnya kestabilan pada suatu lereng. Secara umum gangguan yang memicu gerakan tanah dapat berupa : Hujan, Getaran, Aktivitas manusia Hujan merupakan pemicu yang bersifat alamiah, getaran-getaran dapat bersifat alamiah (misalnya gempa bumi) ataupun non alamiah (misalnya ledakan atau getaran lalu lintas). Aktivitas manusia seperti penggalian atau pemotongan pada lereng dan pembebanan merupakan pemicu yang bersifat non alamiah.

KESIMPULAN Sistem peringatan dini bencana tanah longsor, detektor pergeseran tanah otomatis berbasis ekstensometer, mikrokontroler dan sistem peringatan SMS ini adalah salah satu solusi yang sangat berpotensial untuk dapat dikembangkan pada masa depan dalam menanggulangi dan meminimalisasi korban ketika menghadapi bencana alam khususnya tanah longsor. Didukung dengan kemampuannya secara digital, kemasannya yang relatif praktis, ringan, dan dapat potensinya untuk diintegrasikan dengan alat-alat lain maupun dikembangkan secara lebih lanjut, membuat alat ini diharapkan dapat menjadi salah satu harapan pada masa yang akan datang. Namun, tetap diperlukan tahap pemetaan lapangan untuk memperkirakan daerah-daerah yang memiliki kerawanan yang cukup tinggi tanah longsor.

DAFTAR PUSTAKA ABRAMSON L.W, LOE T. SI., SHARMA S., DAN BOYCE G.M. 1996. Slope Stability and Stabilization Methods, John Wiley & Sons, New York. CLAYTON, C.R.I, MATTHEWS, M.C. DAN SIMONS, N.E. 1995. The Site Investigation, Second Edition, Blackwell Science. FATHANI, T.F. AND NAKAMURA, H. 2005. A new method for Estimating the Shear Stength parameters at the Critical Slip Surface. Journal of the Japan landslide Society. Vol.42, No.2. 159-168. JAPAN LANDSLIDE SOCIETY. 1996. Landslides in Japan (The Fifth Revision)-National Conference of Landslide Control KARNAWATI, D. 2005. Bencana alam Gerakan Massa Tanah di Indonesia dan Upaya Penanggulangannya. Yogyakarta : Jurusan Teknik Geologi FT UGM. KARNAWATI, D. DAN FATHANI, T.F. 2001. Pemasangan dan Sosialisasi Sistem Peringatan Dini Bencana Alam Bagi Upaya Perlindungan Lingkungan Hidup di Kabupaten Banjarnegara dan Kabupaten Situbondo. Laporan Akhir. Tanah Longsor di Ambon, 4 Orang Tewas. Kompas. http://regional.kompas.com/read/2011/07/31/13065322/Tanah.Longsor.di.Ambon.4. Orang.Tewas (diakses pada tanggal 20 September 2011)

98


GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

GL 4 - APLIKASI PETA GEOLOGI SKALA DETAIL DAERAH TENGGARA GUNUNG IJO, KULON PROGO, D.I.Y., SEBAGAI PENUNJANG MASTER PLAN KANDIDAT GEOWISATA UNGGULAN INDONESIA Muhamad Rizki ASY’ARI, Sarah SAUSAN, Ario GEGER, Rezky Destrio NUGROHO, Hanief Hamzah PURWANDONO Mahasiswa Strata 1 Jurusan Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada Jl. Grafika 2 Sleman Yogyakarta 55284 Penulis korespondensi: sausan.sarah@gmail.com Lolos didanai oleh Dikti sebagai PKM-AI 2013

ABSTRAK Keragaman fenomena geologi hasil pertumbukan tiga lempeng utama dunia di Indonesia menjadikan negara ini kaya akan potensi wisata geologi atau geowisata. Salah satu daerah yang menyimpan keindahan geologi adalah daerah Kulon Progo, DIY dengan fenomena gunung api laut purba bernama Gunung Ijo. Daerah unggulan tersebut terutama di bagian Tenggaranya di mana terdapat Waduk Sermo dan Kali Biru yang menambah kecantikan pemandangan pegunungan. Oleh karena itu, dilakukan pemetaan geologi skala detail 1:25.000 selama Juli-Agustus 2012 untuk memetakan potensi titik-titik geowisata di bagian Tenggara Gunung Ijo. Dari hasil pemetaan, daerah Gunung Ijo dapat dibagi menjadi zona Pusat Erupsi, Proksimal, dan Distal. Telah dipetakan dua belas titik-titik geowisata terbaik yaitu empat untuk masing-masing zona dengan data lengkap meliputi koordinat, morfologi, litologi, struktur geologi dan juga sisi menarik secara geologi dan analisis kelayakan sebagai titik kunjungan geowisata. Diharapkan hasil pemetaan titik potensial wisata geologi ini dapat dimanfaatkan pemerintah Kabupaten Kulon Progo sebagai master plan peninjauan kandidat geowisata unggulan Indonesia ini. Kata kunci: geowisata, Kulon Progo, gunung api purba Ijo, pemetaan geologi

PENDAHULUAN Latar Belakang Secara geologi, Indonesia merupakan negara yang terbentuk dari hasil manifestasi pergerakan tiga lempeng bumi. Salah satu manifestasi dari dinamika aktivitas lempeng tersebut adalah adanya penunjaman lempeng/subduksi yang berperan besar dalam pembentukan Pulau Jawa. Manifestasi dari subduksi itu sendiri akan membentuk rangkaian gunungapi yang ada di pulau tersebut. Rangkaian gunungapi ini merupakan suatu kajian yang menarik dalam membahas dinamika vulkanisme yang terjadi serta menyajikan pemandangan yang berpotensi untuk menjadi tujuan wisata geologi yang menarik. Van Bemmelen (1949), Dalam Geology of Indonesia, membahas mengenai geologi pulau Jawa secara umum dan kondisi fisiografis Pulau Jawa yang dibagi dalam tujuh satuan geomorfik. Salah satunya adalah Zona Depresi Jawa Tengah. Pada Zona Depresi Jawa Tengah bagian selatan terdapat morfologi kubah (dome) yang menurut Van 99


GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013 Bemmelen (1948) dulunya merupakan salah satu dataran yang sangat luas yang terkenal dengan nama Plato Jonggrangan. Plato ini lalu mengalami pengangkatan (uplift) sehingga membentuk kubah (dome) yang relatif berbentuk persegi panjang. Secara geologi, daerah Kulon Progo menarik untuk dikunjungi, karena pada daerah tersebut tersingkap produk-produk dari aktivitas vulkanisme purbakala yang tercermin dari pola rekaman batuan yang ada. Hingga saat ini telah tercatat ada tiga gunungapi purbakala yang pernah aktif di daerah ini, salah satunya adalah Gunung Ijo. Gunung Ijo merupakan gunungapi purbakala yangberada di bagian paling selatan dan berumur lebih muda dibandingkan Gunung Gadjah, dan lebih tua dibandingkan Gunung Menoreh. Produk-produk yang dihasilkan, dinamika pembentukan daerah, serta panoramapanorama yang memukau di terutama di tenggara Gunung Ijo dengan wisata Waduk Sermo dan Kali Biru ini dapat menjadi suatu perhatian menarik untuk menjadi sarana wisata berbasis keilmuan di bidang geologi. Dewasa ini sudah mulai berkembang lokasilokasi geowisata di Indonesia, khususnya Pulau Jawa seperti Karangsambung dan Gunungapi Purba Nglanggran. Dalam rangka mewujudkan daerah tenggara Gunung Ijo sebagai daerah geowisata unggulan, diperlukan sebuah infomasi geologi yang dapat tercermin dalam peta geologi. Peta geologi adalah bentuk ungkapan data dan informasi geologi suatu daerah dengan tingkat kualitas yang tergantung pada skala peta yang digunakan dan menggambarkan informasi sebaran, jenis dan sifat batuan, umur, stratigrafi, struktur, tektonika, fisiografi dan potensi sumber daya mineral serta energi yang disajikan dalam bentuk gambar dengan warna, simbol, dan corak atau gabungan ketiganya (SNI13-4691-1998). Diharapkan dengan adanya peta geologi dengan skala detail daerah Tenggara Gunung Ijo dapat memberikan informasi yang diaplikasikan untuk membuat master plan lokasi geowisata unggulan Indonesia di daerah tersebut. Sehingga, rumusan penelitian ini adalah adanya suatu peta potensi wisata detail untuk daerah kandidat geowisata unggulan yang selanjutnya akan digunakan dalam master plan geowisata. Daerah yang diteliti adalah gunung purba Ijo, Kulon Progo, DIY. Sedangkan, tujuan penelitian ini adalah untuk menentukan titik-titik potensi geowisata secara detail dalam peta geologi skala 1:25.000 di daerah Tenggara Gunung Ijo, Kulon Progo, DIY. Manfaat dari penelitian ini adalah membantu untuk mengungkap potensi geowisata Kulonprogo sehingga dapat dikembangkan dengan baik menunjang wisata yang sudah ada di daerah tersebut yaitu waduk Sermo dan Kali Biru, sehingga menambah pendapatan Kabupaten Kulon Progo, masyarakat sekitar sekitar, dan menambah atraksi geowisata Indonesia.

METODE PENELITIAN Metode Penelitian yang dilakukan berupa pemetaan geologi detail skala 1:25.000 yang mengacu pada Peta Geologi Lembar Yogyakarta (Rahardjo, dkk., 1995) di daerah Tenggara Gunung Ijo, Kecamatan Wates dan Kokap, Kabupaten Kulon Progo, DIY. Kegiatan Pemetaan dilaksanakan pada 28 Juli – 14 Agustus 2012. Area kerja pemetaan terbagi dalam 5 kapling berukuran 4 km x 5 km yang saling bertampalan. Kegiatan yang dilakukan adalah memetakan urutan dan persebaran jenis batuan, bentang alam, serta struktur geologi yang terdapat di setiap kapling dengan membuat stasiun pengamatan yang tersebar secara merata di daerah penelitian. Peralatan utama yang digunakan adalah palu geologi, kompas, dan GPS.. Proses pembuatan Peta Geologi dengan menggunakan aplikasi komputer, yaitu ArcGIS, Corel Draw, dan Global Mapper. Lalu dilakukan analisa laboratorium berupa analisa petrografi untuk melakukan koreksi terhadap penamaan batuan dan analisa paleontologi untuk menentukan umur pembentukan batuan. Setelah peta geologi selesai dibuat, dilakukan delineasi zona gunung api menjadi tiap bagian, yaitu zona pusat erupsi, zona proksimal, dan zona distal. Dari masing-masing zona tersebut 100


GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013 diambil beberapa lokasi menarik yang berpotensi untuk menjadi daerah Geowisata di sebelah tenggara Gunung Ijo.

HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan hasil pemetaan geologi yang dilakukan, daerah Gunung Ijo bagian tenggara tersusun atas beberapa batuan yang meliputi batuan beku masif, batuan vulkanik, batuan sedimen silisiklastik, dan batuan sedimen karbonatan. Urutan batuan penyusun daerah ini dimulai dari yang berumur paling tua adalah xenolith batuserpih, andesit, lava andesit, breksi andesit, breksi piroklastik andesit. Batugamping grainstone, packstone, dan wackestone, serta endapan pasir- berangkalan (lihat Gambar 1). Struktur geologi yang didapatkan pada daerah ini berupa sesar diperkirakan, sesar normal, sesar normal diperkirakan, sesar geser sinistral, dan sesar geser sinistral diperkirakan. Kemiringan perlapisan batuan relatif ke arah tenggara – selatan.

Gambar 1. Peta potensi geowisata (skala diperkecil) yang merupakan hasil modifikasi dari peta geologi daerah tenggara Gunung Ijo skala 1:25000.

101


GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013 Sejarah geologi daerah ini menunjukkan bahwa batuan beku dan vulkanik yang merupakan produk dari Gunung Ijo memiliki umur Oligosen Tengah – Miosen Tengah. Produk batuan tersebut terbentuk pada lingkungan darat. Kemudian berdasarkan pengamatan kandungan fosil, batuan-batuan karbonat yang terbentuk memiliki umur Miosen Akhir hingga Pliosen Awal. Lingkungan pengendapannya berada pada lingkungan laut, yaitu pada zona neritik luar hingga batial atas. Selanjutnya setelah Pliosen Awal terjadi proses tektonik yang menyebabkan daerah ini mulai terangkat ke permukaan dan mengalami proses eksogenik hingga saat ini. Dari hasil penelitian yang dilakukan, diperoleh beberapa lokasi yang potensial pada tiap zona gunung api (lihat Gambar 1) yang terangkum dalam tabel-tabel berikut ini: Tabel 1. Lokasi potensial geowisata pada zona pusat erupsi gunungapi purba. Zona Pusat Erupsi Gunungapi Purba Kapling/STA 1/1 1/90 4/52 4/56 400881, 401799, 399754, 400811, Koordinat 9134544 9134840 9133509 9133876 Perbukitan Perbukitan Perbukitan Perbukitan Morfologi berlereng terjal berlereng terjal berlereng terjal berlereng terjal Xenolith Batuan beku Andesit Andesit Litologi batuserpih alterasi Struktur Kekar Kekar geologi Fragmen Batuan beku Pertambangan Andesit berupa batuserpih andesit andesit yang lava yang Sisi menarik dalam massa teralterasi bisa didapatkan tersingkap secara batuan beku, sempurna andesit yang dengan segar geologi batuserpih menjadi segar masih utuh hampir 100% kuarsa Singkapan Singkapan Berada di Lokasi berada di Kelayakan segar, dipinggir segar, terletak pinggir jalan dan pinggir jalan dan menjadi jalan dengan di dekat Waduk menjadi daerah mudah diakses. lokasi wisata akses yang Sermo. tambang rakyat. mudah Foto Foto 1 Foto 2 Foto 3 Foto 4 (Lampiran) Tabel 2. Lokasi potensial geowisata pada zona proksimal gunungapi purba. Zona Proksimal Gunungapi Purba Kapling/STA 2/95 3/9 4/14 5/57 404105, 403801, 401942, 397366, Koordinat 9136649 9133226 9130550 9130876 Perbukitan Perbukitan Perbukitan Perbukitan Morfologi berlereng berlereng berlereng berlereng landai sedang sedang sedang Andesit Breksi Napal Breksi andesit Litologi piroklastikande sit dan andesit Struktur Kekar Geologi Sisi menarik Kenampakan Kenampakan Terdapat Kenampakan secara bentang alam breksi konkresi bukit yang 102


GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013 geologi

Kelayakan menjadi lokasi wisata Gambar (Lampiran)

sekitar, berupa perbukitan kars dan Waduk Sermo. Berada pada zona tracking wisata Kali Biru.

piroklastik andesit yang diterobos oleh intrusi. Lokasi mudah dijangkau.

Foto 5

Foto 6

limonit/hematit dalam napal. Singkapan segar, dipinggir jalan dengan akses yang mudah. Foto 7

terisolasi dengan batuan penyusun breksi andesit Lokasi mudah dijangkau dan memiliki panorama yang indah Foto 8

Tabel 3. Lokasi potensial geowisata pada zona distal gunungapi purba. Zona Distal Gunungapi Purba Kapling/STA 2/26 2/30 2/71 3/20 404661, 404379, 406434, 403812, Koordinat 9134530 9133347 9135864 9132490 Perbukitan Perbukitan Tubuh sungai Perbukitan kars Morfologi Kars berlereng kars berlereng musiman berlereng sedang - landai landai sedang – landai Batugamping Batugamping Batugamping Batugamping dan breksi dan endapan Litologi piroklastik sungai andesit Struktur Sesar Turun Kekar Geologi Adanya kontak Kenampakan Adanya fosil Pembentukan antara breksi bidang hanging jejak Aulichnites mangan pada Sisi menarik piroklastik wall sesar penciri zona batugamping secara andesit turun yang paparan laut. yang sempat geologi denganbatuga besar dan ideal menjadi lokasi mping pada penambangan batugamping. Lokasi mudah Lokasi cukup Lokasi mudah Lokasi mudah di dijangkau mudah dijangkau jangkau dan Kelayakan karena berada dijangkau dan karena dekat pemandangan menjadi tepat di pinggir suasana dengan jalan sekitar yang lokasi wisata jalan raya. perbukitan raya. indah. yang hijau dan segar. Gambar Foto 9 Foto 10 Foto 11 Foto 12 (Lampiran) Pembagian zona gunung api dilakukan berdasarkan aspek morfogenesa yang mengacu pada karakteristik litologi penyusun batuan gunungapi. Bogie dan Mackenzie (1998, dalam Bronto, 2006) membagi zona gunung api menjadi empat zona, yaitu zona pusat (central), proksimal, medial, dan distal (Gambar 2). Namun umumnya zona proksimal dan medial menjadi satu kesatuan zona jika produk-produknya sulit dibedakan.

103


GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

Gambar 2. Pembagian zona gunungapi beserta komposisi batuan penyusunnya (Bogie & Mackenzie, 1998, dalam Bronto, 2006). Secara garis besar, daerah penelitian dibagi kedalam tiga zona gunungapi. Masingmasing zona dipilih empat kandidat lokasi yang potensial yang dapat dijadikan geowisata, yaitu: 1. Zona pusat erupsi gunungapi purba Zona ini secara umum tersusun oleh batuan beku masif yang merupakan hasil dari pembekuan magma dan lava (magma yang mencapai permukaan). Pada zona ini dapat dijumpai xenolith (fragmen batuan di dalam batuan lain) batuserpih di dalam batuan andesit yang merupakan hasil dari terobosan magma andesitik pada batuserpih yang sebelumnya terbentuk lebih dulu. Lalu adanya batuan andesit yang teralterasi (terubah) menjadi batuan beku akibat proses hidrotermal. Dijumpai pula kenampakan batuan andesit serta lava andesit yang mengalami kekar pendinginan. Batuan-batuan tersebut masih segar sehingga mineral-mineral yang terkandung dalam batuan dapat terlihat dengan jelas. 2. Zona proksimal gunungapi purba Zona ini secara umum tersusun oleh lava andesit yang juga telahmengalami breksiasi serta batuan piroklastik andesit. Sisi geologi yang menarik di daerah ini adalah kenampakan bentang alam yang indah yang mengelilingi Waduk Sermo serta kenampakan bukit-bukit terisolir yang juga merupakan produk dari gunungapi. Selain itu dijumpai intrusi andesit yang menerobos batuan piroklastik andesit yang kontaknya jelas terlihat. Pada lokasi perbatasan dengan zona distal, dijumpai adanya napal dengan konkresi-konkresi limonit. 3. Zona distal gunungapi purba Zona ini tersusun oleh litologi berupa batuan karbonat yang umumnya tersusun oleh varian dari batugamping dan napal serta endapan-endapan sungai yang berukuran pasir hingga berangkal. Sisi geologi yang menarik di zona ini antara lain adalah kontak antara batuan piroklastik andesit dengan batugamping, dengan kontak berupa ketidakselarasan yang dicirikan adanya fragmen-fragmen batuan piroklastik di dalam batugamping. Lalu adanya kenampakan bidang sesar yang sangat besar berupa hanging wall pada batugamping. Dijumpai fosil-fosil jejak Aulichnites pada batugamping yang merupakan penciri dari lingkungan sublitoral (zona paparan pada laut dangkal). Kemudian adanya bukit gamping yang mengandung mineral bijih, yaitu mangan yang sempat dijadikan area penambangan baik oleh masyarakat setempat maupun perusahaan tambang. 104


GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013 Dari penjabaran diatas, dapat diketahui bahwa zona-zona gunungapi di tenggara Gunung Ijo menyimpan banyak potensi geowisata yang bagus untuk dikembangkan. Oleh karena itu dibutuhkan tindak lanjut dari pemerintah setempat untuk membangun infrastruktur lokasi-lokasi yang potensial agar dapat menjadi potensi geowisata unggulan di Indonesia.

KESIMPULAN Dari hasil pemetaan geologi, analisis lokasi pengamatan, serta hasil diskusi dapat diperoleh kesimpulan bahwa daerah penelitian dapat dibagi ke dalam tiga zona gunungapi, yaitu zona pusat erupsi, zona proksimal, dan zona distal. Setiap zona gunungapi memiliki beberapa potensi geowisata yang sangat menarik untuk dikaji di bidang geologi khususnya kegunungapian serta dinikmati keindahannya. Dibutuhkan pengembangan infrastruktur lebih lanjut agar lokasi yang potensial dapat menjadi lokasi geowisata unggulan.

DAFTAR PUSTAKA BRONTO. SUTIKNO. 2006. “Fasies Gunung Api dan Aplikasinya”. Bandung: Pusat Survei Geologi. RAHARDJO, W., SUKANDARRUMIDI, DAN ROSIDI, H.M. 1995. “Peta Geologi Lembar Yogyakarta, Jawa, skala 1:100.000”. Bandung: Direktorat Geologi. VAN BEMMELEN, R.W. 1949.The Geology of Indonesia, Vol. 1 A. Amsterdams. Government Printing Office.

LAMPIRAN Xenolith batuserpih

Foto 1. Xenoliths batuserpih di dalam batuan beku.

Batuan beku yang teralterasi

Foto 2. Batuan beku yang mengalami alterasi menjadi kuarsa.

105


GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

Andesit Lava andesit

Kekar pendinginan Foto 3. Singkapan andesit yang dijadikan penambangan.

Waduk Sermo

Foto 4. Lava andesit yang mengalami pengkekaran Breksi piroklastik andesit Intrusi Andesit

Foto 5. Kenampakan Waduk Sermo yang dikelilingi oleh perbukitan vulkanik

Foto 6. Intrusi andesit yang menerobos breksi piroklastik andesit. Perbukitan terisolir

kekar

napal

konkresi limonit

Foto 7. Konkresi limonit (bintik hitam) pada napal

106

Foto 8. Kenampakan perbukitan terisolir.


GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013 kontak batuan

batugamping

breksi piroklastik andesit Foto 9. Kontak antara breksi piroklastik andesit dengan batugamping.

Hanging wall

Foto 10. Kenampakan hanging wall dari sesar turun.

Timbunan mangan hasil penambangan

Fosil jejak Aulichnites

Foto 11. Kenampakan fosil jejak Aulichniites pada batugamping.

Batugamping yang kaya akan kandungan mangan

Foto 12. Lokasi penambangan batugamping yang kaya akan kandungan mangan.

107


GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

108


GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

GD 1 - PEMANFAATAN CITRA DIGITAL ELEVATION MODEL (DEM) UNTUK STUDI EVOLUSI GEOMORFOLOGI GUNUNG API MERAPI SEBELUM DAN SETELAH ERUPSI GUNUNG API MERAPI 2010 Yustian Ekky Rahanjani1), Agung Setianto2) , Srijono3) 1,2,3)Jurusan

Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Jl. Grafika no 2 Yogyakarta 55281 Telp (0274)-513668

Dipresentasikan dalam Seminar Nasional Informatika 2012 UPN �Veteran� Yogyakarta, 30 Juni 2012

ABSTRAK Gunung api Merapi adalah satu dari gunungapi teraktif di dunia. Erupsi G.Merapi sepanjang 26 Oktober hingga 4 November 2010 menyebabkan banyak korban dan perubahan morfologi yang signifikan di sekitar tubuh gunung api. Hal ini mendorong peneliti untuk melakukan penelitian mengenai perubahan morfologi karena erupsi. Daerah penelitian berada di lereng selatan G.Merapi, khususnya pada bagian channel dan overbank Kali Gendol. Maksud dari penelitian evolusi geomorfologi G. Merapi ini adalah mengetahui perubahan geomorfologi yang terjadi akibat erupsi G. Merapi 2010 . sedangkan tujuan penelitian ini adalah menganalisis kondisi geologi setelah erupsi G. Merapi 2010, perubahan pola kontur setelah erupsi G. Merapi 2010, dan perubahan pola penyaluran setelah erupsi G. Merapi 2010. Pada penelitian ini, kami menggunakan DEM pada tanggal 6 Oktober 2010 dan 9 November 2010 untuk membandingkan dan menganalisis kondisi sebelum dan setelah erupsi. Penelitian mengombinasikan hasil pengolahan data Digital Elevation Model (DEM) multitemporal, yaitu DEM sebelum erupsi dan DEM sesudah erupsi dan data lapangan berupa data litologi dan morfologi untuk menganalisis peta geomorfologi, mendeterminasi perubahan elevasi, peta pola penyaluran sebelum dan setelah erupsi, , dan peta kontur sebelum dan setelah erupsi. Setelah itu, dibuat analisis perubahan jarak kontur pada tiap satuan geomorfologi, analisis fluktuasi perubahan elevasi pada tiap satuan geomorfolgi, dan analisis perubahan azimuth aliran sungai pada tiap satuan geomorfologi. Berdasarkan hasil pengolahan DEM dan data lapangan, daerah penelitian dapat dibagi menjadi dua satuan litologi yaitu Satuan Kubah Lava dan Satuan Piroklastik. Kemudian, daerah penelitian juga dapat dibagi menjadi 6 satuan geomorfologi pada DEM sesudah erupsi, yaitu Satuan Dataran, Satuan Perbukitan Bergelombang Lemah, Satuan Perbukitan Bergelombang Lemah-Kuat, Satuan Perbukitan Bergelombang Kuat, Satuan Perbukitan Berlereng Curam, dan Satuan Pegunungan Berlereng Sangat Curam. Dari hasil analisis pola kontur dan pola aliran sungai didapat bahwa arah displacement sesuai kontur menurun pada model tidak sepenuhnya sama dengan arah displacement material erupsi G. Merapi. Hal ini dikarenakan massa jenis yang tidak rata akibat transportasi material tersebut, faktor morfologi asal, dan rekayasa manusia (rumah-rumah penduduk yang menjadi barrier aliran piroklastik). Kata Kunci : DEM, Morfologi, Gunung api Merapi

109


GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

PENDAHULUAN Gunung api aktif merupakan objek geologi yang dinamis. Keberadaannya memiliki kontribusi bagi kehidupan masyarakat di sekitarnya baik positif maupun negatif. Dampak positif dari gunung api dirasakan dalam jangka waktu yang panjang sedangkan dampak negatif gunung api dapat dirasakan dalam waktu sekejap. Hal ini terbukti dari erupsi Gunung api Merapi yang terjadi pada rentang waktu 26 Oktober hingga 4 November lalu yang menelan hampir 300 korban jiwa hanya dalam waktu kurang dari 10 hari (Utomo, dkk, 2011). Oleh karena itu, hal ini menjadi masalah tersendiri bagi warga yang tinggal di lereng gunung api sebab bahaya yang mengancam mereka dapat terjadi sewaktu-waktu. Hasil dinamika gunung api akibat vulkanisme di permukaan tampak pada ekspresi deformasi morfologi. Jika terjadi erupsi dengan intensitas yang cukup signifikan, terjadi pula perubahan morfologi yang berpengaruh pada berbagai hal. Oleh karena itu, diperlukan suatu teknologi yang lebih terpadu untuk mengetahui secara lebih rinci perubahan morfolgi tersebut. Dalam penelitian ini, digunakan Digital Elevation Model (DEM) untuk mendeliniasi litologi dan morfologi setelah erupsi Gunung api (G) Merapi 2010 untuk dianalisis lebih jauh mengenai kondisinya dan genesanya. Maksud dari penelitian evolusi geomorfologi G. Merapi ini adalah mengetahui perubahan geomorfologi yang terjadi akibat erupsi G. Merapi 2010 sedangkan tujuan penelitian ini adalah menganalisis kondisi morfologi setelah erupsi G. Merapi 2010, perubahan pola kontur setelah erupsi G. Merapi 2010, dan perubahan pola penyaluran setelah erupsi G. Merapi 2010. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara keilmuan dan kepraktisan. Secara keilmuan, penelitian ini diharapkan mampu memperkaya khazanah penelitian mengenai morfodinamika pada bentang alam vulkanik. Sedangkan secara kepraktisan, penelitian ini memperkenalkan teknologi DEM untuk menganalisis perubahan morfologi dan menyediakan data dasar untuk berbagai keperluan.

TINJAUAN PUSTAKA Lokasi penelitian terletak di wilayah yang meliputi lereng selatan G.Merapi. Lokasi ditentukan melalui interpretasi citra DEM untuk mendeliniasi pelamparan hasil erupsi. Pada titik terjauh di utara, daerah penelitian dibatasi oleh koordinat (438913,5;9167589,5) dan di selatan dibatasi oleh koordinat (438913,5;9154878,4). Sedangkan di timur dibatasi oleh koordinat (434955,5;9161233,5) dan di barat dibatasi oleh koordinat (442872,3;9161233,5), dengan sistem koordinat UTM (Universal Transverse Mercator) meliputi Desa Glagaharjo, Kepuharjo, Umbulharjo, Hargobinangun, dan Purwobinangun hingga puncak G.Merapi, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (Gambar 2.1). Daerah penelitian dapat ditempuh dengan menggunakan sepeda motor dalam waktu kurang lebih 45 menit dari kampus Teknik Geologi UGM ke arah utara melalui Jalan Kaliurang dan Jalan Monjali. Menurut Hendrayana, 1993 (dalam Nasution, 1999), G.Merapi dibagi ke dalam tiga satuan geomorfologi, yaitu Satuan morfologi puncak G. Merapi, satuan morfologi lereng G.Merapi, dan satuan morfologi kaki G.Merapi. Menurut MacDonald and Partners (1984 dalam Nasution, 1999), endapan G.Merapi tersusun atas Formasi Sleman, Formasi Yogyakarta, Endapan Vulkanik Merapi Tua, dan Endapan Vulkanik Merapi Muda yang tersusun oleh tuf, lanau, pasir, kerikil, breksi, aglomerat. Semakin tua, endapan tersebut semakin kompak. Sedangkan struktur geologi yang ada pada daerah penelitian adalah

110


GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013 sesar Opak (Van Bemmelen, 1970). Daerah penelitian masuk pada Endapan Vulkanik Merapi Tua dan Muda serta Formasi Sleman. DEM adalah model digital yang menampilkan permukaan topografi atau terrain. DEM sering juga disebut sebagai Digital Terrain Model (DTM). DEM biasanya dikembangkan dengan metode penginderaan jauh, bahkan juga dikembangkan dengan data survei lapangan. DEM sering digunakan dalam Sistem Informasi Geografi (SIG) (Murniati, 2009). DEM adalah bagian dari ranah penginderaan jauh sebagai citra nonfoto. Untuk mengetahui perubahan morfologi, diperlukan DEM mulitemporal, yaitu DEM sebelum (6 Oktober 2010) dan setelah erupsi (9 November 2010). Kemudian dari kedua DEM tersebut, dijelaskan perbedaan parameter-parameter yang sesuai dengan dasar teori yang dijelaskan berdasarkan tiap-tiap unit morfologi. Williams dan McBirney (1979) membagi gunung api menjadi 3 zona, yaitu zona pusat erupsi, zona proksimal, dan zona distal. Dari zona pusat erupsi ke zona distal, material piroklastik yang diendapkan berukuran butir semakin halus sedangkan dari zona proksimal ke zona pusat erupsi, pola penyaluran akan berubah dari subparalel menjadi radial. Hal ini menjadi gambaran awal kondisi daerah penelitian. Pemetaan geomorfologi untuk mengidentifikasi evolusi geomorfologi ini ditekankan pada perubahan aspek morfometri dengan melokalisir kelompok rentang nilai kemiringan lereng yang sama. Pertama kali dihitung nilai kemiringan lereng dengan rumus : S = ( ď „h / D ) X 100 % (Van Zuidam, 1983) Keterangan: S = Kemiringan lereng (%) ď „h = Perbedaan ketinggian (m) D = Jarak titik tertinggi dengan terendah (m) Selanjutnya, lereng dikelompokkan menjadi beberapa satuan relief dalam tabel berikut Tabel 1. Klasifikasi Morfometri (Van Zuidam, 1983)

Untuk memperkirakan arah perubahan geomorfologi, peneliti menggunakan model pergerakan material dari Hutchinson (1970, dalam Goudie, et. al, 1981) yang dapat menunjukkan bahwa pergerakan mudslide (mudflow) didominasi oleh pergeseran translational pada bidang geser (shear plane), karena ada perubahan kecil dalam kecepatan permukaan dari batas hingga pusat aliran.

111


GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

Gambar 1. Pola Displacement (Hutchinson, 1970 dalam Goudie, et.al, 1981) Gambar di atas menunjukkan percobaan Hutchinson untuk menentukan pola displacement sepanjang mudslide dari pantai. Dengan demikian, pola displacement pada area yang lebih luas dapat dianalogikan demikian. Posisi suksesif dari lintasan pasak di atas, dapat dianalogikan dengan pola kontur yang ada. Pola displacement tidak mengarah lurus namun mengarah ke samping. ESRI (2008) dalam panduan software ArcMap yang terintegrasi dalam ArcGIS 9.3 menjelaskan bahwa raster calculator dalam ekstensi spatial analyst yang ada pada ArcMap dapat digunakan untuk operasi matematis pengurangan nilai raster. Fitur ini dimanfaatkan untuk mengurangi nilai elevasi pada DEM setelah erupsi dengan DEM sebelum erupsi. Perubahan elevasi yang positif di sekitar jalur awan panas (pyroclastic surge) diinterpretasikan sebagai onggokan material piroklastik hasil letusan yang mengubah morfologi gunung api. Sedangkan bagian yang mengalami perubahan elevasi negatif diinterpretasikan sebagai hasil geseran dari hasil erupsi. Untuk menentukan satuan morfologi, peneliti menggunakan fitur slope pada spatial analyst tab pada ArcMap, dengan memasukkan ukuran cell/pixel yang berpengaruh pada nilai resolusi (ESRI, 2008). Karena klasifikasi oleh fitur tersebut belum memenuhi klasifikasi standar, yaitu klasifikasi Van Zuidam (1983), maka satuan morfologi yang ada diubah sesuai dengan rentang nilai kemiringan lereng pada klasifikasi Van Zuidam (1983) menggunakan raster calculator. Setelah itu, untuk membuat kontur yang nantinya akan dianalisis, digunakan fitur contour pada surface analyst yang ada dalam spatial analyst tab (Gambar 2). Kemudian, untuk mendeliniasi pola penyaluran dan sungai digunakan ekstensi flow direction sesuai persentase nilai peluang aliran yang diinginkan dan hasil dari flow direction dimasukkan dalam parameter flow accumulation untuk mendeliniasi pola penyaluran yang sebenarnya (Gambar 3 dan Gambar 4).

112


GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

Gambar 2. Membuat Kontur dari DEM

Gambar 3. Membuat Flow Direction

Gambar 4. Membuat Flow Accumulation

113


GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

METODE PENELITIAN Alat dan Bahan Pada penelitian ini, diperlukan alat dan bahan sebagai berikut : 1. Alat : palu geologi, lup, kompas geologi, GPS, komputer, software ArcGIS 9.3 dan Microsoft Office, alat tulis dan buku lapangan. 2. Bahan a. Citra DEM multitemporal, sebelum (pada tanggal 6 Oktober 2010) dan setelah (pada tanggal 9 November 2010) erupsi G.Merapi untuk analisis perubahan litologi, perubahan pola kontur, dan perubahan pola aliran sungai. b. Peta Rupa Bumi Indonesia Lembar Kaliurang dan Pakem berskala 1:25.000 untuk mengeplot lokasi di lapangan (Bakosurtanal)

TAHAPAN PENELITIAN Tahapan penelitian terbagi menjadi beberapa tahap yang meliputi tahap pra-lapangan, tahap pekerjaan lapangan, tahap pengolahan data, tahap interpretasi dan intregrasi data hingga tahap pembuatan laporan. Uraian secara lebih detail mengenai tahapan-tahapan penelitian dapat dilihat sebagai berikut :

114

1.

Kajian Pustaka Mengumpulkan bahan untuk dasar teori dan dasar untuk menentukan hipotesis dan studi geologi regional dan mengumpulkan data sekunder yang lain seperti DEM multitemporal.

2.

Pembuatan Proposal dan Interpretasi pra Lapangan Menulis proposal dan kelengkapannya dan mengolah citra DEM multitemporal.

3.

Pengumpulan Data Lapangan Pengambilan data geomorfologi khususnya morfometri berupa nilai kemiringan lereng.

4.

Kerja Laboratorium Pengolahan dan analisis DEM, dan kompilasi data lapangan dan DEM

5.

Penyusunan Laporan


GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

HASIL DAN PEMBAHASAN Interpretasi litologi

(A)

115


GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

(B) Gambar 5. Peta perubahan elevasi (a) dan interpretasi litologi berdasarkan peta perubahan elevasi (b) Untuk mendeliniasi litologi baru hasil erupsi, peneliti memakai DEM multitemporal, yaitu DEM sebelum erupsi (pada tanggal 6 Oktober 2010) dan DEM setelah erupsi (pada tanggall 9 November 2010). Peneliti mengurangi elevasi DEM setelah erupsi dengan elevasi DEM sebelum erupsi yang hasilnya dapat dilihat pada Gambar 5(a). Selisih elevasi yang bernilai positif ditandai dengan warna merah sedangkan selisih elevasi yang bernilai negatif ditandai dengan warna biru. Bagian di sekitar Kali Gendol yang berwarna merah pudar memiliki kenaikan elevasi yang cukup signifikan hingga di sekitar Bukit Turgo dan Plawangan. Perubahan elevasi positif diasumsikan sebagai onggokan piroklastik hasil letusan yang baru sedangkan bagian yang berwarrna merah dan berasosiasi dengan puncak gunung api diasumsikan sebagai perubahan morfologi karena aktivitas lava sehingga satuan geologi hasil erupsi dapat dideliniasi seperti pada Gambar 5(b). Interpretasi geomorfologi Pembagian satuan morfologi dilakukan dengan menggunaka fitur slope pada Spatial Analyst pada software ArcMap. Kemudian diklasifikasikan kembali sesuai dengan klasifikasi Van Zuidam (1983). Daerah penelitian terbagi menjadi enam satuan morfologi yaitu : Satuan Dataran, Satuan Perbukitan Bergelombang Lemah, Satuan Perbukitan Bergelombang Lemah-Kuat, Satuan Perbukitan Bergelombang Kuat, Satuan Perbukitan Berlereng Curam, Satuan Pegunungan Berlereng Sangat Curam (Gambar 6). 116


GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013 Analisis Perubahan Pola Kontur Analisis perubahan pola kontur dilakukan dengan mengambil posisi yang berubah pada kontur yang bernilai sama pada tiap-tiap satuan morfologi sebanyak lima titik (Gambar 7a). Kemudian dibuat rerata perubahan jarak titik awal menjadi titik akhir (setelah erupsi) dan dibuat kurva seperti pada Gambar 7 (b). Pada titik yang sama, dilihat pula titik ekstrem pada masing-masing posisi tersebut dan dengan cara yang sama dihasilkan Gambar 7 (c). Dari kurva 7 (b) terlihat dari Satuan Perbukitan Berlereng Curam ke arah Satuan Perbukitan Bergelombang Lemah-Kuat , nilai jarak antara titik sebelum dan setelah erupsi semakin tinggi namun menjadi semakin rendah ketika mendekati Satuan Perbukitan Bergelombang Lemah. Sedangkan pada kurva 7 (c) terlihat dari Satuan Perbukitan Berlereng Curam ke arah Satuan Satuan Perbukitan Bergelombang Kuat terjadi fluktuasi nilai titik ekstrem morfologi. Semakin ke arah landai, nilainya semakin kecil. Kita tahu bahwa semakin ke arah lereng yang lebih landai/semakin jauh dari pusat erupsi, piroklastik aliran akan berkurang massa jenisnya pengurangan material akibat terendapkan dan semakin curam lereng yang dilewati material piroklastik aliran, semakin tidak stabil material yang menumpuk di wilayah tersebut dan akan terus mengalami stabilisasi.

Gambar 6. Peta geomorfologi

117


GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013 Analisis Perubahan Pola Kontur

(a)

(b) (c) Gambar 7. Peta pengukuran perubahan kontur (a), kurva pergeseran kontur (b), dan kurva titik ekstrem (c) Hal yang berbeda dijelaskan pada kurva 7(b) di mana pada titik yang berada pada Satuan Perbukitan Bergelombang Lemah-Kuat perubahan horizontalnya paling besar dan makin turun nilainya ke arah Satuan Perbukitan Bergelombang Lemah. Sedangkan fluktuasi perubahan morfologi paling besar justru terjadi pada Satuan Perbukitan Berlereng Curam. Gejala tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut. Semakin ke arah lereng yang landai, 118


GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013 ruang yang dipakai untuk mengendapkan material piroklastik tersebut semakin lebar namun tidak terdapat barrier sehingga fluktuasi perubahan morfologi secara vertikal semakin kecil. Sedangkan pada satuan geomorfologi yang lebih curam terdapat barrier yang menghalangi suplai material ke bawah. Peneliti menginterpretasikan bahwa barrier ini adalah material piroklastik yang lama yang masih tersisa akibat erupsi terdahulu, sempitnya lembah sungai yang berada di hulu dan juga rumah-rumah penduduk yang mengurangi kecepatan bergeraknya material piroklastik, sehingga fluktuasi perubahan morfologi pada satuan tersebut menjadi tinggi, khususnya penumpukan material di bagian atas. Hal ini yang nantinya akan menyebabkan terjadinya lahar hujan jika di wilayah tertumpuknya material tersebut terjadi hujan (hulu sungai). Hal ini diinterpretasi berdasarkan peta kontur yang dihasilkan di mana semakin ke arah hulu sisi bawah dari ‘gigi kontur’ menjadi semakin menyempit. Analisis perubahan azimuth aliran sungai Analisis perubahan azimuth aliran sungai dilakukan dengan mengambil sampel pengukuran sebanyak lima posisi pada tiap satuan morfologi (Gambar 8a). Kemudian dibuat rerata selisih aziumth aliran sungai Dari kurva 8(b) di bawah ini, semakin ke arah Satuan Perbukitan Bergelombang Lemah-Kuat, perubahan azimuth sungai menjadi semakin kecil dan dari Satuan Perbukitan Bergelombang Kuat ke arah Satuan Perbukitan Bergelombang Lemah menjadi besar kembali. Kondisi demikian dapat dijelaskan sebagai berikut. Suplai material dalam volume yang cukup besar terjadi pertama karena runtuhnya kubah lava yang berubah menjadi aliran material piroklastik. Semakin jauh, energi kinetik aliran piroklastik tersebut akan berkurang karena melandainya lereng dari aliran piroklastik tersebut sehingga arah aliran sungai tersebut berubah hingga mencapai titik stabil pada lereng yang paling landai (tidak ada perubahan/perubahan sangat kecil pada Satuan Perbukitan Bergelombang Lemah). Semakin kecil energi kinetiknya, semakin kecil pula perubahan nilai azimuth arah aliran sungai karena aliran piroklastik tidak cukup kuat untuk melawan aliran sungai utama, selain dari faktor massa jenisnya yang juga semakin kecil. Sama halnya dengan analisis perubahan kontur, pengukuran tidak dilakukan pada Satuan Dataran dan Satuan Pegunungan Berlereng Sangat Curam karena pada Satuan Dataran pelamparannya sangat sempit sedangkan pada Pegunungan Sangat Curam, evolusi geomorfologi didominasi oleh pertumbuhan kubah lava (telah diterangkan di atas). Kondisi kurva juga menegaskan bahwa arah perubahan azimuth aliran sungai relatif ke arah tenggara. Hal ini dilihat dari perubahan azimuth sungai (dalam NE) yang semakin kecil dan berorientasi ke arah selatan searah jarum jam.

119


GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

(a)

(b) Gambar 8. Kurva rerata selisih azimuth aliran Sungai Gendol sebelum dan setelah erupsi

KESIMPULAN Dari analisis yang telah dilakukan, peneliti menyimpulkan bahwa : 1. Pola evolusi geomorfologi sebelum dan setelah erupsi berbeda. Hal ini tercermin dari pola-pola penyaluran dan perubahan azimuth sungai. Pada tiap satuan geomorfologi, 120


GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013 pola displacement menjadi berbeda karena pengaruh ketebalan, massa jenis, dan kemiringan lereng pada tiap-tiap satuan geomorfologi. Pola evolusi geomorfologinya memiliki kecenderungan ke arah tenggara. 2. Pola penyaluran sebelum dan setelah erupsi berbeda dalam hal kerapatan aliran sungai, khususnya pada daerah yang dibatasi endapan piroklastik yang baru.

DAFTAR PUSTAKA ESRI, 2008, Manual of ArcGIS, ESRI, USA GOUDIE, ANDREW, ANDERSON, MALCOLM, BURT, TIM, LEWIN, JOHN, KEITH, RICHARDS, WHALLEY, BRIAN, WORSLEY, PETER, 1981, Geomorphological Techniques, George Allen & Unwin, London MURNIATI, 2009, Interpretasi Kelurusan Jawa Tengan Menggunakan Data Digital Elevation Model (DEM), Jurusan Teknik Geologi Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, tidak dipublikasikan NASUTION, IBRAHIM, 1999, Studi Hidrogeologi Kawasan Resapan Lereng Merapi Bagian Selatan untuk Konservasi, Jurusan Teknik Geologi Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta UTOMO, MULYONO, NOVIARDI, ADITYA, SHOLAHUDDIN, 2011, Letusan Merapi 2010 Sebuah Catatan Jurnalistik, Penerbit Harian Umum Solo Pos dan Harian Jogja VAN BEMMELEN, R.W., 1970, The Geology of Indonesia IA, Martinis Nijhoff, The Hague VAN ZUIDAM, 1983, Guide to Geomorphologic Aerial Photographic Interpretation And Mapping, ITC, Enschede, The Netherlands WILLIAMS, HOWEL, DAN MCBIRNEY, ALEXANDER, R., 1979, Volcanology, Freeman, Cooper and Co., San Fransisco

121


GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

122


GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

GD 2 - PENGARUH KOMPETENSI BATUAN TERHADAP KERAPATAN KEKAR TEKTONIK YANG TERBENTUK PADA FORMASI SEMILIR DI DAERAH PIYUNGAN, BANTUL, DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA Budi SANTOSO1*, Yan Restu FRESKI1 dan Salahuddin HUSEIN1 1Jurusan

Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada Jalan Grafika no 2, Mlati, Sleman D.I.Yogyakarta, Indonesia *setracrew@gmail.com

Diterima tanggal 15 November 2013 Dipresentasikan pada Seminar Nasional Kebumian ke-6 Jurusan Teknik Geologi Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, tanggal 11 Desember 2013

ABSTRAK Rekaman gaya tektonik terekam pada batuan dalam bentuk kekar-kekar ekstensi maupun gerus. Secara kuantitatif, respon batuan terhadap deformasi dapat didekati dari aspek densitas kekar, yang dikontrol oleh sifat kompetensi batuan. Kompetensi batuan dipengaruhi oleh ukuran butir, komposisi, dan tingkat sementasi batuan. Penelitian ini bermaksud menyajikan hubungan antara densitas kekar dan faktor-faktor geologi yang mempengaruhi kompetensi suatu batuan, dengan studi kasus pada batuan volkaniklastik Formasi Semilir yang tersingkap di Piyungan, Bantul, D.I. Yogyakarta. Area kajian berupa singkapan tebing setinggi 7 meter dan lebar 30 meter. Pada singkapan tersebut, Formasi Semilir yang berumur Miosen Tengah tersusun atas perselingan batupasir bergradasi normal dan batulanau. Ketebalan masing-masing lapisan bervariasi dari 5 cm hingga 400 centimeter. Struktur kekar dijumpai hampir di setiap lapisan dengan kerapatan yang berbeda-beda. Metode yang dilakukan dalam penelitian ini adalah pengukuran distribusi kekar secara kuantitatif pada setiap lapisan dengan lebar singkapan 5 meter. Data diolah secara statistik dan diplot ke dalam grafik versus antar aspek yang mempengaruhi kompetensi batuan. Batuan yang memiliki ukuran butir kasar dan tebal mempunyai tingkat kompetensi tinggi sehingga hanya sedikit merekam kekar. Batuan yang memiliki ukuran butir halus dan tipis mempunyai tingkat kompetensi rendah sehingga dapat merekam kekar dengan rapat. Komposisi volkanik pada Formasi Semilir mempunyai peran dalam tingkat pengelasan antar fragmen (welded structure) yang dapat menambah tingkat kompetensi batuan. Kata kunci:Densitas Kekar, Formasi Semilir, Kompetensi Batuan.

PENDAHULUAN Latar Belakang Lokasi penelitian berada di sebuah bukit, Kecamatan Piyungan, Kabupaten Bantul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (Gambar 1). Lokasi dapat diakses melalui Jalan Raya Piyungan – Prambanan.Di daerah tersebut terdapat singkapan batuan piroklastik dengan dimensi 20 meter x 30 meter dengan ketebalan lapisan sekitar 7 meter yang memiliki ekspresi kekar yang cukup beragam di setiap lapisannya. 123


GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013 Kekar merupakan rekahan dengan bentukan bidang planar atau lengkung yang tidak terisi dan terbentuk secara alami akibat tarikan yang disebabkan oleh pembebanan (Van der Pluijm dan Marshak, 2004). Kekar yang terdapat pada singkapan daerah penelitian terdiri atas kekar tektonik dan kekar non-tektonik. Kekar yang diperhitungkan dalam penelitian ini adalah kekar tektonik. Gaya tektonik yang mempengaruhi suatu daerah akan terekam dalam batuan. Batuan merekam gaya tektonik tersebut berdasarkan beberapa variabel yaitu arah gaya, ketebalan lapisan batuan, dan tingkat kompetensi batuan. Uji kompetensi batuan tersebut dilakukan dengan mengukur kerapatan kekar yang terbentuk pada masing-masing lapisan batuan.

Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat kompetensi batuan pada singkapan dan efeknya terhadap densitas kekar tektonik yang terekam pada masing-masing lapisan batuan.

METODE PENELITIAN Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu dengan cara melakukan pengukuran stratigrafi satu jalur dan menghitung jumlah kekar tektonikyang terekam pada setiap lapisan. Penghitungan jumlah kekar dibatasi dalam jalur pengukuran selebar 5 meter. Kekar tektonik yang dianalisis meliputi kekar yang memotong lapisan batuan dengan ketebalan minimal 5 cm; kekar menerussecara vertikal; dan mengikuti pola kekar secara umum di sekitarnya. Hasil dari observasi dan tabulasi data di lapangan dilanjutkan dengan analisis laboratorium terhadap karakteristik dan tekstur batuan untuk mengetahui hubungan antara mineralogi dengan tingkat kompetensi batuan terhadap densitas kekar yang terbentuk. Analisis petrografi menggunakan mikroskop polarisasi dengan perbesaran 4x, kecuali pada pengamatan kandungan organik yang menggunakan perbesaran 60x.

HASIL PENELITIAN Singkapan batuan pada lokasi penelitian (Gambar 2) memiliki total ketebalan 7,07 meter. Litologi penyusunnya terdiri atas lapilli tuff, tuff, dan pyroclastic breccia (Fisher, 1966). Lapilli tuff berada pada lapisan 1 (100 centimeter), lapisan 10 (10 centimeter), dan lapisan 13 (20 centimeter). Lapilli tuff memiliki ciri-ciri warna putih, ukuran butir ash, mud supported, komposisi lapilli dan tuf kasar. Pyroclastic breccia berada di lapisan paling atas yaitu lapisan 17 dengan ketebalan 400 centimeter. Pyroclastic breccia memiliki ciri-ciri warna putih keabu-abuan, ukuran butir fragmen kerikil-kerakal, ukuran matriks pasir, sortasi buruk, grain supported, struktur welded, komposisi fragmen tuf dan litik andesit, komposisi matriks tuf. Sisanya, terdiri dari lapisan tuff yang berlapis dan tebalnya berkisar antara 5-20 centimeter. Ciri-ciri tuff warnanya putih hingga abu-abu, terkadang ada yang berwarna merah akibat oksidasi, berukuran butir ash, mud supported, dan komposisinya berupa abu vulkanik. Tabulasi data kekar pada setiap lapisan dapat dilihat pada Tabel 1. Jumlah kekar yang terbentuk di lapisan-lapisan lapilli tuff yaitu berjumlah 11 (di lapisan 1, tebal 100 centimeter), 32 (di lapisan 10, tebal 10 centimeter), dan 29 (di lapisan 13, 20 centimeter). Kekar yang terbentuk di pyroclastic breccia berjumlah 9 ( di lapisan 17, tebal 400 centimeter). Jumlah kekar di tuff berkisar antara 24 – 73 dengan kisaran ketebalan lapisan 5-20 centimeter. Hasil dari tabulasi data kekar dilanjutkan dengan analisis petrografi untuk melihat hubungan data kekar yang terbentuk dengan karakteristik mineralogi dan tekstur batuan. Analisis petrografi dilakukan pada tiga lapisan yang berbeda, yaitu lapisan 1 (lapilli tuff, 100 cm), lapisan 16 (tuff, 20 cm), dan lapisan 17 (pyroclastic breccia, 400 cm). 124


GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013 Lapisan 1 (lapilli tuff) memiliki porositas tipe vuggy yang persebarannya cukup melimpah dan terdapat struktur welded (lihat Gambar 5). Komposisi batuan terdiri dari kuarsa, plagioklas, dan gelas vulkanik. Lapisan 16(tuff) memiliki ciri porositas tipe fracture, terlihat kenampakan bedding fissility, terdapat fracture yang terisi oleh kuarsa, komposisi antara lain; gelas vulkanik, material organik, dan material berukuran abu. Lapisan 17 (Pyroclastic breccia) memiliki ciri grain supported, porositas intergranular dan kurang melimpah, struktur welded, komposisi; kuarsa, plagioklas, ortoklas, dan gelas vulkanik.

PEMBAHASAN Kekar dapat terbentuk pada batuan dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti kekuatan batuan terhadap tekanan, tekanan pori, retakan akibat tarikan, dan retakan akibat gaya kompresi (Mandl, 2005). Menurut Van der Pluijm dan Marshak (2004), kekar dapat terbentuk dipengaruhi oleh beberapa parameter, yaitu; ketebalan lapisan, litologi (modulus elastisitas batuan), kuat tarikan, tegangan. Faktor ketebalan lapisan dan litologi lebih mudah dianalisis karena terlihat secara kasat mata.

Hubungan Antara Jumlah Kekar dengan Ukuran Butir Hubungan antara kerapatan kekar dengan litologi diukur melalui tingkat kekakuan (stiffness) melalui nilai elastisitas batuan. Batuan yang lebih kaku akan memiliki nilai elastisitas yang lebih besar (Van der Pluijm dan Marshak, 2004). Pada percobaan Van der Pluijm dan Marshak (2004), tidak dijelaskan secara spesifik pengaruh ukuran butir terhadap kerapatan kekar. Percobaan ini dilakukan untuk mencari hubungan antara kerapatan kekar dengan ukuran butir batuan. Berdasarkan hasil analisis dari tiga sampel, didapatkan hasil bahwa semakin kasar ukuran butirnya maka jumlah kekar yang terbentuk akan semakin sedikit, hubungan keduanya digambarkan dalam grafik (lihat Gambar 3). Hal ini disebabkan oleh faktor litologi yang merupakan batuan piroklastik. Ukuran butir yang lebih kasar memiliki tingkat pengelasan (welding) yang lebih tinggi sehingga membuat struktur batuan lebih rapat (Mcphie et. al, 1993)

Hubungan Antara Jumlah Kekar dengan Ketebalan Lapisan Jarak antar kekar akan semakin rapat bila lapisan batuan semakin tebal, dengan asumsi bahwa semua parameter pengontrol dianggap sama (Van der Pluijm dan Marshak, 2004). Berdasarkan dari tiga sampel batuan dengan ketebalan berbeda yang dianalisis, didapatkan hasil bahwa lapisan 17 yang merupakan lapisan paling tebal memiliki jumlah kekar yang paling sedikit, digambarkan dengan grafik (lihat Gambar 4). Grafik menunjukkan hubungan antara jumlah kekar yang semakin menurun pada lapisan-lapisan yang semakin tebal. Jika dibandingkan dengan teori, maka secara umum teori terbukti benar dan memiliki korelasi dengan hasil penelitian. Hubungan kerapatan kekar dengan ketebalan lapisan yaitu terletak pada refleksi stress shadow, semakin tebal batuan maka kekar yang terbentuk akan semakin panjang mengikuti ketebalan dan stress shadow akan semakin melebar seiring dengan semakin panjangnya kekar.

KESIMPULAN Dari analisis data yang dilakukan dapat disimpulkan  Kerapatan kekar dipengaruhi oleh parameter ukuran butir batuan dan tingkat pengelasannya, khususnya pada batuan piroklastik.  Kerapatan kekar dipengaruhi oleh ketebalan lapisan, semakin tebal lapisan maka stress shadow akan semakin lebar.  Struktur welded mempengaruhi tingkat kompetensi batuan karena struktur batuan menjadi lebih rapat. 125


GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

UCAPAN TERIMAKASIH Penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada  Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada selaku penyelenggara seminar nasional  Anggota-anggota AAPG UGM-SC yang turut membantu dalam diskusi selama penelitian berlangsung

DAFTAR PUSTAKA FISHER, R.V., DAN SCHMINCKE, H-U., Pyroclastic Rocks. Springer-Verlag, Berlin, 1984. MANDL, G., Rock Joints. Springer-Verlag, Berlin, 2005. MCPHIE, J., DOYLE, M., DAN ALLEN, R., Volcanic Textures : A guide to the interpretation of textures in volcanic rocks. Codes Key Centre, Tasmania, 1993. VAN DER PLUIJM, B. A., DAN MARSHAK, S., Earth Structure: An Introduction to Structural Geology and Tectonics Second Edition, W. W. Norton and Company, New York. 2004 WILLIAMS, H., TURNER, F.J., DAN GILBERT, C.M., Petrography : an introduction to the study of rocks in thin sections. W.H. Freeman and Company, New York, 1982

Gambar 1. Lokasi Penelitian (dari Google Maps, diakses 13 November 2013 jam 23:55)

126


Gambar 2. Sketsa singkapan

GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

127


GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

Tabel 1. Kolom Litologi dan hasil tabulasi jumlah kekar pada setiap lapisan Log Batuan (tidak berskala, tebal total 707cm)

128

No.

Tebal (cm)

Jumlah kekar

Nama Batuan (Fisher, 1966B)

Deskripsi singkat

17

400

9

Pyroclastic breccia

Batuan berwarna putih keabu-abuan, ukuran fragmen kerakal dan matriks material piroklastik berukuran pasir, sortasi buruk, grain supported, struktur welded, komposisi fragmen tuf dan andesit, matriks tuf.

16

20

56

Tuff

Batuan berwarna abu-abu, ukuran butir ash, mud supported, komposisi tuf.

15

20

49

Tuff

Batuan berwarna abu-abu, ukuran butir ash, mud supported, komposisi tuf.

14

20

56

Tuff

Batuan berwarna abu-abu, ukuran butir ash, mud supported, komposisi tuf.

13

20

29

Lapilli-tuff

Batuan berwarna putih, ukuran butir ash, matrix supported, komposisi tuf kasar.

12

20

40

Tuff

Batuan berwarna merah keungu-unguan, ukuran butir ash, mud supported, komposisi tuf.

11

10

73

Tuff

Batuan berwarna abu-abu, ukuran butir ash, mud supported, komposisi tuf.

10

10

32

Lapilli-tuff

Batuan berwarna merah keungu-unguan, ukuran butir ash, matrix supported, komposisi tuf kasar.

9

5

41

Tuff

Batuan berwarna abu-abu, ukuran butir ash, mud supported, komposisi tuf.

8

10

30

Tuff

Batuan berwarna abu-abu, ukuran butir ash, mud supported, komposisi tuf.

7

10

38

Tuff

Batuan berwarna abu-abu, ukuran butir ash, mud supported, komposisi tuf.

6

12

41

Tuff

Batuan berwarna abu-abu, ukuran butir ash, mud supported, komposisi tuf, carbon flakes

5

20

39

Tuff

Batuan berwarna abu-abu, ukuran butir ash, mud supported, komposisi tuf.

4

5

58

Tuff

Batuan berwarna putih, ukuran butir ash, mud supported, komposisi tuf.

3

20

24

Tuff

2

5

57

Tuff

1

100

11

Lapilli-tuff

Batuan berwarna abu-abu, ukuran butir ash, mud supported, komposisi tuf dan carbon flakes. Batuan berwarna coklat oksidasi, ukuran butir ash, mud supported, komposisi tuf. Batuan berwarna putih, ukuran butir ash, matrix supported, komposisi lapili dan tuf kasar.


GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

Gambar 3. Grafik hubungan jumlah kekar dengan ukuran butir

Gambar 4. Grafik hubungan kekar dengan ketebalan lapisan

129


GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

Lapisan 1 Lapilli tuff

Lapisan 16 Tuff

//

X

TRO

Gambar 5. Kenampakan petrografi dari sampel

130

Lapisan 17 Pyroclastic breccia


GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

GD 3 - KARAKTERISTIK KEKAR TIANG PADA LAVA ANDESIT DI DAERAH RANDUBANG, WONOGIRI, JAWA TENGAH Aditya PRATAMA* dan Fahmi HAKIM Jurusan Teknik Geologi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Indonesia *email: aditya_didit_pratama@yahoo.co.id Diterima tanggal 15 November 2013 Dipresentasikan pada Seminar Nasional Kebumian ke-6 Jurusan Teknik Geologi Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, tanggal 12 Desember 2013

ABSTRAK Kekar tiang merupakan salah satu bentukan morfologi yang sangat berkaitan dengan aktifitas vulkanik maupun intrusi. Bentukan kekar tiang ini merupakan hasil dari pendinginan yang cepat dari suatu batuan yang bersifat panas seperti lava, intrusi, maupun batuan piroklastik. Daerah penelitian terletak di daerah Randubang,Wonogiri, Jawa Tengah yang termasuk dalam Formasi Mandalika yang berumur Oligosen Akhir – Miosen Awal. Batuan yang terdapat pada daerah penelitian adalah lava andesit dan aglomerat. Struktur geologi yang ada di daerah penelitian berupa sesar geser mengiri dengan bidang sesar berarah N35oE/76o dan sesar turun dengan bidang sesar berarah N150oE/80o. Kekar tiang di daerah penelitian terbentuk dari suatu tubuh lava andesit bervolume besar yang terbentuk secara bertahap dan berulang-ulang. Secara umum, kekar tiang memiliki kemiringan yang tegak lurus (90o) dengan bidang pendinginan. Pada daerah penelitian ditemukan bahwa kekar tiang memiliki orientasi kemiringan yang tidak vertikal yaitu berkisar antara 5-75o dengan arah yang bervariasi. Kekar tiang di daerah penelitian memiliki morfologi yang khas berjenis colonnade dengan bentukan segi 3, 4, 5 dan 6 dengan diameter antara 15 sentimeter hingga 1 meter. Kekar tiang di daerah penelitian memiliki dimensi panjang kolom berkisar antara 4 meter hingga 25 meter. Berdasarkan kenampakan di lapangan, struktur geologi tersebut tidak berpengaruh dominan terhadap morfologi kekar tiang tersebut. Peneliti menyimpulkan bahwa kekar tiang di daerah penelitian merupakan kekar tiang hasil pendinginan suatu masa lava andesit bervolume besar yang terbentuk secara bertahap pada paleoslope yang cukup curam. Kemiringan yang beragam dari kekar tiang pada daerah penelitian lebih dikontrol oleh aspek paleoslope. Berdasarkan interpretasi arah aliran lava dan paleslope, diperkirakan daerah penelitian merupakan pusat erupsi dari suatu gunungapi purba berbentuk domedengan paleoslope yang curam.

Kata kunci: Kekar tiang, lava andesit, paleoslope, pusat erupsi

PENDAHULUAN Kekar tiang atau sering disebut collumnar joint merupakan salah satu bentukan morfologi yang sangat berkaitan dengan aktifitas vulkanik maupun intrusi. Kekar tiang adalah kekar yang berbentuk paralel, kolom prismatik, pada aliran lava atau kadang-kadang pada batuan lain, yang terbentuk akibat hasil dari pendinginan (Bates & Jackson, 1987). Bentukan kekar tiang ini merupakan hasil dari pendinginan yang cepat dari suatu tubuh batuan yang bersifat panas seperti lava, intrusi, maupun batuan piroklastik. Kolom-kolom kekar tiang akan memiliki arah yang paralel searah dengan pendinginannya. Pada aliran lava (dianggap tanpa memiliki paleoslope), kekar secara umum akan terbentuk secara 131


GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013 vertikal karena lava akan kehilangan panas dari dalam ke udara dan ke tanah. Pada dike, kolom-kolom kekar tiang dapat berbentuk horizontal. Hal tersebut terjadi karena pendinginannya berasal dari batuan host yang diterobosnya. Kekar tiang yang terletak di dusun Randubang, Desa Pare, Kecamatan Selogiri, Kabupaten Wonogiri, Provinsi Jawa Tengah, memiliki keunikan yang membuat peneliti ingin mengetahui karakteristik dan kontrol pembentukannya berdasarkan data-data geologi yang ada. Keunikan tersebut adalah bentukannya yang tidak vertikal lagi. Jika dilihat secara sekilas kekar tiang tersebut memiliki bentuk yang hampir horizontal. Peneliti ingin mengetahui kontrol geologi yang berpengaruh pada pembentukan kekar tiang di daerah penelitian.Daerah penelitian merupakan areal pertambangan lokal batu andesit yang belum pernah diteliti di dalam suatu riset sebelumnya. Luasan objek penelitian berkisar 250m x 400m. Peta lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.

Daerah Penelitian

Gambar 1. Peta lokasi daerah penelitian

LANDASAN TEORI Berdasarkan morfologi, kekar tiang dibagi menjadi 2 yaitu tipe colonnade dan tipe entablature (Hamada dan Toramaru, 2012). Tipe colonnade memiliki bentuk kekar yang lurus dan sistematik dengan arah vertikal. Pembentukan kekar tiang ini akan tegak lurus dengan permukaan alirannya. Ketika lava meluncur pada suatu masa air, maka bagian atas dan bawah akan mengalami pendinginan maksimal sehingga akan terbentuk colonnade pada bagian atas dan bawah lava. Pada entablature, karena bagian tengah dari masa lava masih bersifat panas akan membentuk kekar-kekar yang tidak beraturan (Gambar 2) (Spry, 1962). 132


GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013 Perkembangan yang berulang-ulang dari kolom kekar tiang dapat diidentifikasi dari profil kolomnya. Setiap perulangan dapat memiliki arah yang sedikit berbeda dengan kolom sebelumnya. Hal ini dikarenakan terdapat perbedaan paleoslope dan ketegangannya, yang mana hal tersebut dapat dilihat dari setiap layernya. Pendinginan yang relatif cepat akan menghasilkan ukuran kolom yang kecil sedangkan pendinginan yang relatif lambat akan menghasilkan kolom yang relatif besar. Semakin lama proses pembentukan kekar tiang, maka akan membentuk bentukan heksagonal yang sempurna. Selain itu, bentukan heksagonal yang sempurna juga dikontrol oleh ketebalan dan komposisi lavanya (Ryan & Sammis, 1978 dalam GyĂśrgy HetĂŠnyi, dkk., 2011).

Gambar 2. Bentukan kekar tiang tipe colonnade dan entablature pada suatu tubuh lava (Spry, 1962)

METODE PENELITIAN Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode kuantitatif dan kualitatif. Metode kuantitatif berupa pengukuran arah kemiringan kekar tiang, pengukuran struktur geologi, serta pengukuran dip/strike batuan. Sedangkan metode kualitatif menggunakan analisis deskriptif dengan mengamati gejala-gejala geologi di lapangan. Dari kedua metode tersebut kemudian dianalisis untuk menentukan karakteristik kekar tiang di daerah penelitian serta dapat membuat model genetiknya.

GEOLOGI Daerah penelitian secara fisiografis termasuk dalam Zona Pegunungan Selatan. Secara regional daerah penelitian termasuk dalam Formasi Mandalika yang tersusun oleh lava dasit-andesit, tuf dasit dengan intrusi diorit. Formasi ini diperkirakan berumur Oligosen Akhir-Miosen Awal (Surono,dkk.,1992 dalam Peta Geologi Regional Lembar Surakarta dan Giritontro). Berdasarkan pengukuran kelerengan satuan geomorfologi dibagi menjadi 2 yaitu satuan perbukitan vulkanik berlereng curam dan satuan perbukitan vulkanik berlereng sangat curam. Kedua satuan geomorfologi tersebut sangat dikontrol oleh litologinya. Saat terangkat oleh kegiatan tektonik regional, litologi daerah penelitian dan sekitarnya yang merupakan batuan beku dan piroklastik sangat sulit untuk di erosi, sehingga memberikan kenampakan morfologi yang terjal. Berdasarkan pengamatan dan pemetaan di lapangan, satuan litologi pada daerah penelitian berupa satuan lava andesit dan aglomerat, dimana satuan aglomerat secara stratigrafi berumur lebih tua dari lava andesit. Di sekitar daerah penelitian terdapat satuan breksi tuf yang menumpang di atas lava andesit. Lava andesit memiliki struktur 133


GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013 vesikuler, bertekstur afanitik (ukuran kristal <0,1 mm) dengan komposisi feldspar dan mineral mafik. Di beberapa tempat terdapat urat kalsit dengan arah urat yang acak. Struktur geologi yang mengenai daerah penelitian terdiri dari sesar turun dengan bidang sesar berarah N150oE/80o dan sesar geser mengiri (memotong sesar turun) dengan arah bidang sesar N35oE/76o (Gambar 3).

U

D

Satuan Perbukitan Vulkanik berlereng sangat curam Satuan Perbukitan Vulkanik berlereng curam

Gambar 3. Peta geologi dan geomorfologi daerah penelitian dan sekitarnya

HASIL DAN PEMBAHASAN Morfologi dan Dimensi Kekar Tiang Morfologi kekar tiang di daerah penelitian memiliki jumlah segi 3, 4, 5 dan 6 dengan diameter antara 15 sentimeter hingga 1 meter (Gambar 4.a). Bentukan segi 4 dan 5 adalah yang paling banyak dijumpai pada kekar tiang di daerah penelitian. Sudut pada segi-segi kekar tiang di daerah penelitian cenderung teratur dan tidak simetris, namun masih membentuk kolom dengan arah yang relatif sama. Bentukan yang tidak simetris ini dimungkinkan oleh masih terjadinya pergerekan lava di saat proses pembentukan kekar. Hal ini dibuktikan dengan bentukan kekar tiang cenderung memipih searah dengan pergerakan lava. Dimensi kekar tiang juga berperan penting terhadap interpretasi volume lava yang dikeluarkan tiap satuan periode erupsi lava. Kekar tiang di daerah penelitian memiliki dimensi panjang kolom berkisar antara 4 meter hingga 25 meter (Gambar 4.b). Hal ini menunjukkan volume lava yang dikeluarkan cukup besar pada satu periode 134


GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013 pendinginan.Secara umum, daerah penelitian mengalami periode erupsi lava dengan volume yang cukup besar dengan periode pendinginan yang relatif lama sehingga membentuk kekar tiang dengan bentukan segi yang baik dan kolom yang panjang.

Gambar 4. a. Morfologi kekar tiang bertipe colonnade dengan segi 3, 4, 5 dan 6 b. Panjang kolom kekar tiang yang cukup besar antara 4-25 meter (lihat truk sebagai pembanding)

Arah dan Orientasi Kekar Tiang beserta Implikasinya Kekar tiang bukanlah merupakan struktur geologi, namun bukan berarti pengukuran pada arah dan orientasi kekar tiang tidak memberikan makna. Pengukuran yang dilakukan pada arah (dip direction) dan kemiringan (dip) kekar tiang (terutama pada lava) dapat memberikan implikasi terhadap arah aliran lava dan paleoslope dari suatu lereng gunungapi. Dengan mengukur arah (dip direction) dari kekar tiang maka dapat diperoleh perkiraan dari arah aliran lava dengan asumsi kekar tiang terbentuk tegak lurus dengan arah aliran lava. Dengan demikian kita mampu untuk menganalisis dari mana arah aliran lava dan mencari sumbernya. Begitu juga dengan pengukuran kemiringan dari tubuh kekar tiang. Dengan asumsi kekar tiang terbentuk tegak lurus dengan arah aliran lava, maka kekar tiang yang memiliki kemiringan vertikal (90o) terbentuk pada lereng (slope) yang datar sebagai bidang lava untuk mengalir. Sedangkan kekar tiang yang miring mengimplikasikan bahwa lava mengalir pada bidang yang miring. Cara menganalisis arah aliran lava yaitu dengan mengukur dip direction (arah kemiringan) kekar tiang. Arah aliran lava adalah bertolak belakang dengan arah dip direction (Gambar 5) atau dapat dirumuskan menjadi:

Arah Aliran Lava (N...oE) = Dip Direction Kekar Tiang (N...oE) + N180oE Sedangkan untuk mengetahui kelerengan bidang mengalirnya lava (slope lereng) yaitu dengan mengukur dip (kemiringan) kekar tiang (Gambar 5). Slope lereng dapat diukur dengan rumus berikut: Slope Lereng (...o) = 90o- Dip Kekar Tiang (...o)

135


GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

Gambar 5. Animasi pengukuran dip dan dip direction kekar tiang terhadap interpretasi arah aliran lava dan slope lereng Daerah penelitian secara umum memiliki kekar tiang yang tidak vertikal dengan arah kemiringan beragam (5-75o). Hipotesis awal dari peneliti adalah lava mengalir secara bertahap pada kelerengan yang cukup curam. Penelitian ini terfokus pada suatu daerah pertambangan andesit di Dusun Randubang yang telah dibuka sejak zaman penjajahan Belanda. Beberapa arah dan orientasi kekar tiang dapat diukur dan dianalisis. Peta lokasi pengukuran data kekar tiang dan interpretasi arah aliran lava dapat dilihat pada Gambar 6. Sedangkan pengukuran arah dan kemiringan kekar tiang pada beberapa stasiun pengamatan (STA) di daerah penelitian dapat dilihat pada Tabel 1.

Gambar 6. Peta lokasi STA dan arah aliran lava 136


GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

Tabel 1. Hasil pengukuran bidang kekar pendinginan beserta perkiraan arah aliran lava No. STA 1 2 3.1 3.2 3.3 4 5 6.1 6.2 6.3 6.4 7 8

Dip Direction (N...oE) 180 150 155 120 120 80 86 80 100 110 120 117 10 335 300 270 240 225

Dip (...o) 30 18 30 40 18 60 60 60 30 29 13 7 55 60 75 74 65 5

Arah Aliran Lava (N...oE) 0 330 335 300 300 260 266 260 280 290 300 297 170 155 120 90 60 45

Paleoslope Tubuh Lava (...o) 60 72 60 50 72 30 30 30 60 71 77 83 35 30 15 16 25 85

Dari data pengukuran arah (dip direction) dan kemiringan (dip) dari kekar tiang pada STA 1, arah aliran lava cenderung mengarah ke utara dengan paleoslope 60o. Pada STA 2 dan 3.1 arah aliran lava cenderung mengarah ke barat laut dengan paleoslope tubuh lava yang curam (berkisar antara 50-72o). Pada STA 3.2 dan 3.3 aliran lava mengarah ke barat dengan paleoslope yang landai sekitar 30o. Sedangkan dalam beberapa puluh meter ke barat yaitu pada STA 4 aliran lava juga masih mengarah ke barat, namun dengan paleoslope yang curam (60-70o). Perbedaan paleoslope yang cukup mencolok antara STA 4 dengan STA 3.2 dan 3.3 diperkirakan terjadi akibat deformasi tektonik, yaitu oleh sesar turun yang terdapat diantara 2 stasiun pengamatan tersebut. Kenampakan STA 1-4 di lapangan dapat dilihat pada Gambar 7.a. Kemudian pada STA 5 aliran lava juga masih ke arah barat dengan paleoslope yang sangat curam (83o). Pada STA 6.1 hingga 6.4 kekar tiang cenderung lebih vertikal dengan interpretasi arah aliran lava berubah secara kontras dari arah selatan berangsur-angsur menuju timur dengan paleoslope yang cukup landai (15-35o). Pada STA 6 ini aliran lava seolahseolah berasal dari satu lokasi dan menyebar ke berbagai arah (Gambar 7.b). Pada STA 6 ini juga ditemukan lava andesit yang masif dengan diameter 10 meter dan banyak terdapat urat kalsit (Gambar 7.c). Pada STA 7 arah lava masih mengarah ke timur-timurlaut dengan paleoslope yang masih landai (25o). Sedangkan pada STA 8 yang terpisah cukup jauh aliran lava mengarah ke arah timur laut dengan paleoslope sangat curam yaitu 85o. Kekar tiang pada STA 8 bisa dikatakan hampir horizontal (Gambar 7.d). Kemungkinan besar aspek tektonik yang mengenai daerah tersebut yaitu sesar geser mengiri membuat lava andesit pada STA 8 menjadi lebih ditekan kearah timurlaut sehingga kekar tiang pun lebih merebah. 137


GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

Gambar 7.

a.Kenampakan kekar tiang di daerah penelitian di STA 1, 2, 3, 4 b.Kekar tiang yang memusat menuju satu arah di STA 6 c.Lava andesit masif dengan urat kalsit yang intensif di STA 6 d.Kenampakan kekar tiang yang rebah (hampir horizontal) di STA 8

Berdasarkan data-data pengukuran arah dan kemiringan kekar tiang yang ada di daerah penelitian, maka diketahui arah pergerakan lava pada daerah penelitian tersebar di 8 arah mata angin. Berdasarkan profil geologinya (Gambar 8), daerah penelitian merupakan daerah pusat erupsi (center of eruption) yang menghasilkan lava andesit dengan volume cukup besar. Dari rekonstruksi terhadap aliran lavanya, maka diperkirakan STA 6 merupakan titik pusat keluarnya lava andesit. Kehadiran lava andesit masif dengan diameter sekitar 10 meter dengan urat kalsit yang intensif pada STA 6 semakin menunjukkan adanya celah sebagai jalur keluarnya magma maupun larutan hidrotermal dilokasi tersebut. Sedangkan data pengukuran dip kekar tiang, menunjukkan bahwa disekitar pusat erupsi memiliki paleoslope yang berkisar antara 15-30o di sekitar pusat erupsi dan semakin menjauh dari pusat kelerengan semakin curam (30-85o). Daerah peneltian pada saat itu dapat dimodelkan sebagai dome yang cenderung datar di bagian atas dan memiliki lereng curam.

138


GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

Gambar 8. Peta geologi dan sayatan geologi A-B

KESIMPULAN Kekar tiang di daerah penelitian terbentuk dari suatu tubuh lava andesit bervolume besar yang terbentuk secara bertahap dan berulang-ulang. Dengan asumsi pembentukan kekar tiang adalah tegak lurus dengan permukaan aliran lava, maka arah aliran lava dapat diketahui. Kekar tiang di daerah penelitian memiliki karakteristik morfologi yang khas berjenis colonnade dengan bentukan segi 3, 4, 5 dan 6 dengan diameter antara 15 sentimeter hingga 1 meter. Dimensi panjang kolom kekar berkisar antara 4 meter hingga 139


GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013 25 meter. Kekar tiang di daerah penelitian memiliki orientasi kemiringan yang tidak vertikal yaitu berkisar antara 5-75o dengan arah yang bervariasi. Berdasarkan data pengukuran kekar tiang yang telah dikonversi maka arah aliran lava di daerah penelitian adalah menyebar keluar dari daerah penelitian. Sedangkan kemiringan yang beragam dari kekar tiang di daerah penelitian lebih dikontrol oleh aspek paleoslope dengan sedikit kontrol struktur geologi (sesar). Berdasarkan interpretasi arah aliran lava dan paleoslope, diperkirakan daerah penelitian merupakan pusat erupsi (center of eruption) dari suatu gunungapi purba berbentuk dome dengan paleoslope yang curam.

DAFTAR PUSTAKA BATES, R.L., & JACKSON, J.A., editors, 1987, Glossary of geology, 3rd edition, American Geological Institute, Alexandria, Virginia, 788 p. HAMADA, A., & TORAMARU, A., 2012, Factors Controlling Entablature Formation in Columnar Joints: Suggestions from the Analogue Experiments, Japan Geoscience Union Meeting 2012, Chiba Japan. HETÉNYI, G., TAISNE, B., GAREL, F., MÉDARD, E., BOSSHARD, S., & MATTSSON, H.B., 2011, Scales of Columnar Jointing in Igneous Rocks: Field Measurements and Controlling Factors, Bull Volcanol (2012) 74:457–482, Springer-Verlag 2011. SPRY, A., 1962,The origin of columnar jointing, particularly in basalt flows. Aust J Earth Sci 8:191–216 SURONO, SUDARNO, I., & TOHA, B., 1992,Peta Geologi Lembar Surakarta-Giritontro, Jawa, skala 1:100.000. Puslitbang Geologi, Bandung.

140


GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

GD 4 - ANALISIS PEMBELOKAN ALIRAN SUNGAI OPAK SAAT BERMUARA DI SAMUDRA HINDIA Yan Restu FRESKI [1] dan DARMADI [2] 1Jurusan 2Jurusan

Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada Teknik Geologi, Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian, Institut Teknologi Bandung 1yan_research@yahoo.com

Dipresentasikan pada Pertemuan Ilmiah Tahunan Ikatan Ahli Geologi Indonesia ke-41, Yogyakarta, September 2012

ABSTRACT This research idea arises when facing the fact showed by the map. Many rivers in Bantul until Cilacap Regency, Java, Indonesia, have the trend to deflect to the west before come into the ocean. One of them is Opak River in Bantul, Special Region of Yogyakarta, Indonesia. This research aimed to know the factor affecting the deflection of Opak River before it ends in the Indian Ocean and to know the process of deflection of the Opak River on its condition. Methods used in this research were observation, library research, and documentation. The samples were tested in granulometric analysis. It was supported with stereo-microscopic analysis. Observation was focused on sedimentation process. To analyze the data, analytic descriptive was used, that is interpreting the data qualitatively. The result of the research explained that there were many factors that affect the deflection such as wind, wave, longshore current, sedimentation from the river, lithology (rock formation), neo-tectonic setting, and geomorphology. Wind creates the wave that will break and crash the beach. It causes swash and back-swash shaping long-shore drift to the west. The sediment in this natural process moves to the western beach blocking the stream. The rock formation supports the process by its resistance. The formation of the rock both in the East Java and West Java does not support the deflection of rivers in its surrounding. There is a fact about the subduction zone lies along the Java Island and its southern beach. The latter always being uplifted as it belongs to the Eurasian plate. It constructs the geomorphology of the beach in the mouth of Opak River. Keywords: Opak River mouth, deflection, spit bar.

PENDAHULUAN Kajian morfodinamika di permukaan bumi saat ini menjadi kajian yang menarik. Salah satu fenomena geologi tersebut adalah terjadinya pembelokan aliran sungai-sungai ke arah barat di Pulau Jawa saat bermuara di Samudera Hindia. Fenomena ini hanya terjadi di daerah antara Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta sampai dengan Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah. Salah satu contoh dari fenomena tersebut adalah Sungai Opak yang bermuara di sebelah barat Pantai Depok, Desa Parangtritis, Kecamatan Kretek, Kabupaten Bantul, Prov. DIY. Keunikan dari Sungai Opak ini adalah morfologi muara yang membelok ke arah barat sebelum bermuara di Samudera Hindia (Gb. 1). Oleh karena itu fenomena ini menarik

141


GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013 untuk dikaji lebih mendalam untuk mengetahui faktor-faktor serta proses yang menyebabkan hal tersebut dapat terjadi.

GEOLOGI DAERAH PENELITIAN Secara astronomi, muara Sungai Opak terbentang dari 8o 0’ 19.75” LS sampai 8o 0’ 41.93” LS dan dari 110o 17’ 23.64” BT sampai 110o 16’ 6.52” BT. Berdasarkan fisiografi yang dibuat oleh Van Bemmelen (1970), daerah penelitian terletak di antara Pegunungan Selatan dan Pegunungan Serayu Selatan. Morfologi daerah penelitian terbagi atas beach ridge/spit bar, point bar, dan sand dune (Hendratno, 2000). Dalam peta geologi lembar Yogyakarta yang dibuat oleh Wartono Rahardjo Sukandarrumidi dan HMD Rosidi (1995), litologi daerah muara Sungai Opak terdiri dari alluvium (Qa) dan endapan volkanik Gunung Merapi Muda (Qmi) (Gb 2) . Litologi daerah muara sungai Opak pada bagian spit bar (bagian selatan muara) terdiri dari endapan pasir hasil sedimentasi laut. Endapan pasir tersebut berwarna abu-abu, yang merupakan hasil dari erupsi Merapi. Pada sisi utara dan timur laut dari muara sungai, litologinya tersusun atas endapan lempung, lanau dan pasir yang merupakan hasil pengendapan dari Sungai Opak. Sedangkan pada sisi timurnya tersususun atas pasir, yang membentuk bentukan sand dune.

PEMBAHASAN Pembelokan muara sungai Opak disebabkan oleh adanya spit bar yang menghalangi laju aliran Sungai Opak ke Samudra Hindia. Awalnya Sungai Opak bermuara ke selatan, namun karena adanya spit bar kemudian membelok dahulu ke barat sebelum ke selatan. Terdapat berbagai macam faktor yang mengontrol pembelokan muara Sungai Opak. Berdasarkan observasi lapangan, analisa laboratorium, serta data sekunder dapat dijelaskan bahwa terdapat enam faktor yang mempengaruhi pembelokan muara Sungai Opak. Keenam faktor tersebut adalah angin, gelombang dan longshore current, sedimentasi dari Sungai Opak, faktor litologi, setting tektonik, dan geomorfologi. Letak muara Sungai Opak yang berada di daerah selatan garis khatulistiwa menyebabkan daerah ini dilewati angin muson timur dan muson barat. Berdasarkan data angin rata-rata di daerah Cilacap yang diambil oleh PT. Puser Bumi (1993, dalam Triatmodjo, 1999) (tabel 1), angin yang bertiup di daerah selatan Pulau Jawa didominasi dari arah tenggara dan barat. Sesuai Hukum Buys Ballot, hal ini tidak terlepas dari adanya pengaruh gaya coriolis yang membelokkan angin ke arah kiri di belahan bumi selatan dan ke arah kanan di belahan bumi utara. Misalnya pada angin muson timur yang awalnya bertiup dari arah selatan, ketika bergerak ke arah khatulistiwa berubah menjadi arah tenggara. Angin yang bergerak menuju daerah Pantai Selatan Jawa akan mempengaruhi pergerakan gelombang di Samudera Hindia. Hal ini dapat dilihat dari data grafik mawar gelombang dari U.S. Navy Marine Climatic Atlas of The World 3 Indian Ocean (1976, dalam Triatmodjo, 1999) yang menunjukkan bahwa pergerakan gelombang didominasi dari arah selatan, tenggara dan barat daya (Gb. 3). Ketika gelombang ini bergerak menuju pantai Selatan Jawa khususnya daerah muara Sungai Opak maka arah datang gelombang akan menyudut terhadap garis pantai. Hal tersebut dikarenakan adanya gaya coriolis akibat dari rotasi bumi. Pada saat muson timur gelombang akan relatif berarah dari tenggara, sedangkan pada saat muson barat akan bearah relatif dari barat daya. Gelombang yang datangnya menyudut terhadap garis pantai dapat memicu munculnya longshore current. Longshore current adalah arus yang bergerak sejajar garis pantai. Longshore current ini membawa 142


GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013 material sedimen yang di transport sejajar garis pantai (longshore drift). Dalam kasus pembelokan muara Sungai Opak, longshore current menjadi faktor yang paling utama. Pembelokan muara Sungai Opak juga dikontrol oleh adanya sedimentasi oleh Sungai Opak itu sendiri. Sedimentasi ini memberi pasokan pada pembentukan spit bar yang menghalangi aliran Sungai Opak ke Samudra Hindia. Bukti dari adanya kontribusi sedimentasi Sungai Opak ini dapat dilihat dari endapan sedimen yang ditemukan di sisi utara spit bar. Endapan ini dicirikan dengan adanya butiran kerikil dan kerakal (Gb 4). Endapan kerikil dan kerakal ini menjadi penanda endapan Sungai Opak karena sedimen yang diendapkan oleh arus laut tidak mencapai ukuran gravel (maksimal sampai pasir kasar). Maka dapat disimpulkan bahwa ada kontribusi sedimentasi dari Sungai Opak dalam pembentukan spit bar yang menghalangi laju aliran Sungai Opak. Faktor lain yang berpengaruh adalah faktor litologi. Dari hasil pengamatan di lapangan diketahui bahwa daerah muara Sungai Opak dan sekitarnya didominasi oleh pasir lepas. Litologi yang berupa pasir ini sangat memudahkan proses-proses dari laut maupun sungai untuk mentransport dan mengendapkan sedimen di depan muara Sungai Opak. Setting tektonik muara sungai Opak yang berada di dekat zona pertemuan lempeng Eurasia dan Indo-Australia menyebabkan daerah ini mengalami pengangkatan. Dampak dari proses ini adalah majunya garis pantai. Fenomena tersebut turut mempengaruhi pembelokan muara Sungai Opak walaupun tidak cukup signifikan faktor lainnya karena kecepatan pergerakannya yang relatif lebih lambat dari morfodinamika muara sungai. Faktor keenam yang menjadi penyebab pembelokan muara Sungai Opak adalah morfologi. Morfologi daerah muara sungai opak relatif landai Hal ini memudahkan proses sedimentasi terjadi. Proses pembelokan muara Sungai Opak pada dasarnya dikontrol oleh spit bar yang menutupi aliran sungai. Spit bar ini dihasilkan oleh dua proses sedimentasi yaitu sedimentasi dari laut dan sedimentasi dari sungai. Pada sisi utara spit bar, terdapat endapan yang didominasi oleh kerikil dan kerakal (Gb. 4a). Sisi utara mewakili proses sedimentasi asal sungai. Pada sisi tengah dan selatan spit bar tidak ditemukan adanya endapan kerikil dan kerakal. Pada bagian ini didominasi oleh endapan pasir sangat halus sampai sangat kasar (Gb. 4b & 4c). Endapan pada sisi tengah dan selatan spit bar mengindikasikan hasil proses asal laut. Dari uji granulometri yang diambil di bagian tengah spit bar menunjukkan presentase pasir sangat kasar (40,6%), pasir kasar (22,8%), pasir sedang (17,4%), pasir halus (17%), pasir sangat halus (1,5%), lanau (0%), lempung (0%). Nihilnya presentase lempung dan lanau (0%) menunjukkan bahwa sedimentasi yang terjadi dikontrol oleh 2 hal yaitu arus yang kuat sehingga lanau dan lempung tidak sempat terendapkan (tersuspensi) dan terjadi penampian (winnowing) oleh arus laut. Dari proses tersebut dapat dirumuskan bahwa proses sedimentasi yang mengontrol adalah proses asal laut karena mekanisme sedimentasi laut berjalan secara lebih kuat dibanding dengan muara Sungai Opak. Data lain dari hasil uji granulometri sampel yang diambil dari endapan Sungai Opak menunjukkan kandungan pasir sangat kasar (7,4%), pasir kasar (29,4%), pasir sedang (40,2%), pasir halus (17,1%), pasir sangat halus (3,2%), lanau 0,6%), lempung (1,3%). Data tersebut mendukung bahwa sampel yang diambil dari bagian utara merupakan hasil dari proses asal sungai karena terdapat kandungan lanau dan lempung. 143


GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013 Dari pengamatan sampel di bawah mikroskop, mineral dominan pada sampel yang diambil di bagian tengah spit bar adalah mineral-mineral mafik (opak) (Gb. 5a). Mineral opak ini mempunyai densitas yang besar (4.5-5.2) sehingga dapat tertransport dengan mudah oleh arus yang kuat (arus laut). Mineral yang dominan terdapat pada sampel yang diambil dari endapan Sungai Opak adalah mineral bening (terang) hingga kuning kecoklat-coklatan seperti kuarsa dan plagioklas (Gb. 5b). Dari pengamatan ini dapat diyakini bahwa sampel endapan sungai mempunyai densitas lebih rendah dan cukup dengan energi lemah-menengah untuk mentransport material tersebut. Energi arus yang lebih lemah ini merupakan arus asal sungai. Proses asal laut merupakan longshore current yang terbentuk akibat arah angin dan gelombang yang menyudut terhadap garis pantai. Ketika angin muson timur bertiup (April–Oktober), gelombang yang terjadi akan berasal dari selatan dan tenggara. Saat angin bergerak mendekati khatulistiwa akan terjadi pembelokan arah angin menjadi ke barat akibat gaya coriolis bumi. Dengan demikian gelombang dominan akan terbentuk dari arah tenggara. Arah gelombang yang datang tersebut menyudut terhadap garis pantai sehingga menyebabkan longshore current yang bergerak dari arah timur ke barat. Longshore current tersebut akan mengangkut sedimen dari timur muara Sungai Opak (Pantai Depok dan sekitarnya) menuju ke arah barat dan diendapakan di depan muara Sungai Opak (Gb. 6). Proses ini merupakan gabungan dari angin muson dan efek coriolis. Proses tersebut juga terjadi pada saat muson barat (Oktober-April). Gelombang yang terjadi pada saat angin muson barat akan berarah dari baratdaya dan menghasilkan longshore drift yang membawa sedimen dari arah barat ke timur. Sedimen tersebut kemudian diendapkan di depan muara Sungai Opak. Proses pada muson barat tidak cukup signifikan karena hanya berasal dari arah angin dominan dalam sistem muson. Di sisi lain proses sedimentasi juga berasal dari Sungai Opak yang mendukung pasokan material pembentuk spit bar. Akibatnya spit bar tersebut terus bertambah dan menebal. Proses-proses geologi yang terjadi di depan muara Sungai Opak tersebut berlangsung dinamis dan terus menerus. Akibatnya aliran Sungai Opak menjadi terhalang oleh spit bar dan berbelok ke arah barat hingga saat ini.

KESIMPULAN Faktor-faktor yang menyebabkan pembelokan muara Sungai Opak adalah adalah angin, gelombang dan longshore current, sedimentasi dari Sungai Opak, faktor litologi, setting tektonik, dan geomorfologi. Proses pembelokan aliran di muara sungai Opak disebabkan oleh adanya spit bar yang menutupi muara. Akibatnya aliran Sungai Opak menjadi berbelok ke arah barat. Spit bar tersebut terbentuk karena proses dari laut (longshore current) dan sedimentasi oleh Sungai Opak.

UCAPAN TERIMAKASIH Penulis mengucapkan terimakasih kepada pihak-pihak yang mendukung terselenggaranya penelitian ini diantaranya, Ketua Jurusan Teknik Geologi UGM, Dr. Sugeng Sapto Surjono atas penyediaan laboratorium untuk uji granulometri dan studi pustaka di Perpustakaan Jurusan Teknik Geologi UGM. Selain itu, diucapkan terimakasih kepada Dr. Srijono atas

144


GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013 bimbingan dan masukan selama melakukan penelitian dari awal. Diucapkan terimakasih kepada Dr. Munasri (LIPI) atas ijin penggunaan Laboratorium Geoteknik LIPI Bandung.

DAFTAR PUSTAKA BEMMELEN, R.W VAN. 1970. The Geology of Indonesia vol. 1A: General Geology of Indonesia and Adjacent Archipelagoes. Netherland : The Hague. HENDRATNO, AGUS. 2000. Tesis : Kondisi Geologi Untuk Pengembangan Lingkungan Fisik Wilayah Pesisir Selatan Yogyakarta Antara Muara Sungai Opak dan Girijati. Yogyakarta : Pascasarjana UGM RAHARDJO, WARTONO. SUKANDARRUMIDI & H.M.D. ROSIDI. 1995. Peta Geologi Lembar Yogyakarta. Bandung: Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi. SURJONO, SUGENG S. 2010. Analisis Sedimentologi. Yogyakarta : Pustaka Geo TIM MORFODINAMIKA PESISIR. 2009. Studi Morfodinamika Wilayah Pesisir Selatan Kabupaten Bantul dan Kabupaten Cilacap. Yogyakarta : Geospasial Laboratory TIM PEMBANGUNAN DAERAH KABUPATEN KULON PROGO. 2002. Penyusunan Masterplan Pembangunan Pelabuhan Glagah Karangwuni 2002. Kerja sama Pusat Studi sumberdaya dan Teknologi Kelautan Universitas Gadjah Mada TRIATMODJO, BAMBANG. 1999. Teknik Pantai. Yogyakarta : Beta Offset Tabel 1. Arah angin rata-rata di daerah Cilacap (PT. Puser Bumi, 1993 dengan modifikasi) Arah Angi n N NE E SE S SW W NW AT

Jan

Feb

Mar

Apr

Mei

Juni

Bulan Juli

3.69 1.07 4.68 9.92

1.96 0.27 4.71 9.25

6.66 11.3 19. 7 16.9 25.9

5.51 12.8 24. 2 19.9 22

2.09 0.81 6.45 20.0 7 8.93 9.63 11.76

1.85 1.1 11.5 40. 7 3.09 3.35 6.09

1.25 2.15 19.8 42. 6 2.14 1.97 4.23

0.89 1.56 24.2 46. 6 2.43 0.89 2.87

13.88 12.77

9.41 23

5.26 20.6

3.21 17.4

Agt

Sept

Okt

Nov

Des

0.56 2.16 23.9 59. 1 1.43 0.59 1.24

0.21 1.76 25.45 61.6 8 3.03 0.2 0.74

0.33 1.76 23.12 64.3 5 2.63 0.14 0.73

0.66 1.85 19.1 58. 4 2.61 0.99 0.4

0.84 1.39 13.18 41.3 2 8.95 4.21 4.18

1.76 0.86 7.21 20.9 7 11.38 12.01 9.42

1.57 9.48

0.28 6.64

0.48 6.45

1.37 14.6

3.56 22.36

9.27 27.12

145


GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

Gambar 1. Morfologi muara Sungai Opak yang membelok ke barat (Google Earth)

Gambar 2. Peta geologi daearah penelitian (Rahardjo dkk, 1995)

Gambar 3. Diagram mawar gelombang Samudera Hindia (U.S. Navy Marine Climatic Atlas of The World 3 Indian Ocean 1976, dalam Triatmodjo, 1999).

146


GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

Gambar 4. Hasil sedimentasi dari sungai (a) dan hasil sedimentasi dari laut (b dan c).

Gambar 5. Sampel dari spitbar (a) dan sampel dari endapan Sungai Opak (b)

Gambar 6. Proses longshore current di Muara Sungai Opak (Google Earth)

147


GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

148


GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

GD 5 - PENGEMBANGAN KAWASAN HUTAN BAKAU DALAM PERSPEKTIF MORFODINAMIKA MUARA SUNGAI OPAK PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA Yan Restu FRESKI [1] dan SRIJONO [2], yan_research@yahoo.com, Jurusan Teknik Geologi FT UGM Sie Geomorfologi Lab. Geologi Dinamik Jur. Teknik Geologi FT UGM [1]

[2]

Dipresentasikan pada Pertemuan Ilmiah Tahunan Ikatan Ahli Geologi Indonesia ke-41, Yogyakarta, September 2012

ABSTRAK Pada kenyataannya, terdapat pembelokan aliran Sungai Opak ke barat saat akan bermuara di Samudra Hindia, membentuk wilayah pantai yang kompleks. Di wilayah pantai, terdapat tumbuhan bakau. Saat ini hutan bakau tidak berhubungan dengan air laut secara langsung. Untuk itu, perlu diadakan penelitian yang fokus mengenai pengembangan hutan bakau. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengembangan hutan bakau pada kondisi morfodinamika muara Sungai Opak. Metode yang digunakan adalah pemetaan persebaran hutan bakau di sekitar muara Sungai Opak dengan menggunakan Global Positioning System (GPS) dan pemetaan pembelokan aliran Sungai Opak. Selain itu perlu dilakukan pengukuran salinitas air dengan salinitymeter dan daya hantar listrik pada air di ruas muara dan wilayah hutan bakau. Metode analisis data yang digunakan adalah deskriptif analitik, yaitu dengan menginterpretasikan secara kualitatif terhadap data yang telah diperoleh. Hutan bakau tidak berhubungan dengan air laut secara langsung. Hutan bakau dipisahkan dari air laut oleh beberapa jenis morfologi. Morfologi yang dimaksud adalah gisik, ruas muara, dan tanggul alam sungai. Gisik mempunyai topografi datar yang berbatasan langsung dengan air laut. Sebaran kawasan hutan bakau memanjang searah dengan tanggul alam sungai. Tanggul alam berada di sebelah utara ruas muara. Di sebelah utara tanggul alam terbentuk cekungan air yang mendukung tumbuh kembangnya hutan bakau. Ada dua fenomena yang terjadi yaitu 1) adanya pembelokan aliran Sungai Opak saat akan bermuara membentuk perairan estuarium dan 2) terjadinya neotektonik (pengangkatan) dengan indikasi terbentuknya tanggul alam. Hutan bakau merupakan kawasan yang mempunyai ekosistem unik sehingga pengembangan kawasan ini menjadi penting. Secara prospektif, kawasan hutan bakau dapat bertahan jika pasokan brackish water konstan. Gejala neotektonik jenis pengangkatan yang kontinu dapat berakibat airnya dapat berubah. Hal itu dapat diatasi dengan mencari alternatif sumber pasokan brackish water sehingga masalah hutan bakau dapat teratasi. Kata kunci : bakau, morfodinamika, muara, Sungai Opak

PENDAHULUAN Hutan bakau daerah penelitian terletak di Dusun Baros, Desa Tirtohargo, Kecamatan Kretek, Kabupaten Bantul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Sebaran hutan bakau meliputi bagian utara ruas estuaria Sungai Opak dengan koordinat 8o0’27.77� LS149


GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013 8o0’33.66” LS dan 110o16’45.60” BT-110o 17’08.90” BT. Studi ini mengkaji pengaruh morfodinamika muara Sungai Opak terhadap pengembangan kawasan hutan bakau. Metode penelitian yang digunakan meliputi pemetaan sebaran hutan bakau dan pengujian sampel air di daerah studi dengan parameter daya hantar listrik dan salinitas.

LATAR BELAKANG GEOLOGI Pengembangan hutan bakau di daerah muara Sungai Opak merupakan hal baru yang dilakukan atas kerjasama Pemerintah dan perusahaan dengan masyarakat setempat. Saat ini, baru dilakukan penanaman sebanyak 2 spesies yaitu Avicennia sp. dan Rhizophora sp. tersebar seluas 5 Ha. Pengembangan hutan bakau ini dilakukan karena kecocokan sistem estuaria sebagai lahan bakau sebagai manifestasi interaksi antara perairan air tawar dan perairan air asin. Bakau juga dipilih sebagai salah satu vegetasi perintis yang berfungsi sebagai penghambat erosi horizontal aliran Sungai Opak (Gb. 2b). Permasalahan muncul dari lokasi pengembangan hutan bakau tersebut dalam perspektif geologi. Pengembangan hutan bakau dilakukan di daerah yang sangat dinamis. Pengaruh tersebut berasal dari sistem estuaria Sungai Opak yang dipengaruhi oleh keberadaan spit bar dan sistem tatanan neotektonik. Oleh karena itu, perlu dikaji mengenai keberlanjutan pengembangan hutan bakau dengan morfodinamika muara Sungai Opak tersebut.

MORFODINAMIKA MUARA SUNGAI Sistem estuaria Sungai Opak dapat dibagi dalam beberapa satuan geomorfologi (Gb. 1), yaitu: 1. Satuan Spit bar Satuan ini merupakan batas antara satuan perairan estuaria dengan laut. Satuan ini membentang dari arah Pantai Depok Kretek (tenggara) ke arah Pantai Samas Sanden (baratlaut). Dimensi panjang satuan ini adalah ± 2,380 km dengan lebar 4 – 5 m. Ketinggian spit bar ± 4 mdapl. Satuan ini tersusun atas material lepas dari volkanik Gunung Merapi yang telah mengalami penampian oleh proses longshore current sehingga tersortasi dengan baik. Satuan ini merupakan bagian sistem estuaria Sungai Opak yang paling dinamis. 2. Satuan Perairan Estuaria Satuan ini merupakan cekungan yang terisi oleh air payau hasil interaksi air sungai dengan air laut. Satuan ini terbentuk akibat terbendungnya aliran Sungai Opak oleh spit bar sehingga aliran sungai tidak langsung masuk ke laut. Satuan ini melebar dengan panjang ± 2,380 km dengan lebar 230 - 320 m. 3. Satuan Dataran Banjir Satuan dataran banjir terletak di sebelah utara satuan perairan estuaria. Satuan ini digunakan sebagai lahan pertanian. Ketinggian dataran banjir berkisar 2 – 3 mdapl. Satuan dataran banjir melampar hingga sejauh 1 km ke utara dari satuan perairan estuaria. 4. Satuan Gumuk Pasir Purba Satuan gumuk pasir purba berada di sebelah utara satuan dataran banjir. Gumuk pasir purba terletak di desa Baros Tirtohargo Kretek Bantul. Satuan ini berperan dalam proses evolusi sistem estuaria Sungai Opak. Keberadaan gumuk pasir purba yang berada 1,5 km dari garis pantai menunjukkan adanya indikasi perkembangan pantai maju. Air payau (brackish water) terjadi karena ada intrusi air laut ke arah satuan perairan estuaria melalui muara sungai dan rembesan pada spit bar (Gb. 4). Dalam tubuh estuaria,

150


GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013 terjadi sirkulasi arus yang mendistribusikan air asin dalam air tawar sehingga terbentuk air payau yang mengalir.

PENGEMBANGAN HUTAN BAKAU Jenis tanaman bakau yang dikembangkan di wilayah estuaria Sungai Opak adalah Avicennia sp. dan Rhizophora sp. (Setyawan, 2004). Bakau tersebut memiliki perbedaan karakteristik fisiologis yang sesuai dengan cara serta zona habitat dalam suatu sistem perairan payau. Rhizopora sp. memiliki akar jangkar (stilt root) yang mengembang dan berfungsi sebagai penguat pohon dari arus dan gelombang air. Spesies ini berkembang baik dalam perairan yang mempunyai arus cukup kuat. Avicennia sp. memiliki akar nafas yang muncul dari lumpur yang berfungsi sebagai alat eksresi dan respirasi. Spesies ini dapat berkembang baik pada daerah payau yang berarus sedang-lemah. Fungsi bakau dalam pengembangan daerah perairan estuaria Sungai Opak adalah untuk menghambat erosi horizontal pada tanggul alam bagian utara estuaria. Menurut Hendratno (2000), bagian utara sistem estuaria Sungai Opak merupakan dataran banjir muara sungai yang tergenang banjir secara periodik pada musim hujan. Hal ini disebabkan oleh perbedaan ketinggian antara rata-rata spit bar (4 mdapl) dengan dataran banjir (1 – 3 mdapl). Hal ini memungkinkan terjadi bencana banjir yang merusak lahan pertanian masyarakat.. Dengan bertahannya tanggul alam, banjir periodik yang terjadi dapat diminimalkan. Selain itu, pengembangan bakau di daerah estuaria Sungai Opak berfungsi sebagai pembangun suatu ekosistem baru yang berdampak positif terhadap keanekaragaman hayati. Jika terjadi pengrusakan hutan bakau, maka akan terjadi hal-hal berikut: 1. Abrasi pantai 2. Mengakibatkan intrusi air laut lebih jauh ke daratan 3. Potensi perikanan menurun 4. Kehidupan satwa liar terganggu 5. Sumber mata pencaharian penduduk setempat berkurang Morfodinamika estuaria Sungai Opak akan berpengaruh pada eksistensi hutan bakau yang tumbuh baru di utara estuaria. Perubahan morfologi daerah tersebut akan mempengaruhi tingkat salinitas dan daya hantar listrik air payau yang dihasilkan. Dari pengujian kadar salinitas dan daya hantar listrik (DHL), air payau di daerah penelitian mengalami perubahan karakteristik berupa penurunan kadar salinitas dan DHL air ke arah sungai (selatan) (Gb. 3). Perairan bakau yang jauh dari arus sungai memiliki salinitas dan DHL yang tinggi. Hal ini disebabkan oleh adanya air payau yang terjebak saat banjir melimpah hingga satuan dataran banjir. Air payau akan mengalami infiltrasi dan perkolasi menjadi airtanah yang bersalinitas dan DHL normal-tinggi. Berbeda dengan tubuh perairan bakau yang terletak dekat dengan estuaria Sungai Opak memiliki salinitas dan DHL yang kecil. Hal ini membuktikan bahwa sirkulasi air payau di estuaria terjadi sangat intensif dan cepat. Jumlah air tawar sungai yang dikontrol oleh musim mengakibatkan fluktuasi yang dinamis dalam sistem perairan bakau. Bakau membutuhkan salinitas ideal antara 4 -35 o/oo (Djohan, 2000). Salinitas air daerah penelitian berkisar antara <0.01 – 14.5 o/oo (Gb. 3). Dengan demikian, daerah penelitian berpotensi baik untuk pengembangan bakau. Faktor lain yang berperan dalam sistem estuaria bakau adalah faktor neotektonik. Faktor ini tidak berperan aktif dalam morfodinamika estuaria Sungai Opak. Faktor ini bekerja 151


GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013 dalam skala waktu yang lama sehingga tidak begitu tampak sebagai pengontrol sistem estuaria. Padahal faktor ini telah mengubah dan membentuk sistem pantai maju di pantai selatan Pulau Jawa. Hal ini ditunjukkan oleh keberadaan gumuk pasir purba di sebelah utara satuan dataran banjir yang diyakini dahulu berdekatan dengan garis pantai seperti gumuk pasir yang terbentuk saat ini di Pantai Parangkusumo Kretek Bantul DIY.

SIMPULAN Daerah estuaria Sungai Opak memiliki prospek yang baik untuk pengembangan hutan bakau. Sistem morfodinamika estuaria Sungai Opak memberikan efek positif kepada lahan tumbuh kembang tanaman bakau. Dengan demikian perlu penataan daerah kepesisiran yang lebih baik dengan menjaga keberlangsungan hutan bakau seiring dinamika muara Sungai Opak.

UCAPAN TERIMAKASIH Studi ini didukung oleh Jurusan Teknik Geologi UGM dan Laboratorium Hidrologi dan Kualitas Air Fakultas Geografi UGM. Terimakasih diucapkan kepada seluruh pihak yang telah memberi masukan dan membantu secara moral maupun material hingga karya tulis ini dapat diselesaikan.

REFERENSI DJOHAN, TJUT SUGANDAWATY. 2000. Prospek Pengembangan Mangrove di Pantai Selatan. Workshop Regional Mangrove: STIPER Yogyakarta. HENDRATNO, AGUS. 2000. Kondisi Geologi Untuk Pengembangan Lingkungan Fisik Wilayah Pesisir Selatan Yogyakarta Antara Muara Sungai Opak dan Girijati. Thesis. UGM: Sekolah Pascasarjana Teknik Geologi UGM SETYAWAN, AHMAD DWI DKK. 2004. Mangrove plants in coastal area of Central Java: 3. Horizontal and vertical diagram of vegetation profile. Biodiversitas. Vol 9 no. 4

Gb1. Peta Wilayah Penelitian 152


GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

(a)

U

(b) Gb 2 (a) Peta sebaran bakau S. Opak, (b) fungsi bakau sebagai penghambat erosi (kamera menghadap timur) Grafik Salinitas Air Daerah Penelitian

Grafik Daya Hantar Listrik Air Daerah Penelitian

14

16000

12

14000 DHL (umhos/cm)

Kadar Salinitas (o/oo)

16

10 8 6 4 2

12000 10000 8000 6000 4000 2000

0

0 YS01

YS02

YS03

YS04

YS05

YS06

Kode Contoh

YS07

YS08

YS09

YS- YS- YS- YS- YS- YS- YS- YS- YS01 02 03 04 05 06 07 08 09

Kode Contoh

(a) (b) Gb 3 (a) Grafik salinitas air daerah penelitian, (b) Grafik daya hantar listrik air daerah penelitian.

153


GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

Gb 4. Skema aliran air di sistem estuaria Sungai Opak

154


GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

GD 6 - MEKANISME PEMBENTUKAN SPIT PADA MUARA SUNGAI OPAK DALAM MORFODINAMIKA PESISIR SELATAN PULAU JAWA BERDASARKAN ANALISIS CITRA MULTI-TEMPORAL SRIJONO1 dan Yan Restu FRESKI1* 1Jurusan

Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada Jalan Grafika 2, Bulaksumur Sleman D.I.Yogyakarta, Indonesia *yan_research@yahoo.com

Diterima tanggal 15 November 2013 Dipresentasikan pada Seminar Nasional Kebumian ke-6 Jurusan Teknik Geologi Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, tanggal 11 Desember 2013

ABSTRAK Wilayah pesisir selatan Pulau Jawa bagian tengah merupakan daerah prospek pengembangan wilayah yang mempunyai permasalahan di beberapa muara sungai besar. Morfologi muara sungai seperti spit, menjadi sangat dinamik. Oleh karena itu, perlu penelitian mekanisme pembentukan spit terkait morfodinamika pesisir. Kajian ini bertujuan untuk pemantauan dan prediksi dinamika dari waktu ke waktu. Metode penelitian yang dilakukan adalah pengamatan citra satelit IKONOS dan Quickbird dengan penanggalan berkala (multi-temporal). Analisis citra diikuti kajian lapangan. Analisis dilengkapi dengan data granulometri, angin, gelombang, dan debit sungai sebagai data sekunder. Spit terbentuk secara efektif pada tatanan morfologi dataran pantai berlitologi endapan pasir lepas dengan ukuran butir halus-sedang. Dinamika ini didukung oleh proses wash-over dengan panjang ke arah sungai (tegak lurus pantai) 50-100 m dan lebar searah pantai 50-150 m. Proses wash-over meningkat pada musim kemarau dengan proses asal laut lebih kuat daripada proses asal sungai. Dinamika pembentukan spit di pesisir selatan Pulau Jawa dipengaruhi oleh musim dan arah angin muson. Pada saat terjadi muson timur dan musim kemarau, pembentukan spit aktif tumbuh ke arah barat. Pada saat terjadi muson barat dan musim penghujan, pembentukan spit aktif tumbuh ke arah timur. Kecepatan pembentukan spit pada muara sungai merupakan sebuah hasil dari rangkaian dinamika faktor-faktor yang saling berkaitan dan berkesinambungan sepanjang waktu.

Kata kunci: pesisir, muara Sungai Opak, spit.

PENDAHULUAN Wilayah pesisir selatan Pulau Jawa bagian tengah yang meliputi Kabupaten Bantul, Provinsi DIY hingga Kabupaten Cilacap, Provinsi Jawa Tengah, merupakan daerah prospek pengembangan wilayah. Aspek geologi yang terlihat jelas berpengaruh adalah morfologi dataran landai yang melampar hingga ke bagian tengah Pulau Jawa. Pada beberapa tempat terdapat deretan pegunungan resisten seperti Pegunungan Kulon Progo, Karangbolong, dan Nusa Kambangan. Pengembangan wilayah ini mempunyai permasalahan di beberapa muara sungai besar sebagai contoh Sungai Opak. Morfologi muara sungai seperti spit, menjadi sangat dinamik. Oleh karena itu, perlu penelitian mekanisme pembentukan spit terkait morfodinamika pesisir. Penelitian dilakukan di muara Sungai Opak yang terletak di sebelah barat Pantai Depok, Kretek, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta dengan koordinat (49M) 0421221 – 155


GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013 9114331 (gambar 1), pada bulan Oktober - November 2013. Metode penelitian yang dilakukan adalah pengamatan citra satelit IKONOS dan Quickbird dengan penanggalan berkala (multi-temporal). Citra ini dapat diakses melalui software GoogleEarth. Analisis citra diikuti kajian lapangan di sebelah timur estuari Sungai Opak sebagai ground-check, untuk mengetahui bukti-bukti lapangan yang lebih detail. Analisis dilengkapi dengan data granulometri, angin, gelombang, dan debit sungai sebagai data sekunder. Menurut Allen dan Chambers (1998), proses pembentukan spit atau barrier dikontrol oleh mekanisme limpahan air laut (washover/overwash) yang melewati gumuk tertinggi pada spit tersebut. Washover hanya terjadi pada saat terjadi gelombang badai atau pasang tinggi. Proses ini mengendapkan sedimen yang diangkut dari abrasi depan spit ke bagian belakangnya (ke arah laguna). Jenis perkembangan pantai yang dibentuk oleh proses washover adalah pantai retrogradational (Davis dan FitzGerald, 2004). Freski dan Darmadi (2012) menyebutkan faktor-faktor yang berpengaruh pada pembentukan spit di muara Sungai Opak secara umum meliputi:  Arah dan intensitas angin  Gelombang dan arus sepanjang pantai (longshore current)  Sedimentasi Sungai Opak  Litologi daerah muara sungai  Tatanan neotektonik  Geomorfologi muara sungai

TATANAN GEOLOGI Satuan morfologi daerah muara Sungai Opak secara umum terdiri atas satuan spit, satuan perairan estuari, satuan dataran banjir, dan satuan gumuk pasir purba (Freski dan Srijono, 2012) (gambar 2). Kemiringan dataran pesisir (berm) berkisar 13-15o (Hendratno, 2000). Panjang spit mencapai 1.7 km dengan arah kelurusan mengikuti kelurusan garis pantai di Kabupaten Bantul yaitu arah NWW – SEE. Posisi inlet (pintu muara) berubah-ubah setiap musim (Triatmodjo, 1999; Davis dan FitzGerald. 2004; Surjono, 2001). Pada bulan Oktober – November 2013, posisi inlet berada di ujung perairan estuari bagian timur, tepat berbatasan dengan Pantai Depok. Litologi di daerah pantai-pantai Bantul didominasi endapan lepas berukuran pasir sedang dan bersortasi baik yang tersusun oleh litik volkanik (andesit dan batupasir tufaan) (Hendratno, 2000) dan mineral utama terdiri atas mineral magnetit dan ilmenit sebanyak 88-89% volume dengan campuran mineral hematit berkisar 0-2% volume dan material pengotor lain, 5-12% volume (Alwi, 1999 dalam Surjono, 2001).

HASIL PENELITIAN Dari citra IKONOS dan Quickbird yang diakses melalui GoogleEarth, didapat pola-pola pertumbuhan spit yang dikontrol oleh sedimen washover yang berbentuk kipas di belakang spit. Citra yang digunakan direkam pada tanggal 7 Maret 2010, 22 April 2010, dan 21 Agustus 2012. Dari pengamatan lapangan tanggal 2 Oktober 2013 dan 6 November 2013, dimensi sedimen washover mencapai panjang tegak lurus pantai 50-100 m dan lebar searah pantai 50-150 m (gambar 3). Sedimen washover terbesar terbentuk di bagian ujung timur dari spit.

PEMBAHASAN Faktor-faktor yang berpengaruh dalam pembentukan spit dapat dikelompokkan menjadi faktor aktif dan faktor pasif. Faktor aktif meliputi arah dan intesitas angin, gelombang dan arus sepanjang pantai (longshore current), proses washover dan kecepatan sedimentasi Sungai Opak. Faktor pasif meliputi litologi dan geomorfologi daerah muara sungai. Hasil

156


GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013 analisis citra menunjukkan adanya perubahan bentuk spit yang dinamis dalam skala musim. Pergerakan faktor-faktor aktif tersebut berkorelasi dengan pergantian musim. Citra IKONOS dan Quickbird menunjukkan perubahan bentuk muara dan spit dari waktu ke waktu. Pada bulan Maret, April, dan Agustus (musim transisi penghujankemarau), pembentukan sedimen washover mencapai dimensi panjang 20-50 m dan lebar 30-70 m. Dimensi ini lebih kecil daripada data pengukuran lapangan pada bulan Oktober (musim penghujan) (gambar 4B dan 5A). Dalam pengamatan citra yang dilakukan, kenampakan spit menunjukkan persebaran ukuran butir sedimen. Freski dan Darmadi (2012) menyebutkan sedimen yang berukuran butir kasar dan berwarna abu-abu cerah, melampar di bagian belakang spit (berbatasan dengan laguna) sedangkan sedimen yang berukuran butir halus dan berwarna abu-abu gelap, melampar di bagian depan spit (berbatasan dengan laut). Bagian spit yang berwarna abu-abu gelap disusun oleh mineral-mineral mafik seperti magnetit dan ilmenit sedangkan bagian yang berwarna abu-abu muda tersusun oleh material sedimen berupa litik andesit dengan beberapa butir mempunyai senyawa karbonat. Litik andesit berukuran kerikil hingga kerakal. Material berukuran kasar ini berada di bagian ujung lidah setiap sedimen washover (gambar 6). Mekanisme transportasi sedimen kasar ini diawali dengan melewati bagian tertinggi tubuh spit dengan energi dari arus laut. Pada tahap selanjutnya, energi yang membawa butiran berukuran kasar didominasi oleh gaya berat gravitasional (gambar 7). Pengamatan lapangan pada tanggal 2 Oktober 2013 dan 6 November 2013 merekam perkembangan detail dengan interval mendekati 1 bulan. Pada tanggal 2 Oktober 2013, tercatat telah terbentuk sedimen washover dengan dimensi terbesar di ujung timur. Elevasi spit rata-rata tercatat adalah 3-4 m (Bakosurtanal, 1995). Proses washover dapat mengerosi secara intensif sehingga mampu menurunkan elevasi spit menjadi lebih rendah. Titik ini menjadi bagian terlemah dari spit yang mampu diterobos oleh arus dari sungai (Davis dan FitzGerald, 2004).

KESIMPULAN Spit terbentuk secara efektif pada tatanan morfologi dataran pantai berlitologi endapan pasir lepas dengan ukuran butir halus-sedang. Dinamika ini didukung oleh proses washover dengan panjang ke arah sungai (tegak lurus pantai) 50-100 m dan lebar searah pantai 50-150 m. Proses washover meningkat pada musim kemarau dengan proses asal laut lebih kuat daripada proses asal sungai. Dinamika pembentukan spit di pesisir selatan Pulau Jawa dipengaruhi oleh musim dan arah angin muson. Pada saat terjadi muson timur dan musim kemarau, pembentukan spit aktif tumbuh ke arah barat. Pada saat terjadi muson barat dan musim penghujan, pembentukan spit aktif tumbuh ke arah timur. Kecepatan pembentukan spit pada muara sungai merupakan sebuah hasil dari rangkaian dinamika faktor-faktor yang saling berkaitan dan berkesinambungan sepanjang waktu.

UCAPAN TERIMAKASIH Terimakasih diucapkan untuk Jurusan Teknik Geologi UGM yang telah memberikan bantuan finansial dan tempat belajar.

REFERENSI [1] ALLEN, G.P. DAN CHAMBERS, J.L.C, Sedimentation in the Modern and Miocene Mahakam Delta. Indonesian Petroleum Association Symposium, 1998. [2] BAKOSURTANAL, Peta Rupabumi Digital Lembar 1407-543 Dringo. Bogor: Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional, 1995.

157


GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

[3] DAVIS, R.A. JR. DAN FITZGERALD, D.M. Beaches and Coasts, Blackwell Publishing, USA, 2004. [4] FRESKI, Y. R. DAN DARMADI, “Analisis pembelokan aliran Sungai Opak saat bermuara di Samudra Hindia”, dalam 41st IAGI Annual Convention & Exhibition Proceeding. pp. 355-360, 2012. [5] FRESKI, Y. R. DAN SRIJONO, “Pengembangan kawasan hutan bakau dalam perspektif morfodinamika muara Sungai Opak Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta”, dalam 41st IAGI Annual Convention & Exhibition Proceeding. pp. 319-321, 2012. [6] HENDRATNO, A. Kondisi Geologi Untuk Pengembangan Lingkungan Fisik Wilayah Pesisir Selatan Yogyakarta Antara Muara Sungai Opak dan Girijati. Thesis (M.T.), Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 2000. [7] SURJONO, SUGENG S. Geodinamika Muara Sungai Serang dan Bogowonto Kabupaten Kulon Progo Daerah Istimewa Yogyakarta Sebagai Pertimbangan Rencana Pengembangan Wilayah. Thesis (M.T.) Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta 2001. [8] TRIATMODJO, B. Teknik Pantai. Beta Offset, Yogyakarta 1999.

Gambar 1. Lokasi pengamatan lapangan di daerah muara Sungai Opak (citra IKONOS dan Quickbird pada GoogleEarth, tertanggal 21 Agustus 2012)

158


GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

Gambar 2. Satuan geomorfologi daerah muara Sungai Opak. Penarikan batas-batas satuan didasarkan pada analisis citra IKONOS dan Quickbird pada GoogleEarth.

Gambar 3. Dimensi sedimen washover. Pengukuran ini didasarkan pada pengamatan lapangan. 159


GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

Gambar 4. Perkembangan satuan spit Sungai Opak yang didasarkan pada analisis citra IKONOS dan Quickbird pada GoogleEarth.

160


GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

Gambar 5. Perkembangan satuan spit Sungai Opak yang didasarkan pada pengamatan lapangan.

161


GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

Gambar 6. Persebaran ukuran butir dan jenis material sedimen berdasarkan analisis rona citra. Dari analisis citra (A) didapat delineasi (B) meliputi (a) zona basah laut; (b) berm scarp; (c) sedimen dengan dominasi mineral magnetit dan ilmenit berukuran pasir halussedang; (d) sedimen dengan dominasi litik andesit berukuran pasir kasar-kerakal.

Gambar 7. Model pembentukan sedimen washover.

162


GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

GD 7 - MEKANISME ABRASI PESISIR DI KAWASAN PANTAI DEPOK, BANTUL, DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA Yan Restu FRESKI1* dan SRIJONO1 1Jurusan

Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada Jalan Grafika 2, Bulaksumur Sleman D.I.Yogyakarta, Indonesia *yan_research@yahoo.com

Diterima tanggal 15 November 2013 Dipresentasikan pada Seminar Nasional Kebumian ke-6 Jurusan Teknik Geologi Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, tanggal 11 Desember 2013

ABSTRAK Morfodinamika pesisir dipengaruhi oleh aktivitas gelombang. Pada waktu tertentu, gelombang berubah menjadi lebih aktif dan berkembang menjadi arus sepanjang pantai (longshore current) yang menyebabkan abrasi pesisir. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi arah dan pola gelombang serta pengaruhnya terhadap morfologi pesisir Pantai Depok. Metode penelitian yang dilakukan adalah pengamatan lapangan terhadap parameter gelombang yang mencakup proses pembentukan gelombang (plunging), pecah (surging) dan arus balik (rip current). Pengukuran gelombang secara kuantitatif dilakukan dengan mencakup kecepatan arus, gelombang dan angin. Gelombang penyebab abrasi pesisir di Pantai Depok berlangsung secara sporadis baik waktu maupun titik pembentukannya. Aktivitas gelombang tersebut menghasilkan pesisir dengan bentuk teluk secara lokal. Gelombang dan arus mengerosi berm yang berjarak 3-5 meter dari garis pantai. Energi gelombang terkonsentrasi di dalam teluk-teluk tersebut dengan kecepatan bervariasi antara 1- 2.7 m/dt dan membentuk turbulensi arus yang menguatkan daya abrasi. Arus balik (rip current) membawa sedimen pasir ke arah laut dengan kapasitas dan kompetensi relatif besar.

Kata kunci: Abrasi, Gelombang, Pantai Depok, Pesisir.

PENDAHULUAN Komar (1976) menyebutkan proses gelombang pecah (surging) akan berkembang menjadi arus sisa gelombang pecah (surf), arus sapuan (swash) dan arus surut (backwash). Proses akhir dari satu kali periode datangnya gelombang adalah arus balik (rip current). Schiffman (1965, dalam Komar, 1976) menyebutkan bahwa daerah transisi antara surf dan swash adalah daerah tempat arus balik dan surf berikutnya bertemu yang akan terjadi turbulensi kuat. Davis dan FitzGerald (2004) membagi gelombang penyebab arus menjadi 3 yaitu longshore current, rip current, dan undertow current. Rip current dan undertow memiliki arah arus yang sama yaitu arah balik ke laut. Kedua arus ini dibedakan dari posisi arus yaitu rip current terletak secara sporadis sedangkan undertow terletak di semua titik sepanjang pantai tepat di bawah muka air laut rerata. Pada penelitian ini, arus balik yang teridentifikasi termasuk dalam rip current. Penelitian dilakukan di Pantai Depok, Kretek, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta dengan koordinat (49M) 0421692 – 9114168 (lihat gambar 1), pada bulan September November 2013. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah pengamatan lapangan terhadap parameter gelombang yang mencakup proses pembentukan gelombang (plunging), gelombang pecah (surging), dan arus balik (rip current). Hasil pengamatan pola gelombang tersebut dilengkapi dengan pengukuran 163


GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013 kecepatan arus sapuan (swash), arus surut (backwash), dan kecepatan angin sesaat, dengan menggunakan alat currentmeter digital.

TATANAN GEOLOGI Morfologi dataran pantai secara umum terdiri atas teluk-teluk, berm, berm crest, dan beach scarp. Kemiringan dataran pesisir (berm) berkisar 13-15o (Hendratno, 2000), sedangkan lereng teluk di depan beach scarp berkisar antara 20-30o. Jarak antara garis pantai dengan berm pertama adalah 3-5 m. Menurut Davis dan FitzGerald (2004), pesisir selatan Pulau Jawa bagian tengah tergolong dalam dissipative beach dengan kelerengan yang landai dan dicirikan oleh sand bar/spit. Litologi penyusun daerah pesisir di Pantai Depok, Bantul didominasi endapan lepas berukuran pasir sedang dan bersortasi baik (Surjono, 2001). Endapan lepas tersebut tersusun oleh litik volkanik (andesit dan batupasir tufaan) (Hendratno, 2000) dan mineral utama terdiri atas mineral magnetit dan ilmenit sebanyak 88-89% volume dengan campuran mineral hematit berkisar 0-2% volume dan material pengotor lain, 5-12% volume (Alwi, 1999 dalam Surjono, 2001). Berat jenis mineral magnetit 5.2 dan ilmenit 4.7 (Bonewitz, 2008).

HASIL PENELITIAN Gelombang mempunyai pola arah datang menyudut terhadap garis pantai secara umum. Gelombang pecah dan menghasilkan arus yang menyapu dataran pesisir antara garis pantai dan berm paling depan, dengan jarak 3-5 m. Arus sisa gelombang pecah ini terakumulasi dalam teluk-teluk pada pesisir yang berukuran panjang 50-100 m dan lebar 20-30 m. Arus ini mempunyai kecepatan berkisar 1-2 m/dt, sedangkan arus balik mempunyai kisaran kecepatan 1.5-2.7 m/dt (lihat tabel 1). Kecepatan angin sesaat di lokasi pengukuran berkisar antara 2.1-5 m/dt.

PEMBAHASAN Letak pesisir di Pantai Depok, Bantul, DIY, yang berada di selatan garis katulistiwa dan berhadapan langsung dengan Samudra Hindia menyebabkan gelombang mempunyai pola arah datang menyudut terhadap garis pantai. Hal ini juga dipengaruhi oleh datangnya angin dan gelombang dominan sesuai musim yang berlangsung (Triatmodjo, 1999; Surjono, 2001; Freski & Darmadi, 2012). Kecepatan angin sesaat di lokasi pengukuran berkisar antara 2.1-5 m/dt. Pada bulan Agustus-September, kecepatan angin berkisar antara 3.33-10.094 m/dt dengan arah yang berubah secara gradual dari N316oE – N340oE (Surjono, 2001). Penelitian ini dilakukan pada bulan September-November yang bersamaan dengan pergantian angin muson dari timur menjadi dari barat. Implikasi dari arah perubahan arah datang angin ini terwujud pada arah datang gelombang yang menghantam bibir pantai. Posisi bibir pantai di lokasi penelitian menghadap ke arah laut, Selatan-Baratdaya (SSW), atau mempunyai arah kelurusan relatif Baratlaut-Barat (NWW) dan TenggaraTimur (SEE) (lihat gambar 1). Angin membangkitkan gelombang (plunging) di Samudra Hindia dengan ketinggian dominan 1-2 m (US Army, PT. Puser Bumi, 1993, dalam Triatmodjo, 1999). Gelombang tersebut pecah (surging) ketika capaian gelombang ke dalam tubuh air terganggu oleh kedalaman air laut yang semakin dangkal ke arah tepi (Komar, 1976; Triatmodjo, 1999; Freski & Darmadi, 2012). Energi gelombang akan terdistribusi secara lateral mengikuti posisi dan bentuk daratan paling depan seperti berm pantai yang menjorok ke arah laut (Davis dan FitzGerald, 2004). Menurut Kurva Hjulstrøm (Sunborg, 1956 dalam Seibold & Berger, 1996), arus sisa gelombang pecah (surf) dengan kecepatan berkisar 1-2 m/dt mempunyai daya angkut 164


GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013 sedimen lebih kecil dari pada arus balik yang berkecepatan 1.5-2.7 m/dt (lihat gambar 2 dan 3). Hal ini disebabkan oleh perubahan kecepatan yang menurun pada arus sisa gelombang pecah akibat morfologi pesisir yang curam. Kecepatan arus mencapai nilai 0 m/s ketika sesaat sebelum arah arus berubah kembali ke arah laut menjadi arus balik. Arus balik digerakkan oleh gaya berat tubuh air di atas lereng curam pesisir. Dimensi teluk yang sempit sebagai tempat akumulasi arus menjadi pendukung utama turbulensi arus balik. Arus akan terakumulasi pada tekuk dalam teluk yang berasal dari sayap teluk (lihat gambar 4). Titik-titik tempat terbentuknya pusat teluk bersifat sporadis dan tidak dapat ditentukan dengan pasti. Daya angkut sedimen pada musim kemarau (April-Oktober) mencapai 480000 m3/tahun sedangkan pada musim penghujan (November-Maret) mencapai 405000 m3/tahun (Surjono, 2001). Angka ini tidak menunjukkan daya angkut sedimen pada saat transisi musim seperti menurut pembagian arah angin muson: timur, transisi 1, barat, transisi 2 (Wiratmo, 2013 komunikasi personal). Pada saat transisi muson timur ke barat, arah datang gelombang tidak menyudut terhadap garis pantai secara umum melainkan tegak lurus (Triatmodjo, 1999). Periode pembentukan gelombang berkisar 10-15 detik. Dari data volumetrik sedimen yang hanyut akibat proses erosional (Surjono, 2001), dapat dihitung kecepatan erosi pada satu kali hempasan arus. Pada musim kemarau (April-Oktober), volume sedimen yang hanyut minimum adalah 0.396 m3/periode gelombang sedangkan pada musim penghujan (November-Maret), terjadi erosi dengan volume 0.469 m3/periode gelombang.

KESIMPULAN Gelombang penyebab abrasi pesisir di Pantai Depok berlangsung secara sporadis baik waktu maupun titik pembentukannya. Aktivitas gelombang tersebut menghasilkan pesisir dengan bentuk teluk secara lokal. Gelombang dan arus mengerosi berm yang berjarak 3-5 meter dari garis pantai. Energi gelombang terkonsentrasi di dalam teluk-teluk tersebut dengan kecepatan bervariasi antara 1- 2.7 m/s dan membentuk turbulensi arus yang menguatkan daya abrasi. Arus balik (rip current) membawa sedimen pasir ke arah laut dengan kapasitas dan kompetensi relatif besar.

UCAPAN TERIMAKASIH Terimakasih diucapkan untuk Dr. Wahyu Wilopo (Teknik Geologi UGM) yang telah memberikan fasilitas peralatan pengukuran; Jurusan Teknik Geologi UGM yang telah memberikan bantuan finansial dan tempat belajar.

REFERENSI [1] BONEWITZ, R. L. Rocks and Minerals, the Definitive Visual Guide. 2nd Ed., Dorling Kindersley Limited, Great Britain, 2008. [2] DAVIS, R. A. DAN FITZGERALD, D. M. Beaches and Coasts. Blackwell Science Ltd, MA, USA, 2004. [3] FRESKI, Y. R. DAN DARMADI, “Analisis pembelokan aliran Sungai Opak saat bermuara di Samudra Hindia�, dalam 41st IAGI Annual Convention & Exhibition Proceeding. pp. 355-360, 2012. [4] HENDRATNO, A. Kondisi Geologi Untuk Pengembangan Lingkungan Fisik Wilayah Pesisir Selatan Yogyakarta Antara Muara Sungai Opak dan Girijati. Thesis (M.T.), Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 2000. [5] KOMAR, P. D., Beach Processes and Sedimentation. Prentice Hall, New Jersey. 1999.

165


GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

[6] SEIBOLD, E. DAN BERGER, W.H. The Sea Floor, An Introduction to Marine Geology, 3rd Ed. Springer, New York. 1996. [7] SURJONO, SUGENG S. Geodinamika Muara Sungai Serang dan Bogowonto Kabupaten Kulon Progo Daerah Istimewa Yogyakarta Sebagai Pertimbangan Rencana Pengembangan Wilayah. Thesis (M.T.) Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta 2001. [8] TRIATMODJO, B. Teknik Pantai. Beta Offset, Yogyakarta 1999. Tabel 1. Data Pengukuran Kecepatan Arus Swash dan Backwash (m/dt)

Pengukuran ke1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 Rata-rata Nilai Maks Nilai Min

166

Kecepatan (m/dt) Arus Arus swash backwash 1.5 2 1.3 1.5 1.4 2 1.5 2 1.5 1.5 1.5 2 1.2 1.8 1.3 2.4 1.5 1.8 1.5 1.9 1.3 1.7 1.9 2 1.2 1.7 1.8 2.5 1.4 1.5 1.9 2.5 1 2.4 2 2.7 2 2.1 1.6 1.8 1.5 2.7 1.7 2 1.4 1.5 1.4 1.5 1.7 1.8 1.52 1.972 2 2.7 1 1.5


GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

Gambar 1. Peta lokasi penelitian dan kelurusan garis Pantai Depok. Arah kelurusan NWW-SEE.

167


GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

Gambar 2. Hubungan kecepatan arus dan ukuran butir yang dilibatkan menurut Hjulstrøm, ditunjukkan oleh kotak daerah abu-abu. Ukuran butir pasir sedang (MS) akan tererosi dan terbawa arus dengan kecepatan 1-2,7 m/dt.

Gambar 3. Hubungan kecepatan arus swash dan backwash, dalam m/dt. Kecepatan arus swash tidak akan lebih tinggi dari pada kecepatan arus backwash dengan ditunjukkan hasil plot terletak di atas garis batas rasio.

168


GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

Gambar 4. Kronologi mekanisme abrasi pesisir di Pantai Depok, dengan arah datang gelombang tegak lurus dengan garis pantai secara umum pada masa transisi angin muson timur-barat.

169


GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

170


GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

GD 8 - PERKEMBANGAN KARSTIFIKASI FORMASI SENTOLO DI TIMUR SUNGAI PROGO DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA SRIJONO 1), Budi SANTOSO 2), Fajar SETIYAWAN 3), dan Christina Putri WIDYANINGTYAS 4) 1)

Lab. Geologi Dinamik Jurusan Teknik Geologi FT UGM, email: sriy_geougm @yahoo.com 2), 3) dan 4) Mahasiswa Jurusan Teknik Geologi FT UGM Dipresentasikan dalam Seminar Rekayasa Teknologi Industri ke-7 Sekolah Tinggi Teknik Nasional Yogyakarta, Desember 2012

ABSTRAK Di sebelah timur Sungai Progo, Yogyakarta, tersingkap batugamping anggota Formasi Sentolo, dan temuan gua. Penelitian bertujuan mengetahui kondisi geologi dan pengaruhnya terhadap perkembangan karstifikasi Formasi Sentolo di daerah sebelah timur Sungai Progo. Metode penelitian adalah pemetaan geologi permukaan, dengan rute utara-selatan yang relatif tegak lurus terhadap jurus perlapisan Formasi Sentolo. Contoh dari gejala karstifikasi dianalisis petrografi. Kesimpulan perkembangan karstifikasi dengan cara membandingkan. Hasil penelitian di timur Sungai Progo, mencakup daerah yang dibatasi Gamplong, Karangnongko, Badegan, dan Pereng. Jurus batuan Formasi Sentolo U700 – 900T, dan kemiringan maksimum 7o. Secara geomorfologi, daerah penelitian disebut kuesta. Batuan dibedakan menjadi dua satuan, yaitu napal, dan batugamping. Batugamping tersusun oleh perselingan batupasir karbonatan dengan batugamping. Secara petrografi, jenis batugamping didominansi packstone, dan selebihnya wackestone. Sebagian batugamping mengalami karstifikasi minor, dicirikan sistem perlubangan, frekuensi jarang, bentuk lubang bervariasi, dan ukuran berkisar 1 – 18 cm. Gua Selarong dan Gua Payaman terbentuk pada batas antara napal dan batugamping, tipe gua horizontal. Lorong gua pendek, berkisar 1 – 5 m, tidak menerus. Hasil observasi menunjukkan kondisi dua gua sudah tidak alami karena proses antropogenik, terkait kepentingan pesona wisata. Pada kompleks Gua Payaman, terbentuk curtain stalactite mengikuti zone kekar, berukuran 20 cm x 1,5 cm, dengan frekuensi jarang. Kata kunci: karstifikasi, batugamping Formasi Sentolo, Gua Selarong, Gua Payaman, curtain stalactite

PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian Daerah penelitian, di sebelah timur Sungai Progo, selatan jalan raya Yogyakarta – Wates. Daerah ini termasuk wilayah Kabupaten Bantul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (Gambar 1.). Secara geologi, timur Sungai Progo termasuk dalam peta geologi lembar Yogyakarta (Rahardjo, dkk., 1995). Rahardjo, dkk.(1995) menyatakan daerah penelitian terbentuk oleh batuan Formasi Sentolo yang berumur Tersier terdiri dari napal dan batugamping, serta batuan Kuarter dari Aluvium asal sungai maupun Gunung Merapi. Di daerah sekitar Sungai Serang, batuan pembentuk Formasi Sentolo antara lain batugamping (Selvina, 2012). 171


GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013 Keterdapatan batugamping yang mengalami tektonik berpeluang berkembangnya gejala karstifikasi. Hal ini menarik untuk diteliti. Fisiografi Jawa Tengah bagian timur – selatan dikenal oblong dome Kulonprogo (Van Bemmelen, 1949). Dengan demikian daerah timur Sungai Progo, daerah penelitian termasuk dalam kubah Kulonprogo bagian ujung tenggara. Akibat tektonik, struktur geologi yang terbentuk adalah lipatan, kekar, dan sesar. Struktur geologi memfasilitasi berkembangnya karstifikasi. Karstifikasi merupakan proses yang khas terjadi hanya pada batugamping, prinsip proses yang terjadi adalah pelapukan kimia, dan pelarutan oleh air meteoric, kemudian dihasilkan bentukan karst. Dalam pandangan petrologi batuan karbonat, karstifikasi merupakan stadium tertentu dari diagenesa. Menurut Longman (1980) diagenesa yang terbentuk di darat tercakup dalam stadia 5 – 8. Karstifikasi berlangsung pada stadia diagenesa 7 – 8, dan jejaknya hanya dapat diidentifikasi melalui mikroskop. Karstifikasi mengahasilkan karst minor, dan karst mayor (Bloom, 1978). Jejak karst minor teramati pada permukaan dan sedikit ke bawah batugamping, sedangkan karst mayor tampak bukit-bukit kerucut dan depresi karst di lapangan.

Tujuan Penelitian Penelitian bertujuan mengetahui kondisi geologi dan pengaruhnya terhadap perkembangan karstifikasi Formasi Sentolo di daerah sebelah timur Sungai Progo.

METODE PENELITIAN Bahan penelitian karstifikasi daerah timur Sungai Progo mencakup Peta Rupabumi digital Indonesia (peta RBI) Lembar Wates, Yogyakarta, skala 1:25.000 (Anonim, 2001). Peta Geologi Yogyakarta skala 1:100.000 (Rahardjo, dkk., 1995), contoh batuan untuk analisis petrografi. Peralatan lapangan baku untuk pemetaan geomorfologi terdiri dari alat GPS, kompas-klinometer, palu batuan, dan kaca pembesar / lup. Selebihnya digunakan kamera untuk dokumentasi, dan mikroskop. Pemetaan geologi di lapangan untuk mengidentifikasi kekhasan morfologi, batuan - stratigrafi, dan struktur geologi. Data karstifikasi dikumpulkan bersamaan dengan pengulan data batuan. Komposisi batugamping dipastikan dari analisis petrografi dengan acuan klasifikasi menurut Embry, and Klovan (1960). Kriteria analisis petrografi meliputi jenis, struktur, tekstur dan komposisi batuan.

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian Hasil penelitian di timur Sungai Progo, mencakup daerah yang dibatasi Gamplong, Karangnongko, Badegan, dan Pereng secara ringkas dapat dilihat pada Gambar 1 – 4 dan Tabel 1. Pembahasan Stratigrafi Jurus batuan Formasi Sentolo U700 – 900T, dan kemiringan maksimum 7o. Batuan utamanya dibedakan menjadi dua, yaitu napal, dan batugamping. Napal yang bersifat tufan merupakan batuan tertua (Santoso, 2012). Napal tufan berwarna putih – keabu-abuan, struktur masif, temuan trace fossil, umur Miosen Atas – Pliosen Awal (N17 – N19). Asosiasi batupasir karbonatan, batugamping berlapis, dan batugamping silang-siur stratigrafis di atas napal tufan. Asosiasi ini disebut satuan batugamping. Batupasir karbonatan dicirikan oleh ukuran butir maksimum pasir kasar, sortasi baik, struktur perlapisan: laminasi, masiv, silang siur, trace fossil jenis cruziana. Secara petrografi terdiri 172


GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013 dari: mineral karbonat dalam jumlah dominan, biotit, mineral mafik; serta kandungan fosil foraminifera. Batugamping berlapis termasuk packstone (Embry & Klovan, 1971), ketebalan 2 – 5 m Batuan berwarna putih – keabu-abuan, ukuran maksimum kerikil, grain supported, sortasi baik, dengan struktur laminasi, silangsiur minor. Komposisi berupa fragmen moluska, mineral karbonat, fosil foraminifera kecil melimpah, dan mineral opak. tipe porositas interpartikel (Setiawan, 2012, dan Widyaningtyas, 2012). Sebagian mengalami karstifikasi. Temuan batugamping silang siur di bagian selatan daerah penelitian. Batuan berwarna putih – keabu - abuan, ukuran butir pasir halus – kerikil, grain supported, sortasi baik dengan struktur laminasi, silangsiur minor. Komposisi fragmen moluska dan foraminifera kecil melimpah mineral karbonat, dan mineral opak. Mengacu Embry & Klovan (1971), batuan seperti ini termasuk packstone. Tipe porositas interpartikel hasil karstifikasi. Pada bagian daerah lainnya, karstifikasi berkembang pada wackestone (Widyaningtyas, 2012). Struktur Geologi. Pada daerah penelitian, akibat perlipatan kemiringan batuan Formasi Sentolo berarah ke selatan. Selain kemiringan, terbentuk kekar dan sesar (Gambar 2.). Kekar dan sesar ini akan mempengaruhi proses geomorfik dan menyebabkan terjadinya zona – zona lemah, struktur geologi ini bertanggung jawab terhadap karstifikasi pada batugamping. Karstifikasi. Secara geomorfologi daerah penelitian berupa perbukitan kuesta, dikelilingi oleh dataran limpah banjir (Gambar 3.). Lereng kuesta melandai ke selatan sesuai dengan arah kemiringan lapisan batuan Formasi Sentolo. Dari gambaran tersebut dijelaskan napal tufan menempati morfologi rendah, dan batugamping pada morfologi tinggi. Pelapukan, erosi, dan proses antropogenik terjadi pada kuesta. Khas pada batugamping adalah berkembangnya karstifikasi setelah pelapukan (utamanya pelapukan kimia) berlangsung. Tingkatan karstifikasi baru mencapai pembentukan karst minor yang hanya dapat diidentifikasi pada permukaan sampai sedikit ke bawah permukaan batuan berupa sistem perlubangan, diameter 1 – 18 cm, umumnya 5 – 7 cm, frekuensi jarang, bentuk lubang bervariasi, Pembentukan lubang dominan difasilitasi oleh fracture, selebihnya semata-mata pelarutan batuan. Selain perlubangan, dalam penelitian ini ada temuan Gua Selarong, dan G. Payaman. Fenomena geomorfologi G. Selarong, dan G. Payaman cukup menarik, karena melibatkan proses alami, dan antropogenik (Gambar 4.). Kedua gua terbentuk pada batas antara napal dan batugamping, hal ini pertanda pembentukannya diawali oleh erosi pada dua batuan yang resistensinya berbeda. Tipe dua gua horizontal, panjang lorong gua berkisar 1 – 5 m, pintu/mulut gua yang cenderung setengah elip, berukuran panjang 0,5 -5 m, dan tinggi maksimum 1 m, dan buntu. Pada kompleks G. Payaman, terbentuk beberapa lajur curtain stalactite, saling sejajar mengikuti zone kekar, berukuran 20 cm x 1,5 cm, dengan frekuensi jarang. Kondisi dua gua sudah tidak alami karena proses antropogenik, terkait kepentingan pesona wisata. Gua Selarong, dan G. Payaman merupakan gua wisata di Kabupaten Bantul. Gua Selarong sudah lama menjadi tujuan wisata, karena lokasi tersebut diyakini sebagai tempat persembunyian/pertapaan Pangeran Diponegoro, tahun 1825an, pada waktu menyiapkan peperangan terhadap VOC – Belanda. Pada renovasi gua wisata (proses antropogenik), menjadikan fenomena alami gua sudah minim, tetapi yang tampak menonjol adalah permukaan dinding gua yang halus hasil rekayasa. Gua Payaman baru satu tahun yang lalu ditetapkan sebagai gua wisata, dengan kenampakan rekayasa sangat kuat. Kenampakan yang dimaksud adalah pengerukan napal, dan kemudian sebagian di antaranya dihaluskan dengan penyemenan.

173


GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

KESIMPULAN 1. Geologi daerah timur Sungai Progo terbentuk susunan napal ditumpangi batugamping dari Formasi Sentolo. Batuan membentuk homoklin miring ke selatan, dan morfologi kuesta. 2. Batugamping menempati topografi tinggi, mengalami karstifikasi pada tingkatan karst minor, membentuk perlubangan. Perlubangan yang besar menghasilkan Gua Selarong dan Gua Payaman, yang disertai proses antropogenik.

DAFTAR PUSTAKA BLOOM, A.L., 1978, Geomorphology: A Systematic Analysis of Late Cenozoic Landforms, Prentice Hall, Inc., Englewood Cliffs, New Jersey, EMBRY, AF, AND KLOVAN, JE, 1971, A Late Devonian reef tract on Northeastern Banks Island, Canadian Petroleum Geology Bulletin, NWT, v. 19, p. 730-781. LONGMAN, M.W., 1980, Carbonate Diagenetic Texture from Nearsurface Diagenetic Environments, AAPG Bulletin, v.64 no.4, hal 461 – 487 RAHARDJO, W., SUKANDARRUMIDI, DAN ROSIDI, H.M.R., 1995, Peta Geologi Lembar Yogyakarta, skala 1:100.000, edisi 2,Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi. BANDUNG SANTOSO, B., 2012, Peta Geologi Daerah Argodadi Kuliah Pemetaan Geologi Program S-1 Jur. Teknik Geologi FT UGM, Yogyakarta (dalam proses) SELVINA, N., 2012, Pemanfaatan Foto Udara untuk Studi Morfologi Formasi Sentolo di Sekitar Sungai Serang, Kulonprogo, Daerah Istimewa Yogyakarta, Skripsi, Jur. Teknik Geologi FT UGM, Yogyakarta, tidak dipublikasikan SETIYAWAN, F., 2012, Peta Geologi Daerah Ambarketawang, Kuliah Pemetaan Geologi Program S-1 Jur. Teknik Geologi FT UGM, Yogyakarta (dalam proses) VAN BEMMELEN, R.W., 1949, The Geology of Indonesia, Vol. 1A, Government Printing Office, The Hauge, Amsterdam WIDYANINGTYAS, C.P., 2012, Peta Geologi Daerah Pajangan, Kuliah Pemetaan Geologi Program S-1 Jur. Teknik Geologi FT UGM, Yogyakarta (dalam proses)

174


GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

Gambar 1. Letak daerah penelitian (Sumber : Citra Google Satelit 2012 dengan modifikasi)

175


GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

U

Gambar 2. Peta Geologi daerah penelitian 1 – 6: titik temuan karstifikasi

Gambar 3. Morfologi Cuesta (a) Napal pada daerah penelitian (b) Embrio curtain stalactite (c) Perlubangan, karst minor (d) 176


GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

No. 1.

2.

3. 4. 5.

6.

Tabel 1. Perkembangan Karstifikasi pada Formasi Sentolo di timur Kali Progo Koordinat UTM Desa/Dusun Karstifikasi X Y Gejala karstifikasi, karst minor, ciri 422268 9136387 Perenggamol perlubangan, ukuran 1 – 4 cm, bentuk bervariasi, frekuensi jarang. Gejala karstifikasi, karst minor , ciri perlubangan, ukuran 1 – 10 cm, bentuk 421483 9134396 Jangkang bervariasi, frekuensi jarang dan pada tempat tertentu dijumpai cukup banyak. Gejala karstifikasi, karst minor, ciri 421273 9135906 Gunungsalam perlubangan, bentuk bervariasi, ukuran 1 – 18 cm, frekuensi cukup banyak – jarang. Gejala karstifikasi, karst minor, ciri 421423 9134058 Jangkang perlubangan, bentuk bervariasi ukuran 1 – 6 cm, frekuensi jarang. Gejala karstifikasi, karst minor, ciri 421893 9133020 Sambikerep perlubangan, bentuk bervariasi, ukuran 1 – 6 cm, frekuensi jarang. Gejala karstifikasi pada batugamping berupa curtain stalactite dan gua kecil. Curtain 418043 9133809 Argorejo stalactite pada zona kekar, ukuran 20 cm x 1,5 cm. Frekuensi jarang.

177


GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

178


GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

SS 1 - PENENTUAN FORMASI BATUAN SUMBER GUNUNGLUMPUR DI SEKITAR PURWODADI BERDASARKAN KANDUNGAN FOSIL FORAMINIFERA Moch. Indra NOVIAN, Peter Pratistha UTAMA dan Salahuddin HUSEIN Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada Diterima tanggal 15 November 2013 Dipresentasikan pada Seminar Nasional Kebumian ke-6 Jurusan Teknik Geologi Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, tanggal 11 Desember 2013

ABSTRAK Semburan gunung lumpur telah menarik perhatian orang sejak dulu dan dikaitkan dengan legenda yang berkembang di masyarakat. Di daerah Purwodadi dan sekitarnya keberadaan gunung lumpur banyak ditemukan. Secara fisiografi daerah ini termasuk ke dalam Zona Fisiografi Randublatung yang dibatasi di bagian utara oleh Zona Rembang dan di bagian selatan oleh Zona Kendeng. Penelitian dilakukan pada Gunung lumpur (bledug) Kesongo yang terletak di Desa Kesongo dengan koordinat 7o 9’ 19,93” LS – 111o 15’ 14,82” BT dan Gunung lumpur Crewek yang terletak di Desa Crewek dengan koordinat 7o 9’ 4,62” LS – 111o 6’ 47,00” BT. Beberapa contoh lumpur, batuan dan fragmen batuan seperti foraminiferal grainstone, batupasir karbonatan, fosil tulang invertebrata serta koral diambil dari kedua tempat tersebut untuk dilakukan analisa paleontologi. Kedua gunung lumpur ini mempunyai posisi dan kenampakan morfologi yang berbeda. Gunung lumpur Kesongo berada di dataran bergelombang, berbentuk kubah berdiameter 1,3 km yang terletak di Antiklin Gabus dan menerobos satuan batunapal yang tersingkap di permukaan sekitar gunung lumpur tersebut. Gunung lumpur Crewek berada di dataran, berbentuk bukit kecil dengan diameter kurang dari 100 m dan dikelilingi oleh endapan limpah banjir. Hasil analisa paleontologi pada lumpur dari Kesongo menunjukkan kumpulan fosil foraminifera planktonik yang mempunyai dua kisaran umur yaitu N18-19, N14 dan N7N9, sedangkan analisa foraminifera besar dari fragmen batuannya menunjukkan umur Miosen Awal–Tengah. Kumpulan fosil dari batunapal menunjukkan kisaran N17-19. Lumpur Crewek menunjukkan kisaran N18, N12 dan N7-8. Dari kumpulan fosil tertua yang terdapat pada masing-masing gunung lumpur maka diperkirakan lumpur di Gunung lumpur Kesongo berasal dari Formasi Tawun bagian bawah dengan fragmen batuan yang diterobos berasal dari Formasi Wonocolo dan Ngrayong, sementara batunapal yang berada di sekitarnya termasuk ke dalam Formasi Mundu. Lumpur pada Gunung lumpur Crewek berasal dari Formasi Tawun. Kata kunci : gununglumpur, randublatung zone, foraminifera, formasi

PENDAHULUAN Gunung lumpur (mud volkano/bledug) banyak dijumpai di sekitar Purwodadi hingga menuju ke arah Blora. Fenomena gunung lumpur ini sudah lama terjadi sehingga masyarakat sekitar gunung lumpur sudah terbiasa dan memanfatkan kehadiran fenomena ini. Pemanfaatannya berupa pembuatan garam, penambangan minyak bumi dan pariwisata. Walaupun sudah lama terjadi dan banyak muncul di sekitar Purwodadi namun penelitian mengenai gunung lumpur di daerah ini masih terbatas berbeda dengan Gunung lumpur Sidoarjo (LUSI) yang baru saja terjadi namun sudah banyak penelitian dilakukan 179


GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013 disana seperti Mazzini et al. (2007,2009), Davies et al (2008, 2011), Mori & Kano (2009), Rudolph (2011, 2013) dan lain-lain. Sementara itu penelitian terbaru mengenai gunung lumpur di daerah Purwodadi-Blora dilakukan oleh Satyana dan Asnidar (2008). Sebagian besar Gunung lumpur di sekitar Purwodadi menempati daerah dataran yang secara fisiografi termasuk ke dalam Zona Randublatung. Dataran ini tertutup oleh endapan limpah banjir Kali Lusi. Hanya sedikit gunung lumpur seperti Gunung lumpur Kesongo berada di dataran bergelombang yang tersusun atas formasi batuan berupa napal. Penelitian formasi batuan sumber gunung lumpur dilakukan pada empat lokasi yaitu Gunung lumpur Kesongo, Crewek, Kuwu dan Medang Kamulan. Gunung lumpur Kesongo terletak paling timur pada koordinat 7o 9’ 19,93” LS – 111o 15’ 14,82” BT. Gunung lumpur Crewek berada paling selatan dengan koordinat 7o 9’ 4,62” LS – 111o 6’ 47,00” BT. Gunung lumpur Kuwu berada di sebelah barat dengan koordinat 7o 7’ 3,68” LS – 111o 7’ 18,03” BT dan Gunung lumpur Medang Kamulan terletak di utara dengan koordinat 7o 5’ 54,33” LS – 111o 8’ 49,73” BT. (Gambar 1)

METODE Dari keempat gunung lumpur diambil beberapa contoh lumpur untuk dianalisa kandungan fosil foraminifera terutama foraminifera planktonik. Kumpulan foraminifera planktonik akan dipakai untuk menunjukkan seberapa tua batuan yang terterobos oleh lumpur. Fragmen batuan yang ikut keluar bersamaan dengan lumpur juga diidentifikasi dan diambil contohnya untuk dilakukan proses preparasi. Fragmen batuan ini akan disayat tipis terutama batuan yang mengandung fosil foraminifera besar. Dengan mengetahui umur batuan yang terbawa bersama lumpur maka formasi batuan yang tertembus oleh lumpur berdasar fragmen batuan juga dapat diidentifikasi. Formasi batuan yang tertembus lumpur ini juga dapat ditentukan dengan melihat singkapan lapisan batuan yang terpotong oleh gunung lumpur dan melakukan preparasi ayak untuk mengetahui umur batuannya berdasarkan kandungan fosil foraminifera planktoniknya. Selain pengambilan contoh batuan dan lumpur, dilakukan juga pengamatan kondisi morfologi gunung lumpur dan sekitarnya. Hal ini dilakukan karena masing-masing gunung lumpur mempunyai morfologi yang berbeda.

GEOLOGI REGIONAL Seperti telah disebutkan sebelumnya bahwa gunung lumpur yang menjadi obyek penelitian ini secara fisiografi terletak pada Zona Randublatung yang dibatasi oleh Zona Rembang di sebelah utaranya dan Zona Kendeng di sebelah selatannya (van Bemmelen, 1949). Zona Randublatung merupakan dataran yang terisi olehh endapan berukuran lempung, lanau, pasir hingga kerikil yang berasal endapan limpah banjir Kali Lusi, Kali Wulung dan Kali Bengawan Solo. Di bawah endapan ini pada bagian selatan terdapat Formasi Pucangan dan Klitik sementara di bagian utara dijumpai Formasi Tambakromo dan Selorejo. Secara stratigrafis Zona Randublatung memiliki urutan batuan seperti yang berkembang pada Zona Rembang maupun Zona Kendeng. Adapun urutan stratigrafi Zona Randublatung menurut Datun dkk (1996) ini adalah : Formasi Tawun Formasi Tawun berisi batulempung dan batugamping dengan sisipan batupasir, batulanau dan kalkarenit. Kandungan fosil foraminifera planktonik berupa Globigerinoides sicanus, G. diminutus, G. subuqadratus, Globorotalia mayeri, Gl. siakensis, Gl. peripheroronda, Gl. birnagea, Praeorbulina, Hastigerina praesiphonifera, dan Cassigerinella chipolensis yang menunjukkan umur Miosen Awal N7-N8. Kandungan fosil foraminifera bentonik berupa Bulimina, Saracenaria, Nodosaria, Uvigerina, Laticarinina dan Cassidulina yang 180


GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013 menunjukkan lingkungan laut dalam. Di atas formasi ini diendapkan secara selaras Formasi Ngrayong. Formasi Ngrayong Bagian bawah formasi ini tersusun oleh berupa perselingan batulempung pasiran dengan napal pasiran, bagian tengah oleh batupasir kuarsa dengan sisipan batulempung pasiran dan bagian atas oleh batugamping dengan sisipan napal. Fosil foraminifera yang dijumpai berupa Globorotalia fohsi, Gl. praemenardii, Gl. mayeri, Cycloclypeus indopacificus, C. Inornatus, dan Lepidocylina angulosa yang menunjukkan umur Miosen Awal – Miosen Tengah N8-N12 dengan lingkungan neritik dangkal. Ketebalan formasi ini 100 – 300 m. Formasi Wonocolo Formasi ini terendapkan secara tidak selaras Formasi Ngrayong dan tersusun oleh batugamping tipis (Kompleks Platenkalk) pada bagian bawah, sementara pada bagian atas oleh napal dengan sisipan batugamping. Kandungan foraminifera Globorotalia acostaensis, Hastigerina aequilateralis, Globigerina praebulloides, Cycloclypeus indopacificus, dan C. inornatus. Umur formasi ini Miosen Tengah bagian akhir – Miosen Akhir N14-N16 dan terendapkan pada lingkungan neritik dangkal dengan tebal 100 – 300 m. Formasi ini ditutpi secara selaras oleh Formasi Ledok. Formasi Ledok Pada bagian bawah formasi ini tersusun oleh perselingan batugamping keras dengan lunak kemudian ke arah atas berubah menjadi batugamping glaukonit dengan struktur sedimen berupa silangsiur mangkuk. Fosil foraminifera yang dijumpai berupa Globigerinoides extremus, Globorotalia acostaensis, dan Gl. pseudomiocenica yang menunjukkan umur Miosen Akhir bagian atas N16-N18 dan Bulimina, Cibicides, Elphidium, Eponides, Nonion dan Rotalia yang menunjukkan lingkungan neritik dangkal. Tebal formasi berkisar antara 100 – 525 m. Formasi Mundu Formasi ini terendapkan selaras di atas Formasi Ledok dan berisi napal tidak berlapis dengan di beberapa tempat pasiran. Kandungan foraminifera Globigerinoides extremus, G. ruber, G. trilobus, Globorotalia tumida, Orbulina universa, Pulleniatina primalis, dan Sphaerodinella dehiscens menunjukkan umur formasi pada Pliosen Awal N18-N19, sedangkan Buliminina, Cibicides, Dentalina, Eponides, Nodosaria, Robulus dan Uvigerina menunjukkan lingkungan neritik dalam – batial atas. Tebal formasi berkisar 100 – 250 m. Formasi Selorejo Formasi ini berisi batugamping dengan struktur silang siur di beberapa tempat dan batulempung pasiran-gampingan yang terendapkan selaras di atas Formasi Mundu. Batugamping mengandung foraminifera Globigerinoides fistulosus, Globorotalia acostaensis, Gl. multicamerata, Sphaerodinella dehiscens, dan Pulleniatina obliqueloculata yang menunjukkan umur Pliosen Akhir N19-N20/21, sementara Buliminina, Cibicides, Eponides, Nonion, Robulus, Rotalia dan Uvigerina menunjukkan lingkungan neritik dangkal. Tebal formasi 200 m. Formasi Tambakromo Formasi Tambakromo selaras menutupi Formasi Selorejo dan tersusun atas batulempung, napal dan sisipan tipis batugamping. Kandungan foraminifera berupa Globorotalia tosaensis, Gl. truncatulinoides, Globigerinoides fistulosus, dan Pulleniatina obliqueloculata menunjukkan umur Pliosen Akhir bagian atas – Plistosen, sementara Cibicides, Robulus dan Rotalia beccarii menunjukkan lingkungan pengendapan neritik. Tebal formasi 350 m.

181


GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013 Formasi Kerek Formasi Kerek bagian bawah tersusun oleh napal, batulempung, batupasir gampingan, batulempung gampingan dan batupasir tufan. Bagian atas tersusun oleh batugamping yang di beberapa tempat tufan dengan sisipan napal dan batulempung gampingan. Kandungan foraminifera berupa Globorotalia acostaensis, Gl. pseudomiocenica, Globigerina praebulloides yang menunjukkan umur Miosen Akhir bagian tengah N16-N17 dan Bulimina, Gyroidina, Nonion dan Uvigerina yang menunjukkan lingkungan neritik dalam. Tebal formasi 825m dan ditindih secara selaras oleh Formasi Kalibeng. Formasi Kalibeng Formasi ini tersusun oleh napal pejal dan setempat sisipan batupasir tufan-batugamping. Di beberapa tempat pada bagian bawah dan tengah formasi ini diendapkan breksi Anggota Banyak sementara bagian atas diendapkan batugamping Anggota Klitik. Formasi ini selaras menindih Formasi Kerek. Kandungan foraminifera Globorotalia crassaformis, Gl. plesiotumida, Gl. tosaensisdan Pulleniatina obliqueloculata menunjukkan umur Miosen Akhir – Pliosen Awal, sementara Cassidulina, Cibicides, Nodosaria dan Planulina menunjukkan lingkungan neritik dalam – batial atas. Tebal formasi 5000 m. Anggota Klitik Anggota Klitik tersusun atas batugamping dan sisipan napal. Batugamping di beberapa tempat mengandung koral. Kandungan foraminifera terdiri atas Goborotalia. Tosaensis dan Pulleniatina obliqueloculata yang mencerminkan umur Pliosen Awal, sedangkan kandungan Amphistegina, Cibicides, Discorbis, Eggrella, Elphidium dan Triloculina mencerminkan lingkungan neritik dangkal. Tebal formasi 40 – 150 m. Formasi Pucangan Formasi Pucangan diendapkan secara tidak selaras di atas Formasi Kalibeng Bagian bawah formasi ini tersusun oleh breksi dan batupasir volkanik dan bagian atas tersusun oleh batulempung yang kaya akan fosil moluska. Pada formasi ini juga dijumpai fosil hominid. Umur formasi ini diperkirakan Plistosen Awal dengan lingkungan darat-transisi. Formasi Kabuh Formasi ini terendapkan selaras di atas Formasi Pucangan dan terdiri dari batupasir silangsiur konglomeratan dan lensa-lensa konglomerat. Kandungan fosil moluska dan fragmen vertebrata banyak dijumpai pada formasi ini. Umur batuan Plistosen Tengah dengan lingkungan pengendapan berupa transisi-darat. Tebal formasi 45 – 200 m. Formasi Notopuro Formasi Notopuro tersusun atas breksi lahar, breksi volkanik, konglomerat dan batulanau volkanik yang diendapkan secara selaras di atas Formasi Kabuh pada Plistosen Akhir. Lingkungan pengendapan darat dengan tebal 30 – 40 m. Struktur geologi yang berkembang di Zona Kendeng umumnya berupa lipatan asimetris dengan sumbu berarah barat timur dan struktur sesar baik berupa sesar geser sesar naik maupun sesar turun. Sesar geser mempunyai arah timur laut-barat daya dan barat lauttenggara. Sesar naik dan turun berarah timur barat-timur searah dengan sumbu lipatan. Sesar naik di beberapa tempat berupa sesar sungkup. Pada Zona Rembang bagian selatan terjadi orogenesa yang relatif lemah pada saat N12. Selanjutnya setelah pengendapan Formasi Mundu terjadi perlipatan dan pensesaran pada saat awal - tengah Plistosen Awal.

182


GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

GUNUNG LUMPUR Istilah gunung lumpur merujuk pada suatu kenampakan topografi berbentuk kerucut menyerupai bentuk gunung api yang terbentuk secara alami oleh proses geologi berupa proses pengeluaran sedimen terliquifaksi, fragmen berukuran butir lempung, gas, dan cairan (Istadi et al, 2012). Gunung lumpur dapat terbentuk melalu proses penekanan pada diapir lumpur yang menerobos permukaan bumi atau dasar laut (Istadi et al, 2012). Karakteristik pembentuk gunung lumpur adalah tingkat sedimentasi yang tinggi, lapisan sedimen penutup yang tebal, kehadiran perlapisan yang plastis di bawah permukaan, suplai gas yang cukup dan potensi hidrokarbon yang tinggi, tekanan formasi abnormal tinggi, pada setting kompresi, seismiksitas tinggi dan kehadiran sesar-sesar. Karakteristik umum gunung lumpur menurut Gansser (1960 dalam Ridd, 1970) adalah sebagai berikut : 1. Umumnya berasosiasi dengan lapisan sedimen Tersier (dan Kapur Atas) 2. Sedimen umumnya berasal dari sedimen laut 3. Didominasi oleh lapisan plastis dan pelitik 4. Gas dan air formasi kadang hadir 5. Lapisan plastis tertutup oleh lapisan yang lebih kompeten 6. Sinklin yang luas dibatasi secara tajam oleh antiklin akibatnya lapisan sedimen plastis yang lebih dalam menekan ke atas. 7. Kenaikan tegangan menggerakkan lempung yang plastis pada bagian inti beserta air garam, gas dan minyak pada banyak tempat. Akibatnya lumpur akan tertekan ke atas seperti bentukan magma, jika keseimbangan permukaan terganggu maka akan terjadi erupsi dan membentuk gunung lumpur. 8. Kebanyakan pusat erupsi terdiri dari beberapa kerucut volkanik. 9. Kerucut yang landai dan terjal dapat hadir bersamaan. 10. Erupsi sebagian periodik, tetapi umumnya tidak teratur. Banyak erupsi besar terjadi setelah periode tenang yang panjang. 11. Fragmen batuan besar atau kecil yang berasal dari lapisan batuan yang lebih tua umumnya keluar bersamaan dengan lumpur. 12. Keberlangsungan pusat erupsi tunggal umumnya pendek. 13. Zona diapirik dengan gunung lumpur umumnya beradapada daerah anomali gravitasi negatif.

DATA DAN PEMBAHASAN Kenampakan morfologi keempat gunung lumpur berbeda-beda. Gunung lumpur Kesongo terletak di sebelah timur dan berada pada sumbu Antiklin Dungjumbleng. Morfologi berupa kubah dengan panjang barat-timur 1.295 m, lebar utara-selatan 1.173 m, tinggi 10 m serta luas 1,03 km2. Seluruh kawah terisi oleh lumpur yang sebagian sudah mengeras dan berwarna abu-abu – putih. Pada bagian tepi lumpur sudah ditumbuhi oleh rumput namun pada bagian tengah tidak dijumpai tanaman yang tumbuh disana. Di antara lumpur tersebut dijumpai fragmen batuan maupun fosil berupa batupasir karbonatan, batupasir, foraminiferal grainstone, koral dan tulang belakang dan tempurung kaki invertebrata. Pada sisi timur, utara, barat dan selatan dijumpai beberapa kerucut kecil menyerupai tubuh gunungapi strato kecil yang masih aktif mengeluarkan lumpur (Gambar 2), sementara di bagian selatan tidak dijumpai. Di bagian barat Gunung lumpur Kesongo dijumpai beberapa penambangan hidrokarbon secara tradisional yang dilakukan oleh masyarakat sekitar (Gambar 3). Selain itu dijumpai lapisan batuan berupa napal yang diduga berasal dari lapisan insitu yang terterobos oleh Gunung lumpur Kesongo (Gambar 4).

183


GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013 Gunung lumpur Crewek berada di sebelah selatan pada dataran yang dikelilingi oleh endapan Kali Lusi, berada di tepian ruas jalan Kuwu-Crewek dan di tepian pemukiman penduduk. Bentuk gunung lumpur ini kubah bulat dengan panjang utaraselatan 37 m, lebar barat-timur 36 m dengan tinggi kurang dari 10 m dan luasan 1.537 m2. Pada bagian kubah terdapat beberapa kolam lumpur dimana air bersama sedikit lumpur keluar bagai mata air. Kolam lumpur dan bagian tepi dari gunung lumpur diselimuti oleh travertin (Gambar 5). Fragmen batuan yang dijumpai berupa batupasir yang telah mengalami oksidasi, batugamping dan batupasir karbonatan dengan ukuran 1 – 10 mm. Banyak dari fragmen tersebut telah tersemen kembali oleh kalsit. Gunung lumpur Kuwu berada di utara Gunung lumpur Crewek pada tepi ruas jalan Wirosari-Kuwu dan sudah menjadi salah satu obyek wisata daerah Purwodadi. Gunung lumpur Kuwu mempunyai semburan lumpur yang terbesar diantara gunung lumpur yang ada di Purwodadi-Blora. Morfologi berupa kubah dengan panjang barat-timur sebesar 610 m dan utara-selatan 362 m. Fragmen yang dijumpai umumnya batupasir yang telah mengalami oksidasi dengan ukuran 1-2 cm. Gunung lumpur Medang Kamulan terletak paling utara di daerah penelitian. Gunung lumpur ini berada pada daerah pesawahan dan terdiri dari beberapa pusat erupsi. Satu pusat erupsi membentuk kenampakan seperti gunungapi tipe strato dengan diameter 20-30 m dan tinggi sekitar 8 m. Pusat erupsi lainnya membentuk kubah kecil dan beberapa kolam yang didominasi oleh air. Fragmen yang dijumpai umumnya batupasir yang telah mengalami oksidasi dan batulempung merah kehitaman. Pada tepian kolam dijumpai genangan-genangan kecil minyak bumi. Analisa paleontologi yang dilakukan pada contoh lumpur dari Gunung lumpur Kesongo menghasilkan kumpulan foraminifera planktonik berupa Orbulina universa D’Orbigny, Globoquadrina altispira (Cushman & Jarvis), Globigerinoides trilobus Reuss, Gds. immaturus Le Roy, Gds. sacculiferus, Gds. obliquus Bolli, Praeorbulina sicana DeStefani, Globorotalia humerosa humerosa D’Orbigny, Glt. pseudomiocenica Bolli & Bermudez, Gds. ruber (D’Orbigny), Gds.diminutus Bolli, Glt. mayeri Cushman & Jarvis, Glt. peripheroronda Blow & Banner, Sphaeroidinella subdehiscens Blow, Globigerina praebulloides Blow, Glt. tumida (Brady), Glt acostaensis Blow, Glt. miocenicaPalmer, Glt. multicamerata Cushman & Bermudez, Glt. pseudoopima Blow, Gna venezuelana (Hedberg) dan Hastigerina praesiphonifera (Brady). Kumpulan fosil foraminifera plangtonik ini mempunyai lebih dari satu kisaran umur. Kisaran umur termuda berada pada N18-N19 (Miosen-Pliosen), berikutnya N14 (akhir Miosen Tengah) dan N7-N9 (Miosen Awal-Tengah).(Gambar 6) Kandungan foraminifera bentonik contoh lumpur dari Gunung lumpur Kesongo terdiri dari Cassidulina subglobosa Brady, Uvigerina peregrina peregrina D’Orbigny, Uvigerina peregrina parvula Cushman, Elphidium advenum Cushman, Bullimina strata mexicana Cushman, Robulus sp., Nodosaria sp., Gyroidina soldanii D’Orbigny, Siphonina pulcra Cushman, Cibicides sp aff c floridanus Cushman dan Textulariella simplex Cushman. Kumpulan foraminifera bentonik ini menunjukkan paleobatimetri neritik tengah dan batial atas. Kandungan foraminifera besar pada fragmen batugamping KE1 1 menunjukkan kandungan Miogypsina (Gambar 7), Amphistegina, Operculina, Operculinella dan Lepidocyclina yang mengindikasikan umur Te5-Tf2 (Miosen Awal – Tengah). Contoh fragmen batuan KE1 2 didominasi oleh Cycloclypeus dan beberapa Amphistegina serta Lepidocyclina yang mengindikasikan umur Tc-Tf3 (Oligosen – Miosen Akhir). Sedangkan fragmen KE1 3 mengandung Miogypsina, Amphistegina, Operculinella dan Austrotrilina howchini yang mengindikasikan umur Tf1 ( Akhir Miosen Awal). Analisa paleontologi yang dilakukan pada contoh lumpur dari Gunung lumpur Crewek menghasilkan kumpulan foraminifera planktonik berupa Orbulina universa D’Orbigny, Orbulina bilobata (D’Orbigny), Globoquadrina altispira (Cushman & Jarvis), 184


GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013 Globigerinoides trilobus Reuss, Gds. immaturus Le Roy, Gds. sacculiferus, Gds. obliquus Bolli, Praeorbulina sicana DeStefani, Glt. fohsi fohsi Cushman & Ellisor, Glt. mayeri Cushman & Jarvis, Sphaeroidinella subdehiscens Blow, Sphaeroidinellopsis disjuncta (Finlay), Glt. tumida (Brady), Glt. miocenica Palmer, Glt. plesiotumida Blow& Banner, Gna venezuelana (Hedberg) dan Hastigerina praesiphonifera (Brady). Seperti halnya pada Gunung lumpur Kesongo maka kumpulan fosil foraminifera plangtonik ini mempunyai lebih dari satu kisaran umur. Kisaran umur termuda berada pada N18 (akhir Miosen Akhir), berikutnya N12 (Miosen Tengah)dan N7-N8 (akhir Miosen Awal). (Gambar 8) Berbeda dengan Gunung lumpur Kesongo, kandungan bentonik foraminifera Gunung lumpur Crewek sedikit sekali. Hanya tiga spesimen dengan tiga spesies yang berbeda yaitu Cassidulina subglobosa Brady, Cibicides sp aff c floridanus Cushman dan Gyroidina soldanii D’Orbigny. Kumpulan ini diinterpretasikan mempunyai paleobatimetri batial atas-tengah. Contoh batunapal yang menutupi areal di sekitar Gunung lumpur Kesongo mempunyai kandungan foraminifera planktonik berupa Orbulina universa D’Orbigny, Globoquadrina altispira (Cushman & Jarvis), Globigerinoides trilobus Reuss, Gds. immaturus Le Roy, Gds. sacculiferus, Gds. obliquus Bolli, Sphaeroidinella subdehiscens Blow, Sphaeroidinellopsis seminulina Schwager, Globorotalia multicamerata Cushman & Bermudez, Gds. extremus Bolli dan Glt. miocenica Palmer. Kumpulan foram ini menunjukkan umur N17-N19 (Miosen-Pliosen). Kandungan foraminifera bentonik berupa Cassidulina subglobosa Brady, Cibicides sp aff c floridanus, Robulus sp., Nodosaria sp., Eponides umbonatus Reuss, Textulariella simplex Cushman, Pullenia quinqueloba (Reuss), Gyroidina soldanii D’Orbigny, Uvigerina peregrina parvula Cushman, Bullimina marginata D’Orbigny, Planulina foveolata D’Orbigny dan Elphidiella hannai (Cushman & Grant). Kandungan foraminifera bentonik ini mengindikasikan paleobatimetri batial atas. Penarikan umur dari beberapa contoh lumpur diambil dari kisaran umur yang tertua yang ditemukan. Hal ini dilakukan mengingat lumpur pada gunung lumpur terbentuk karena adanya lapisan kaya lumpur mengalami tekanan overburden dari lapisan penutup yang tebal yang kemudian keluar memotong beberapa lapisan batuan di atasnya. Umur fosil yang lebih muda diperkirakan berasal dari batuan-batuan lebih muda yang diterobos oleh lumpur. Struktur pada daerah ini tidak seperti yang berkembang di Zona Kendeng dimana lipatan dan sesar anjak banyak djumpai. Struktur yang berkembang di daerah ini dianggap lebih cenderung menyerupai struktur yang berkembang di Zona Rembang. Akibatnya tidak ada batuan tua di atas batuan yang lebih muda akibat adanya sesar-sesar naik. Sehingga batuan yang menjadi sumber lumpur diperkirakan berasal dari batuan yang tertua yang bisa teramati dari kumpulan fosilnya. Kumpulan fosil foraminifera planktonik tertua dari Gunung lumpur Kesongo menunjukkan umur N7-N9. Umur ini sebanding dengan umur batuan yang membentuk Formasi Tawun – Ngrayong. Pada Gunung lumpur Crewek kumpulan fosil tertua menunjukkan umur N7-N8 yang sebanding dengan umur batuan pada Formasi Tawun. Formasi Tawun mempunyai kandungan batuan halus seperti batulempung dan batulanau yang cukup dominan. Kandungan batulempung dan batulanau ini yang diinterpretasikan sebagai sumber lumpur pada beberapa gunung lumpur di daerah Purwodadi-Blora. Fosil-fosil berumur muda dari contoh lumpur(N12, N14 dan N18-N19) menunjukkan batuan-batuan yang termuda yang terterobos oleh lumpur. Berdasarkan kandungan fosil tersebut maka batuan-batuan yang terterobos merupakan batuan penyusun Formasi Ngrayong, Wonocolo, Ledok hingga Mundu. Sementara dari fragmen batuanpada Gunung lumpur Kesongo yang mengandung foraminifera besar berumur Miosen Awal – Akhir menunjukkan kesamaan dengan batuan-batuan penyusun Formasi Ngrayong dan Wonocolo. Kedua formasi ini banyak memiliki batugamping dengan 185


GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013 kandungan foraminifera besar yang melimpah. Batuan-batuan ini diduga diterobos oleh lumpur yang berasal dari Formasi Tawun yang terletak di bawah Formasi Wonocolo dan Ngrayong. Batunapal yang berada di sekitar Gunung lumpur Kesongo mempunyai umur N17N19 dan paleobatimetri batial atas-tengah. Umur dan paleobetimetri ini sesuai dengan umur dan paleobatimetri batuan-batuan penyusun Formasi Mundu. Sehingga selain sebagai formasi yang diterobos oleh gunung lumpur, di beberapa tempat Formasi Mundu diperkirakan bertindak sebagai lapisan penutup pada perangkap hidrokarbon di sekitar Gunung lumpur Kesongo.

KESIMPULAN Berdasarkan kandungan foraminifera yang dijumpai dalam lumpur maupun fragmen batuan maka dapat disimpulkan : 1. Batuan sumber gunung lumpur di daerah Purwwodadi-Blora berasal dari Formasi Tawun. 2. Batuan yang terterobos meliputi batuan-batuan dari Formasi Ngrayong, Wonocolo, Ledok dan Mundu. 3. Selain sebagai batuan yang diterobos oleh lumpur, batunapal Formasi Mundu juga bertindak sebagai batuan penutup pada perangkap hidrokarbon di sekitar gunung lumpur Kesongo.

PUSTAKA DAVIES, R., MANGA, M., TINGAY, M., AND SWARBRICK, R., 2011, Fluid transport properties and estimation of overpressure at the Lusi mud volcano, East Java Basin, Engineering Geology 121 (2011) 97-99, Elsevier. DAVIES, R.J., BRUMM, M., MANGA, M., RUBIANDINI, R., SWARBRICK, R., AND TINGAY, M., 2008, The East Java mud volkano (2006 to present): An Earthquake or drilling trigger?, Earth and Planetary Science Letters 272 (2008), 627-638, Elsevier. ISTIADI, B.P., WIBOWO, H.T., SUNARDI, E., HADI, S., AND SAWOLO, N., 2012, Mud Volcano and Its Evolution, Earth Sciences, Dr. Imran Ahmad Dar (Ed.), ISBN: 978-853-307-861-8, InTech MAZZINI, A., SVENSEN, H., AKHMANOV, G.G., ALOISI, G., PLANKE, S., MALTHE-SORENSSEN, A., AND ISTADI, B., 2007, Triggering and dynamic evolution of the Lusi mud volcano, Indonesia, Earth and Planetary Science Letters 261 (2007), 375 - 388, Elsevier. MAZZINI, A., NERMOEN, A., KROTKIEWSKI, M., PODLADCHIKOV, Y., PLANKE, S., SVENSEN. H.,2009, Strike-slip faulting as a trigger mechanism for overpressure release through piercement structures. Implications for the Lusi mud volcano, Indonesia, Marine and Petroleum Geology 26 (2009), 1751 - 1765, Elsevier. MORI, J., KANO, Y., 2009, Is the 2006 Yogyakarta Earthquake Related to the Triggering of the Sidoarjo, Indonesia Mud Volcano?, Journal of Geography 118 (3) 492 – 498 2009. RIDD, M.F., 1970, Mud Volcanoes in New Zealand, The American Association of Petroleum Geologists Bulletin v. 54, No. 4 (April, 1970), P. 601 – 616, 13 Figs. RUDOLPH, M.L., SHIRZAEI, M., MANGA, M., AND FUKUSHIMA, Y., 2013, Evolution and Future of the Lusi Mud Eruption Inferred from Ground Deformation, Geophysical Research Letters, vol 40,1-4, doi:10.1002/grl.50189. 186


GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013 RUDOLPH, M.L., KARLSTROM, L., AND MANGA, M., 2011, A prediction of the longevity of the Lusi mud eruption, Indonesia, Earth and Planetary Science Letter308 (2011), 124-130, Elsevier, doi:10.1016/j.epsl.2011.05.037. SATYANA, A.H., AND ASNIDAR, 2008, Mud Diapirs and Mud Volkanoes in Depressions of Java to Madura : Origins, Natures, and Implications to Petroleum System, Proceedings, Indonesian Petroleum Association, 32nd annual Convention & Exhibition, May 2008, p. 139-158, Jakarta. VAN BEMMELEN, R. W., 1970, The Geology of Indonesia, Vol IA, General Geology of Indonesia and Adjencent Archipelago, 2nd Edition, Goverment Printing Office, The Haque.

187


GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

188


GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

189


GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

190


GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

191


GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013


HMTG Annual Pro

SS 2 - BIOSTRATIGRAFI NANNOFOSSIL GA LINTASAN GUNUNG TEMAS KECAMATA KABUPATEN KLATEN, PROPINSI JAWA 1Yohannes

ARDHITO, 2AKMALUDDIN

1. Mahasiswa Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas 2. Dosen Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universita

Diterima tanggal 15 November 2013 Dipresentasikan pada Seminar Nasional Kebumian ke-6 Jurusan T Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, tanggal 11 D

SARI

Lokasi penelitian berada di daerah Bayat, Klaten, Propinsi Jawa Tenga di Gunung Temas. Lokasi dipilih karena merupakan perbukitan den batuan sedimen karbonat, dan batuan beku. Perbukitan tersebut terlet timur dari Perbukitan Jiwo, Bayat dan jajaran bagian paling utara Selatan. Peneliti menggunakan nannofosil sebagai objek penelitian ka dilakukan penelitian yang serupa di daerah penelitian. Penelitian i menghasilkan zonasi biostratigrafi serta korelasi umur dengan biostra pada Formasi yang sama. Metode penelitian yang digunakan untuk m biostratigrafi menggunakan metode zona selang dengan melihat aw atau akhir kemunculan spesies fosil indeks. Dari data lapangan dapat dengan tujuh satuan batuan yaitu Satuan diorit, Satuan packstone, wackestone dengan napal, Intrusi diabas, Satuan packstone dengan si pasir lempungan, dan Satuan lempung pasiran. Biostratigafi nannofos Gunung Temas terdiri dari 2 zona yaitu zona NN10 (Zona Discoaster NN 11 (Zona Discoaster quenqueramus)atau ekuivalen dengan um Miosen Atas. Biostratigrafi nannofosil yang dihasilkan relatif le Biostratigrafi nannofosil Formasi Oyo di daerah Pegunungan Selatan, y Ngalang.

Kata kunci: Biostratigrafi, Nannofosil, Gunung Temas, Pegunungan Sel

PENDAHULUAN

Penelitian ini dilakukan di daerah Bayat, Klaten, Jawa Tengah. Lokas


GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

Gambar 1. Lokasi Penelitian

GEOLOGI REGIONAL

Geomorfologi daerah penelitian menurut [1], termasuk ke dal tengah.Tepatnya berada di daerah paling timur dari perbukitan J Morfologi daerah penelitian terdiri dari dataran alluvial dan per Penamaan ini mempertimbangkan dari keadaan daerah penelitian merupakan daerah morfologi positif akibat pengangkatan.

Berdasarkan ulasan dari beberapa peneliti pendahulu, penelitian termasuk kedalam Formasi Oyo. Pada Formasi tersebut bat dominan meliputi perselingan Batugamping dengan Napal.

Berdasarkan struktur geologinya daerah penelitian masih t struktur geologi Pegunungan Selatan. Menurut Sudarnodalam Haki struktur yang berkembang Kompleks Pegunungan Selatan diantarany Barat daya, arah Utara – Selatan, arah Barat laut – Tenggara, arah T daerah penelitian memang tidak nampak jelas terdapat data struk ketika dilakukan pemetaan, ditemukan beberapa data struktur yang Timur Laut – Barat Daya.


HMTG Annual Pro

tabel distribusi nannofosil. Kemudian untuk menyusun Biostratig metode zona selang. Zona tersebut menekankan pada awal kemuncu kemunculan spesies indeks nannofosil.

Gambar 2. Peta Geologi daerah penelitian

HASIL PENGAMBILAN DATA Stratigrafi Daerah Penelitian

Stratigrafi daerah penelitian terdiri dari 2 jenis batuan, yaitu batua sedimen karbonat, satuan tersebut adalah: a. Satuan diorit

Satuan Diorit ini berada di daerah Gunung Temas tepatnya p penambangan, dengan koordinat 464398 9141438 zona 49S. Intrusi Diorit berwarna hitam dengan kristal yang berukuran cuk


GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013 b. Satuan packstone

Gambar 3. Satuan packstone yang menumpang diatas Sa

Satuan ini berada di kawasan Gunung Temas tepatnya pada koo dan 9141444 mU. Satuan ini pada bagian bawah langsung kon beku dengan jenis Diorit dengan jenis kontak non-conformity(Ga berada pada penambangan batugamping oleh warga. Karakter b Temas memiliki kandungan Packstone lebih melimpah dari ketebalan Packstone rata – rata berkisar antara 20 cm – 40 cm napal hanya memiliki ketebalan rata –rata sekitar 5 cm – 10 beberapa lapisan napal tidak terlalu bersifat karbonatan. Hal ter proses diagenesis dengan tipe pelarutan sudah berkembang den batuan secara makroskopisnya adalah Packstone berwarna kuningan, dengan ukuran butir pasir halus – pasir kasar (1 mm baik, grain supported dengan sedikit kandungan mud karbona yang dominan pada lokasi ini adalah slump, flaser, laminasi, g load cast. Komposisi dari batuan ini adalah foram bentonik besar kontak dengan batuan beku, kemudian foram planktonik, kandungan mud karbonat. Sedangkan Napal berwarna putih k dengan ukuran butir lempung – lanau (<1/256 mm – 1/16 mm dengan struktur sedimen berupa laminasi, dan gradasi norm Komposisinya adalah material sedimen berukuran lempung terlihat kandungan foram planktonik. c. Satuan perselingan wackestone dengan napal


HMTG Annual Pro

adalah laminasi, gradasi normal dari wackestone, dan komposisinya terdiri dari mineral karbonat berukuran lempun mengandung mud karbonat, di beberapa lapisan ada yang cuk foram kecilnya. d. Satuan diabas

Gambar 4. Satuan diabas (A) yang menembus Satuan perselin dengan napal (B), serta inklusif Satuan perselingan wackestone

Satuan Batuan ini terdapat disebelah utara dari lokasi penamb Gunung Temas, tepatnya pada 464466mT dan 9141645 kenampakan lapangan, Satuan ini menembus satuan perse dengan napal (Gambar 4). Batuan pada satuan ini berwarna ab coklatan, ukuran kristalnya sedang tekstur porfiroafanitik. Kom adalah plagioklas, hornblenda, biotit dan mineral opak lain se kenampakan plagioklasnya menjarum dan saling menyusun sepe e. Satuan packstone dengan sisipan napal

Satuan ini merupakan satuan batuan paling muda. Satuan ini m struktur slump semakin dominan. Permerian batuannya adalah P putih kekuning – kuningan, dengan ukuran butir pasir halus – pa mm), sortasi baik, grain supported dengan sedikit kandung struktur sedimen yang dominan pada lokasi ini adalah flaser


GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013 g. Satuan lempung pasiran

Satuan ini berada pada daerah yang lebih datar, jauh dari perb pada daerah persawahan. Material pengisi endapan ini lebih lempungan dibandingkan dengan pasiran. Diperkirakan endapan proses fluvial.

Biostratigrafi

Dari data tabel distribusi yang telah disusun berdasarkan hasil lintasan, dengan didasari metode zona selang, maka dibuatlah biostrat Gunung Temas (Lampiran 3).

Penelitian ini mengaku pada Zonasi standar Martini [3]. Sehing pertama yaitu Zona NN10 yang dibatasi pada bagian atas oleh kemuncu quenqueramus. Kemudian zona selanjutnya adalah Zona NN11. mengenai zonasi pada lintasan Gunung Temas:

a. Zona Discoaster calcaris / Zona NN10 Zona ini merupakan zona parsial karena hanya dibatasi oleh kem spesies Discoaster quenqueramus pada bagian atas. Pemunc Discoasterquenqueramus sebagai datum sesuai dengan datum Martini [3] dalam penentuan batas awal dari Zona NN11 sedang [4] memiliki pemunculan akhir dari Discoasterberggrenii seba awal dari Zona CN9 serta Backman et al [5] juga memiliki pem Discoasterberggrenii sebagai penentu batas awal CNM16. Pada penulis memilih menyamakan dengan Martini [3], karena pen ditentukan oleh Okada & Bukry [4] maupun Backman et al [5] tid penulis, sehingga zona ini dinamakan sebagai Zona Discoasterca yang mewakili zona ini adalah GT 1, GT 2, GT 4 dan GT 5.

Fosil penciri dari zona ini adalah Discoastercalcar neohamatus.Fosil yang berada bersamaan dengan fosil penciri pada zona ini antara lain: Amaurolithus amplificus, Angulolithin pelagicus, Cyclococcolithus leptoporus, Cyclococcolithus ma brouweri, Discoaster challangeri, Discoaster pansus, Discoas Discoaster variabilis, Hayaster persplexus, Helicosphaera kamp multipora, Rhabdasphaera clavigera, Reticulofenestra minut minutula, Reticulofenestra pseudoumbilica, Sphenolithus abies.

Selain fosil penciri, pada zona ini terdapat fosil rework an coalitus(GT1 – GT4), Coccolithus miopelagicus (GT1, GT4, &GT5


HMTG Annual Pro

batas antara zona NN10 dengan Zona NN11 kemungkinan ha antara 165 cm tersebut. Oleh karena itu, nilai ketepatan biozon cukup baik.

b. Zona Discoaster quenqueramus / Zona NN11 Zona ini merupakan zona parsial karena hanya ditemukan ba yaitu kemunculan awal dari spesies Discoasterquenqueramu kemunculan awal dari spesies Discoasterquenqueramus ini digu [3] sebagai batas awal dari zona NN11, sedangkan menurut Oka Backman et al. [5], datum awal dari Zona CN9 atau CNM16 – dengan Zona NN11 adalah pemunculan awal dari Discoas pemunculan akhir dari Discoasterneorectus. Martini (1971) dan memberi nama zona ini sebagai Zona Discoasterquenqueramus. S et al. [5] membagi lagi zona ini hingga 4 zona, yaitu CNM16 berggrenii, CNM17 / Zona Amaurolithus primus, CNM18 / Zona N dan CNM19 / Zona Discoaster quenqueramus. Conto batuan yang adalah GT6, GT7, GT8, GT9, GT11, GT13, GT15, GT16 dan GT 18.

Fosil penciri dari zona ini adalah Discoasterquenqueramu bersamaan dengan fosil penciri pada conto batuan pada zo Amaurolithus amplificus, Angulolithina arca, Cyclococco Cyclococcolithus macintrey, Coccolithus pelagicus, Discoaster b pentaradiatus, Discoaster variabilis, Hayaster persplexus, Helic Pontosphaera multipora, Reticulofenestra minuta, Reticulo Reticulofenestra pseudoumbilica, Sphenolitus abies, Sphenolitus mo

Selain fosil penciri, pada zona ini terdapat fosil rework an coalitus(GT13), Coccolithus miopelagicus (GT7, GT9, GT15 – GT1 niticens (GT6 – GT9, GT13, GT16 – GT18), Cyclocargolithus florida GT13 – GT18), Discoaster deflandre (GT9), Discoaster calcaris GT16 – GT18), Discoaster druggi (GT6, GT8, GT9, GT13, GT16 hamatus (GT9), Discoaster neohamatus (GT6 – GT18), Helicosp (GT6, GT8), Helicosphaera rhomba (GT6, GT8, GT13), Sphenolithu GT9, GT13 – GT18).

Berdasarkan pengamatan, pada zona ini terdapat be melimpah secara mencolok antara lain: Discoaster brouweri, Discoaster variabilis, Helicosphaera kampteri, Reticulofe Reticulofenestra pseudoumbilica, Sphenolithus abies pada conto Sphenolithus moriformis pada conto batuan GT8 dan GT13


GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

DISKUSI Korelasi Biostratigrafi Pegunungan Selatan

9.2

N16

NN9

N15

KADAR A.P., 1990 (NANNOFOSIL GAMPINGAN)

NN10

PARAMITHA, 1986 (FORAMINIFERA

N 17

PRIYANTO, 1996 (FORAMINIFERA PLANKTON)

NN11

KADAR D., 1986 (FORAMINIFERA PLANKTON)

ZONASI BLOW, 1969

UMUR ABSOLUT HAQ, 1984

8.1

ZONASI MARTINI, 1971

AKHIR

UMUR

Penyebandingan atau korelasi biostratigrafi dilakukan terhadap pendahulu (Gambar 5). Peneliti pendahulu yang telah melakukan pene pada Formasi Oyo adalah Susilo [7] yang menggunakan data nannofos biostratigrafinya serta penelitian dilakukan dengan cara MS dan pe secara sistemastis dengan daerah penelitian di Kali Ngalang. menghasilkan umur Formasi Oyo antara NN8 – NN10. Sedangkan teliti kisaran umur antara NN7 – NN10. Berdasarkan hasil perbandingan biostratigrafi pegunungan sel penulis dengan telitian peneliti pendahulu [7][8][9][10][11], maka d stratigrafi dengan hasil yang paling dekat yaitu telitian milik perbandingan tersebut menunjukkan bahwa adanya perbedaan fasie lokasi penelitian dengan lokasi penelitian Susilo [7]. Hal ini dapat ter perubahan fasies antara lokasi penelitian dengan lokasi penelitian terd pengendapannya yang berbeda. Selain itu, berdasarkan korelasi seca Susilo [7] mencakup umur Formasi Oyo yang lebih tua. Hal ini menunju penelitian penulis merupakan baguan dari formasi oyo yang lebih m yang berada diatas hasil telitian dari Susilo [7]. Pada lokasi penelitia perbedaan umur antara nannofosil dengan mikrofossil yang cukup sign umur mikrofosil lebih tua daripada nannofosil [7][8], hal ini juga dip lokasi penelitian Penulis. Hal ini terjadi diperkirakan karena fosil mengalami rework. Hal ini disimpulkan dari karakter litologi daer memiliki banyak struktur pengendapan berupa struktur nendatan, y runtuhan pada saat pengendapan.


HMTG Annual Pro

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil dari pengamatan data, serta pembahasan didap terhadap penelitian yang dilakukan oleh penulis yang lokasinya berad dan sekitarnya. Kesimpulan tersebut antara lain:

a. Zonasi Lintasan Gunung Temas dapat dibagi kedalam 2 zona, yaitu i. Zona Discoaster calcaris yang ekuivalen dengan zona NN10 [3] serta batas akhir dari zona CNM 14 [5] serta ekuivalen denga [12] ii. Zona Discoasterquenqueramus yang ekuivalen dengan zona NN1 [4] serta batas akhir dari zona CNM 16-19 [5] serta ekuivalen d N16 – N17 [12]. b. Dari kemunculan zona – zona yang ada di daerah penelitian d lokasi penelitian, yaitu mulai dari Miosen Atas bagian ten Berdasarkan umur absolut oleh Haq [6] adalah 9,2 juta tahun y tahun yang lalu. c. Perbandingan biostratigrafi lokasi penelitian dengan pe menunjukkan bahwa lokasi penelitian terendapkan belakangan da diendapkan di pegunungan selatan.

UCAPAN TERIMAKASIH

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas Nya. Selanjutnya penulis ingin mengucapkan terimakasih pada Ba Suryono selaku Ketua Jurusan Teknik Geologi UGM, Bapak Indra Novian Wijono yang tak henti – hentinya memberi saran dan masukan, serta membantu dalam pembuatan makalah ini.

DAFTAR PUSTAKA [1] BEMMELEN, R.W. VAN, The Geology of Indonesia, Martinus Nijhoff, 1949.

[2] HAKIMI, D.A., HUSEIN, S., SRIJONO, “Indeks Geomorfik Sebagai Mor Das. Gobeh, Kabupaten Gunungkidul – DIY” In: Seminar Nasiona Teknologi – IST Akprind, Yogyakarta, Pp. 38 – 48.

[3] MARTINI, E., “Standard tertiary and quartenary calcareou biozonation”. In : FARRINACCI A. Ed., Proc. 2nd Plank. Conf. R


GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

[8] PARAMITA, E., Geologi Daerah Nglipar Dan Sekitarnya, Kabupat Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Skripsi (S.T.), Jurusan Te Yogyakarta, 1996.

[9] KADAR, D., 1986, Neogene Planktonic Foraminiferal Biostratigr Central Java Area Indonesia. Geological Research and Developm Publication, No. 5, h. 1 – 103.

[10] KADAR, A.P., “Biostratigrafi Nannofosil Miosen Bawah – Miose Sambipitu Serta Korelasinya dengan Biostratigrafi Foram Proceedings PIT XIX IAGI, Bandung, pp 201 – 214, 1990.

[11] PRIYANTO, A. W., Biostratigrafi dan Penentuan Umur Formasi Ngglan Oyo Berdasarkan Kandungan Fosil Foraminifera Planktonik Da Kecamatan Nglipar, Kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa (S.T.), Fakultas Biologi UGM, Yogyakarta, 1986.

[12] BLOW, W.H., Late Middle Eocene to Recent planktonic foraminife In: Intemational Conference on Planktonic Microfossils, No. 1, 1967, p. 199-422, Genoa, 1969.


HMTG Annual Pro

LAMPIRAN1. Kolom Stratigrafi Lintasan Gunung Temas 1 beser Batuan


GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

LAMPIRAN2. Kolom Stratigrafi Lintasan Gunung Temas 2 beser Batuan


LAMPIRAN 3. Biostratigrafi Lintasan Gunung Temas

HMTG Annual P


GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013 LAMPIRAN 4. PLATE 1


HMTG Annual Pro LAMPIRAN 5. PLATE 2


GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013


HMTG Annual Pro

SS 3 - THE SAND-RICH TIDE DOMINATE MODEL OF BANGKO FORMATION IN “A USING HIGH-RESOLUTION SEQUE STRATIGRAPHY AND ICHNOFACIES AN

Mohamad Amin Ahlun NAZAR1, Alfredo Di STEFANO1*, Ananyamatya Jarot SETYOWIYOTO1, Kirandra Ferari Budi PRASODJO 1

Geological Engineering Department, Gadjah Mada Unive 2 Chevron Pacific Indonesia

Poster exhibitor in Thirty-Seventh Annual Convention and Ex Indonesian Petroleum Association, Jakarta, May 2013

ABSTRACT

AB area is located in the most prolific Basin in Indonesia, Central Sum location, Bangko Formation has been reevaluated using modern concep In this study, 2 core wells and 134 well logs were examined. The m several step (1) core analysis, (2) electrofacies calibration, (3) Hi-r stratigraphy correlation, (4) Facies mapping in the Bangko Forma reveals evidence to approve the tidal control: tidal bundles; mud d stratification; glauconite; hummocky and through cross bed; wa sedimentary structure and fluid mud existence within the conglomera Ichnofacies analysis was firstly used in the area and it is give si appearance of Zoophycos, Cruziana, and Skolithos that shows progra stratigraphic record. High-resolution sequence stratigraphy correlati result in lateral geometry of depositional facies of the area, they are Tidar Bar, Subtidal Bar, and Shelf Ridges, also accompanied mudston local seal of the Prodelta, Delta Front and Tidal Flat facies. The facies geometry of the delta itself, it is having funnel shape channel geometr point bar and tidal flat facies. This channel is prograding and has Tida which were the series of the Channel-Bar-Tidal Flat succession. Thi control of tide and have elongate shape parallel to the sedimentation di and interpretation are used to build the model of tide dominated del age. This comprehensive study offering another reference to app succession as deposit of sand-rich tropic tide dominated delta in Centra


GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

Nayoan, 1974), basement high in several location acted as wave b marine to the west while Willis et al., (2010) explain that Deltaic env transgressed during Miocene to the NE. At this geographic setting, sh macrotidal-mesotidal environment should be exist. There are similar geographic settings with present high stand Fly River Delta in Papua New Guinea and Chang Jiang River are one th location, sediment transported into wide open Pacific Ocean while tid the sediment back into the land. Fly River is one of the area that sedi and formed delta. Specifically because it is prominent to the sea, this d dominated by tides that makes it having a distinct sedimentary env dominated delta (see more in Dalrymple and James, 2011). This presen the past, where Bangko Formation at the “DR” is suspected having the from the open ocean at the Early Miocene. Laing and Atmodipuro (1990) state that at the Early Mi Formation in “DR” deltaic environment has been developed. Johan (2010) also report that tide dominated delta environment in Cent occurred in the early Miocene characterized by tropical climate wit sediment that occurs by two tier architectures, the first is upper tier c and proximal mouth bar and the second is the lower tier that consists mud. This research aims to develop a facies and depositional environ Early Miocene Bangko formation deltaic succession in “DR” Field, Centr For studying this matter, two core wells and 134 well logs w study consist of several step (1) core analysis, (2) electrofacies calibr stratigraphic correlation, (4) facies mapping in “AB”, where the Bangk occurs.

STRATIGRAPHY

Central Sumatra Basin’s stratigraphy consists of several grouping. T Pematang Group, Sihapas Groups, Petani Group, and Alluvial Forma Aulia (1993) explain that each group representing the tectonic phase and destruction. Rifting phase of the basin is associated with Pematang followed by Sihapas as Sag Phase (post-rift) and Petani Groups th Inversion (Barisan Compressional Phase). According to Wongsosantikno (1976), Sihapas groups divid Bangko, Bekasap, Telisa, and Duri Formation, this study focused on B formation. Bekasap formation is generally composed of massive, fine sandstones with minor, thin shale intercalations, scattered coal sea limestone stringers. Only brackish water and shallow marine forams ex


HMTG Annual Pro

ICHNOFACIES ANALYSIS

Ichnofacies analysis has been done for both 361 and 973 well. The 3 interval of 679 – 747 ftTVDSS (68ft) covering Baji and Jaga reservoir u also covering Baji and Jaga reservoir unit and the upper parts of Dala has depth interval of 692 – 779 ftTVDSS (87ft). Figure 2 give com analysis. The ichnofacies found on this wells are Skolithos ichnofacies, Cr and Zoophycos ichnofacies. Thus the identified ichnogeneras are su Chondrites, Conichnus, Cosmorhaphe, Cylindrichnus, Diplocraterion Gyrolithes, navichnia, Ophiomorpha, Palaeophycus tubularis, Phyco Skolithos, Teichichnus, Thalassinoides, and Zoophycos. The identificati yields the ichnofacies association that will result in the interpretati environment, water salinity, and also relative sea level change. Skol generally distributed in a sandy shore, while Cruziana ichnofacies sublittoral zone, and Zoophycos ichnofacies at bathyal zone (Pember observed well, Skolithos ichnofacies is found at Tidal Bar with Cylindrichnus and Skolithos ichnogenera. Cruziana ichnofacies is iden Tidal Flat, Subtidal Bar, and predominate in Delta Front. While Zooph restictly found at Prodelta as Cruziana ichnofacies is more likely to ichnogeneras present in Prodelta are Zoophycos, Chondrites, Cosmorha Phycosiphon, Asterosoma, and Diplocraterion habichi. Skolithos ichnofacies found in two cores consists of Cho Cylindricus, fugichnia, Gyrolithes, navichnia, Ophiomorpha, Palae Planolites, Skolithos, Teichichnus, and Thalassinoides ichnogenera. M paper “Ichnology and Facies Models” (2011) states that skolithos ichn of high levels of wave or current energy, and developed in clean, w shifing substrate. It is shown by the occurrence of Skolithos ichnofa Cross Stratification within Delta Front facies. Asterosoma, Chondrites, Cosmorhaphe, Cylindrichnus, Diplo fugichnia, and Gyrolithes ichnogenera are consisted in Cruziana ichnofacies are found in range of depositional condition from long-term levels in shallow water below fair-weather wave base but above st generally low-energy levels in deeper, quieter waters. Cruziana ich subtidal, poorly sorted or heterolithic, cohessive to semi-coh (MacEachern, 2011). Ichnogeneras grouped in Zoophycos ichnofacies are Zoo Cosmorhaphe, Thalassinoides, Phycosiphon, and Asterosoma. It has depositional environment and substrate. Based on the analyzes of tw ichnofacies are only found in Prodelta facies. It shows that the substra


GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013 Skolithos ichnofacies to predominant Cruziana ichnofacies and represence oh Zoophycos ichnofacies in Prodelta.

FACIES ASSOCIATION

Based on core description data from the oldest to the youngest roc facies rocks, named claystone and siltstone facies carbonaceous claystone and siltstone facies (M2), bioturbated wavy or lenticular clay facies (M3), fine-medium grained sandstone facies (S1), coarse-ver sandstone facies, (S2), crossbedded coarse - very coarse grained san conglomerate facies (S4), bioturbated crossbedded very fine graine (B1), bioturbated very fine grained sandstones facies (B2), bioturbate grained sandstone facies (B3), bioturbated glauconitic fine-medium facies (B4), bioturbated fine-medium grained sandstone facies crossbedded coarse – very coarse grained sandstone facies (B6). As for the deposition of core facies associations 4S-5U-61C and is divided into facies Prodelta, Delta Front, Distributary Mouth Bar, C facies Bar, Tidal Flat, subtidal Bar. Intake of facies association mod model of tidal delta dominated by Dalrymple, (2011) in the James and Dalrymple and Choi (2007), Dalrymple et al., (2003) and a model ichnofossil and ichnogenera by MacEachern et al., (2011) in the Jam (2011). Prodeltafacies associations (PRD) comprises M2. Sedimentary found, but there are Zoophycos and Cruziana Ichnofasies. Delta Front (DFT) consists of B3, B1, M3 and M2. Sedimentary structures such Stratification (HCS), through cross bed (TCB), wavy, flasser and lenti also found. Facies associations Distributary Mouth Bar (DMB) consi deposited with intensive of Delta Front. Tidal facies Bar Association (TBR) consists of B6 and S1. bimodal (2-way) with a slope in the bedding and sedimentary structure crossbed change the transition zone between the fluvial-tidal (Dalrymp There is Skolithos Ichnofasies. Tidal channel facies associations (TCL) The presence of mudstone and siltstone facies massive facies characte "slack water deposit". There Conichnus ichnogenera (ichnofasiesSkolit strong cemented identifier flooding surface (FS). Subtidal facies Bar (ST by lithofasies B4, and B5 S1. Glauconite is authigenic minerals in area always be under sea water (Selley, 1985), characterizes the Tidal Bar level, Dalrymple, (2011) in James and Dalrymple (2011).


HMTG Annual Pro

CORRELATION

There are 24 correlation lines, 11 lines trending NW-SE and 13 lines tr hypothetical trend of sedimentary dip). Core analysis establish stra marker with different order (hierarchy) according to correlation meth and Allen (1999). The marker are MFS1 (1storde), lies between the Lo and Shelf ridges; MFS2 (2ndorde), between the tidal bar-tidal flat-delta (1storde), lies between the upper Prodelta Facies; SB Jaga that overlai facies and; SB22, that lies under the two reservoir units. Result of this in Figure 3 and fence diagram in figure 4. From the establishment of the stratigraphic marker, the parasequence of the succession had been identified. From the MFS prograding parasequence that interpreted as High Stand System T second sequence is series of fining upward sediment from SB Jaga to M system tract is bounded by SB Jaga and TS (transgressive surface). A Transgressive System tract lies above the LST and its ending at the M the second HST lies underneath the SB22 and MFS3.

FACIES MAP

Facies map that had been used in this research is Lithofacies map, it’s that show geometry of a lithology in one depositional facies (Nort explanation will focus on the establishment of sand isolith map bene that was used to do forward modeling of the delta (Figure 5). Sandstones are used in the mapping because sedimentological tide dominated sediments experience extensive reworking of river sup (Dalrymple, 2011) because low gradient terrain. This sedimentology will be dominated the deposition in the area and form its geomorpholo is also supported by Johansen and Semimbar (2010) paradigm that the Early Miocene age is coarse grained and dominated by sandstone. Shelf Ridges facies is the oldest member of sand facies. It is di trend and covers all of the “AB�. This sand in general pinching to SW. the shelf ridges could not reflect the paleogeography of the area becau current may vary with shelf ridge orientation (Dalrymple, 2011). Tidal channel facies showing distinct geometry in facies map that is became wider from east to west, however, this channel is susp so to differentiate it is uneasy. Tidal bar and subtidal bar are show elongate feature trendin This trend may and answer to sediment transport within the area be


GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

and it is give significant result in appearance of Zoophycos, Cruziana, shows progradation trend in the stratigraphic record.

REFERENCE

DAWSON, W. C., YARMANTO, SUKANTA, U., KADAR, D., DAN SANGREE, J.B Sequence Stratigraphic Correlation in Central Sumatra, Laporan Interna

HEIDRICK, T. L., DAN AULIA, K., 1996, Petroleum Geology of Indonesia : Pr Application, Pertamina – BPKKA, Jakarta.

HEIDRICK, T.L., DAN AULIA, K., 1993, A Structural And Tectonic Model Of Block, Central Sumatra Basin, Indonesia, Dalam Prosiding Ind Association 22nd Annual Conference And Exhibition. P 286--319.

JAMES, N.P., DAN DALRYMPLE, R., 2011, Facies Model 4, Geological Associat

JOHANSEN, S., DAN SEMIMBAR, H., 2010, Sand‐rich, Tide‐dominated Delt Lower Miocene, Central Sumatran Basin, Indonesia, AAPG Hedberg Con

KADAR, D., DAN PREECE, R., 2002, Duri Field Biostratigraphy Ecofa Laporan Internal CPI.

LAING, J.E., DAN ATMODIPURO, B.P., 1992, The Dalam Sandstone : Deepe The Duri Field, Sumatra, Indonesia, IAGI 21st Annual Conventio Yogyakarta. NORTH, F.K., 1990, Petroleum Geology, Allen dan Unwin : Jakarta.

POSAMENTIER, H. W., ALLEN, G. P., JAMES, D. P., DAN TESSON, M. 1992. Force Sequence Stratigraphic Framework: Concepts, Examples, And Explo American Association of Petroleum Geologists Bulletin, Vol. 76, pp. 168 Posamentier, H. W., dan Allen G. P., 1999, Silisiclastic Sequence Stratig Aplication, Society for Sedimentary Geology, Tulsa, Oklahoma.

SELLEY, R.C., 1985, Ancient Sedimentary Environment and their sub-sur edition, Cornell University Press, Ithaca, New York.

VAN WAGONER, J. C., MITCHUM, R. M., CAMPION, K. M., DAN RAHMANIAN, V. D., Sequence Stratigraphy in Well Logs, Cores & Outcrops : Concepts fo Correlation of Time & Facies, AAPG Methods in Exploration Series, No. 7


HMTG Annual Pro

WONGSOSANTIKO, A., 1976, Lower Miocene. Duri Formation Sands. Cen Dalam Prosiding Indonesia Petroleum Association 5th Annual Conferen P 133-151.

Figure 1.Paleogeography of Study area in Early Miocene (after Mertos 1974).


GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013


HMTG Annual P


GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013


Figure 5. Model of tide Dominated delta in Early Miocene age and its sand distribution map.

GeoResearch – HMTG Annual Proceeding Periode 2012 – 2013

219


GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013

220


GeoResearch – HMTG Annual Proceeding Periode 2012 – 2013

SS 4 - FACIES STUDY BY USING EXTENDED MARKOV CHAIN METHOD: CASE STUDY ON SAMBIPITU-OYO FORMATION, NGALANG RIVER TRACK, NGALANG VILLAGE, GUNUNG KIDUL, DIY Sarah SAUSAN, Octa Fiandani PUTRA Undergraduate Program, Department of Geological Engineering, Gadjah Mada University, Indonesia Had been presented in 41st Pertemuan Ilmiah Tahunan Ikatan Ahli Geologi Indonesia, Yogyakarta, September 2012

ABSTRACT Facies study is essential in petroleum science as it provides basic interpretations used in the early stage of petroleum exploration. Commonly, geologists prefers a qualitative approach in facies study, i.e. by dividing the raw field log into facies then directly form the most logical explanation of the data. This method is simple yet very subjective and may be biased with difference in experience level or basic assumptions. Markov Chain Method, a statistical method that can predict the probability of next process in a system by knowing previous process, can provide a more objective interpretation of facies data. This paper extends the existing Markov Chain Method with Graph-Theory to quantitatively obtain the end-result that is consistently a statistically most possible interpretation. The study is conducted on a 1:50 measured section data with length 127,5 m of Sambipitu-Oyo formation in Ngalang River Track, Ngalang Village, Gunung Kidul, DIY. Despite of the great number of facies studies on the area, not a single quantitative approach has been performed; hence this area is chosen. Eight facies are determined from the data and then Graph-Extended Markov Chain Method is applied, resulting in a facies model that shows two distinct depositional environments: turbidite deposit at the earlier stage and shallow-marine deposit in the later stage. This result agrees with existing regional data theory of Sambipitu-Oyo formation. Moreover, this method successfully draws a distinct boundary between two different depositional environments. Hence, it can be concluded that the Extended Markov Chain Method is reliable in providing a quantitative and objective foundation of a facies study and the usage of the method will greatly enhance the interpretation quality in facies study. Key words: Markov Chain, Graph-Theory, facies study, Sambipitu-Oyo formation.

INTRODUCTION Facies study is basically a study of rock strata in an area. In a facies study, rock layers are combined into groups based on similarities of lithology, physical, chemical, and/or biological aspects. The units of those distincts characteristics is then called facies, and lithofacies while the physical characteristics is the one being used. The main goal of the facies study is to determine the process underlain and thus determine the depositional environment.

221


GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013 Often, lithofacies group together into assemblages because they represent various types of deposition events that usually occur together in the common depositional environment. For example, submarine fan environtment typically contains canyon, channel, levee, overbank, proximal slope subenvironments which result in its own lithofacies. These then stacked into stratigraphic units because the environments shift through time. These environmental shifts are predictable, which means that the resulting lithofacies successions are equally predictable (Miall, 1981). While interpreting such sucession of depositional environments or subenvironments of a facies assemblage data, geologists commonly prefers a qualitative approach i.e. by comparing the field data into facies models via more or less a “match-ornot” system, then interpreting the data by using facies model(s) that best explain the facies’ depositional environments. This method is simple, quick, and common. However, the method is subjective and depends heavily on one’s experience level. The interpretation may also be influenced by one’s early knowledge on the regional geology of the study area, hence make a tendency to approach a more or less similar result with literature studies result. Markov Chain Method, a statistical method that can predict the probability of next process in a system by knowing previous process, can provide a more objective interpretation of facies data. However, the problem with this method that is in the end, the constructed statictical chain paths is again to be subjectively matched into facies model(s). Hence, the quantitativeness level is tried to be elevated by adding Graph-Theory, an algorithm theory that search for the most efficient route of a chain, in the last process of Markov Chain Analysis. The study is conducted on a 1:50 measured section data by Novian (2005) with length 127,5 m of Sambipitu-Oyo formation in Ngalang River Track, Ngalang Village, Gunung Kidul, DIY. Despite of the great number of facies studies on the area, not a single quantitative approach has been performed; hence this area is chosen. Eight lithofacies are determined from the data (Table 1) and then Graph-Extended Markov Chain Method is applied.

METHODOLOGY Markov Chain Method A Markov process is one in which the probability of the process being in a given state at a particular time may be deduced from knowledge of immediately preceding stage (Harbaugh and Bonham-Carter, 1970 in Miall, 1981). The geological principle that underlies the usability of this statistical method is that depositional environmental cyclicities are predictable, which means that the resulting lithofacies successions are equally predictable. The analysis starts with a transition count matrix (Table 2), i.e. a two-dimensional array that tabulates the number of times that all possible vertical lithofacies transitions occur in a given stratigraphic sucession. The lower bed transition couplet is given by the matrix row number, whereas the upper bed is by the column number. Two ways to construct the matrix is to record changes in lithofacies or to take lithofacies data for a given vertical length interval. This matrix reflects the raw field data. The transition count matrix is then mathematically operated to build independent trials matrix, a matrix that assumes the lithofacies change is totally random, by the formula: Rij XY = Sj Y / (t – Si X) 222


GeoResearch – HMTG Annual Proceeding Periode 2012 – 2013 where: Rij XY = value from independent trial matrix, row X, column & Sj Y = total value of column Y t = total for all rows and columns Si X = total value for row X followed by transition probability matrix, a matrix that illustrates the actual probability of lithofacies transitions, by the formula: Pij XY = fij XY / Si X where: Pij XY = value from transition probability matrix row X, column Y fij XY =value from transition count matrix row X, column Y Si X = total value on row X difference matrix (Table 4) is then constructed to eliminate random-change factor from the transition probability matrix, basically by extracting independent trials matrix from transition probability matrix. Positive value implies a real tendency of a transition of one facies into another. A chain is then constructed from difference matrix to visually ilustrate the transition path of the facies. Several cycle paths can then become visible (Figure 1).

Graph Theory Graph theory is the study of which mathematical structures are used to model pairwise relations between objects from a certain collections. Graph are represented by drawing a dot or cirrcle for every vertex and drawing an arc between two vertices if connected by an edge. If directed, the direction is indicated by arrow. Graphs are one of the objects of study in discrete mathematics. In this research, Graph theory is applied to all positive probability values in difference matrix. All facies are represented as dots on a 2-dimensional area connected by probability values. Initial and final path point is determined such that all dots are reached once. Probability of every path is counted backwards (from final point to initial) by using the following formula: P (A1A2A3...An-1An) = P(A1A2) x P(A2A3) x P(A3A4) x ... x P(An-1An) Where P (A1A2A3...An-1An) is the probability from A1 to An, n is integer.

RESEARCH RESULT The result of Graph algorithm application are four patterns of facies change as in Appendix table 4 in which the pattern that connects all available facies with biggest probability is the fourth pattern F-B-C-D-G-H-E-A-B-F A graphical representation of above cycle is available in figure 2. It can be interpreted that in the early stages, the pattern represent a deltaic sequence, firstly by a delta front deposit (based on the interbedding of sandstone and 223


GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013 mudrock) that keeps shallowing-upward. More specifically, it is in the sub-aqueous distributary channel on a delta front or shallower sub-environments (probably distributary mouthbar) where occasional conglomerate and cross-bedded sandstone deposit can be found. In the later stage, the pattern introduces limestone which indicates a shallow-marine environment with an occasional sediment supply that is represented by the sandstones among the limestone deposit. The presence of rudstone indicates a reef building, that is allowed only when the delta’s sediment supply is in a lacking period. Intermittent presence of ash-rich sandstone on both stages and also the fairly significant presence of volcanic materials in almost all facies suggests that an active volcanic activity was occuring around the area which influences the characteristics of the deposit in the study area. the volcanic activity might be the process contribute the most to the delta’s sediment supply; hence, becoming a control factor of the limestone/sandstone presence in the later stage. From the regional stratigraphy data, Sambipitu formation was deposited in bathial environment with turbidite mechanism (Sutarno, 1976 and Budianto, 1978 in Harijoko, 1994) whereas Oyo formation was deposited in shallow marine that was influenced by volcanic activity. A more detailed interpretation by Novian (2005) on the same measured section data conclude that channel deposit was developed in the beginning with middleinner shelf bathymetry followed by distributary channel deposit of a delta in the same bathymetry. He further conclude that in general, Sambipitu-Oyo formation was deposited in middle-inner shelf located in the southern side of an active volcano. Reef was formed on the basin margin in times when volcanic deposit cannot reach the place. Compared to the existing interpretation of the sedimentary environment, especially by Novian (2010) who worked on the same data sheet and interpret the data qualitatively, it can be said that the model constructed by Extended Markov Chain Method is fairly consistent with the actual, conventional direct interpretation from measured section data (and in addition with petrographical and paleontological analysis). Nevertheless, the method offers a much more easier interpretation on a short yet representative model of the area (plus the objectiveness of model construction is guaranteed) rather than a direct subjective work on bulk 127,5 m-long measured section data which may risk in skipping important facies or taking account unnecessary details.

DISCUSSION AND CONCLUSION The main objective of this research is to try a quantitative determination of a final facies cycle from a series of results coming from conventional Markov chain method. In the end, however, the final result still has to be compared with existing facies models to determine its depositional environment (s). Nevertheless, objectiveness level is guaranteed until the final cycle determination process. The depositional environment interpretation from the Graph-Theory Extended Markov Chain Method is fairly consistent with the pre-existing regional geology interpretation, which means that the method is fairly reliable in giving a quantitative alternative of building a stratigraphic model of an area with boosted objectiveness level. However, the Extended Markov Chain Method is not intended to replace nor concluding the conventional qualitative method as irrelevant. It is only a tool to enhance the qualitative method in the beginning of the work with a quantitative approach that helps geologists save time in interpreting a long and complex log data.

ACKNOWLEDGEMENTS We are thankful to Mr. Indra Novian (Geological Engineering UGM) for the permission to use his measured section data and providing advices in the early stage of the research. 224


GeoResearch – HMTG Annual Proceeding Periode 2012 – 2013

REFERENCES MIALL, A.D., 1981, Principles of Sedimentary Basin Analysis, Springer Verlag, New York, 490p. FINSENSIUS, I., 2002, Stratigraphy dan Sedimentation of Transition Zone Sambipitu- Oyo Formation in Widoro River Track, Ngalang River Track and Kedungkeris River Track, Nglipar, Gunungkidul, DIY. Skripsi Undergraduate Theses of Geological Engineering UGM, Yogyakarta, pp.45-65. HARIJOKO, A., 1994, The Usage of Markov Chain Method for Stratigraphic Analysis of Sambipitu Formation on Putat River Track, Patuk, Gunung Kidul. Undergraduate Theses of Geoloigical Engineering UGM, Yogyakarta, 41p. NICHOLS, GARY. 2009.Sedimentology and Stratigraphy, 2nd Edition. Wiley and Sons Inc. West Sussex.pp. 179-198. NOVIAN, I., 2002, Facies Study by using Markov Chain Analysis on Coal Bearing Strata in Kalingalang around Buyutan, Ngalang Village, Gedang Sari, Gunung Kidul, DIY. Undergraduate Thesis of Geological Engineering UGM, Yogyakarta, 166p. NOVIAN, I., 2010, Stratigraphy dan Sedimentation of Transition Zone Sambipitu-Oyo Formation in Widoro River Track, Ngalang River Track and Kedungkeris River Track, Nglipar, Gunungkidul, DIY.. Master Thesis Teknik Geologi UGM, Yogyakarta, pp.127-184. APPENDIX Facies A B C D E F G H

Table 1. eight lithofacies in the study area Description Repetition of muddy allochem limestone, grading into micritic tuffaceous sandstone with intercalation of tuffaceous micrte, muddy micrite, allochemic tuffaceous sandstone, and resedimented ash-rich sandstone Allochemic conglomerate Repetition of allochemic tuffaceous sandstone with tuffaceous allochem limestone Repetition of micritic tuffaceous sandstone and allochemic tuffaceous sandstone with intercalation of resedimented ash-rich sandstone Repetition of micritic tuffaceous sandstone with tuffaceous mudrock or carbonaceous allochemic mudrock with intercalation of resedimented ash rich sandstone Repetition of allochemic tuffaceous sandstone with intercalation of micritic tuffaceous sandstone Rudstone Repetition of allochemic-micritic tuffaceous sandstone-muddly allochem limestone intercalated with tuffaceous mudrock

225


GeoResearch HMTG Annual Proceeding 2012-2013 Table 2. Transition count matrix Facies Code

A

B

C

D

E

F

G

H

A B C D E F G H TOTAL (j)

0 0 0 0 2 0 0 0 2

1 0 0 1 0 2 0 0 4

0 1 0 3 1 0 0 0 5

0 1 3 0 5 0 2 0 11

2 0 1 4 0 0 0 1 8

0 2 0 0 0 0 0 0 2

0 0 1 2 0 0 0 0 3

0 0 0 0 0 0 1 0 1

Facies A B C D E F G H

Table 3. difference matrix A B C D E -.09 .21 -.15 -.30 .42 -.09 -.13 .09 -.06 -.25 -.10 -.13 -.16 .25 -.06 -.08 -.05 .11 -.42 .09 .18 -.14 -.05 .23 -.29 -.06 .88 -.15 -.32 -.24 -.06 -.12 -.15 .33 -.24 -.06 -.11 -.14 -.31 .77 Greatest probability Positive probability

F -.06 .44 -.06 -.08 -.07 -.06 -.06 -.06

TOTAL (i) 3 4 5 10 8 2 3 1 36

G -.09 -.09 .10 .08 -.11 -.09 -.09 -.09

Table 4. Graph Theory Counting Results Pattern 1 B AB EAB HEAB GHEAB CGHEAB BCGHEAB FBCGHEAB Pattern 3 B AB EAB DEAB GDEAB CGDEAB BCGDEAB FBCGDEAB

226

1.0000000 0.2121212 0.0378788 0.0292208 0.0088548 0.0009140 0.0000857 0.0000756 1.0000000 0.2121212 0.0378788 0.0034965 0.0011655 0.0001203 0.0000113 0.0000100

Pattern 2 B AB EAB DEAB CDEAB BCDEAB FBCDEAB Pattern 4 B AB EAB HEAB GHEAB DGHEAB CDGHEAB BCDGHEAB FBCDGHEAB

1.0000000 0.2121212 0.0378788 0.0034965 0.0008572 0.0000804 0.0000709

1.0000000 0.2121212 0.0378788 0.0292208 0.0088548 0.0007493 0.0001837 0.0000172 0.0000152

H -.03 -.03 -.03 -.04 -.04 -.03 .30 -.03


GeoResearch – HMTG Annual Proceeding Periode 2012 – 2013

Figure 1:Cycle Path Resulted from Markov Chain Method

Figure 2: the facies model of study area resulted from Extended Markov Chain method

227


Departemen Penelitian dan Pengembangan Himpunan Mahasiswa Teknik Geologi Fakultas Teknik - Universitas Gadjah Mada Jl. Grafika 2, Yogyakarta, Indonesia 55281 Telp. (0274) 513668, 901380, Fax (0274) 513668 www.hmtg.ugm.ac.id


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.