
16 minute read
Dr. Christin Wibhowo,S.Psi, M.Si, Psikolog
|TOKOH INSPIRATIF|
Dr. Christin Wibhowo,S.Psi, M.Si, Psikolog
Advertisement
Sumber gambar: dokumentasi pribadi
Nama
Dr. Christin Wibhowo,S.Psi, M.Si, Psikolog
TTL Banjarnegara, 5 januari 1971 Pekerjaan 1995- sekarang sebagai Dosen Fakultas Psikologi UNIKA Soegijapranata Semarang Kegiatan lain Mengisi seminar Mengisi acara BUNDA di Radio Rhema, www.rhemaradio.com, tiap Senin, pukul 19.00 Menulis buku Parenting dengan penerbit ElexMedia Memberi konseling di Poliklinik GKI Peterongan Pendidikan 2019, Doktor Psikologi- Program Doktor Psikologi UGM 2001, S2- Fakultas Psikologi UGM
Keluarga Suami : Kuntadi Adjikusuma Anak : Evelyna, Lavelyna, Serafina
Alamat Rambutan Raya No 6 Sompok Semarang No Telepon 081 2270 9395 Instagram Xtine wibhowo
Ibu, berbicara ttg kesehatann mental di kalangan masyarakat Indonesia pada umumnya dan Jawa pada khususnya sampai sekarang sepertinya masih tabu atau bahkan memalukan, banyak stigma muncul di masyarakat terkait dengan masalah kesehatan mental. Menurut Ibu, bagaimanakah sebenarnya pengertian dari kesehatan mental itu sendiri?
Kesehatan mental memang dianggap tabu, karena memang sebagian warga Jawa khususnya Jawa Tengah yang saya tahu masih terikat banget dengan budaya; agama dan dengan hal-hal yang sifatnya spiritual. Sehingga kalau ada orang yang mengalami gangguan, perilaku, gangguan mental, kemudian dikaitkan bahwa orang tersebut melakukan kesalahan dengan budaya atau spiritual. Hal tersebut banyak contohnya. Misalnya ada orang yang kesurupan, langsung saja dianggap bahwa itu akibat masuknya roh jahat . Sehingga ketika dimasuki roh jahat akan membuat malu sehingga orang yang memiliki anggota keluarga kesurupan jadi tabu membahas hal itu. Padahal mestinya tidak demikian, tidak selalu terkait. Misal kalau saya sedih berarti saya ada kesalahan dengan budaya. Kalau saya cemas mengalami kecemasan jantung berdebar-debar itu berarti ada sesuatu dengan kondisi spiritual saya. Sesungguhnya tidak selalu demikian. Sehingga di dalam masyarakat hal tersebut masih dianggap tabu dan dianggap karena ada satu kesalahan. Zaman dulu sebelum ada ilmu psikologi ada anggapan bahawa orang yang memiliki ganggungan perilaku diartikan kemasukan roh jahat, sehingga kepalanya itu dilubangi supaya roh jahatnya bisa keluar, harapannya supaya perilakunya jadi baik. Akan tetapi, karena ilmu pengetahuan itu berjalan dan berkembang terus mestinya orang akan memahami bahwa gangguan mental tidak ada kaitannya dengan hal-hal spiritual. Kalau terkait dengan apa itu kesehatan mental, kesehatan mental itu adalah keadaan yang sejahtera, sejahtera itu apa sih? Cukup atau standar, jadi cukuplah bahwa seseorang itu bisa mewujudkan atau bisa mengekspresikan potensi dirinya maka orang tersebut sehat mental. Jadi memang untuk kesehatan mental ini bisa saja berbeda-beda setiap orang tetapi intinya bahwa jika orang tersebut sejahtera -- sejahtera itu artinya cukup-- dia bisa memiliki cita-cita; dia bisa berprestasi -- walaupun hanya di dalam satu
bidang tetapi dia punya prestasi-- yang membuat dia bangga dengan dirinya sendiri sehingga dia percaya diri meskipun memiliki banyak kelemahan. Saya sering menulis di beberapa status media sosial, bahwa kita semua tidak dapat dikatakan seratus persen sehat mental. Tidak ada orang yang seratus persen sehat mental. Seperti saya misalnya, tidak cemas, tidak nervous, tidak skizofren, tidak bipolar, itu kayaknya nggak mungkin. Setiap orang punya potensi untukmengalami gangguan kesehatan mental. Kondisi kesehatan mental setiap orang bisa saja terganggu. Tetapi itu bukan menjadi alasan bahwa kita tidak sehat mental, asal kita memiliki cara bergaul yang baik, punya prestasi yang baik menurut saya, gangguan-gangguan itu menjadi lenyap. Kondisi-kondisi yang membuat orang terganggu itu biasanya karena ada pemicunya. setiap orang asal tahu pemicunya menurut saya tidak menjadi masalah. Misalnya saya bipolar, moodnya swing, kadang merasa sangat sedih tetapi kadang sangat senang. Tetapi saya tahu kapan swingnya itu semakin cepat, misalnya pada saat saya akan menghadapi ujian, jadi kan saya tegang sehingga bipolar saya kambuh. Secara sederhanyanya demikian Oleh karena itu saya dapat mengantisipasi sendiri misalnya dengan cara mempersiapkan dengan benar dan baik kalau akan ujian, misalnya beberapa sehari sebelumnya saya sudah bersiap sehingga tidak mendadak yang mengakibatkan saya cemas dan bipolar saya nampak. Kira-kira demikian. Jadi kesehatan mental bukan berarti kondisi kita harus seratus persen sehat. Asal kita menemukan cara, kita aware atau bahasa Jawa istilahnya niteni. Kita itu harus niteni, saat apa gangguan tersebut akan muncul. Misalnya saat saya cemas atau saat tidak punya uang. Untuk itu kita harus dapat mengantisipasi supaya gangguan tersebut tidak muncul. Misal saat tidak punya uang, maka saya harus harus bekerja keras supaya dapat uang sehingga ketika keadaan uang saya stabil gangguan saya itu gak muncul. Kira-kira demikian.
Sebagaimana kondisi fisik, ada yang sehat dan tidak sehat. Bagaimanakah kategori orang yang sehat dan tidak sehat secara mental?
Ya betul. Orang yang sehat itu adalah orang yang tadi sudah saya sebut sebagian, yang memahami potensi dirinya dan bisa membuat potensi dirinya ini menjadi aktual; jadi kelihatan. Misalnya saya pintar masak, saya harus mendorong supaya kemampuan masak saya ini menjadi prestasi yang bagus. Maka saya buka catering kemudian dipasarkan secara online misalanya jika cateringnya sepi. Kemudian jadi bisnis online. Itulah yang disebut sehat, produktif, memahami potensi dirinya. Walaupun potensinya hanya satu, tetapi setiap orang itu harus mengenali apa potensiku dan fokus di situ bukan fokus di kelemahan. Orang yang sehat adalah yang fokus di kelebihannya dan didorong sehingga menjadi suatu prestasi. Jangan selalu mengasihani diri, fokus pada kelemahan misalnya hanya meratapi kondisi saya yang tidak bisa masak. jika itu yang dilakukan, lama-lama malah jadi stress. Jadi fokusnya kepada potensi yang diilikinya. Kemudian didorong itu ciri-cirinya sehat secara mental. Ciri berikutnya adalah mampu beradaptasi dengan lingkungan. Misalnya, saya borderline personality kepribadian ambang atau saya orang yang narsistic. Hal tersebut bukan sebuah kesalahan dan bukan masalah asal aware tadi dan saya tidak dianggap aneh oleh lingkungan sosial saya. Kata kuncinya aneh. Jangan dianggap aneh. Misalnya lagi, saya hobinya ngomong sendiri, tetapi kalo ada orang yang ngomongnya dalam hati aja supaya tidak dianggap aneh. Jadi ketika punya gangguan tidak mengapa, tetapi waktu berhubungan dengan orang lain hal itu tidak jadi masalah, orang lain tidak menganggap saya aneh, itu oke menurut saya. Asal kita bisa kembali yang pertama yaitu aware tadi, saya tahu bahwa pada situasi tertentu saya akan kambuh maka saya bisa mengantisipasi sehingga tetap bisa bergaul. Misalnya lagi saya mengerti kelemahan saya karena saya orang yang kepribadian ambang, misalnya saya tidak bisa bekerja dalam satu tim karena moodnya sangat swing. Jadi kadang benci kadang senang, benci, senang. Nah itu kalau kerja tim akan sulit. Maka saat saya normal, mental saya
sehat, maka saya akan memberikan kontribusi yang lain. Contoh jika saya mahasiswa, saya akan bilang ke teman teman, kalian rapat diskusi tentang materi, nanti hasilnya kasihkan ke aku, nanti aku yang bikin artikelnya misalnya begitu, sehingga teman teman kan tidak menganggap saya aneh karena saya punya kontribusi. Ciri berikutnya adalah dapat memperhatikan orang. Memperhatikan itu kata dasarnya hati. Jadi bisa memasukkan orang lain ke dalam hati kita. Itu ciri orang normal. Pada saat kita bisa memperhatikan orang lain itu normal. Hal ini sering saya ceritakan kepada mahasiswa ketika saya di RSJ begitu ada pasien yang bisa memperhatikan temannya, bahkan petugas cleaning servis yang tidak belajar psikologi-pun mengerti bahwa pasien ini akan segera sembuh. Cirinya apa? Saat pasien tersebut bisa memperhatikan temennya. Misalnya berbicara kepada temannya. “Rambutmu tak sisirin yuk. Biar nggak kusut”. Nah, ini ciri ciri orang normal. Bisa memperhatikan orang lain.
Kondisi mental yang tidak sehat seringkali tidak dapat terlihat secara langsung oleh orang lain ya Ibu?
Memang seharusnya tidak terlihat oleh orang lain. Kalau sampai kondisi gangguan mental itu tidak terlihat orang lain malah bersyukur. Apalagi kalau kita berusaha untuk selalu hidup normal seperti poin di atas tadi, maka di usia 40 taun gangguan itu semua lenyap karena kita selalu bisa mengerti cara mengatasi gangguan kita. Maksimal di usia 40 itu selesai gangguan kita, maka ada pepatah atau yang bilang life begins at forty. Hidup dimulai di usia 40, karena di usia 40 orang sudah mengerti. Misalnya di usia 18 tahun dia tahu bahwa dia bipolar, kemudian dia kebanting banting, jatuh bangun karena dibenci temannya, karena moodnya swing misalnya. Kemudian dia bisa niteni, bisa mengelola, maka di usia 30-35 dia mengerti bahwa memiliki bipolar dan hidup berdampingan dengan bipolar, maka hal itu tidak jadi masalah dan tidak harus orang lain tau. Hal ini malah bagus. Banyak juga orang orang yang mengalami gangguan tapi dia punya prestasi dan orang tidak melihat gangguannya.
Ibu, apa sajakah jenis-jenis gangguan kesehatan mental?
Gangguan-gangguan mental itu banyak sekali kategorinya, namun perlu diketahui ada gangguan mental, ada juga yang gangguan kepribadian. Sederhananya demikian. Kalau yang gangguan mental itu harus ada bantuan obat, tapi kalo gangguan kepribadian orangnya itu masih bisa hidup normal seperti normal cuma ada gangguan gangguan tertentu pada kepribadiannya. Contoh gangguan kepribadian itu tadi saya bilang kembang (kepribadian ambang) itu singkatannya. Misalnya, kalau putus sambung pacaran tapi enggak bisa move on, ini sulit move on, kemudian sangat butuh diperhatikan. Ada juga narsistic, dia butuhnya diperhatikan enggak bisa memperhatikan orang lain. Ingat tadi saya bilang ciri orang normal adalah bisa memperhatikan orang lain. Nah, kalau orang yang narsis itu enggak bisa memperhatikan orang lain, maunya diperhatikan. Ada juga gangguan lain misalnya tertekan kecemasan, phobia yakni takut pada halhal yang irasional, obsesi konfulsif, dan lain-lain. Meskipun masuk kategori gangguan kepribadian, akantetapi jika masih bisa bergaul dengan yang normal , hal itu tidak jadi masalah. Banyak juga gangguan gangguan yang lain tetapi saya harap kita semua tidak perlu melakukan self diagnostik atau diagnostik diri sendiri. Misalnya, merasa memiliki ciri-ciri tertentu berarti saya histrionik. Hal ini tidak boleh dilakukan, kita boleh punya pengetahuan tentang gangguan tersebut tetapi tidak untuk mendiagnosis diri sendiri atau seseorang. Seseorang dianggap mengalami phobia misalnya, paling tidak harus ada empat kriteria yang dapat mencirikan phobia. Bukan hanya karena satu hal maka orang tersebut dikategorikan engalami gangguan tertentu. Hanya sekedar dia upload foto di Instagram kita bilang narsis misalnya, hal ini tidak cukup untuk mendiagnosis bahwa seseorang itu narsis. Ada ciri penunjangnya yang lain. Jadi justru semakin kita memahami label-label itu justru kita semakin hati hati untuk melabel diri sendiri maupun melabel orang lain. Seperti kalau kena flu atau covid, jangan bilang bahwa kalau bersin pasti covid, karena ada cri-ciri lain. Kita tidak boleh sembarangan, misalnya kita lihat
orang main handphone hanya gara gara tidak mendengar saat kita panggil langsung kita sebut ”oh dasar autis”. Hal ini tidak boleh dilakukan, karena tidak ada ciri lain dan jenis-jenis gangguan tidak sepantasnya dijadikan bahan guyonan atau bercanda.
Gangguan kesehatan mental tentunya tidak hadir begitu saja dalam hidup seseorang. Faktor-faktor apasajakah yang dapat menjadi pemicu orang mengalami kondisi mental tidak sehat/ gangguan kesehatan mental?
Faktor faktor gangguan itu seperti orang Jawa bilang bobot, bibit, bebet. Jadi itu semua memengaruhi baik keturunan, pendidikan, lingkungan sosial. Dalam budaya Jawa bilang cari pasangan harus yang bobotnya bagus. Saya sangat setuju jadi gangguan-gangguan itu pertama pasti dipengaruhi oleh faktor keturunan, jadi kalau kita kepengen anak-anak kita itu memiliki kesehatan yang baik tentu kita harus memilih pasangan yang baik, yang high quality. Lalu bagaimana kalau orang orang yang memiliki gangguan? Tadi saya bilang enggak masalah. Asal dia bisa aware atau bahasa Jawanya itu niteni ini itu enggak masalah dan itu harus sudah diketahui jauh jauh hari sebelum pernikahan. Misal saya orang yang sangat depresif, mudah depresi, mudah sedih, mudah kepengen melukai diri sendiri kalau ada masalah. Nah ini saya harus tahu jauh jauh sejak sebelum hari pernikahan. Saya harus niteni kapan saya punya pikiran seperti itu dan saya bisa mengantisipasinya sebelum keinginan bunuh diri saya muncul. Nah itu ditemukan sebelum pernikahan. Karena apa? Kalau sudah menikah dan tidak bisa menemukan itu akan menurun. Menurunnya itu bisa berupa darah tapi juga bisa berupa pola asuh. Sekarang coba dibayangkan, orang yang sehat normal -tentu saja tidak ada orang seratus persen normal, tapi maksudnya gangguannya itu tidak Nampak-saja kalau mengasuh anak, belum tentu selalu benar. Nah, apalagi kalo yang depresi. Pasti pola asuhnya tidak bener. Sehingga keturunan itu sangat mempengaruhi. Kemudian secara kesehatan fisik ya neuropsikologi dan sebagainya itu sangat mempengaruhi. Jadi memang ada tipetipe orang potensi depresi ada tipe tipe orang potensi borderline, tapi ada tipe-tipe orang yang narsistic, jadi kita sering mendengar bahwa orang memiliki masalah yang sama tetapi kok gangguannya beda Misalnya ada mahasiswa yang kemudian nilainya jelek harus remidi dia langsung depresi tetapi ada juga orang yang remidi juga terus nyatanya tidak apa-apa. Jadi karena memang sudah ada potensinya, memang orang itu sudah ada potensinya baik keturunan maupun Neuro(syaraf). Untuk faktor keturunan itu jangan dijadikan alasan, jadi kalau misalnya usia anak sudah tujuh belas tahun itu sudah tidak ada alasan lagi bahwa ini karena pola asuh, jadi jangan sampai bilang bahwa Bu Kristin kok seneng buruh diri kenapa? Ya karena orang tua saya begitu. Nah ini sudah sudah tidak bener. Jadi alasan itu tidak bias diterima. Misalnya memukul anak karena dulu juga sering dipukuli orang tua, itu bukan alasan. Karena usia delapan belas tahun itu adalah masa kita bisa didiagnostik atas gangguan kita sendiri. Jadi kalau kita masih mengatakan bahwa itu pengaruh orang tua, kalau anak SD boleh bilang begitu. Ttetapi umur tujuh belas tahun, masa memutus dengan masa lalu karena usia delapan belas tahun itu mulai didiagnostik. Misalnya tidak mau sekolah, tidak mau kuliah, tidak mau kerja, duduk aja di kamar, nangis terus gitu, itu sudah dapat didiagnosis depresi. Kalo sebelumnya kita masih bilang itu pengaruh orang tua masih kenakalan remaja, tapi begitu 18 tahun sudah tidak bisa. Karena apa? Selain keturunan dan syaraf, lingkungan itu memengaruhi cara kita mengatasi persoalan. Jadi kalo kita cara mengatasi dan menyelesaikan persoalan, copingnya itu penyelesaian masalah itu bener maka gangguan kita semakin hari semakin nggak kentara. Tetapi walaupun kita tidak mengalami gangguan, dan potensinya tidak ada sebetulnya tetapi kalo coping kita selalu salah lama lama akan menjadi gangguan. Contoh saya punya masalah dengan si A, harusnya saya menyelesaikan dengan si A. Ini coping yang bener. Jadi masalahnya selesai gitu. Saya punya masalah dengan dengan teman dosen atau guru anak saya, ketemunya menyelesaikannya sama guru anak saya dan dosen, bukan saya upload di media sosial dan
curhat macem macem. Hal tersebut bukan penyelesaian yang benar atau coppingnya tidak benar. Jika copingnya tidak benar maka akan membuat saya mengalami gangguan, masalahnya juga tidakakan selesai dan semakin memeperburukgangguan kita. Jadi coping itu memengaruhi, kemudian lingkungan teman, jadi carilah teman teman dekat yang sangat mendukung bukan berarti kita harus bermusuhan dengan teman yang tidak mendukung, tapi kita bisa teman teman yang tidak mendukung teman teman yang lain itu juga akan memperkaya wawasan kita, tapi kita bisa meletakkan mereka itu bukan di ring satu bukan yang paling dekat dengan kita karena apa? Teman teman itu sangat mempengaruhi kita, maka saya kalau ngomong sama anak muda bahwa siapa teman kita sekarang itu lah masa depan kita, misalnya ibu ibu mempunyai teman siapa saya mempunyai teman ibu A, ibu B, ibu C seperti apa mereka mereka ini orangnya ceria, kreatif, dan positif, maka masa depan saya juga seceria mereka, tapi kalau saya punya teman teman yang narkoba, ngerokok, banyak masalah, maka masa depan saya seperti itu. Jadi pilihlah teman teman yang baik. Walaupun saya punya potensi depresi tetapi kalau copping saya baik, teman teman saya oke, saya punya prestasi, maka depresinya tidak akan nampak. Sekali lagi dengan kita bertahan seperti itu walaupun saya punya gangguan tetapi saya copingnya bagus, hubungan dengan teman baik, pekerjaan saya oke, saya punya prestasi maka di usia empat puluh tahun saya betul betul hidup gitu. Life begins at forty.
Sejalan dengan semakin masifnya perkembangan virus corona, banyak masalah dialami masyarakat, baik secara fisik maupun psikis, sehingga perlu memperhatikan kesehatan mentalnya. Menurut Ibu, bagimanakah cara menjaga kesehatan mental, terlebih di masa yang tidak mudah ini?
Masa covid itu bisa saja mungkin jadi trigger, memicu kita untuk memiliki gangguan tapi jika potensi gangguan sudah ada. Jadi jangan mengkambing hitamkan covid. Mentang mentang covid saya jadi begini, saya jadi marahan sama suami, sama anak- anak saya jadi tidak sabar atau anak anak jadi jengkel sama orang tua, hubungan suami istri jadi tidak romantis lagi, semua gara gara covid. Saya tidak percaya jika ada orang yang bermasalah karena covid, karena sebenarnya sebelum ada covid-pun sebenarnya udah bermasalah. Sudah bermasalah dengan suami, misalnya suami dengan istri sudah ada masalah yang dipendam gitu. Nah, saat ada pandemi covid semakin tajam masalahnya. Sebenarya menurut saya, covid itu membuat kita hidup normal, hidup harus lebih banyak di rumah bersama dengan keluarga, hal itu kan normal toh? Sebetulnya bukan new normal menurut saya tetapi back to normal. Jika di awal tidak ada bibit masalah, paling persoalannya hanya bosen di rumah saja. Tetapi kalo dibilang bahwa menjadi depresi, bipolar karena sudah ada potensinya, bukan karena covidnya.
Selain RS adakah fasilitas yang dapat diakses oleh masyarakat umum yang mengalami gangguan kesehatan mental untuk berkonsultasi atau menyembuhkan diri?
Bisa ke psikolog, sekarang banyak sekali psikolog yang membuka layanan. Kalau bingung, datang ke Puskesmas yang sekarang sudah dilengkapi oleh psikolog. Konsultasi secara online juga dapat dilakukan. Sekarang ini menjamur konseling online. Jadi silakan gunakan internet bisa dibaca, tetapi jangan self diagnostik, jangan mendiagnosis diri sendiri. Jika malu, maka konseling online bisa dipilih, karena biasanya tanpa harus tatap muka atau bertemu dengan psikolognya. Ketika ada masalah, maka carilah bantuan pada orang yang kompeten, misalnya psikolog. Jangan lebih senang curhat pada orang yang dianggap mendukung kita atau menganggap kita benar.
Ada istilah mari berdamai dengan diri sendiri. Apakah mungkin kita dapat berdamai dengan diri sendiri? Bagaimanakah wujud kongkrit cara berdamai dengan diri sendiri?
Berdamai dengan diri sendiri sangat mungkin dan memang wajib. Kita tidak mungkin bisa berdamai dengan orang lain kalau kita sendiri enggak damai dengan diri sendiri. Nah, damai dengan diri sendiri itu kadang-kadang justru lebih
sulit dibanding berdamai dengan orang lain, padahal ini intinya. Kita akan happy saat kita bisa berdamai dan kita bisa mencintai orang lain dengan tulus itu kalau kita berdamai dengan diri sendiri. Kenapa saya bilang sulit? Karena berdamai itu berarti mau memaafkan diri sendiri. Nah, kadang kadang kita sulit banget memaafkan diri sendiri. Kalau saya punya salah sama anak misalnya gitu kalau enggak salah, saya pernah posting juga di Instagram, anak saya pernah salah potong rambut padahal salonnya saya yang pilih, dan dia menangis karena rambutnya rusak. Kemudian saya merasa bersalah atau dalam psikologi disebut guilty feeling maka hal yang harus kita lakukan untukmenunjukkan bahawa kita berdamai dengan diri sendiri adalah kita tidak boleh memendam perasaan bersalah. Minta maaf kepada anak kita,kemudian mencari solusi bersama agar persoalannya selesai atau tidak terulang kembali. Mengasihi diri itu perlu, mengasihi diri sendiri akan membuat kita menjadi melakukan hal hal yang positif karena kita sayang pada diri sendiri kita mungkin tidak menggunakan narkoba, tidak seks bebas, tidak melakukan perilaku beresiko karena saya mengasihi diri saya sendiri saya berharga sehingga saya tidak melakukan perilaku perilaku beresiko yang bodoh.Tetapi mengasihani diri sendiri itu enggak boleh. Aduh saya bodoh nih saya enggak bisa nih, lah itu enggak boleh jadi berdamai dengan diri sendiri itu mengasihi diri sendiri bukan mengasihani.
Ibu, mohon saran untuk masyarakat secara umum, bagaimanakah cara menjaga kesehatan mental di masa pandemi ini?
Menjaga kesehatan mental adalah dengan tidak mengkambing hitamkan covid, jadi bukan berarti karena ada covid terus kita mengalami gangguan mental. Tetapi menghindari pemicunya, jika sudah punya potensi. Pada masa pandemi ini kita keluar dari zona nyaman, misalnya biasanya saya mengajar face to face dengan mahasiswa, dengan adanya pandemi ini saya harus belajar bisa mengajar online. Jadi justru ini keluar dari zona nyaman, malah mungkin nanti setelah covid selesai kita memiliki keterampilan-keterampilan baru yang tidak kita duga. Seperti teman saya penjahit misalnya. Nah karena masa pandemi ini membuat sepi, kemudian dia membuat masker dan laris dijual. Jadi menurut saya tidak pernah ada kata kata bahwa karena covid maka saya menurunkan kualitas hidup, justru kita bisa belajar dari situasi ini kita bisa keluar dari zona nyaman. Karena, menurut saya covid ini bukan bukan suatu alasan bahwa kita menjadi tidak sehat mental. Kalau kita tidak sehat mental di Covid, saya duga memang sudah ada potensinya jadi covid ini kemudian memperuncing.
Wawancara dilakukan oleh: