1 minute read

Puisi

Next Article
Resensi

Resensi

Ibu Pertiwi

Ibuku Ibu pertiwi mendengar, Suara riuh pesta pora para terhormat peramu tipuan yang liar nan jalang. Yang berpura pura beretorika perihal keadilan dan kemanusiaan. Agama mereka jadikan topeng kemuliaan agar tersembunyi keburukan keburukan, Agar tak tampak ekspresi kemunafikan kemunafikan. Mulut mereka terberangus oleh masker masker jabatan dengan aneka motif, corak, dan warna yang bisa dibeli di pasar pasar liar dan dijajakan di jalanan jalanan jalang. Telinga mereka sesungguhnya tidak tuli kawan tetapi hanya tersumpali perjanjian perjanjian kegelapan, tentang derit kursi, gemericik uang, dan mantra mantra pujaan. mata mereka sesungguhnya tidak buta kawan, tetapi mengalami kegagalan melihat karena tertutup halusinasi akan lekukan lekukan simestris dalam remang kegelapan di semak semak pencakar langit di tengah ibu kota. Dengkul dan mata kaki mereka, mereka jadikan ibu kota baru bagi sandaran akal pikiran akibatnya, telah lahir makhluk makhluk baru yang tidak pernah mengenal rasa kenyang memangsa telan dengan menelan tanpa mengunyah awas! Jagalah gedung gedung, jalanan, jembatan, dan jagalah mereka si miskin yang terperangkap dalam pengapnya kesenjangan, jangan sampai menjadi komoditas untuk dimakan. Terkadang anjing menggonggong bukan berarti semuanya terjaga karena terkadang lolongan lolongan hanyalah nyanyian kebohongan yang disombongkan dengan orkestrasi tong tong kosong yang nyaring bunyinya. Ibu pertiwi terpagut rasa takut yang nyata. Setan setan berjingkrak merayakan kemenangan. Karena anak anak waktu enggan mendengarkan panggilan kemenangan, Terlena dalam permainan kecipak air dalam kubangan. Karena anak anak waktu telah terlena dalam permainan lumpur, nampak seperti rombongan anjing, kera, dan babi hutan. Bangga menginjak injak makhluk bernama norma dan etika Sangat fasih berbicara tentang halal dan haram tetapi bagi orang lain tidak untuk dirinya sendiri. Hafal diluar kepala aturan aturan akan tetapi keberadaan aturan itu adalah bagaimana untuk dilanggar dan dicampakkan. Bebal tak karuan adalah pilihan diksi bagi mereka yang terbenam dalam kedunguan. Ibu pertiwi menangis tersedu sedu. Darah suci merahnya tak lagi merah, memudar tercabik kelupaan sejarah, sedangkan kain putih kebayanya terkoyak koyak ternoda jejak polah anak anak durhaka. Ibuku menangis dan menyeru dalam bisu, “kapan anak-anakku kembali ke jalan assalaam? Jalan keselamatan? Namun, tidak ada jawaban menolak maupun mengiyakan Sunyi, sepi, senyap, dan diam. Sirna harapan. Oleh: Radea Basukarna Prawira Yudha

Advertisement

This article is from: