
2 minute read
Angin Timur
Sebuah film dokumenter baru dari Ekspedisi Indonesia Baru berdurasi 100 menit berjudul Angin Timur membuka mata akan masalah-masalah pelik di pesisir yang berdampak luas pada lingkungan. Film ini menyuguhkan gambar-gambar penuh energi dari kampung-kampung nelayan besar di Jawa serta membawa kabar-kabar buruk bagi kondisi nelayan dan laut masa kini juga nanti. Angin Timur sendiri merupakan kondisi musim angin kencang pada Mei-September, kondisi paceklik bagi nelayan-nelayan kecil. Film ini mendokumentasikan kehidupan para nelayan di sepanjang desa nelayan besar di pesisir. Seperti Numerejo, buruh nelayan asal Trenggalek, yang mencoba peruntungan melaut di Pesisir Gunung Kidul meskipun musim Angin Timur. Ia mengaku hanya mendapatkan sedikit tangkapan, yakni ikan bawal dan jenis ikan karang. Biasanya, dari hasil itu dapat dijual dengan hasil sekitar Rp150.000, dikurangi Rp50.000 untuk bensin dan sisanya untuk tiga awak kapal dan biaya lain. Numerejo mengaku sering tidak mendapatkan apa-apa. Oleh sebab itu, kadangkala ia masih harus berladang karena hasil laut yang tidak pasti. Adapula Nurkawit, nelayan dan petani Prigi. Ia baru membaca berita kenaikan BBM yang berdampak pada nelayan seperti biaya BBM dan kenaikan harga-harga sembako. Meskipun nelayan disubsidi menggunakan kartu nelayan, tetapi prosedur yang harus dijalankan masih begitu panjang. Ditambah lagi dugaan adanya pihak lain yang bermain dengan pasokan solar untuk nelayan. Masalah lain yang harus dihadapi adalah ada dugaan kapal tongkang pengangkut batu bara yang melewati perairan Karimun Jawa merusak terumbu karang. Ada rekaman warga memantau dan mendokumentasikan kondisi terumbu karang serta merekam bagian bawah kapal yang sedang membuang jangkar. Warga dan nelayan Trenggalek sedang was was karena ada rencana pembukaan tambang emas di dua kecamatan, yakni Kampak dan Watulimo yang mewilayahi Teluk Prigi. Menurut Mochammad Nur Arifin, izin yang diberikan masih cacat karena berdampak pada ratusan hektar pemukiman, sumber air, hutan lindung, ribuan hutan produksi, dan kawasan karst. Dalam film ini, Nurkawit juga menuturkan jika ia khawatir penghasilan nelayan akan hilang diganti dengan ekonomi tambang. Perlawanan terhadap tambang emas juga dilakukan oleh Imam Syaifudin, penggagas pelestarian mangrove di kawasan teluk Prigi. Dia mengatakan karena kondisi geografis Trenggalek yang rawan longsor, apabila ada penambangan, maka dikhawatirkan rawan terjadi bencana alam. Kerusakan serupa juga terjadi di tambang emas di Banyuwangi. Ekspedisi merekam keindahan Pesisir Pancer yang dikelilingi bukit yang hanya indah dari kejauhan saja karena apabila didekati, Gunung Tumpang Pitu telah gundul. Saat curah hujan tinggi, lumpur akan masuk laut dan merusak habitat pesisir. Bukit Tumpang Pitu sudah berubah bentuk karena menjadi lokasi eksploitasi tambang. Nelayan Pancer dapat mengamati perubahannya setiap hari karena area pertambangan ada di wilayahnya. Ahmad darsono, seorang nelayan Pancer menyebut tangkapan makin langka karena sedimentasi terbawa ke dasar laut. Dahulu, sebelum ada lumpur dan hanya pasir, masih menjadi tempat bertelur yang nyaman bagi ikan dan udang. Kini, karena tertutup lumpur, semuanya menghilang. Salah satu balai pelelangan ikan pun tidak beroperasi. Situasi Pelabuhan Perikanan Pancer makin sepi dari aktivitas jual beli. Catatan hasil tangkapan ikan sebelum dan sesudah tambang menunjukkan perbedaan sangat jauh sebelum dan sesudah tambang emas. Bahkan, perusahaan tambang berencana memperluas area eksploitasinya ke perbukitan sekitarnya. Warga pun melanjutkan aksi-aksi penolakan. Sebagian pemegang saham perusahan tambang disebut pejabat pemerintahan saat ini.
Penulis : Mahdi Rais & Hestina Anggry Prasasti Editor : Fatih Erika Rahmah
Advertisement