Biodiversitas vol. 3, no. 1, January 2002 (abstract in English)

Page 1

52 bp 100 bp marker

Leusin/Valin (L/V)

Valin (V/V)

Leusin (L/L)

Uncut

ISSN: 1412-033X

600 bp

223 bp 171 bp

100 bp


THIS PAGE INTENTIONALLY LEFT BLANK


ISSN: 1412-033X

PENERBIT:

Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta ALAMAT PENERBIT/REDAKSI:

Jl. Ir. Sutami 36A Surakarta 57126 Telp./Faks. (0271) 663375 E-mail: biology@mipa.uns.ac.id. Online: www.biology.uns.ac.id. TERBIT PERDANA TAHUN: 2000 PEMIMPIN REDAKSI/PENANGGUNGJAWAB:

Sutarno SEKRETARIS REDAKSI:

Ahmad Dwi Setyawan PENYUNTING PELAKSANA:

Marsusi, Solichatun (Botani), Edwi Mahajoeno, Agung Budiharjo (Zoologi), Wiryanto, Kusumo Winarno (Biologi Lingkungan) PENYUNTING AHLI:

Prof. Ir. Djoko Marsono, Ph.D. Prof. Dr. Hadi S. Alikodra, M.Sc. Prof. Drs. Indrowuryatno, M.Si. Prof. J.M. Cummins, M.Sc., Ph.D. Prof. Dr. Jusup Subagja, M.Sc. Prof. Dr. R.E. Soeriaatmadja, M.Sc. Dr. Setijati Sastrapradja Dr. Dedi Darnaedi Dr. Elizabeth A. Wijaya Dr. Yayuk R. Suhardjono

(UGM Yogyakarta) (IPB Bogor) (UNS Surakarta) (Murdoch University Australia) (UGM Yogyakarta) (ITB Bandung) (Yayasan KEHATI Jakarta) (Kebun Raya Bogor) (Herbarium Bogoriense Bogor) (Museum Zoologi Bogor)

PEDOMAN PENULISAN BIODIVERSITAS menerima tulisan ilmiah, baik hasil penelitian maupun telaah pustaka dalam lingkup keanekaragaman hayati (biodiversitas), baik pada tingkat gen, varietas, spesies maupun ekosistem. Tulisan yang dimuat merupakan hasil seleksi dewan redaksi dan belum pernah dimuat dalam publikasi lain. Dewan redaksi berhak mengedit naskah tanpa mengubah isi. Penulis diminta mengirimkan dua kopi naskah tulisan beserta disket yang diketik dengan program MS-word, kecuali naskah yang dikirim melalui e-mail. Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau Inggris, dengan kertas kuarto, maksimal 15 halaman, spasi 1.5, huruf 12 point, format batas kiri dan atas 4 cm, batas kanan dan bawah 3 cm. Jumlah tabel dan gambar maksimal 3 halaman. Gambar dan grafik dibuat dengan tinta cina atau dicetak dengan printer Laser, pada kertas yang sesuai. Foto dicetak pada kertas glossy dan diberi keterangan. Naskah hasil penelitian disusun dengan urutan: judul dalam bahasa Indonesia dan Inggris, nama lengkap penulis, nama dan alamat institusi, abstrak dalam bahasa Inggris (tidak lebih dari 200 kata), pendahuluan, bahan dan metode, hasil dan pembahasan, kesimpulan, ucapan terima kasil (apabila diperlukan) dan daftar pustaka. Naskah telaah pustaka ditulis secara berkesinambungan, tanpa sub-judul bahan dan metode, serta hasil dan pembahasan. Pustaka di dalam naskah ditunjukan dengan nama akhir penulis diikuti tahun penerbitan. Apabila penulis lebih dari dua orang disingkat dengan dkk. atau et. al. Daftar pustaka ditulis menurut abjad, dengan sistem nama dan tahun. Penulis, penulis pertama atau penulis yang ditunjuk untuk korespondensi pada naskah kelompok akan mendapatkan lima eksemplar reprint/offprint, selambat-lambatnya sebulan setelah naskah diterbitkan. Volume 3, Nomor 1, Januari 2002

Terbit dua kali setahun


THIS PAGE INTENTIONALLY LEFT BLANK


BIODIVERSITAS Volume 3, Nomor 1 Halaman: 169-173

ISSN: 1412-033X Januari 2002

Identifikasi dan Karakterisasi Polimorfisme Gen Hormon Pertumbuhan pada Sapi Bali, Sapi Madura dan Sapi Benggala Identification and characterisation of the polymorphic growth hormone gene of the Bali cattle, the Madura cattle and Ongole cattle SUTARNO1, ARIS JUNAIDI2, AGUS PURWOKO1, NEO INDRA LELANA1 1 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta 57126 2 Fakultas Kedokteran Hewan UGM Yogyakarta 55281 Diterima: 26 Nopember 2001. Disetujui: 4 Januari 2002

ABSTRACT A total of 150 cattle consisting of 3 breeds (Bali, Madura and Ongole) of Indonesian native cattle were used in this study. The aims of the study were to identify and characterize polymorphisms in the growth hormone loci of those breeds of cattle. The genomic DNA was extracted using Wizard genomic DNA purification system from Promega. Two fragments of growth hormone gene were amplified using PCR and continued with RFLP using restriction enzymes of AluI and MspI. Polymorphisms were found at both loci of GH-L1 and GH-L2 of the growth hormone gene by PCRRFLP analysis in all breeds of those cattle. Š 2002 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta Keywords: PCR-RFLP, growth hormone gene, polymorphism, Indonesian local cattle.

PENDAHULUAN Diversitas genetik pada sapi, dan juga pada hewan-hewan ternak lainnya mengalami penurunan sangat cepat (Hall & Bradley, 1995; Hammond & Leitch, 1995). Pemilihan suatu jenis sapi tertentu karena pertimbanganpertimbangan keunggulan ekonomis dalam hal produksi telah menurunkan diversitas genetik, dan bahkan menjadi salah satu mekanisme utama yang sangat potensial menurunkan diversitas genetik. Diversitas genetik merupakan dasar perkawinan silang bagi hewan ternak (Buis et al, 1994) karena informasi ini dapat digunakan sebagai titik awal untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas jenis melalui seleksi buatan. Pengetahuan mengenai pola-pola variabilitas genetik dari masing-masing jenis akan membantu pengembangan program persilangan, dan merupakan pengetahuan

awal yang diperlukan dalam konservasi sumber genetik (Kidd et al, 1974). Dengan demikian maka informasi tentang diversitas genetik dan kekerabatan genetik pada hewan ternak termasuk sapi adalah sangat penting dalam usaha mengembang-biakkan sapi untuk memperoleh bibit unggul. DNA marker, yang diperoleh dengan menggunakan teknik deteksi berdasarkan PCR telah banyak ditemukan, baik dari DNA inti maupun DNA sitoplasma. Penemuanpenemuan ini sebenarnya dimulai dari adanya konsep diversitas genetik yang pada awalnya hanya didasarkan pada keanekaragaman morfologi. Dengan kemajuan di bidang biomolekuler, maka keanekaragaman morfologi dapat dicari langsung penyebabnya pada level gen, materi yang bertanggung jawab terhadap terjadinya variasi morfologi. Namun demikian, belum semua variasi morfologi dapat diketahui penyebabnya,


170

B IOD I VER SI TA S Vol. 3, No. 1, Januari 2002, hal. 169-173

karena tidak semua sifat yang tampak dikodekan oleh gen tunggal. Pada umumnya sifat yang memiliki nilai ekonomi tinggi dikodekan oleh banyak gen, yang dikenal dengan istilah polygenic traits, dengan demikian tidaklah mudah untuk memperoleh gen yang bertanggung jawab terhadap sifat semacam ini. Variasi DNA pada lokus gen hormon pertumbuhan banyak dipelajari akhir-akhir ini. Dengan kemajuan teknik molekuler, variasi gen hormon pertumbuahan dapat dideteksi secara lebih cepat dan akurat. Variasi pada gen ini akan mempengaruhi produk yang berupa hormon pertumbuhan. Pengaruh variasi ini dapat bersifat positif dan negatif, hormon pertumbuhan yang dihasilkan mungkin juga dapat defektif. Banyaknya minat untuk mempelajari variasi pada gen ini mungkin disebabkan karena produk gen ini sangat berpengaruh pada sifat-sifat yang memiliki nilai ekonomi penting. Hormon pertumbuhan mempunyai pengaruh utama pada pertumbuhan, laktasi dan perkembangan kelenjar susu (Cunningham, 1994; Hoj et al, 1993a). Dari uraian di atas maka permasalahan yang diangkat dalam penelitian awal ini adalah: adakah variasi genetik (polimorfisme) pada gen hormon pertumbuhan pada sapi pedaging lokal Indonesia (sapi Madura, Benggala dan Bali).

BAHAN DAN METODE Sapi percobaan Tiga jenis sapi digunakan dalam penelitian ini, yaitu sapi Bali, sapi Madura dan sapi Ongole (Benggala). Sampel sapi Bali diambil dari Lombok, sampel sapi Madura diambil dari Madura dan sapi Benggala diambil di Surakarta. Pengambilan sampel darah Sampel darah diambil dari 150 individu sapi dari masing-masing jenis tersebut di atas secara venepuncture, menggunakan venoject. Darah yang diperoleh dimasukkan ke dalam 50 mL tabung reaksi yang telah diisi heparin sebagai antikoagulon. Sebanyak 10 mL darah ini diambil dan disimpan pada suhu –70oC untuk referensi dikemudian hari, sedangkan sisanya digunakan langsung dalam penelitian untuk diekstrak sel darah putihnya.

Pemisahan sel darah putih dari sampel darah Sel darah putih diekstrak menggunakan teknik Buffy coat. Total darah dimasukkan ke dalam tabung sentrifus, kemudian disentrifugasi pada kecepatan 1500 g selama 15-20 menit. Buffy coat yang diperoleh kemudian diambil dengan pipet, dipindahkan ke dalam tabung sentrifus 20 mL, dipenuhi dengan larutan buffer TE1, dan disentrifugasi lagi pada kecepatan 2000 g selama 10-15 menit. Pelet yang diperoleh kemudian diresuspensikan dalam 1 mL bufer TE2, dan dipindahkan ke dalam tabung penyimpan (Nunc) untuk disimpan pada suhu –80oC sampai saat digunakan untuk proses selanjutnya. Ekstraksi DNA DNA diekstraksi dari sel darah putih dengan menggunakan teknik Wizard Genomic Purification System (Promega, Madison USA). Amplifikasi gen hormon pertumbuhan DNA yang diperoleh langsung digunakan untuk reaksi PCR yang dilakukan dalam mesin PCR (Perkin Elmer 2400/ 9700). Dua fragmen gen hormon pertumbuhan, lokus 1 dan lokus 2 diamplifikasi dengan PCR menggunakan primer berturut-turut GH1/GH2 dan GH5/GH6. Semua reaksi amplifikasi dilakukan dalam volume 25 μL campuran reaksi yang terdiri dari: 200 ng DNA template, 0.15 μM dari masing-masing oligonukleotida primer, 200 μM dari masing-masing dNTPs, 2 mM MgCl2, 10x bufer dan 1,5 unit Taq DNA polymerase dalam 0,6 mL tabung effendorf. Kondisi reaksi amplifikasi PCR untuk gen hormon pertumbuhan adalah sebagai berikut: satu tahap reaksi denaturasi awal pada suhu 94oC selama 5 menit, diikuti dengan 30 siklus amplifikasi yang masing-masing siklus terdiri dari: denaturasi pada suhu 94oC selama 45 detik, annealing pada suhu 60oC selama 45 detik, dan ekstensi pada suhu 72oC selama 1 menit; diikuti dengan satu tahap polimerasi final pada suhu 72oC selama 5 menit. RFLP analisis Hasil amplifikasi PCR digunakan dalam reaksi digesti dengan menggunakan enzim AluI untuk mengidentifikasi situs polimorfisme AluI pada lokus 1, sedangkan lokus 2 didigesti menggunakan enzim MspI. Hasil digesti kemudian dielektroforesis pada bak elektroforesis horizontal dengan mengguna-


SUTARNO dkk. – Polimorfisme Gen Hormon Pertumbuhan Sapi Lokal

kan gel yang terbuat dari 1-2% agarose dalam bufer TAE. Elektroforesis dilakukan dengan menggunakan gel horisontal selama 90 menit pada 55 volt. Lama waktu sangat tergantung pada konsentrasi gel dan voltase. Agar hasil elektroforesis dapat divisualisasi, ethidium bromida disertakan pada saat pembuatan gel dengan konsentrasi final 0,12 Îźg/mL. Setelah elektroforesis selesai, DNA divisualisasi di bawah sinar ultra violet dalam ruang gelap, dan diambil gambarnya menggunakan film Polaroid ukuran 57 dengan filter merah. Pengambilan data fenotip Data fenotip utama yang dikoleksi pada penelitian ini adalah berat badan (berat lahir; berat awal), berat pada hari ke-90 (dan berat pada hari ke-150 dan ke-210 untuk sapi Bali), sedangkan data fenotip pendukung adalah jenis kelamin, umur dan breed.

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil analisis PCR Lima puluh sampel dari masing-masing jenis sapi Bali, sapi Madura dan sapi Benggala telah dilakukan PCR untuk mengamplifikasi DNA menggunakan primer GH-1, GH-2, GH-5, dan GH-6. Fragmen yang diamplifikasi dengan primer-primer tersebut adalah dua lokus DNA pada gen hormon pertumbuhan. Amplifikasi menggunakan GH-1 dan GH-2 menghasilkan fragmen 223 bp lokus 1 gen hormon pertumbuhan, sedangkan amplifikasi menggunakan GH5 dan GH6 menghasilkan fragmen 329 bp lokus 2 gen hormon pertumbuhan. Hasil RFLP Analisis pola pemotongan oleh enzim restriksi terhadap hasil amplifikasi PCR pada lokus 1 dan lokus 2 gen hormon pertumbuhan dilakukan terhadap 3 jenis sapi pedaging lokal Indonesia. Pada semua jenis ditemukan adanya polimorfisme DNA pada kedua lokus gen hormon pertumbuhan. Polimorfisme yang dideteksi dengan melakukan digesti menggunakan enzim restriksi AluI terhadap fragmen 223 bp lokus 1, serta dengan digesti menggunakan enzim restriksi MspI terhadap fragmen 329 bp lokus 2 gen hormon pertumbuhan disajikan pada Gambar 2 dan 3. Situs-situs restriksi yang dihasilkan dari reaksi digesti dengan menggunakan enzim

171

restriksi AluI dan MspI terhadap lokus 1 dan lokus 2 gen hormon pertumbuhan dipresentasikan pada Table 1. Tabel 1. Situs restriksi yang dihasilkan dari reaksi digesti dengan menggunakan enzim restriksi AluI terhadap fragmen 223 bp lokus 1 gen hormon pertumbuhan, dan MspI terhadap fragmen 329 bp lokus 2 gen hormon pertumbuhan. Enzyme

Allel

AluI

L V MspI + MspI -

MspI

JumLah situs restriksi 1 0 1 0

Ukuran fragmen (bp) 171, 52 223 224, 105 329

Seperti yang diperlihatkan pada hasil di atas, perkembangan-perkembangan yang terjadi pada teknik molekuler telah menghasilkan banyak data tentang variasi genetik dari analisis DNA. Data-data semacam ini akan memberikan pemahaman yang lebih baik pada kita tentang variasi genetik inter dan antar jenis sapi. Analisis dengan PCR-RFLP mampu mendeteksi tipe polimorfisme yang sama seperti yang diperoleh dengan menggunakan teknik RFLP secara tradisional, tanpa melalui Southern Blotting (Cushwa & Medrano, 1996). Karena tanpa Southern Blotting, maka waktu yang diperlukan lebih pendek dan sensitivitasnya pun meningkat (Weber & May, 1989). Jadi metode ini sangat efektif dan efisien untuk mempelajari variasi genetik. Variasi genetik pada jenis yang sama adalah sangat penting dan riset di bidang ini banyak menarik perhatian pada jenis hewan ternak, karena pengetahuan tentang variasi genetik mempunyai banyak aplikasi pada penyilangan dan genetika. Aplikasi variasi genetik ini oleh Archibald (1983) disebutkan misalnya untuk identifikasi hewan dan analisis pedigree (silsilah), pemetaan gen dan identifikasi marker/penanda gen yang mengendalikan sifat-sifat yang diinginkan. Karena semua sifat yang tampak (fenotip) dipengaruhi oleh informasi genetik yang dibawa oleh DNA, maka variasi DNA berhubungan dengan terjadinya variasi fenotip. Ide inilah yang merupakan dasar teknik seleksi yang akhir-akhir ini dikembangkan, yaitu seleksi berdasarkan gen marker yang dikenal dengan istilah marker


100bp marker

L/V

L/L

Un-cut

V/V

B IOD I VER SI TA S Vol. 3, No. 1, Januari 2002, hal. 169-173

172

600bp 223bp 171bp

100bp

52bp

329bp 224bp 105bp

100bp marker

MspI +/+

MspI +/-

MspI -/-

MspI +/+

Un-cut

Gambar 2. Fotograf dari gel agarose memperlihatkan adanya polimorfisme DNA pada lokus 1 gen hormon pertumbuhan yang dideteksi dengan menggunakan teknik PCR-RFLP menggunakan enzim AluI.

600bp

100bp

Gambar 3. Fotograf dari gel agarose memperlihatkan adanya polimorfisme DNA pada lokus 2 gen hormon pertumbuhan yang dideteksi dengan menggunakan teknik PCR-RFLP menggunakan enzim MspI.

assisted selection (MAS). Teknik seleksi melalui MAS ini telah berkembang sangat cepat pada beberapa tahun terakhir (Schwerin et al, 1995; Soller, 1994). Variasi genetik yang diukur langsung pada level DNA, dapat juga digunakan untuk melakukan test terhadap munculnya variasi genetik pada sifat kuantitatif pada suatu jenis. Hal ini sangat bermanfaat dalam menjaga diversitas genetik.

Polimorfisme pada situs restriksi oleh enzim AluI dan MspI pada lokus 1 dan lokus 2 gen hormon pertumbuhan telah dilaporkan sebelumnya pada sapi penghasil susu (Hoj et al, 1993; Lucy et al, 1993; Schwerin et al, 1995; Soller, 1994), Bavarian Simmental (Schlee et al, 1994) dan sapi India (Mitra et al, 1995). Analisis menggunakan PCR-RFLP di atas menunjukkan bahwa terjadinya polimor-


SUTARNO dkk. – Polimorfisme Gen Hormon Pertumbuhan Sapi Lokal

fisme pada situs restriksi oleh enzim restriksi AluI disebabkan oleh adanya substitusi antara Leusin/Valin pada posisi 127 (Sutarno, 1998). Sedangkan terjadinya polimorfisme pada situs restriksi oleh enzim restriksi MspI disebabkan oleh adanya transisi C menjadi T pada posisi +837 (Sutarno, 1998).

KESIMPULAN Dari hasil-hasil di atas dapat disimpulkan bahwa polimorfisme ditemukan pada sapi Bali dan sapi Benggala, serta pada sapi Madura namun dengan prosentase yang rendah. Perubahan leusin menjadi valin posisi 127 pada lokus 1 gen hormon pertumbuhan yang dideteksi dengan RFLP menggunakan enzim restriksi AluI, serta polimorfisme pada lokus 2 yang dideteksi dengan RFLP menggunakan MspI ditemukan pada ketiga jenis sapi ini.

DAFTAR PUSTAKA Archibald, A. L. 1983. Genetic variation-the raw material of animal breeding. ABRO Report 28-32 Buis, R. C., J. K. Oldenbroek, and J.H.J. Vanderwerf. 1994. Preserving genetic variance resources in commercial and non-commercial populations. Netherlands Journal of Agricultural Science 42: 29-36 Cunningham, E.P. 1994. The use of bovine somatotropin in milk production - a review. Irish Veterinary Journal 45 (5) 207-210. Cushwa, W. T., and J.F. Medrano. 1996. Applications of the Random Amplified Polymorphic DNA (RAPD) Assay for Genetic Analysis of Livestock Species. Animal Biotechnology 7: 11-31 Hall, S. J. G., and D.G. Bradley. 1995. Conserving livestock breed biodiversity [Review]. Trends in Ecology & Evolution 10: 267-270

173

Hammond, K., and H. Leitch. 1995. Towards better management of animal genetic resources. World Animal Review 84/85: 48-53 Hoj, S., M. Fredholm, N.J. Larsen, and V.H. Nielsen. 1993. Growth hormone gene polymorphism associated with selection for milk fat production in lines of cattle. Animal Genetics 24: 91-96 Kidd, K. K., L. Osterhoff, L. Erhard, and W.H. Stone. 1974. The use of genetic relationships among cattle breeds in the formulation of rational breeding policies: an example with South Devon (South Africa) and Gelbvieh (Germany). Animal Blood Groups and Biochemical Genetics 4: 21-28 Lucy, M. C., S.D. Hauser, P.J. Eppard, G.G. Krivi, and J.H. Clark. 1993. Variants of somatotropin in cattle gene frequencies in major dairy breeds and associated milk production. Domestic Animal Endocrinology 10: 325-333 Mitra, A., P.P. Schlee, C.R. Balakrishnan, and F. Pirchner. 1995. Polymorphisms at growth-hormone and prolactin loci in Indian cattle and buffalo. Journal of Animal Breeding & Genetics Zeitschrift fur Tierzuchtung und Zuchtungsbiologie 112: 71-74 Schlee, P., R. Gram, L.O. Rottmann, and F. Pirchner. 1994. Influence of growth-hormone genotypes on breeding values of simmental bulls. Journal of Animal Breeding & Genetics Zeitschrift fur Tierzuchtung und Zuchtungsbiologie 111: 253-256 Schwerin, M., G. Brockmann, J. Vanselow, and H.M. Seyfert. 1995. Perspectives of molecular genome analysis in livestock improvement. Archiv fur Tierzucht Archives of Animal Breeding 38: 21-31 Soller, M. 1994. Marker assisted selection - an overview. Animal Biotechnology 5: 193-207 Sutarno. 1998. Candidate gene marker for production traits in beef cattle. In Veterinary Biology. Perth: Murdoch University. Weber, J. L., and P.E. May. 1989. Abundant class of human DNA polymorphisms which can be typed using the polymerase chain reaction. American Journal of Human Genetics 44: 388-396.


BIODIVERSITAS Volume 3, Nomor 1 Halaman: 174-180

ISSN: 1412-033X Januari 2002

Induksi Poliploidi Bawang Merah (Allium ascalonicum L.) dengan Pemberian Kolkisin Polyploid induction of Allium ascalonicum L. by colchicine SUMINAH, SUTARNO, AHMAD DWI SETYAWAN Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta Surakarta 57126. Dterima: 5 Desember 2001, Disetujui 31 Januari 2002

ABSTRACT The low production rate of shallot (Allium ascalonicum L.) in Indonesia could be caused by rarely excellent cultivars. Colchicine was one of the mutation agents frequently used in plant breeding in order to get polyploidy of cultivars. The aim of this research was to find out the differentiation of morphometric evidences and ploidy of shallot chromosomes induced by colchicines 1%. Preparation was made by squash method and stained by acetocarmine. The results indicated that the amount, length and shape of chromosomes altered by the application of the agent. The polyploids produced could be grouped into tetraploids, pentaploids, hexaploids, octaploids, and nonaploids. Š 2002 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta Key Words: chromosome, polyploids, Allium ascalonicum L., colchicines.

PENDAHULUAN Bawang merah (Allium ascalonicum L.) merupakan sayuran umbi yang multiguna, dapat digunakan sebagai bumbu masakan, sayuran, penyedap masakan, di samping sebagai obat tradisional karena efek antiseptik senyawa anilin dan alisin yang dikandungnya (Rukmana, 1994). Bahan aktif minyak atsiri bawang merah terdiri dari sikloaliin, metilaliin, kaemferol, kuersetin, dan floroglusin (Muhlizah dan Hening-S, 2000). Bawang merah termasuk dalam divisi Spermatophyta, sub divisi Angiospermae, kelas Monocotyledonae, ordo Liliales, familia Liliaceae, genus Allium, spesies Allium ascalonicum L., sinonim Allium cepa var. ascalonicum. Tanaman ini dapat tumbuh dan berproduksi dengan baik di dataran rendah sampai dataran tinggi, hingga ketinggian + 1.100 m dpl. Namun produksi terbaik dihasilkan di dataran rendah (0-500 m dpl), bersuhu 25-32°C, pH tanah antara 5,5-6,5,

dan mendapat sinar matahari + 70% (Rukmana, 1994; Wibowo, 1991). Rata-rata produksi bawang merah nasional saat ini masih rendah. Padahal iklim, musim dan lahan di Indonesia memungkinkan budidaya tanaman ini secara besar-besaran, khususnya di pulau Jawa. Rendahnya daya produksi bawang merah antara lain disebabkan karena sedikitnya kultivar-kultivar unggul dan proses pengolahan pertanian yang kurang baik (Rukmana, 1994; Wibowo, 1991). Kultivar-kultivar unggul dapat diperoleh melalui pemuliaan tanaman, diantaranya mutasi dan prosedur transgenik. Pemuliaan dengan mutasi dapat dilakukan dengan kolkisin pada jaringan meristem (Suryo, 1995). Kolkisin (C22H25O6N) merupakan suatu alkaloid berwarna putih yang diperoleh dari umbi tanaman Colchichum autumnale L. (Familia Liliaceae). Senyawa ini dapat menghalangi terbentuknya benang-benang spindel pada pembelahan sel sehingga menyebabkan terbentuknya individu poliploidi (Eigsti dan Dustin, 1957; Suryo, 1995).


SUMINAH dkk. – Induksi Poliploid Allium ascalonicum

Apabila kolkisin digunakan pada konsentrasi yang tepat maka jumlah kromosom akan meningkat, sehingga tanaman bersifat poliploid. Tanaman yang bersifat poliploid umumnya memiliki ukuran morfologi lebih besar dibandingkan tanaman diploid. Dengan demikian kualitas tanaman yang diberi perlakuan diharapkan lebih baik dibandingkan tanaman diploid. Umumnya kolkisin akan bekerja efektif pada konsentrasi 0,01-1% untuk jangka waktu 6-72 jam, namun setiap jenis tanaman memiliki respon yang berbedabeda (Eigsti dan Dustin, 1957; Suryo, 1995). Setiap spesies memiliki jumlah kromosom yang khas. Sebagian besar organisme berderajat tinggi memiliki jumlah kromosom yang bersifat diploid. Variasi jumlah set kromosom (ploidi) sering ditemukan di alam. Pada keadaan normal materi genetik setiap makhluk hidup stabil (tidak berubah-ubah), akan tetapi karena adanya pengaruh luar atau dari dalam sel itu sendiri dapat terjadi perubahan. Perubahan materi genetik karena pengaruh dari dalam sel merupakan ciri benda hidup yang membedakannya dengan benda mati, yakni dapat melakukan mutasi dan menjaga keanekaragaman hayati. Perubahan materi genetik karena pengaruh dari luar sel dapat disebabkan oleh bahan kimia maupun radiasi (Pai, 1992). Mutasi dapat dibedakan atas mutasi sitologis yakni perubahan bentuk, ukuran ataupun jumlah kromosom, serta mutasi gen yang secara sitologis tidak tampak namun mempengaruhi penampakan fenotip. Mutasi terakhir ini dapat dideteksi dengan teknik molekuler. Perubahan jumlah kromosom dapat dibedakan atas euploidi dan aneuploidi. Pada kondisi euploidi jumlah kromosom merupakan kelipatan dari kromosom dasarnya. Variasi euploidi yang dapat terjadi adalah: monoploid (haploid; 1n), diploid (2n) dan poliploid yang terdiri dari: triploid (3n), tetraploid (4n), pentaploid (5n), heksaploid (6n), septaploid (7n), oktaploid (8n), dan nonaploid (9n). Variasi aneuploid meliputi delesi, duplikasi, inversi dan translokasi. Delesi atau defisiensi adalah hilangnya satu bagian kromosom. Duplikasi adalah penambahan kromosom. Inversi adalah penyisipan kembali gen-gen secara terbalik. Translokasi adalah pindahnya suatu bagian kromosom ke kromosom lain yang bukan homolognya (Crowder,1986). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perubahan sifat-sifat morfometri dan ploidi

175

kromosom A. ascalonicum akibat pemberian kolkisin 1%.

BAHAN DAN METODE Bahan Obyek penelitian ini adalah ujung akar Allium ascalonicum. L yang diperoleh dari kawasan Kota Surakarta dan sekitarnya. Bahan kimia yang digunakan meliputi: etanol, kolkisin 0,2% dan 1%, asam asetat 45%, asam klorida 1N, asetokarmin 2%, gliserin, cat kuku, akuades, dan minyak emersi. Alat Alat yang digunakan meliputi: kotak penanaman, botol flakon, gelas benda, gelas penutup, kotak preparat, kertas aliminium foil, kertas label, kertas tissue, kapas, pinset, skalpel, kuas, jarum preparat, penggaris, oven, lemari es, mikrofotografi, dan mikroskop cahaya. Cara kerja Pemilihan bibit. Umbi yang telah tua dengan umur 60-90 hari pasca panen, disinari matahari sekitar empat hari untuk mematahkan dormansi. Penanaman. Umbi diletakkan dalam kotak penanaman dengan dialasi kapas basah. Setiap hari air diganti untuk mencegah terbentuknya bakteri, jamur dan menjamin aerasi oksigen. Kecepatan pertumbuhan akar tergantung lamanya dormansi termasuk umur panen, lama penyimpanan, dan kesegaran bahan. Umbi yang akarnya telah tumbuh direndam dalam kolkisin 1% selama 3-4 hari sampai terbentuk pembesaran (Jw: jendulan) pada akar. Selanjutnya umbi dipindahkan kembali dalam media air selama 1 hari, agar sel-selnya mendapat kesempatan untuk tumbuh pada kondisi normal. Pembelahan mitosis optimum. Setiap tumbuhan memiliki waktu optimum pembelahan mitosis yang khas. Begitu juga dengan A. ascalonicum yang memiliki waktu pembelahan mitosis optimum metafase antara pukul 08.0009.00 WIB (Anggarwulan dkk., 1999). Kemikalia. Kolkisin 1% (atau 0,2 %). Sebanyak 1 g (atau 0,2 g) kolkisin dilarutkan dengan 5 ml etanol, lalu ditambah 95 ml akuades dan diaduk hingga larut. Disimpan dalam botol tertutup, berwarna gelap, dalam lemari es bersuhu 5°C. Asam asetat 45%.


176

B IOD I VER SI TA S Vol. 3, No. 1, Januari 2002, hal. 174-180

Asam asetat glasial 45 ml dan 55 ml akuades diaduk hingga larut lalu disimpan dalam botol tertutup pada suhu kamar. Asam Klorida 1 N. Asam klorida Pekat 1 bagian ditambah 11 bagian akuades digojog hingga larut dan disimpan dalam botol tertutup pada suhu kamar (Soesanti dan Setyawan, 2000). Asetokarmin 2%. Sebanyak 45 ml asam asetat glasial dipanaskan perlahan-lahan hingga hampir mendidih (90°-100°C) ditambahkan 0,5 g karmin sedikit demi sedikit lalu dididihkan selama ± 10 menit sambil diaduk. Dinginkan pada suhu kamar lalu ditambah 55 ml akuades dan digojog hingga larut. Disaring dan disimpan pada suhu kamar dalam botol berwarna gelap. Setiap tiga hari penyimpanan biasanya terdapat endapan untuk itu sebelum digunakan sebaiknya digojog dan disaring lagi (Wheat Genetics Resource Center, 1997 dengan perubahan). Pembuatan Preparat. Ujung akar dipotong 3-5 mm, dimasukkan dalam botol flakon berisi 2-3 ml kolkisin 0,2% dan disimpan dalam lemari es bersuhu 5°C selama 2-4 jam, lalu dicuci dengan akuades tiga kali, kemudian difiksasi dengan asam asetat 45% dan disimpan dalam lemari es bersuhu 5°C selama 15 menit, lalu dicuci dengan akuades tiga kali. Dilanjutkan hidrolisis dengan asam klorida 1N dalam oven bersuhu 60°C selama ± 3 menit, tegantung besarnya ujung akar, lalu dicuci dengan akuades tiga kali. Diwarnai dengan asetokarmin selama 1-3 jam tergantung ukuran bahan dan kesegaran pewarna pada suhu kamar. Diambil 1-2 ujung akar dengan kuas diletakkan di atas gelas benda dan dipotong hingga tersisa 1-2 mm lalu ditetesi gliserin, ditutup dengan gelas penutup dan

disquash hingga merata (Soesanti dan Setyawan, 2000; Anggarwulan dkk., 1999). Pengamatan. Pengamatan dilakukan dengan mikroskop cahaya terhadap 10 akar bawang merah yang berasal dari 10 individu, dimana masing-masing akar diambil sekurangkurangnya 1 sel yang sedang mengalami pembelahan tahap metafase (prometafase) dari berbagai tingkat ploidi. Untuk memperbaiki daya pisah digunakan minyak imersi dengan perbesaran kuat. Preparat yang baik dan mewakili tipe-tipe ploidi yang ditemukan dipotret dengan kamera mikrofotografi.

HASIL DAN PEMBAHASAN Dari penelitian yang dilakukan terhadap ujung akar A. ascalonicum dengan perlakuan kolkisin 1%, diketahui terjadi perubahan jumlah (penambahan dan pengurangan), ukuran dan bentuk kromosom (sifat-sifat morfometri). Variasi tingkat ploidi, dan data morfometri kromosom yang meliputi rata-rata luas sel, modus ukuran panjang kromosom dan modus bentuk kromosom disajikan pada Tabel 1 dan Gambar1. Perlakuan kolkisin Induksi kolkisin merupakan mekanisme yang sering digunakan untuk mendorong terjadinya mutasi, sehingga terjadi perubahan bentuk, ukuran dan jumlah kromosom (pengurangan dan penambahan). Dalam penelitian ini perubahan yang terjadi ditandai secara visual dengan membesarnya ujung akar (Jw: jendulan). Kolkisin dengan kadar 1% merupakan ambang batas tertinggi yang

Tabel 1. Variasi ploidi dan ukuran sel pada A. ascalonicum dengan perlakuan kolkisin 1%. Kelompok

Jumlah Mean luas sel ploidi (μm2) Haploid n 9,07 Diploid 2n 10,17 Tetraploid 4n 29,26 Pentaploid 5n 38,00 Heksaploid 6n 41,21 Septaploid 7n 51,37 Oktaploid 8n 55,66 Nonaploid 9n 67,88 Keterangan: triploid (3n) tidak ditemukan.

Modus ukuran kromosom (μm) 1 1 0,5 0,5 0,4 0,4 0,4 0,3

Modus bentuk kromosom metasentris metasentris metasentris metasentris metasentris metasentris metasentris sub-metasentris


SUMINAH dkk. – Induksi Poliploid Allium ascalonicum

177

A

B

C

D

E

F

G

H

Gambar 1. Variasi ploidi pada A. ascalonicum dengan perlakuan kolkisin 1%. A. monoploid (1n), B. diploid (2n), C. tetraploid (4n), D. pentaploid (5n), E. heksaploid (6n), F. septaploid (7n), G. oktaploid (8), dan H. nonaploid (9n). Tipe triploid (3n) belum dapat ditemukan. Garis = 1 Îźm.


178

B IOD I VER SI TA S Vol. 3, No. 1, Januari 2002, hal. 174-180

diperkenankan oleh Eigsti dan Dustin (1957) untuk menginduksi terjadinya mutasi. Kolkisin dengan konsentrasi yang demikian tinggi ini diberikan dengan harapan daya kerjanya maksimal. Menurut Eigsti dan Dustin (1957) kolkisin dapat bekerja secara efektif pada konsentrasi 0,001-1%, dengan lama perendaman 6-72 jam. Namun pada dasarnya setiap tumbuhan mempunyai respon yang berbeda-beda, tergantung jenis dan organ yang diberi perlakuan. Menurut Setyawan (2001, komunikasi pribadi) konsentrasi kolkisin 1% belum menyebabkan keracunan/kematian akar pada kebanyakan tanaman bawang budidaya (genus Allium), dan belum menggumpalkan materi DNA kromosom, sehingga dapat digunakan untuk menelusuri adanya mutasi dengan hasil memuaskan. Sifat morfometri Dalam penelitian ini didapatkan ukuran kromosom A. ascalonicum relatif pendek dengan posisi yang tumpang tindih. Posisi demikian tetap terjadi meskipun pada saat pembelahan mitosis dinding inti hilang dan ruang sebar kromosom dalam sel meluas. Penumpukan ini mempersulit pengamatan, sehingga bentuk, ukuran dan jumlah kromosom ditentukan secara garis besar, dimana bentuk dan ukuran kromosom hanya dihitung sebagai modus, didasarkan pada kromosom/sel dengan frekuensi tertinggi, sedangkan jumlah kromosom dihitung sebagai pendekatan terhadap jumlah dasarnya (x). Penelitian ini masih merupakan penelitian awal untuk menelaah sifat morfometri dan poliploidi A. ascalonicum akibat pemberian kolkisin 1%. Dalam penelitian ini didapatkan modus ukuran panjang kromosom A. ascalonicum berkisar antara 0,3-1 Îźm (Tabel 1.). Ukuran panjang kromosom menurun sejalan dengan bertambahnya jumlah kromosom atau bertambahnya tingkat ploidi kromosom, dari monoploid (1n) ke nonaploid (9n). Hal ini juga diikuti dengan bertambahnya rata-rata ukuran luas sel, namun bertambahnya kapasitas sel tidak sebanding dengan bertambahnya jumlah kromosom, sehingga ukuran kromosom mengecil agar semuanya dapat dikemas dalam sel. Dengan demikia semakin tinggi tingkat ploidi, maka ukuran luas sel semakin besar dan ukuran panjang kromosom semakin kecil.

Bentuk kromosom A. ascalonicum relatif seragam (Tabel 1.). Pada level ploidi monoploid (1n) hingga oktaploid (8n), kromosom yang paling sering dijumpai berbentuk metasentris, sedangkan pada individu nonaploid (9n), kromosom yang paling sering dijumpai berbentuk sub-metasentris. Seringnya ditemukan kromosom berbentuk metasentris merupakan hal yang wajar, mengingat kelompok tumbuhan umunya memiliki kromosom dengan bentuk demikian. Menurut Setyawan (2001, komunikasi pribadi) kebanyakan tanaman bawang budidaya bersifat diploid dengan jumlah kromosom dasar delapan (x=8), sehingga 2n = 16, dimana panjang kromosom berkisar 2 Îźm, dan kebanyakan berbentuk metasentris. Tingkat ploidi Pengaruh kolkisin dalam menginduksi mutasi bersifat acak, sehingga dalam penelitian ini dapat ditemukan individu sel yang tetap bersifat diploid (2n), sebagaimana umumnya sel normal. Serta sel-sel yang mengalami pengurangan jumlah kromosom, yakni bersifat monoploid/haploid (1n) dan selsel mengalami penambahan jumlah kromosom atau poliploid yang meliputi: tetraploid (4n), pentaploid (5n), heksaploid (6n), septaploid (7n), oktaploid (8n) dan nonaploid (9n) (Tabel 1.). Tipe triploid (3n) belum dapat ditemukan meskipun secara hipotesis sangat mungkin terbentuk. Hal ini dimungkinkan karena sel dengan jumlah kromosom tersebut tidak terambil pada pengambilan sampel. Dalam penelitian ini ditemukan adanya selsel normal yang tidak mengalami perubahan jumlah kromosom, bersifat diploid (2n) serta berbagai perubahan jumlah kromosom secara euploid yang melahirkan individu poliploid dan perubahan jumlah kromosom secara aneuploid yang menyebabkan jumlah kromosom berkurang atau sedikit berbeda dengan jumlah kelipatan dasarnya (aberasi; anomali). Salah satu bentuk aberasi kromosom yang ditemukan adalah berkurangnya jumlah kromosom karena hilangnya segmensegmen kromosom (delesi). Hal ini terlihat dengan adanya kromosom monoploid (haploid), yang merupakan delesi dari kromosom normal diploid (2n). Selain itu ditemukan pula adanya pertambahan materi genetik pada suatu kromosom (duplikasi). Banyaknya sel dengan jumlah kromosom poliploid yang tidak tepat sebagai kelipatan


SUMINAH dkk. – Induksi Poliploid Allium ascalonicum

jumlah dasarnya, kemungkinan merupakan akibat delesi dan duplikasi kromosom. Dalam penelitian ini ditemukan pula penambahan jumlah kromosom secara euploid yang menyebabkan terbentuknya selsel poliploid. Berbeda dengan prosedur transgenik yang lebih terarah, induksi bahan kimia atau radiasi bersifat acak dan tidak teratur, sehingga memberikan efek yang tidak seragam pada masing-masing sel dalam suatu individu. Tipe-tipe poliploid yang ditemukan adalah tetraploid (4n), pentaploid (5n), heksaploid (6n), septaploid (7n), oktaploid (8n) dan nonaploid (9n). Tipe triploid (3n) belum dapat ditemukan. Perubahan jumlah kromosom ini disebabkan pemberian kolkisin dengan konsentrasi yang kritis dapat mencegah terbentuknya benang-benang mikrotubuli dari gelendong inti (benang-benang spindel) sehingga pemisahan kromosom yang menandai perpindahan dari tahap metafase ke anafase tidak berlangsung dan menyebabkan penggandaan kromosom tanpa penggandaan dinding sel. Oleh karena tidak terbentuk benang spindel maka kromosom tetap dalam sitoplasma. Namun kromosom dapat memisah dari sentromernya dan dimulai tahap c-anafase yang dilanjutkan dengan pembentukan dinding inti. Sehingga terjadi “restitusi� inti dan mengandung jumlah kromosom berlipat dua. Apabila konsentrasi kritis ini dibiarkan terus berlanjut maka pertambahan genom akan mengikuti deret ukur (Suryo, 1995). Dalam penelitian ini penghitungan jumlah kromosom dilakukan secara pembulatan, mengingat mutasi sering terjadi secara euploid, dimana perubahan jumlah kromosom sering kali merupakan kelipatan jumlah kromosom dasarnya. Sehingga mayoritas sel akan memiliki kromosom dalam jumlah kelipatan dasarnya. Apabila jumlah kromosom yang terhitung berada di atas atau di bawah kelipatan jumlah kromosom dasar, maka dapat diduga telah terjadi delesi atau duplikasi pada, namun hal ini juga dapat merupakan akibat kesalahan teknis penghitungan, oleh karena itu dipilih pembulatan. Dalam dunia pertanian, peningkatan keanekaragaman genetik akibat mutasi, rekombinasi serta separasi dan segregasi selama meiosis merupakan sumber plasma nutfah untuk pemuliaan tanaman. Keanekaragaman ini dapat terjadi secara spontan dengan laju yang rendah atau dapat

179

diinduksi oleh pengaruh kimia dan fisik dengan mematahkan kromosom atau mengubah perilakuannya selama pembelahan meiosis atau mitosis (Crowder, 1986). Keanekaragaman ini memungkinkan untuk mengetahui banyak karakter gen, sehingga aberasi dan poliploidi mempunyai nilai tinggi dalam penemuan kultivar unggul. Tanaman poliploid biasanya lebih kuat dari pada tanaman diploid, ukuran daun, batang, bunga, buah, dan inti sel lebih besar, kandungan vitamin dan protein bertambah, tekanan osmotik berkurang, serta pembelahan sel melambat, sehingga umur vegetatif lebih lama (Suryo, 1995).

KESIMPULAN Dalam penelitian ini dapat disimpulkan bahwa telah terjadi variasi bentuk, ukuran, dan jumlah kromosom Allium ascalonicum L. akibat pemberian kolkisin 1%. Poliploidi yang terbentuk dapat dikelompokkan menjadi tetraploid, pentaploid, heksaploid, oktaploid, dan nonaploid akibat pemberian kolkisin 1%.

DAFTAR PUSTAKA Crowder, L.V. 1986. Genetika Tumbuhan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Eigsti, O.J. dan Dustin, P. 1957. Colchicine in Agriculture, Medicine, Biology and Chemistry. AmesIowa: The Iowa State College Press. Anggarwulan, E., N. Etikawati, dan A.D. Setyawan. 1999. Karyotipe kromosom pada tanaman bawang budidaya (Genus Allium; Familia Amaryllidaceae). BioSMART 1 (2): 13-19. Muhlizah, F. dan S. Hening-S. 2000. Sayur dan Bumbu Dapur Berkhasiat Obat. Jakarta: Penebar Swadaya. Soesanti, N. dan A.D. Setyawan. 2000. Petunjuk Praktikum Mikroteknik Hewan dan Tumbuhan. Surakarta: Jurusan Biologi FMIPA UNS. Pai, A.C. 1992. Dasar-dasar Genetika. edisi kedua (Penerjemah: M. Apandi). Jakarta: Penerbit Erlangga. Rukmana, R. 1994. Bawang Merah, Budidaya dan Pengolahan Pascapanen. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Wibowo, S. 1991. Budidaya Bawang Putih, Bawang Merah dan Bawang Bombay Edisi Keempat. Jakarta: Penerbit Swadaya.


180

B IOD I VER SI TA S Vol. 3, No. 1, Januari 2002, hal. 174-180

Suryo. 1995. Sitogenetika. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Wheat Genetics Resource Center. 1997. Acetocarmine Staining. http://www.ksu.edu/wgrc/Protocols/ Cytogenetics/acetocarmine.html


BIODIVERSITAS Volume 3, Nomor 1 Halaman: 181-188

ISSN: 1412-033X Januari 2002

Penentuan Pola Distribusi, Asosiasi, dan Interaksi Spesies Tumbuhan Khususnya Padang Rumput di Taman Nasional Baluran, Jawa Timur Determination of distribution pattern, association, and interaction of plant species particularly the grassland in Baluran National Park, East Java D J U F R I 1, 2 1 Jurusan 2

PMIPA FKIP UNSYIAH Banda Aceh. Program Doktor Pascasarjana IPB Bogor 16144

Diterima: 29 Nopember 2001. Disetujui: 20 Januari 2002

ABSTRACT The objectives of the research were : (1) to determine the distribution pattern, association, and interaction of plant species, (2) to determine the relationship between life form and the distribution pattern of species, and (3) to compare the association chance of distribution patterns. Quadrate method was used in this project. Determination of species distribution pattern was calculated using Poisson Distribution formula, and the determination of association was calculated using Contingency Table. The result indicated that: (1) The species richness were dominated by grasses, reaching 42.42%. Of the 33 observed species, 21 of them were in a clumped distribution, 7 species in a regular, and 5 species were at random pattern. (2) There are relationship between life form and the distribution of the plant species. The multi-plants tend to have a clumped distribution pattern, and single plant tend to have a regular or random distribution pattern. (3) The species of clumped distribution tend to have negative association to the species which of regular and random distribution pattern. However among the species which had the regular distribution pattern tend to have positive association. (4) The calculated results of the interaction more supported the individualistic concept of the plant association than community as an integrated unit. © 2002 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta Key words: distribution pattern, association, interaction, grassland, Baluran National Park

PENDAHULUAN Secara administratif, Taman Nasional Baluran termasuk dalam Kecamatan Banyuputih, Kabupaten Situbondo, Propinsi Jawa Timur. Sedangkan secara geografis terletak antara 7o29’10”-7o55’55” Lintang Selatan dan 114o29’10”-114o39’10” Bujur Timur. Luas seluruh kawasan 25.000 ha. Tanah kawasan ini terdiri dari tanah yang berasal dari batuan vulkanis, termasuk jenis regusol. Tanah pada daerah padang rumput dan sabana berwarna hitam, dan merupakan tanah yang subur bagi spesies rumput. Ciri khas tanah daerah ini mudah longsor dan sangat berlumpur pada musim hujan, sebaliknya pada musim kemarau permukaan tanah pecah-pecah.

Topografi kawasan bervariasi dari datar sampai ber-gelombang atau berbentuk gunung, dengan ketinggian berkisar 0-1.247 m dpl. Daerah Baluran memiliki iklim musim (monsoon), dengan musim kemarau yang panjang. Temperatur udara rata-rata 20.2 oC. Temperatur maksimum rata-rata tahunan sebesar 30.9 oC. Taman Nasional merupakan suatu sarana untuk mewujudkan usaha konservasi potensi sumber daya alam, yang berfungsi sebagai pelindung unsur ekologis dan sistem penyangga kehidupan. Di samping itu, juga dikembangkan kegiatan penelitian dan wisata alam. Setiap spesies tumbuhan, memerlukan kondisi lingkungan yang sesuai untuk hidup, sehingga persyaratan hidup setiap spesies


182

B I O D I V E R S I T A S Vol. 3, No. 1, Januari 2002, hal. 181-188

berbeda-beda, dimana mereka hanya menempati bagian yang cocok bagi kehidupannya. Clement (1978, dalam Barbour et al, 1987) menyimpulkan setiap tumbuhan merupakan hasil dari kondisi tempat dimana tumbuhan itu hidup, sehingga tumbuhan dapat dijadikan sebagai indikator lingkungan. Komposisi suatu komunitas ditentukan oleh seleksi tumbuhan yang mencapai klimaks dan mampu hidup di tempat tersebut. Kegiatan anggota komunitas tergantung penyesuaian diri setiap individu terhadap faktor fisik dan biotik yang ada di tempat tersebut. Dengan demikian pada suatu komunitas, pengendali kehadiran spesies dapat berupa satu atau beberapa spesies tertentu atau dapat juga sifat fisik habitat. Namun tidak ada batas yang jelas antara keduanya, sebab keduanya dapat beroperasi bersama-sama atau saling mempengaruhi (Barbour et al, 1987). Distribusi semua tumbuhan di alam dapat disusun dalam tiga pola dasar, yaitu acak, teratur, dan mengelompok. Pola distribusi demikian erat hubungannya dengan kondisi lingkungan. Organisme pada suatu tempat bersifat saling bergantung, sehingga tidak terikat berdasarkan kesempatan semata, dan bila terjadi gangguan pada suatu organisme atau sebagian faktor lingkungan akan berpengaruh terhadap keseluruhan komunitas (Barbour et al, 1987). Menurut Greig-Smith (1983), bila seluruh faktor yang berpengaruh terhadap kehadiran spesies relatif sedikit, maka faktor kesempatan lebih berpengaruh, dimana spesies yang bersangkutan berhasil hidup di tempat tersebut. Hal ini biasanya menghasilkan pola distribusi. Tumbuhan yang hidup secara alami pada suatu tempat, membentuk suatu kumpulan yang di dalamnya setiap individu menemukan lingkungan yang dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Dalam kumpulan ini terdapat pula kerukunan hidup bersama (asosiasi), dan hubungan timbal balik (interaksi) yang saling menguntungkan, sehingga terbentuk suatu derajat keterpaduan (Resosoedarmo, 1989). Mengingat masih sangat langkanya penelitian tentang asosiasi dan interaksi spesies dalam suatu komunitas, maka penelitian ini dipandang perlu dilakukan. Tujuan penelitian adalah untuk: (1) mengetahui pola distribusi, asosiasi, dan interaksi spesies tumbuhan, (2) mengetahui hubungan life form dengan pola distribusi spesies, (3) membandingkan

peluang asosiasi yang ditunjukkan setiap pola distribusi spesies.

BAHAN DAN METODE Penelitian menggunakan metode kuadrat. Pada setiap area yang ditetapkan sebagai sampel, dibuat kuadrat permanen berukuran 20 m x 20 m sebanyak 10 buah. Pada setiap stasiun permanen diulang 10 kali, sehingga total sampling adalah 100 plot. Peletakan plot kuadrat 1 m x 1 m dilakukan secara subyektif sehingga dapat dipilih area yang diharapkan menunjukkan heterogenitas, baik komposisi spesies penyusun maupun kondisi lingkungan. Data kuantitatif vegetasi untuk uji statistik diperoleh dengan menghitung nilai Densitas (D), Densitas Relatif (DR), Frekuensi (F), Frekuensi Relatif (FR), Dominansi (DM), Dominansi Relatif (DMR) dan Nilai Penting (NP) dari setiap spesies. Pola distribusi spesies tumbuhan ditentukan dengan model distribusi Poisson, dengan menghitung nilai Chi Square (χ2). Bila pola distribusinya tidak acak maka dilakukan pengujian lebih lanjut melalui perhitungan Varian (V) (Barbour et al, 1987; Chapman & Moore, 1986; Ludwig & Reynolds, 1988).

χ2 = ∑

(teramati - pengharapan )2 pengharapan

(∑ χ ) −

2

∑χ

V=

2

n

n −1

n = jumlah total kuadrat Asosiasi di antara spesies tumbuhan ditentukan dengan tabel Contingency 2x2. Hasil perhitungan seluruh pasangan spesies disajikan dalam bentuk matrik setengah. Selanjutnya hasil ini diuji dengan perhitungan Indeks Asosiasi (Ludwig & Reynolds, 1988).

IO = IO a b c

= = = =

a a+b⋅ a+c indeks Ochiai spesies A dan B hadir spesies A hadir, B tidak hadir spesies A tidak hadir, B hadir


DJUFRI – Ekologi Padang Rumput TN Baluran

Interaksi antara spesies tumbuhan ditentukan melalui pendekatan pola distribusi, digunakan tabel Conitingency 2x2, dengan menghitung nilai χ2.

HASIL DAN PEMBAHASAN Nilai penting spesies Hasil perhitungan nilai Densitas, Densitas Relatif, Frekuensi, Frekuensi Relatif, Dominansi, Dominansi Relatif, dan Nilai Penting disajikan pada Tabel 1. Berdasarkan Tabel 1 dapat dikatakan bahwa kelompok Poaceae pada umumnya mempunyai nilai penting lebih banyak daripada spesies lainnya.

183

Jadi komunitas yang diteliti dicirikan oleh spesies rumput dengan nilai penting relatif tinggi, dan spesies bukan rumput dengan nilai penting relatif rendah. Dengan demikian spesies rumput mendominasi komunitas ini. Berdasarkan persentase kekayaan spesies, maka padang rumput yang diteliti dapat digolongkan sebagai padang rumput alami berdasarkan kriteria Speeding (1971), karena jumlah spesies yang terbesar adalah kelompok rumput (Poaceae) mencapai 42.42%. Demikian juga bila dihubungkan dengan persyaratan curah hujan yang rendah, yaitu 900-1.600 mm/tahun, dan temperatur yang relatif tinggi (32-37 oC).

Tabel 1. Nilai Densitas (D), Densitas Relatif (DR), Frekuensi (F), Frekuensi Relatif (FR), Dominansi (DM), Dominansi Relatif (DMR) dan Nilai Penting (NP) setiap spesies No.

Spesies

Familia

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33.

Rotboelia exaltata Brachiaria reptans Schlerachne punctata Dichantium coricosum Themeda arguens Heteropogon contortus Thespesia lanpas Triumfetta bartramia Pogonatherum paniceum Dactyloctenium aegyptium Echinochloa colonum Stachytarpheta indica Ocimum basilicum Acalypha indica Phyllanthus debilis Clitoria ternatea Eleusine indica Sida acuta Eragrostis tenella Amaranthus gracilis Indigofera sp Crotalaria setriata Desmodium triflorum Digitaria ciliaris Hedyotis corymbosa Polytrias amaura Cyperus kylingia Achyranthes aspera Eragrostis amabilis Mimosa pudica Calotropis gigantea Momordica charantia Moghania macrophylla Jumlah

Poaceae Poaceae Poaceae Poaceae Poaceae Poaceae Malvaceae Tiliaceae Poaceae Poaceae Poaceae Lamiaceae Lamiaceae Malvaceae Euphorbiaceae Fabaceae Poaceae Malvaceae Poaceae Amaranthaceae Fabaceae Fabaceae Fabaceae Poaceae Rubiaceaea Poaceae Cypsaceae Amaranthaceae Poaceae Mimosaceae Asclepiadaceae Cucurbitaceae Fabaceae

D

DR

F

FR

DM

DMR

NP

540 4,45 81 3,82 53 9,62 17,89 751 6,19 80 3,77 40 7,26 17,22 574 4,73 66 3,11 50 9,07 16,91 736 6,07 84 3,96 37 6,72 16,75 665 5,48 80 3,77 40 7,26 16,51 757 6,24 84 3,96 34 6,17 16,37 480 3,96 74 3,49 43 7,80 15,25 229 1,89 69 3,25 35 6,35 11,49 425 3,50 73 3,44 25 4,54 11,48 556 4,58 67 3,16 15 2,72 10,46 292 2,41 68 3,21 23 4,17 9,79 332 2,74 63 2,97 17 3,10 8,81 332 2,74 81 3,82 12 2,18 8,74 430 3,54 71 3,35 10 1,81 8,70 276 2,28 90 4,24 9 1,63 8,15 257 2,12 80 3,77 11 2,00 7,89 283 2,33 89 4,22 7 1,27 7,80 298 2,46 88 4,15 6 1,10 7,71 420 3,46 68 3,21 5 0,91 7,58 305 2,51 80 3,77 7 1,27 7,55 410 3,38 51 2,40 7 1,27 7,05 295 2,43 50 2,36 8 1,45 6,24 290 2,39 65 3,06 4 0,73 6,18 337 2,78 45 2,12 7 1,27 6,17 306 2,52 54 2,55 5 0,91 5,98 250 2,06 58 2,73 5 0,91 5,70 414 3,41 31 1,46 3 0,54 5,41 132 1,09 44 2,07 10 1,81 4,97 209 1,72 42 1,98 5 0,91 4,61 255 2,10 51 2,40 7 1,27 3,69 109 0,90 37 1,74 5 0,91 3,55 93 0,77 31 1,46 3 0,54 2,77 92 0,77 26 1,23 3 0,54 2,54 12131 100,00 2121 100,00 551 100,00 300,00


184

B I O D I V E R S I T A S Vol. 3, No. 1, Januari 2002, hal. 181-188

Berdasarkan data pada Tabel 1, dapat dikatakan bahwa kelompok Poaceae pada umumnya mempunyai nilai penting lebih besar daripada spesies lainnya. Jadi komunitas yang diteliti dicirikan oleh spesies rumput dengan nilai penting relatif tinggi, dan spesies bukan rumput dengan nilai penting relatif rendah, sehingga spesies rumput dominan. Pola distribusi spesies Melalui pendekatan distribusi Poisson diperoleh 21 spesies (63.64%) pola distribusi mengelompok, 7 spesies (21.21%) pola distribusi teratur, dan 5 spesies (15.15%) pola distribusi acak (Tabel 2). Dengan demikian, spesies penyusun padang rumput Taman Nasional Baluran cenderung pola distribusinya mengelompok. Terlepas dari pengaruh faktor

lingkungan dan kompetisi, hasil tersebut relevan dengan kesimpulan Barbour et al (1987) bahwa pola distribusi spesies tumbuhan cenderung mengelompok, sebab tumbuhan bereproduksi dengan biji yang jatuh dekat induknya atau dengan rimpang yang menghasilkan anakan vegetatif masih dekat dengan induknya. Pola distribusi spesies tumbuhan dipengaruhi oleh perbedaan kondisi tanah, sumber daya, dan kompetisi. Hasil pengukuran sampel tanah khususnya pH dan kelengasan menunjukkan perbedaan relatif kecil. pH tanah berkisar 6.66-7.73 dan kelengasan berkisar antara 14.01-17.94. Keadaan yang relatif homogen ini nampaknya tidak berpengaruh terhadap pola distribusi spesies, demikian juga terhadap kehadiran spesies pada seluruh kuadrat pengamatan.

Tabel 2. Pola distribusi spesies melalui pendekatan distribusi Poisson. No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33.

Spesies Dactyloctenium aegyptium Schlerachne punctata Stachytarpheta indica Cyperus kylingia Thespesia lanpas Brachiaria reptans Heteropogon contortus Eragrostis tenella Indigofera sp Acalypha indica Pogonatherum paniceum Themeda arguens Digitaria ciliaris Dichantium coricosum Eragrostis amabilis Amaranthus gracilis Rotboelia exaltata Hedyotis corymbosa Desmodium triflorum Mimosa pudica Crotalaria setriata Polytrias amaura Ocimum basilicum Calotropis gigantea Echinochloa colonum Moghania macrophylla Achyranthes aspera Triumfetta bartramia Sida acuta Clitoria ternatea Eleusine indica Phyllanthus debilis Momordica charantia

χ2h

V

326,26 316,10 285,84 252,54 225,83 219,64 212,40 199,18 185,11 169,10 167,45 164,27 161,48 156,74 156,50 147,49 146,05 140,16 140,12 133,89 125,21 99,61 69,13 64,63 59,80 42,19 42,16 33,92 10,97 10,72 9,17 3,84 2,36

3,16 3,06 3,83 2,44 2,19 2,15 2,10 2,97 1,78 1,63 1,62 1,59 1,56 1,53 1,51 1,43 1,41 1,36 1,35 1,27 1,21 0,98 0,67 0,63 0,58 0,41 0,32 -

Pola Distribusi Mengelompok Mengelompok Mengelompok Mengelompok Mengelompok Mengelompok Mengelompok Mengelompok Mengelompok Mengelompok Mengelompok Mengelompok Mengelompok Mengelompok Mengelompok Mengelompok Mengelompok Mengelompok Mengelompok Mengelompok Mengelompok Teratur Teratur Teratur Teratur Teratur Teratur Teratur Acak Acak Acak Acak Acak

Life Form Rumpun Rumpun Non-rumpun Rumpun Non-rumpun Rumpun Rumpun Rumpun Non-rumpun Non-rumpun Rumpun Rumpun Rumpun Rumpun Rumpun Non-rumpun Rumpun Non-rumpun Non-rumpun Non-rumpun Non-rumpun Rumpun Non-rumpun Non-rumpun Rumpun Non-rumpun Non-rumpun Non-rumpun Non-rumpun Non-rumpun Rumpun Non-rumpun Non-rumpun


DJUFRI – Ekologi Padang Rumput TN Baluran

Bila faktor yang mempengaruhi kehadiran spesies pada suatu tempat relatif kecil, maka ini merupakan kesempatan semata dan biasanya menghasilkan pola distribusi spesies secara acak (Greig-Smith, 1983). Hasil perhitungan pola distribusi spesies di wilayah penelitian menunjukkan kenyataan yang berbeda, karena sebagian besar spesies menunjukkan pola distribusi mengelompok. Dengan demikian, tentu ada faktor lain yang lebih berpengaruh tetapi bukan faktor pH dan kelengasan tanah yang diukur dalam penelitian ini. Gejala ini mungkin dapat dipelajari melalui penelitian lebih lanjut melalui pengukuran parameter lingkungan lain, dan mengamati pengaruh kompetisi terhadap kehadiran spesies. Pada Tabel 2 juga ditunjukkan bahwa, nilai frekuensi nampaknya tidak mempunyai kecenderungan yang jelas terhadap pola distribusi spesies. Pola distribusi mengelompok dapat dihasilkan baik dari nilai frekuensi yang tinggi maupun rendah. Demikian juga halnya dengan pola distribusi teratur. Namun untuk pola distribusi acak pada umumnya dihasilkan dari spesies yang mempunyai nilai frekuensi tinggi. Pola distribusi spesies mengelompok pada umumnya mempunyai nilai densitas tinggi, dalam kasus ini paling tidak ≼ 2.09. Untuk pola distribusi teratur tidak lebih besar dari 3.22, dan pola distribusi acak tidak lebih besar dari 2.98. Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa, melalui pendekatan distribusi Poisson terhadap pola distribusi spesies kelihatannya lebih ditentukan oleh nilai densitas dan bukan oleh nilai frekuensi. Hubungan life form dengan pola distribusi spesies Spesies kelompok rumpun mempunyai kecenderungan pola distribusi mengelompok lebih besar dibandingkan dengan pola distribusi teratur dan acak. Sedangkan di antara pola distribusi teratur dengan acak

185

relatif sama. Dengan demikian spesies kelompok rumpun pola distribusi mengelompok. Fenomena ini dapat dijelaskan karena kelompok rumpun mempunyai jumlah individu relatif banyak pada setiap kuadrat, dan perkembangbiakannya melalui rimpang (stolon) menghasilkan anakan vegetatif yang masih dekat dengan induknya. Spesies kelompok non-rumpun mempunyai kecenderungan pola distribusi acak lebih besar daripada pola distribusi teratur dan mengelompok. Sedangkan antara pola distribusi acak dengan teratur relatif sama. Dengan demikian spesies kelompok nonrumpun mempunyai pola distribusi khas acak atau teratur. Fenomena ini dapat dijelaskan karena kelompok non-rumpun pada umumnya mempunyai nilai kekerapan sangat tinggi, namun tidak didukung oleh jumlah individu yang banyak pada setiap kuadratnya. Selain itu propagul yang dihasilkan jatuh dan tumbuh tidak harus dekat dengan induknya, karena penyebarannya dipengaruhi oleh faktor luar, misalnya angin atau dibawa oleh hewan tertentu. Dapat juga disebabkan karena adanya kompetisi dengan spesies kelompok rumpun, sehingga pertumbuhannya terhambat pada kisaran ruang relatif sempit. Temuan ini membuka peluang lebih lanjut melalui penelitian yang rinci di laboratorium, sehingga diperoleh keterangan yang dapat memperjelas fakta yang dihasilkan melalui pengamatan di lapangan (autekologi). Hasil perhitungan nilai probabilitas setiap life form mengindikasikan bahwa ada hubungan yang kuat antara life form dengan pola distribusi spesies. Probabilitas untuk memperoleh pola distribusi mengelompok untuk kelompok rumpun lebih besar daripada kelompok non-rumpun, namun berbanding terbalik terhadap pola distribusi teratur dan acak. Untuk spesies kelompok non-rumpun terjadi sebaliknya.

Tabel 3. Asosiasi Seluruh Pasangan Spesies dan Probabilitas Pola Distribusi. No. 1. 2. 3.

Asosiasi

Jumlah

%

Positif Negatif Tidak jelas

246 224 58

46,59 42,42 10,99

Jumlah

528

100,00

Pola Distribusi Mengelompok Teratur Acak

Rumpun

Non-Rumpun

80 13 7

50 28 22

100

100


186

B I O D I V E R S I T A S Vol. 3, No. 1, Januari 2002, hal. 181-188

Brachiaria reptans - Schlerachne punctata - - Dichantium coricosum Keterangan: + ∗ ∗ Themeda arguens + = Asosiasi positif + + + ∗ Heteropogon contortus - = Asosiasi negatif ∗ = Asosiasi tidak jelas - - - - + Thespesia lanpas + - - + + - Triumfetta bartamia + + ∗ + ∗ - + Pogonatherum paniceum - + - + - - - ∗ Dactyloctenium aegyptium + - - + + + + + - Echinochloa colonum + + + + + - - + - - Stachytarpheta indica + + + + + + + + + + - Ocimum basilicum - - + + - + - ∗ - - + + Acalypha indica + + + + + - - ∗ - - + - - Phyllanthus debilis - + - - ∗ + ∗ - + - ∗ + - ∗ Clitoria ternatea + + - + - + - + + ∗ + - ∗ - - Rotboelia exaltata - - - + + + + ∗ + ∗ ∗ - ∗ - - + Eleusine indica - ∗ - + - ∗ + + + - + + - + + ∗ + Sida acuta - - + + ∗ + - + - - + + + - + ∗ ∗ - Eragrostis tenella + + + + + + - + - - + ∗ - + - + - - + Amaranthus gracilis + - + + ∗ + + + ∗ + + - + - + + + - + + Indigofera sp + + + + + - + ∗ - + + ∗ + - ∗ ∗ ∗ - + + + Crotalaria setriata + - + + - + ∗ + + - - + + - - + - - + + + + Desmodium triflorum + + - + ∗ + - - + + + + + - - + + ∗ + + + ∗ + Digitaria ciliaris + + - + ∗ - - + - ∗ - + + - + - - + + ∗ + - + + Hedyotis corymbosa - - - + ∗ + ∗ + - + - ∗ - ∗ + - + - - - - - - - ∗ Polytrias amaura - - - + - - + ∗ - + - + + - + - ∗ - - - + ∗ + ∗ + + Cyperus kylingia - - - ∗ + - - - - - + - - + + - ∗ - + + - - - - - + - Achyranthes aspera + + + + + - - + - - + + + + - + ∗ - - + + + + + + - - + Eragrostis amabilis - - - - - - + - - - + + - - + - + - - - - + + - - + + + - Mimosa pudica - + - - - - + - - - - + + - - - - - - - - - - - - + + + - + Calotropis gigantea + - - + - - + + - + ∗ + - - - - ∗ - - - + ∗ + - + + + + - + + Momordica charantia + + - ∗ ∗ - + + - + - + + - - - - + - - + ∗ + ∗ + + + + - + + + Moghania macrophylla

Gambar 1. Matriks asosiasi di antara 33 spesies tumbuhan penyusun padang rumput di wilayah penelitian.

Peningkatan probabilitas pola distribusi mengelompok dan memperkecil probabilitas pola distribusi acak dan teratur. Spesies kelompok non-rumpun terjadi sebaliknya, meskipun nilai probabilitas yang ditunjukkan tidak terlalu mencolok, ini hanya karena terbatasnya jumlah unit sampel. Asosiasi spesies Hasil perhitungan asosiasi seluruh pasangan spesies disajikan pada Gambar 1. Pengelompokan secara rinci disajikan pada Tabel 3. Berdasarkan Tabel 3 diketahui bahwa secara keseluruhan besarnya peluang asosiasi positif dan negatif relatif sama. Dengan demikian spesies penyusun padang rumput Baluran mempunyai peluang asosiasi positif > 50% lebih banyak daripada spesies asosiasi negatif > 50%. Hasil ini merupakan

indikasi bahwa spesies penyusun padang rumput daerah ini umumnya menunjukkan toleransi untuk hidup bersama. Penentuan asosiasi spesies dengan pendekatan tabel Contingency ternyata belum memberikan indikasi tentang derajat asosiasi. Hasil perhitungan seluruh pasangan spesies dapat ditemukan kenyataan berikut (Gambar 1), yaitu: (a) Pasangan spesies yang memiliki frekuensi tinggi tidak selalu menghasilkan asosiasi positif, tetapi dapat juga negatif, contohnya antara Brachiaria reptans dengan Dichantium coricosum; (b) Pasangan spesies yang memiliki frekuensi rendah tidak selalu menghasilkan asosiasi negatif, tetapi dapat juga positif, contohnya antara Calotropis gigantea dengan Polytrias amoura; (c) Pasangan spesies yang mempunyai


DJUFRI – Ekologi Padang Rumput TN Baluran

187

Tabel 4. Indeks asosiasi seluruh pasangan spesies. No. 1. 2. 3. 4.

Indeks Asosiasi 1.00-0.75 0.74-0.49 0.48-0.23 < 0.22 Jumlah

Keterangan Sangat Tinggi (ST) Tinggi (T) Randah (R) Sangat Rendah (SR)

nilai teramati sama dengan diharapkan tidak dapat ditentukan tipe asosiasinya, contohnya antara Themeda arguens dengan Schlerechne punctata. Beberapa contoh lainnya dapat ditemukan pada matriks setengah. Berdasarkan fakta ini, penentuan asosiasi dengan tabel Contingency sebaiknya dilanjutkan dengan pengujian nilai indeks asosiasi, sehingga dapat diketahui apakah asosiasi positif pada matriks setengah juga menunjukkan nilai indeks asosiasi yang tinggi. Demikian juga sebaliknya untuk asosiasi negatif. Dengan demikian hasil perhitungan indeks asosiasi tentunya memperkuat kesimpulan hasil perhitungan tabel Contingency, bahwa pada umumnya spesies penyusun padang rumput daerah Baluran menunjukkan toleransi untuk hidup bersama pada area yang sama, atau ada hubungan timbal balik yang saling menguntungkan, khususnya dalam pembagian ruang hidup. Di luar pengaruh interaksi pada suatu komunitas, setiap tumbuh saling memberi tempat hidup pada suatu area dan habitat yang sama. Integritas pada suatu komunitas merupakan fenomena yang telah dibentuk dengan baik, adanya toleransi kebersamaan, sehingga terbentuk derajat keterpaduan (Mueller-Dombois & Ellenberg, 1974; Barbour et al, 1987). Dari kedua teknik perhitungan asosiasi, perhitungan indeks asosiasi lebih baik daripada perhitungan tabel Contingency. Sebab jika kehadiran pasangan spesies yang

Jumlah Kombinasi 176 268 73 11 528

Persentase (%) 33.33 50.76 13.83 2.08 100.00

ingin dilihat asosiasinya rendah, maka indeks asosiasinya juga rendah, demikian juga sebaliknya. Tidak demikian halnya dengan perhitungan tabel Contingency. Sesungguhnya yang paling baik adalah penggabungan kedua teknik tersebut. Indeks asosiasi Untuk mengetahui sampai seberapa besar derajat asosiasi yang ditunjukkan setiap pasangan spesies pada matriks setengah, dapat diuji dengan menghitung nilai indeks asosiasi (Tabel 4). Umumnya pasangan spesies yang diamati mempunyai nilai indeks asosiasi tinggi dan sangat tinggi, mencapai 84.09% dan hanya sebagian kecil saja yang menunjukkan derajat asosiasi rendah dan sangat rendah sebesar 15.91%. Interaksi spesies Penentuan tipe interaksi dalam penelitian ini belum mengungkapkan pengaruh interaksi di antara spesies tumbuhan, juga tidak sampai pada pemberian nama interaksi, misalnya mutualisme, kompetisi, amensalisme, dan lainlain. Meskipun demikian, penelitian ini akan membuka peluang penelitian lanjutan untuk mengetahui pengaruh interaksi di antara spesies di wilayah penelitian, sehingga dinamika komunitas di tempat tersebut dapat diramalkan untuk masa mendatang. Hasil perhitungan tipe interaksi seluruh pasangan spesies disajikan pada Tabel 5 dan 6.

Tabel 5. Tipe interaksi seluruh pasangan spesies dengan pendekatan pola distribusi. No. 1. 2. 3.

Tipe Interaksi

Jumlah Kombinasi

Persentase (%)

On (spesies A dan B berhubungan) Off (spesies A dan B berpisah) Tanpa interaksi (spesies A dan B acak)

65 35 428

12.31 6.63 81.06

Jumlah

528

100.00


B I O D I V E R S I T A S Vol. 3, No. 1, Januari 2002, hal. 181-188

188

Tabel 6. Tipe interaksi “On” dan “Off” seluruh kombinasi spesies. Tipe Interaksi

Jumlah Kombinasi

1. 2. 3.

ON

65

Rumput dengan rumput Rumput dengan non-rumput Non-rumput dengan non-rumput

15.38 38.47 46.15

1. 2. 3.

OFF

35

Rumput dengan rumput Rumput dengan non-rumput Non-rumput dengan non-rumput

Jumlah

100

2.86 48.57 48.57 200.00

No.

Kombinasi

Mengacu pada Tabel 5, pada umumnya tipe interaksi adalah acak (81.06%). Artinya lokasi sembarang tumbuhan tidak mempunyai arah dan posisi terhadap spesies yang lainnya. Fenomena ini merupakan karakteristik vegetasi yang umum dijumpai pada suatu komunitas bila kondisi lingkungan relatif homogen (Greigh-Smith, 1983). Dengan demikian berdasarkan interaksi yang dihasilkan, ini lebih mendukung pandangan kontinum (konsep individualistik tumbuhan), artinya komunitas tidak lebih besar daripada total bagiannya, karena bukti interaksi yang ditampilkan tidak cukup kuat untuk mengatakan bahwa komunitas merupakan unit terpadu. Mengacu pada Barbour et al (1987) level interaksi dan interdepedensi antara spesies penyusun tergolong rendah atau tidak spesifik. Bila diperhatikan lebih rinci, hasil perhitungan tipe interaksi, baik “On” maupun “Off”, umumnya dihasilkan dari kombinasi pasangan spesies antara rumput dengan rumput, dan di antara non-rumput (Tabel 6). Dengan demikian hasil ini mengindikasikan bahwa keberadaan spesies rumput akan tetap dominan. Temuan fakta di alam ini berdasarkan atas tipe interaksi yang ditunjukkan. Kalaupun kompetisi berpengaruh terhadap distribusi spesies pada komunitas yang diteliti, maka yang paling terpengaruh adalah spesies non-rumput.

UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih diucapkan kepada DIKTI (Direktorat Pendidikan Tinggi) yang telah membiayai penelitian ini dan kepada Kepala Taman Nasional Baluran Jawa Timur yang telah memberi ijin untuk melakukan penelitian.

Persentase (%)

KESIMPULAN Dari hasil penelitian ini dapat dirumuskan beberapa kesimpulan: Ada hubungan antara life form dengan pola distribusi spesies tumbuhan. Kelompok rumpun cenderung pola distribusinya mengelompok, dan bentuk non-rumpun cenderung pola distribusinya acak dan teratur. Spesies dengan pola distribusi mengelompok, cenderung asosiasi negatif terhadap spesies dengan pola distribusi acak dan teratur. Sedangkan di antara spesies dengan pola distribusi teratur cenderung asosiasi positif. Berdasarkan tipe interaksi yang dihasilkan, ternyata hasil tersebut lebih mendukung konsep individualistik asosiasi tumbuhan (pandangan kontinum) daripada komunitas sebagai unit terpadu (pandangan organismik).

DAFTAR PUSTAKA Barbour, G.M., J.K. Busk and W.D. Pitts. 1987. Terrestrial Plant Ecology. New York: The Benyamin/ Cummings Publishing Company, Inc. Chapman, S.B. and P.D. Moore. 1986. Methods in Plant Ecology. Oxford-London: Blackwell Scientific Publication. Greig-Smith, P. 1983. Quantitative Plant Ecology. Iowa: University Press. Ludwig, J.A. and J.F. Reynolds. 1988. Statistical Ecology. United States of America. Mueller-Dombois, D. and H. Ellenberg. 1974. Aims and Methods of Vegetation Ecology. New York: John Wiley and Sons. Resosoedarma, R.S. 1989. Pengantar Ekologi. Bandung: CV Remaja Karya. Speeding, C.R.M. 1971. Grassland Ecology. OxfordLondon: The Clarendon Press.


BIODIVERSITAS Volume 3, Nomor 1 Halaman: 189-195

ISSN: 1412-033X Januari 2002

Produktifitas Primer Perairan Waduk Cengklik Boyolali Primary Productivity of the Cengklik Dam Boyolali ARI PITOYO, WIRYANTO Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta 57126 Diterima: 20 Pebruari 2001. Disetujui: 23 Juni 2001

ABSTRACT Primary productivity dynamic of the water ecosystem was conducted faster in the last decades. This study was intended to find out the primary productivity of Cengklik dam Boyolali, Central Java to explain the ecosystem dynamic and to lead the maintenance of dam. This study used quantitative methods in completely randomized group design (CRD), and the data was analized by Analysis of Variance (ANAVA). Samples were taken horizontally in four sampling point, respectively in the riparian zone, around of the floating net (“karambaâ€?), in the center of dam water and around of the ex-paddy fields. There were taken vertically in three-depth point in each of the sampling point, respectively 0.5 meter, 1.5 meter, and 2.5 meter. The results showed that the gross primary productivity of the dam was 11.122.500-22.545.600 mgC/m3/days, and the primary productivity differences in each of the point sampling caused by light intensity, nutrient supply, and abundance of the chlorophyll organisms. Š 2002 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta Key words: primary productivity, Cengklik dam

PENDAHULUAN Waduk Cengklik Boyolali Jawa Tengah, merupakan tipe waduk tunggal guna yang berfungsi sebagai penyedia air bagi sawahsawah di sekitarnya. Namun waduk ini juga telah digunakan untuk perikanan tangkap dan karamba skala kecil, bahkan Pemerintah Kabupaten Boyolali telah menyiapkan program pengembangan wisata air. Untuk memantau fungsi waduk diperlukan informasi data-data limnologi akurat sehingga perlu dilakukan pengukuran aspek-aspek fisika, kimia, dan biologi perairan secara kontinyu. Produktivitas primer adalah laju produksi karbon organik per satuan waktu yang merupakan hasil penangkapan energi matahari oleh tumbuhan hijau untuk diubah menjadi energi kimia melalui fotosintesis (Michael, 1995; Odum, 1993). Produktivitas primer kotor adalah jumlah total fotosintesis yang dilakukan oleh tumbuhan dalam jangka waktu tertentu. Sedangkan produktivitas

primer bersih adalah besarnya sintesis senyawa karbon organik selama proses fotosintesis dikurangi besarnya aktivitas total respirasi pada terang dan gelap dalam jangka waktu tertentu (Folkowski dan Raven, 1997). Besarnya produktivitas primer suatu perairan mengindikasikan besarnya ketersediaan nutrien terlarut (Krismono dan Kartamihardja, 1995). Perbedaan tempat dan waktu menyebabkan perbedaan kondisi fisika, kimia, dan biologi perairan (Barnes dan Mann, 1994). Cahaya merupakan komponen utama dalam proses fotosintesis dan secara langsung bertanggung jawab terhadap nilai produktivitas primer perairan (Folkowski dan Raven, 1997). Penetrasi cahaya menembus kolom air akan mengalami pelemahan oleh proses refleksi dan difraksi karena adanya partikel-partikel terlarut, sehingga kurva intensitas cahaya menunjukkan grafik penurunan secara eksponensial dalam arah vertikal ke bawah. Hal ini mengakibatkan fotosintesis tereksploitasi


190

B IOD I VER SI TA S Vol. 3, No. 1, Januari 2002, hal. 189-195

di permukaan perairan. Titik yang menunjukkan keseimbangan antara proses fotosintesis dan respirasi sering disebut titik kompensasi (Barnes dan Mann, 1994; Folkowski dan Raven, 1997; McNaughton dan Wolf, 1990). Pasokan nutrien pada ekosistem danau terjadi dalam dua jalur, yaitu dekomposisi senyawa-senyawa organik menjadi anorganik oleh organisme dekomposer dan masukan dari sungai yang bermuara di danau. Di daerah tropis jumlah nutrien terlarut relatif lebih banyak, karena suhu yang hangat memacu proses dekomposisi bahan organik oleh mikroorganisme (Folkowski dan Raven, 1997). Proses fotosintesis berjalan melalui mekanisme enzimatis, sehingga berlangsung pada rentang suhu tertentu. Kenaikan suhu akan memacu enzim mengkatalis proses fotosintesis, tetapi suhu yang terlalu tinggi akan menyebabkan degradasi enzim dan penghambatan fotosintesis (Folkowski dan Raven, 1997). Distribusi biomassa organisme fotoautotrof mempengaruhi produktivitas primer perairan (Folkowski dan Raven, 1997). Menurut Jones dan Francis (1982), distribusi biomassa organisme fotoautotrof dapat terjadi secara temporal dan spatial. Distribusi temporal sangat dipengaruhi siklus matahari tahunan dan harian, misalnya alga motil yang melakukan migrasi vertikal harian. Distribusi temporal juga disebabkan siklus reproduksi, seperti peningkatan jumlah beberapa jenis fitoplankton pada bulan-bulan tertentu. Produktivitas primer dapat diukur dengan beberapa cara, misalnya dengan metode C14, metode klorofil, dan metode oksigen (Michael, 1995). Metode oksigen dengan botol gelapterang banyak digunakan, meskipun hasilnya terbatas dalam botol (Odum, 1993). Boehme (2000) memperkenalkan metode oksigen melalui pembacaan kurva oksigen harian. Dengan metode ini sampel yang diteliti tidak dibatasi ukurannya dan dapat diukur setiap saat, namun ada kemungkinan terjadi persinggungan oksigen di atmosfer dan di dalam air. Banyaknya model perhitungan produktivitas primer perairan mengakibatkan hasil yang didapat berbeda-beda. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui besarnya produktivitas primer perairan Waduk Cengklik, Boyolali, Jawa Tengah, dan faktorfaktor yang mempengaruhi produktivitas primer tersebut.

BAHAN DAN METODE Waktu dan tempat penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober 2000 s.d. Januari 2001 di Waduk Cengklik, Boyolali, Jawa Tengah. Pengambilan sampel dilakukan secara horisontal dan vertikal. Pada arah horizontal ditentukan empat stasiun pengamatan yang mewakili karakteristik habitat berbeda. Stasiun I terletak di tepi waduk yang dipenuhi formasi Hydrilla verticillata, stasiun II terletak di sekitar empang/karamba, stasiun III terletak di tengah-tengah waduk, dan stasiun IV terletak di sekitar bekas sawah. Pada setiap stasiun dilakukan pengambilan sampel secara vertikal pada tiga titik kedalaman, yaitu 0,5 m, 1,5 m, dan 2,5 m di bawah permukaan air. Alat dan bahan Alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi alat untuk penghitungan produktivitas primer perairan, kemelimpahan dan keanekaragaman fitoplankton, serta pengukuran faktor fisika-kimia perairan, diantaranya: botol oksigen gelap-terang, oksimeter, termometer, jala plankton, secchi disk, water sampler tipe khremmer, turbidimeter, conductivity meter, pH meter, Sadgewick Rafter Counting Cell (SRCC) dan mikroskop cahaya. Bahan yang digunakan meliputi bahan untuk fiksasi sampel plankton yaitu formalin 4%, serta bahan untuk operasional peralatan, seperti untuk kalibrasi dan standarisasi yaitu: LGY dan LEG. Cara kerja Data yang diamati meliputi: produktivitas primer perairan, diversitas dan kemelimpahan fitoplankton, serta data pengukuran faktor fisika-kimia yang meliputi: suhu, transparansi cahaya, turbiditas, pH, konduktivitas, kadar oksigen kimiawi (COD), dan kadar oksigen biokimia (BOD). Produktivitas primer perairan. Penghitungan produktivitas primer dilaku-kan dengan menggunakan kombinasi dua metode oksigen, yaitu metode botol oksigen gelap-terang dan analisis kurva oksigen diurnal. Metode botol gelap dan terang untuk menentukan produktivitas primer fitoplankton (Michael, 1995), sedang analisis kurva oksigen untuk penghitungan produktivitas primer total perairan (Boehme, 2000).


PITOYO dan WIRYANTO – Produktifitas Primer Waduk Cengklik

Metode botol oksigen gelap-terang. Prosedur kerja metode ini meliputi: pengambilan sampel air, inkubasi sampel, dan penghitungan. Sampel air diambil dengan water sampler tipe khremmer dan dicegah persinggungan langsung dengan udara atmosfir. Sampel air kemudian dimasukkan ke dalam botol oksigen gelap dan terang sampai penuh dan dihindari adanya gelembung udara. Air dalam botol sampel diukur kadar oksigen terlarutnya sebagai kadar DO awal. Kemudian botol oksigen gelap dan terang yang telah diisi penuh sampel air, disuspensikan ke dalam kolom air sesuai dengan kedalaman pengambilan sebelumnya. Waktu inkubasi mulai jam 04.00 - 12.00 WIB. Selanjutnya sampel diambil dan diukur kadar oksigen terlarutnya sebagai kadar DO akhir. Konsumsi oksigen pernapasan, produktivitas primer kotor, dan produktivitas primer bersih dihitung dengan persamaan berikut : • Konsumsi oksigen pernapasan = kadar oksigen awal – kadar oksigen akhir botol gelap. • Produktivitas primer kotor = kadar oksigen akhir botol terang – kadar oksigen akhir botol gelap. • Produktivitas primer bersih = produktivitas primer kotor – konsumsi oksigen pernapasan. Metode analisis kurva oksigen. Prinsip metode ini adalah menghitung produktivitas primer perairan secara total, hasil dari aktivitas metabolisme fitoplankton dan makrofita, melalui pembacaan pulsa oksigen harian/diurnal. Adapun langkah-langkahnya adalah sebagai berikut: Jumlah konsentrasi oksigen terlarut dalam perairan diukur dengan oksimeter setiap dua jam sejak matahari belum terbit sampai terbenam. Hasil pengukuran tersebut diplot pada sebuah koordinat, dengan konsentrasi oksigen pada sumbu Y (ordinat) dan waktu dalam sumbu X (axis). Produktivitas primer dihitung melalui pembacaan pulsa oksigen dengan memasukkan dalam persamaan:

δC = K 2 (C s − C ) + BPP + R δT dimana: C : konsentrasi oksigen terlarut K2(Cs -C): pengaruh oksigen atmosfer (nol) BPP : Produktivitas Primer Bruto R : Respirasi komunitas (konstan)

191

Diversitas dan kemelimpahan fitoplankton. Sampel plankton diambil pada setiap titik pengamatan dari keempat stasiun. Setiap titik diambil 10 liter air sampel dan dipekatkan dengan jala plankton no. 25, hingga tinggal 10 ml. Hasil pemekatan dimasukkan ke dalam botol flakon dan difiksasi dengan formalin 4%. Sampel plankton kemudian diamati di bawah mikroskop cahaya menggunakan SRCC. Kemelimpahan fitoplankton dihitung dengan rumus: (a x 1000) c n = l dengan: n = jumlah plankton per liter air a = jumlah rata-rata plankton dalam 1 ml subsampel c = ml plankton pekat l = sampel air semula dalam liter Faktor fisika-kimia. Parameter fisika-kimia yang diukur dalam penelitian ini adalah suhu, transparansi cahaya, turbiditas, pH, konduktivitas, kadar/ kebutuhan oksigen kimiawi (COD), dan kadar/ kebutuhan oksigen biokimia (BOD). Analisis data Percobaan ini menggunakan rancangan acak kelompok lengkap (RAKL) dengan perlakuan ke arah horisontal membentuk empat stasiun pengamatan, dan ke arah vertikal dengan tiga titik kedalaman kolom air. Data yang diperoleh dianalisis secara ANAVA untuk mengetahui beda nyata antara ketiga titik sampling pada empat stasiun.

HASIL DAN PEMBAHASAN Produktivitas primer perairan Produktivitas primer suatu ekosistem perairan pada dasarnya merupakan hasil perubahan energi cahaya matahari menjadi energi kimia dalam tubuh organisme autotrof perairan tersebut melalui fotosintesis. Sebagian organisme autotrof dapat melakukan sintesis tanpa bantuan cahaya matahari, namun persentasenya sangat kecil (Barnes dan Mann, 1994), sehingga besarnya produktivitas primer perairan sangat tergantung aktivitas dan efektivitas fotosintesis organisme fotoautotrof. Laju perubahan energi pada suatu sistem sulit dihitung secara langsung, sehingga


B IOD I VER SI TA S Vol. 3, No. 1, Januari 2002, hal. 189-195

192

produktivitas primer dihitung secara tidak sampai di dasar perairan (kedalaman 2,5 m). langsung dengan mengikuti alur fotosintesis. Hal ini ditunjukkan dengan data produktivitas Salah satu alternatif yang digunakan untuk primer kotor fitoplankton pada setiap menghitung produktivitas primer perairan kedalaman adalah positif. Sedangkan dari adalah dengan menghitung besarnya pengukuran produktivitas primer bersih perubahan oksigen dalam suatu medium, fitoplankton didapatkan adanya angka negatif, karena oksigen merupakan zat yang akan misalkan di stasiun II pada kedalaman 1,5 m dilepaskan dalam suatu siklus fotosintesis, dan 2,5 m. Hal ini menunjukkan bahwa proses dan digunakan untuk penguraian hasil respirasi komunitas perairan tersebut lebih besar daripada fotosintesis. fotosintesis dalam respirasi. Distribusi biomassa organisme fotoautotrof terjadi secara vertikal dan horisontal. Distribusi Tabel 2. Hasil pengukuran produktivitas primer dengan vertikal fitoplankton pada umumnya terkait erat metode kurva oksigen diurnal pada empat stasiun dengan intensitas cahaya matahari yang pengamatan di waduk Cengklik Boyolali Jawa Tengah menembus perairan. Stratifikasi cahaya dalam kolom air, menyebabkan kemelimpahan Stasiun Kedalaman GPP Respirasi NPP fitoplankton terkonsentrasi pada permukaan (meter) mgC/m3/hari mgC/m3/hari mgC/m3/hari air. Sedangkan distribusi horisontal organisme I 0,5 21.643.780 1.578.192 20.065.584 fotoautotrof terkait erat dengan kondisi fisik lingkungannya (McNaughton dan Wolf, 1990). II 0,5 11.122.500 676.368 10.446.128 Dalam penelitian ini dihasilkan dua data III 0,5 13.527.360 901.824 12.625.536 produktivitas primer fitoplankton, yaitu IV 0,5 22.545.600 1.278.192 20.967.408 produktivitas primer hasil pengukuran dengan metode botol oksigen gelap-terang (Tabel 1), dan produktivitas primer total dari hasil Keterangan: Analisis hanya dilakukan pada daerah pembacaan kurva oksigen (Tabel 2). permukaan, karena pada daerah dasar tidak didapatkan pulsa yang konstan. Tabel 1. Hasil pengukuran produktivitas primer fitoplankton dengan metode botol oksigen gelap-terang mgC/m3/hari pada empat stasiun pengamatan di Waduk Cengklik Boyolali Jawa Tengah Stasiun Kedalaman GPP Respirasi NPP (meter) mgC/m3/hari mgC/m3/hari mgC/m3/hari

I II III IV

0,5 1,5 2,5 0,5 1,5 2,5 0,5 1,5 2,5 0,5 1,5 2,5

1.051.680 375.600 638.520 488.280 300.480 1.201.920 1.201.920 676.080 1.577520 488.280 413.160

300.288 150.144 487.968 1.313.760 675.648 150.144 900.864 788.256 150.144 375.360 375.360

751.392 225.456 150.552 -825.480 -375.168 1.051.776 301.056 -112.176 1.427.376 112.920 37.800

Keterangan:GPP = produktivitas primer kotor, NPP = produktivitas primer bersih. Pada stasiun I kedalaman 2,5 m tidak dilakukan pengambilan sampel karena kedalamannya tidak mencukupi. Berdasarkan data Tabel 1 dapat diketahui bahwa fotosintesis masih dapat berlangsung

Gambar 1. Produktivitas primer kotor fitoplankton pada empat stasiun pengamatan di Waduk Cengklik.

Produktivitas primer kotor rata-rata tertinggi terdapat di stasiun IV pada kedalaman 0,5 m dengan besar 1.577520 mgC/m3/hari (Gambar 1), sedangkan produktivitas terendah ditemukan di stasiun I pada kedalaman 2,5 m. Produktivitas primer kotor menurun sejalan dengan kedalaman air. Perbedaan antara produktivitas primer kotor pada kedalaman 0,5


PITOYO dan WIRYANTO – Produktifitas Primer Waduk Cengklik

m, 1,5 m, dan 2,5 m signifikan pada taraf uji 0,05. Hal ini disebabkan adanya proses pelemahan cahaya dalam perairan, sehingga proses fotosintesis terhambat di daerah dasar. Pengukuran produktivitas primer dengan menggunakan metode analisis kurva oksigen menunjukkan adanya perbedaan hasil dengan metode botol oksigen gelap-terang (Gambar 2.). Hal ini dimungkinkan adanya pengaruh tumbuhan makrofita seperti H. verticillata yang mendominasi perairan. Dengan metode kurva oksigen, masukan yang diberikan tumbuhan makrofita, dalam hal ini H. verticillata ikut terbaca. Analisis kurva oksigen diurnal hanya dilakukan pada daerah permukaan, karena pada daerah dasar tidak didapatkan pulsa yang konstan. Suatu fenomena yang perlu diteliti lebih lanjut. Kecenderungan produktivitas primer yang semakin besar – terutama akibat dominasi tumbuhan air H. verticillata pada permukaan perairan Waduk Cengklik – dapat menurunkan

193

mgC/m3/hari 25000000 20000000 15000000 10000000 5000000 0 STASIUN I

STASIUN II STASIUN III STASIUN IV

Total

Fitoplankton

Gambar 2. Perbandingan antara besarnya produktivitas primer total (metode analisis kurva oksigen) dengan produktivitas primer fitoplankton (metode botol oksigen gelap-terang).

Tabel 3. Hasil pengamatan jenis dan kemelimpahan fitoplankton (Cyanophyceae, Chlorophyceae, dan Bacillariophyceae) pada empat stasiun pengamatan di Waduk Cengklik, Boyolali, Jawa Tengah. Nama Jenis P (/L)

D (/L)

STASIUN PENGAMATAN II III P D P D (/L) (/L) (/L) (/L)

0 30000 36000

4000 24000 22000

0 30000 16000

0 18000 14000

10000 80000 164000

6000 60000 80000

8000 60000 204000

4000 58000 100000

Chlorophyceae Microtammim sp. Spermatozoopus sp. Pediastrum sp. Binuclearia tatrana Chlorella sp. Ulotrix sp. Clamydomonas sp. Scenedesmus sp. Gonatozygon kinahan

2000 4000 4000 0 0 0 140000 4000 40000

0 6000 6000 0 4000 4000 72000 8000 12000

0 0 4000 0 0 4000 100000 4000 8000

2000 2000 2000 0 0 2000 50000 2000 10000

0 8000 6000 6000 10000 4000 180000 6000 28000

0 4000 0 2000 8000 12000 134000 2000 14000

0 6000 14000 4000 18000 10000 228000 4000 32000

0 4000 6000 2000 10000 4000 156000 2000 28000

Baccilariophyceae Pinnularia Nobilis Suriella striatula Campilodisoma sp. JUMLAH TOTAL

0 10000 0 270000

2000 6000 0 170000

8000 0 0 174000

0 0 0 102000

0 0 20000 522000

0 0 0 322000

0 0 24000 612000

0 0 24000 398000

I

Cyanophyceae Oscilatoria sp. Croococcus sp. Spirulina sp.

Keterangan: P = permukaan (kedalaman 0,5 m), D = dasar (kedalaman 2,5 m).

IV P (/L)

D (/L)


B IOD I VER SI TA S Vol. 3, No. 1, Januari 2002, hal. 189-195

194

kualitas perairan. Oleh karena itu diperlukan pengendalian secara kontinyu terhadap perkembangan biomassa tumbuhan ini, disamping itu perlu dicegah peningkatan kesuburan unsur hara perairan secara allochtonous, baik akibat kegiatan penduduk di sekitar waduk ataupun erosi lahan di bagian atas waduk. Pada empat stasiun pengamatan, angka produktivitas primer tertinggi dijumpai pada stasiun IV, yaitu sebesar 22.545.600 mgC/m3/ hari, sedangkan yang terendah dijumpai pada stasiun II sebesar 11.122.500 mgC/m3/hari. Tingginya angka produktivitas primer ini mencerminkan adanya kemantapan nutrien pada lokasi tersebut. Melihat perbandingan antara besarnya produktivitas primer kotor fitoplankton dengan metode botol oksigen gelap-terang dan metode kurva oksigen, maka dapat diprediksikan sumbangan makrofita terhadap produktivitas primer perairan di waduk Cengklik, yaitu sebesar 10.483.980 20.968.080 mgC/m3/hari. Tingginya angka produktivitas primer suatu perairan akan berakibat pada percepatan pendangkalan waduk, karena proses evaporasi berjalan cepat dan terjadi penumpukan sisa-sisa organisme mati di dasar perairan. Terlebih di daerah tropis tidak terjadi proses up-welling karena tidak adanya stratifikasi suhu yang mencolok pada perairan. Tingginya proses fotosintesis pada stasiun IV kemungkinan disebabkan masukan nutrien yang cukup tinggi dan efektivitas penangkapan cahaya oleh fitoplankton. Lokasinya yang terletak di dekat areal persawahan dan dekat dengan saluran outlet,

memungkinkan melimpahnya nutrien. Nutrisi dalam bentuk pupuk dari persawahan dapat memasuki perairan waduk dan mengalami proses dekomposisi oleh mikroorganisme perairan menjadi senyawa anorganik yang dapat memacu perkembangan organisme fotoautotrof. Pengukuran terhadap kebutuhan oksigen biokimia (BOD) menunjukkan bahwa pada stasiun IV BOD-nya tinggi. Hal ini berarti proses dekomposisi bahan organik juga tinggi. Efektivitas pemanfaatan cahaya matahari melalui mekanisme fotosintesis dalam ekosistem perairan dipengaruhi oleh kerapatan klorofil. Semakin banyak jumlah klorofil dalam suatu satuan luas akan meningkatkan aktivitas penangkapan cahaya yang selanjutnya dikonversi menjadi rantai karbon. Dalam penelitian ini kemelimpahan fitoplankton tidak terdistribusi secara merata pada setiap lokasi dan kedalaman. Kemelimpahan dan keanekaragaman fitoplankton terbesar dijumpai pada stasiun IV. Hal ini secara langsung akan mempengaruhi besarnya produktivitas primer pada lokasi tersebut. Diversitas dan kemelimpahan fitoplankton Pengukuran turbiditas menunjukkan bahwa stasiun III paling keruh (Tabel 4). Hal ini menyebabkan proses pelemahan cahaya lebih lambat dibandingkan stasiun lainnya. Dengan menggunakan secci-disk terbukti stasiun III mempunyai transparansi cahaya yang lebih besar daripada keempat stasiun lainnya, sehingga proses penurunan laju fotosintesis pada stasiun ini relatif lebih lambat daripada stasiun lainnya.

Tabel 4. Data hasil pengukuran faktor fisika kimia perairan Waduk Cengklik, Boyolali, Jawa Tengah. Stasiun

Kedalaman

I

0,5 1,5 2,5 0,5 1,5 2,5 0,5 1,5 2,5 0,5 1,5 2,5

II III IV

Suhu

31,5 27 28,5 27,6 27 29,3 28,5 27 29,3 27,4 27

Transparansi

Turbiditas

1,20

16

1,30

10

1,45

14

1,25

18

Konduktivitas

44 59,6 25,9 32 33 54 52 71 57 106 47

BOD

pH

1,2

6,9 6,8 7,28 6,5 5,7 7,5 6,5 6,6 10,5 6,0 6,0

1,3 1,7 2,6


PITOYO dan WIRYANTO – Produktifitas Primer Waduk Cengklik

Kemelimpahan fitoplankton di suatu kawasan mengekspresikan kerapatan klorofil pada kawasan tersebut. Klorofil berpengaruh secara langsung dalam produktivitas primer. Pengamatan fitoplankton pada keempat stasiun menunjukkan adanya perbedaan jenis, dan kemelimpahan di setiap lokasi dan titik sampling. Berdasarkan uji ANAVA perbedaan ini sangat signifikan pada taraf 0,05. Kemelimpahan fitoplankton tertinggi dijumpai di stasiun IV pada kedalaman 0,5 m yaitu 612.000 individu/liter, sedangkan yang terendah di stasiun II yaitu 170.000 individu/liter. Alga motil dan alga benang seperti Clamydomonas sp dan Spirulina sp merupakan jenis-jenis yang mendominasi. Kehadiran jenis ini dalam jumlah banyak merupakan salah satu indikator kesuburan perairan waduk dalam status eutrofik.

Pengukuran faktor fisika-kimia Pengkuran pH dan konduktivitas menunjukkan bahwa penurunan pH sejalan dengan kedalaman, diikuti kenaikan konduktivitas. Hal ini disebabkan proses dekomposisi bahan organik menyebabkan terbentuknya senyawasenyawa asam organik yang akan menurunkan pH, dan pelepasan senyawa anorganik yang akan memperkaya kandungan ion dalam perairan sehingga meningkatkan konduktivitas.

195

KESIMPULAN Produktivitas primer kotor permukaan perairan waduk Cengklik Boyolali Jawa Tengah tergolong tinggi berkisar antara 11.122.500 - 22.545.600 mgC/m3/hari. Produktivitas primer kotor yang tinggi terutama dipengaruhi oleh cahaya, konsentrasi nutrien, serta kepadatan klorofil fitoplankton dan makrofita.

DAFTAR PUSTAKA Krismono, A.S.N. dan Kartamihardja, S. 1995. Status trofik perairan Waduk Kedungombo, Jawa Tengah, sebagai dasar pengelolaan perikanannya. Jurnal Perikanan Indonesia 1 (3): 26 – 35. Barnes, R.S.K. dan K.H. Mann. 1994. Fundamentals of Aquatic Ecology. Oxford: Blackwell Scientific Publication. Boehme, M. 2000. Primary Production in Stream dan River. http://www.germany.edu/boehme Folkowski, P.G. dan A. J. Raven. 1997. Aquatic Photosynthesis. New York: Blacwell Science-USA. Jones, R.I. dan R.C. Francis. 1982. Dispersion patterns of phytoplankton in lakes. Hydrobiologia 86 (1-2): 21-28. McNaughton, S.J. dan L.L. Wolf. 1990. Ekologi Umum (Terjemahan). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Michael, P. 1993. Metode Ekologi Untuk Penyelidikan lapangan dan Laboratorium. Jakarta: Penerbit UI. Odum, P. 1995. Dasar-Dasar Ekologi (Terjemahan). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.


BIODIVERSITAS Volume 3, Nomor 1 Halaman: 196-200

ISSN: 1412-033X Januari 2002

Biodiversitas Hewan Permukaan Tanah Pada Berbagai Tegakan Hutan di Sekitar Goa Jepang, BKPH Nglerak, Lawu Utara, Kabupaten Karanganyar Biodiversity of animals that are living on the surface of soil under the forest stands surrounding Japan Cave of BKPH Nglerak, North Lawu, Karanganyar SUGIYARTO1,2, DHINI WIJAYA1, SUCI YULIATI RAHAYU1 1Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta 57126 2 Program Doktor Pascasarjana UNIBRAW Malang Diterima: 20 Desember 2001. Disetujui: 31 Januari 2002

ABSTRACT The study of animal biodiversity that lived on the surface of soil under the stands forest surround Japan Cave BKPH Nglerak, North Lawu, Karanganyar has bee done. Observations were conducted in 6 stations of different stands of forest. Animals were caught by pit fall trap method. In each catching was found about 22 animals consisting of 6 families with Simpson’s diversity index of 0.5. The result of identification indicates that those animals belong to 4 classes: Insects (9 orders), Arachnids (2 orders), Diplopods (2 orders), and Crustacean (1 order). The most diverse animals was found in the habitat of pine stands while the lowest one found in the habitat of cultivated plants. © 2002 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta Key words: biodiversity, surface soil animals, Japan Cave, Lawu.

PENDAHULUAN Keanekaragaman hayati tanah memegang peranan penting dalam memelihara keutuhan dan fungsi suatu ekosistem. Ada tiga alasan utama untuk melindungi keanekaragaman hayati tanah, yaitu: (a) secara ekologi; dekomposisi dan pembentukan tanah merupakan proses kunci di alam yang dilakukan oleh organisme tanah dan berperan sebagai ‘pelayan ekologi’ bagi eksistensi suatu ekosistem, (b) secara aplikatif; berbagai jenis organisme tanah telah dimanfaatkan dalam berbagai bidang misalnya pertanian, kedokteran dan sebagainya, dan (c) secara etika; semua bentuk kehidupan , termasuk biota tanah memiliki nilai keunikan yang tidak dapat digantikan (Hagvar, 1998). Organisme tanah dapat dikelompokkan berdasarkan pendekatan taksonomi dan fungsionalnya. Brussard (1998) membedakan tiga kelompok fungsional organisme tanah,

yaitu: biota akar, dekomposer dan ‘ecosystem engineer’. Wallwork (1970) mengelompokkan fauna tanah berdasarkan: ukuran tubuh (makrofauna, mesofauna dan mikrofauna), status keberadaannya di tanah (sementara/ transien, temporer, periodik dan permanen), preferensi habitat (hidrofil, xerofil) dan aktivitas makannya (karnivora, saprofagus, fungifagus dan sebagainya). Sedangkan Sugiyarto (2000) membedakan makrofauna tanah berdasarkan tempat aktivitasnya yang dominan, yaitu makrofauna tanah yang aktif di permukaan tanah dan di dalam tanah. Struktur dan komposisi organisme tanah, terutama makroinvertebrata, sangat tergantung pada kondisi lingkungannya. Decaens et al. (1998) melaporkan bahwa terdapat dua faktor lingkungan yang sangat berpengaruh terhadap komunitas makroinvertebrata tanah, yaitu: (a) struktur vegetasi yang menentukan keragaman mikrohabitat dan kondisi/tingkah laku makroinvertebrata dan (b) produksi dan


SUGIYARTO dkk. – Hewan Permukaan Tanah Hutan Lawu

kualitas seresah yang tergantung pada karakter vegetasinya serta populasi organisme herbivora.

BAHAN DAN METODE Waktu dan lokasi penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan Nopember 2001 (musim penghujan). Pengamatan dilakukan pada berbagai macam habitat/tegakan hutan di sekitar Goa Jepang. Kawasan di sekitar Goa Jepang ini merupakan bagian ekosistem Gunung Lawu yang terletak di bagian utara dengan kondisi topografi yang cenderung miring. Lokasi penelitian dibagi menjadi 6 stasiun pengamatan, yaitu: hutan campuran tanaman budidaya (stasiun I), hutan tanaman pinus (stasiun II), hutan alam jauh dari sungai (stasiun III), hutan bambu (stasiun IV), hutan alam dekat sungai (stasiun V) dan hutan alam di sebelah atas sungai (stasiun VI). Identifikasi dan kuantifikasi hewan yang ditemukan dilakukan di Laboratorium Biologi, FMIPA UNS Surakarta. Alat dan bahan Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi seperangkat perangkap Barber (botol koleksi, tiang penyangga dan seng penutup), mikroskop stereo, cawan petri dan pipet tetes. Bahan-bahan yang digunakan antara lain: formalin 4%, sabun dan akuades. Cara kerja Ditentukan 3 titik sampling secara acak pada masing-masing stasiun pengamatan. Perangkap Barber dipasang dengan cara menggali tanah sedalam dan seluas ukuran botol koleksi (botol/gelas air mineral). Setelah dipasang ke dalam lubang tanah, ke dalam botol koleksi dituangkan formalin 4% yang dicampur dengan sedikit larutan sabun hingga 1/3 tinggi botol koleksi. Di atas botol koleksi kemudian dipasang seng penutup sekitar 10 cm di atas permukaan tanah untuk menghindari masuknya air hujan. Pemasangan alat perangkap Barber dilakukan pada sore hari dan diambil pada pagi hari untuk hewan nokturnal, sedangkan untuk hewan diurnal pemasangan dilakukan pada pagi hari dan diambil pada sore hari. Hasil koleksi hewan permukaan tanah diidentifikasi dan dikuantifikasi di laboratorium dengan bantuan mikroskop stereo.

197

Analisis data Dari hasil identifikasi dan kuantifikasi hewan permukaan tanah dilakukan penghitungan nilai indeks diversitas dan indeks similaritas. Indeks diversitas dihitung sebagai indeks diversitas Simpson dengan rumus sebagai berikut: ID Simpson = 1 - Σ (pi)2 ; pi: proporsi individu ke-i pada komunitas. Indeks similaritas dihitung berdasarkan rumus indeks similaritas Jaccard yang dimodifikasi, yaitu: j IS Jaccard = --------------; a + b-j • j: jumlah kelompok hewan yang ditemukan pada kedua stasiun (a dan b). • a: jumlah kelompok hewan yang ditemukan pada stasiun a. • b: jumlah kelompok hewan yang ditemukan pada stasiun b.

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil identifikasi dan kuantifikasi hewan permukaan tanah yang ditemukan di kawasan sekitar Goa Jepang disajikan pada Tabel 1. Dari data tersebut dapat diketahui bahwa semua hewan permukaan tanah yang tertangkap termasuk dalam Filum Arthropoda dan terdiri dari 4 kelas, yaitu Insecta, Arachnida, Diplopoda dan Crustacea. Wallwork (1970) menjelaskan bahwa Filum Arthropoda merupakan kelompok hewan tanah yang pada umumnya menunjukkan dominansi tertinggi di antara organisme penyusun komunitas hewan tanah. Sugiyarto (2000) juga melaporkan bahwa kelompok makrofauna tanah di habitat hutan tanaman industri sengon sebagian besar termasuk dalam Filum Arthropoda. Pada tingkat ordo hewan-hewan permukaan tanah yang ditemukan di kawasan Goa Jepang dapat dikelompokkan ke dalam 14 ordo. Kelompok Insecta merupakan kelompok hewan permukaan tanah yang paling dominan, yaitu terdiri dari 9 ordo (Collembola, Hymenoptera, Coleoptera, Orthoptera, Plecoptera, Trichoptera, Thysanoptera, Lepidoptera dan Isoptera). Kelompok Arachnida terdiri dari dua ordo


B IOD I VER SI TA S Vol. 3, No. 1, Januari 2002, hal. 196-200

198

Tabel 1. Kelompok hewan permukaan tanah yang ditemukan di kawasan sekitar Goa Jepang, BKPH Nglerak, Lawu Utara, Kabupaten Karanganyar. No 1.

Kelas Insecta

Ordo Collembola Hymenoptera

Coleoptera

Orthoptera

2.

Arachnida

Plecoptera Trichoptera Thysanoptera Lepidoptera Isoptera Araneida

Acarina Polydesmoida Glomerida 4. Crustacea Amphipoda Keterangan: *)……….. belum teridentifikasi. 3.

Diplopoda

Familia *)…………….. Formicidae Pamphilidae Ichneumonidae Sterpsidae Cephidae Hydrophyllidae Erotylidae Scarabaeidae Chysomelidae Cleridae Carabidae Dermestidae *)……………. Mantidae *)…………….. *)……………… *)…………….. Satyridae Rhinotermitidae Araneidae Linyphiidae Lycosidae Salticidae Oxyopidae *)…………… Terpenacaridae *)…………… *)……………. *)…………….

yaitu Araneida dan Acarina. Kelompok Diplopoda terdiri dari dua ordo, yaitu Polydesmoida dan Glomerida. Sedangkan kelompok Crustacea terdiri dari satu ordo yaitu Amphipoda. Dijelaskan oleh Wallwork (1970) bahwa kebanyakan hewan makro-arthropoda tanah merupakan hewan-hewan penggali tanah, terutama dari kelompok serangga yang hidup di bawah seresah tumbuhan dan aktif memperbaiki struktur tanah. Dilihat dari aktivitasnya sebagian besar (13 kelompok) hewan permukaan tanah yang ditemukan diduga termasuk hewan nokturnal karena hanya ditemukan pada penangkapan malam hari. Sebaliknya 7 kelompok hewan permukaan tanah diduga termasuk hewan diurnal karena hanya ditemukan pada

Tangkapan malam (individu) 38 12 46 1 0 0 1 1 1 1 1 0 0 1 0 0 0 1 1 1 3 19 1 1 1 0 1 1 0 0

Tangkapan siang (individu) 37 10 55 0 2 1 0 0 0 0 0 2 1 0 1 1 1 0 2 0 1 10 2 0 3 2 0 2 1 2

penangkapan siang hari. Sedangkan 10 kelompok lainnya diduga termasuk hewan aritmis atau krepuskular karena dapat ditemukan baik pada penangkapan malam maupun siang hari. Banyaknya macam/ kelompok hewan permukaan tanah yang aktif pada malam hari (nokturnal) diduga berkaitan erat dengan karakteristik hewan tanah pada umumnya yang tidak menyukai intensitas cahaya matahari yang tinggi. Selain itu pada siang hari banyak hewan-hewan predator, misalnya burung yang aktif mencari mangsa berupa berbagai jenis hewan tanah. Hasil penelitian Sugiyarto (2000) menjelaskan bahwa diversitas makrofauna permukaan tanah berkorelasi negatif (-0,63) dengan tingkat penetrasi cahaya matahari. Hal


SUGIYARTO dkk. – Hewan Permukaan Tanah Hutan Lawu

199

Tabel 2. Cacah individu, cacah familia dan nilai indeks diversitas Simpson hewan permukaan tanah pada 6 stasiun pengamatan di kawasan sekitar Goa Jepang, BKPH Nglerak, Lawu Utara, Kabupaten Karanganyar. Variabel terukur 1.Tangkapan malam: Cacah individu Cacah Familia Indeks diversitas 2.Tangkapan siang: Cacah individu Cacah Familia Indeks diversitas Rata-rata nilai indeks diversitas Simpson

1

2

3

4

5

6

Rata-rata

33 6 0,22

56 8 0,60

6 5 0,61

15 4 0,48

13 4 0,26

10 6 0,59

22,17 5,5 0,46

4 2 0,50 0,36

65 8 0,66 0,63

17 7 0,58 0,59

12 9 0,66 0,52

31 11 0,62 0,44

7 4 0,49 0,54

22,67 6,8 0,58

ini menunjukkan bahwa hewan permukaan tanah pada umumnya menyukai tempattempat yang terlindung dari cahaya matahari atau menghindari cahaya matahari. Hasil perhitungan nilai indeks diversitas Simpson yang disajikan pada Tabel 2 terlihat bahwa diversitas tertinggi dari hewan permukaan tanah yang tertangkap pada siang dan malam hari ditemukan pada stasiun II (hutan Pinus) dengan nilai rata-rata indeks diversitas 0,63, sedangkan yang terendah pada stasiun I (tanaman budidaya) dengan nilai rata-rata indeks diversitas 0,36. Hal ini menunjukkan bahwa diversitas hewan permukaan tanah yang tinggi ditemukan di habitat hutan yang kondisi lingkungannya sudah stabil, terutama yang memiliki lapisan penutup tanah yang relatif tebal. Hutan Pinus merupakan hutan ‘evergreen’ yang menghasil-

kan seresah daun dalam jumlah banyak sepanjang tahun. Selain itu seresahnya sulit terdekomposisi sehingga akan berfungsi sebagai lapisan penutup tanah di lantai hutan. Lapisan penutup tanah ini bisa berfungsi sebagai sumber energi baik bagi komunitas hewan maupun komunitas tumbuhan bawah. Bagi komunitas hewan tanah lapisan penutup ini juga berfungsi sebagai tempat berlindung dari cahaya matahari langsung maupun dari serangan predator. Sebaliknya habitat tanaman budidaya pada umumnya mendapatkan perlakuan pengolahan lahan secara intensif sehingga ketersediaan seresah sebagai penutup tanah jumlahnya terbatas. Dari hasil analisis indeks similaritas yang disajikan pada Tabel 3 terlihat bahwa keenam stasiun pengamatan di sekitar Goa Jepang memiliki perbedaan yang besar dari daya

Tabel 3. Nilai indeks similaritas struktur komunitas hewan permukaan tanah yang ditangkap pada siang dan malam hari di 6 stasiun pengamatan di sekitar Goa Jepang, BKPH Nglerak, Lawu Utara, Kabupaten Karanganyar. Indeks similaritas hewan permukaan tanah tangkapan siang hari Rata-rata 20,55% III IV V VI

Stasiun

I

II

I

100,00

28,57

40,00

11,11

18,18

20,00

II

15,38

100,00

33,33

36,36

28,57

10,00

III

22,22

18,18

100,00

8,33

33,33

12,50

IV

11,11

30,00

12,50

100,00

11,76

7,14

V

28,57

33,33

14,29

75,00

100,00

9,09

VI 22,22 7,69 11,11 28,57 Indeks similaritas hewan permukaan tanah tangkapan malam hari Rata-rata 24,23 %

33,33

100,00


200

B IOD I VER SI TA S Vol. 3, No. 1, Januari 2002, hal. 196-200

dukung lingkungannya terhadap eksistensi hewan permukaan tanah. Hal ini ditujukkan dengan rendahnya nilai indeks similaritas antar stasiun pengamatan, yaitu 20,55% untuk hewan yang tertangkap pada siang hari dan 24,23% untuk hewan yang tertangkap pada malam hari. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa kondisi lingkungan hutan di sekitar Goa Jepang sangat beragam dan unik. Oleh karena itu dalam pengelolaannya juga membutuhkan strategi yang beragam dan spesifik untuk masing-masing lingkungan hutan yang ada.

Ditemukan 13 kelompok hewan permukaan tanah yang hanya aktif pada malam hari; 7 kelompok hewan permukaan tanah yang hanya aktif pada siang hari dan 10 kelompok hewan permukaan tanah yang aktif pada siang dan malam hari. Diversitas hewan permukaan tanah tertinggi ditemukan pada habitat hutan Pinus dengan nilai indeks diversitas 0,63 dan terendah pada habitat tanaman budidaya dengan nilai indeks diversitas 0,36.

DAFTAR PUSTAKA

KESIMPULAN Pada habitat hutan di sekitar Goa Jepang, BKPH Nglerak Lawu Utara, Kabupaten Karanganyar rata-rata dapat ditemukan sejumlah 22 individu (6 familia) hewan permukaan tanah setiap 12 jam tangkapan dengan indeks diversitas 0,5. Hewan-hewan permukaan tanah yang ditemukan termasuk dalam Filum Arthropoda yang terdiri dari 4 kelas, yaitu: Insecta (9 ordo), Arachnida (2 ordo), Diplopoda (2 ordo) dan Crustacea (1 ordo),

Brussard, L. 1998. Soil fauna, guilds, functional groups and ecosystem processes. Applied Soil Ecology 9: 123-136. Decaens, T., T.Dutoit, D.Alard and P. Lavelle. 1998. Factors influencing soil macrofaunal communities in post-pastoral successions of Western France. Applied Soil Ecology 9: 361-368. Hagvar, S. 1998. The relevance of the Rio-Convention on Biodiversity to conserving biodiversity of soils. Applied Soil Ecology 9: 1-7. Sugiyarto. 2000. Keanekaragaman makrofauna tanah pada berbagai tingkat umur tegakan sengon di RPH Jatirejo, Kabupaten Kediri. Biodiversitas 1(2): 47-53. Wallwork, J.A. 1970. Ecology of Soil Animals. London: Mc.Graw-Hill.


BIODIVERSITAS Volume 3, Nomor 1 Halaman: 201-206

ISSN: 1412-033X Januari 2002

Cluster Analysis of Ranunculus Species SURANTO Biology Department, Faculty of Mathematics and Sciences, Sebelas Maret University Surakarta 57126. Received: 5 May 2001. Accepted: 31 July 2001

ABSTRACT The aim of the experiment was to examine whether the morphological characters of eleven species of Ranunculus collected from a number of populations were in agreement with the genetic data (isozyme). The method used in this study was polyacrilamide gel electrophoresis using peroxides, estarase, malate dehydrogenase, and acid phosphatase enzymes. The results showed that cluster analysis based on isozyme data have given a good support to classification of eleven species based on morphological groups. This study concluded that in certain species each morphological variation was profit to be genetically based. Š 2002 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta Key Words: Ranunculus, isozyme

INTRODUCTION Cluster Analysis has been widely used in studies of plant variation. Examples include Weis and Simmons (1979), Moran and Hooker (1983), Potts and Reid (1985b), Wittshire and Reid 1987, Menadue 1986. This method allows use of a number of phenetic variables in addition to cytological or genetic variables (Togan et. al., 1983). This analysis method using isozyme data has been shown to be quite valuable in providing better results to examine interrelationships between similar or different ploidy levels in plants. In the tetraploid plants Glycine tomentella, cluster analysis using isozyme data has been proved to be valid in grouping the species based on geographical origin of accessions (Doyle and Brown, 1985). A number of different methods of cluster analysis have been employed recently in plant taxonomic studies, particularly in studies of lower level ranks of plant taxonomy, i.e. species or sub-species. Three of these are the weighted pair group method using averages (WPGMA), the unweighted pair group method using the centroid (UPGMC), and the unweighted pair group method using averages (UPGMA).

These different sorts of cluster analysis provide techniques to distinguish or define samples (plants) based on the dissimilarities between the groupings in the field (Sneath and Sokal, 1973). Results of cluster analysis are mainly presented in the form of a dendrogram, which gives a clear position of each population sample indicated by the dissimilarity measure, for instance; the Euclidean Distance (D) or Squared Euclidean Distance (D2) or Mahalanobis Distance.

MATERIALS AND METHODS Plant materials Plants from seven populations around the Central Plateau, Tasmania were examined electrophoretically. The collected plants were identified with manuals of Bentham and Hooker (1865), Candole (1818-1821), Curtis (1956; 1967), Curtis and Morris (1975), Hooker (1982), and Menadue and Crowden (1989). Electro-phoresis procedures used were further explained in the next pages. Table 1 gives the location sites and the number of plants used in this study.


B IOD I VER SI TA S Vol. 3, No. 1, Januari 2002, hal. 201-206

202

Table 1. Ranunculus species and population sources used for electrophoresis. Population

Species

Liawenee Nive River Rats Castle Clarence Weir Ouse River Projection Bluff Wild Dog Plains Wild Dog Plains Black Mary Plains Pine lake Lake Agusta Projection Bluff Rats Castle Projection Bluff Rats Castle Wild Dog Plains Hasselwood Lagoon Lake Crescent Road Liawenee Wild Dog Plains Green View Wild Dog Plains Cameron Lagoon Saint Patrick Plains Ouse River Clarence Weir

R. triplodontus R. triplodontus R. triplodontus R. triplodontus R. triplodontus R. triplodontus R. triplodontus R. jugosus R. pimpinellifolius R. gunnianus R. gunnianus R. decurvus R. decurvus R. collinus R. collinus R. collinus R. glabrifolius R. glabrifolius R. pascuinus R. amphitricus R. lappaceus R. nanus R. nanus R. nanus R. nanus R. nanus

Plant number 16 20 15 20 13 10 12 12 9 6 5 10 10 10 10 10 12 12 10 10 9 20 20 20 20 20

Gel preparation In order to make the best quality of polyacrylamide gel, both two kind of stock solutions were prepared. Stock solution A was made by diluting 4,5 grams of TRI (Hydroximethyl) Methylamine (PURISS) and 0,51 grams of citric acid into 500 ml deionized water, while the Stock solution B was prepared by mixing the 30 grams of Acrylamide and 0.80 grams of NN-Methylene-Bis-Acrylamide into 100 ml of deionized water. Casting the gel Mixing 20 ml of solution B and 40 ml of solution A made the gel. This mixture was deaerated on a Buchi rotary evaporator for 5 minutes after which 0,04 ml of N,N,N',N'Tetramethyl-ethylenediamine was added and with carefully mixed. To polymerize the gel, 0,06 grams of Ammonium persulphate was added and mixed carefully immediately before pouring the solution into gel mould (BIO-RAD Model 361). Using this model, at least 4 thin

gels each with 10-14 slots can be cast simultaneously. Protein extracting solution Diluting 0,018 grams of cysteine made up the solution of protein extraction. 0,021 grams of ascorbic acid and 5 grams of sucrose into 20 ml of borax buffer pH 8.4. Extraction and loading the samples Laminas and petioles were examined separately. Material from each plant was ground individually in a staining dish using 0.15-0.35 ml of protein extracting solution for laminas and 0, 1-0.15 ml for petioles. Despite the voluminous literature on extraction methodology which suggests the need to use frozen plant material (liquid nitrogen), it was found unnecessary for the systems studied in this project to use other than an ice cool buffer and hold plant material and extracts in a ice bath. The extracts were transferred to a small glass vial, 2 mm diameter, 3 cm long, and centrifuged at 3500 rpm for 15 minutes. The supernatants were then applied in the gel slots. The amount of sample loaded in each slot was for peroxidase about 10-15 ul, while for the other enzymes about 15-24 ul. Electrophoresis The electrophoresis chamber used in this project was a mini vertical slab cell manufactured by BIO-RAD, USA. model 360. This model has advantages in allowing use of very small amounts of samples, as well as allowing a short running time Electrophoresis was conducted at a constant current of 5 mA for peroxidase (PER) and 7 mA for esterase (EST), malate dehydrogenase (MDH), and acid phosphatase (ACP), at room temperature for about 60 minutes including a pre-electrophoresis time of approximately 10 minutes. Electrophoresis was stopped when the bromophenol blue marker dye had traveled about 56 mm from the slot toward the anode. Staining procedures: Four enzymes staining were used routinely. 1. Peroxidase (PER) was prepared by diluting 0.0125 grams of O-dianisidine into 25 ml of acetone. Then 50 ml of 0.2 M acetate buffer pH 4.5 was added and 2 drops of H2O2 lastly given.


SURANTO – Cluster Analysis of Ranunculus Species

2. Esterase (EST) was prepared by dissolving 0.0125 grams of α-naphthyl acetate in 2.5 ml acetone. After that 50 ml of 0.2 M phosphate buffer pH 6.5 and 0.0125 grams of Fast Blue BB Salt were added. 3. Malate dehydrogenase (MDH) was made up by mixing 15 ml of 0.1 M Tris-HCI pH 8 and 0.020 grams of MTT (2.5-Diphenyl tetrazolium Bromide) and 0.005 grams of PMS (Phenazine-Methosulfate) into 125 ml of deionized water. Mixed them gently and then 10 ml of 0.2 M. Sodium Malate pH 7,5 was lastly added. The gel was incubated for 30-40 minutes in the dark. A fresh solution containing 0.020 grams of NAD (Nicotinamide Adenine Dinucleotide) was used to transfer the gel. 4. Acid phosphatase (ACP) was made by diluting 0.0125 grams of of α-naphthyl

203

phosphate into 2.5 ml of acetone and then 75 ml of 0.2 M acetate buffer pH 4.5. 0.025 grams of Fast Beach K Salt and 0.025 grams were gently mixed. All staining procedures in this experiment were conducted at room temperature. For peroxidase and esterase stains refer to Mills and Crowden (1968), for malate dehydrogenase stains refer to Brown et al (1978), and for acid phosphatase stains refer to Adam and Jolly (1980). Cluster analysis Data used in this cluster analysis were isozyme band numbers. The bands were treated as characters, by giving values of 1 and 0 to indicate presence (i.e. detectable) and absence (i.e. not detectable) of bands, respectively.

Figure 1. Average linkage of UPGMA clustering eleven species of Ranunculus. Squared Euclidean Distance to measure dissimilarity based on band frequency of PER, EST, MDH, and ACP. Annotations: 1. R. decurvus, 2. R. amphitricus, 3. R. triplodontus, 4. R. jugosus, 5 R. pimpinellifolius, 6. R. pascuinus, 7. R. collinus, 8. R. glabrifolius, 9. R. gunnianus, 10. R. lappaceus, 11. R. nanus.


204

B IOD I VER SI TA S Vol. 3, No. 1, Januari 2002, hal. 201-206

There were 31 enzymic characters, 7 isozyme bands of peroxidase, 9 of esterase, 6 of malate dehydrogenase and 9 of acid phosphatase. A total of 341 individual plants belonging to the 11 species from a number of populations around the Central Plateau, Tasmania (Table 1.) were scored with respect of 31 enzymic characters, 7 isozyme bands of peroxidase, 9 of esterase, 6 of malate dehydrogenase, and 9 of acid phosphatase. The data were then computed using the SAS program. The clustering strategy was Average linkage Cluster Analysis using Squared Euclidean Distance (UPGMA).

RESULTS AND DISCUSSION Clusters are shown in the dendrogram (Figure 1). At the eight groups level in the dendrogram, an excellent correspondence with the currently accepted taxonomy of these 11 species of Ranunculus was obtained. Only R. pimpinellifolius and R. pascuinus are not separated as was hoped. It has revealed as distinct species, R. decurvus, R. amphitrichus, R. gunnianus, R. nanus, and R. lappaceus, and showed the close relationships between species pairs, R. glabrifolius-R. collinus, and R. triplodontus-R. jugosus. However the dissimilarity measure at this level is small.

Figure 2. Average linkage of UPGMA clustering population of Ranunculus species. Squared euclidean distance to measure the dissimilarity based on band frequency of PER, EST, MDH, and ACP. Codes in the brackets indicate the population site. Annotations: A. D. G. J. M. P. S. V. Y.

R. glabrifolius (HwL) R. collinus (WDP) R. triplodontus (ORv) R. triplodontus (CWr) R. nanus (SPP) R. triplodontus (WDP) R. nanus (CLg) R. decurvus (PBf) R. gunnianus (LAg)

B. E. H. K. N. Q. T. W. Z.

R. glabrifolius (StR) R. collinus (RCs) R. triplodontus (Lwn) R. triplodontus (PBf) R. pimpinellifolius (BMP) R. jugosus (WDP) R. lappaceus (GVs) R. decurvus (RCs) R. gunnianus (PLk)

C. F. I. L. O. R. U. X.

R. collinus (PBf) R. triplodontus (NRv) R. amphitricus (WDP) R. triplodontus (RCs) R. nanus (CWr) R. nanus (ORv) R. pascuinus (Lwn) R. nanus (WDP)


SURANTO – Cluster Analysis of Ranunculus Species

At the ten groups level, the species R. pimpinellifolius and R. pascuinus were resolved, as were R. glabrifolius and R. collinus. However, the closely related R. jugosus and R. triplodontus were still united. The results of this analysis give generally good support to the classification of these 11 species based on morphological grounds. A second analysis was carried out in which all the different populations were included separately. The results were presented in Figures 2 and 3. Figure 2. shows the grouping of species based on Euclidean Distance clustering strategy. At the 11 groups level, R. collinus and R. glabrifolius (2 populations of each) from a neat cluster, but a 3rd population

205

of R. collinus (Rats Castle) was quite remote from them. The second big branch of the tree consists of R. triplodontus mixed with R. pimpinellifolius, R. amphitrichus and R. nanus. The close relationship between R. triplodontus (Wild Dog Plains) and R. jugosus (Wild Dog Plains) was maintained. Both R. gunnianus (2 populations) and R. decurvus (2 populations) were separately clustered, while R. pascuinus and R. lappaceus shared one group. Both R. nanus and R. triplodontus were scattered into several different groups. This indicates that in both these species, there is considerable "between-population" variation, which may swamp between-species variation.

Figure 3. Average lingkage of UPGMA clustering population of Ranunculus species. Mahalanobian distance to measure the dissimilarity derived from non parametric multiple discriminant function analysis: based on band frequence of PER, EST, MDH, and ACP. Codes in the brackets indicate the population site. A. D. G. J. M. P. S. V. Y.

R. glabrifolius (HwL) R. collinus (WDP) R. triplodontus (ORv) R. triplodontus (CWr) R. nanus (SPP) R. triplodontus (WDP) R. nanus (CLg) R. decurvus (PBf) R. gunnianus (LAg)

B. E. H. K. N. Q. T. W. Z.

R. glabrifolius (StR) R. collinus (RCs) R. triplodontus (Lwn) R. triplodontus (PBf) R. pimpinellifolius (BMP) R. jugosus (WDP) R. lappaceus (GVs) R. decurvus (RCs) R. gunnianus (PLk)

C. F. I. L. O. R. U. X.

R. collinus (PBf) R. triplodontus (NRv) R. amphitricus (WDP) R. triplodontus (RCs) R. nanus (CWr) R. nanus (ORv) R. pascuinus (Lwn) R. nanus (WDP)


206

B IOD I VER SI TA S Vol. 3, No. 1, Januari 2002, hal. 201-206

Comparing the Euclidean strategy with the use of Mahalanobis Distances (Figure 3), it appears that the latter provides a neater grouping of the species populations. At the eight groups level the closely related R. collinus (3 populations) and R. glabrifolius (2 populations) form one cluster. R. decurvus and R. gunnianus each form a cluster, while R. lappaceus and R. pascuinus share one cluster. The major cluster contained the other species, with R. nanus and R. triplodontus spread through the minor sub-groupings.

CONCLUSION On the basis of these data, there is no evidence to support Menadue's notion that R. collinus and R. glabrifolius might be united into a single species. Their close relationship is shown in that they cluster closely in the dendrogram, but always in discrete subgroupings. However, there is sample support for the hypothesis that some populations of R. nanus (Menadue and Crowden, 1990) and probably R. triplodontus also, are genetically different. This is explored further in the following sections.

REFERENCES Adam and Jolly. 1980. Electrophoretic buffer system and stain recipes. In CSRIO, Division of Forest Research (Ed.). Sydney: CSIRO. Bentham, G and J.D. Hooker. 1865. Genera Plantarum. Volume I. London: Reive Br. Co. Brown, A.D.H., E. Nevo, D. Johary and O. Dagon. 1978. Genetic variation in natural populations of wild barley (Hordeum spontaneum ). Genetica 49 (2/3): 97108. Candole, A.P. de. 1818-1821. Regni Vegetabilies Systema Naturale. Two Volumes. Paris: Treuttel et Wurtz. Curtis, W.M. 1956. A Student's Flora of Tasmania. Part I. Hobart: Government Printing. Curtis, W.M. 1967. Introduction in the Endemic Flora of Tasmania. London: Airel Press.

Curtis, W.M. and D.J. Morris. 1975. A Student’s Flora of Tasmania I. 2nd edition. Hobart: Government Printing. Doyle, M.J., J.E. Grant, and A.H.D. Brown. 1986. Reproductive isolation berween isozyme groups of Glycine temontella (Leguminaosae) and spontaneus doubling in their hybrids. Australian Journal of Botany 34: 532-535. Hooker, J.D. 1982. The Flora of British India Volume I. Ranunculaceae to Sapindaceae. New Delhi: Bishen Sing Mahendra PA Sing Pub. Menadue, Y and R.K. Crowden. 1989. Tasmanian species of Ranunculus. A New Key Paper and Proceedings of the Royal Society of Tasmania. Volume 123: 87-96. Menadue, Y. 1986. Taxonomy of genus Ranunculus in Tasmania. PhD Thesis. Tasmania: New Castle University. Menadue, Y. and R.K. Crowden. 1990. Leaf polymorphism in Ranunculus nanus Hook. (Ranunculaceae). New Phytol. 114: 265-274. Mills, A.K. dan R.K. Crowden. 1968. Distribution of soluble proteins and enzymes during early development of Pisum sativum. Australian Journal of Biological Science 21: 1131-1141. Moran, G.F. and S.D. Hooker. 1983. Genetic diversity and the insular population structure of the rare granite rock species, Eucaliptus casia Benth. Australian Journal of Botany 31: 161-172. Moran, G.F., J.C. Bell, and S. Prober. 1990. The utility of isozyme in systematics of some Australian tree groups. Australian Systematic of Botany 3: 47-57. Post, D.M. 1983. Contribution to chromosome number atlas of the New Zealand Flora 26 – Gentiana (Gentianaceaea). New Zealand Journal of Botany 21: 229. Sneath, P.H.A and R.R. Sokal. 1973. Numerical Taxonomy.San fransisco: W.H. Freeman and Co. Togan, L. N. Aydem, and A. Kence. 1983. A numerical taxonomic study Carthamus L. Taxa in Turkey. Felsenstain, J. (ed.). Berlin: Springer-Verlag. Weis, T.W. and D.M. Simmons. 1979. Variation in Australian and some overseas population Emex australis and Emex spinosa. Australian Journal of Botani 27: 631-641. Wiltshire, R.J.E. and J.B. Reid. 1978. Genetic for variation in the spining gum, Eucalyptus perriana F. Muell. Ex. Rodway. Australian Journal of Botani 35: 33-47.


BIODIVERSITAS Volume 3, Nomor 1 Halaman: 207-212

ISSN: 1412-033X Januari 2002

Savana Taman Nasional Baluran Baluran Nasional Park Savanna M. YUSUF SABARNO Balai Taman Nasional Baluran, Jawa Timur Diterima: 20 Pebruari 2001. Disetujui: 23 Juni 2001

ABSTRACT One of the biodiversity richness in Indonesia is ecosystem of Baluran National Park savanna. This type of savanna is similar to African savanna that is included in tropical savanna. There are two types of savanna, namely flat and undulating savanna. The savanna ecosystem that covers about 40% of the total area of Baluran National Park has important role on supporting herbivore animals such as wild cattle (Bos javanicus), deer (Cervus timorensis) and wild buffalo (Bubalus bubalis). The variety of grasses and other vegetation provide food for those animals, therefore, the reduction of the reduction of quality and quantity of the savanna would reduce in the population of the herbivores. The savanna in the Baluran National Park is about 10.000 ha, however, due to invasion of Acacia nilotica has resulted in the reduction of the savanna reaching about 50%. Moreover, illegal grassing inside the Park has brought negative impact to the quality of the area and the wild fauna. Overgrazing may influence on the reduction of the population of wild fauna. Pressure to the savanna has a great impact on the balance and preservation of whole ecosystem in Baluran. Efforts have been made in order to restore the Baluran ecosystem such as preventing the expansion of A. nilotica as well as preventing illegal grazing. The Baluran National Park is still looking for the most effective and efficient way of preserving savanna ecosystem in Baluran. Š 2001 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta Keywords: Baluran National Park, savanna, Acacia nilotica.

PENDAHULUAN Kekayaan dan keanekaragaman hayati Indonesia sangat melimpah, sehingga tidak mengherankan apabila negeri ini disebut sebagai negara dengan kekayaan biodiversitas terbesar di dunia, setelah Brasil. Salah satunya adalah ekosistem savana di Taman Nasional (TN) Baluran. Keadaan iklim dan geografi tempat ini mendukung terbentuknya savana yang dapat dikatakan sebagai replika dari savana-savana di Afrika. Savana merupakan padang rumput dan semak yang terpencar di antara rerumputan, serta merupakan daerah peralihan antara hutan dan padang rumput. Di beberapa daerah yang tidak begitu kering, savana mungkin terjadi karena keadaan tanah dan atau kebakaran yang berulang. Menurut Mackinnon (1991, dalam Gunaryadi dkk.,

1996), kawasan savana pada umumnya kurang terancam oleh eksploitasi ekonomi dibandingkan hutan hujan, meskipun demikian savana kadang-kadang mendapat tekanan berupa penggembalaan ternak dan penggunaan pertanian lainnya. Savana Baluran sebagai salah satu ciri khas dan identitas TN Baluran mempunyai arti sangat penting yang apabila kelestariannya terganggu akan berpengaruh terhadap ekosistem-ekosistem lainnya. Oleh karena itu setiap tekanan atau gangguan terhadap kelestarian ekosistem ini harus ditangani secara sungguh-sungguh. Salah satu gangguan yang cukup mengkhawatirkan dan merupakan ancaman terbesar bagi kelestarian ekosistem ini adalah semakin luasnya invasi Acacia nilotica, yang semula didatangkan dari Afrika sebagai tumbuhan penyekat kebakaran. Kecepatan tumbuh dan penyebaran tanaman


208

BIODIVERSITAS Vol. 3, No. 1, Januari 2002, hal. 207-212

eksotik ini telah mengakibatkan penurunan kualitas dan kuantitas savana Baluran, serta merubah pola perilaku satwa liar herbivora yang salah satu komponen habitatnya adalah padang rumput atau savana. Rumput sebagai sumber pakan utama satwa tersebut tergeser keberadaannya oleh A. nilotica, sehingga satwa mencari alternatif pakan lain, salah satunya daun dan biji A. nilotica. Akan tetapi sebagai sumber pakan utama, rumput tetap tidak tergantikan. Selain invasi A. nilotica, hal lain yang merupakan tantangan pelestarian savana TN Baluran adalah tingginya intensitas penggembalaan liar di kawasan taman nasional. Walaupun hal ini telah berlangsung lama, akan tetapi dampak dari kegiatan ini banyak mempengaruhi ekosistem savana. Berbagai upaya telah dilakukan dalam pemberantasan A. nilotica dan mencegah penggembalaan liar di dalam kawasan, tetapi hingga saat ini belum berhasil optimal. Keterlibatan pihak-pihak lain yang mempunyai perhatian besar terhadap permasalahan lingkungan dan keanekaragaman hayati, sangat diperlukan untuk merumuskan upaya yang tepat dan efektif dalam penyelesaian masalah tersebut. Kelestarian suatu ekosistem tergantung kepada pengelolanya, karena keberadaan manusia tidak dapat dipisahkan dari sistem alam, dimana manusia diberi kemampuan mengelola alam ini. Begitu juga dengan pengelolaan TN Baluran, kebijakan pihak pengelola akan mempengaruhi ekosistem alami di kawasan ini. TN Baluran terletak di Kecamatan Banyuputih, Kabupaten Situbondo, Jawa Timur. Secara geografis terletak antara 7o45’7o15’ LS, serta antara 114o18’-114o27’ BT, sebelah timur laut Pulau Jawa. Sebelah utara berbatasan dengan Selat Madura, sebelah barat berbatasan dengan Sungai Bajulmati, sebelah timur berbatasan dengan Selat Bali dan sebelah barat laut berbatasan dengan Sungai Klokoran. Kawasan konservasi sumber daya alam tersebut pada mulanya dikenal sebagai suaka margasatwa, kemudian ditetapkan secara definitif sebagai taman nasional berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan No: 096/Kpts-II/1984 tanggal 12 Mei 1984. Secara geologi TN Baluran memiliki dua jenis tanah, yaitu tanah pegunungan dan tanah dasar laut. Tanah pengunungan terdiri dari tanah vulkanik dengan kondisi tanah

berbatu-batu dan lereng gunung yang tinggi dan curam, sampai tanah aluvial yang dalam di dataran rendah. Tanah dasar laut terbatas di dataran pasir sepanjang hutan mangrove. Tanah hitam meliputi kira-kira setengah luas dataran rendah, ditumbuhi rumput savana. Tanah ini membentuk daerah subur, kaya mineral tetapi miskin bahan organik, dengan kondisi fisik yang kurang baik dan porous. Savana merupakan ekosistem yang kurang stabil, keseimbangannya tergantung iklim, api, penggunaan oleh margasatwa dan lain-lain. Untuk melestarikan ekosistem savana diperlukan kegiatan manipulatif seperti pembakaran terkendali, pengaturan populasi satwa, penebangan vegetasi dan lain-lain. Pada proses pembakaran, api sering membinasakan tumbuhan berkayu, tumbuhan dikotil dan palma lain, tanpa menimbulkan kerusakan berarti pada rimpang rerumputan di bawah tanah. Hal ini berbeda dengan kondisi hutan hujan pada umumnya yang menghendaki sesedikit mungkin campur tangan manusia untuk menjaga klimaks ekologi dan memungkinkan berlangsungnya regenerasi. Topografi TN Baluran dapat dibagi dalam kategori: datar dengan ketinggian 0-124 m dpl, bergelombang dengan ketinggian 125-900 m dpl, dan terjal pada ketinggian lebih dari 900 m dpl. Pada garis pantai di Mesigit, Balanan dan Montor terdapat hamparan batu karang yang terjal. Adapun ekosistem savana TN Baluran sendiri, secara topografi dibedakan menjadi savana datar (flat savanna) dengan tanah endapan (aluvial) dan savana datar sampai bergelombang (undulating savanna) dengan tanah berwarna hitam dan berbatu (Wind dan Amir, 1977). Sebelum invasi A. nilotica luas savana datar kira-kira 1.500-2.000 ha di bagian tenggara, yaitu savana Bekol, Semiang dan sekitarnya. Di bagian lain, savana datar sampai bergelombang mencakup daerah seluas kira-kira 8000 ha, yaitu; savana Balanan, Kramat, Talpat, Labuhan Merak, Air Tawar, Karangtekok dan sekitarnya. Pada umumnya savana mengalami masa kekeringan lebih panjang dari pada hutan. Savana Baluran mempunyai jenis tanah aluvial yang kadar liatnya tinggi, sifat fisik tanah sangat porous, tidak mampu menyimpan air, mempunyai kembang susut tinggi dan merekah pada musim kemarau. Tanah ini memiliki kandungan mineral tinggi tetapi miskin bahan organik.


SABARNO – Savana Taman Nasional Baluran Salah satu adaptasi khas vegetasi savana adalah banyaknya pohon dan semak berduri. Hal ini diasumsikan untuk mengurangi eksploitasi dari herbivora. Savana di Indonesia, termasuk yang terdapat di TN Baluran, sama tipenya dengan savana di Afrika, yaitu tipe savana tropika yang produksi hijauannya melimpah di musim penghujan dan berkurang pada musim kemarau. Berdasarkan interpretasi hasil foto udara, savana di TN Baluran pada mulanya memiliki luas yang sempit dan terpisah-pisah. Kebakaran hutan menyebabkan luas areal savana terus bertambah. Salah satu upaya untuk membatasi bertambah luasnya savana akibat kebakaran dilakukan dengan mengintroduksi tanaman A. nilotica, yang dapat dijadikan sekat bakar. Akan tetapi, introduksi tanaman eksotik ini menimbulkan masalah baru dalam pengelolaan TN Baluran (Gunaryadi, 1996) Jenis-jenis vegetasi yang dapat dijumpai di savana Baluran dan melimpah di beberapa lokasi antara lain: lamuran putih (Dichantium caricosum) melimpah di savana Bekol, Kramat, Labuhan Merak dan Gentong/ Karangtekok; Eulalia amaura dan Bothriocloa modesta melimpah di savana Semiang. Alang-alang (Imperata cylindrica) melimpah di savana Dadap, sedangkan Bothriochloa modesta dan luluwan (Setaria palmifolia) melimpah di savana Paleran. Selain jenis rumput dan herba, di savana datar dijumpai pula tumbuhan berhabitus pohon antara lain pilang (Acacia leucophloea), kesambi (Schleichera oleosa), bidara (Ziziphus rotundifolia) dan A. nilotica. Savana bergelombang didominasi oleh rumput lamuran putih (Dichantium caricosum), gajah-gajahan (Schlerachne punctata) atau padi-padian (Sorgum nitidus). Habitus rumput di savana bergelombang cenderung lebih tinggi dibandingkan rumput di savana datar. Sedangkan jenis fauna yang memanfaatkan savana sebagai salah satu habitatnya yaitu banteng (Bos javanicus), rusa (Cervus timorensis), kerbau liar (Bubalus bubalis), kijang (Muntiacus muntjak), ajak (Cuon alpinus), merak (Pavo muticus), dan beberapa jenis burung lain. Padang penggembalaan mempunyai peranan penting bagi kelestarian satwa banteng, karena berfungsi sebagai sumber pakan, tempat makan, tempat istirahat di bawah pohon (shelter) sambil melakukan kegiatan ruminansia, serta sebagai tempat perkawinan dan membesarkan anak.

209

PERMASALAHAN DAN UPAYA PEMECAHANNYA Kegiatan pelestarian TN Baluran meliputi upaya mempertahankan keanekaragaman hayati baik flora, fauna maupun ekosistemnya. Salah satu kegiatan prioritas adalah menjaga kelestarian ekosistem savana. Savana di TN Baluran pada awalnya termasuk padang rumput alami, yang diduga merupakan klimaks karena api. Api sebagai salah satu faktor penting yang berpengaruh terhadap kuantitas dan kualitas padang rumput, mempunyai peranan yang menguntungkan dan merugikan. Kebakaran memungkinkan rumput-rumput pakan satwa lebih tersebar dan lebih produktif. Api juga mengontrol biji-biji tumbuhan berkayu yaitu dengan memusnahkan dan menghambat pertumbuhannya, sehingga vegetasi rumput bebas dari pengaruh naungan dan persaingan dengan vegetasi lain. Kebakaran di kawasan TN Baluran dapat terjadi secara alami atau disengaja. Kebakaran yang disengaja dilakukan oleh masyarakat dengan berbagai tujuan, antara lain untuk membuka ladang, menggiring ternak, mengalihkan perhatian petugas dan lain-lain. Selama kurun waktu Mei 1999 hingga September 2000, kebakaran di Savana Baluran meliputi areal seluas sekitar 659 ha. Hal ini berlangsung selama dua periode musim kemarau (bulan-bulan kering), yaitu bulan Mei-September 1999 dan bulan MeiSeptember 2000 (Tabel 1.). Kebakaran tersebut sebagian besar terjadi di kawasan Savana Baluran bagian utara dan merupakan kebakaran yang disengaja. Hal ini dimungkinkan karena banyak aktivitas masyarakat di daerah Labuhan Merak yang mencari hasil hutan, dan para penggembala ternak yang masuk ke dalam kawasan. Mereka banyak melakukan kegiatan yang mengunakan api (memasak, merokok dan lain-lain) sehingga secara langsung atau tidak langsung menimbulkan kebakaran, khususnya di musim kemarau. Kualitas suatu padang rumput dapat diketahui dari beberapa parameter, antara lain produktivitas dan daya dukung padang rumput tersebut. Pengamatan di lapangan menunjukkan produktivitas dan daya dukung padang rumput di TN Baluran terhadap kebutuhan pakan satwa menurun. Menurut Alikodra (1979), produktivitas suatu kawasan merupakan modal yang secara ekonomis


BIODIVERSITAS Vol. 3, No. 1, Januari 2002, hal. 207-212

210

Tabel 1. Laporan kejadian kebakaran daerah Savana di TN. Baluran. No 1.

Waktu Mei 1999

2. 3. 4. 5.

Juni 1999 Juli 1999 Agustus 1999 Mei 2000

6.

Juni 2000

7.

Juli 2000

8.

Agustus 2000

9.

September 2000

Lokasi Labuhan Merak Lempuyang Labuhan Merak Pondok Jaran Labuhan Merak Demang-Lempuyang Cungking, Jeding, Secang, Duluk-Labuhan Merak Batu Numpuk-Pondok Jaran Lempuyang-Balanan Gembilina-Pondok Jaran Alas Malang, Curah Widuri-Labuah Merak Lemah Abang, Watu Numpuk-Pondok Jaran Kandang Laju, Alas Malang, Cungking, Gentong-Labuah Merak Watu Numpuk, Lemah Abang-Pondok Jaran Balanan Plalangan-Perengan JUMLAH

Luas (Ha) 110 60 173 36,5 17 2 78 10 1,5 8 21 31 81 27 1 2 659

Sumber: Anonim (1999-2000).

menguntungkan untuk mengembangkan populasi suatu satwa sampai pada tingkat tertentu. Beberapa faktor yang mempengaruhi kualitas produktivitas padang rumput yaitu suksesi, persaingan, jenis rumput, pengaruh musim dan overgrazing. Sedangkan daya dukung yang optimal menunjukkan suatu keseimbangan antara produksi rumput pada periode tertentu dengan jumlah satwa yang merumput. Oleh karena itu suatu kawasan mempunyai daya dukung rendah apabila jumlah satwa yang merumput lebih tinggi dari pada nilai daya dukung optimal. Pengamatan Utomo (1997) di padang rumput Bekol seluas 75 ha dengan membuat petak-petak contoh 1m x 1m, sejumlah 10 buah secara acak, dengan selang pemotongan 40 hari, serta dengan perlakuan pemagaran dan tanpa pemagaran, diperoleh bahwa produktivitas padang rumput tersebut sebesar 13.700 gr/ha/hari. Daya dukung padang rumput dapat ditentukan dari selisih rata-rata plot yang dipagar dan yang tidak dipagar, yaitu 33,2 gr/m2 atau 8,9 kg/ha/hari. Hal ini didasarkan asumsi bahwa hijauan segar yang dikonsumsi satwa setiap hari adalah 8,9 kg/ha. Menurut Syarif (1974, dalam Riyawati, 1999) kebutuhan rusa per hari adalah 10% berat tubuh, yaitu rata-rata 5,5 kg/hari/ekor, maka savana Bekol seluas 75 ha

hanya mampu mendukung kurang lebih 114 ekor rusa dewasa. Sehingga padang penggembalaan Bekol sudah tidak mendukung kehidupan satwa secara optimal, mengingat dalam sensus ditemukan kurang lebih 192 ekor rusa di dalamnya. Studi kasus di atas menunjukkan bahwa savana di TN Baluran tidak lagi optimum dalam mendukung kehidupan satwa liar yang ada, sehingga kelestariannya semakin terancam dan dimungkinkan populasinya semakin menurun. Pepohonan yang tumbuh di savana dicirikan oleh pohon-pohon berkayu yang tahan api. Jika intensitas kebakaraan tinggi, maka akhir dari vegetasi klimaks karena api adalah padang rumput. Sebaliknya, apabila kebakaran jarang terjadi, maka jenis vegetasi pioner, termasuk A. nilotica akan dominan. Hal ini terjadi di sebagian besar savana datar seperti Bekol, Kramat dan sekitarnya, dimana invasi A. nilotica menguasai daerah tersebut akibat kecilnya kontrol api. Selama periode Mei 1999 hingga September 2000, tidak dijumpai kebakaran di savana-savana tersebut yang merupakan lokasi awal penanaman A. nilotica sebagai tanaman sekat bakar. Invasi tanaman eksotik, A. nilotica, terhadap savana di TN Baluran mengakibatkan penurunan luas savana, sehingga mengakibatkan perubahan komposisi, struktur dan produktivitas


SABARNO – Savana Taman Nasional Baluran

211

Tabel 2. Kegiatan pemberantasan A. nilotica di TN. Baluran. No Periode 1 1985 2 1996 3 1989-1991 4 1991-1993 5 1993-1999 6 2000 Sumber: Anonim (1999).

Metode kimiawi kimiawi mekanis mekanis mekanis mekanis

Keterangan Skala penelitian Puslitbang Percobaan PT. Mitra Buana Mukti Pencabutan dan penebangan Pencabutan dengan katrol Pembongkaran dgn buldoser dan pencabutan seedling Penebangan dan pembakaran tonggak

rumput pakan satwa, serta penurunan daya dukung savana terhadap penyediaan pakan bagi satwa. Hal ini berpengaruh terhadap dinamika populasi dan pola perilaku satwa yang hidupnya membutuhkan savana, khususnya banteng dan rusa. Pertumbuhan A. nilotica, yang cepat disebabkan sifat biologi tanaman tersebut yang tahan api dan kekeringan, serta cepatnya penyebaran biji. Di TN Baluran, dalam 100 gram kotoran kerbau liar dijumpai 45 + 26 biji A. nilotica, pada banteng terdapat 62 + 42 biji dan pada rusa terdapat 11 + 9 biji. Hal ini menunjukkan tingginya tingkat penyebaran biji A. nilotica oleh satwa mamalia. Selain itu, penyebaran biji dapat pula melalui injakan kaki satwa terhadap biji-biji yang jatuh. Upaya penanggulangan invasi A.nilotica telah banyak dilakukan, baik dengan cara mekanis maupun kimia. Pertimbangan yang diambil dalam pemberantasan A. nilotica, selain aspek ekologi juga aspek ekonomi, karena kegiatan yang dilakukan di suatu kawasan pelestarian (taman nasional) berbeda dengan kegiatan lain di luar. Menurut hasil evaluasi, kegiatan pemberantasan A. nilotica yang pernah dilakukan secara kimiawi kurang efektif dan efisien. Metode ini membutuhkan biaya yang besar dalam pengadaan bahan kimia dan tidak signifikan dengan luas areal serta kerapatan tegakan yang harus dimusnahkan (Anonim,1999). Pemberantasan secara mekanis dengan penebangan/pemotongan belum berhasil optimal. Bahkan memicu pertumbuhan biji-biji yang dorman dan regenerasi vegetatif dari tonggak yang tertinggal (trubusan), dimana satu tonggak dapat tumbuh 5-6 batang/cabang baru (Anonim, 1999). Begitu juga dengan cara pengkatrolan, karena membutuhkan waktu

yang lama sehingga tidak efisien. Sedangkan dengan cara pembongkaran dengan buldoser, dianggap cukup efektif, akan tetapi dampak pembalakan/lahan bekas pembongkaran tonggak berpengaruh terhadap perubahan struktur tanah. Kegiatan yang dilakukan saat ini yaitu penebangan dan pembakaran tonggak, diikuti dengan pencabutan seedling. Kegiatan ini membutuhkan tenaga kerja yang banyak, kontinuitas dan pengawasan yang cermat. Pemberantasan A. nilotica pada saat ini baru dapat dilaksanakan dengan kecepatan rata-rata pembongkaran seluas 62,3 ha per tahun. Sehingga perkiraan waktu yang diperlukan untuk membersihkan seluruh savana dari invasi tanaman eksotik ini adalah 73 tahun, dengan asumsi areal yang dibersihkan tidak terinvasi kembali oleh A. nilotica (Anonim, 1999). Permasalahan lain yang mengancam kelestarian savana TN Baluran adalah meningkatnya intensitas penggembalaan liar oleh masyarakat sekitar kawasan. Kegiatan ini banyak ditemukan terutama di kawasan taman nasional bagian utara. Penggembalaan ini telah dilakukan masyarakat secara turun temurun dan dari waktu ke waktu jumlah ternak yang digembalakan semakin banyak. Menurut Nugroho et.al. (1991, dalam Hafis, 1992), setiap hari ditemukan + 1600 ekor sapi dan + 400 ekor domba/kambing digembalakan secara liar di kawasan Baluran bagian utara. Padahal daya dukung savana diduga di bawah jumlah ternak yang digembalakan, sehingga terjadi overgrazing area yang keras dan mengancam kelestarian ekosistem savana tersebut. Menurut Alikodra (1980) dan Anonim (1986, dalam Hafis, 1992) pengaruh negatif meningkatnya penggembalaan liar di TN


212

BIODIVERSITAS Vol. 3, No. 1, Januari 2002, hal. 207-212

Baluran antara lain berupa: persaingan mendapatkan rumput antara satwa liar herbivora dengan ternak, tanah menjadi padat akibat injakan kaki ternak, kemungkinan penularan penyakit terhadap satwa liar serta merubah komposisi rumput di areal penggembalaan menjadi vegetasi yang tidak disukai oleh ternak maupun satwa liar sehingga ternak akan mencari pakan di tempat lain dan berakibat meluasnya areal penggembalaan. Banyak usaha yang telah dilakukan dalam mencegah masuknya penggembalaan liar di kawasan, yaitu dengan penyuluhan, pemberian bibit rumput pakan ternak untuk dibudidayakan dan lain-lain, tetapi hasilnya tidak signifikan. Walaupun dampak penggembalaan liar tidak begitu nyata, akan tetapi lambat laun kondisi kawasan yang seharusnya dijaga kelestarian dan keasliannya akan mengalami perubahan fungsi dan ekosistem.

PENUTUP Savana Baluran merupakan bentuk ekosistem yang khas, meliputi hampir 40 % wilayah TN Baluran. Kawasan ini merupakan pusat kehidupan berbagai jenis satwa liar, khususnya mamalia besar yang dilindungi serta mempunyai panorama alam yang sangat unik dan indah, sehingga merupakan aset ekoturisme dan sangat penting bagi kegiatan penelitian dan pendidikan. Kawasan Savana Baluran sebagian besar telah terinvasi oleh A. nilotica, sehingga perlu perhatian khusus agar dapat dikembalikan menjadi ekosistem savana seperti aslinya. Oleh karena itu upaya pemberantasan A. nilotica harus dilakukan terus-menerus dengan percepatan lebih tinggi dari sebelumnya. Kegiatan ini meliputi penebangan pohon A. nilotica, yang diikuti pencabutan/pembersihan seedling tanaman di lokasi bekas penebangan secara kontinyu, untuk menyakinkan bahwa tanaman tersebut tidak tumbuh lagi. Apabila kegiatan tersebut tidak dilaksanakan, kelestarian ekosistem savana akan sulit dipertahankan. Penggembalaan liar yang tidak terkendali juga berdampak pada kelestarian savana Baluran. Apabila tidak segera ditangani

dengan serius, akan mengubah Savana Baluran menjadi padang penggembalaan ternak domestik. Salah satu akibatnya satwa liar akan terusir, karena persaingan dengan ternak dan aktivitas manusia/penggembala yang masuk ke dalam kawasan. Menurut penelitian Wind dan Amir (1977), pada tahun 1977 penyebaran satwa banteng masih meliputi kawasan Baluran bagian utara, akan tetapi dari hasil sensus mamalia besar pada tahun 2000, tidak ditemukan lagi kelompok satwa banteng di daerah tersebut, karena adanya penggembalaan liar yang intensif. Permasalahan-permasalahan di atas perlu segera ditangani dan menjadi perhatian segenap pihak secara serius. Apabila diabaikan maka sangat dimungkinkan dalam waktu yang relatif singkat Savana Baluran akan tinggal cerita.

DAFTAR PUSTAKA Alikodra, H.S. 1979. Dasar-dasar Pembinaan Margasatwa. Bogor: Fakultas Kehutanan IPB. Anonim. 1999. Rencana Kegiatan Pemusnahan Acacia nilotica tahun 2000/2001 di Kawasan Taman Nasional Baluran Banyuwangi. Banyuwangi: TN Baluran. Anonim. 1999-2000. Laporan Bulanan Kebakaran Hutan di TN Baluran. Banyuwangi: TN Baluran. Utomo, B. 1997. Studi Produktivitas Savana Bekol Taman Nasional Baluran Jawa Timur. Skripsi. Jakarta: FMIPA UI. Gunaryadi, D. 1996. Pengamatan Populasi Cervus timorensis di Savana Bekol Taman Nasional Baluran Jawa Timur. Disertasi.Yogyakarta: Fakultas Pasca Sarjana UGM Hafis, J. 1992. Telaah Beberapa Faktor Penyebab Penggembalaan Liar di Taman Nasional Baluran Utara Jawa Timur. Tesis. Yogyakarta: Fakultas Pasca Sarjana UGM. Riyawati. 1999. Studi Jenis Pakan Rumput Rusa Timor (Cervus timorensis) di Savana Bekol Balai Taman Nasional Baluran Banyuwangi Jawa Timur. Skripsi. Malang: Institut Pertanian Malang. Wind, J. and H. Amir. 1977. Proposed Baluran National Park Management Plan 1978/1979 – 1982/1983. Prepared for the Directorat of Nature Conservation, Directorat General of Forestry, Republic of Indonesia. Nature Conservation and Wildlife Management Project of the Food and Agriculture Organisation of the United Nations.


THIS PAGE INTENTIONALLY LEFT BLANK


ISSN: 1412-033X

Identifikasi dan Karakterisasi Polimorfisme Gen Hormon Pertumbuhan pada Sapi Bali, Sapi Madura, dan Sapi Benggala SUTARNO, ARIS JUNAIDI, AGUS PURWOKO, NEO INDRA LELANA

169-173

Induksi Poliploidi Bawang Merah (Allium ascalonicum L.) dengan Pemberian Kolkisin SUMINAH, SUTARNO, AHMAD DWI SETYAWAN

174-180

Penentuan Pola Distribusi, Asosiasi, dan Interaksi Spesies Tumbuhan Khususnya Padang Rumput di Taman Nasional Baluran, Jawa Timur DJUFRI

181-188

Produktifitas Primer Perairan Waduk Cengklik Boyolali ARI PITOYO, WIRYANTO

189-195

Biodiversitas Hewan Permukaan Tanah pada Berbagai Tegakan Hutan di Sekitar Goa Jepang, BKPH Nglerak, Lawu Utara, Kabupaten Karanganyar SUGIYARTO, DHINI WIJAYA, SUCI YULIATI RAHAYU

196-200

Cluster Analysis of Ranunculus Species SURANTO

201-206

REVIEW: Savana Taman Nasional Baluran M YUSUF SABARNO

207-212

Gambar sampul depan: Elektroforegram polimorfisme DNA lokus 1 gen hormon pertumbuhan dengan PCR-RFLP enzim AluI

Terbit dua kali setahun


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.