Jimki vol 3 no 2

Page 1


SUSUNAN PENGURUS Penasehat

MSc., Akp., SpGK

Prof. dr. Saleha Sungkar, DAP&E, MS, SpParK

dr. I Nyoman Sutarsa, MPH

Universitas Udayana

Universitas Udayana

Penanggung Jawab Andi Qautsar Syahrezo

Penyunting Pelaksana

Universitas Hasannudin

Euginia Christa Universitas Indonesia

Pimpinan Umum Muhammad Faisal Putro Utomo Universitas Udayana

Pimpinan Redaksi Pande Mirah Dwi Anggreni Universitas Udayana

Sekretaris Ni Made Erika Suciari Universitas Udayana

Vera Amalia Lestari Universitas Padjajaran

Aninditya Verinda Putrinadia Universitas Negeri Semarang

Ayu Novita Kartikaningtyas Universitas Brawijaya

Humas dan Promosi Anindia Reina Yolanda Universitas Udayana

I Gusti Ayu Put Putri Ulandari

Bendahara Kevin Ezekia Universitas Udayana

Penyunting Ahli Prof. Dr. dr. Bambang Budi Siswanto, Sp.JP(K)

Universitas Warmadewa

Ahmad Fahrisal Universitas Lampung

Ahmad Fahrisal Universitas Lampung

Dea Athaya Budiman Universitas Jendral Achmad Yani

Universitas Indonesia

Dr. dr. Dwiana Ocviyanti, Sp.OG(K) Universitas Indonesia

Tata Letak

Dr. dr. Fathiyah Isbaniah, Sp.P, M.Pd. Ked

Dewa Ayu Sri Agung Suandewi

Universitas Indonesia

Dito Setiadarma

Dr. dr Sugiarto, Sp.PD, KEMD

Universitas Udayana

Universitas Negeri Sebelas Maret

Nyoman Tarita Dewi

Prof. Dr. dr. Edi Widjajanto, MS, SpPK(K)

Universitas Warmadewa

Universitas Brawijaya

Universitas Warmada

Universitas Udayana

D.A Viennita

dr. Frilya Rachma Putri, SpKJ(K) Universitas Brawijaya

Dr. dr. Gde Ngurah Indraguna Pinatih,

JIMKI Volume 3 No.2 | Juli -Desember 2015

i


DAFTAR ISI

ISSN : 2302-6391

Susunan Pengurus ................................................................................................................ i Daftar Isi ...................................................................................................................................ii Petunjuk Penulisan ........................................................................................................... iv Sambutan Pimpinan Umum ........................................................................................ xiii

Editorial Pandemi Mers Seoul Dan Global Health Security: Refleksi Bagi Mahasiswa Kedokteran Pande Mirah Dwi Anggreni

......................................................................................................................................................1

Penelitian Korelasi Antara Kadar Feritin Serum Ibu Melahirkan Dengan Kadar Feritin Serum Bayi Baru Lahir di RSU PKU Muhammadiyah Bantul Zulfikar Ihyauddin, Tri Ratnaningsih, dan Budi Mulyono ............................................................................................................................................................................................ 4

Masalah Kesehatan Respirasi di Masyarakat Perumahan Jakarta 2012: Tinjauan terhadap pengetahuan, sikap, kepuasan, dan asuransi kesehatan Fauzan H. Firman, Saras S. Sesari, Randi R. Mulyadi, Elisna Syahruddin

......................................................................................................................................................................................... 11

Tinjauan Pustaka Adipose Mesenchymal Stem Cells (ASC) Termodifikasi HIF-1Îą SiRNA Dengan Koadministrasi Atorvastatin Sebagai Terapi Regeneratif Retinopati Diabetes Jimmy O. Santoso, Ferry Liwang ......................................................................................................................................................................................... 19

Protein SRC/FAK Sebagai Target Terapi Antimetastatik Pada Kanker Payudara Melalui Reaktivasi Anoikis dan Inhibisi Transisi Epitel-Ke-Mesenkim Gabriele Jessica Kembuan, Kevin Julio Wijanarko ......................................................................................................................................................................................... 28

Sebuah Inovasi Booster BCG, Vaksin L-TB: Kombinasi Multistage Recombinant Protein, ID93/GLA-SE Dengan Liposom AVE3/CPG MOTIF Matthew Billy, Harrison Paltak Bernard Panjaitan, Thong Felicia Melida ......................................................................................................................................................................................... 42

Artikel Penyegar Pengukuran Kadar Serotonin, N-Asetil Serotonin, dan Melatonin di Dalam Darah Sebagai Upaya Deteksi Dini Gangguan Spektrum Autistik Dina Sofiana ......................................................................................................................................................................................... 49

JIMKI Volume 3 No.2 | Juli -Desember 2015

ii


Laporan Kasus Penatalaksanaan Nefritis Lupus Pada Kehamilan

Christopher Christian Halimkesuma ......................................................................................................................................................................................... 53

Advetorial Potensi OCIMUM SANCTUM Dalam Inhibisi Fosforilasi Serine, AKTIVASI PPAR-Γ Dan Produksi HISS Untuk Perbaikan Resistensi Insulin Pada Kondisi Diabetes Makhyan Jibril Al-Farabi ......................................................................................................................................................................................... 63

JIMKI Volume 3 No.2 | Juli -Desember 2015

iii


PETUNJUK PENULISAN Pedoman Penulisan Artikel Jurnal Ilmiah Mahasiswa Kedokteran Indonesia (JIMKI) Indonesia Medical Students Journal Jurnal Ilmiah Mahasiswa Kedokteran Indonesia (JIMKI) merupakan publikasi ilmiah yang terbit setiap 6 bulan sekali setiap bulan Mei dan Desember berada dibawah Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Dalam mempublikasikan naskah ilmiah dalam berkala ini, maka penulis diwajibkan untuk menyusun naskah sesuai dengan aturan penulisan JIMKI. A. JENIS-JENIS ARTIKEL 1. Penelitian Asli Definisi : hasil penelitian asli dalam ilmu kedokteran, kedokteran gigi, kesehatan masyarakat, keperawatan, gizi, kebidanan, dan farmasi. Format penulisan :  Judul penelitian  Nama dan lembaga pengarang  Abstrak  Pendahuluan  Metode penelitian  Hasil penelitian  Pembahasan atau diskusi  Kesimpulan dan saran  Daftar pustaka 2. Advertorial Definisi : Penulisan berdasarkan metode studi pustaka. Format penulisan :  Judul  Nama penulis & lembaga  Pengarang  Abstrak  Pendahuluan  Pembahasan  Kesimpulan  Daftar rujukan 3. Artikel Penyegar Definisi : Artikel yang bersifat bebas ilmiah, mengangkat topik-topik yang sangat menarik dalam dunia kedokteran atau kesehatan, memberikan human interest karena sifat keilmiahannya, serta ditulis secara baik. Artikel bersifat tinjauan serta mengingatkan pada hal-hal dasar atau klinis yang perlu diketahui oleh pembaca. Format Penulisan :  Pendahuluan

JIMKI Volume 3 No.2 | Juli -Desember 2015

iv


 Isi  Kesimpulan 4. Tinjauan Pustaka Definisi : Tulisan artikel review atau sebuah tinjauan terhadap suatu fenomena atau ilmu dalam dunia kedokteran, kedokteran gigi, kesehatan masyarakat, keperawatan, gizi, kebidanan, dan farmasi, ditulis dengan memperhatikan aspek aktual dan bermanfaat bagi pembaca. Format penulisan :  Judul  Nama penulis & lembaga  Pengarang  Abstrak  Pendahuluan  Pembahasan  Kesimpulan  Daftar rujukan 5. Laporan Kasus Definisi : artikel tentang kasus yang menarik dan bermanfaat bagi pembaca. Format Penulisan :  Judul  Abstrak  Background  Kasus  Pemeriksaan penunjang  Differential diagnosis  Tatalaksana  Outcome and follow up  Discussion  Take home message  Reference  Note : laporan kasus butuh pengesahan dari supervisor atau dosen pembimbing penulis 6. Artikel Editorial Definisi : Artikel yang membahas berbagai hal dalam dunia kedokteran, kedokteran gigi, kesehatan masyarakat, keperawatan, gizi, kebidanan, dan farmasi. Memuat mulai dari ilmu dasar, klinis, berbagai metode terbaru, organisasi, penelitian, penulisan di bidang keahlian tersebut di atas, lapangan kerja sampai karir dalam dunia kesehatan. Artikel ditulis sesuai kompetensi mahasiswa. Format Penulisan :  Pendahuluan  Isi  Penutup B. KETENTUAN PENULISAN SECARA UMUM 1. Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia yang baik, benar, lugas, dan ringkas. 2. Naskah diketik dalam microsoft word 2003 3. Menggunakan ukuran kertas A4 dengan margin kanan = 3cm, kiri = 4cm, atas = 3cm, bawah = 3cm.

JIMKI Volume 3 No.2 | Juli -Desember 2015

v


4. Naskah menggunakan 1 spasi dengan spacing after before 0 cm, jarak antar bab atau antar subbab yaitu 1 spasi (1x enter) 5. Menggunakan Font arial reguler, size 10, sentence case, justify. 6. Naskah maksimal terdiri dari 15 halaman terhitung mulai dari judul hingga daftar pustaka. C. KETENTUAN PENULISAN JUDUL & SUB-JUDUL Judul ditulis secara singkat, jelas, dan padat yang akan menggambarkan isi naskah. Ditulis tidak terlalu panjang, maksimal 20 kata dalam bahasa Indonesia. Ditulis dengan font arial 14 pt dicetak tebal di bagian tengah atas dengan uppercase (semua huruf ditulis kapital), tidak digarisbawahi, tidak ditulis di antara tanda kutip, tidak diakhiri tanda titik(.), tanpa singkatan, kecuali singkatan yang lazim. Penulisan judul diperbolehkan menggunakan titik dua tetapi tidak diperbolehkan menggunakan titik koma. Penggunaan sub-judul diperbolehkan dengan ketentuan ditulis dengan titlecase, font arial 12, center, dan dicetak tebal. D. KETENTUAN PENULISAN NAMA PENULIS Dibuat taat azas tanpa penggunaan gelar dan dilengkapi dengan penjelasan asal instansi atau universitas. Penulisan nama pengarang diketik titlecase, font arial 10, center, dan bold yang dimulai dari pengarang yang memiliki peran terbesar dalam pembuatan artikel. Penulisan asal instansi dimulai dari terkecil . contoh: Nurul M. Rahmayanti,1 Desri Astuti,2 1 Departemen

Kesehatan Lingkungan, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia, Depok 2 Departemen Epidemiologi, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Muhammadiyah Jakarta, Jakarta E. PENULISAN ABSTRAK Abstrak merupakan miniatur dari artikel sebagai gambaran utama pembaca terhadap artikel Anda. Abstrak berisi seluruh komponen artikel secara ringkas (pendahuluan, metode, hasil, diskusi dan kesimpulan). Abstrak dibuat terstruktur dengan sub bagian dengan ketentuan sub bagian dicetak tebal dan dibubuhi tanda titik dua sebelum kata selanjutnya. Abstrak ditulis dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris dengan panjang abstrak tidak lebih dari 250 kata (dan tidak menuliskan kutipan pustaka. Dilengkapi dengan kata kunci sebanyak maksimal 8 kata benda yang ditulis dari umum ke khusus. Abstrak Bahasa Inggris dan keyword ditulis italic (dimiringkan). Abstrak Bahasa Indonesia dan kata kunci ditulis tegak. Kalimat pertama menyampaikan kontribusi penulis terhadap literatur dan menjelaskan perbedaan penelitian/telaah yang dilakukan dibanding dengan artikel lain yang sudah ada. Jelaskan mengapa penelitian dilakukan, bagaimana cara melakukannya, seberapa signifikan kontribusi dari penelitian tersebut, dan hal apa saja yang bisa dikembangkan setelah penelitian berakhir. F. KETENTUAN PENULISAN PENDAHULUAN (UPPERCASE, LEFT, BOLD, FONT ARIAL 10)

JIMKI Volume 3 No.2 | Juli -Desember 2015

vi


Format utama penulisan berkala ini terdiri dari 2 kolom, yang ditulis dengan MS Word, page size A4, 1 spasi, sentence case, justify, regular, font arial 10. Pada bagian pendahuluan tuliskan latar belakang, penjelasan mengenai penelitian terkait yang telah lebih dulu dipublikasikan (jika ada). Selain itu dijelaskan pula hal-hal spesifik dalam penelitian. Kutipan dari referensi atau daftar pustaka dibuat dengan tanda superscrift 1, dengan 1 menunjukkan nomor dalam daftar pustaka. Istilah dalam bahasa asing dan simbol matematika ditulis dengan huruf miring.  Kalimat pertama dari pendahuluan menyampaikan tujuan dari penelitian ini untuk memberikan kontribusi pada bidang tertentu dengan melakukan atau menemukan sesuatu.  Kutip beberapa hasil penelitian terbaru mengenai topic yang dibahas beseta relevansinya.  Jelaskan mengapa menulis artikel ini dan kontribusi apa yang diberikan pada pengembangan keilmuan  Jelaskan kebijakan yang mungkin timbul atau implikasi yang mungkin diterapkan sebagai hasil dari penemuan tersebut (hanya jika hal tersebut relevan)  Jelaskan apakah penelitian mendukung atau memperluas hasil penelitian yang sudah ada atau justru menyanggah hasil penelitian sebelumnya. G. KETENTUAN PENULISAN METODE PENELITIAN (UPPERCASE, LEFT, BOLD, ARIAL 10) Penulisan metodologi penelitian berisikan desain penelitian, tempat, dan waktu, populasi dan sampel, teknik pengukuran data, dan analisis data. Sebaiknya menggunakan kalimat pasif dan kalimat narasi, bukan kalimat perintah. Petunjuk:  Merupakan bagian penting dalam artikel  Ketahui metode penelitian terkini yang paling sesuai untuk bidang keilmuan yang dibahas Ketahui apakah jenis metode lain ternyata lebih memberikan signifikansi terhadap hasil penelitian dibanding dengan metode penelitian lama yang digunakan. H. KETENTUAN PENULISAN HASIL (UPPERCASE, LEFT, BOLD, FONT ARIAL 10) Penulisan hasil  Setengah bagian dari keseluruhan artikel membahas tentang bagian ini  Tiap tabel atau grafik harus diikuti satu paragraph yang mendeskripsikan hasil yang tercantum dalam tabel atau grafik tersebut.  Edit bagian ini berulang kali sampai kita benar-benar yakin bahwa pembaca memahami apa yang disampaikan di bagian ini. 3.1 Judul Isi Hasil (Titlecase, Left, Bold, Font Arial 10) Judul dan subjudul yang muncul dalam bab ini dituliskan dengan nomor bertingkat seperti contoh ini. 3.2 Subjudul Hasil (Titlecase, Left, Bold, Font Arial 10) Rumus kimia atau matematika dituliskan seperti contoh berikut : √A + B3 + CO2 = ∫ X2

JIMKI Volume 3 No.2 | Juli -Desember 2015

(1)

vii


Tabel dan gambar dapat disisipkan di tengah-tengah artikel seperti contoh ini, atau di bagian akhir artikel. Judul terletak diatas tabel, hanya menggunakan garis horizontal dengan 2 atau 3 garis, tanpa menggunakan garis vertikal. Tulisan Tabel 1 ditebalkan (bold), dengan menggunakan ketentuan penomoran dari angka Arab. 1, 2, 3 dst (angka arab), I, II, III (angka Romawi). Tabel 1. Judul Tabel ( Titlecase,Center,Regular, Arial 10) No Judul Artikel Penulis

Penulisan gambar: Terletak dibawah gambar, dengan Bold pada tulisan gambar. Penomoran gambar menggunakan angka Arab,

Gambar 1. Judul Gambar (titlecase,center,regular, arial 10) I.

KETENTUAN PENULISAN PEBAHASAN (UPPERCASE, LEFT, BOLD, ARIAL 10) Pembahasan merupakan bagian terpenting dari keseluruhan isi artikel ilmiah, sehingga pada umumnya memiliki proporsi paling banyak. Fungsi pembahasan adalah menjawab masalah penelitian atau menunjukkan pencapaian tujuan penelitian, dengan cara menafsirkan/menganalisis hasil penelitian, juga membandingkan hasil penelitian dengan hasil dari penelitian-penelitian yang dipakai sebagai referensi. Pada bagian ini dilakukan juga kajian kesesuaian hasil dengan teori-teori yang dipakai. Bahas apa yang ditulis dalam hasil, tetapi tidak mengulang hasil. Jelaskan arti kemaknaan statistik (misal p<0.001, apa artinya?), juga kemaknaan biologis (ukuran asosiasi penyakit—OR, RR), jika ada. Tekankan aspek baru dan penting. Sertakan juga bahasan dampak penelitian dan keterbatasannya.

J.

KETENTUAN PENULISAN KESIMPULAN Kesimpulan berisikan jawaban atas pertanyaan penelitian. Kesimpulan harus menjawab tujuan khusus. Bagian ini dituliskan dalam bentuk esai dan tidak mengandung data angka hasil penelitian. Terdiri atas maksimal tiga paragraf yang merangkum inti hasil penelitian dan

JIMKI Volume 3 No.2 | Juli -Desember 2015

viii


keterbatasan penelitian, serta kemungkinan pengembangan penelitian yang bisa dilakukan oleh pihak lain untuk mengembangkan hasil yang sudah diperoleh. K. KETENTUAN PENULISAN SARAN Saran berisi rekomendasi hal-hal yang perlu dilakukan oleh satu atau beberapa pihak, berdasarkan kesimpulan yang telah diperoleh dari penelitian. Saran berorientasi pada perbaikan situasi kesehatan masyarakat, sehingga dibuat untuk dilaksanakan melalui advokasi, perbaikan perilaku, pembuatan kebijakan, atau penelitian berikutnya. Saran dibuat dalam bentuk esai (dalam paragraf-paragraf) atau dalam poin-poin. Contoh penulisan Pembahasan, Kesimpulan, Saran 2. PEMBAHASAN (UPPERCASE, LEFT, BOLD, ARIAL 10) 2.1 Judul Isi Bahasan (titlecase, left, bold, Arial 10) 2.1.1 Subjudul Isi Bahasan (titlecase, left, bold, Arial 10) 3. KESIMPULAN 4. SARAN L. KETENTUAN PENULISAN UCAPAN TERIMAKSIH Ucapan terimakasih bersifat opsional. Jika ditulis, maka ditujukan kepada pihak lain yang telah membantu atau terlibat baik langsung maupun tidak langsung dalam penelitian. M. KETENTUAN PENULISAN SITASI Penulisan sitasi menggunakan sistem Vancouver dengan penomoran yang runtut. Ditulis dengan nomor sesuai urutan. Untuk penulisan sitasi yang berasal dari 2 sumber atau lebih, penomoran dipisahkan menggunakan koma. Nomor kutipan ditulis superskrip dan dibuat dalam tanda kurung siku […] Contoh penulisan sitasi : Cacing tanah termasuk hewan tanah sangatlah tinggi, yakni tingkat rendah karena tidak mencapai 58-78 % dari bobot mempunyai tulang belakang kering. Selain protein, cacing (invertebrata). Cacing tanah tanah juga mengandung abu, termasuk kelas Oligochaeta. serat dan lemak tidak jenuh. Famili terpenting dari kelas ini Selain itu, cacing tanah adalah Megascilicidae dan mengandung auxin yang Lumbricidae.[1] merupakan hormon Bagi sebagian orang, cacing perangsang tumbuh untuk tanah masih dianggap sebagai tanaman.[2]Manfaat dari cacing makhluk yang menjijikkan adalah sebagai Bahan Baku dikarenakan bentuknya, Obat dan bahan ramuan untuk sehingga tidak jarang cacing penyembuhan penyakit. masih dipandang sebelah Secara tradisional cacing mata. Namun terlepas dari hal tanah dipercaya dapat tersebut, cacing ternyata meredakan demam, masih dicari oleh sebagian menurunkan tekanan darah, orang untuk dimanfaatkan. menyembuhkan bronkitis, Menurut sumber, kandungan reumatik sendi, sakit gigi dan protein yang dimiliki cacing tipus.[1,2]

JIMKI Volume 3 No.2 | Juli -Desember 2015

ix


N. KETENTUAN PENULISAN DAFTAR PUSTAKA 1. BUKU Penulis Tunggal Nama penulis (dibalik). Judul buku (italic). Tempat terbit: Penerbit, Tahun terbit. Contoh: Frye, Northrop. Anatomy of Criticism: Four Essays. Princeton: Princeton UP, 1957. Dengan dua atau tiga orang penulis Nama penulis 1 (dibalik), Nama penulis 2, dan nama penulis selanjutnya. Judul buku (italic). Tempat terbit: Penerbit, Tahun terbit. Contoh: Howe, Russell Warren, dan Sarah Hays Trott. The Power Peddlers. Garden City: Doubleday, 1977. Marquart, James W., Sheldon Ekland Olson, dan Jonathan R. Sorensen. The Rope, the Chair, and the Needle: Capital Punishment in Texas, 1923-1990. Austin: Univ. of Texas, 1994. Lebih dari tiga penulis Nama penulis 1 (dibalik), et al. judul buku (italic). Tempat terbit: Penerbit, Tahun terbit. Contoh: Edens, Walter, et al., Teaching Shakespeare. Princeton: Princeton UP, 1977. Editor sebagai penulis Nama editor (dibalik), editor. Judul Buku (italic). Tempat terbit: Penerbit, Tahun terbit. Contoh: Harari, Josue, editor. Textual Strategies. Ithaca: Cornell UP, 1979. Penulis dan editor Nama penulis (dibalik). Judul buku (italic). Editor. Nama editor. Tempat terbit: Penerbit, Tahun terbit. Contoh: Malory, Thomas. King Arthur and his Knights. Editor. Eugene Vinaver. London: Oxford UP, 1956. Penulis berupa tim atau lembaga Nama tim atau lembaga. Judul buku (italic). Tempat terbit: Penerbit, Tahun terbit. Contoh: National Institute for Dispute Resolution. Dispute Resolution Resource Directory. Washington, D.C.: Natl. Inst. for Dispute Res., 1984. Karya multi jilid/buku berseri Nama penulis (dibalik). Judul buku (italic). Jilid ke- / edisi ke-. Tempat terbit: Penerbit, Tahun terbit.

JIMKI Volume 3 No.2 | Juli -Desember 2015

x


Contoh: Freedberg, S. J. Andrea del Sarto. Jilid kedua. Cambridge: Harvard UP, 1963. Terjemahan Nama penulis (dibalik). Judul buku hasil terjemahan (italic). Penerjemah Nama penerjemah. Tempat terbit: Penerbit, Tahun terbit. Terjemahan dari Judul buku yang diterjemah (italic), Tahun terbit buku yang diterjemah. Contoh: Foucault, Michel. The Archaeology of Knowledge. Penerjemah A. M. Sheridan Smith. London: Tavistock Publications, 1972. Terjemahan dari L'Archéologie du savoir, 1969. Artikel atau bab dalam buku Nama penulis (dibalik). “judul buku”. Judul bab atau artikel (italic). Editor Nama editor. Tempat terbit: Penerbit, Tahun terbit. Halaman bab atau artikel dalam buku. Contoh: Magny, Claude-Edmonde. "Faulkner or Theological Inversion." Faulkner: A Collection of Critical Essays. Editor Robert Penn Warren. Englewood Cliffs: Prentice-Hall, 1966. 66-78. Brosur, pamflet dan sejenisnya Nama brosur/pamflet/sejenisnya. Tempat terbit: Penerbit, Tahun terbit. Contoh: Jawa Timur. Surabaya: Dinas Pariwisata Jawa Timur, 1999. 2. SERIAL Artikel jurnal dengan volume dan edisi Nama penulis (dibalik). “Judul artikel.” Nama jurnal (italic). Volume:Edisi (tahun terbit): halaman Contoh: Dabundo, Laura. “The Voice of the Mute: Wordsworth and the Ideology of Romantic Silences.” Christiantity and Literature 43:1(1995): 21-35. 3. PUBLIKASI ELEKTRONIK Buku Online Nama penulis (dibalik). Judul buku (italic). Editor Nama editor. Tahun terbit buku. Tanggal dan tahun akses <link online buku> Contoh: Austen, Jane. Pride and Prejudice. Editor Henry Churchyard. 1996. 10 September 1998 <http://www.pemberley.com/janeinfo/prideprej.html>. Artikel jurnal online Nama penulis (dibalik). “Judul artikel.” Nama jurnal (italic). (tahun terbit artikel). Tanggal dan tahun akses jurnal <link online jurnal> Contoh: Calabrese, Michael. “Between Despair and Ecstacy: Marco Polo’s Life of the Buddha.” Exemplaria 9.1 (1997). 22 June 1998 <http://web.english.ufl.edu/english/exemplaria/calax.htm>

JIMKI Volume 3 No.2 | Juli -Desember 2015

xi


Artikel di website “judul artikel.” Nama website (italic). Tahun terbit artikel. Tanggal dan tahun akses. <link online artikel> Contoh: “Using Modern Language Association (MLA) Format.” Purdue Online Writing Lab. 2003. Purdue University. 6 Februari 2003. <http://owl.english.purdue. edu/handouts/research/r_mla.html>. Publikasi lembaga Nama lembaga. Judul artikel (italic). Oleh nama pemulis 1, nama penulis 2, dan seterusnya. Tanggal publikasi. Tanggal dan tahun akses <link online artikel> Contoh: United States. Dept. of Justice. Natl. Inst. Of Justice. Prosecuting Gangs: A National Assessment. By Claire Johnson, Barbara Webster, dan Edward Connors. Feb 1996. 29 June 1998 <http://www.ncjrs.org/txtfiles/pgang.txt>.

JIMKI Volume 3 No.2 | Juli -Desember 2015

xii


SAMBUTAN PIMPINAN UMUM , Puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas terbitnya Jurnal Ilmiah Mahasiswa Kedokteran Indonesia (JIMKI) volume 3 nomor 2. JIMKI bukan hanya sekadar

wadah

publikasi

ilmiah,

namun

JIMKI

juga

merupakan

representatif

perkembangan keilmiahan mahasiswa kedokteran di seluruh Indonesia. Pada tahun ini, JIMKI yang memasuki tahun ke 8 terus berusaha untuk mempertahankan eksistensi dan juga kualitas artikel – artikel yang diterbitkan sehingga dapat memberikan manfaat bagi seluruh pembaca. Dalam edisi ini, antusiasme mahasiswa kedokteran untuk bisa mempublikasikan karyanya di JIMKI sangat tinggi.. Penyeleksian dilakukan dengan bantuan mitra bebestari (MitBes) yang berasal dari tiga Universitas, yaitu UI, UB, UNS dan UNUD. Hal ini dilakukan untuk menjaga kualitas dan objektifitas dari artikel yang dimuat di JIMKI. Mempublikasikan suatu karya bertujuan untuk menyebarluaskan ide dan gagasan yang kita miliki sehingga karya kita berhak mendapatkan pengakuan dan penghargaan. Di samping itu, publikasi ilmiah juga merupakan salah satu syarat kelulusan bagi S1, maka dari itu sudah seharusnya budaya menulis ilmiah semakin meningkat di kalangan mahasiswa kedokteran. Dan perlu diingat bahwa hal paling penting dari suatu tulisan adalah kebermanfaatannya bagi masyarakat. Maka dari itu, marilah berkarya demi kemajuan ilmu pengetahuan di bidang kedokteran sehingga dapat menghasilkan suatu tulisan yang berkualitas dan memiliki manfaat yang berharga bagi umat manusia. Pada kesempatan ini saya mewakili JIMKI ingin mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah membantu dan mendukung JIMKI dari awal hingga akhir yang namanya tidak bisa saya tuliskan satu per satu. Mari kita tingkatkan iklim menulis ilmiah di kalangan mahasiswa kedokteran Indonesia.

Cogito Ergo Sum!

Muhammad Faisal Putro Utomo Pimpinan Umum Jurnal Ilmiah Mahasiswa Kedokteran Indonesia

JIMKI Volume 3 No.2 | Juli -Desember 2015

xiii


Editorial

PANDEMI MERS SEOUL DAN GLOBAL HEALTH SECURITY: REFLEKSI BAGI MAHASISWA KEDOKTERAN Pande Mirah Dwi Anggreni 1

Ada beberapa penyakit lintas negara yang pernah mengancam global health security, yaitu SARS, flu burung (H5N1), flu babi (H1N1), ebola, dan MERS. Pada tahun 2003, dunia menghadapi wabah SARS. Berdasarkan data WHO, wabah ini telah menginfeksi 8.908 orang di dunia dan menyebabkan [1] 774 orang meninggal dunia. Pada tahun yang sama, dunia juga menghadapi wabah H5N1. WHO mencatat dari tahun 2003 hingga 3 Maret 2015 di 16 negara, terdapat sekitar 784 kasus H5N1 dan 429 [2] diantaranya meninggal dunia. Kemudian pada tahun 2009, dunia kembali harus menghadapi wabah H1N1. Flu babi ini merebak di 214 negara dan menjadi pandemi global [3] hingga Agustus 2010. Pada Maret 2014, wabah ebola muncul di Guinea, Afrika Barat. Wabah ebola menjadi perhatian dunia ketika 27.443 orang terinfeksi di 10 negara dan hingga 24 Juni 2015 sebanyak 11.207 orang meninggal akibat keganasan virus [4] ebola. Terakhir, dunia menghadapi wabah MERS yang pertama kali muncul di Arab Saudi dan kini telah menyebar ke Korea Selatan. MERS merupakan sindroma respiratori akut berat yang disebabkan [5] oleh suatu virus korona (MERS-CoV). Kasus MERS pertama kali muncul di Arab Saudi pada tahun 2012. Wabah MERS-CoV di Arab Saudi dianggap masalah kesehatan masyarakat yang serius, karena jutaan peziarah dari 184 negara berkumpul di Arab Saudi setiap tahun untuk melaksanakan ibadah Haji dan Umroh. Pada tanggal 26 Juni 2015, WHO mencatat 1356 orang di dunia telah terinfeksi MERS dan 484 [6] diantaranya meninggal dunia. MERSCoV kini telah mewabah di Korea Selatan. Hal tersebut menyebabkan

1

Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana

dalam beberapa bulan ini Korea Selatan menjadi sorotan dunia. MERS pertama kali muncul di Korea Selatan pada tanggal 20 Mei 2015, yaitu berawal dari seorang pria berumur 68 tahun terdiagnosis MERS setelah melakukan perjalanan ke Timur Tengah. Penyakit MERS dari pria tersebut kemudian berkembang menjangkit beberapa pasien dan keluarga pasien di rumah sakit pria tersebut dirawat. Berawal dari kasus tersebut, kasus MERS di Korea Selatan semakin hari semakin bertambah. Hingga tanggal 28 Juni 2015, MERS telah menginfeksi 182 orang dan merenggut 32 nyawa warga Korea Selatan. Sekitar 2.562 warga Korea Selatan juga harus dikarantina, baik di fasilitas negara maupun di rumah. Sebagian pasien MERS adalah orang yang pernah dirawat atau menjenguk kerabat dan para medis di rumah sakit. Sebagian besar korban meninggal adalah orang lanjut usia atau orang yang memiliki penyakit berat. Epidemi MERS di Korsel terjadi hanya di rumah sakit dan tidak berkembang ke [7] komunitas. Penyebaran MERS dari Arab Saudi hingga ke Korea Selatan, Cina, dan hingga Asia Tenggara (Thailand) dapat menjadi suatu ancaman terhadap global health security jika tidak terkontrol dengan baik. Kemungkinan adanya mutasi virus dan penularan virus MERS yang melalui binatang, air, hingga udara dapat menambah ancaman global health security. Global health security sangat penting diperhatikan mengingat makin tingginya hubungan lintas batas negara. Hubungan lintas batas negara yang tidak bisa dihindari menambah pekerjaan rumah bagi pemerintah untuk berperan aktif dalam mencegah dan mengontrol penyebaran penyakit-

1 JIMKI Volume 3 No.2 | Juli -Desember 2015


penyakit menular yang dibawa oleh [8] warga negara asing. Terjadinya wabah beberapa penyakit tersebut menyebabkan isu global health security memiliki tingkat urgensi yang sama pentingnya dengan isu pertahanan dan keamanan (state security). Pendekatan keamanan pada bidang kesehatan menekankan bahwa kesehatan merupakan kebutuhan publik yang dapat diakses secara merata, yang terdiri dari dua komponen mendasar, yakni empowerment and protection. Empowerment lebih ditujukan kepada kemampuan dalam meningkatkan kapasitas individu dan komunitas dalam responsibilitas kesehatan pribadinya. Sedangkan protection lebih ditujukan kepada tiga pilar institusi masyarakat yakni: mencegah, memeriksa, dan mengantisipasi ancaman-ancaman [9] terhadap kesehatan. Pandemi MERS di Korea Selatan, menunjukkan pentingnya menjaga pengendalian infeksi di rumah sakit untuk mencegah kemungkinan penyebaran MERS-CoV di fasilitas kesehatan. Efektivitas kontrol infeksi di rumah sakit dan sistem isolasi, dapat dilakukan dengan menjaga kontrol administratif, kontrol lingkungan, dan penggunaan peralatan perlindungan pribadi yang berstandar. Semua fasilitas kesehatan diharapkan menyediakan kebijakan dan prosedur untuk skrining cepat dan penilaian potensi kasus MERS-CoV untuk memastikan perawatan yang cepat kepada pasien dan untuk meminimalkan jumlah kontak antara pasien lainnya, pengunjung, dan petugas kesehatan. Petugas kesehatan dan fasilitas kesehatan di semua negara juga harus selalu memiliki tingkat kewaspadaan tinggi untuk kemungkinan MERS-CoV terutama di kalangan wisatawan atau pekerja migran yang [3] kembali dari Timur Tengah. Selain itu, terdapat beberapa langkah-langkah yang dapat dilakukan untuk memperkuat global health security dengan melibatkan seluruh komponen masyarakat. Pertama, pihak pemerintah diharapkan lebih sigap dalam melakukan langkah pencegahan penyebaran virus MERS dan memberikan sosialisasi terkait MERS

kepada masyarakat serta melakukan pengetatan izin masuk warga negara asing khususnya dari negara-negara yang menjadi kantong penyebaran MERS. Kedua, pihak bandara diharapkan memperketat pintu-pintu masuk kedatangan luar negeri bandara internasional dan memaksimalkan penggunaan alat deteksi suhu badan. Para petugas bandara juga diharapkan untuk tidak menganggap remeh jika ada penumpang yang terdeteksi suhu badannya tidak wajar. Pihak bandara juga harus melakukan tindakan karantina jika ada penumpang yang terindikasi mengidap MERS. Terakhir, masyarakat yang ingin melakukan perjalanan ke negara-negara yang menjadi kantong penyebaran MERS seperti Arab Saudi dan Korea Selatan diharapkan memeriksakan diri jika memiliki penyakit kronis seperti penyakit paru-paru dan ginjal. Kasus MERS di Korea Selatan dapat menjadi suatu refleksi bagi mahasiswa kedokteran khususnya bagi mahasiswa kedokteran yang sedang berada pada masa pendidikan di rumah sakit. Mahasiswa kedokteran diharapkan tidak menyepelekan infeksi yang terjadi di rumah sakit karena infeksi tersebut dapat berkembang menjadi suatu wabah bila tidak terdeteksi dengan baik seperti kasus MERS yang terjadi di Korea Selatan. Hal ini menjadi indikasi bahwa pentingnya untuk melakukan kontrol yang baik pada penularan penyakit infeksi di rumah sakit dengan cara mengenali cara penularan dan pencegahan penyakit-penyakit infeksi di rumah sakit. Hal ini bisa menjadi langkah-langkah kecil yang memberi dampak besar bagi health global security terutama dalam menghadapi suatu pandemi penyakit menular sehingga wabah seperti yang terjadi di Korea Selatan tidak terulang kembali di negara lain khususnya di Indonesia. DAFTAR PUSTAKA 1. Centers for Disease Control and Prevention. Revised U.S. Surveillance Case Definition for Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS) and Update on SARS

2 JIMKI Volume 3 No.2 | Juli -Desember 2015


2.

3.

4.

5.

Cases –United States and Worldwide, December 2003. JAMA 291(2004): 173–174. European Centre for Disease Prevention and Control (ECDC). Rapid Risk Assessment Human Infection with Avian Influenza A (H5N1) Virus, Egypt. (2015). 24 Juni 2015.<http://ecdc.europa.eu/en/publ ications/Publications/Rapid-Risk Assessment-Influenza-A-H5N1Egypt-March-2015.pdf> World Health Organization. Guidelines on Natural Ventilation for Infection Control in Health-care Settings. Geneva: World Health Organization. (2009). 25 Juni 2015. <http://whqlibdoc.who.Int/publication s/2009/9789241547857_eng.pdf> World Health Organization. Ebola Sitution Report. Geneva: World Health Organization. (2015). 25 Juni 2015.<http://apps.who.int/ebola/curr ent-situation/ebola-situation-report24-june-2015> Zumla A, Hui DS. Middle East Respiratory Syndrome. Lancet. (2015). 11 Juni 2015. <http://dx.doi.org/10.1016/S01406736(15)60454-8>

6. World Health Organization. Middle East Respiratory Syndrome Coronavirus (MERS-CoV) – Republic of Korea. (2015). 27 Juni 2015. <http://www.who.int/csr/don/26-june2015-mers-korea/en/> 7. World Health Organization. Middle East respiratory Syndrome Coronavirus (MERS-CoV)— Republic of Korea. Disease outbreak news May 30. Geneva: World Health Organization. (2015). 11 Juni 2015. <http://www.who.int/csr/don/01-june2015-mers-korea/en/> 8. Chen LC. Health as a Human Security Priority for the 21st Century. Paper for human security III. Helsinki, Helsinki Process, 2004. 9. Von Tigerstrom, Barbara. Human Security and International Law: Prospects and Problems. Portland: Hart Publishing Limited, 2007. ISBN: 9781841136103.

3 JIMKI Volume 3 No.2 | Juli -Desember 2015


KORELASI ANTARA KADAR FERITIN SERUM IBU MELAHIRKAN DENGAN KADAR FERITIN SERUM BAYI BARU LAHIR DI RSU PKU MUHAMMADIYAH BANTUL

Penelitian

1

2

Zulfikar Ihyauddin , Tri Ratnaningsih , dan Budi Mulyono 2

1 Fakultas Kedokteran, Universitas Gadjah Mada Bagian Patologi Klinik, Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada

ABSTRAK Pendahuluan: Ibu hamil rentan mengalami anemia defisiensi besi, hal ini diakibatkan karena perubahan fisiologis yang terjadi dan mungkin pula akibat keadaan patologis. Kadar besi dalam sirkulasi ibu berpengaruh dalam fisiologi transfer besi yang terjadi melalui transfer plasenta. Penelitian ini berguna sebagai dasar pengetahuan dalam memprediksi terjadinya anemia pada bayi baru lahir melalui pemeriksaan kadar feritin serum (FS). Metode: Penelitian berjenis analitik cross sectional dengan menggunakan sampel data feritin serum yang didapatkan dari ibu melahirkan dan bayi baru lahir di RSU PKU Muhammadiyah Bantul. Pemeriksaan sampel dilaksanakan di Laboratorium Patologi Klinik RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta. Jika data parametrik maka diolah menggunakan uji korelasi Pearson, sedangkan uji korelasi Spearman digunakan pada data nonparametrik. Data signifikan jika p<0,05. Hasil: Subjek yang dianalisis berjumlah 242. Rata-rata kadar FS ibu sebesar 17,6 µg/L dengan 53,72% mengalami deplesi besi (FS<15µg/L) sedangkan rata-rata kadar FS bayi baru lahir sebesar 169,6 µg/L dengan 2% mengalami deplesi besi(FS<30µg/L). Melalui uji korelasi Spearman, didapatkan korelasi positif yang signifikan antara kadar FS ibu melahirkan dengan kadar FS bayi baru lahir dengan kekuatan yang sangat lemah (nilai r = 0,128, p<0,05). Kesimpulan: Terdapat korelasi antara kadar FS ibu melahirkan dengan kadar FS bayi baru lahir dengan korelasi positif yang sangat lemah. Hal ini memberikan kesan bahwa FS ibu kurang berpotensi untuk menjadi prediktor terjadinya anemia pada bayi baru lahir. Kata Kunci: ibu melahirkan, bayi baru lahir, deplesi besi, feritin serum. ABSTRACT Background: Pregnant woman is vulnerable population for having iron deficiencyanemia because of either physiologic or pathologic condition that may be happened. Iron level circulating in maternal has influence on iron transfer process through placenta. This research is conducted to bring knowledge on predicting anemia on newborn through maternal feritin serum (FS). Methods: Experiment is done as cross sectional analytic experiment by analyzing sampleFS level of labor woman and FS level of newborn baby. Sample examination is held in clinical pathology laboratory of RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta. Parametric data will be analyzed by Pearson correlation test, whereas nonparameteric data will be analyzed by Spearman correlation test. Significant result marked by p<0,05. Results:The total subject participate in this research is 242. Mother’s FS mean is 17,6 µg/L with 53,72% on depletion condition (FS<15 µg/L) whether newborn’s FS mean is 169,6 µg/L with 2% on depletion condition (FS<30 µg/L).Through Spearman correlation analysis, we get positive significant correlation between FS level of labor woman and FS level of newborn baby (r =0,128, p <0,05).

4 JIMKI Volume 3 No.2 | Juli -Desember 2015

2


Conclusion: There is very weak correlation between FS level of labor woman and FS level of newborn baby. So it could be implied that ferritin serum of labor woman is less likely useful as predictor of newborn anemia. Keywords: labor woman, newborn baby, iron depletion, ferritin serum. 1. PENDAHULUAN Mineral besi hingga kini masih menjadi nutrisi yang paling sering [1] ditemui dalam kondisi defisiensi. Defisiensi besi didefinisikan sebagai kondisi feritin serum (FS) dan besi yang rendah atau tidak adanya besi yang dapat dicat di sumsum tulang. Kondisi ini mempunyai prevalensi yang jauh lebih besar dibandingkan dengan prevalensi anemia, khususnya pada [2] populasi ibu hamil. Pada tahun 2002, dikemukakan bahwa prevalensi terjadinya anemia defisiensi besi (ADB) pada ibu hamil di Bali mencapai [3] 46,2%. Sedangkan untuk studi prevalensi anemia di Indonesia maupun di Bantul, sampai saat ini belum ditemukan oleh penulis. Anemia defisiensi besi terjadi ketika simpanan besi tubuh habis dan pemenuhan besi ke jaringan menjadi tidak tercukupi. Anemia defisiensi besi didefinisikan oleh International Nutritional Anemia Consultative Group sebagai tahap berat dari defisiensi besi dimana hemoglobin ataupun hematokrit [4] turun hingga dibawah cut-off. Standar emas untuk mengidentifikasi defisiensi besi adalah tes langsung dengan biopsi sumsum tulang dan pengecatan Prussian blue, tetapi pemeriksaan ini masih terlalu invasif untuk penggunaan rutin, sehingga pemeriksaan tidak langsung lebih sering digunakan. Pemeriksaan tidak langsung terdiri atas tes hematologi dan tes biokimiawi. Tes hematologi secara umum lebih sederhana untuk digunakan dan lebih murah daripada tes biokimia, tetapi tes biokimia seperti tes FS dapat mendeteksi defisiensi besi sebelum onset dari anemia. Oleh karena itu, harga tes yang lebih tinggi dapat diimbangi oleh informasi yang didapatkan untuk mencegah terjadinya [5] anemia. Pengukuran kadar FS memiliki potensi yang besar dalam mengetahui status besi suatu individu. Penelitian dari Singla et al. menunjukkan bahwa terdapat hubungan langsung antara

status besi ibu terhadap status besi tali pusat bayi dan kadar hemoglobin serta [6] status besi serum bayi. Penelitian lain dari Rios et al. menemukan bahwa bayi dari ibu anemia maupun non-anemia mendapat zat besi dalam jumlah yang sama selama kehamilan dan cadangan besi ibu hamil tidak berpengaruh terhadap jumlah besi yang diperoleh [7] janin selama kehidupan intrauterin. Penelitian yang mencari korelasi antara kadar FS antara ibu melahirkan dengan FS bayi baru lahir masih jarang dilakukan. Penelitian ini berguna sebagai dasar pengetahuan dalam memprediksi terjadinya anemia pada bayi baru lahir yang dapat berkomplikasi pada pertumbuhan dan perkembangan bayi. Hasil korelasi yang positif dan kuat nantinya dapat dijadikan sebagai dasar pembuatan kebijakan pemerintah dalam melakukan suplementasi zat besi yang lebih ketat pada ibu hamil. Penelitian ini nantinya akan menguatkan penelitianpenelitian yang telah ada sebelumnya. 2. METODE Penelitian berjenis analitik cross sectional dengan membandingkan kadar FS ibu melahirkan dengan kadar FS bayi baru lahir. Penelitian dilakukan dalam dua tahap, yaitu penelitian lapangan di RSU PKU Muhammadiyah Bantul yang bertujuan untuk mengumpulkan sampel darah dan penelitian laboratorium di Laboratorium Patologi Klinik RSUP Dr. Sardjito yang bertujuan untuk menghitung kadar FS sampel. Definisi operasional dalam penelitian ini antara lain: feritin serum adalah protein penyimpan utama untuk besi dan berada di semua sel dalam bentuk besi terlarut dan dinyatakan dalam satuan Âľg/L; ibu melahirkan adalah ibu yang sedang dalam persalinan kala I di RSU PKU Muhammadiyah Bantul; bayi baru lahir adalah bayi berusia nol bulan yang baru saja dilahirkan pada kala II persalinan di RSU PKU Muhammadiyah Bantul; deplesi besi pada ibu adalah keadaan

5 JIMKI Volume 3 No.2 | Juli -Desember 2015


dimana feritin serum <15 µg/L; deplesi besi pada bayi baru lahir adalah keadaan dimana feritin serum <30 µg/L. Populasi penelitian adalah ibu melahirkan dan bayi baru lahir di Kota Bantul. Sampel penelitian ditentukan melalui rumus berikut dengan mengacu pada penelitian MacPhail et al dengan one sided α = 0,05, β = 0,2, dan r = 0,21,

sehingga ditemukan bahwa jumlah sampel minimal yang dibutuhkan [8] sebanyak 136 sampel. Sampel diambil dari populasi dengan kriteria inklusi untuk ibu melahirkan adalah melahirkan bayi baik pervaginam maupun perabdominam (sectio caesaria), bersedia ikut dalam penelitian, dan menandatangani formulir persetujuan mengikuti penelitian. Kriteria inklusi untuk bayi baru lahir adalah bayi yang dilahirkan di RSU PKU Muhammadiyah Bantul. Kriteria eksklusi diterapkan untuk menghindari kadar FS yang bias akibat keadaan patologis. Kriteria tersebut sebagai berikut ibu dengan perdarahan antepartum, hipertensi dalam kehamilan (preeklampsi, eklampsi, superimposed preeklampsi/eklampsi, hipertensi kronis), diabetes melitus, infeksi intrapartum dan sampel darah lisis atau ada bekuan. Kriteria eksklusi untuk bayi antara lain memiliki kelainan kongenital, mengalami asfiksi berat, sampel darah lisis atau ada bekuan. Kriteria inklusi dan eksklusi diterapkan melalui analisis rekam medis dan anamnesis. Sampel diolah dengan uji normalitas Saphiro-wilk, jika hasil yang didapat merupakan data parametrik maka sampel diolah dengan menggunakan uji korelasi Pearson. Apabila hasil uji normalitas menghasilkan data yang nonparametrik, maka sampel diolah dengan uji korelasi Spearman. Data diangap signifikan jika p<0,05. Nantinya, hasil uji korelasi FS ibu melahirkan dengan FS bayi baru lahir diklasifikasikan berdasarkan Sastroasmoro & Ismael yaitu sebagai berikut, baik (r>0,8), sedang (r=0,6-

0,79), lemah (r=0,4-0,59), dan sangat [9] lemah (r<0,4). 3. HASIL PENELITIAN 3.1 Karakteristik Data Penelitian Peserta yang berpartisipasi selama penelitian dari Mei 2013 hingga September 2013 berjumlah 314 partisipan. Dari 314 subyek tersebut terdapat 42 subyek yang tidak memiliki kelengkapan data, sehingga total jumlah subyek yang berpartisipasi dalam penelitian ini sejumlah 272 pasangan ibu hamil dan bayi. Melalui analisis profil FS ibu melahirkan, ditemukan bahwa rata-rata kadar FS ibu sebesar 17,6 µg/Ldengan rentang data 1,5-52,45 µg/L dan normalitas data <0,05. Pada penelitian ini, terdapat 130 sampel (53,72%) yang berada di bawah cut-off World Health Organization (WHO) yaitu FS <15 µg/L, sehingga dikatakan mengalami deplesi besi dengan rata-rata sebesar 8,43 µg/L. Sisa data, sebanyak 112 sample (46,28%) memiliki kadar FS yang normal sehingga dikatakan tidak mengalami deplesi besi. Rata-rata FS dari ibu melahirkan yang tidak mengalami deplesi besi ialah sebesar 28,21 µg/L. Outlier ditemukan pada 16 data dan dicurigai mengalami infeksi, sehingga dieksklusi sebelum dilakukan analisis bivariat. Untuk profil FS bayi baru lahir, ditemukan bahwa rata-rata kadar FS bayi baru lahir sebesar 169,6 µg/L dengan rentang data 14,12-401,98 µg/L dan normalitas data <0,05. Adapun ratarata yang ditemukan dari bayi yang dilahirkan dari ibu yang mengalami deplesi besi adalah 163,3 µg/L, sedangkan rata-rata kadar FS dari bayi yang dilahirkan dari ibu tanpa deplesi besi adalah 177 µg/L. Outlier ditemukan pada 14 data dan dicurigai mengalami infeksi, sehingga dieksklusi sebelum dilakukan analisis bivariat. 3.2 Analisis Bivariat Melalui uji normalitas ShapiroWilk, ditemukan bahwa distribusi data baik FS ibu melahirkan maupun FS bayi baru lahir tidak normal (<0,05) dan mengindikasikan penggunaan uji nonparametrik yaitu Spearman Test. Hasil uji korelasi diperlihatkan melalui gambar 1, 2, dan 3.

6 JIMKI Volume 3 No.2 | Juli -Desember 2015


Gambar 1. Uji Korelasi FS Ibu Melahirkan dengan FS Bayi Baru Lahir Menggunakan Spearman Test Melalui uji korelasi Spearman, didapatkan nilai korelasi (r) yang signifikan sebesar 0,128 (p=0,046). Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa terdapat korelasi positif antara kadar FS ibu melahirkan dengan FS bayi baru lahir.

Gambar 2. Uji Korelasi FS Ibu Melahirkan dengan Deplesi Besi, FS Bayi Baru Lahir dari Ibu, dan Deplesi Besi menggunakan SpearmanTest Nilai r yang didapat sebesar 0,019 (p=0,828). Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa terdapat korelasi positif tidak signifikan antara kadar FS ibu melahirkan dengan deplesi besi terhadap kadar FS bayi baru lahir dari ibu dengan deplesi besi.

Gambar 3. Uji Korelasi FS Ibu Melahirkan tanpa Deplesi Besi dengan FS Bayi Baru Lahir dari Ibu Tanpa Deplesi Besi menggunakan Spearman Test Melalui uji korelasi Spearman, didapatkan nilai r yang tidak signifikan sebesar 0,081 (p=0,395). Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa terdapat korelasi positif antara kadar FS ibu melahirkan tanpa deplesi besi terhadap FS bayi baru lahir dari ibu melahirkan tanpa deplesi besi. 4. PEMBAHASAN Feritin serum yang rendah dapat diinterpretasikan sebagai adanya deplesi simpanan besi di dalam tubuh. Menurut WHO, kadar FS wanita dewasa yang kurang dari 15 Âľg/L dikategorikan sebagai kondisi tubuh yang mengalami [10] deplesi besi. Rata-rata FS dari ibu melahirkan cukup rendah yaitu 17,6 Âľg/L sehingga cukup dekat dengan nilai ambang untuk dikatakan mengalami deplesi besi. Kaneshige menyebutkan bahwa rendahnya kadar FS pada ibu hamil trimester tiga mungkin dipengaruhi oleh terkurasnya cadangan besi dalam [11] sumsum tulang. Sebaliknya, penelitian Warouw mendapatkan rata-rata kadar FS ibu hamil trimester tiga yang cukup tinggi yaitu 61,63 Âľg/L. Hal ini mungkin diakibatkan karena semua ibu hamil yang diteliti pernah mendapat suplementasi besi dan sebagian besar [12] merupakan primigravida. Kadar FS yang rendah menunjukkan bahwa banyak ibu melahirkan berada dalam kondisi yang rentan mengalami defisiensi besi.

7 JIMKI Volume 3 No.2 | Juli -Desember 2015


Pada keadaan normal, tubuh membutuhkan kurang lebih 1000 mg simpanan besi, dimana 8-10 mg simpanan besi berkorelasi dengan 1 [13] µg/L kadar FS. Menurut WHO, cadangan besi tubuh sebesar 120–150 mg dikatakan sebagai batas deplesi besi dan sangat rentan untuk mengalami keadaan defisiensi besi. Ketika simpanan besi tubuh telah habis, kadar FS akan jatuh di bawah 12 µg/L dan sudah tidak dapat merefleksikan keadaan nyata defisiensi besi dalam [14] tubuh. World Health Organization mengemukakan bahwa kadar FS ibu hamil memiliki nilai yang berada dekat dengan cut-off deplesi besi tetapi tidak selalu menunjukkan defisiensi besi [15] secara fungsional. Pada kehamilan trimester tiga, FS berada pada kondisi yang rendah meskipun cadangan besi pada sumsum tulang masih bisa ditemukan. Beberapa keadaan patologis dapat meningkatkan kadar FS seperti pada penyakit inflamasi akut maupun kronis, penyakit hati seperti hepatitis, keganasan darah dan neuroblastoma, pemberian preparat besi parenteral atau [16] peroral dalam jangka panjang. Jaime-Perez et al. menetapkan cut-off kadar deplesi besi untuk sampel darah tali pusar sebesar 30 µg/L, sehingga pada penelitian ini didapatkan lima sampel (2%) yang berada di bawah [17] cut-off atau mengalami deplesi besi. Bayi baru lahir yang mengalami deplesi besi memiliki rata-rata kadar FS di bawah ambang normal yaitu 21,6 µg/L, sedangkan bayi baru lahir yang tidak mengalami deplesi besi memiliki ratarata kadar FS yang tinggi yaitu sebesar 172,75 µg/L. Sebagian besar bayi baru lahir memiliki simpanan besi yang cukup atau tidak mengalami deplesi besi. Rata-rata kadar FS bayi baru lahir menunjukkan hasil yang tinggi yaitu sebesar 169,6 µg/L, dengan rentang data dari data terkecil 14,12 µg/L hingga data terbesar 401,98 µg/L. Adapun rata-rata yang ditemukan dari bayi yang dilahirkan dari ibu yang deplesi besi adalah 163,3 µg/L, sedangkan rata-rata kadar FS dari bayi yang dilahirkan dari ibu tanpa deplesi besi adalah 177 µg/L. Hal ini menunjukkan bahwa rata-rata FS bayi baik dari ibu dengan deplesi besi

maupun tanpa deplesi besi dapat dikatakan tidak jauh berbeda dari ratarata data keseluruhan FS bayi. Sebagai tambahan, lima bayi yang mengalami deplesi besi tidak kesemuanya berasal dari ibu yang mengalami deplesi besi pula, hanya dua bayi yang berasal dari ibu yang mengalami deplesi besi. Rata-rata kadar FS baik dari ibu melahirkan yang mengalami deplesi besi ataupun tidak mengalami deplesi besi memiliki selisih yang cukup dekat dengan penelitian Obladen et al. yaitu kadar FS 140 µg/L dan memiliki selisih yang cukup besar jika dibandingkan dengan penelitian Warouw dengan [12,18] kadar FS mencapai 338 µg/L. Peningkatan kadar FS dari penelitian tersebut dimungkinkan karena adanya infeksi sehingga meningkatkan simpanan besi dalam sel retikuloendotelial dan menurunkan [12] kadar besi yang bersirkulasi. Kadar FS bayi baru lahir 9,6 kali lebih tinggi dibandingkan kadar FS ibu melahirkan dan hal ini sejalan dengan penelitian-penelitian lain seperti Warouw dan Kaneshige dimana kadar FS bayi baru lahir masing-masing mencapai lima kali dan sepuluh kali lebih tinggi dibandingkan dengan kadar FS ibu [12,13] melahirkan. Hasil ini mendukung teori bahwa serum feritin ibu hamil biasanya mulai turun pada minggu ke12 sampai minggu ke-25 kehamilan dengan transfer besi terbesar terjadi [2] pada minggu ke-30 kehamilan. Penelitian ini memberikan hasil korelasi signifikan positif yang sangat lemah (r=0,128; p<0,05). Sampai saat ini, korelasi antara kadar FS ibu melahirkan dengan kadar FS bayi baru lahir masih menunjukkan hasil yang berbeda-beda. Beberapa penelitian memiliki hasil dengan korelasi yang sangat lemah (r<0,4) seperti penelitian MacPhail, penelitian Lao et al., penelitian Vasquez-Molina ME et al. dengan hasil masing-masing yaitu r=0,21, r=0,10 dan r=0,15. Hasil ini memberikan kesan bahwa janin mampu mengambil besi dari ibu tanpa [8,20,21] tergantung dari cadangan besi ibu. Janin memiliki mekanisme kompensasi yang dapat digunakan dalam kondisi status besi ibu yang rendah, sehingga status besi janin dapat tercukupi dengan baik.

8 JIMKI Volume 3 No.2 | Juli -Desember 2015


Mekanisme ini dijelaskan oleh Allen dengan adanya mekanisme peningkatan reseptor transferin plasenta yang akan meningkatkan besi yang [2] akan disalurkan melalui plasenta. Secara umum masih pada penelitian yang sama, diasumsikan bahwa status besi janin tidak tergantung pada status besi maternal selama kehamilan, kecuali jika janin tersebut dilahirkan dari ibu dengan kondisi anemia yang berat. Mekanisme kompensasi ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Rusia et al. dimana konsentrasi reseptor serum transferin ditemukan meningkat pada bayi yang dilahirkan oleh ibu [21] dengan anemia. Penelitian lain menunjukkan hasil korelasi yang positif lemah seperti pada penelitian Kaneshige, Singla, dan Warouw et al. yang mengindikasikan bahwa status besi bayi sangat [6,8,9] bergantung pada status besi ibu. Penelitian Rusia menghasilkan korelasi yang positif yaitu r=0,40 pada ibu hamil dengan prevalensi anemia defisiensi [21] besi sebesar 34%. Sedangkan penelitian Warouw et al. memberikan hasil korelasi sebesar r=0,538 dengan [9] nilai kemaknaan 0,002 (p<0,01). Korelasi positif lemah dijelaskan sebagai indikasi bahwa cadangan besi ibu merefleksikan cadangan besi bayi. Hal ini memberikan kesan bahwa pada suatu cut-off tertentu dimana cadangan besi ibu telah sangat terkuras, mekanisme kompensasi yang dilakukan oleh janin untuk memenuhi kebutuhan besi intrauterin tidak dapat dilakukan. Sehingga sebagai konsekuensinya, janin akan mengalami penurunan cadangan besi seperti yang terjadi pada kondisi ibu yang mengandungnya. Hasil penelitian yang menunjukkan bahwa terdapat korelasi positif yang sangat lemah, memberikan kesan bahwa feritin serum ibu kurang berpotensi untuk menjadi prediktor terjadinya anemia pada bayi baru lahir. Penelitian ini dapat dikembangkan lebih lanjut dengan dilakukan penelitian pada sampel yang diikuti kehamilannya sejak trimester satu kehamilan, sehingga diharapkan didapatkan data kadar FS sejak awal kehamilan. Variabel bebas penelitian juga dapat dikembangkan ke status besi lain seperti hemoglobin, sehingga nantinya dapat ditemukan titik

balik pada situasi kadar FS bayi yang makin buruk dengan ibu yang mengalami defisiensi besi yang semakin berat. Hal ini akan memberikan dukungan pada penelitian ini, bahwa korelasi sangat lemah yang muncul merupakan bentuk keberhasilan dari mekanisme kompensasi dari bayi, dan pada titik dimana defisiensi besi, bentuk parah dari deplesi besi terjadi pada ibu, mekanisme kompensasi ini akan gagal dan kondisi deplesi besi pada bayi dapat diprediksi. 5. KESIMPULAN Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa terdapat korelasi antara kadar FS ibu melahirkan dengan kadar FS bayi baru lahir dengan korelasi positif yang sangat lemah dan signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa tidak semua ibu hamil yang mengalami deplesi besi akan melahirkan bayi yang mengalami deplesi besi pula, sehingga dapat dikatakan bahwa feritin serum ibu kurang berpotensi untuk menjadi prediktor terjadinya anemia pada bayi baru lahir. DAFTAR PUSTAKA 1. Umbreit,J. “Iron Deficiency: AConcise Review.” American Journal of Hematology, 2005.78(1):225-231. 2. Allen, LH. “Anemia and Iron Deficiency: Effects on Pregnancy Outcome”,American Journal Clinical Nutrition, 71:(2007):1280S-1284S. 3. Suega. K, et al. ”Iron-deficiency Anemia in Pregnant Women in Bali, Indonesia: A Profile of Risk Factors and Epidemiology”,Southeast Asian Journal Tropical Medical Public Health, 33:3(2002):604-607. 4. Stoltzfus,RJ dan Dreyfuss, ML. ”Guidelines for The Use of Iron Supplements to Prevent and Treat Iron Deficiency Anemia”, INACG, (2011). 5. Wu AC, Lesperance L, dan Bernstein, H. “Screening for Iron Deficiency”,Pediatrics in Review, 23:5(2002):171-178. 6. SinglaPN, et al. ”Fetal Iron Status in Maternal Anemia”,Acta Paediatr, 85:(1996):1327-1330. 7. Rios E, Lipschitz DA, Cook JD, dan Smith NJ. “Relationship of Maternal

9 JIMKI Volume 3 No.2 | Juli -Desember 2015


8.

9.

10.

11.

12.

13.

14.

15.

and Infant Iron Stores as Assessed by Determination of Plasma Feritin”,Pediatric, 55:(1975):694-7. MacPhail AP, et al. ”The Relationship between Maternal and Infant Iron Status”, Scand J Haematol, 25:2 (1980):141-150. Sastroasmoro, S dan Ismael, S, Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Klinis, 4th ed. Jakarta: Sagung Seto, 2011. World Health Organization. “Worldwide Prevalence of Anaemia 1993–2005”, WHO Global Database, (2008). Kaneshige E. “Serum Ferritin as an Assessment of Iron Stores: Other Hematologic Parameters during Pregnancy”, Obstet Gynecol, 57:(1981):238-241. Warouw NN dan Wiriadinata S. “Hubungan Feritin Serum Ibu Hamil Trimester ke Tiga dengan Bayi Berat Badan Lahir Rendah”,Cermin Dunia Kedokteran,146:(2005):5-15. Tandara L dan Salamunic I. ”Iron Metabolism: Current Facts and Future Directions”,Biochemica Medica, 22:(2012):311-328. Cook JD dan Finch CA. “Assessing Iron Status of a Population”, American Journal of Clinical Nutrition, 32:(1979):2115-2119. World Health Organization.“Serum Ferritin Concentrations for The Assessment of Iron Status and Iron

16.

17.

18.

19.

20.

21.

Deficiency in Populations”,Vitamin and Mineral Nutrition Information System (2011). 11 September 2014<http://www.who.int/vmnis/indic ators/serum_ferritin.pdf.> Suega K, et al. “Perbandingan Beberapa Metode Diagnosis Anemia Defisiensi Besi: Usaha Mencari Cara Diagnosis yang Tepat untuk Penggunaan Klinik”, Jurnal Penyakit Dalam, 8:1(2007):1-12. Jaime-Perez JC, Herrera-Garza JL, dan Gomez-Almaguer D. ”SubOptimal Fetal Iron Acquisition Under a Maternal Environment”,Archives of Medical Research, 36(2005):598602. Obladen M, Diepold K, dan Maier RF. “Venous and Arterial Hematologic Profiles of Very Low Birth Weight Infants”,European Multicenter rhEPO Study Group,Pediatrics, 106:4(2000):707– 711. Lao TT, et al. “Relationship Between Newborn and Maternal Iron Status and Haematological Indices”,Biol Neonate, 60:(1991):303–307. Vasquez-Molina ME, et al. “Relationship Between Maternal and Neonatal Iron Stores”,Salud Publica Mex, 43:(2001):402-407. Rusia U, et al. “Effect of Maternal Iron Deficiency Anaemia on Foetal Outcome”, Indian J Pathol Microbiol, 38:(1995):273-279.

10 JIMKI Volume 3 No.2 | Juli -Desember 2015


MASALAH KESEHATAN RESPIRASI DI MASYARAKAT PERUMAHAN JAKARTA 2012: Tinjauan terhadap pengetahuan, sikap, kepuasan, dan asuransi kesehatan

Penelitian

1

1

1

Fauzan H. Firman, Saras S. Sesari, Randi R. Mulyadi, Elisna 2 Syahruddin 1

Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi, Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia

2

3

Staff PengajarABSTRAK Departemen Biologi Medik Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya

Email: suryawijaya_102@yahoo.com

Pendahuluan: Masalah kesehatan respirasi merupakan salah satu masalah kesehatan di Indonesia. Masalah kesehatan tersebut terdiri dari tuberkulosis paru, asma, penyakit paru obstruktif kronis (PPOK), dan pneumonia. Untuk menurunkan prevalensi masalah kesehatan respirasi tersebut, perlu interaksi yang baik antara faktor internal berupa pengetahuan dan sikap serta faktor eksternal berupa kepuasan terhadap fasilitas kesehatan dan asuransi kesehatan. Interaksi tersebut dapat terlihat dalam bentuk hubungan antara variabel – variabel tersebut dengan variabel masalah kesehatan respirasi. Metode: Desain penelitian adalah cross-sectional. Pengambilan sampel menggunakan cluster sampling dan simple random sampling. Sampel sebanyak 107 subjek berasal dari Bintaro, Jakarta Selatan. Data primer didapat melalui pengisian kuesioner dengan metode wawancara. Variabel bebas adalah pengetahuan, sikap, kepuasan terhadap fasilitas kesehatan, dan kepemilikan asuransi kesehatan. Variabel terikat adalah masalah kesehatan respirasi meliputi tuberkulosis paru, asma, bronkitis kronik, dan emfisema. Hasil: Prevalensi masalah kesehatan respirasi sebesar 27,88%. Hubungan antar variabel menggunakan uji Chi-Square menunjukkan hubungan yang bermakna antara masalah kesehatan respirasi dengan pengetahuan kesehatan respirasi (p<0,001), sikap preventif (p=0,032), kepuasan terhadap pelayanan fasilitas kesehatan (p<0,001), dan kepemilikan asuransi kesehatan (p=0,022). Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara masalah kesehatan respirasi dengan pengetahuan penyakit respirasi (p=0,380) dan sikap healthcare-seeking (p=0,376). Diskusi: Prevalensi yang didapatkan dalam penelitian over estimasted dengan data yang ada. Beberapa penelitian menunjukkan hubungan yang sama antara variabel yang diteliti dalam penelitian ini. Kesimpulan: Terdapat hubungan antara pengetahuan kesehatan respirasi, sikap preventif, kepuasan terhadap fasilitas kesehatan, asuransi kesehatan dengan masalah kesehatan respirasi. Kata kunci: masalah kesehatan respirasi, pengetahuan, sikap, kepuasan, asuransi kesehatan, perumahan, Jakarta ABSTRACT Introduction: Respiratory health problems are one among million health problems in Indonesia.These problems are including lung tuberculosis, asthma, chronic obstructive pulmonary disease (COPD), pneumonia, and lung cancer. For lowering down the prevalence of respiratory health problems, a good interaction between internal factors like knowledge and attitude; and external factors like satisfactory towards health facillities and insurance is crucial. Those interaction can be seen in the relations betweenthose variableswith the respiratoryhealth problems variable. Methods: Design of this study is cross-sectional. Samples are chosen by simple random sampling. Total samples are 107 subjects from Bintaro, South Jakarta. Primary data were collected by filling out questionnaires using interview methods. The independent variables

JIMKI Volume 3 No.2 | Juli -Desember 2015

11


are knowledge, attitude, satisfaction of health facillities, and ownership of health insurance. The dependent variable is the respiratory health problems. Results: Prevalence of respiratory health problems is 27,88%. The relationshipamong variablesare analized using Chi-Square, which showsthat there is relationship between respiratory health problems with knowledge of respiratory health (p<0,001), preventive attitude (p=0,032), satisfactory towards health carefacilities (p<0,001), and ownership of health insurance (p=0,022). There is noassociation between respiratory health problems with the knowledge of respiratory disease (p=0,380) and healthcare-seeking attitude (p=0,376). Discussion: There is difference of prevalence with other studies because of region areas and samples included in the research. Some studies show same relationship among variables included in this study. Conclusion: There is relationship among knowledge of respiratory health, preventive attitude, satisfactory towards health care facilities, health insurances, and respiratory health problems. Key words: respiratory health problems, knowledge, attitude, satisfactory, health insurance, Jakarta 1. PENDAHULUAN Masalah kesehatan respirasi merupakan salah satu masalah kesehatan yang memiliki urgensi cukup penting. di Indonesia. Menurut data National Health Survey tahun 2001, masalah kesehatan respirasi menjadi penyebab kematian ketiga di Indonesia setelah penyakit infeksi dan penyakit kardiovaskular. Masalah kesehatan respirasi yang sering ditemukan di Indonesia antara lain tuberkulosis paru, asma, penyakit paru obstruktif kronik (PPOK), dan pneumonia. Prevalensi keempat masalah kesehatan tersebut di Indonesia masih cukup tinggi. Prevalensi tuberkulosis paru di Jakarta pada tahun 2012 adalah 256 per 100.000 penduduk dan prevalensi pneumonia di Jakarta pada tahun 2012 [1] adalah 960 per 100.000 penduduk. Prevalensi asma di Jakarta pada tahun 2013 adalah 5,2% dan prevalensi PPOK di Jakarta pada tahun 2013 adalah [2] 5,6%. Prevalensi masalah kesehatan respirasi tersebut perlu diturunkan. Interaksi dari berbagai komponen seperti yang terdapat dalam konsep Bloom merupakan gagasan yang diperlukan untuk menurunkan prevalensi masalah kesehatan respirasi. Menurut teori tersebut, kesehatan individu dipengaruhi oleh faktor internal (indvidu), gaya hidup, lingkungan, dan [3] fasilitas kesehatan. Pengetahuan dan sikap merupakan faktor internal dan gaya hidup yang dapat mencerminkan perilaku sehari-sehari terhadap masalah

JIMKI Volume 3 No.2 | Juli -Desember 2015

kesehatan respirasi. Mengenai fasilitas kesehatan, kepuasan terhadap fasilitas kesehatan dan kepemilikan asuransi kesehatan merupakan hal yang penting juga untuk dikaji. Berdasarkan penjelasan di atas, masalah kesehatan respirasi masih sangat perlu diangkat menjadi sebuah topik penelitian. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui prevalensi masalah kesehatan respirasi di Jakarta pada tahun 2012 serta mengetahui hubungan antara faktor-faktor tersebut dengan masalah kesehatan respirasi. Penelitian ini dilakukan di masyarakat perumahan karena penelitian-penelitian sebelumnya belum ada yang dilakukan di populasi masyarakat perumahan di Jakarta. 2. METODE Penelitian ini adalah studi analitik yang menggunakan desain potong lintang.. Cara pemilihan sampel pada penelitian ini terbagi dua. Tahap pertama dilakukan pengacakan untuk memilih kelurahan tempat penelitian dan tahap kedua dilakukan pengacakan untuk memilih subjek penelitian. Populasi target yaitu masyarakat perumahan di Jakarta dari kelurahan terpilih. Berdasarkan randomisasi yang dilakukan, kelurahan terpilih adalah kelurahan Bintaro (populasi terjangkau). Selanjutnya dilakukan simple random sampling untuk menentukan 107 subjek di lingkungan perumahan yang akan menjadi sampel penelitian. Sampel penelitian adalah bapak atau ibu dari sebuah keluarga terpilih. Bapak atau ibu

12


dipilih karena mempertimbangkan kemudahan untuk mengambil data dan dapat mewakili dari sebuah keluarga. Sumber data berupa data primer. Data diperoleh dari kuesioner yang diisi oleh peneliti berdasarkan informasi yang didapat dari subjek melalui metode wawancara. Variabel–variabel bebas adalah tingkat pengetahuan, sikap, kepuasan terhadap pelayanan fasilitas kesehatan, dan kepemilikan asuransi kesehatan. Variabel pengetahuan, dikatakan baik jika nilai >75%, cukup jika nilai 60% - 75%, dan kurang jika [6] nilai <60%. Variabel sikap, sikap baik jika nilai >70% dan sikap kurang jika nilai <70%. Kategori kepuasan terhadap fasilitas kesehatan, puas jika nilai >42,6 [4] dan tidak puas jika nilai <42,6. Variabel–variabel tersebut dihubungkan dengan variabel terikat yaitu masalah kesehatan respirasi. Analisa hubungan antara variabelvariabel bebas dengan variabel terikat menggunakan uji Chi-Square. Analisa hubungan antara variabel terikat dengan beberapa variabel bebas menunjukkan hubungan bermakna secara statistik (p<0,05). 3. HASIL Seratus tujuh subjek yang diwawancarai dalam mengisi kuesioner, 104 subjek yang memiliki data lengkap terkait karakteristik demografi subjek. Tiga subjek lainnya tidak diikutkan dalam analisis data selanjutnya. Tabel 1. Karakteristik Demografi Subjek Karakteristik Jumlah (%) Usia (Mean) 40,8 (SB 10,1) Jenis Kelamin Pria 22 21,15 Wanita 82 78,85 Pendidikan Tidak lulus SD 4 3,85 Lulus SD 20 19,23 Lulus SMP 29 27,88 Lulus SMA 41 39,42 Lulus PT 10 9,62 Pekerjaan Tidak bekerja 60 57,69 Bekerja 44 42,31 Penghasilan Miskin 3 2,88 Tidak miskin 35 33,65 Sejahtera 66 63,47

JIMKI Volume 3 No.2 | Juli -Desember 2015

Klasifikasi penghasilan adalah: miskin jika penghasilan <Rp 600.000 per bulan, tidak miskin jika penghasilan berada antara Rp 600.000 dan Rp 1.200.000, dan sejahtera jika penghasilan >Rp [5] 1.200.000. Sebagian besar subjek terdiri dari wanita (82 orang, 78,85%), lulus SMA (41 orang, 39,42%), tidak bekerja (60 orang, 57,69%), dan sejahtera (66 orang, 63,47%). 3.1 Prevalensi Masalah Kesehatan Respirasi Gambar 1 menunjukkan sebanyak 75 orang (72,12%) tidak mengalami masalah kesehatan respirasi, sedangkan 29 orang (27,88%) mengalami masalah kesehatan respirasi. Tuberkulosis paru merupakan penyakit yang paling banyak diderita yaitu sebanyak 15 orang (52%). Asma menempati urutan ke-dua yaitu sebanyak 9 orang (31%), kemudian bronkitis kronik sebanyak 3 orang (10%), dan emfisema sebanyak 2 orang (7%).

80

75 (72,12%)

60 40

29 (27,88%)

20 0 Tidak Memiliki

Memiliki

Gambar 1. Prevalensi Masalah Kesehatan Respirasi

Tuberkulosis Paru Asma Bronkitis Kronik Emfisema

7% 10% 31%

52%

Gambar 2. Distribusi Masalah Kesehatan Respirasi Per Penyakit

13


3.2 Distribusi Subjek Berdasarkan Pengetahuan, Sikap, Kepuasan, dan Kepemilikan Asuransi Kesehatan Pada variabel pengetahuan, subjek ditanya mengenai sumber informasi dan frekuensi mendapat informasi. Sumber informasi; sebagian besar mendapatkan dari media elektronik (85 orang), tenaga kesehatan (82 orang), media cetak (65 orang), internet (47 orang), dan tidak mendapatkan informasi (3 orang). Frekuensi mendapatkan informasi; sebagian besar mengaku jarang (70 orang, 68,6%), sering (27 orang, 26,5%), tidak pernah (3 orang, 2,9%), dan selalu (2 orang, 2%). Pada kategori fasilitas kesehatan, subjek ditanya mengenai fasilitas kesehatan yang paling sering dikunjungi dan fasilitas kesehatan yang paling dekat. Fasilitas kesehatan yang paling sering dikunjungi; sebagian besar ke puskesmas (47 orang, 45,2%), klinik (44 orang, 42,3%), dan rumah sakit pemerintah (4 orang, 3,8%). Fasilitas kesehatan yang paling dekat; ke klinik (56 orang, 53,9%), puskesmas (39 orang, 37,5%), dan rumah sakit pemerintah (9 orang, 8,6%). Pada asuransi kesehatan, subjek ditanya mengenai penggunaan asuransi kesehatan dan jenis kepemilikan asuransi kesehatan. Penggunaan asuransi kesehatan; sebagian besar menggunakan kadang-kadang (18 orang, 17,3%), selalu (13 orang, 12,5%), jarang (12 orang, 11,5%), dan tidak pernah (8 orang, 7,7%). Kepuasan terhadap asuransi kesehatan; sebagian besar agak puas (17 orang, 17,3%), kurang puas (15 orang, 11,5%), sangat puas (13 orang, 12,5%), dan tidak puas (6 orang, 7,7%). Jenis kepemilikan asuransi kesehatan; sebagian besar adalah asuransi kesehatan swasta (20 orang, 19,2%), askes (16 orang, 15,4%), jamsostek (10 orang, 9,6%), dan jamkesmas (5 orang, 4,8%).

Tabel 2. Distribusi Subjek Berdasarkan Pengetahuan, Sikap, Kepuasan, dan Kepemilikan Asuransi Kesehatan Variabel Jumlah % Pengetahuan a.Kesehatan Respirasi Kurang 23 22,5 Sedang 20 19,6 Baik 59 57,8 b.Penyakit Respirasi Kurang 40 39,2 Sedang 44 43,1 Baik 18 17,6 Sikap a.Healtcareseeking Kurang 37 38,1 Baik 60 61,9 b.Preventif Kurang 23 23,7 Baik 74 76,3 Kepuasan terhadap fasilitas kesehatan Tidak puas 54 51,9 Puas 50 48,1 Asuransi Kesehatan a.Tidak memiliki 53 51 b.Memiliki 51 49 3.3 Hubungan Antar Variabel Tabel 3. Hubungan Antar Variabel Variabel

Pengetahua n kesehatan respirasi Pengetahua n penyakit respirasi Sikap healthcareseeking Sikap preventif Kepuasaan

Asuransi

Kategori

Kurang Cukup Baik Kurang Cukup Baik Kurang Baik Kurang Baik Tidak puas Puas Tidak punya Punya

Masalah Kesehatan Respirasi Ya Tid ak 13 10 10 10 6 53 11 29 15 29 3 15 13 24 16 44 11 18 25

12 56 29

4 20

46 33

9

42

P

<0,001

0,380

0,376

0,032 <0,001

0,022

*Uji Chi-Square

JIMKI Volume 3 No.2 | Juli -Desember 2015

14


Berdasarkan tabel di atas, faktorfaktor yang berhubungan dengan masalah kesehatan respirasi yaitu pengetahuan kesehatan respirasi, sikap preventif, kepuasan, dan asuransi. Pengetahuan kesehatan respirasi dan sikap preventif yang baik diharapkan akan mencegah seseorang terkena masalah kesehatan respirasi. Hal yang sama juga berlalu yaitu kepuasan yang baik dan kepemilikan asuransi kesehatan diharapakan dapat mencegah seseorang dari masalah kesehatan respirasi. 4. PEMBAHASAN Masalah kesehatan respirasi dapat dipengaruhi oleh faktor – faktor lainnya yang tidak diteliti (faktor perancu) seperti: genetik, lingkungan tempat tinggal, dan lingkungan kerja. Faktor-faktor tersebut tidak diteliti karena keterbatasan biaya dan tenaga sehingga tidak dilakukan kajian terhadap faktor-faktor tersebut. Silent sign dapat menyebabkan angka prevalensi masalah kesehatan respirasi lebih tinggi daripada angka yang didapatkan di penelitian ini karena status masalah kesehatan respirasi didapatkan berdasarkan diagnosis dokter. Hal tersebut berarti bahwa subjek dikatakan mempunyai masalah kesehatan respirasi jika subjek telah pergi ke fasilitas kesehatan (ke dokter) sehingga mengetahui masalah kesehatan respirasi apa yang sedang diderita. Berbeda dengan silent sign sebuah masalah kesehatan respirasi dimana masalahnya tersebut sudah ada tetapi subjek belum pergi ke fasilitas kesehatan sehingga belum mengetahui masalah apa yang sedang ia derita. Prevalensi masalah kesehatan respirasi di penelitian ini adalah 27,88%. Prevalensi tuberkulosis di penelitian ini adalah 14,42%. Angka ini diperkirakan lebih tinggi lagi karena bisa saja individu dengan tuberkulosis tidak tercakup dalam penelitian ini. Penelitian lain mendapatkan prevalensi tuberkulosis di Indonesia berada di sekitar angka [6] 5,8%. Berdasarkan data Riskesdas 2007 prevalensi tuberkulosis di Jakarta adalah 1,26%. Prevalensi tuberkulosis lebih tinggi di pedesaan daripada di perkotaan dan banyak ditemukan pada masyarakat dengan tingkat pendidikan

JIMKI Volume 3 No.2 | Juli -Desember 2015

rendah. Prevalensi tuberkulosis di Malaysia pada tahun 2013 dilaporkan [7] 131/100.000. Prevalensi asma di penelitian ini adalah 8,66%. Angka ini overestimasi jika dibandingkan dengan data Riskesdas 2007 yang menunjukkan bahwa prevalensi asma di Jakarta sebesar 2,9%. Karakteristik umum yang berkaitan dengan asma adalah pendidikan rendah, tidak bekerja, pendapatan rendah dan lingkungan perkotaan. Jakarta merupakan kota dengan prevalensi asma tertinggi di [8] Indonesia yaitu sebesar 16,4%. Pengetahuan dalam penelitian ini adalah hal-hal yang berhubungan dengan kesehatan respirasi. Hal tersebut adalah jenis penyakit respirasi, faktor resiko, manifestasi klinis, kebiasaan merokok, lingkungan pekerjaan, lingkungan tempat tinggal, dan media penularan penyakit. Sebagian besar subjek memiliki tingkat pengetahuan yang baik. Penelitian lain dilakukan juga menyatakan hal yang sama bahwa pengetahuan masyarakat umum terhadap bahaya merokok dan kanker paru mayoritas berada pada [9] kategori baik. Hasil yang berbeda ditunjukkan pada penelitian lain bahwa lebih dari 50% subjek pada penelitian tersebut memiliki tingkat pengetahuan [10] yang rendah terhadap rokok. Kembali ke tingkat pengetahuan subjek di penelitian ini sebagian besar berada di kategori baik, hal ini juga didukung oleh hanya 2,9% subjek yang tidak memiliki sumber informasi. Pengetahuan lebih spesifik terkait dengan definisi, etiologi, manifestasi klinis, pencegahan, pengobatan, dan komplikasi dari tuberkulosis, asma, penyakit paru obstruktif kronis, infeksi paru, dan kanker paru. Sebagian besar subjek berada pada kategori cukup. Tingkat pengetahuan yang sebagian besar cukup ini didukung oleh 97,1% subjek memiliki setidaknya 1 sumber informasi. Hasil yang sama juga menunjukkan dimana tingkat pengetahuan ibu terhadap pneumonia sebagian besar memiliki pengetahuan [11] yang cukup. Hal yang berbeda dikemukakan dimana pengetahuan masyarakat tentang asma masih berada [12] di kategori rendah. Perbedaan hasil penelitian tersebut kemungkinan dari

15


sisi jumlah sampel. Jumlah sampel yang digunakan sekitar 3 kali lipat lebih banyak daripada penelitian pembanding yang telah disebutkan. Pada analisis hubungan antara pengetahuan tentang kesehatan respirasi dengan masalah kesehatan respirasi, didapatkan hubungan yang bermakna secara statistik (p<0,05). Pengetahuan yang baik inilah yang menjadi titik awal dimana prevalensi masalah kesehatan respirasi dapat menurun. Pengetahuan yang baik berkorelasi positif dengan perilaku terutama perilaku hidup bersih dan [10,13] sehat. Berbeda dengan pengetahuan umum tentang kesehatan respirasi, pengetahuan spesifik terhadap penyakit respirasi tidak berhubungan bermakna dengan masalah kesehatan respirasi itu sendiri. Hal tersebut berarti peningkatan pengetahuan mengenai kesehatan respirasi berkorelasi positif terhadap penurunan prevalensi masalah kesehatan respirasi. Pengetahuan yang dimiliki oleh seseorang, pandangan terhadap bahaya sebuah penyakit dapat menghasilkan sebuah sikap agar dapat melakukan halhal yang dapat menjauhkannnya dari penyakit tersebut. Menurut teori health belief model, pengetahuan dan sikap ini dipengaruhi oleh latar belakang seseorang seperti: kebudayaan, tingkat [14] pendidikan,pengalaman,dan motivasi. Merujuk kepada hasil penelitian bahwa sebagian besar subjek memiliki tingkat pendidikan tamat SMA, maka hal ini dapat menjelaskan kenapa pada kedua kategori sikap juga memiliki hasil yang sebagian besar adalah sikap yang baik. Tidak adanya hubungan yang bermakna antara sikap healthcareseeking dengan masalah kesehatan respirasi, memiliki perbedaan dengan beberapan pernyataan dari WHO dan penelitian lainnya. Menurut WHO, salah satu permasalahan tingginya angka morbiditas dan mortalitas dari tuberkulosis adalah keterlambatan dalam mencari pengobatan ke fasilitas [15] kesehatan. Hal ini disebabkan karena manifestasi klinis awal tuberkulosis adalah berupa gejala konstitusi yang biasa ditemukan pada penyakit infeksi lainnya. Hasil penelitian lain menunjukkan hal yang berbeda yaitu

JIMKI Volume 3 No.2 | Juli -Desember 2015

sikap healthcare-seeking ini berhubungan dengan tingkat mortalitas [16] tuberkulosis. Permasalahan lain terhadap sikap healthcare-seeking ini adalah sikap masyarakat untuk mencoba mengatasi manifestasi klinis awal dari masalah kesehatan respirasi. Manifestasi tersebut bisa berupa batuk, pilek, dan demam. Akibat dari sikap tersebut, perkembangan penyakit menjadi semakin parah dan barulah dibawa ke fasilitas kesehatan sehingga bisa disebut juga dengan keterlambatan dalam mencari pengobatan ke fasilitas kesehatan. Hal yang serupa juga ditemukan di Sudan dimana sebanyak 91,1% subjek baru membawa anak/anggota keluarga ke fasilitas kesehatan setelah manifestasi klinis suatu penyakit tidak dapat ditanggulangi [17] secara mandiri. Dapat dikatakan sikap healthcare-seeking lebih bersifat kuratif dibandingkan pencegahan. Oleh karena itu, sikap ini tidak memiliki hubungan bermakna dengan prevalensi masalah kesehatan respirasi. Berbeda dengan sikap healthcare-seeking, sikap preventif menunjukkan hubungan yang bermakna dengan masalah kesehatan respirasi. Sikap ini menjadikan barrier terhadap terjangkitnya seseorang dengan masalah kesehatan respirasi. Selain peran dari pengetahuan dan sikap terhadap masalah kesehatan respirasi, peran fasilitas kesehatan juga penting untuk dikaji. Fasilitas kesehatan mempunyai peranan pada tingkat primer berupa preventif, tingkat sekunder berupa kuratif, dan tingkat tersier berupa rehabilitasi. Fasilitas kesehatan dapat dianggap sebagai sebuah perusahaan jasa dan pasien dianggap sebagai sebuah konsumen sehingga kepuasan pasien terhadap pelayanan fasilitas kesehatan dapat menggambarkan kinerja sebuah fasilitas kesehatan. Hubungan yang bermakna antara kepuasan dan masalah kesehatan respirasi memberikan masukan ke pihak terkait mengenai penambahan jumlah fasilitas kesehatan dan memperbaiki kinerja fasilitas kesehatan di masyarakat dengan kepadatan tinggi [17] (overcrowding). Peran fasilitas kesehatan (terutama fasilitas kesehatan

16


primer) memegang peranan penting dalam pelaporan kasus baru tuberkulosis dan pemberian obat anti tuberkulosis (OAT). Pemerataan jumlah fasilitas kesehatan dan akses yang terjangkau merupakan faktor pencegah atau penurunan angka prevalensi dari [18] tuberkulosis. Terkait dengan asma, peran penting dari fasilitas kesehatan berupa penyebaran informasi mengenai pertolongan pertama jika serangan [19] asma terjadi. Jadi, merupakan sebuah kombinasi yang tepat antara program dari fasilitas kesehatan yang baik dan kepuasan masyarakat yang tinggi untuk menurunkan angka prevalensi masalah kesehatan respirasi. Selanjutnya, asuransi kesehatan dapat menjadi solusi sistem pendanaan agar akses fasilitas kesehatan dapat dijangkau oleh seluruh lapisan [20] masyarakat.

5. KESIMPULAN Prevalensi masalah kesehatan respirasi di masyarakat perumahan Jakarta pada tahun 2012 yaitu 27,88%. Rincian masalah kesehatan respirasi yang ditemui antara lain: tuberkulosis paru (52%), asma (31%), bronkitis kronik (10%), dan emfisema (7%). Faktor-faktor yang terkait dengan masalah kesehatan respirasi yaitu: pengetahuan mengenai kesehatan respirasi, sikap preventif, kepuasan terhadap pelayanan kesehatan respirasi, dan kepemilikan asuransi kesehatan. Walaupun subjek penelitian memiliki pengetahuan yang baik, upaya promosi kesehatan perlu dilakukan baik melalui fasilitas kesehatan maupun media informasi untuk menyebarkan informasi terkait masalah kesehatan respirasi supaya prevalensi masalah kesehatan respirasi dapat dikurangi. Pada promosi kesehatan (salah satu contohnya penyuluhan), intervensi dilakukan untuk menghasilkan pengetahuan yang baik terhadap masalah kesehatan respirasi dan bagaimana mencegah dan mengobatinya. Peran yang baik dari fasilitas kesehatan harus ditunjang dengan kepuasan yang baik juga sehingga tidak terjadi ketimpangan

JIMKI Volume 3 No.2 | Juli -Desember 2015

antara kebijakan fasilitas kesehatan dengan umpan balik (kepuasan) dari masyarakat (target). Selain itu, asuransi kesehatan dapat dipertimbangkan sebagai sistem pendanaan agar akses fasilitas kesehatan dapat dicapai oleh seluruh lapisan masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA 1. Kementerian kesehatan RI.Profil Kesehatan Propinsi DKI Jakarta tahun 2012.2012. 5 May 2015. <http://www.depkes.go.id/resources/ download/profil/PROFIL_KES_PRO VINSI_2012/11%20Profil_Kes.Prov. DKIJakarta_2012.pdf> 2. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.Riset Kesehatan Dasar Tahun 2013.2013.5 May 2015 <www.depkes.go.id/resources/down load/general/Hasil%20Riskesdas%2 02013.pdf> 3. “Trade,foreign policy,diplomacy and health. World Health Organization. 2011. 4 May 2015. <http://www.who.int/trade/glossary/s tory046/en/> 4. “Beban dan Tantangan Tuberkulosis.” Staff Universitas Indonesia (UI). 2012. 4 May 2015. <staff.ui.ac.id> 5. “Kategori Penghasilan Menurut Tingkat Pendapatan.”Digilib Universitas Sebelas Maret Solo (UNS). 4 May 2015. < http://digilib.uns.ac.id/upload/dokum en/173382312201007365.pdf>. 6. Notoatmodjo, Soekidjo. Promosi Kesehatan Teori dan Aplikasi. Jakarta: PT. Rineka Cipta,2005. 7. World Health Organization. Tuberculosis country profile 2013.11 June 2015.<http://www.who.int/tb/country/ data/profiles/en/> 8. Udani, Prisha Jagadish. “Tingkat Pengetahuan Masyarakat Umum dan Mahasiswa terhadap Bahaya Merokok dan Kanker Paru di Kota Medan.” Repository Universitas Sumatera Utara (USU). (2010). 4 May 2015 <http://repository.usu.ac.id/bitstream /123456789/23385/7/Cover.pdf> 9. Iqbal, Muhammad Fariz. “Perilaku Merokok Remaja di Lingkungan RW. 22 Kelurahan Sukatani

17


10.

11.

12.

13.

14.

15.

16.

17.

Kecamatan Cimanggis Depok.”Library Universitas Indonesia (UI). (2008). 4 May 2015 <http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/123 594-S-5354-Perilaku%20merokokHA.pdf> Rahmawanti, Dyah. “Tingkat Pengetahuan Ibu Mengenai Pneumonia Pada Balita di Desa Jatimukti dan Desa Jatiroke KecamatanJatinangor.” Perpustakaan Ilmiah Universitas Padjadjaran (Unpad). (2011). 4 May 2015 <http://pustaka.unpad.ac.id/archives /117336/> Wardani, Vani Kusuma. “Hubungan antara Tingkat Pengetahuan Umum Asma Pasien dengan Tingkat Kontrol Asma di RSUD Dr. MoewardiSurakarta”. E-prints Universitas Muhammadiyah Surakarta. (2012). 4 May 2015 <eprints.ums.ac.id/18621/> Kusumawati, Yuli., dan AmbarwatiAstutiDwi. “Hubungan antara Pendidikan dan Pengetahuan Kepala Keluarga tentang Kesehatan Lingkungan dengan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat.”Kes. 1:4(2008). Djannah, Siti Nur., et al.“Hubungan Tingkat Pengetahuan dan Sikap dengan Perilaku Pencegahan Penularan TBC pada Mahasiswa di Asrama Manokwari Sleman Yogyakarta.”Jurnal Kesehatan Masyarakat. 3:3(2009):214-221. T.S, Imam., OyeyiT.I,. “A retrospective study of pulmonary tuberculosis (PTB) prevalence amongst patients attending infectious diseases hospital (IDH) in Kano, Nigeria.”Bayero journal of pure and applied sciences. 1:1(2008):10-15. Oren, Eyal., et al. “Epidemiology of urban tuberculosis in the United States, 2000-2007”. American journal of public health. 101:7(2011):1256-1263. Indrarto, FX Wikan., Sutaryo. Ismail, Djauhar. ”Efektifitas Dukungan Sosial Dokter kepada Orangtua dalam Tatalaksana Anak Asma.” Sari Pediatri. 11:4(2009):305-310. Tones, Keith, dan Sylvia Tifford.Health

JIMKI Volume 3 No.2 | Juli -Desember 2015

Promotion:Effectiveness, Efficiency and Equity. London: Chapman and Hall,2001. 18. World Health Organization. Tuberculosis. February 2013. 4 May 2015 <http://www.who.int/mediacentre/fac tsheets/fs104/en/>. 19. Werf, Van Der., et al. “Healthcare Seeking Behaviour for Tuberculosis Symptoms in Kiev, Ukraine.”The international journal of tuberculosis and lung disease. 10:4(2006):390396. 20. Littiek, Serlie. “Hubungan antara kepemilikan asuransi kesehatan dan akses pelayanan fasilitas kesehatan di nusa tenggara timur.”MKM. 3

18


Tinjauan Pustaka

ADIPOSE MESENCHYMAL STEM CELLS (ASC) TERMODIFIKASI HIF-1α siRNA DENGAN KOADMINISTRASI ATORVASTATIN SEBAGAI TERAPI REGENERATIF RETINOPATI DIABETES 1

Jimmy O. Santoso , Ferry Liwang

1

1

Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia

ABSTRAK Pendahuluan: Retinopati diabetes (RD) merupakan komplikasi tersering dari diabetes mellitus (DM) dan penyebab tersering dari kebutaan orang berusia 20-74 tahun. Data Riskesdas menunjukkan prevalensi RD di Indonesia meningkat dari 1.1% pada tahun 2007 menjadi 2.4% pada tahun 2013. RD ditandai dengan hilangnya perisit dan retina yang rusak. Dengan demikian, penting untuk memperbaiki perisit dan sel retina yang rusak, salah satunya dengan menggunakan adipose mesenchymal stem cells (ASC). Pembahasan: Penggunaan ASC dalam pengobatan RD memiliki keuntungan untuk regenerasi perisit dan sel retina yang rusak, antiapoptosis, serta antiinflamasi. Akan tetapi, ASC akan menghasilkan VEGF pada keadaan hipoksia yang tidak diinginkan dalam RD. Hal ini dapat diatasi dengan koadministrasi atorvastatin secara oral yang mencegah sekresi VEGF oleh ASC melalui penghambatan promoter VEGF pada Hypoxia Responsive Element (HRE) serta meningkatkan homing dari ASC terhadap sel perisit dan retina melalui jalur AMPK-NO-CXCR4. Di samping itu, transfeksi gen HIF-1α siRNA pada ASC terbukti dapat menurunkan kadar VEGF sehingga kerja ASC meningkat. Kesimpulan: Transfeksi gen HIF-1α siRNA dalam ASC secara intravitreal dengan koadministrasi atorvastatin akan menimbulkan efikasi sehingga diharapkan dapat menjadi solusi terapi kuratif dan preventif sekunder RD. Kata Kunci: adipose mesenchymal stem cells (ASC), atorvastatin, HIF-1α siRNA, retinopati diabetes ABSTRACT Introduction: Diabetic retinopathy (RD) is the most common complication of diabetes mellitus (DM) and the most common cause of blindness in people aged 20-74. Accroding to Riskesdas, prevalence of RD in Indonesia increased from 1.1% in 2007 to 2.4% in 2013. RD characterized by loss of pericyte and retinal damage. Thus, it is important to improve pericyte and damaged retinal cells, one of which is through the use of adipose mesenchymal stem cells (ASC). Discussion: Application of ASC as treatment of RD has the advantage for pericyte and regeneration of damaged retinal cells, anti-apoptotic, and anti-inflammatory. However, the ASC will produce VEGF in hypoxia which is not desirable in RD. This can be overcome by coadministration of oral atorvastatin to prevent the secretion of VEGF by the ASC through inhibition of the VEGF promoter Hypoxia Responsive Element (HRE) and to improve the homing of ASC to pericyte and retinal cells through AMPK-NO-CXCR4. In addition, HIF-1α gene transfection of siRNA in the ASC is proven to reduce levels of VEGF thus increasing employment ASC. Conclusion: Intravitreal HIF-1α gene transfection of siRNA in the ASC with coadministration of atorvastatin will cause efficacy which is expected to be a curative therapy solutions and secondary prevention of RD.

JIMKI Volume 3 No.2 | Juli -Desember 2015

19


Keywords: adipose mesenchymal stem cells (ASC), atorvastatin, HIF-1Îą siRNA, diabetic retinopathy 1. PENDAHULUAN Retinopati diabetes (RD) adalah gangguan mikrovaskularisasi retina yang disebabkan oleh kerusakan perisit akibat kondisi hiperglikemia. Sebagai komplikasi tersering dari diabetes mellitus (DM), penyakit ini juga menjadi penyebab tersering dari kebutaan pada orang dewasa berusia 20-74 tahun. RD terjadi pada hampir seluruh penderita diabetes mellitus (DM) tipe 1 dan >60% DM tipe 2 pada 20 tahun setelah [1] diagnosis. Padahal prevalensi DM saat [2] ini diperkirakan adalah 382 juta jiwa. Hal ini menunjukkan bahwa prevalensi RD di masa mendatang akan meningkat seiring meningkatnya prevalensi DM. Gejala klinis yang dapat dilihat dari RD adalah gangguan penglihatan edema makular, serta kebutaan. Saat ini pengobatan standar untuk RD adalah fotokoagulasi serta vitrektomi. Akan tetapi, pengobatan-pengobatan tersebut hanya ditujukan untuk mencegah terbentuknya pembuluh darah baru dan mengobati perdarahan yang terjadi pada [1] retina. Masalahnya, pengobatan tersebut hanya untuk memperbaiki penglihatan dan mencegah terjadinya kebutaan, tetapi tidak untuk menyembuhkan RD sehingga pasien yang menjalani pengobatan tersebut cenderung mengalami rekurensi dari [3] penyakit. Oleh karena itu, diperlukan sebuah terapi baru yang berfokus untuk menyembuhkan RD sehingga rekurensi dapat dihindari. Metode terapi yang diperlukan adalah yang dapat memperbaiki atau menggantikan perisit yang rusak akibat tingginya kadar gula [4] darah. Akhir-akhir ini penelitian penggunaan sel punca untuk pengobatan penyakit okular telah [5-7] banyak berkembang. Banyak jenis sel punca seperti sel punca embrionik, sel punca hematopoetik, sel punca dari sumsum tulang, sel punca umbilikus, dan sel punca adiposa. Sel punca adiposa (adipose mesenchymal stem cells; ASC) diketahui memiliki potensi paling tinggi mengobati penyakit RD. Selain bebas dari masalah etik, ASC juga mudah didapatkan dan cenderung tidak

JIMKI Volume 3 No.2 | Juli -Desember 2015

menyebabkan tumor sehingga ASC memiliki potensi sebagai pengobatan [5] RD. Permasalahan penggunaan ASC untuk pengobatan RD adalah diketahui bahwa ASC memiliki kecenderungan untuk menghasilkan VEGF melalui jalur [6] Angiopoietin-1. Padahal, VEGF tidak [4] diinginkan dalam penyakit RD. Penelitian yang dilakukan oleh Loboda et al menunjukkan bahwa atorvastatin, sebuah sebuah inhibitor 3-hidroksi-3metil-glutaril koenzim A reduktase, memiliki kemampuan untuk mencegah ekspresi VEGF oleh ASC pada keadaan [7] hipoksia dan normoksia. Akan tetapi, pemberian ASC dan koadministrasi atorvastatin pada RD saja tidak cukup untuk menyembuhkan RD. Diperlukan sebuah terapi untuk mengatasi VEGF yang diekspresikan pada hipoksia pada RD dan menyebabkan banyak manifestasi klinis seperti edema makular serta kebutaan. Penelitian yang dilakukan Hanze et al mendapatkan bahwa HIF-1Îą siRNA memiliki kemampuan untuk menurunkan ekspresi dari VEGF pada keadaan hipoksia yang ditimbulkan RD melalui [8] penghambatan HIF-1Îą. Permasalahan lain pada RD adalah terciptanya lingkungan hipoksia yang penuh dengan reactive oxygen species (ROS) yang dapat [9] menyebabkan apoptosis dari ASC. Untuk itu, penggunaan hidrogel chitosan dapat meningkatkan ketahanan hidup dari ACS sehingga dapat berfungsi untuk menggantikan perisit yang rusak serta mengurangi VEGF yang [9] diekspresikan. Diketahui juga, atorvastatin memiliki kemampuan untuk meningkatkan homing dari ASC menuju pembuluh darah yang tidak ada perisit serta daerah retina yang mengalami iskemik sehingga dapat menggantikan sel retina yang telah mati akibat [7] hipoksia. Dari berbagai penelitian di atas, tinjauan pustaka ini bertujuan menganalisis efikasi penggunaan ASC dengan transfeksi gen untuk overekspresi HIF-1Îą siRNA dengan koadministrasi atorvastatin. Dengan

20


terapi ini, kebocoran pembuluh darah retina dapat diatasi, sel-sel retina yang telah mati akibat apoptosis dapat digantikan sehingga RD dapat disembuhkan. 2. PEMBAHASAN 2.1 Adipose-Mesencymal Stem Cell (ASC) pada Penyakit Retinopati Diabetes ASC untuk RD dapat bekerja melalui beberapa mekanisme yaitu regenerasi, antiinflamasi, dan antiapoptosis. Peran regenerasi dilakukan dengan memperbaiki perisit yang hilang pada RD. Peran regenerasi dari ASC untuk menjadi perisit ini [8] divisualisasikan oleh Gangaraju et al. seperti yang ditunjukkan pada Gambar 1. Pada retina yang normal, perisit dan sel endotel berada dalam keadaan yang menempel sehingga berfungsi untuk menjaga stabilitas retina. Pada RD, terjadi kehilangan perisit sehingga menyebabkan meningkatnya permeabilitas blood retina barrier yang menyebabkan bocornya pembuluh

darah ke makular dan bermanifestasi sebagai edema makular (non [8] proliferative diabetic retinopathy). Kebocoran pembuluh darah retina ini membuat suplai darah retina menjadi berkurang. Hal ini kemudian akan memicu diekspresikannya VEGF. VEGF kemudian akan membentuk aliran darah baru yang menandai fase proliferatif [8] RD. Pentingnya peran perisit membuat penggantian perisit sangat penting dalam mengobati RD. Peran inilah yang ditunjukkan oleh ASC seperti yang [8] ditunjukkan pada Gambar 1. Bukti regenerasi perisit oleh ASC [9] diperlihatkan oleh Mendel et al. Penelitian ini dilakukan dengan cara menyuntikkan ASC secara intravitreal dan ASC yang disuntikkan sudah diberi marker (pada penelitian ini marker yang digunakan adalah Dil). Selama 8 minggu setelah penyuntikan, terlihat bahwa ASC memiliki kontak fisik dengan pembuluh darah retina seperti halnya perisit (Gambar 2).

Gambar 1. Peran ASC dalam Regenerasi Perisit

[8]

Gambar 2. Penempelan ASC Vaskular Menunjukkan Penggantian Perisit oleh ASC

JIMKI Volume 3 No.2 | Juli -Desember 2015

[9]

21


Regenerasi perisit perlu dibuktikan dengan adanya penurunan permeabiltias pembuluh darah. Hal inilah yang ditunjukkan oleh penelitian [10] Gangaraju et al. Didapat bahwa terjadi penurunan permeabilitas (penurunan tingkat kebocoran sel) yang bermakna dari retina penderita RD setelah diberikan ASC dibandingkan dengan kontrol. Kuantitas numerik dari permeabilitas retina pada kontrol dan pemberian ASC dapat dilihat pada Gambar 3. Peran regeneratif dari ASC juga ditunjukkan oleh penelitian yang [11] dilakukan oleh Moviglia et al. dan [12] Swaroop et al. . Hasil penelitian dari [11] Moviglia et al. menunjukkan bahwa ASC secara invitro pada kultur 24 jam akan berubah menjadi retinal progenitor cell (RPC) dan pada 72 jam berubah menjadi sel glial Muller dan sel ganglion

Gambar 3. Fluorosensi Retina untuk [10] Menilai Kebocoran Retina

retina yang berfungsi untuk membantu perbaikan dari sel retina. Terlihat pada bagian A pada Gambar 4 terdapat gambaran MSC/ASC yang belum berdiferensiasi. Setelah 24 jam, ASC telah berubah menjadi RPC dan setelah 72 jam, ASC akan berubah menjadi sel [11] glial Muller dan sel ganglion retina. Perubahan dari ASC menjadi RPC ini memiliki banyak signifikansi klinik. RPC yang terbentuk dapat berubah menjadi berbagai macam sel retina seperti sel fotoreseptor dan sel glia Muller yang memiliki peran penting dalam regenerasi dari retina pasca [12] kerusakan karena RD. Swaroop et [12] al. menunjukkan tahapan-tahapan perubahan RPC menjadi sel fotoreseptor seperti ditunjukkan pada Gambar 5.

Gambar 4. Perubahan ASC Menjadi [11] Retinal Progenitor Cells (RPC)

Gambar 5. Perubahan RPC Menjadi Sel Fotoreseptor Retina

JIMKI Volume 3 No.2 | Juli -Desember 2015

[12]

22


Sitokin inflamasi berperan merusak perisit sehingga terjadi RD. ASC juga memiliki peran anti inflamasi. [10] Penelitian Gangaraju et al. menunjukkan terjadi downregulation dari sitokin-sitokin proinflamasi yang berperan dalam patogenesis diabetes retinopati seperti ccl2, ICAM-1, Edn2, Timp1, Crybb2, Gat3, Lama5, dan GBP2. Pada retina tikus yang mengalami diabetes, terjadi peningkatan 2x lipat (p<0,01) dibandingkan kontrol

(tikus non diabetes) dari biomarkerbiomarker tersebut. Berbeda pada retina tikus diabetes yang diberikan ASC, terjadi penurunan signifikan (p<0,05) kadar sitokin proinflamasi tersebut setelah 7 hari pemberian ASC. Hasil dari kadar sitokin inflamasi setelah pemberian ASC dan tanpa pemberian ASC pada tikus yang mengalami diabetes ditunjukkan pada (Gambar 6).

Gambar 6. Perbandingan Kadar Sitokin Inflamasi pada Retina antara Pasien [10] dengan Diabetes dan Tidak Diabetes Selain itu, penelitian dengan Apoptosis sel perisit memegang terminal deoxynucleotidyl transferase peranan penting dalam RD. Penelitian [10] dUTP nick end labeling (TUNEL) alat Gangaraju et al. menunjukkan untuk menilai fragementasi DNA yang terjadinya reduksi apoptosis sel-sel merepresentasikan apoptosis sel– retina tikus yang mengalami diabetes menunjukkan adanya faktor von setelah pemberian ASC menunjukkan Willebrand. Hal ini mengindikasikan sel penurunan jumlah sel yang mengalami endotel merupakan salah satu sel yang apoptosis dibandingkan tikus diabetes ikut mengalami apoptosis. Penurunan yang tidak diberikan ASC seperti yang apoptosis setelah pemberian ASC ini dapat dilihat di Gambar 7.(62±8%, tikus menunjukkan efek anti apoptosis yang diabetes tanpa ASC vs. 1±0%, kontrol dimiliki oleh ASC sehingga pemberian tidak diabetes vs. 84%, tikus diabetes ASC dapat digunakan untuk mencegah dengan ASC) dengan nilai P<0,024 apoptosis dari sel-sel perisit dan endotel pada kedua percobaan (tikus diabetes retina yang merupakan patogenesis tanpa ASC-kontrol dan tikus diabetes [10] [10] utama RD. dengan ASC-kontrol).

[10]

Gambar 7. Tunnel Assay untuk Apoptosis pada Sel Retina. A. Gambaran TUNEL Tikus dengan Diabetes, terlihat von-Willebrand − menunjukkan apoptosis endotel. B. Gambaran TUNEL Tikus dengan Diabetes yang diberi ASC. Tidak terlihat tanda TUNEL − menunjukkan penurunan aktivitas apoptosis.

JIMKI Volume 3 No.2 | Juli -Desember 2015

23


2.2 Terapi ASC dengan Atorvastatin Telah dijelaskan bahwa ASC memiliki kemampuan untuk mengobati RD. Akan tetapi, ASC ternyata juga memiliki efek untuk memperparah terjadinya RD. ASC diketahui memiliki efek untuk menghasilkan VEGF melalui [6] jalur Angiopoietin-1. VEGF yang dihasilkan oleh ASC ini tentu tidak diinginkan dalam terapi RD karena dapat memicu terjadinya peningkatan permeabilitas pembuluh darah retina serta pembentukkan pembuluh darah baru yang tidak kompeten bagi retina. Efek dari VEGF ini dapat diatasi dengan penambahan atorvastatin pada [6] pemberian ASC secara oral. Atorvastatin, sebuah inhibitor 3hidroksi-3-metil-glutaril koenzim A reduktase, baru-baru ini dilaporkan memiliki efek lain selain menghambat [7] [7] sintesis dari kolesterol. Loboda et al. melaporkan bahwa atorvastatin memiliki efek untuk mengurangi produksi VEGF oleh ASC pada keadaan hipoksia. Mekanisme yang berperan dalam mengurangi produksi VEGF oleh ASC adalah mengurangi aktivitas promoter VEGF pada HRE dalam keadaan hipoksia. Hal ini menunjukkan bahwa atorvastatin dapat mencegah dihasilkannya VEGF oleh ASC yang [7] dapat memperburuk RD. Atorvastatin, selain berfungsi untuk mencegah dihasilkannya VEGF oleh ASC, juga dapat berfungsi untuk melindungi ASC dari keadaan hipoksia yang dapat merusak ASC melalui jalur adenosine monophosphate-activated protein kinase-endothelial nitric oxide synthase seperti yang ditunjukkan pada penelitian Nakanishi et al. SDF1α/CXCR4 memiliki peranan penting dalam jalur yang diaktivasi oleh atorvastatin ini. CXCR4 merupakan sebuah reseptor untuk ligan SDF-1α. SDF-1α/CXCR4 memiliki peranan penting dalam penempatan ASC terhadap lokasi kerusakan vaskular retina serta memiliki kemampuan kemotaksis serta mengekspresikan molekul adhesi terhadap sel yang mengalami kerusakan. CXCR4 merupakan gen yang diregulasi oleh nitric oxide (NO) sehingga peran

JIMKI Volume 3 No.2 | Juli -Desember 2015

atorvastatin dalam meningkatkan ekspresi NO oleh ASC melalui jalur adenosine monophosphate-activated protein kinase-endothelial nitric oxide synthase memiliki peranan penting dalam meningkatkan ekspresi CXCR4 yang membuat transport ASC terhadap perisit yang mengalami kerusakan dapat [7] berjalan dengan baik. 2.3 Terapi Gen HIF-1α siRNA untuk Retinopati Diabetes Salah satu faktor yang berperan penting dalam pembentukan RD adalah VEGF. VEGF memiliki peranan dalam meningkatkan permeabilitas dari pembuluh darah retina. Peningkatan permeabilitas dari pembuluh darah retina berefek pada terbentuknya edema [1] makular pada RD non proliferatif. Efek VEGF pada RD proliferatif adalah angiogenesis sehingga terbentuk pembuluh-pembuluh darah yang baru. Efek-efek dari VEGF ini dimediasi oleh HIF-1α melalui pengikatan dengan HIF1β membentuk HIF-1 lalu berikatan dengan hypoxia responsive element (HRE) untuk menimbulkan menghasilkan VEGF sehingga timbul berbagai efek seperti edema makular dan pembentukan pembuluh darah patogenik. Efek ini merupakan respon fisiologis sel terhadap adanya hipoksia sehingga tidak akan timbul pada saat [7,8] normoksia. Untuk mengatasi efek dari VEGF tersebut, penggunaan HIF-1α siRNA dapat menghambat ekspresi VEGF tersebut. HIF-1α siRNA merupakan sebuah inhibitor terhadap HIF-1α. Secara tidak langsung, pemberian HIF1α siRNA terhadap sel yang mengalami hipoksia akan menghambat efek yang ditimbulkan oleh HIF-1α terutama penghambatan VEGF. Hal ini dibuktikan oleh penelitian yang dilakukan Hanze et [8] al. yang melakukan penelitian efek pemberian HIF-1α siRNA terhadap kadar VEGF pada keadaan hipoksia. Penelitian tersebut mendapatkan bahwa terjadi penurunan kadar VEGF pada pasien yang mendapat HIF-1α siRNA seperti yang ditunjukkan pada Gambar [8] 8.

24


Gambar 8. Efek Pemberian HIF-1α siRNA terhadap Kadar VEGF 2.4 Kombinasi Terapi Gen HIF-1α siRNA pada ASC untuk Retinopati Diabetes Penggabungan pengobatan RD dengan ASC dan HIF-1α siRNA memberikan mekanisme tambahan dan potensial bagi pengobatan RD. Mottaghi [7] et al. menunjukkan mekanisme ASC dalam pengobatan RD. ASC berperan menurunkan inflamasi dan apoptosis pada sel-sel retina. Selain itu, ASC juga memiliki efek regenerasi fotoreseptor [7] dan sel glia. Regenerasi dari sel-sel ini akan mencegah rusaknya blood retina barrier yang dapat menyebabkan RD proliferatif dan nonproliferatif. Penambahan HIF-1α siRNA akan menimbulkan efek anti VEGF secara tidak langsung yang tidak dimiliki oleh [7] ASC. 2.5 Prosedur Pembuatan ASC dengan HIF-1α siRNA Mesenchymal stem cell merupakan sel imatur dalam sumsum tulang, darah perifer, darah menstruasi, jaringan dewasa (seperti jaringan adiposa, sinovium, dermis, periosteum, desidua gigi), dan organ solid (hati, [13] jantung, paru). Fungsi utama jaringan adiposa dalam penyimpanan energi, saat ini banyak digunakan sebagai sumber sel punca mesenkimal (adipose mesenchymal stem cell - ASC). Lemak subkutan pada manusia dan mudah diambil dalam jumlah besar melalui liposuction aspiration sebagai salah satu prosedur yang aman. Aspirasi lipid merupakan sumber yang [14] baik untuk isolasi ASC. Laju komplikasi dari sedot lemak adalah

JIMKI Volume 3 No.2 | Juli -Desember 2015

[8]

0.1%. Teknik isolasi jaringan adiposa dimulai dengan lipoaspirat yang kemudian secara ekstensif dicuci dan sel darah merah akan lisis. Jarigan adiposa yang mengapung kemudian dicampur dengan kolagenase untuk menghancurkan matriks ekstraselular kemudian difilter dan disentrifugasi. Pelet yang dihasilkan dikenal sebagai fraksi stromal vaskular (FSV). Proses lipoaspirat dilakukan selama 2-3 jam 4 dengan perkiraan terdapat 2.4 x 10 sel [15] per mL lemak yang diproses. Gene silencing oleh small interfering RNA (siRNA) dibawa oleh transfeksi menggunakan HIF-1α langsung atau kontrol (Luciferase) rantai ganda RNA oligonukleotida. Target HIF[16] 1α dapat dilihat pada Gambar 11. Isolasi siRNA memiliki banyak teknik, salah satunya dengan cocktail kit, yaitu sintesis enzimatik dari dsRNA panjang yang diikuti reaksi dengan RNase III. Pertama dsRNA panjang yang dihasilkan dari transkripsi vitro template DNA dengan berlawanan T7 fag polimerase promotor primer. Sebagai alternatif, dsRNA dapat dibuat dari 2 template terpisah dengan promotor di ujung yang akan disalin. Setelah pemurnian menggunakan kolom yang disediakan, dsRNA akan dicerna oleh RNase III untuk membuat sejumlah siRNA. Setiap sisa panjang dsRNA akan dihapus dengan sistem pemurnian tersebut sehingga siRNA siap untuk 17 transfeksi. Transfeksi HIF-1α siRNA dapat dilakukan dengan menggunakan metode BA-PEI (Bile acid-conjugated polyethyleneimeine) yang meningkatkan permeabilitas membran ASC terhadap HIF-1α siRNA sehingga HIF-1α siRNA [17] dapat masuk ke dalam ASC.

25


Gambar 9. Cara Pembuatan ASC

[15]

Gambar 10. Target Sekuens HIF-1Îą

seperti

[16]

2.6 Administrasi Atorvastatin Atorvastatin dengan dosis 10-80 mg/hari secara per oral terbukti secara signifikan memperbaiki profil lipid pasien dengan berbagai kondisi hiperlipidemia dan dislipidemia. Umumnya, pasien memulai dengan dosis 10-20 mg/hari. Dalam sebuah penelitian terhadap profil lipid pada pasien hiperlipidemia sedang hingga berat (Fredrickson tipe II a dan II b) menggunakan atorvastatin, didapatkan penurunan kolesterol total (29 - 45%), LDL-C (39 - 60%), apo B (32 - 50%), trigliserida (19 - 37%), dan peningkatan kadar HDL-C (5 - 9%). Studi tata laksana untuk pediatrik hanya terbatas hingga dosis 80 mg/hari selama 1 tahun. Sedangkan, untuk geriatri usia 70 tahun ke atas dengan dosis 80 mg/hari menunjukkan keamanan dan efektivitas atorvastatin yang serupa dengan populasi < 70 tahun. Namun, evaluasi farmakokinetik atorvastatin pada populasi berusia > 65 tahun [18] meningkatkan area di bawah kurva. Sediaan atorvastatin yang terdapat saat ini adalah berupa tablet 10 mg, 20 mg, dan 40 mg. Penyimpanan dari atorvastatin sebaiknya pada suhu o o 15 – 25 C untuk menjaga keamanan obat. Umumnya, sediaan obat tersebut dicampur dengan bahan nonmedikal,

JIMKI Volume 3 No.2 | Juli -Desember 2015

Gambar 11. Bagan isolasi siRNA

[17]

kalsium karbonat, lilin candelilla, natrium kroskarmelosa, hidroksipropil selulosa, laktosa monohidrat, magnesium stearat, mikrokristalin selulosa, hidroksipropil metilselulosa, polietilen glikol, bedak, titanium dioksida, polisorbat 80 dan [18] simetikon emulsi. Hipersensitivitas terhadap campuran dan penyakit hati/ peningkatan persisten serum transaminase melebihi 3 kali batas [18] normal adalah kontraindikasi. 3. KESIMPULAN 1. Pemberian ASC dapat berfungsi meregenerasi perisit dan sel retina sehingga mencegah progresivitas dan mengobati RD karena memperbaiki pembuluh darah retina. Transfeksi gen HIF-1Îą siRNA memberikan efek anti VEGF sehingga permeabilitas serta angiogenesis yang berperan dalam patogenesis RD dapat dicegah. 2. Pemberian atorvastatin sebagai koadministrasi ASC berperan mencegah dihasilkannya VEGF dengan menghambat promoter VEGF pada HRE serta meningkatkan homing dari ASC terhadap sel retina serta perisit melalui jalur AMPK-NO-CXCR4 sehingga meningkatkan efektivitas dari ASC.

26


DAFTAR PUSTAKA 1. AW, Sudoyo., et al. Retinopati Diabetik.Jakarta: Interna Publishing ,2009. 2. International Diabetes Federation. th IDF diabetes atlas. 6 ed. USA: International Diabetes Federation; 2013. 3. Tarr JM., et al. “Pathophysiology of diabetic retinopathy.” ISRN Ophtalmol. 2013 Jan;201:343560. 4. Yang , Z., et al “Amelioration of Diabetic Retinopathy by Engrafted Human Adipose-Derived Mesenchymal Stem Cells in Streptozotocin Diabetic Rats”. Graefes Arch Clin Exp Ophthalmol. 2010. 248:1415-22. 5. Rajashekar ,G., et al. “Regenerative Therapeutic Potential of Adipose Stromal Cell in Early Stages Diabetic Retinopathy”. Plos Med. 2014;9(1):1-12. 6. Mottaghi ,S., B. Larijani., Sharifi AM. “Atorvastatin: an efficient step forward in mesenchymal stem cell of diabetic retinopathy”. Cytotherapy. 2013;15:263-6. 7. Loboda A., et al. “Angiogenic Transcriptome of Human Microvascular Endothelial Cells : Effect of Hypoxia, Modulation by Artovastatin.” Vasc Pharmacol. 2006;44:206-14. 8. Rajashekhar , G. “Mesenchymal Stem Cells: New Players in Retinopathy Therapy”. Front Endocrinol. 2014;5:59. 9. Mendel , TA., et al. “Pericytes Derived from Adipose-Derived Stem Cells Protect Againts Retinal Vasculopath y”. PloSOne. 2013; 8(5):e65691. 10. Rajashekar ,G., et al. “Regenerative Therapeutic Potential of Adipose Stromal Cell in Early Stages Diabetic Retinopathy”. Plos Med. 2014;9(1):1-12. 11. Moviglia, GA., et al. “In vitro differentiation of adult adipose mesenchymal stem cells into retinal progenitor cells”. Ophthalmic Res. 2012;48(suppl 1):1-5. 12. Swaroop ,A., Kim D dan Forrest D. “Transcriptional Regulation of Photoreceptor Development and Homeostasis in the Mammalian

JIMKI Volume 3 No.2 | Juli -Desember 2015

13.

14.

15.

16.

17.

18.

Retina”. Nat Rev Neurosci. 2010;11:563-76. Zou. Z., et al. “More insight into mesenchymal stem cells and their effects inside the body”. Expert Opin Biol Ther.2010; 10: 215-30. Baer, PC. “Adipose-derived mesenchymal stromal/stem cells: an update on their phenotype in viv oand in vitro”. World J Stem Cells. 6:3(2014): 256-65. Locke ,M., Windsort J dan Dunbart PR. “Human adipose-derived stem cells: isolation, characterization and applications in surgery.” ANZ J Surg. 2009;79:235–44. Kessler, J., et al. “HIF-1α inhibition by siRNA or chetomin in human malignant glioma cells: effects on hypoxic radioresistance and monitoring via CA9 expression”. BMC Cancer. 2010;10:605. Busilacchi ,A., et al. “Chitosan stabilizes platelet growth factors and modulates stem cell differentiation toward tissue regeneration”. Carbohydr Polym. 2013 Oct 15;98(1):665-76. Ma ,X., et al. “A novel chitosancollagen-based hydrogel for use as a dermal filler: initial in vitro and in vivo investigations”. J Mater Chem B. 2014;2:2749-63.

27


Tinjauan Pustaka

PROTEIN SRC/FAK SEBAGAI TARGET TERAPI ANTIMETASTATIK PADA KANKER PAYUDARA MELALUI REAKTIVASI ANOIKIS DAN INHIBISI TRANSISI EPITELKE-MESENKIM 1

Gabriele Jessica Kembuan , Kevin Julio Wijanarko 1

1

Fakultas Kedokteran, Universitas Airlangga

ABSTRAK Pendahuluan: Kanker payudara merupakan salah satu penyebab kematian utama wanita di Indonesia dan di dunia. Penatalaksanaan kanker payudara pada stadium awal memberi hasil yang memuaskan, namun di stadium lanjut survival menurun drastis akibat adanya metastasis, yang merupakan penyebab dari sebagian besar kematian akibat kanker. Sebagian besar pasien di Indonesia datang dengan stadium yang sudah lanjut. Transisi epitel-ke-mesenkim (EMT) adalah suatu mekanisme kunci dalam metastasis yang menyebabkan sel epitelial dari tumor primer dapat mengasumsikan fenotip mesenkimal dan lepas dan beredar di seluruh tubuh, menyebabkan kolonisasi organ jauh. Pada metastasis, anoikis, sebuah tahap awal EMT dimana sel mengalami detachment-induced apoptosis, juga tidak terjadi. Pencegahan dan pengobatan metastasis perlu dikembangkan untuk meningkatkan survival bagi pasien stadium lanjut, dan modifikasi pada jalur EMT/anoikis merupakan target yang potensial. Pembahasan: Kami menyimpulkan teori bahwa inhibisi EMT dan stimulasi anoikis dapat dilakukan melalui inhibisi pada protein Src/FAK, protein downstream pada jalur integrin. Silencing dari Src/FAK juga akan mematikan jalur PI3K/Akt dan MAPK dan berpotensi mereaktivasi anoikis. Kami mengajukan terapi dengan model targeted dan berbasis nanopartikel, dan dapat pula dikombinasikan dengan inhibitor HGF dan TGF-β yang telah ada untuk mematikan sebanyak mungkin jalur anti-anoikis pada sel tumor. Kesimpulan: Terapi ini bersifat lebih spesifik dan memiliki efek samping yang minimal. Src/FAK adalah protein yang jalurnya dipakai oleh sangat banyak pathway prometastasis dan inhibisinya dapat memberikan efek yang lebih baik dalam aktivasi ulang anoikis. Terapi ini dapat menjadi solusi meningkatkan survival pada pasien kanker payudara tahap lanjut. Kata kunci: kanker payudara metastatik, anoikis, Src/FAK, integrin mediated cell death, transisi epitel-ke-mesenkim ABSTRACT Introduction: Breast cancer is one of the main causes of female deaths in both Indonesia and the whole world. Treatment protocols yield satisfying results in early stages, but in the later stages patient survival decrease significantly because of distant metastasis. It is calculated that the majority of patients in Indonesia present with an already advanced disease. Epithelial-to-mesenchymal transition (EMT) plays a pivotal role in metastasis, where epithelial cells detach and circulate throughout the body. In metastasis, anoikis, an early step in EMT where cells are supposed to undergo detachment-induced apoptosis, does not happen. A treatment for metastasis reversal and progression must be developed to increase late-stage survival, and a modification in the EMT/anoikis pathways is a potential therapeutic target. Discussion: We conclude that inhibition at EMT and stimulation of anoikis can be performed through inhibition of proteins Src/FAK, the downstream protein of the integrin pathway. Silencing of Src/FAK also turns off the PI3K/Akt and MAPK pathways and has the potential to reactivate anoikis in tumor cells. We propose a targeted therapy with

JIMKI Volume 3 No.2 | Juli -Desember 2015

28


nanoparticle delivery, and the therapy can also be combined with the newly developed HGF and TGF-β inhibitors to ensure through silencing of anti-anoikis pathways. Conclusion: This therapy has minimal side effects, are specific, and the broad influence of Src/FAK that can cause many pathways to get turned off simultaneously once it is inactivated. This might be the solution to increase survival in late-stage cancer patients. Keywords: metastatic breast cancer, anoikis, Src/FAK, integrin mediated cell death, epithelial-to-mesenchymal transition 1. PENDAHULUAN Kanker payudara adalah kanker yang paling sering ditemukan pada populasi wanita, dan merupakan salah satu penyebab kematian terbanyak pada wanita. Menurut WHO GLOBOCAN Breast Cancer Factsheet [1] 2012, pada tahun 2012 kanker payudara merupakan kanker kedua paling umum di dunia, dengan lebih dari 1.67 juta kasus baru yang terdiagnosis (25% dari semua kanker). Dalam hal jumlah kematian, kanker payudara menempati peringkat kelima. Di tahun 2012 di area Asia Tenggara (SEARO), data yang sama menjelaskan bahwa terdapat 240.000 kasus baru yang terdiagnosis, dengan 110.000 diantaranya berakhir atau diprediksikan berakhir dengan kematian. Tjindarbumi menyatakan bahwa di Indonesia, kanker payudara merupakan kanker kedua [2] terumum setelah kanker serviks. Sebagian besar kanker payudara merupakan karsinoma yang berasal dari epitel, yang menyusun kurang lebih 90% [3] dari semua keganasan manusia. Kanker payudara adalah sejenis keganasan yang berasal dari jaringan payudara dan paling sering terjadi pada lapisan sel yang melapisi saluran susu/duktus atau lobulus yang mengisi [4] saluran itu dengan susu. Pasien kanker payudara mencakup laki-laki dan perempuan, meski pasien laki-laki jauh lebih jarang. Kanker yang berasal dari duktus dikenal sebagai karsinoma duktal, sedangkan kanker yang berasal dari lobulus dikenal sebagai karsinoma [4] lobular. Di Indonesia, berdasarkan 2000 Age Standardized Ratio (ASR) kanker payudara memiliki insidensi sebesar 20.6/100.000 penduduk dengan tren [5] mortalitas yang terus meningkat. Selain itu, dalam sebuah studi casecontrol oleh Indrati, Setyawan dan [6] Handojo di RSUD Dr. Kariadi, Semarang ditemukan bahwa kurang

JIMKI Volume 3 No.2 | Juli -Desember 2015

lebih setengah (46.2%) dari semua kasus yang terdiagnosis telah berada pada stadium III. Hal ini disebabkan oleh penundaan pasien dalam mencari pengobatan. Studi yang sama menyimpulkan bahwa hal ini menunjukkan pengetahuan dan niat pasien yang terbatas dalam mencari pengobatan saat gejala yang ada masih minimal. Sebagian besar pasien tidak mengetahui gejala-gejala kanker dan bahkan mengira kanker payudara sebagai sebuah “penyakit keturunan yang normal�. Seperti sebagian besar kanker lainnya, patogenesis kanker payudara ditentukan secara multifaktorial oleh gabungan antara predisposisi genetik dengan faktor lingkungan. Pada prinsipnya, sel menjadi ganas apabila sel tersebut kehilangan kemampuan untuk: (1) berhenti membelah, (2) menempel pada sel lainnya, (3) tetap tinggal di tempat yang seharusnya, dan (4) untuk apoptosis pada waktu yang [4] tepat. Sel yang normal akan apoptosis saat ia rusak atau sudah tidak dibutuhkan lagi. Hingga saat itu tiba, sel dilindungi oleh beberapa pathway dan jalur signalling protein, antara lain jalur PI3K/Akt dan RAS/MEK/ERK. Jika ada gen dalam pathway ini yang termutasi dan menjadi aktif secara permanen, sel akan tidak mampu melakukan apoptosis. Contoh dari kasus ini adalah mutasi pada gen protein PTEN yang pada keadaan normal dapat menonaktifkan jalur PI3K/AKT dalam [3],[4] proses apoptosis. Pada tahap yang lebih lanjut risiko metastasis nodal maupun metastasis ke organ jauh meningkat secara signifikan, hingga kanker tersebut sudah tidak lagi bisa diobati dengan operasi. Metastasis adalah tumbuhnya sel tumor yang berasal dari tumor primer di organ yang distant [4] (jauh). Pada tahap ini, five-year survival rate yang mencapai 90% pada

29


stadium II menurun secara signifikan [7] hingga tinggal 25% pada stadium IV. Tiga organ yang menjadi preference metastasis adalah paru, hepar, dan tulang. Metastasis ke otak atau beberapa metastasis pada saat yang [7] sama juga tidak jarang. Rute metastasis yang paling umum adalah lewat sirkulasi darah, namun metastasis melalui sirkulasi limfatik juga cukup umum. Metastasis kanker adalah penyebab sebagian besar kematian [8] karena kanker. Metastasis merupakan hasil dari beberapa kejadian yang bertahap, dan akhir-akhir ini telah ditemukan bahwa transisi epitel-ke-mesenkim (epithelial to mesenchymal transision, EMT) dan transisi mesenkim-ke-epitel (mesenchymal to epithelial transition, MET) adalah langkah-langkah yang [9] penting dalam progresinya. Metastasis terdiri dari beberapa tahap spesifik yang diawali dengan pelepasan dan migrasi sel tumor dari lokasi tumor primer, yang kemudian akan menginvasi jaringan yang dekat dan penetrasi membrana basalis, memasuki sirkulasi darah atau limfatik, selamat dari anoikis (kematian sel yang disebabkan karena detachment), keluar dari sirkulasi pada organ jauh, membentuk nodula micrometastatic dan akhirnya beradaptasi dan memprogram ulang stroma yang berkaitan, membentu [10] makrometastasis. Epithelial-to-mesenchymal transition sendiri merupakan langkah kunci dalam beberapa aktivitas fisiologis, seperti embriogenesis; penyembuhan luka, dan sifat stem cell; namun dapat menjadi patologis dalam [11] kejadian kanker dan fibrosis. Perubahan patologis ini dimediasikan oleh beberapa faktor transkripsi kunci, seperti SNAIL, zinc-finger-E-box-binding (ZEB), dan basic helix-loop-helix transcription factor, yang diregulasi baik pada level transkripsional, translational [7][11] maupun post-translational. Perubahan ini juga dimediasi oleh beberapa jalur signaling, termasuk famili transforming growth-factor β (TGF-β) dan dapat dirangsang secara abnormal oleh human hepatocyte growth factor (HGF). Berbagai perubahan ini menyebabkan munculnya fenotip abnormal pada sel tumor, termasuk

JIMKI Volume 3 No.2 | Juli -Desember 2015

gangguan regulasi integrin dan [12] resistensi terhadap apoptosis. Sementara itu, anoikis merupakan suatu tahap yang kritis dalam EMT/MET dan didefinisikan sebagai kematian sel yang terprogram setelah dan jika terjadi pelepasan sel dari matriks ekstraselular, yang bertujuan untuk mencegah pertumbuhan sel secara mandiri di tempat yang tidak seharusnya dan dengan demikian, mencegah kolonisasi [12] pada organ yang jauh. Sel kanker yang menjadi metastatik tidak mengalami anoikis, yang dapat disebabkan karena beberapa hal, termasuk perubahan pada repertoire integrin, aktivasi dari beberapa sinyal pro-survival yang terjadi karena kelebihan aktivasi reseptor akibat rangsangan autokrin berulang, aktivasi onkogen, ekspresi growth factor berlebih, atau mutasi/peningkatan [12][13] regulasi pada enzim sinyal kunci. Selain itu, lingkungan mikro tumor juga berkontribusi pada resistensi anoikis melalui perubahan komposisi matriks, peningkatan stres oksidatif dan disrupsi metabolik sel kanker. Pada tumor, hilangnya anoikis menyebabkan sel dapat tetap selamat setelah lepas dari [13] matriks ekstraselular. Tanpa anoikis, EMT/MET tidak akan berlanjut dan akhir-akhir ini, anoikis telah menjadi target yang atraktif untuk [11][12] pengembangan obat antikanker. Perubahan integrin merupakan salah satu mekanisme terpenting dalam anoikis dan saat ini tengah dikembangkan sistem stimulasi anoikis melalui akt integrin mediated cell [12] death. Modalitas utama untuk terapi kanker payudara hingga saat ini mencakup operasi, kemoterapi, radiasi, [4,14] dan hormone therapy. Namun, dengan semua kombinasi pengobatan ini, prognosis kanker payudara masih sangat buruk jika kanker telah bermetastasis. Apalagi, banyak pasien yang datang dengan stadium yang [6] sudah lanjut. Terapi-terapi mutakhir seperti trastuzumab, inhibitor HGF dan inhibitor TGF-β saat ini telah dikembangkan; namun hasil terapi [15] tersebut in vivo masih kurang optimal. Oleh karena itu, penulis meyakini bahwa dibutuhkan pengembangan terapi mutakhir yang dapat mengobati atau

30


mencegah perkembangan kanker payudara, antara lain melalui inhibisi resistensi anoikis dan penghambatan EMT. Penulis memproposisikan ide terapi mutakhir untuk meningkatkan anoikis yang normal melalui terapi gen berupa silencing pada protein Src dan FAK yang terletak downstream pada jalur integrin dan mengaktifkan beberapa jalur antiapoptotic, seperti [16] jalur PI3K/Akt dan MAPK. Silencing dari Src/FAK akan mengaktifkan kembali integrin mediated cell death pada sel tumor melalui aktivasi procaspase 8 dan hilangnya jalur antiapoptotic, menyebabkan sel segera mengalami apoptosis yang terprogram begitu lepas dari matriks [16] ekstraselular. Penulis mengusulkan terapi ini diadministrasikan sebagai targeted therapy melalui vesikulum nanopartikel dan dapat dikombinasikan dengan terapi yang telah ada, untuk memastikan bahwa terjadi silencing secara menyeluruh dan anoikis dapat mengalami aktivasi kembali. 2. PEMBAHASAN 2.1 Transisi Epitel-ke-Mesenkim dan Metastasis Epithelial-to-mesenchymal transition (EMT) merupakan suatu proses dimana sel epitel kehilangan polaritasnya dan kemampuannya menempel dengan sel-sel lain, dan mengalami remodelling cytoskeleton [17] secara ekstensif. Lama kelamaan, sel yang mengalami EMT akan memperoleh ekspresi mesenkimal dan menunjukkan fenotip migratory; proses-proses ini sesungguhnya juga terjadi pada saat [18] pembentukan embrio. EMT juga terlibat dalam penyembuhan jaringan dalam organisme dewasa dan merupakan sebuah feature permanen pada kanker yang memiliki karakteristik [13] gabungan sarkoma dan karsinoma. Transisi dari epitel ke mesenkim ini merupakan tahap pertama dalam metastasis, dan setelah tahap ini berlangsung, sel yang telah berubah menjadi mesenkimal dapat lepas dari tumor dan memulai proses seeding dan [19] kolonisasi di organ jauh. Proses EMT ini sangat penting untuk diteliti sebab tanpa adanya EMT, metastasis tidak [17,18] akan dapat terjadi. Jalur-jalur yang

JIMKI Volume 3 No.2 | Juli -Desember 2015

terlibat dalam EMT, seperti jalur ZEB, Snail, Twist dan Slug, berkaitan dengan [7] perubahan fenotip dari sel. Beberapa studi juga menunjukkan bahwa EMT dapat menyebabkan munculnya suatu generasi sel kanker yang memiliki karakteristik mirip stem cell, termasuk kemampuan menghindari serangan sistem imunitas, meningkatnya resistensi terhadap apoptosis, dan hilangnya senescence, serta kemampuan untuk terus membelah, meremajakan diri dan menimbulkan sel [20] baru; karakteristik-karakteristik ini menimbulkan resistensi terhadap terapi konvensional.

Gambar 1. Epithelial-to-mesenchymal transition berperan penting dalam intravasasi dan diseminasi tumor dalam [17] proses metastasis 2.2 Mekanisme Transisi Epitel-keMesenkim Proses epithelial–mesenchymal transition (EMT) merupakan bagian penting dari metastasis suatu tumor. Pada proses ini terjadi beberapa perubahan ekspresi gen yang memediasi dediferensiasi sel epitel menjadi sel yang bersifat [11] mesenkimal. Sel epitel melakukan downregulation pada gen yang menimbulkan fenotip epitelial, dan peningkatan regulasi pada gen yang memediasi fenotip mesenkimal. Hal ini terutama menyebabkan hilangnya interaksi sel tersebut dengan sel lain [19] dan dengan matriks ekstraselulernya. Selain itu, sel juga akan kehilangan [11,19] polaritas apiko-basalnya. Proses EMT terdiri dari 3 tipe, dimana EMT tipe 3 adalah yang penting dalam metastasis tumor. EMT tipe 3 ini lebih tidak teratur

31


dibandingkan dua tipe lainnya, dan hasil akhirnya dapat berupa fenotip hybrid [20,21] epitel-mesenkim. Faktor transkripsi yang berperan dalam EMT antara lain adalah ZEB1 [7] dan ZEB2, dimana kedua protein ini memiliki zinc-finger domain yang dapat langsung mengikat daerah promoter gen, dan dalam hal EMT, berfungsi untuk merepresi transkripsi E-cadherin, dan meningkatkan transkripsi vimentin (mesenchymal marker). Sitokin proinflamatorik, hipoksia, dan transforming growth factor β (TGFβ) memicu EMT melalui induksi ZEB 1 dan [16] ZEB2. Faktor transkripsi lain yang berperan adalah Snail dan Slug, dimana Snail dapat langsung mengikat daerah promoter dan merepresi E-cadherin, [7] desmoplakin, dan claudin. Snail juga meningkatkan ekspresi vimentin, fibronektin, dan MMP, yang merupakan protein proinvasif dan mempromosikan migrasi sel. Kedua faktor transkripsi ini [20] juga diinduksi oleh TGFβ. Snail tidak terdapat dalam sel epitel normal, namun dapat ditemukan pada tumor-tumor invasif dan dianggap sebagai faktor prognostik yang buruk pada beberapa jenis kanker. Faktor transkripsi terakhir [7][11] adalah Twist, yang memiliki kemampuan membuat dimer dan berfungsi meningkatkan ekspresi dari Ncadherin dan menurunkan ekspresi E[16] cadherin. Regulasi gen oleh Twist lebih tergantung pada ikatannya dengan faktor transkripsi lain, perubahan posttranslasional, dan pilihan pasangan untuk membentuk dimer; Twist meningkat dalam sel-sel kanker dan peningkatannya memiliki korelasi positif dengan grade, metastasis, dan [16] keganasan tumor. Beberapa faktor transkripsi ini tidak bekerja sendiri, namun saling bertindihan dalam sifat regulasinya. Ekspresi dari ZEB diregulasi oleh Snail, yang juga meningkatkan stabilitas dari Twist. Interaksi ini memainkan peran dalam regulasi spasial maupun temporal [16] dari EMT. Selain itu, pada sel kanker payudara, ditemukan juga beberapa non-coding RNA yang memediasi EMT melalui regulasi mRNA. Hal yang menarik dari metode regulasi mRNAmiRNA adalah metode ini lebih fleksibel dan regulasi dapat terjadi dengan jauh [20][22] lebih cepat. Pada kanker payudara

JIMKI Volume 3 No.2 | Juli -Desember 2015

tipe triple-negative yang agresif, [16, 23, 24] miR200c mengalami disregulasi; miRNA ini menarget sebuah kinase reseptor tirosin neurotropic yang dependen terhadap nF-κB, yang juga berperan dalam menekan resistensi terhadap anoikis. Selain itu, miR200 secara langsung meregulasi fibronektin, moesin, dan protein-protein lain yang normalnya menghambat migrasi sel dan [19] resistensi sel terhadap anoikis. Lebih jauh ke akhir jalur signaling, miRNA ini juga dapat menginhibisi TGFβ2 dan B-catenin CTNNB1. Disregulasi terhadap miR200 disebabkan oleh faktor transkripsi ZEB, yang juga ditarget oleh miR200 sendiri dalam sebuah double-negative feedback [7][23] loop. Selain itu, miR10B diasosiasikan dengan pertumbuhan, migrasi dan metastasis dari kanker payudara, dan ternyata mengalami [20] regulasi oleh faktor transkripsi Twist. Sebaliknya, ZEB dan Snail menurunkan ekspresi miR10B pada kanker payudara, namun meningkatkan [24],[25] ekspresinya pada kanker kolon. Beberapa miRNA diasosiasikan dengan jalur signaling TGF-B, dimana, pada sel epitel payudara, ekspresi miR29A dan [26] miR21 ditemukan meningkat. miR21 menginduksi metastasis melalui EMT dan dapat pula diregulasi oleh ZEB. Sementara itu, ekspresi dari miR29a mensupresi ekspresi dari tristetraprolin dan bersama dengan jalur Ras, [27] mempromosikan terhadinya EMT. miR9 meregulasi mRNA yang mengkode E-cadherin, dan ekspresinya menginduksi EMT pada sel epitel [20] payudara manusia. Menariknya, level miRNA pada plasma pasien kanker payudara dapat mengindikasikan status CTC, dan diduga merupakan marker prognostik potensial yang lebih baik dan mudah digunakan dibandingkan dengan [28] CTC. Selain itu, long non-coding RNA (lncRNA), yang lebih panjang dari 200 basepair, juga menunjukkan keterlibatan dalam regulasi ekspresi gen, remodelling kromatin, transkripsi, pemrosesan RNA dan progresi [29] kanker. Ciri khas dari EMT adalah hilangnya ekspresi dari E-cadherin, yang sentral dalam penyusunan cell-cell adhesion juction dan dibutuhkan dalam [30] formasi dan hemostasis epitel.

32


Hilangnya E-cadherin dapat diamati dalam EMT, dan akan meningkatkan kamampuan invasi tumor in vitro dan berkontribusi pada transisi adenoma menjadi karsinoma pada model hewan. Ekspresi dari E-cadherin ini berkorelasi terbalik dengan stadium dan grading dari tumor, dan inaktivasi dari Ecadherin dapat ditemukan pada kurang lebih 50% dari karsinoma lobular [16,20] payudara. Hipermetilasi promoter dan inhibisi melalui represi transkripsional berkontribusi pada represi E-cadherin pada sel tumor. Dengan perubahan ekspresi gen, sel epitel akan berubah sifat menjadi sel mesenkimal, dan dapat lepas dari membran basal, matriks ekstrasel, maupun ikatan dengan sel-sel tumor [30] yang lain. Hal ini meningkatkan kemungkinan sel tersebut untuk bertahan hidup didalam aliran darah atau limfa dan menempel pada organ lain karena sel ini dapat menghindari [11] mekanisme anoikis. Perubahan molekul adhesi seluler (cellular adhesion molecule, CAM) memiliki peranan penting dalam memungkinkan adhesi sel tumor dengan endotel dan sel-sel [20,25] pada organ target metastasis. Beberapa CAM yang penting dalam proses pengenalan heterolog dengan sel lain antara lain adalah ligan selektin glikokonjugat, beberapa jenis integrin, [30] ALCAM, dan ICAM. Salah satu faktor prognostik yang berkaitan dengan kanker payudara adalah circulating tumor cells (CTC), dimana CTC yang memiliki karakteristik mesenkimal dalam jumlah yang lebih besar menunjukkan prognosis yang [30,31] lebih buruk. CTC adalah sel-sel yang sudah lepas dari tumor primer dan memasuki peredaran darah. Namun, CTC bersifat heterogen: tidak semuanya telah memiliki fenotip mesenkimal secara utuh. Telah ditemukan juga bahwa pada kanker yang sudah lanjut, CTC yang terdiri dari sel mesenkimal lebih berupa kumpulan sel dan bukannya berupa sel-sel individual; hal ini mungkin dapat dijelaskan dengan EMT yang bersamaan dari beberapa gerombol CTC yang dimediasi oleh [30] pelepasan TGF-B oleh platelet. CTC merupakan marker yang baik untuk prediksi recurrence kanker payudara,

JIMKI Volume 3 No.2 | Juli -Desember 2015

dan cukup tipikal terdapat pada kanker [29-31] dalam tahap metastasis lanjut. Telah dijelaskan bahwa EMT juga dapat menyebabkan sel mengekspresikan fenotip mirip sel punca; fenomena ini dapat menyebabkan terjadinya resistensi terhadap terapi. Proses ini juga sangat prominent dalam konteks kanker payudara. EMT yang diinduksi oleh sinyal EGFR dapat menyebabkan terjadinya resistensi terhadap [32] tamoksifen. Karena proses EMT dan MET juga menyebabkan dediferensiasi sel, resistensi terhadap kemoterapi, dan hormone therapy dapat terjadi, sebab kedua jenis terapi tersebut menarget sel yang lebih terdiferensiasi dengan [33] baik. Kemoterapi dan hormone therapy malah dapat meningkatkan jumlah sel berfenotip mirip-punca karena sifat selektif tadi. 2.3 Anoikis dan Mekanismenya Anoikis adalah mekanisme perlindungan tubuh terhadap sel epitel yang telah terlepas dari matriks [18,34] ekstraseluler asalnya. Hal ini terjadi dengan apoptosis sel yang telah terlepas tersebut, dimana hal ini akan mencegah sel-sel tersebut untuk berkembang secara displastik pada organ atau jaringan diluar jaringan asalnya. Mekanisme anoikis ini pada konteks kanker bersifat menghambat metastasis dari sebuah tumor karsinoma primer, dimana sel-sel yang terlepas dari tumor primer akan mengalami apoptosis saat sel tersebut tidak lagi mengalami kontak dengan matriks [34] ekstraselulernya. Tumor mengalami proses pelepasan sel yang disebut shedding, namun tidak seluruh sel yang terlepas dari proses ini akan menjadi sel yang akan bermetastasis pada jaringan lain. Metastasis hanya dapat terjadi karena adanya sel yang mampu menghindari anoikis dan telah berubah menjadi tidak tergantung (anchorageindependent) pada perlekatan terhadap matriks ekstrasel. Menghindari anoikis juga merupakan tahap penting dalam perubahan tumor berubah menjadi [34,35] malignant atau infiltratif. Sel epitel normal memiliki ketergantungan terhadap ikatan dengan membrana basalis, sel yang bersebelahan dan matriks ekstrasel.

33


Ikatan tersebut dimediasi oleh integrin yang menghubungkan matriks ekstrasel [30,34] dengan sitoskeleton. Perlekatan protein integrin dengan matriks ekstrasel akan menyebabkan aktifnya mediator downstream seperti integrin-linked kinase (ILK), dan dua protein yang sangat penting, non-receptor tyrosine kinase Src, dan focal adhesion kinase [13] (FAK), yang menghambat apoptosis. Jika sel terlepas dari matriks ekstraselnya, sehingga integrin menjadi bentuk tidak terligasi (unligated), mekanisme penghambatan apoptosis ini akan berhenti dan akan memicu integrin-mediated cell death (IMD) yang dipicu oleh recruitment caspase-8 pada subunit-β domain sitoplasmik integrin bebas (unligated integrin) pada sel epitel. Pada sel fibroblas, interaksi antara unligated integrin dan caspase-3 [35] akan memicu apoptosis. Sel tumor memiliki beberapa mekanisme untuk menghindari IMD dan menghasilkan kemampuan anchorageindependent growth (AIG), yaitu mengalami dediferensiasi melalui epithelial-mesenchymal transition (EMT), mengubah integrin yang terdapat pada membran sel, dan hiperaktivasi [35] dari sinyal antiapoptotic. Melalui dediferensiasi dengan EMT, sel epitel akan secara parsial mengalami

perubahan ekspresi gen dan aktivitas protein, seperti penghambatan protein Bad, caspase-9, glycogen synthase kinase 3β (GSK3β) yang memiliki sifat proapoptotic, dimana gen ini dihambat oleh beberapa jalur sinyal, seperti jalur Wnt dan jalur reseptor tirosin kinase yang dipicu oleh beberapa faktor [36] pertumbuhan. Beberapa faktor transkripsi yang meningkatkan resistensi terhadap anoikis adalah NF-βB melalui jalur PI3K – Akt, Snail yang menurunkan transkripsi E-cadherin dan menginhibisi caspase-3, dan Twist yang meningkatkan transkripsi N-cadherin [11] dan protein antiapoptotic Bcl-2. Hasil dari perubahan ekspresi gen ini adalah peningkatan protein antiapoptotic, turunnya ekspresi E-cadherin, dan meningkatnya resistensi sel tersebut [35,36] terhadap IMD. Modifikasi integrin memiliki peranan penting dalam meredam [30] IMD. Modifikasi terpenting adalah perubahan integrin βvβ5 menjadi integrin βvβ6, dimana unligated βvβ5 akan memicu IMD, sementara unligated βvβ6 justru terhadap. akan menghambat apoptosis melalui aktivasi jalur PI3K– Akt. Integrin βvβ3 juga merupakan integrin yang dapat menghambat IMD, dan dapat merekrut Src yang bersifat [32,35] antiapoptotic.

Gambar 1. Mekanisme Resistensi Integrin Mediated Cell Death Termediasi Src/FAK. Pada sel normal, Protein Src/FAK menghambat apoptosis, dan penghambatan ini akan berhenti jika sel terlepas dari matriks ekstraselular dan integrin memasuki bentuk tidak terligasi, menyebabkan sel mengalami [37] apoptosis.

JIMKI Volume 3 No.2 | Juli -Desember 2015

34


Gambar 2. Jalur Integrin-Src-FAK dalam Pengaturan Fungsi Apoptotik. Protein PI3-K dan AKT memainkan peran penting dalam mencegak apoptosis. Integrin yang utuh menyebabkan Src/FAK mengaktifkan jalur ini dan mencegah apoptosis. Jalur ini mati saat [18] matriks ekstraselular rusak dan integrin tidak lagi utuh. Strategi terakhir dalam menghindari anoikis adalah dengan meningkatkan sinyal antiapoptotic, yaitu antara lain dengan sekresi autokrin faktor pertumbuhan seperti fibroblast growth factor (FGF), hepatocyte growth [18] factor (HGF) dan interleukin-8 (IL-8). Sel juga dapat meningkatkan aktivitas reseptor ErbB2 yang dapat menghambat protein Bim yang proapoptotik dan menghambat degradasi dari epidermal growth factor receptor (EGFR) yang bersifat anti-apoptotik. [19,33]

2.4 Jalur Integrin – Src / FAK dan Potensinya sebagai Target Terapi Protein Src dan FAK merupakan dua protein tirosin kinase non-reseptor yang berperan sebagai jalur downstream dari integrin, dimana integrin yang berikatan dengan ECM (ligated), akan mengaktifkan jalur Src/FAK, yang merupakan jalur antiapoptotic yang sangat penting dalam mempertahankan [4],20] kelangsungan hidup sel. Src dan FAK dapat menjadi activator protein dengan cara memfosforilasi protein lain yang memiliki gugus SH2, termasuk

JIMKI Volume 3 No.2 | Juli -Desember 2015

dalam hal ini protein PI3K yang jalur transduksi sinyalnya bersifat sangat antiapoptotic. Selain itu, Src dan FAK juga akan menghambat aktivasi [16,36] procaspase-8. Dari berbagai perubahan yang terjadi pada sel tumor untuk menghindari apoptosis, seperti telah dijelaskan diatas, terdapat disosiasi antara integrin dengan jalur transduksi downstream terutama Src/FAK. Disosiasi ini dapat terjadi dengan perubahan jenis integrin menjadi βvβ6 yang bentuk tidak terligasinya tidak akan memicu IMD dan tidak akan menurunkan aktivitas Src/FAK. Hal ini menyebabkan efek anti-apoptotik Src/FAK tetap tidak terinhibisi, sehingga sel tumor tersebut dapat terhindar dari [18,36] IMD. Inhibisi dari Src/FAK dapat menurunkan sinyal anti-apoptotik dan dapat memicu apoptosis meskipun pada sel tersebut telah terjadi modifikasi [30] integrin. Obat inhibitor Src/FAK telah diteliti dan dipakai sebagai obat antiangiogenic, dan diduga memiliki aktivitas anti-tumor, namun belum diteliti [36] sebagai obat anti-metastatik. Efek

35


samping yang diketahui dari penggunaan antagonis FAK adalah inhibisi vaskulogenesis dan angiogenesis normal, dan bersifat letal pada embrio karena menyebabkan kelainan kardiovaskuler. Pada tikus dewasa, delesi dari FAK pada epitel tidak bersifat letal, yang diperkirakan terjadi karena efek kompensasi oleh protein lain, yaitu PYK2. Beberapa penelitian lain mengaitkan hubungan antara inhibisi FAK dengan meningkatnya p53, yang bersifat pro[17,18,36] apoptotik. Kedua protein FAK dan Src ditemukan meningkat pada banyak jenis kanker yang berbeda, termasuk kanker payudara, prostat, hati dan tiroid. Kedua protein ini ditemukan membentuk kompleks dan diketahui berperan selain [18] dalam jalur integrin, juga dalam beberapa jalur lain yang berhubungan dengan beberapa reseptor tirosin kinase yang diaktifkan oleh sitokin dan growth factors. Karena perannya yang luas dalam memediasi efek anti-apoptotik dari berbagai macam faktor pertumbuhan dan dalam proses IMD, inhibisi kompleks protein Src/FAK juga diperkirakan dapat mengurangi risiko [17,18,36] terjadinya metastasis. 2.5 Desain Terapi 2.5.1 Terapi Anti-Transisi-Epitel-keMesenkim Masa Kini Penatalaksanaan kanker payudara di Indonesia mencakup rangkaian pengobatan yaitu pembedahan, kemoterapi dan radiasi, terapi hormonal/endokrin dan terapi [6] imunologis. Pengobatan ini bertujuan untuk memusnahkan kanker atau membatasi perkembangan penyakit serta menghilangkan gejalanya. Namun, kombinasi pengobatan ini sangat tidak efektif bagi kanker stadium lanjut dan [4] kanker yang sudah bermetastasis. EMT akhir-akhir ini telah menjadi target terapi untuk mengurangi maupun mecegah metastasis, dan beberapa kinase yang menarget TGF-β, Wnt, Hedgehog dan pathway signalling lain [18] tengah dikembangkan. Terapi ideal yang juga bersifat spesifik tumor seharusnya berukuran kecil dan dapat berikatan langsung dengan ATPbinding-site dari kinase yang mengalami [28,40] gangguan regulasi tersebut. Oleh

JIMKI Volume 3 No.2 | Juli -Desember 2015

karena itu, sebagian besar molekulmolekul obat potensial bekerja dengan cara menarget kinase. Inhibitor kompetitif EGFR gefitinib dan erlotinib menunjukkan aktivitas protektif terhadap fibrosis paru dan sirosis, dan mungkin juga dapat berperan pada EMT di dalam [38,40] konteks karsinoma. Inhibitor VEGFR dan PDGFR yang serupa, sorafenib dan sunitinib, juga menunjukkan aktivitas anti-EMT secara [38] in-vitro. [38] Studi oleh Reka et al. menemukan inhibitor gen potensial melalui profilling ekspresi gen dan menyimpulkan bahwa Rapamisin dan bahan 17-AAG merupakan inhibitor potensial untuk EMT melalui inhibisinya terhadap TGF-B; kedua bahan ini dapat menghambat EMT dan juga fenotip migratori/invasif yang terasosiasi dengannya. Obat BI 5700 secara langsung menginhibisi kinase IKK2, yang merupakan bagian dari pathway NFkB dan dapat menyebabkan reversal [39,40] dari EMT pada model tikus. Beberapa obat dan targetnya dalam menghambat EMT antara lain EW-7195 dan EW-7203 yang menarget reseptor kinase TGF-B tipe 1 dan aktivin receptor like kinase-5; SL0101 yang menarget ribosomal protein S6 kinase dalam jalur TGF-B dan RON, dan kombinasi ROCK dan SB431542 yang [41] menurunkan regulasi level ZEB. Selain itu, terdapat pula 4Ei-1 yang merupakan analog nukleotida non-toksik dan dapat mencegah asosiasi dari eIF4E dan mRNA; pada model zebrafish EMT dalam konteks tumor dapat dicegah namun perkembangan organisme tetap berjalan normal, melalui inhibisi cap dependent [42] translation. 2.5.2 Terapi Kombinasi Penghambat EMT dan Optimalisasi Anoikis Inhibisi dari jalur Src/FAK diharapkan akan menurunkan sinyal anti-apoptotik dengan melangkahi integrin sebagai reseptor yang dapat [21,34,35] dimodifikasi oleh sel tumor. Kelemahan dari mentarget Src/FAK adalah kemungkinan aktivasi protein downstream pada jalur ini, seperti PI3KAkt oleh jalur transduksi sinyal lain yang memiliki cross-talk dengan jalur ini. Hal ini harus dicegah untuk menghasilkan

36


efek yang optimal dalam memicu [12,16,35] anoikis. Jalur transduksi sinyal lain yang memiliki cross-talk dengan jalur PI3K antara lain adalah jalur induksi yang dimulai dari hepatocyte growth factor (HGF) dan transforming growth factor β [41] (TGFβ). Meskipun diperkirakan kompleks Src/FAK juga memiliki peran dalam transduksi sinyal kedua faktor pertumbuhan tersebut, sehingga dengan inhibisi Src/FAK diperkirakan jalur aktivasi PI3K oleh kedua reseptor faktor pertumbuhan tersebut juga akan berkurang, namun diketahui pula bahwa peran Src/FAK pada kedua jalur tersebut tidak mutlak, sehingga untuk mencapai hasil maksimal dari penghambatan jalur pro-apoptotik PI3K, perlu dilakukan terapi kombinasi untuk mencakup sebesar mungkin inhibisi dari [34] jalur-jalur anti-apoptotik. Dengan menggunakan terapi kombinasi dengan menghambat faktor pertumbuhan lain, yaitu inhibisi TGF-β dengan LY2157299 dan inhibisi HGF melalui antibodi seperti rilotumumab, MetMab, atau fragmen NK4, diharapkan proses anoikis dapat [38,43] berjalan dengan efektif. 2.5.3 Model Terapi dan Penghantaran Desain terapi yang kami usulkan adalah terapi gen dengan menggunakan siRNA (small interfering RNA) yang dikonjugasikan ke dalam plasmid yang kemudian dihantarkan ke dalam sel menggunakan nanopartikel. Molekul siRNA ini bekerja dengan cara bergabung dengan kompleks pre-RISC [44] yang mengandung protein argonaute. Protein ini memainkan peranan kunci dalam jalur RNA silencing karena memiliki aktivitas ribonuklease terhadap RNA target. Salah satu untai RNA dupleks akan dibuang sehingga tebentuklah kompleks RISC dengan satu untai RNA. RNA ini kemudian akan berikatan dengan mRNA komplemennya sehingga menyebabkan inhibisi translasi atau degradasi mRNA target yang dikatalisis oleh kompleks RIS (Gambar 3). Dengan demikian, ekspresi dari [44,45] protein Src/FAK dapat direpresi.

JIMKI Volume 3 No.2 | Juli -Desember 2015

Gambar 3. Mekanisme PostTranscriptional Gene Silencing dengan [44] small interfering RNA (siRNA). Untuk membuat terapi siRNA transgenik ini, mula-mula dilakukan identifikasi sekuens gen dari Src/FAK melalui akses GenBank®. Setelah mendapatkan sekuens tersebut, maka plasmid yang mengkode siRNA transgenik dapat dikonstruksi dengan penambahan promoter dan ujung 3’ H1 untuk menjamin transkripsinya di sel [45] target. PCR atau kultur bakteri dapat digunakan untuk memperbanyak plasmid transgenik dalam jumlah masal. Kemudian, plasmid ini akan dikonjugasikan dengan nanopartikel PLGA yang biokompatibel, biodegradabel, tidak beracun, dan imunogenik. Administrasi terapi menggunakan prinsip targeted therapy untuk membuat terapi yang spesifik ke [42] sel tumor payudara. Akhirnya monitoring yang berkelanjutan diperlukan untuk melakukan evaluasi hasil terapi ini. Molekul targeting yang dapat digunakan untuk melakukan homing terhadap sel kanker payudara bermacam-macam karena sel kanker payudara memiliki pola ekspresi gen pada permukaan sel yang berbeda-

37


[46]

beda. Salah satu molekul yang pernah digunakan untuk terapi adalah Fab untuk Her2, yang hanya dapat digunakan untuk sel kanker dengan sifat [47] Her2 positif. Selain itu, molekul lain yang pernah digunakan adalah peptida rekombinan yang mengandung fragmen N-terminal urokinase-type plasminogen activator (uPA), yang selama ini telah berhasil digunakan sebagai molekul targeting untuk imaging kanker [48] payudara. 3. KESIMPULAN Terapi anti-metastasis sangat dibutuhkan untuk meningkatkan survival pasien kanker payudara stadium lanjut dan hambatan pada jalur transisi epitelke-mesenkim (EMT) dapat menjadi target terapi di masa depan. Telah ditunjukkan bahwa EMT merupakan proses yang sangat esensial dalam metasasis pada tumor jenis epitelial. Anoikis ternyata memainkan peranan penting dalam proses EMT dan reaktivasinya perlu diteliti sebagai metode potensial untuk menghambat EMT, salah satunya dengan silencing pada mRNA protein Src/FAK yang memainkan peranan yang luas dalam berbagai jalur anti-anoikis, antiapoptotic dan pro-metastasis, secara bersamaan. Kombinasi terapi gen dengan target Src/FAK dengan terapi mutakhir seperti inhibitor HGF dan inhibitor TGF-β dapat menjadi perkembangan baru bagi terapi kanker metastatik, dan sistem penghantaran berbasis nanopartikel membuatnya sangat spesifik, efisien, dan juga minim efek samping, seiring dengan perkembangan targeted therapy dalam pengobatan kanker. Hingga saat ini, jalur-jalur molekuler dan protein-protein penting yang dibahas (termasuk integrin, Src/FAK, jalur apoptosis, jalur anoikis dan EMT) telah diteliti dengan cukup mendalam dan segala jalur tersebut telah diketahui cukup jelas mekanismenya. Namun, pengembangan terapi untuk menghambat jalur tersebut belum pernah dilakukan secara in vivo. Potensi terapi yang mungkin ada disimpulkan melalui percobaan in vitro pada cell line. Sementara itu, usulan penulis mengenai metode penghantaran berbasis nanopartikel dan penggunaan siRNA sendiri sudah diteliti dengan

JIMKI Volume 3 No.2 | Juli -Desember 2015

mendalam dan mencapai tahap animal study. Di masa depan penulis meyakini bahwa terapi yang telah diusulkan dapat dikembangkan dan menjadi modalitas terapi yang penting. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut yang berfokus untuk mencegah metastasis pada kanker jenis epitelial, dan eksplorasi lebih lanjut pada jalur-jalur metastasis yang terlibat. Hal ini penting untuk mencegah progresi kanker dan meningkatkan prognosis pasien secara signifikan. Terapi kanker di masa depan dapat terus dikembangkan dengan berfokus pada efisiensi dan target yang spesifik, sehingga menghindari kerusakan pada sel sehat dan memaksimalkan kerja terapi, serta meningkatkan kenyamanan pasien. 4. SARAN a. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai terapi kanker payudara yang berfokus pada inhibisi metastasis. b. Src/FAK dan target-target lain dalam jalur transisi epitel-kemesenkim dan anoikis perlu dieksplorasi lebih lanjut dalam konteks pengembangan obat antikanker. c. Pengembangan terapi kanker berbasis-gen dan terapi bertarget, antara lain dengan nanopartikel, perlu dikembangkan sebagai modalitas terapi masa depan. DAFTAR PUSTAKA 1. World Health Organization. WHO GLOBOCAN Breast Cancer Factsheet. New York: 2012. 2. Tjindarbumi. Diagnosis dan Pencegahan Kanker Payudara, Kursus Singkat Deteksi Dini dan Pencegahan Dini Kanker. Jakarta: FKC, 1996. 3. Cairns, John. “Mutation Selection and the Natural History of Cancer”. Nature 255: (1975): 197-200. 4. Sariego, Jack. “Breast Cancer in the Young Patient”. Annals of Surgery 76: (2010): 1397-1400. 5. Miranti, IP. “Insidens Berbagai Jenis Kanker Penduduk Kodya Semarang Tahun 1990–1993”. Media Medika Indonesiana 32: (1997): 67-73.

38


6. Universitas Diponegoro. FaktorFaktor Risiko yang Berpengaruh terhadap Kejadian Kanker Payudara Wanita. Indrati R, Setyawan H, Handojo D. 2005. 4 Juli 2014 <http://www.eprints.undip.ac.id/5248 /Rini_Indarti.pdf> 7. Weigelt, Brita., Johannes L Peterse dan Laura J van’t Veer. “Breast Cancer Metastasis: Markers and Models”. Nature Reviews Cancer 5: (2005): 591-602. 8. Fidler, Isaiah J. “Critical Determinants of Metastasis”. Seminars of Cancer Biology 12: (2002): 89-96. 9. Yao, Dao., C dan SL Peng. “Mechanisms of the MesenchymalEpithelial Transition and Its Relationship with Metastatic Tumor Formation”. Molecular Cancer Research 9: (2011): 1608. 10. Steeg, Patricia S. “Tumor Metastasis: Mechanistic Insights and Clinical Challlenges”. National Journal of Medicine 12: (2006): 895904. 11. Lamouille, Sammy., Jian Xu dan Rik Derynck. “Molecular Mechanisms of EpithelialMesenchymal Transition.” Nature 15: (2014): 178-196. 12. Paoli, Paolo., Elisa Gianoni dan Paola Ciaruggi. “Anoikis Molecular Pathways and Its Role in Cancer Progression.” Biochimica et Biopysica Acta, 1833: 12 (2013): 3481-3489. 13. Vachon, Pierre H. “Integrin Signaling, Cell Survival and Anoikis: Distinctions, Differences, and Differentiation.” Journal of Signal Transduction (2011): 738137. 14. Gammon, K. “Breast Cancer”. American Cancer Society Official Guidebook. Boston: ACS, 2003 15. Nahta R. et al. “Trastuzumab: triumphs and tribulations.” Oncogene, 26 (2005), 3637-3643. 16. Bolos V, et al. “The Dual Kinase Complex FAK-Src as a Promising Therapeutic Targeting Cancer”. Oncology Targets Therapy; 3: (2010): 83-97.

JIMKI Volume 3 No.2 | Juli -Desember 2015

17. Thiery, Jean Paul dan Jonathan P. Sleeman. “Complex Networks Orchestrate Epithelial-Mesenchymal Transitions.” National Review Molecular Cell Biology 7: (2006): 131-142. 18. Thiery, Jean Paul. “EpithelialMesenchymal Transitions in Tumour Progression.” National Review of Molecular Cancer Biology 2: (2002): 442-445. 19. Hugo H, et al. “EpithelialMesenchymal and MesenchymalEpithelial Transitions in Carcinoma Progression”. Journal of Cell Physiology 213: (2007): 374-378. 20. Barallo-Gimeno, Alejandro, Angela Nieto. “The Genes as Inducers of Cell Movement and Survival: Implications in Development and Cancer”. Development 132: (2005): 3151-3161. 21. Guadamillas, Marta C, Ana Cerezo, Miguel A del Pozo. “Overcoming Anoikis–Pathways to AchorageIndependent Growth in Cancer”. Journal of Cell Science 124: (2011): 3189-3197. 22. Howe, Erin N, Dawn R Cochrane, Jennifer K Richer. “Targets of miR200c Mediate Supression of Cell Motility and Anoikis Resistance”. Breast Cancer Research 13: (2011): R45. 23. Mongroo, Perry S., dan Anil K Rutsgi. “The Role of miR-200 Family in Epithelial-Mesenchymal Transition”. Cancer Biological Therapy 10 : (2010) : 219-222. 24. Burk Ulrike, et al. “A Reciprocal Repression between ZEB1 and Members of the miR-200 Family Promotes EMT and Invasion in Cancer Cells”. EMBO Rep 9: (2008): 582–589. 25. Ma, Li., Julie Teruya-Fieldstein dan Robert A Weinberg. “Tumour Invasion and Metastasis Initiated by microRNA-10b in Breast Cancer”. Nature 449: (2007): 682-688. 26. Kong W, et al. “MicroRNA 155 is Regulated by the Transforming Growth Factor Beta/Smad Pathway and Contributes to Epithelial Cell Plasticity by Targeting RhoA”. Molecular Cell Biology 28: (2008): 6773-6784.

39


27. Gebeschuber, Cristoph A., Kurt Zatloukal dan Javier Martinez. “miR29a Supresses Tristetraprolin, which is a Regulator of Epithelial Polarity and Metastasis”. EMBO Rep; 10: (2009): 400–405. 28. Madhavan, Deepak, et al. “Circulating miRNAs as Surrogate Markers for Circulating Tumors Cells and Prognostic Markers in Metastatic Breast Cancer”. Clinical Cancer Research; 18: (2012): 59725892. 29. Ying L, et al. “Upregulated MALAT-1 Contributes to Bladder Cancer Cell Migration by Inducing Epithelial-toMesenchymal Transition”.Molecular Biosystematics; 8: (2012): 22892294. 30. Gradilone, Angela, et al. “Circulating Tumour Cells Lacking Cytokeratin in Breast Cancer: The Importance of Being Mesenchymal”. Journal of Cellular Molecular Medicine; 15: (2011): 1066-1070. 31. Kallergi, Galatea, et. al. “Epithelial to Mesenchymal Transition Markers Expressed in Circulating Tumour Cells of Early and Metastatic Breast Cancer Patients”. Breast Cancer Res; 13: (2011): R59. 32. Hiscox, Stephen, et al. “Tamoxifen Resistance in MCF7 Cells Promotes EMT-like Behavior and Involves Modulation of Beta-Catenin Phosphorylation”. International Journal of Cancer; 118 : (2006) : 290-301. 33. Chreighton CJ, et al. “Residual Breast Cancers after Conventional Therapy Display Mesenchymal as Well as Tumor-Initiating Features”. Proceeding of the National Academy of Sciences USA; 106: (2009): 13820-13825. 34. Ward, Kristy K, et al. “Inhibition of focal adhesion kinase (FAK) activity prevents anchorage-independent ovarian carcinoma cell growth and tumor progression.” Clinical and Experimental Metastasis (2012) Dec. doi 10.1007/s10585-102-95625 35. Tancioni, Isabelle, et al. “FAK Activity Protects Nucleostemin in Facilitating Breast Cancer Spheroid and Tumor Growth.” Breast Cancer Research; 17: (2015): 47.

JIMKI Volume 3 No.2 | Juli -Desember 2015

36. Mitra, Satyajit K, David D Schlaepfer. “Integrin-Regulated FAK-Src Signaling in Normal and Cancer Cells.” Current Opinion in Cell Biology; 18: 5 (2006): 516- 523. 37. Young, Shanique, Ryon Graf, dan Dwayne Stupack. “Neuroblastoma.” La Jolla: CC BY, 2013 38. Ishii, Yoshiki., Sakae Fujimoto, dan Takashi Fukuda. “Gefitinib Prevents Bleomycin-Induced Lung Fibrosis in Mice.” American Journal of Respiratory Critical Care Medicine; 174 : (2006): 550-556. 39. Reka AK, et al. “Identifying Inhibitors of Epithelial-Mesenchymal Transition by Connectivity MapBased Systems Approach.” Journal of Thoracic Oncology 6: 11 (2011): 1782-1792. 40. Huber, Margit A, et al. “BI5700 a selective Chemical Inhibitor of IkB Kinase 2, Specifically Supresses Epithelial Mesenchymal Transition and Metastasis in Mouse Models of Tumor Progression.” Genes Cancer; 1: (2010): 101-2014. 41. Ma Q, et al. “Ribosomal Protein S6 Kinase (RSK2) as a Central Effector Molecule in RON Receptor Tyrosine Kinase Mediated Epithelial to Mesenchymal Transition Induced by Macrophage-Stimulating Protein.” Molecular Cancer 10: (2011): 66. 42. Ghosh, Brahma, et al. “Nontoxic Chemical Interdiction of the Epithelial-to-Mesenchymal Transition by Targeting CapDependent Translation.” ACS Chemical Biology 4: (2009): 367377. 43. Mizuno, Shinya dan Toshikazu Nakamura. “HGF-Met Cascade, a Key Target in Inhibiting Cancer Metastasis: The Impact of NK4 Discovery on Cancer Biology and Therapeutics.” International Journal of Molecular Science; 14: (2013): 888–919. 44. Chapman, Elizabeth J., dan James C Carrington. “Specialization and Evolution of Endogenous Small RNA Pathways.” Nature Reviews Genetics; 8: (2007): 884-896 45. Gewirtz AM. “On future’s doorstep: RNA interference and the pharmacopoeia of tomorrow.” The

40


Journal of Clinical Investigation; 177 (2007): 12 46. Duncan R. “Polymer Conjugates as Anticancer Nanomedicines.” National Reviews of Cancer 6: (2006): 688-701. 47. Mazzucchelli, Serena, et al. “Targeted Approaches for HER2 Breast Cancer Therapy: News from Nanomedicine?” World Journal of Pharmacology; 3: 4 (2014): 72-84. 48. Yang L, et al. “Receptor Targeted Nanoparticles for in Vivo Imaging of Breast Cancer.” Clinical Cancer Research; 15: 14(2006): 4722-4732.

JIMKI Volume 3 No.2 | Juli -Desember 2015

41


Tinjauan Pustaka

SEBUAH INOVASI BOOSTER BCG, VAKSIN L-TB: KOMBINASI MULTISTAGE RECOMBINANT PROTEIN, ID93/GLA-SE DENGAN LIPOSOM AVE3/CPG MOTIF 1

1

Matthew Billy , Harrison Paltak Bernard Panjaitan , Thong 1 Felicia Melida 1

Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia

ABSTRAK Pendahuluan: Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit nomor dua penyebab kematian terbanyak di dunia. Pada tahun 2012, WHO menggolongkan Indonesia sebagai negara dengan masalah tuberkulosis paru besar (high burden countries). Salah satu pencegahan TB adalah dengan vaksin BCG (Bacillus Calmette-Guerin). Namun, efikasi dari vaksin BCG bervariasi dan kemampuan proteksi vaksin BCG semakin menurun. Dengan demikian, diperlukan vaksin baru yang lebih efektif untuk mencegah berkembangnya penyakit TB lebih lanjut. Pembahasan: Berbagai penelitian telah dilakukan untuk mencari vaksin pengganti maupun booster untuk vaksin BCG. Salah satu booster tersebut adalah ID93/GLA-SE yang dibentuk dalam virosom. Kombinasi ini dapat meningkatkan proteksi dengan cara meningkatkan respon imun dari sel T. Penelitian menunjukan penurunan jumlah bakteri secara cepat dan laju mortalitas yang lebih rendah pada hewan coba yang divaksinasi BCG-GLA/SE dibandingkan dengan yang hanya BCG saja. Booster ini diberikan dalam tiga dosis dengan rentang antardosis tiga minggu. Untuk meningkatkan efisiensi, penulis mengajukan vaksin tersebut dimasukkan ke dalam liposom AVE/CpG motif. Liposom akan mengeluarkan ID93 dalam waktu yang lebih lama sehingga sel dendritik dapat mempresentasikan antigen ke sel T lebih lama. CpG motif juga akan meningkatkan kemampuan presentasi sel dendritik ketika berikatan dengan TLR9. Kesimpulan: Kombinasi ini akan mengubah dosis pemberian vaksin menjadi dua kali dengan rentang satu minggu. Inovasi vaksin booster baru ini dinamakan vaksin L-TB. Kata Kunci: tuberkulosis, BCG, booster, ID93/GLA-SE, liposom AVE/CpG ABSTRACT Introduction: Tuberculosis (TB) is the second leading cause of death by disease around the world. In 2012, WHO classified Indonesia as a high burden country for tuberculosis. One of the preventive measurements for tubeculosis is BCG (Bacillus Calmette-Guerin) vaccine. Nonetheless, the efficacy of BCG vaccine varies and the protective ability is decreasing. As a result, there is an urgency to have more effective vaccine to prevent further development of TB. Disscusions: Numerous researches have been conducted in order to search for complement vaccine or booster for BCG vaccine. One of the booster is ID93/GLA-SE formed into virosome. This combination can increase the protective ability by means of increasing T cell immune respone. Research has shown decrease of total bacteria as well as mortality rate in BCG- GLA/SE-vaccinized experimental model when compared to merely BCG-vaccinized. This booster is given with three weeks interval. To increase its efficiency, the author proposes that this vaccine is encapsulated into AVE/CpG motif liposome. Liposome will release ID93 in a slower motion so that dendritic cell is able to present antigen to T cell in longer duration. In addition, CpG motif cam increases its presentation ability when binding to TLR9. Conclusion: This combination can change the medication dose into twice with one-week interval. This innovative vaccine is called as the L-TB vaccine.

JIMKI Volume 3 No.2 | Juli -Desember 2015

42


Keywords: tuberculosis, BCG, booster, ID93/GLA-SE, AVE/CpG liposome 1. PENDAHULUAN Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis (M.Tb) yang menyerang terutama organ paruparu. Berdasarkan data World Health Organization (WHO), TB merupakan penyakit nomor dua penyebab kematian terbanyak di dunia. Pada tahun 2013, insidensi mencapai 9.000.000 kasus. Selain itu, 150.000.000 individu [1] meninggal akibat penyakit TB tersebut. WHO menggolongkan Indonesia menjadi negara dengan masalah tuberkulosis paru besar (high burden countries). Berdasarkan data dari WHO, pada tahun 2013, prevalensi TB di Indonesia mencapai 680.000 kasus, dan insidensinya diperkirakan 460.000 kasus baru. Sedangkan kematian yang diakibatkan oleh TB di Indonesia sekitar [2] 64.000 kasus. Dengan demikian, penyakit ini telah menjadi masalah global dan Indonesia, pada khususnya. Salah satu pencegahan untuk penyakit TB ini adalah dengan menggunakan vaksin BCG (Bacillus Calmette-Guerin). Vaksin ini diberikan pada saat anak-anak dan termasuk [3] dalam program imunisasi anak. Efikasi dari vaksin BCG bervariasi dari 0-80% yang berarti sangat variatif, bergantung [4] pada genetik dan daerah geografis. Selain itu, kemampuan proteksi vaksin BCG akan semakin menurun secara signifikan seiring bertambahnya usia [5] setelah 10-15 tahun divaksinasi. Vaksin BCG yang tidak protektif ini menyebabkan rentetan penyakit TB semakin parah. Permasalahan selanjutnya adalah ketidakpatuhan pasien dalam meminum Obat Anti Tuberkolusis (OAT) yang dapat menyebabkan penyakit TB berkembang menjadi MDR-TB. Kurang protektifnya vaksin BCG dan semakin meningkatnya penyakit MDR-TB menunjukan diperlukannya suatu booster vaksin baru untuk mencegah [6-10] penyakit ini berkembang lebih lanjut. Sudah banyak penelitian yang berusaha untuk mencari booster untuk BCG ataupun vaksin untuk menggantikan BCG. Salah satu booster yang sudah diujicobakan pada hewan adalah ID93/GLA-SE, merupakan gabungan

JIMKI Volume 3 No.2 | Juli -Desember 2015

dari antigen ID93 dengan adjuvan GLASE. Untuk dapat memberikan efek proteksi yang optimal, booster ini diperlukan tiga dosis yang diberikan dalam rentang waktu tiga minggu. [11] Penelitian lain oleh Konur et al, menguji coba suatu antigen ke dalam liposom AVE3 (Artificial Virus-like envelope 3) dengan adjuvan CpG oligonucleotide motif dan adjuvan dari antigen, yaitu Monophosphoril Lipid A (MPLA), dan hasilnya ternyata dapat meningkatkan jumlah sel limfosit T yang spesifik antigen tersebut. Tambahan lagi, antigen terenkapsulasi liposom ini dapat diberikan dengan dua dosis dalam rentang waktu satu minggu. Dari berbagai penelitian di atas, penulis mengajukan gagasan untuk meningkatkan efikasi dari vaksin BCG dengan menggunakan booster ID93/GLA-SE yang terenkapsulasi ke dalam liposom AVE/CpG motif, yang diberi nama vaksin L-TB. Kombinasi ini dapat bekerja secara sinergis karena adjuvan GLA memiliki struktur analog dengan MPLA, yaitu adjuvan antigen [11,12] pada penelitian Konur et al. Dengan kombinasi ini, efek proteksi menjadi semakin tinggi dan dosis yang diperlukan untuk memberikan perlindungan optimal dapat berkurang menjadi dua dosis dan rentang waktu antardosis akan menjadi lebih sedikit. 2. PEMBAHASAN 2.1 Vaksin BCG dan Efektifitasnya Vaksin Bacillus Calmette-Guerin (BCG) adalah vaksin yang digunakan untuk penyakit TB. BCG merupakan vaksin hidup dari strain bakteri Mycobacterium bovis yang telah dilemahkan atau diatenuasi. Vaksin BCG tersebar di seluruh dunia dan menggunakan 14 jenis substrain yang [13-15] berbeda. Vaksin ini merupakan vaksin yang sangat umum diberikan di dunia serta termasuk dalam program imunisasi anak. Faktanya, lebih dari 80% bayi akan segera diberi vaksin BCG setelah lahir. Efek proteksi dari vaksin BCG bervariasi dari 0-80% yang berarti sangat variatif, bergantung pada genetik dan daerah geografis. Selain itu, kemampuan proteksi vaksin BCG akan

43


semakin menurun secara signifikan seiring bertambahnya usia setelah 10[5] 15 tahun divaksinasi. Ditambah lagi, setelah efek proteksi sudah sangat lemah, tidak bisa dilakukan vaksinasi BCG ulang atau booster. Hal ini terjadi karena vaksinasi ulang tidak akan meningkatkan proteksi terhadap TB tapi malah menambah risiko terkenanya efek samping. Efek samping yang dapat timbul adalah pembengkakan kelenjar limfe, demam, muntah, nyeri perut, nyeri ketika buang air kecil dan terdapat [16-18] darah pada urin. [19] Berdasarkan Zufferey et al, semakin bertambahnya umur setelah divaksinasi, maka terjadi pergeseran peningkatan produksi sel limfosit T. Saat umur-umur awal setelah divaksinasi, sel limfosit yang banyak adalah sel CD4+. Namun, seiring berjalannya waktu, konsentrasi sel CD4+ menurun dan produksi CD8+ meningkat. Hal ini justru menurunkan efek proteksi dari BCG karena sel CD8+ tidak begitu kuat respon imunnya terhadap antigen M.Tb dibanding CD4+. Ditambah lagi, saat terjangkit HIV, sel limfosit yang terserang adalah sel T CD4+ dan menyebabkan respon imun yang sangat menurun terhadap penyakit TB sehingga dapat disimpulkan bahwa sel CD4+ merupakan komponen penting [19] dalam proteksi terhadap TB.

memproteksi penyakit TB. Hal ini dijelaskan dengan efek proteksinya yang sangat variatif mulai 0-80%, penurunan proteksi secara signifikan setelah 10-15 tahun divaksinasi akibat pergeseran produksi sel imun CD4+ ke [5,19] CD8+ hingga tidak bisanya BCG untuk di-booster ulang. Hal ini menuntun pada berkembangnya kandidat vaksin baru untuk menggantikan BCG dan booster baru untuk mem-booster respon imun yang telah dibentuk oleh BCG. Untuk saat ini, yang lebih potensial dan efisien adalah yang kedua karena BCG telah digunakan secara luas di seluruh dunia dan sudah diimunisasikan pada [8] penduduk di seluruh dunia sejak kecil. 2.3 ID93 dan GLA-SE Protein ID93 merupakan fusi atau rekombinansi dari empat protein gabungan yaitu Rv1813, Rv3620, dan Rv2608, yang merupakan komponen dari protein ID83, serta Rv3619. Total berat molekul protein tersebut adalah 93 kD, yang menjadi nama untuk protein ini. Keempat protein ini ditemukan pada berbagai fase dari infeksi M.Tb dan dibedakan menjadi beberapa kategori antigen. Protein Rv2608 atau H37Rv berperan sebagi faktor virulensi yang dapat menginduksi respon imun oleh sel T. Rv3619 dan Rv3620 merupakan protein yang termasuk ke dalam EsX, yang juga berperan sebagai faktor virulensi dan Rv1813 merupakan protein yang berkaitan dengan infeksi laten M. tuberculosis. Dapat disimpulkan bahwa keempat protein ini mencakup berbagai fase dalam infeksi M.Tb yaitu virulensi, [9] replikasi, dan latensi.

[11]

Gambar 2. Struktur Protein ID93. Gambar 1. Pergeseran Produksi Sel CD4+ dan CD8+ Seiring Bertambahnya Usia pada Individu yang Menerima [19] BCG. 2.2 Kandidat Vaksin Baru untuk Mencegah terjadinya TB Telah dipaparkan sebelumnya bahwa BCG kurang efektif dalam

JIMKI Volume 3 No.2 | Juli -Desember 2015

Seperti layaknya sebuah vaksin, protein ini membutuhkan adjuvan untuk memperkuat respon imun terhadap antigen ini dan memfasilitasi masuknya vaksin ke tempat target. Berbagai penelitian mencari adjuvan yang tepat untuk kombinasi ini. Ada beberapa adjuvan yang dapat dijadikan kandidat

44


yaitu alumunium dan emulsi lemak. Dari kedua golongan tersebut, dicari sebuah adjuvan yang dapat memperkuat respon terhadap limfosit T, terutama sel CD4+. Akhirnya, dibuat sintetik molekul GLA. [11,12]

GLA merupakan agonis sintetik dari Toll- like Receptor 4 (TLR 4). GLA dikemas dalam bentuk emulsi minyak dalam air/oil-in water yang disebut Glucopyranosyl Lipid Adjuvant–Stable Emulsion (GLA-SE). Minyak yang digunakan adalah minyak squalene. Kedua campuran ini digabungkan dengan emulsifier yaitu phosphatidylcholine dari telur dan kosurfaktan yaitu pluronic F68. Phosphatidylcholine membuat dropletdroplet minyak tersebut terenkapsulasi menjadi ukuran nano yang disebut [20-22] nanoemulsi. Selain itu, phosphatidylcholine juga meningkatkan polidispersitas dari nanoemulsi tersebut sehingga tidak terjadi koagulasi dan tetap stabil. Dengan demikian, emulsi ini dinamakan dengan emulsi [23-27] stabil/stable emulsion. Hasil dari kombinasi ID93 dengan GLA/SE dibentuk dalam bentuk virosom dengan antigen neuraminidase dan hemagglutinin yang terdapat pada virus influenza. Antigen-antigen ini menambah sifat imunogenisitas dari kombinasi protein ini. Protein ID93 diikatkan dengan fosfolipid penyusun membran tersebut dengan ikatan kovalen. Sementara itu, GLA diintegrasikan di sela antara fosfolipid

Gambar 3. Struktur molekul ID93/GLA[27] SE dalam virosom membran tersebut. Berikut struktur molekular dari [27] kombinasi vaksin tersebut.

JIMKI Volume 3 No.2 | Juli -Desember 2015

2.4 D93/GLA-SE sebagai Booster Vaksin BCG Secara struktural, kombinasi antigen yaitu keempat antigen pada ID93 ditemukan juga pada protein vaksin BCG. Keempat antigen yang dipilih ini adalah antigen yang sangat imunogenik pada berbagai fase [9] infeksi. Hal ini menyebabkan respon imun terdahulu dirangsang kembali. ID93 merangsang sel CD4+ dan CD8+ spesifik antigen BCG yang sudah terbentuk lebih dahulu akibat pemaparan antigen BCG di masa lalu. Hal ini menyebabkan kedua sel tersebut mengeluarkan kembali sitokin yaitu IFNγ, TNF-α, dan interleukin. Kemampuan inilah yang membuat kesimpulan bahwa ID93 dapat digunakan menjadi booster dari vaksin BCG. Berdasarkan penelitian [9] Bertholet, pemberian protein ID93 dengan adjuvan GLA/SE dalam 3 dosis yang berselang 3 minggu antardosis, terbukti dapat merangsang respon imun pada tikus, kera, dan tikus belanda. Dengan kata lain, protein ini bersifat imunogenik. Respon imun yang dirangsang yaitu dari sel T CD4+ dan CD8+. Dari kedua sel imun ini, sel imun yang terutama diinduksi adalah sel CD4+ dengan tipe T H1 yang menghasilkan IFN- γ, TNF- α, dan interleukin-2. Dengan statistik, peningkatan sitokin-sitokin tersebut terjadi secara signifikan pada individu yang di-booster ID93/GLA-SE dengan yang hanya diberi BCG. Penelitian ini juga melihat secara langsung efek proteksi vaksin ID93/GLA-SE pada invidu yang sudah divaksinasi BCG dibandingkan dengan yang hanya divaksinasi BCG. Pertamatama, hewan coba diinfeksikan dengan M.Tb. Kemudian, dilihat hasilnya. Hasil menunjukan bahwa penurunan jumlah bakteri M.Tb terjadi secara cepat untuk pasien yang di-booster oleh protein ID93/GLA-SE dengan yang tidak. Ditambah lagi, kerusakan pada organ paru juga berkurang secara signifikan. Kerusakan jaringan paru dapat dilihat dari fibrosis setelah inflamasi granulomatosa terjadi. Pada gambar di bawah ini, fibrosis terwarnai dengan warna biru dan dapat dilihat bahwa fibrosis yang terjadi pada tikus belanda yang di BCG-ID93/GLA-SE lebih rendah

45


dari pada tikus belanda yang hanya [9] menerima BCG saja.

Gambar 4. Fibrosis pada Jaringan Paru pada Tikus Belanda dan Jumlah Tikus yang Hidup dengan BCG-ID93/GLA-SE [9] dan BCG Saja. 2.5 Vaksin L-TB: Kombinasi ID93/GLA-SE dengan Liposom AVE3/CpG motif ID93/GLA-SE dapat meningkatkan proteksi dengan cara meningkatkan respon imun dari sel T, khususnya sel TH1. Penelitian yang [11] dilakukan oleh Konur et al. mendapatkan bahwa penggunaan liposom yang dicampur dengan CpG motif dapat meningkatkan produksi sel T. Agar lebih optimal, diperlukan adjuvan yang dapat bekerja sinergis dengan CpG. Adjuvan yang digunakan pada penelitian itu adalah MPLA dan Pam3Cys yang keduanya merupakan agonis dari TLR. Sama seperti MPLA, GLA juga merupakan agonis TLR4 yang dihasilkan dengan cara sintesis. Namun, berbeda dengan MPLA yang didapat secara natural dari bakteri Salmonella

JIMKI Volume 3 No.2 | Juli -Desember 2015

[35]

minnesota. Dengan demikian, GLA dapat bekerja secara sinergis dengan CpG motif karena strukturnya analog dengan MPLA. Hampir semua peptida yang ada dalam tubuh akan dipresentasikan oleh non-professional APC, yang kurang dapat memicu aktivitas dari sel T. Oleh karena itu, diperlukan peran sel dendritik yang merupakan professional APC untuk memicu aktivitas sel T tersebut. Dengan penggunaan liposom ini, liposom akan menjadi sebuah depot yang akan mengeluarkan ID93 dalam waktu yang lebih lama sehingga kesempatan untuk sel dendritik untuk mempresentasikan antigen ke sel T [11] semakin lebih besar. Selain itu, seperti yang telah dijelaskan di atas, CpG motif ini juga dapat meningkatkan kemampuan presentasi sel dendritik [31] ketika berikatan dengan TLR9. Dengan bantuan liposom AVE3/CpG motif, vaksin ID93/GLA-SE yang pada awalnya harus menggunakan tiga dosis dengan rentang antar dosis yaitu tiga minggu dapat diubah menjadi dua dosis dengan rentang waktu satu minggu. Hal ini dapat dilihat dari kemampuan liposom ini dalam membantu vaksin ID93/GLA-SE dalam memicu respon imun sehingga menjadi [11] lebih efisien dan efektif. 3. KESIMPULAN Kesimpulan yang dapat ditarik yaitu vaksin BCG kurang efektif dalam memberikan efek proteksi terhadap penyakit tuberkulosis karena efek proteksinya bervariasi dari 0-80%, efisiensi protein ID93/GLA-SE dapat ditingkatkan dengan penggunaan liposom AVE3 dengan adjuvan CpG motif. Dengan demikian, vaksin L-TB berpotensi untuk menjadi booster vaksin BCG. 4. SARAN Saran untuk penelitian berikutnya adalah dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai efek proteksi vaksin, dosis dan efek samping vaksin L-TB pada manusia. Ditambah lagi, dapat dilakukan penelitian lebih lanjut pemanfaatan liposom dalam berbagai terapi pengobatan.

46


DAFTAR PUSTAKA 1. World Health Organization. Global tuberculosis report 2013. Switzerland :WHO press; 2013.p 1,8,16-17. 2. Annex 2: country profile [monograph on internet]. 11 November 2013 <http://www.who.int/tb/publications/g lobal_report/gtbr13_annex_2_countr y_profiles.pdf> 3. BCG vaccine [monograph on internet]. 5 November 2013. <Available from: http://www.who.int/biologicals/areas/ vaccines/bcg/en/> 4. Gophal,R. , Khader SA. “Vaccine against tuberculosis”. Expert Rev Vaccines. 2013; 12(8): 829-31. 5. Luo,Y., et al. “Subunit vaccine candidate AMM down-regulated the regulatory T-cell and enhanced the protective immunity of BCG on a suitable schedule”. Scand J Immunol. 2012; 75(3): 293-300. 6. Ormerod,LP. “Multidrug resistant tuberculosis (MDR-TB): epidemiology, prevention, and treatment”. British Medical Bulletin. 2005; 73 and 74: 17–24. 7. XDR-TB [monograph on internet]. 5 November 2013. <http://www.who.int/tb/challenges/m dr/xdr/en/> 8. Skeiky,YAW., Sadoff JC. “Advances in tuberculosis vaccine strategies”. Nat Rev Microbiol. 2006; 4(6): 46976. 9. Bertholet ,S. , et al. “A defined tuberculosis vaccine candidate boosts BCG and protect against multidrug resistant Mycobacterium tuberculosis”. Sci Transl Med. 2010; 2(53): 53ra74. doi: 10.1126/scitranslmed.3001094 10. Xin ,Q., et al. “Subunit vaccine consisting of multi-stage antigen has high protective efficacy against Myobacterium tuberculosis infection in mice”. PLoS One. 2013; 8(8). doi: 10.1371/journal.pone.0072745. 11. Konur, A., et al. “Liposomeencapsulated adjuvants are potent inducers of antigen-spesific T-cells in vivo”. The Open Cancer Journal. 2008; 2: 15-24. 12. Arias ,MA., et al. “Glucopyranosyl Lipid Adjuvant (GLA), a synthetic

JIMKI Volume 3 No.2 | Juli -Desember 2015

13.

14.

15.

16.

17.

18.

19.

20.

21.

22.

TLR4 agonist, promotes potent systemic and mucosal respones to intranasal immunization with HIV gp140”. PLoS One. 2012; 7(7). doi:10.1371/journal.pone.0041144. Raviglione,MC., O’Brien ,RJ. Tuberculosis. In: Fauci AS, Braunwald E, Kasper DL, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL, Loscalzo J, editors. Harrison’s th principle of internal medicine. 17 ed. New York: McGraw-Hill Inc.;2008. p 1006-20. Knechel, NA. “Tuberculosis: pathophysiology, clinical features, and diagnosis”. Crit Care Nurse. 2009; 29(2):34–43. Rook ,GAW., Dheda K, Zumla A. “Immune responses to tuberculosis in developing countries: implications for new vaccines”. Nat Rev Immunol. 2005; 5(8): 661–7. Recommendations to assure the quality, safety and efficacy of BCG vaccines. Geneva: WHO press; 2012. Fishman , A., et al. Fishman's pulmonary disease and disorders. th 4 ed. New York: McGraw-Hill; 2008.p 2069-70. Bacillus Calmette-Guerin (BCG) Vaccine [monograph on internet]. 2013. 8 November 2013. <http://www.nlm.nih.gov/medlineplu s/druginfo/meds/a682809.html> Zufferey,C. “The contribution of nonconventional T cells and NK cells in the mycobacterial-specific IFNγ respone in bacille calmette-guerin (BCG)-immunized infants”. PLOSOne. 2013; 8(10). doi: 10.1371/journal.pone.0077334 Cavalcanti, YVN., et al. “Role of TNF-Alpha, IFN-Gamma, and IL-10 in the development of pulmonary tuberculosis “. Pulmonary Medicine. 2012; 2012. doi: 2.10.1155/2012/745483 World Health Organization. Tuberculosis vaccines. [monograph on internet]. 2013. 9 November 2013. <http://www.who.int/vaccine_resear ch/development/tuberculosis/en/inde x.html> Beveridge, NER., et al. “Immunization with BCG and recombinant MVA85A induces long-

47


lasting, polyfunctional Mycobacterium tuberculosis-specific CD4+ memory T lymphocyte pupulations”. European Journal of Immunology. 2007; 37(11): 3089100. 23. Abel , B.,et al. “The novel tuberculosis vaccine, AERAS-402, induces robust and polyfunctional CD41 and CD81 T cells in adults”. Am J Respir Crit Care Med. 2010; 181: 1407-17. 24. Harini, AP., et al. “An overview of immunologic adjuvants - A Review”. J Vaccines Vaccin 4. 2013; 4(1). doi:10.4172/2157-7560.1000167 25. Bergstrand ,N. “Liposome for drug delivery [PhD thesis]”. Uppsala University; 2003. 26. Lee, RJ. “Liposomal delivery as a mechanism to enhance synergism between anticancer drugs”. Mol Cancer Ther 2006;5(7):1639–40. 27. ID93/GLA-SE TB vaccine candidate. TB vaccines global forum; 2013 Mar 26; Cape Town, Amerika Selatan 28. Arias, MA., et al. “Glucopyranocyl Lipid Adjuvant (GLA), a synthetic TLR4 agonist, promotes potent systemic and mucosal responses to intranasal immunization with HIVgp140”. Le Grand R, editor. PLoS ONE. 2012;7(7):e41144. 29. Baldwin, S., et al. “The importance of adjuvant formulation in the development of a tuberculosis vaccine”. J Immunol. 2012; 188: 2189-97. 30. Becker , Y. “The changes in the T helper 1 (Th1) and T helper 2 (Th2)

JIMKI Volume 3 No.2 | Juli -Desember 2015

31.

32.

33.

34.

35.

cytokine balance during HIV-1 infection are indicative of an allergic respone to viral proteins that may be reversed by Th2 cytokine inhibitors and immune response modifiers--a review and hypothesis”. Virus Genes. 2004 Jan;28(1):5–18. Mady, MM., et al. “Efficient gene delivery with serum into human cancer cells using targeted anionic liposomes”. Journal of Drug Targeting. 2004;12 (1): 11–8 Suzuki, Y., et al. “Liposomeencapsulated CpG oligodeoxynucleotides as a potent adjuvant for inducing type 1 innate immunity”. Cancer Res December 1, 2004; 64: 8754. doi: 10.1158/00085472.CAN-04-1691. Jiao ,X,. “Enhanced hepatitis C virus NS3 spesific TH1 immune respones induced by co-delivery of protein antigen and CpG with cationic liposomes”. Journal of General Virology.2004; 85:1545–53. Jaafari ,MR., et al. “The role of CpG ODN in enhancement of immune respone and protection in BALB/c mice immunized with recombinant major surface glycoprotein ofLeishmania(rgp63) encapsulated in cationic liposome”. Vaccine. 2007; 25: 6107–17. Coler, RN., et al. “Development and chracterization of synthetic Gluocpyranosyl Lipid Adjuvant system as a vaccine adjuvant”. PLoS ONE. 6(1) : e16333. Doi :10.1371 /journal.pone.0016333

48


Artikel Penyegar

PENGUKURAN KADAR SEROTONIN, NASETIL SEROTONIN, DAN MELATONIN DI DALAM DARAH SEBAGAI UPAYA DETEKSI DINI GANGGUAN SPEKTRUM AUTISTIK Dina Sofiana 1

Gangguan spektrum autistik (GSA) merupakan suatu gangguan perkembangan. Istilah GSA ini meliputi kondisi-kondisi seperti autisme, gangguan disintegrasi masa kanak[1] kanak, dan sindrom Asperger. Gangguan perkembangan saraf dalam hal komunikasi, interaksi sosial, dan cara penerimaan serta pemrosesan informasi yang tidak biasa pada individu dengan GSA, dapat menyebabkan gangguan dalam aktivitas sehari-hari, proses pendidikan, serta kemampuan [1] sosialnya. Berdasarkan data WHO, prevalensi GSA di seluruh dunia mencapai 62 per 10.000, atau satu di antara 160 orang. Terhitung lebih dari 7,6 juta orang hidup dengan disabilitas ini, sehingga GSA menjadi beban [1] penyakit global sebesar 0,3%. Saat ini, jumlah kasus autisme semakin meningkat. Berdasarkan data Pusat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit di Amerika Serikat atau Centers for Disease Control and Prevention (CDC), prevalensi kasus autisme pada tahun 2008 adalah satu di antara 88 anak, dan menjadi satu di [2,3] antara 68 anak pada tahun 2010. Di Indonesia sendiri, belum ada data yang pasti mengenai prevalensi kasus autisme karena sampai saat ini, belum ada penelitian khusus yang menyajikan data mengenai autisme. Namun, apabila diasumsikan dengan prevalensi autisme pada anak-anak di Hongkong, yaitu sebesar 1,68 per 1000 pada anak dengan usia di bawah 15 tahun, maka dapat diperkirakan di Indonesia terdapat lebih dari 112 ribu kasus autisme pada rentang usia 5 sampai 19 tahun, karena berdasarkan data Badan Pusat Statistik tahun 2010, jumlah anak-anak yang berusia 5 sampai 19 tahun di Indonesia sebanyak [4] 66 juta jiwa.

JIMKI Volume 3 No.2 | Juli -Desember 2015

1

Fakultas Kedokteran, Universitas Padjadjaran

Dilihat dari tingginya angka kejadian GSA, sudah jelas bahwa GSA harus mendapatkan perhatian lebih dari seluruh penduduk dunia, terutama di Indonesia, mengingat kondisi tersebut merupakan suatu gangguan perkembangan yang menetap seumur hidup pada individu yang mengalaminya. Di samping itu, GSA sering disertai oleh gangguan komorbiditas lain, salah satunya adalah [5] gangguan tidur. Terdapat beberapa penelitian yang mendukung mengenai gangguan tidur pada individu dengan GSA. Di antaranya, menurut penelitian Cohen et al, hasilnya menunjukkan bahwa gangguan tidur yang terjadi pada individu dengan GSA dapat mempengaruhi tingkah laku individu [5] tersebut di siang hari. Dibandingkan dengan anak-anak pada umumnya, anak-anak dan remaja yang mengalami GSA lebih sering mengalami gangguan tidur, terutama insomnia, yaitu sebesar [5,6] 40 sampai 80%. Masalah tidur yang paling umum pada individu dengan GSA antara lain latensi tidur yang berkepanjangan, penurunan efisiensi tidur, pengurangan waktu tidur total, seringnya terbangun setelah mulai tidur, ketidakmampuan untuk tidur pada [5,7] waktunya, dan kantuk di siang hari. Walaupun prevalensinya cukup tinggi, etiologi dari gangguan tidur pada individu dengan GSA belum dapat diketahui secara pasti. Salah satu faktor yang dapat menyebabkan gangguan tidur pada individu dengan GSA adalah rendahnya produksi homon melatonin, [8] baik di siang hari maupun malam hari. Melatonin, suatu neurohormon yang merupakan turunan dari serotonin, disekresikan oleh kelenjar pineal. Fungsi melatonin yaitu sebagai sinyal biologis untuk mengatur siklus gelap terang dan irama sirkadian. Terganggunya sekresi melatonin dapat menyebabkan

49


gangguan pada pengaturan siklus tidur bangun, kesulitan untuk memulai tidur, dan kesulitan untuk mempertahankan [9] tidur. Di dalam darah, proses perubahan serotonin menjadi melatonin melibatkan dua tahap enzimatik yang berurutan. Serotonin akan diubah menjadi N-asetil serotonin (NAS) oleh enzim AANAT (arylalkylamine Nacetyltransferase), kemudian NAS akan diubah oleh enzim ASMT (acetylserotonin N-methyltransferase) [10] menjadi melatonin, seperti yang terlihat dalam gambar berikut ini.

Gambar 1. Proses perubahan serotonin menjadi melatonin dan kadarnya di dalam darah pada individu dengan [10] GSA. Pada individu dengan GSA ditemukan adanya peningkatan kadar serotonin di dalam plasma darahnya, [10-12] yaitu sebanyak 40% individu. Salah satu penyebab meningkatnya kadar serotonin ini adalah adanya duplikasi pada kromosom 15q11.2-q13 maternal yang mengandung gen UBE3A, yang akan terekspresi pada fenotip GSA. Protein yang diregulasi oleh UBE3A merupakan regulator untuk sintesis monoamin, salah satunya adalah [13] serotonin. Sehingga, ketika terjadi perubahan pada protein yang meregulasi sintesis serotonin tersebut, produksi serotonin menjadi berlebihan. Pada tahap awal perkembangan, ketika sawar darah otak (blood brain barrier) belum terbentuk dengan sempurna, tingginya kadar serotonin di dalam darah dapat masuk ke otak fetus yang sedang berkembang. Hal ini dapat memberikan dampak negatif pada proses perkembangan neuron serotonin di dalam otak, karena adanya mekanisme umpan balik negatif (negative feedback), sehingga menyebabkan hilangnya terminal [11] serotonin. Hilangnya terminal serotonin ini dapat menyebabkan

JIMKI Volume 3 No.2 | Juli -Desember 2015

terganggunya neurosirkuit serotonin yang terlibat dalam respon emosional [11,14] dan memunculkan gejala GSA. Pada cingulate cortex anterior dan posterior, terganggunya neurosirkuit serotonin dapat berpengaruh pada kemampuan kognisi sosial individu autistik, sedangkan pada thalamus, hal ini dapat berpengaruh pada perilaku dan minat yang obsesif dan berulang-ulang [14] pada individu autistik. Selain peningkatan kadar serotonin, terdapat pula peningkatan kadar platelet NAS dan defisit melatonin di dalam plasma darah pada individu dengan GSA. Defisit melatonin, yang terdapat pada 51% individu dengan [10] GSA, dapat menyebabkan terjadinya gangguan komorbiditas pada GSA, yaitu gangguan tidur, seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya. Peningkatan kadar platelet NAS, yang terjadi pada [10] 47% individu dengan GSA, berkorelasi secara kuat dengan plasma melatonin. Hal ini menunjukkan adanya faktor deregulasi pada tahap perubahan NAS menjadi melatonin. Selama ini, diagnosis GSA sulit dilakukan akibat ketiadaan pemeriksaan medis, seperti pemeriksaan darah, untuk mendiagnosis gangguan ini. Identifikasi GSA sulit dilakukan pada anak yang berusia kurang dari dua belas bulan. Seringnya, diagnosis dilakukan pada saat anak telah berusia dua tahun, karena kriteria diagnosis didasarkan pada kondisi klinis dari pasien, meliputi keterlambatan perkembangan atau kemunduran pada kemampuan bahasa dan kemampuan sosial, serta pola tingkah laku yang klise [16] dan berulang. Hal ini sering menyebabkan terjadinya keterlambatan diagnosis, sehingga anak-anak yang mengalami GSA tidak mendapatkan pertolongan awal yang mereka perlukan. Adanya peningkatan kadar serotonin di dalam darah, peningkatan kadar platelet NAS, dan penurunan kadar melatonin di dalam plasma darah pada individu dengan GSA, memberikan indikasi bahwa diagnosis GSA dapat dilakukan dengan pemeriksaan [10,15] darah. Metode yang digunakan untuk mengukur sampel darah yang telah dikoleksi sebelumnya antara lain high-performanceliquid chromatography

50


untuk serotonin, radioimmunoassay untuk plasma melatonin, dan radioenzymology serta ELISA untuk [10] platelet NAS. Pada individu dengan satu parameter yang abnormal, didapatkan sensitivitas pemeriksaan ini sebesar 80% dan spesifisitasnya sebesar 85%, sedangkan pada individu dengan dua parameter yang abnormal, spesifisitasnya sebesar 98,7% dan [10] sensitivitasnya 50%. Hal ini menunjukkan bahwa kombinasi dari ketiga parameter tersebut dapat membedakan individu dengan GSA dan individu yang normal dengan baik. Tabel 1. Spesifisitas dan sensitivitas pengukuran kadar serotonin, NAS, dan melatonin di dalam darah untuk [10] diagnosis GSA. Spesifisit Sensitivit as as Seluru 0,85 0,80 h popul asi Parame <16 0,89 0,84 ter tahun abnorm >16 0,82 0,77 al ≼ 1 t a h u n Seluru 0,987 0,50 h popul asi Parame <16 0,99 0,56 ter tahun abnorm >16 0,985 0,45 al ≼ 2 t a h u n Pada tabel tersebut, spesifisitas dan sensitivitas diagnosis terlihat lebih baik pada individu yang berusia kurang dari 16 tahun, yang dapat dikategorikan sebagai anak-anak. Di samping itu, karena pada orang dewasa secara normal serotonin tidak dapat berpindah dari dalam darah untuk masuk ke dalam otak, tingginya kadar serotonin di dalam darah dapat mengindikasikan kadar

JIMKI Volume 3 No.2 | Juli -Desember 2015

serotonin di dalam otak anak-anak yang berusia kurang dari dua tahun, karena sawar darah otak belum berkembang sempurna sebelum seorang anak [12] mencapai usia dua tahun. Hal tersebut menunjukkan bahwa GSA dapat didiagnosis lebih dini pada anakanak dengan adanya pemeriksaan darah ini. Dengan demikian, deteksi dini gangguan spektrum autistik yang dilakukan dengan pengukuran kadar serotonin, platelet N-asetil serotonin, dan plasma melatonin di dalam darah merupakan sebuah hal yang cukup penting untuk dijadikan sebagai salah satu upaya untuk meminimalisasi gangguan perkembangan dan disabilitas pada individu dengan GSA. Dengan adanya upaya ini, anak-anak yang telah terdeteksi secara dini mengalami GSA diharapkan bisa mendapatkan intervensi sedini mungkin agar di masa yang akan datang, mereka bisa menjalani aktivitas sehari-hari secara mandiri, seperti orang normal pada umumnya. Oleh karena itu, diperlukan adanya penelitian lebih lanjut di bidang psikiatri untuk dapat mengembangkan metode pengukuran kadar serotonin, platelet N-asetil serotonin, dan plasma melatonin di dalam darah untuk mencapai tujuan yang diharapkan. DAFTAR PUSTAKA 1. Switzterland. World Health Organization. Meeting report: Autism spectrum disorders & other developmental disorders. By Marry Barua, Myron Belfer, et al. September 2013. 28 Januari 2015. <who.int%2Firis%2Fbitstream%2F1 0665%2F103312%2F1%2F9789241 506618_eng.pdf> 2. United States. Centers for Disease Control and Prevention. Prevalence of Autism Spectrum Disorder Among Children Aged 8 Years — Autism and Developmental Disabilities Monitoring Network, 11 Sites, United State, 2010. By Jon Baio. 28 Maret 2014. 24 Januari 2015. <http://www.cdc.gov/mmwr/preview/ mmwrhtml/ss6302a1.htm> 3. United States. Centers for Disease Control and Prevention. Autism Spectrum Disorder (ASD) - Data & Statistics. 2014. 28 Januari 2015.

51


4.

5.

6.

7.

8.

9.

10.

<http://www.cdc.gov/ncbddd/autism/ data.html> Indonesia. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Mari Kenali dan Peduli terhadap anak Autisme. 2013. 28 Januari 2015. <http://buk.depkes.go.id/index.php? option=com_content&view=frontpag e&Itemid=1&limitstart=132> Cohen, Simonne, et al. “The relationship between sleep and behavior in autism spectrum disorder (ASD) : a review”. Journal of Neurodevelopmental Disorders. 2014. 26 Januari 2015. <http://www.jneurodevdisorders.com /content/6/1/4> Cortesi F, et al. “Sleep in children with autistic spectrum disorder”. Sleep medicine journal. 2010. 26 Januari 2015. <http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubme d/20605110> Hollway JA, et al. “Sleep correlates of pervasive developmental disorders: a review of the literature”. Research in Developmental Disabilities. 2011. 26 Januari 2015. <http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubme d/21570809> Tordjman S, et al. “Day and nighttime excretion of 6sulphatoxymelatonin in adolescents and young adults with autistic disorder”. The official journal of international society of Psychoneuroendocrinology. 2012. 26 Januari 2015. <http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubme d/22613035> Kawabe, Kentaro, et al. “The Melatonin Receptor Agonist Ramelteon Effectively Treats Insomnia and Behavioral Symptoms in Autistic Disorder”. Case reports in Psychiatry. 2014. 28 Januari 2015. <http://www.hindawi.com/journals/cri ps/2014/561071/> C Pagan, et al. “The serotonin-Nacetylserotonin-melatonin pathway as a biomarker for autism spectrum

JIMKI Volume 3 No.2 | Juli -Desember 2015

11.

12.

13.

14.

15.

16.

disorders”. Transl Psychiatry. 2014. 31 Januari 2015. <http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubme d/25386956> Whitaker, et al. “Behavioral and cellular consequences of increasing serotonergic activity during brain development: a role in autism?”. International Journal of Developmental Neuroscience. 2005. 28 Januari 2015. <http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubme d/15730889> Brogaard, Berit. “Serotonergic hyperactivity as a potential factor in developmental, acquired, and druginduced synesthesia”. Human Neuroscience. 2013. 28 Januari 2015.<http://www.ncbi.nlm.nih.gov/p ubmed/24155703> Ferdousy, Faiza, et al. “Drosophila Ube3a regulates monoamine synthesis by increasing GTP cyclohydrolase I activity via a nonubiquitin ligase mechanism”. Neurobiology of Disease. 2011. 28 Januari 2015. <http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubme d/21147225> Nakamura K, et al. “Brain serotonin and dopamine transporter bindings in adults with high-functioning autism”. Archives of General Psychiatry. 2010. 28 Januari 2015. <http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubme d/20048223> Gabriele S, et al. “Blood serotonin levels in autism spectrum disorder: a systematic review and metaanalysis”. European Neuropsychopharmacology. 2014. 31 Januari 2015. <http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubme d/24613076> Switzterland. World Health Organization. Questions and answers about autism spectrum disorders (ASD). September 2013. 31 Januari 2015. <http://www.who.int/features/qa/85/e n/

52


Laporan Kasus

PENATALAKSANAAN NEFRITIS LUPUS PADA KEHAMILAN Christopher Christian Halimkesuma 1

1

Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia

ABSTRAK Pada laporan kasus ini, dilaporkan satu pasien wanita 26 tahun hamil 16 minggu G3P2A0 dengan keluhan sesak napas sejak 1 minggu sebelum masuk rumah sakit. Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik, ditemukan hipertensi, efusi pleura, asites, edema, urin seperti air teh, serta nyeri sendi pada pinggang dan pergelangan tangan. Selain itu, terdapat riwayat kejang dan ruam-ruam pada wajah. Dari pemeriksaan laboratorium, ditemukan kelainan pada darah dan ginjal, serta penurunan kadar komponen komplemen 3 (C3). Pasien didiagnosis sebagai nefritis lupus pada kehamilan, dimana diagnosis ini dapat ditegakkan setelah menyingkirkan penyakit lainnya, seperti pre-eklampsia, nefritis akibat penyakit ginjal atau penyakit sistemik lainnya. Adapun, nefritis lupus pada kehamilan memerlukan tatalaksana khusus karena tingkat mortalitas janin dan ibu yang tinggi, dimana berdasarkan data statistik ditemukan kematian janin pada satu dari dua kasus seperti ini. Untuk gagal ginjal yang sudah mulai terjadi pada pasien juga dilakukan penatalaksanaan. Kata Kunci: nefritis lupus, kehamilan, gagal ginjal, hemodialisa ABSTRACT In this case report, a 26 year old female patient 16 weeks pregnant G3P2A0 is reported with breathing difficulty since a week before hospital admission. Anamnesis and physical examination found hypertension, pleural effusion, ascites, edema, tea-colored urine, and joint pain in hip and wrist. There is history of convulsion and facial rash. Laboratory findings revealed blood and kidney abnormality as well as decrease in C3. The patient was diagnosed with lupus nephritis during pregnancy, and differential diagnosis includes preeclampsia, other types of nephritis due to kidney disease and other systemic diseases. Lupus nephritis during pregnancy requires special attention and management as it causes high mortality rate among mother and fetus, in which one of two fetus dies in such cases. Management for the kidney failure also needed for this patient. Keywords: lupus nephritis, pregnancy, kidney failure, hemodialysis 1. PENDAHULUAN Nefritis lupus merupakan keterlibatan ginjal dari Lupus Eritematosus Sistemik (LES). LES merupakan penyakit jaringan ikat dan termasuk soluble immune complexes disease. Gambaran klinisnya cukup luas, dapat melibatkan banyak organ tubuh, serta perjalanan penyakitnya ditandai dengan remisi dan eksaserbasi. Keterlibatan ginjal sebagai salah satu manifestasi telah diketahui sejak lebih dari setengah abad lalu. Sedangkan gambaran lengkap keterlibatan komplikasi ginjal diketahui sejak dua

JIMKI Volume 3 No.2 | Juli -Desember 2015

dekade lalu. Untuk menegakkan nefritis lupus, diperlukan pendekatan klinis yang cermat, baik dengan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Selain itu, sangat perlu diketahui derajat atau stadium dari nefritis lupus, yang akan menentukan penatalaksanaan dan prognosis pasien [1] ke depannya. Setengah pasien nefritis lupus akan mengalami eksaserbasi saat hamil. Eksaserbasi ini umumnya terjadi pada trimester ketiga atau masa awal nifas. Dari pasien yang mengalami nefritis lupus ini, 44% akan berkembang

53


menjadi hipertensi, 19% mengalami penurunan fungsi ginjal, dan 17% akan sembuh setelah melahirkan. Adapun, eksaserbasi nefritis lupus ini harus dibedakan dengan pre-eklampsi yang gejala klinisnya serupa, dikarenakan perlunya penatalaksanaan khusus pada nefritis lupus. Pada kehamilan dengan nefritis lupus, setengahnya akan disertai kematian janin. Oleh karena itu, penatalaksanaan yang adekuat menjadi sangat penting pada nefritis lupus pada kehamilan. 2. ILUSTRASI KASUS 2.1 Identitas Pasien Nama Pasien (Inisial) : Ny. PA Umur : 26 tahun Tempat, Tanggal Lahir : Bekasi, 9 Maret 1987 Jenis kelamin : perempuan Agama : Islam Pekerjaan : ibu rumah tangga Pendidikan : SD Status perkawinan : menikah Alamat : Tambun, Bekasi Tanggal berkunjung : 14 Januari Sistem pembayaran : JKN 2.2 Anamnesis 2.2.1 Keluhan Utama Sesak napas sejak 1 minggu sebelum masuk rumah sakit. Riwayat Penyakit Sekarang Sejak 1 minggu sebelum masuk rumah sakit, pasien mengeluh sesak. Sesak tidak dipengaruhi aktivitas. Pasien sering terbangun di malam hari dan terasa seperti tenggelam. Pasien harus tidur dengan diganjal bantal. Sesak lebih enak berbaring ke salah satu sisi disangkal. Adanya suara mengi jika sesak disangkal. Nyeri dada disangkal. Keluhan demam dan batuk disangkal. Keringat malam, penurunan berat badan, penurunan nafsu makan disangkal. Riwayat dikatakan flek paru atau tuberkulosis dan pengobatan sebelumnya disangkal. Selain sesak, pasien juga mengeluh kedua kaki bengkak dan merasa terdapat cairan di perut. Keluhan mual, muntah, lemas, dan mudah lelah disangkal.

Pasien saat ini sedang hamil, dengan taksiran usia kehamilan 16 minggu. Sejak 4 bulan sebelum masuk rumah sakit, pasien merasa BAK mulai sedikit dan nyeri. Saat ini, terlihat urin seperti air teh. Pasien juga sempat mengalami kejang dan ruam-ruam di wajah pada 4 bulan sebelum masuk rumah sakit, namun sekarang sudah hilang. Keluhan BAB disangkal. Makan dan minum lancar, tidak ada keluhan. Pasien mengeluhkan nyeri pinggang sejak 6 bulan sebelum masuk rumah sakit dan memberat 4 bulan sebelum masuk rumah ketika hamil. Selain itu, sendi tangan terasa nyeri saat digerakkan. Keluhan pusing, pandangan buram atau kabur, pingsan disangkal. Riwayat keluhan seperti ini sebelum kehamilan disangkal. Adapun, pasien merupakan sejawat Obstetri Ginekologi kepada sejawat Penyakit Dalam untuk rawat bersama. 2.2.3

Riwayat Penyakit Dahulu Riwayat penyakit diabetes, hipertensi, penyakit jantung, paru, ginjal, hati, pencernaan, dan keganasan disangkal. Riwayat asma, alergi, dan penyakit autoimun disangkal. 2.2.4

Riwayat Penyakit Keluarga Riwayat penyakit hipertensi, diabetes, jantung, paru, ginjal, hati, pencernaan, asma, alargi, keganasan, dan autoimun pada keluarga disangkal.

2.2.2

JIMKI Volume 3 No.2 | Juli -Desember 2015

2.2.5 Riwayat Pekerjaan, Sosial Ekonomi, Kejiwaan, dan Kebiasaan Pasien menikah 1 kali dan merupakan ibu rumah tangga. Pasien telah mempunyai 2 orang anak dan hidup. Pasien menggunakan Jaminan Kesehatan Nasional. Pasien menyangkal riwayat merokok, penggunaan obat suntik, minuman alkohol, tato, transfusi darah, dan riwayat hubungan seksual yang tidak aman 2.3 Pemeriksaan Fisik Keadaan umum: tampak sakit berat Kesadaran: compos mentis Tekanan darah: 150/100 mmHg Nadi: 80 x/menit, kuat, reguler, isi cukup

54


0

Suhu: 36,5 C Pernapasan: 18 x/menit, dalam, reguler, abdominotorakal Tinggi badan: 156 cm Berat badan: 74 kg 2 IMT: 30 kg/m (pasien hamil 19 minggu, serta terdapat ascites dan edema) Kulit: sawo matang, tidak pucat, tidak ikterik, tidak sianotik, malar rash (-), discoid rash (–). Kepala: normosefal, tidak ada deformitas. Rambut: hitam, tersebar merata, tidak mudah dicabut. Mata: konjungtiva pucat, skelera tidak ikterik, pupil isokor 2 mm/2mm. Telinga: normotia, liang telinga lapang, serumen +/+ minimal. Hidung: tidak ada deformitas, tidak ada deviasi septum, mukosa vestibulum tidak hiperemis, sekret +/+ minimal. Tenggorok: arkus faring simetris, uvula di tengah, dinding faring tidak hiperemis, tonsil T1-T1. Gigi dan Mulut: mukosa mulut lembab, oral hygiene baik, tidak ada ulkus Leher: kelenjar tiroid tidak teraba, tidak teraba pembesaran kelenjar getah bening, JVP 5+2 cmH2O. Jantung: Inspeksi: iktus kordis terlihat 1 jari lateral linea midklavikularis kiri. Palpasi: iktus kordis teraba 1 jari lateral linea midklavikularis kiri.

Perkusi: batas jantung kiri pada 2 jari lateral linea midklavikularis kiri, batas jantung kanan pada 1 jari lateral linea midklavikularis kanan, pinggang jantung teraba pada sela iga III linea sternalis kiri. Auskultasi: bunyi jantung I dan II normal, murmur dan gallop tidak ada. Paru: Inspeksi: tidak terlihat kelainan di kulit, ekspansi dada simetris statis dan dinamis. Palpasi: ekspansi dada simetris statis dan dinamis, fremitus kanan dan kiri sama. Perkusi: batas paru-hati pada sela iga IV, batas paru lambung pada sela iga VIII, sonor pada semua lapang paru. Auskultasi: vesikuler +/+, wheezing -/-, rhonki +/+ terutama pada basal paru. Abdomen: Inspeksi: buncit sesuai usia kehamilan, tidak terlihat kelainan pada kulit. Palpasi: supel, tidak terdapat nyeri tekan, hepar dan limpa sulit dinilai, fundus uteri 3 jari di bawah pusar Perkusi: timpani namun pekak pada bagian tertentu, shifting dullness +, tidak terdapat ballotement Auskultasi: bising usus 3x/menit Ekstremitas: akral hangat, capillary refill time < 2 detik, edema di keempat ekstremitas, nyeri pinggang dan pergelangan tangan bila digerakkan (VAS 3).

2.4 Pemeriksaan Penunjang

Tanggal Hemoglobin Hematokrit Eritrosit MCV MCH MCHC Leukosit Hitung jenis (basofil/ eosinofil/ neutrofil/ limfosit/ monosit) (dalam

Tabel 1. Pemeriksaan Laboratorium Rutin 16 Januari 24 Januari 28 Januari 30 Januari 7,7 g/dL 8,6 g/dL 10,8 g/dL 10,2 g/dL 21,9 % 23,8 % 30 % 27,6 % 2.700.000/ 2.900.000/ 3.750.000/ 3.500.000/ UL UL UL UL 81,1 fL 79,9 fL 80 fL 78,9 fL 28,5 pg 28,9 pg 28,8 pg 29,1 pg 35,2 g/dL 36,1 g/dL 36,0 g/dL 37,0 g/dL 11.510/UL 12.790/UL 15.610/UL 8.130/UL Tidak diperiksa

0/0/77/19/3

JIMKI Volume 3 No.2 | Juli -Desember 2015

0/0/83/7/10

0/0/88/7/5

1 Februari 9,9 g/dL 27,1 % 3.420.000/ UL 79,2 fL 28,9 pg 36,5 g/dL 15.640/UL 0/0/91/7/2

Nilai Normal 12-14 g/dL 37-43% 4.000.0005.000.000/UL 82-92 fL 27-31 pg 32-36 g/dL 5.00010.000/UL 0-1/1-3/5276/20-40/2-8

55


persentase) Trombosit Laju Endap Darah PT APTT Fibrinogen d-Dimer Albumin Kreatinin Ureum e-GFR

Natrium Kalium Klorida Volume urin Protein urin kuantatif C3 C4

73.000/UL

105.000/UL

120.000/UL

74.000/UL

82.000/UL

Tidak diperiksa Tidak diperiksa Tidak diperiksa Tidak diperiksa Tidak diperiksa Tidak diperiksa 3,80 mg/dL

74 mm

20 mm

31 mm

30 mm

150.000400.000/UL 0-20 mm

10,3”/11,2”

Tidak diperiksa Tidak diperiksa Tidak diperiksa Tidak diperiksa 1,98 mg/dL

11,0”/11,8”

10,2”/12,5”

12-13”

41,4”/31,7”

36,1”/32,2”

30-40”

129 mg/dL

276,1 mg/dL 800 Ug/L

200-400 mg/dL < 250Ug/L

1,90 mg/dL

2,00 mg/dL

Tidak diperiksa 1,40 mg/dL

145 mg/dL 15,5 mL/min/1.7 2 3m 134 mEq/L

117 mg/dL 22,4 mL/min/1.7 2 3m 137 mEq/L

89 mg/dL 35,9 mL/min/1.7 2 3m 138 mEq/L

71 mg/dL 33,7 mL/min/1.7 2 3m 146 mEq/L

53 mg/dL Tidak diperiksa

5,21 mEq/L 108,1 mEq/L Tidak diperiksa Tidak diperiksa Tidak diperiksa Tidak diperiksa

4,22 mEq/L 105,6 mEq/L 350 mL

3,62 mEq/L 102,3 mEq/L Tidak diperiksa Tidak diperiksa 61 mg/dL

3,67 mEq/L 102,9 mEq/L Tidak diperiksa Tidak diperiksa Tidak diperiksa Tidak diperiksa

3,28 mEq/L 103,7 mEq/L Tidak diperiksa Tidak diperiksa Tidak diperiksa Tidak diperiksa

3.5-5.5 mg/dL 0.6-1.3 mg/dL 20-40 mg/dL > 90 mL/min/1.73 2 m 135-145 mEq/L 3.5-5 mEq/L 95-105 mEq/L 800-2.000 mL <150 mg/24 jam 88-206 mg/dL 13-75 mg/dL

38,1”/30,9” 169,4 mg/dL 1.000 Ug/L Tidak diperiksa 2,80 mg/dL

5.829,25 mg/24 jam Tidak diperiksa Tidak diperiksa

2.5 Daftar Masalah 1. Penyakit ginjal kronik dd/ cedera ginjal akut dengan rapid proiferative glomeruloenephritis ec. nefritis lupus 2. G3P2A0 hamil 19 minggu, janin tunggal hidup 2.6 Pengkajian Diagnosis penyakit ginjal kronik dd/cedera ginjal akut dengan rapid proiferative glomeruloenephritis ec. nefritis lupus dipikirkan karena anamnesis, didapatkan keluhan sesak dengan dyspnea on effort, paroxysmal nocturnal dyspnea, dan orthopnea; edema pada tangan dan kaki, serta rasa terdapat cairan di perut. Terdapat keluhan nyeri sendi ketika digerakkan yang dicurigai sebagai artritis akibat LES. Selain itu, pada masa awal

JIMKI Volume 3 No.2 | Juli -Desember 2015

17 mg/dL

1.400 Ug/L 2,43 mg/dL

135 mEq/L

kehamilan, pasien mengeluh sempat mengalami kejang dan ruam-ruam di wajah. Pada pemeriksaan fisik, didapatkan tekanan darah 150/100 mmHg, pekak pada bagian tertentu abdomen, shifting dullness pada abdomen, edema pada keempat ekstremitas, dan nyeri pada pergelangan tangan dan pinggang dengan derajat 3 pada visual analogue scale (VAS). Hal ini menunjukkan ada efusi pleura, edema, asites, serta kelainan sendi pada pasien. Pada pemeriksaan laboratorium, didapatkan penurunan hemoglobin, penurunan hematokrit, eritrositopeni, leukopeni dengan neutrofilia dan limfositopeni, trombositopeni, peningkatan kadar kreatinin dan ureum darah, dan penurunan kadar komponen

56


komplemen 3 (C3). Berdasarkan kriteria American Rheumatisms Association (ARA) 1982, baru terdapat 3 dari 11 kriteria diagnosis SLE yaitu gangguan ginjal atau nefritis lupus, gangguan hematologi, dan artiritis non erosif, sehingga diperlukan pemeriksaan tambahan yaitu antinuclear antibody (ANA) dan anti double stranded DNA (anti dsDNA). Akan tetapi, bila dihitung dengan kriteria The Systemic Lupus International Collaborating Clinics (SLICC) 2012, kriteria diagnosis SLE sudah terpenuhi sehingga pentalaksanaan nefiritis lupus sudah dapat dimulai. Pada pasien ini diperkirakan nefritis lupus minimal sudah mencapai stadium III dikarenakan terdapat protein urin, hipertensi, dan penurunan fungsi ginjal. Dengan demikian, pada pasien ini diberikan prednison 0.5-1 mg/hari selama 6-12 minggu, kemudian diturunkan perlahanlahan (5-10 mg) tiap 1-3 minggu. Diagnosis G3P2A0 hamil 19 minggu, janin tunggal hidup dipikirkan karena anamnesis, didapatkan pasien saat ini sedang hamil, dengan taksiran usia kehamilan 16 minggu. Pada pemeriksaan fisik, didapatkan fundus uteri 3 jari di bawah pusar, yang sesuai dengan usia kehamilan 20 minggu. Adapun, usia kehamilan juga sudah dikonfirmasi oleh sejawat Obstetri Ginekologi dan untuk penatalaksanaannya juga dilakukan oleh sejawat Obstetri Ginekologi. 2.7 Perencanaan 1. Penyakit ginjal kronik dd/cedera ginjal akut dengan rapid proiferative glomeruloenephritis ec. nefritis lupus  Tirah baring.

 Restriksi cairan dengan target balans cairan negatif.  Diet rendah garam, lunak, 1.700 kkal/hari.  Pemeriksaan urinalisa, protein urin kuantitatif, albumin serum, komplemen C3 dan C4 secara periodik setiap 2 hari.  Prednison 0.5-1 mg/hari selama 612 minggu, kemudian diturunkan perlahan-lahan (5-10 mg) tiap 1-3 minggu.  Monitor efek samping steroid selama pengobatan. 2. G3P2A0 hamil 19 minggu, janin tunggal hidup  Menjaga kesejahteraan janin dengan hemodialisa rutin (ideal 3x seminggu agar kadar kreatinin darah <1.5 mg/dL) 3. PEMBAHASAN KASUS 3.1 Penegakan Diagnosis Glomerulonefritis Pada pasien ini, didapatkan kelainan fungsi ginjal, yang dipikirkan karena berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, didapatkan keluhan sesak dengan dyspnea on effort, paroxysmal nocturnal dyspnea, dan orthopnea; edema pada tangan dan kaki, serta rasa terdapat cairan di perut, serta pemeriksaan laboratorium, yaitu berupa peningkatan kadar kreatinin dan ureum darah. Kemudian, gangguan ginjal ini dikategorikan sebagai glomerulonefritis karena diduga terdapat gangguan filtrasi ginjal, dengan gejala proteinuria, gagal ginjal, hipertensi, edema, serta yang paling penting adalah kelainan pada urin. Kemudian penting pula untuk mengklasifikasikan gagal ginjal yang terjadi. [1]

Kelas I

II III IV V

Tabel 2. Klasifikasi Gagal Ginjal. GFR (mL/min/1.73 Tujuan Penatalaksanaan 2 m) >90 Menegakkan diagnosis dan menatalaksana penyebab/ (underlying condition) dan komorbid, memperlambat progresivitas, menurunkan risiko kardiovaskular 60 – 89 Memperkirakan progesivitas penyakit 30 – 59 Mengevaluasi dan menatalaksana komplikasi Mempersiapkan renal replacement therapy (RTT) 15 – 29 <15 atau dialisis Melakukan dialisis apabila terjadi uremia

JIMKI Volume 3 No.2 | Juli -Desember 2015

57


Berdasarkan klasifikasi gagal ginjal tersebut, pasien mengalami gagal ginjal kelas III-IV, dimana GFR pasien 2 berkisar antara 15,5 – 35,9 mL/1.73 m . Oleh karena itu, penting untuk melakukan tujuan penatalaksanaan sebagai berikut, yaitu (a) menegakkan diagnosis serta menatalaksana penyebab (underlying condition) dan komorbid, (b) memperkirakan dan memperlambat progresivitas penyakit, (c) menurunkan risiko kardiovaskular, (d) mengevaluasi dan menatalaksana komplikasi, serta (e) mempersiapkan renal replacement therapy. Masingmasing tujuan penatalaksanaan akan dibahas satu per satu. Dalam menegakkan diagnosis pasien, glomerulonefritis harus diklasifikasikan berdasarkan rentang waktu penyakit, gangguan ginjal ini dikatakan acute/rapidly proiferative glomeruloenephritis dikarenakan progresivitas penyakit terjadi dalam hitungan hari (<2 minggu). Gangguan fungsi ginjal ini dapat disebabkan oleh berbagai penyebab, baik kelainan lokal pada ginjal, maupun kelainan sistemik. Dalam kasus glomerulonefritis ini, dipikirkan berbagai diagnosis banding, yang akan dibagi menjadi 3 kelompok penyakit, yaitu ANCA (antineutrophilic cytoplasmic antibody) vasculitis, AntiGBM (glomerular basement membrane) disease, dan immuno complex disease. Adapun, ketiga penyakit ini dapat dibedakan berdasarkan hasil pewarnaan histopatologinya. Pada ANCA vasculitis dikenal sebagai pauci-immune, didapatkan pewarnaan minimal pada histopatologinya. Diduga ANCA vasculitis ini dipicu oleh infeksi bakteri dan reaksi berbagai obat (contoh: allopurinol, kokain, dan lainnya). Adapun, ANCA vasculitis ini terjadi 4045% dari glomerulonefritis, yang terdiri dari 3 penyakit yaitu granulomatosis dengan poliangitis, poliangitis mikroskopik, dan eusinofilik granulomatosis dengan poliangitis, dimana pada ketiganya terjadi variasi dari keluhan ginjal, paru (termasuk asma), dan granulomatosis. Namun, pada ketiganya dapat ditemukan ANCA, walaupun dengan tipe yang berbeda.

JIMKI Volume 3 No.2 | Juli -Desember 2015

Kemudian, kelompok penyakit ketiga yang harus dipikirkan adalah antiGBM disease, yang terjadi pada sekitar 15% glomerulonefritis. Pada anti-GBM disease, ditemukan anti-GBM. Selain itu, dikenal juga Goodpasture’s syndrome, dimana terdapat anti-GBM disease disertai perdarahan pulmonal. Adapun, pada anti-GBM disease ini ditemukan pewarnaan linear pada histopatologinya. Lalu, kelompok penyakit ketiga adalah immune complex disease, yang terjadi pada 40-45% glomerulonefritis dan memberikan pewarnaan granulasi pada histopatologi. Dalam melakukan diagnosis ini, penting untuk dibedakan apakah terdapat keluhan terjadi secara sistemik atau hanya terbatas pada ginjal. Untuk keluhan yang terbatas pada ginjal, dapat terjadi glomerulonefritis akut paska streptokokus (GNAPS), glomerulonefritis membranoproliferatif, glomerulonefritis fibriliaris, dan nefropati IgA. Sedangkan, pada keluhan sistemik dapat terjadi sistemik lupus eritematosus (SLE), kriglobulinemia, endokarditis, dan purpura Henoch-Schoenlein. Selain itu, untuk membedakan penyakit immune complex ini lebih lanjut, dapat diperiksa kadar C3, dikarenakan pada GNAPS, glomerulonefritis membranoproliferatif, sistemik lupus eritematosus (SLE), kriglobulinemia, dan endokarditis, terjadi penurunan kadar C3. Sedangkan, pada glomerulonefritis fibriliaris, nefropati IgA, dan purpura Henoch-Schoenlein, kadar C3 normal. Berdasarkan, kelompok penyakit yang dapat menyebabkan glomerulonefritis, maka dipikirkan berbagai diagnosis banding pada pasien ini. Selain itu, karena pasien hamil dan terdapat keluhan edema serta hipertensi, maka pre-eklampsi dapat dipikirkan diagnosis banding preeklampsi. Adapun, pada pre-eklampsi, kadar C3 normal. Dikarenakan pada anamnesis dan pemeriksaan fisik, tidak ada tanda-tanda perdarahan atau serangan langsung pada pulmonal, maka ANCA vasculitis dan Goodpasture’s syndrome dipikirkan kurang mungkin sebagai diagnosis

58


banding. Namun, anti-GBM disease masih dapat terjadi. Untuk dapat menyingkirkan kelompok penyakit ini dapat dilakukan pemeriksaan ANCA dan anti-GBM dengan hasil negatif. Untuk glomerulonefritis fibriliaris, nefropati IgA, purpura Henoch-Schoenlein, dan preeklampsi juga dapat dipikirkan kurang mungkin sebagai diagnosis banding karena kadar C3 yang menurun, dimana pada penyakit-penyakit tersebut kadar C3 harusnya normal. Selain itu, glomerulonefritis membranoproliferatif juga dapat dikeluarkan sebagai kemungkinan diagnosis banding karena tidak ada keluhan sistemik lainnya. Diagnosis yang tersisa, antara lain GNAPS, sistemik lupus eritematosus (SLE), kriglobulinemia, dan endokarditis. Kemudian, endokarditis dapat dipikirkan kurang mungkin karena tidak ada kelainan katup jantung pada auskultasi dan demam pada pasien. Untuk mendiagnosis pasti, penyebab glomerulonefritis ini dapat dilakukan berbagai pemeriksaan, yaitu ASTO dan riwayat infeksi Streptococcus sp. untuk GNAPS; antinuclear antibody (ANA) dan anti double stranded DNA (anti dsDNA) untuk SLE; serta rheumatoid factor (RF), cryocrit, hepatitis C virus (HCV), dan serium protein elektoforesis (SPEP) untuk kriglobulinemia. Adapun, untuk melakukan semua pemeriksaan ini membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Meskipun demikian, dengan adanya anamnesis dan hasil pemeriksaan fisik lainnya, dapat diarahkan ke penyakit tertentu. 3.2 Penegakan Diagnosis Sistemik Lupus Eritematosus Dalam kasus ini, diagnosis pasien dapat dipikirkan mengarah ke glomerulonefritis akibat SLE, dikarenakan adanya keluhan lainnya yaitu gangguan ginjal (kadar kreatinin dan ureum darah), gangguan hematologi (penurunan hemoglobin, penurunan hematokrit, eritrositopeni, leukopeni dengan neutrofilia dan limfositopeni, trombositopeni), dan artiritis non erosif (nyeri sendi pergelangan tangan dan pinggang). Kriteria klasifikasi LES berdasarkan pemeriksaan klinis dan laboratorium,

JIMKI Volume 3 No.2 | Juli -Desember 2015

pertama kali tahun 1971 oleh American Rheumatisms Association (ARA) yang kemudian direvisi tahun 1982. Menurut kriteria ini, apabila 4 dari 11 manifestasi tersebut ada, sudah dapat dikategorikan sebagai LES. Berdasarkan kriteria ARA ini, baru terdapat 3 dari 11 kriteria diagnosis SLE akan tetapi, bila dihitung dengan kriteria The Systemic Lupus International Collaborating Clinics (SLICC) 2012, kriteria diagnosis SLE sudah terpenuhi. Adapun, untuk antinuclear antibody (ANA) dan anti double stranded DNA (anti dsDNA) dapat dilakukan untuk mengonfirmasi [1] lebih lanjut status LSE dari pasien. 3.3 Penegakan Diagnosis Nefritis Lupus Pada pendekatan diagnosistik nefritis lupus, diperlukan berbagai pemeriksaan seperti pemeriksaan laboratorium rutin dan pemeriksaan serologis. Pemeriksaan laboratorium yang dibutuhkan antara lain urinalisa rutin, faal ginjal estimated glomerular filtration rate (eGFR) dengan kreatinin 24 jam, elektroporesis protein, dan darah rutin (Hb, leukosit, LED, trombosit). Sedangkan, pemeriksaan serologis yang dibutuhkan antara lain ANA-flouresent, anti dsDNA, antibodi SmNA, komponen C3 dan C4, circulating immune complexes (CICX), dan imunoglobulin serum. Adapun, ANA sangat sensitif untuk LES, tetapi tidak spesifik dikarenakan ANA juga ditemukan pada penyakit autoimun lainnya. Sedangkan, anti dsDNA lebih spesifik, namun kurang sensitif yaitu ditemukan pada 75% pasien LES aktif [1] yang belum ditatalaksana. Untuk mengkonfirmasi nefritis lupus, perlu dilakukan pemeriksaan histopatologi untuk menggambarkan secara pasti kelainan ginjal dan menentukan langkah penatalaksanaan selanjutnya. Klasifikasi WHO 2003 membagi nefritis lupus menjadi 6 kelas berdasarkan hasil biopsi spesimen yang didapat dari mikroskop cahaya, imunoflouresen, dan mikroskop 1 elektron. Kemudian, International Society Nephrology/ Renal Pathology Society (ISN/ RPS) membuat klasifikasi baru nefritis lupus pada tahun 2004,

59


berdasarkan perubahan glomerulus serta kelas III dan IV lebih rinci [2] perubahan morfologisnya. Dengan pemeriksaan imunoflouresen dapat ditemukan deposit imun pada semua kompartemen ginjal (glomerulus, tubulus, interstisium, dan pembuluh darah). Biasanya ditemukan lebih dari satu kelas imunoglobulin dengan IgG sebagai imunoglobulin terbanyak, diikuti dengan ko-deposit IgM dan IgA. Selain itu, dapat juga

diidentifikasi komplemen C3 dan C1q. Pewarnaan fibrin-fibrinogen dikerjakan bila didapatkan lesi cresent dan lesi nekrotik segmental. Selain itu, terdapat hubungan antara klasifikasi histopatologi dan manifestasi klinis nefritis lupus. Hubungan ini sangat penting untuk (1) program terapi awal dalam menghadapi keadaan darurat dan untuk (2) keperluan prognosis dan (3) [1,2] indikasi biopsi ginjal. [1]

Kelas I II

III

IV

V

VI

Tabel 3. Klasifikasi Nefritis Lupus Menurut WHO 2003. Deskripsi Glomerus normal (dengan pemeriksaan mikroskop cahaya, imunofluoresen, mikroskop elektron). Perubahan pada mesangial a. Normal dengan mikroskop cahaya, deposit pada mesangial dengan imunoflurosen atau mikroskop elektron. b. Hiperseluritas mesangial dan terdapat deposit pada imunofluoresen dan atau mikroskop elektron. Focal segmental glomerulonephritis a. Lesi nekrotik aktif b. Lesi sklerotik aktif c. Lesi sklerotik Glomerulonephritis difus (proliferasi luas pada mesangial, endokapiler, atau mesangiokapiler dan atau deposit luas sub endotel) a. Tanpa lesi segmental b. Dengan lesi nekrotik aktif c. Dengan lesi aktif dan sklerotik d. Dengan lesi sklerotik Glomerulonephritis membranosa difus a. Glomerulonefritis membranosa murni b. Berhubungan dengan lesi kelas II (a atau b) Glomerulonefritis sklerotik lanjut

Tabel 4. Klasifikasi Nefritis Lupus Menurut International Society Nephrology/ Renal [2,5] Pathology Society (ISN/ RPS) 2004. Kelas Gambaran Deskripsi I Mesangial minimal Deposit mesangial dengan gambaran histologi normal II Proliferasi mesangial Hiperseluritas mesangial dengan ekspansi pada matriks mesangial III Nefritis fokal Proliferasi endokapiler dan atau ekstrakapiler fokal dengan adanya deposit imun subendotel fokal dan perubahan mesangial ringan IV Nefritis difus Proliferasi endokapiler dan atau ekstrakapiler difus dengan adanya deposit imun subendotel difus dan perubahan mesangial V Nefritis membranosa Penebalan membran dasar dengan deposit imun subendotel difus; terkadang terjadi bersama dengan Kelas III atau IV, sehingga

JIMKI Volume 3 No.2 | Juli -Desember 2015

60


VI

Nefritis sklerotik

disebut sebagai nefritis proliferatif atau nefritis membranosa campuran Sklerosis global pada hampir seluruh kapiler glomerulus

Tabel 5. Hubungan Antara Klasifikasi Histopatologi dan Manifestasi Klinis Nefritis [1] Lupus. Klasfikasi Protein Hematuria Hipertensi Sindrom Fungsi urin nefrotik ginjal Kelas I + N Kelas IIa + N Kelas IIb + + N Kelas III ++ ++ + + N atau ↓ Kelas IV ++ +++ ++ ++ ↓ Kelas V ++ + + ++ N atau ↓ Kelas VI + + + + ↓ lambat Pada kasus nefritis lupus kehamilan, perlu dibedakan antara proteinuria akibat nefritis lupus harus dibedakan dengan proteinuria sekunder akibat pre-eklampsi. Perlu dibedakan pula antara trombositopenia pada kehamilan misalnya pada sindrom (hemolysis, elevated liver enzyme levels, and low platelet counts) HELLP dengan trombositopenia akibat eksaserbasi nefritis lupus. Untuk itu, dapat dilakukan pemeriksaan serum komplemen. Serum komplemen yang rendah menunjukkan relaps nefritis [3,4] lupus dibandingkan pre-eklampsi. 3.4 Penatalaksanaan Nefritis Lupus dan Gagal Ginjal pada Kehamilan Penatalaksanaan nefritis lupus sebaiknya dilakukan ketika sudah ada histopatologi dan biopsi ginjal, dikarenakan pilihan rejimen pengobatan dilakukan berdasarkan gambaran histopatologi. Prinsip dasar pengobatan adalah untuk memperbaiki fungsi ginjal atau setidaknya mencehah penurunan fungsi ginjal, serta memperhatikan adanya efek samping pengobatan yang dapat mempengaruhi kualitas hidup [1,5] pasien. Pasien nefritis lupus kelas III dan IV, pengobatan ditujukan untuk kelainan ginjal. Regimen yang paling banyak dipakai saat ini adalah kombinasi steroid dosis rendah (prednison 0.5 mg/kg/hari) selama 4 minggu yang kemudian diturunkan perlahan-lahan sampai dosis minimal untuk mengendalikan kelainan

JIMKI Volume 3 No.2 | Juli -Desember 2015

di luar ginjal dan siklofosfamid 750 2 mg/m tiap bulan selama 6 bulan (6 kali pemberian), kemudian setiap 2 bulan selama 6 kali pemberian, dan setiap 3 bulan selama 6 kali pemberian. Dengan demikian, total pemberian siklofosfamid adalah 18 kali dalam kurun waktu 3 tahun. Dengan regimen tersebut, 80% pasien akan mengalami remisi yang ditandai dengan tidak terdapatnya sedimen urin yang aktif, proteinuria <1 gram/hari, dan klirens kreatinin yang tetap stabil atau membaik sedikitnya [1,5] 30%. Berdasarkan tujuan penatalaksanaan gagal ginjal yang sudah disebutkan di atas, (a) menegakkan diagnosis dan menatalaksana penyebab (underlying condition) dan komorbid serta (b) memperkirakan dan memperlambat progresivitas penyakit sudah mulai dilakukan, dengan pemberian regimen terapi yang akan membuat 80% pasien mengalami remisi. Untuk (c) menurunkan risiko kardiovaskular, juga dilakukan dengan restriksi cairan dengan target balans cairan negatif, diet rendah garam. Maka, langkah selanjutnya adalah (d) mengevaluasi dan mentalaksana komplikasi, serta (e) mempersiapkan renal replacement therapy; yang akan dibahas di bagian berikut. 3.5 Nefritis Lupus Pada Kehamilan Kehamilan dengan gangguan ginjal kronik saling mempengaruhi.

61


Gangguan ginjal kronik mempengaruhi kehamilan melalui beratnya gangguan fungsi ginjal, derajat proteinuria, dan tingginya tekanan darah. Gangguan ginjal ringan (kreatinin <1,5 mg%) sudah meningkatkan komplikasi seperti kematian bayi, kelahiran prematur, dan BB lahir rendah. Selain itu, kehamilan akan membuat penurunan fungsi ginjal lebih lanjut. Hal ini sangat tergantung fungsi ginjal saat kehamilan, serta dipengaruhi berbagai faktor lainnya seperti adanya penyakit penyerta pada pasien, derajat proteinuria, dan [3] tingginya tekanan darah. Pada nefritis lupus, sekitar setengah wanita (berkisar 10-75%) dengan nefritis lupus akan mengalami eksaserbasi saat hamil dengan penurunan fungsi ginjal. Umumnya eksaserbasi terjadi ketika trimester ketiga atau masa awal masa nifas. Progresivitas nefritis lupus selama kehamilan adalah sebagai berikut: 44% berkembang menjadi hipertensi, 19% mengalami penurunan fungsi ginjal, dan [3] 17% sembuh paska melahirkan. Sekitar setengah kehamilan dengan nefritis lupus akan disertai dengan kematian janin. Dari 64 kehamilan dari 41 pasien: 37% lahir cukup bulan, 30% lahir prematur, dan 33% abortus (29% abortus spontan dan 4% abortus alasan non medis). Adanya antikoagulan yang bersirkulasi, azotemia dengan kadar kreatinin serum >1,5 mg/dL, dan hipertensi berhubungan dengan kematian janin. Kekambuhan/relaps/kematian janin timbul lebih jarang ketika timbul selama periode remisi, sehingga sebaiknya penderita lupus sebaiknya stabil selama 6 bulan sebelum hamil. Pada kasus ini, komplikasi gagal ginjal dapat terjadi pada janin dan ibu, yang diakibatkan tingginya kadar ureum dan kreatinin. Oleh karena itu, harus terus dilakukan hemodialisa untuk menjaga ureum dan kreatinin dalam kadar yang normal. Untuk renal replacement therapy hanya dapat dipikirkan apabila sistemik lupus eritematosus sudah stabil dan pasien sudah memenuhi kriteria transplantasi [3] ginjal.

JIMKI Volume 3 No.2 | Juli -Desember 2015

4. KESIMPULAN Pasien wanita 26 tahun dengan penyakit ginjal kronik dd/ cedera ginjal akut dengan rapid proiferative glomeruloenephritis ec. nefritis lupus, serta G3P2A0 hamil 19 minggu, janin tunggal hidup. Pada pasien diberikan tatalaksana berupa tirah baring, restriksi cairan dengan target balans cairan negatif, diet rendah garam, lunak, 1.700 kkal/hari, pemeriksaan urinalisa, protein urin kuantitatif, albumin serum, komplemen C3 dan C4 secara periodik setiap 2 hari, prednison 0.5-1 mg/hari selama 6-12 minggu, kemudian diturunkan perlahan-lahan (5-10 mg) tiap 1-3 minggu, serta monitor efek samping steroid selama pengobatan. Selain itu, untuk menjaga kesejahteraan janin dengan hemodialisa rutin (ideal 3x seminggu agar kadar kreatinin darah <1.5 mg/dL).

DAFTAR PUSTAKA 1. Bawazier LA, Dharmeizar, Markum HMS. Bab 154 Nefritis Lupus. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S (ed). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi V. Jakarta: Interna Publishing; 2009. p 983-980. 2. Lewis JB, Neilson EG. Chapter 283 Glomerular Disease. Dalam: Longo DL, Kasper DL, Jameson JL, Fauci AS, Hauser SL, Loscalzo J (ed). Harrison’s Principles of Internal th Medicine, 18 edition. p 2341-2. 3. Roesma J. Bab 162 Penyakit Ginjal dan Kehamilan. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S (ed). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi V. Jakarta: Interna Publishing; 2009. p 1033-4. 4. Khurana R. Systemic Lupus Erythematosus and Pregnancy. Medscape; update terakhir pada 24 April 2014. 15 Maret <http://emedicine.medscape.com/art icle/335055-overview> 5. Sada KE, Makino H. Usefulness of ISN/RPS Classification of Nefritis Lupus. J Korean Med Sci. 2009; 24 (Suppl 1): S7-10.

62


Advertorial

POTENSI OCIMUM SANCTUM DALAM INHIBISI FOSFORILASI SERINE, AKTIVASI PPAR-γ DAN PRODUKSI HISS UNTUK PERBAIKAN RESISTENSI INSULIN PADA KONDISI DIABETES Makhyan Jibril Al-Farabi

1

1

Fakultas Kedokteran, Universitas Brawijaya

ABSTRAK Pendahuluan: Diabetes merupakan salah satu masalah kesehatan yang paling serius di abad 21. Jumlah penderita DM usia 20-79 tahun di dunia berkisar 150 juta pada tahun 2003 dan diestimasi akan meningkat menjadi 333 juta pada 20 tahun kedepan, dimana 90-95% penderita DM ialah menderita DM tipe II. Kondisi hiperglikemia pada kondisi DM akan meningkatkan fosforilasi serin, penurunan ekspresi dari PPAR-γ dan HISS yang mengakibatkan resistensi insulin. Ocimum sanctum merupakan tanaman perdu yang mudah ditemukan dan mampu tumbuh di seluruh daerah di Indonesia dan memiliki kandungan eugenol yang tinggi. Metode penulisan yang digunakan dalam advertorial ini yakni studi literatur dari jurnal pubmed, scopus dan highwire yang menyajikan prinsipprinsip yang relevan mengenai objek yang dibahas. Pembahasan: Mekanisme eugenol daun Ocimum sanctum dalam mengatasi resistensi insulin ialah melalui: (1) peningkatan GSH yang mampu menurunkan stres oksidatif beserta serine kinase P38 MAPK, JNK, MEKK yang menurunkan signaling insulin akibat fosforilasi serin pada IRS-1; (2) inhibisi aktivasi NF-κB yang menurunkan fosforilasi serin akibat produksi berlebih TNF-α dan IL-6; (3) peningkatan GSH yang memiliki efek scavenging pada ONOO sehingga meningkatkan NO, peningkatan GSH dan NO meningkatkan produksi HISS yang mampu meningkatkan intake glukosa otot; (4) penurunan TNF-α dan IL-6 yang berakibat meningkatkan adiponektin yang mampu menurunkan trigliserida, fosforilasi tirosin dan aktivasi PPAR-γ yang menstimulasi produksi GLUT4 yang meningkatkan intake glukosa otot skeletal dan menurunkan glukoneogenesis. Kesimpulan: Ocimum sanctum mampu menurunkan kadar glukosa darah sebanyak 29% dengan dosis 406 mg/kgBB. Ocimum sanctum dosis tinggi tidak dianjurkan untuk ibu hamil dan penderita kelainan pembekuan darah. Kata Kunci: ocimum sanctum, eugenol, fosforilasi serine, PPAR-γ, HISS, resistensi insulin ABSTRACT Introduction: Diabetes is one of the most serious health problems in the 21st century The number of diabetic patients aged 20-79 years in the world ranges from 150 million in 2003 and is estimated to increase to 333 million in the next 20 years, of which 90-95% of patients with DM is suffering from type II DM. Chronic hyperglycemia in diabetic condition will increase serine phosphorylation, decrease PPAR-γ expression and HISS production that will lead into insulin resistance. Ocimum sanctum is one type of plant which has high eugenol content that is easy to be found and grow in all regions in Indonesia. Method used in the study of this advertorial journal literature from PubMed, Scopus and highwire serving relevant principles discussed about the object. Disscusion: Mechanism of eugenol extracted from Ocimum sanctum to overcome insulin resistance are through: (1) increase of GSH that able to reduce oxidative stress as well as serine kinase P38 MAPK, JNK, MEKK activation which lowers insulin signaling due to serine phosphorylation at IRS-1; (2) inhibition of NF-κB activation that decreases the serine phosphorylation due to excessive production of TNF-α and IL-6; (3) increase of GSH level which have scavenging effects on ONOO- thus increasing NO, increase of

JIMKI Volume 3 No.2 | Juli -Desember 2015

64


GSH and NO production will stimulate HISS production that can increase glucose intake in the muscle and prevent insulin resistance; (4) decrease of TNF-α and IL-6 that result in increased adiponectin which can lower triglycerides, increase tyrosine phosphorylation and increase of PPAR-γ activation that stimulates the production of GLUT4 which is used in muscle’s glucose intake, it also decrease gluconeogenesis. Conclusion: Ocimum sanctum is able to lower about 29% of blood glucose levels at dose 406 mg/kg. High dose Ocimum sanctum are not recommended for pregnant women and patients with blood clotting disorders. Keyword: ocimum sanctum, eugenol, serine phosporylation, PPAR-γ, HISS, insulin resistance 1. PENDAHULUAN Diabetes melitus (DM) merupakan keadaan hiperglikemia (peningkatan glukosa darah) kronik disertai berbagai kelainan metabolik akibat gangguan hormonal. Diabetes merupakan salah satu masalah kesehatan yang paling [1] serius di abad 21. Jumlah penderita DM usia 20-79 tahun di dunia berkisar 150 juta pada tahun 2003 dan diestimasi akan meningkat menjadi 333 juta pada [2] 20 tahun kedepan dimana 90-95% penderita DM ialah menderita diabetes [3] melitus tipe II. Berdasarkan catatan Organisasi [4] Kesehatan Dunia (WHO) tahun 1998, Indonesia menduduki peringkat keenam dengan jumlah penderita diabetes melitus terbanyak setelah India, Cina, Rusia, Jepang, dan Brazil. Di Indonesia, diperkirakan tahun 2020 nanti akan ada 178 juta penduduk di atas umur 20 tahun, dan dari jumlah tersebut bila diasumsikan prevalensi DM 5%, maka akan didapatkan 9 juta penderita [5] diabetes mellitus. Prevalensi diabetes melitus di Manado mencapai 6 %, di Kotamadya Surabaya 4,16 %. Di Desa Sangsit Buleleng Bali prevalensi [6.7] diabetes melitus 7,5 %. Fenomena ini diperparah dengan adanya dugaan bahwa 50% dari penderita diabetes melitus di Indonesia masih belum terdiagnosis dan perkiraan bahwa duapertiga kematian akibat diabetes terjadi [8,9] pada negara berkembang. Pada diabetes tipe II, kondisi hiperglikemia atau tingginya kadar glukosa meningkatkan pembentukan radikal bebas. Radikal bebas bersifat sangat reaktif karena cenderung mendapat elektron dari substansi lain. Sistem proteksi terhadap radikal bebas berupa sistem antioksidan yang akan menetralisir radikal bebas dan mencegah kerusakan dari sel normal,

JIMKI Volume 3 No.2 | Juli -Desember 2015

[9]

protein, dan lemak. Selain itu, kondisi hiperglikemi menyebabkan penurunan fosforilasi tirosin akibat fosforilasi serin oleh protein kinase yang menurunkan [11] signaling insulin, aktivasi jalur NFκB, penurunan ekspresi dari Peroxisome Proliferator-Activated Receptors Gamma (PPAR-γ) dan penurunan hepatic insulin sensitizing substance (HISS). Faktorfaktor tersebut pada akhirnya mengakibatkan terjadinya resistensi [12] insulin. Diabetes melitus merupakan penyakit yang tidak dapat disembuhkan secara total, akan tetapi diabetes dapat dihambat dan dikendalikan perkembangannya. Namun, pengobatan diabetes yang tersedia saat ini seringkali masih memiliki banyak efek samping dan tidak mampu mengembalikan homeostasis glukosa normal dan [13] harganya mahal. Tantangan utama dalam terapi farmakologi diabetes ialah [12] resistensi insulin. Selama ini obat yang menurunkan resistensi insulin seperti thiazolidinediones (glitazones) justru memiliki efek samping peningkatan resiko terjadinya infark miokard dan kematian yang berhubungan dengan penyakit [14] jantung. Dua faktor risiko yang paling mempengaruhi patogenesis diabetes [15] ialah aktivitas fisik dan nutrisi. [16] Simpsons et al. juga menganjurkan bahwa terapi diabetes yang minim efek samping yaitu perubahan gaya hidup melalui olahraga dan makanan alami [17] yang sehat. Ramadhani dan Sujarwo menyarankan bahwa dibutuhkan jalur penunjang untuk pengobatan konvensional pada penyakit diabetes dengan menggunakan sumber daya alam yang ada di Indonesia, seperti terapi menggunakan tanaman herbal. Salah satu tanaman herbal yang

65


dipercaya mampu mengobati diabetes [18] ialah Ocimum sanctum. Ocimum sanctum merupakan tanaman perdu yang mudah ditemukan dan mampu tumbuh di seluruh daerah di [19] Indonesia. Ocimum sanctum telah diketahui memiliki potensi sebagai ekspektoran, analgesik, antikanker, [18] antiasma dan antiemetic. Daun Ocimum sanctum juga dipercaya memiliki efek pencegah hiperglikemi [20] pada hewan coba. Ekstrak daun Ocimum sanctum mengandung ocimene, alfa-pinene, geraniol dan eugenol yang merupakan merupakan kandungan terbanyaknya yaitu berkisar [18] antara 40%-71%. Ocimum sanctum seringkali digunakan sebagai lalapan makanan sehari-hari, sehingga Ocimum sanctum berpotensi tinggi untuk digunakan sebagai diet harian dan makanan tambahan dalam rangka perbaikan gaya hidup. Eugenol seringkali merupakan hasil ekstraksi dari Eugenia caryophyllata dan Cinnamomum zeylanicum Breyn, dengan kandungan [21] eugenolnya 50%-70%. Meskipun tanaman tersebut memiliki kandungan eugenol yang tinggi, namun tanaman tersebut tergolong langka dan mahal. Berbeda dengan Ocimum sanctum yang merupakan sumber eugenol yang paling [18] murah dan mudah ditemui. Meskipun belum ditemukan mekanisme secara molekuler pengaruh zat-zat dalam Ocimum sanctum dalam resistensi insulin. Diketahui bahwa daun Ocimum sanctum memiliki kandungan eugenol yang tinggi yang diduga berperan pada proses resistensi insulin. Oleh karena itu, perlu dilakukan studi literatur mengenai potensi eugenol Ocimum sanctum dalam mengatasi resistensi insulin pada diabetes mellitus. 2. PEMBAHASAN 2.1 Mekanisme Eugenol pada Ocimum sanctum dalam mengatasi resistensi insulin akibat fosforilasi serine pada IRS1 2.1.1 Mekanisme pencegahan fosforilasi serin melalui perlindungan antioksidan selular [22] Penelitian Anderson membuktikan bahwa radikal bebas

JIMKI Volume 3 No.2 | Juli -Desember 2015

merupakan salah satu faktor patogenesis diabetes melitus. Stress oksidatif yang ditimbulkan oleh ROS (radikal bebas yang mengandung ion oksigen) ialah salah satu penyebab utama dari resistensi insulin dan disfungsi sel β pankreas yang akhirnya berimplikasi pada patogenesis diabetes [23] melitus tipe 2. Penelitian Hish dan [24] Browlee membuktikan bahwa nutrisi berlebihan mengakibatkan akumulasi glukosa pada sel adiposa, otot dan sel pankreas yang nantinya akan memicu produksi ROS melalui mitochondrial electron-transport chain. Kadar glukosa darah yang tinggi membuat proses glikasi lipid dan protein yang mengakibatkan peningkatan advanced [25] glycation end product (AGEs). Interaksi antara AGE dengan receptor for advanced glycation end product (RAGE) akan meningkatkan produksi [26] ROS intraseluler. ROS mengakibatkan pengurangan atom hidrogen dari poly unsaturated fatty acid (PUFA) dan menginisiasi proses lipid peroxidation. Antioksidan seluler enzimatik (SOD) dan non-enzimatik (GSH) merupakan pertahanan pertama untuk mengatasi efek yang ditimbulkan [27] ROS. Kandungan eugenol yang tinggi dalam Ocimum sanctum berpotensi untuk mencegah stress oksidatif. Kabuto [28] et al. membuktikan bahwa pemberian injeksi eugenol mampu meningkatkan GSH, hal ini diperkuat dengan hasil [29] penelitian Vidhya dan Devaraj yang menunjukkan peningkatan GSH dan GSH transferase yang signifikan pada pemberian eugenol secara oral ke tikus. Peningkatan GSH akan meningkatkan konversi H202 menjadi 2H20 sehingga hasil advanced lipid end product (ALE) berupa malonialdehide (MDA) dari proses lipid peroxidation akan menurun, sehingga chain reaction kerusakan jaringan oleh radikal bebas berhenti dan stress oksidatif dapat dihambat. Stres oksidatif akan mengaktifkan berbagai macam serine kinase [30] cascade. Serine kinase seperti protein kinase A, PKC, casein kinase 2, P38 MAPK, cdc2 kinase, PKB, Mos/Raf kinase dari MEKK dan GSK3 mampu berfosforilasi dengan insulin receptor (IR) dan insulin receptor substrate (IRS), selain itu c-jun N-terminal kinase (JNK),

66


PKC, IKKβ, P70S6 kinase dan TNF-ι mampu memicu terjadinya fosforilasi serine. Fosforilasi dengan serine mengakibatkan aktivasi signal insulin pada IRS jauh lebih lambat dari [31] fosforilasi normal dengan tirosin dan [32] degradasi IRS-1 Aktivasi yang sangat lambat ini mengakibatkan disosiasi IRS[33] 1 dari reseptor dan akhirnya akan menjadi feedback kontrol negatif yang menurunkan signaling insulin yang

akhirnya disebut sebagai resistensi insulin. Penurunan proses lipid peroxidation akan menurunkan aktivasi serine kinase cascade P38 MAPK, Mos/Raf kinase dari MEKK kinase dan JNK. Penurunan fosforilasi serine pada IRS mengakibatkan dominasi oleh fosforilasi tirosin. Sehingga feedback kontrol negatif penurunan signaling insulin dapat diatasi, pada akhirnya resistensi dapat dicegah.

Eugenol

[26]

Gambar 1. Mekanisme Eugenol dalam Menghambat Stres Oksidatif.

Gambar 2. Mekanisme Eugenol dalam Mengatasi Fosforilasi Serine pada IRS-1.

JIMKI Volume 3 No.2 | Juli -Desember 2015

[34]

67


2.1.2 Mekanisme pencegahan fosforilasi serine melalui inhibisi jalur NF-κB Kandungan eugenol yang tinggi dalam Ocimum sanctum berpotensi tinggi sebagai inhibitor jalur NF-κB. [35] Chainy et al. dalam penelitiannya membuktikan bahwa anethole, eugenol dan isoeugenol mampu mensurpresi aktivasi NF-κB melalui degradasi kompleks unit inhibisi IκBα, hal yang serupa juga dibuktikan oleh penelitian [36] Manikandan et al. bahwa eugenol mampu menekan aktivasi NF-κB. Site of action penekanan aktivasi NF-κB oleh eugenol mungkin sama dengan penekanan aktivasi NF-κB oleh anethole yang merupakan analog eugenol. [35] Chainy et al. dalam penelitiannya menemukan bahwa anethole mensurpress interaksi antara reseptor TNF dengan TRAF-2 dan NIK. Diketahui bahwa NIK mampu mengaktivasi IKK-b yang nantinya akan menginisiasi fosforilasi I-κB. Penekanan aktivasi NIK berakibat aktivasi trimetrik IκB kinase tidak terjadi sehingga fosforilasi degradasi I-κB oleh I-κB kinase, E3 ubiquitin ligase, dan polyubiquitination pada kompleks NF-κB juga tidak terjadi. Dengan demikian translokasi heterodimer p50-p65 ke κBsite pada terget gen di nukleus dihambat dan transkripsi sitokin inflamasi maupun

molekul adhesi tidak akan terjadi. Dengan demikian akan terjadi penekanan pada ekspresi molekul [35,36] kemokin IL-1, IL-6, IL-8, TNF-α. Sel kultur adiposit 3T3-L1 setelah diberi paparan TNF-α selama beberapa hari terbukti mengalami resistensi insulin. Dengan dicegahnya produksi TNF-α maka induksi fosforilasi serine pada IRS-1 yang mengakibatkan penurunan fosforilasi tirosin tidak terjadi. Berhentinya induksi fosforilasi serin akan menormalkan kembali fosforilasi tirosin, sehingga transduksi sinyal insulin berjalan normal kembali dan [36] resistensi insulin dapat dihambat. Mekanisme serupa mungkin juga terjadi [37] pada penelitian Ghanin et al. pada pemberian troglitazone (400 mg/hari) dan rosiglitazone (4 mg/hari) yang keduanya mampu meningkatkan sensitivitas reseptor insulin pada subyek yang mengalami obesitas, paparan kedua obat tersebut juga mengakibatkan subyek mengalami penurunan kadar TNF-α. IL-6 merupakan faktor penyebab dislipidemia dan akhirnya [38] mengakibatkan resistensi insulin. Dengan menurunnya produksi IL-6 mengakibatkan inhibisi lipoprotein lipase juga menurun sehingga tidak terjadi dislipidemia.

[34]

Gambar 3. Mekanisme Eugenol sebagai Inhibitor Jalur NF-κB.

JIMKI Volume 3 No.2 | Juli -Desember 2015

68


2.2 Mekanisme Eugenol dalam Meningkatkan Sensitivitas Reseptor Insulin Pada HISSDependent Insulin Resistance Pada saat manusia mengkonsumsi makanan, insulin dilepaskan oleh pankreas ke dalam sirkulasi. Saat di hepar, insulin menginervasi reflek parasimpatis yang menyebabkan pelepasan asetilkolin di hepar yang mengakibatkan peningkatan pelepasan nitrit oxide (NO). NO merupakan salah satu zat yang mengkontrol sensitivitas insulin dari otot skeletal melalui rangsangan terhadap hormon HISS yang mampu menstimulasi uptake glukosa dan penyimpanannya sebagai glikogen pada [39] otot skeletal. Pada keadaan HISS yang menurun, otot skeletal akan lebih resisten terhadap insulin. Hal ini [40] dibuktikan juga oleh Young gangguan parasimpatis oleh atropine (antagonis reseptor muskarinik) pada vena porta akan menghambat pelepasan HISS dan pada akhirnya mengakibatkan resistensi insulin. Faktor-faktor lain yang akhirnya menghambat pelepasan HISS akan mengakibatkan diabetes melitus tipe II. Eugenol pada Ocimum sanctum telah terbukti mampu meningkatkan [28] GSH baik secara injeksi maupun oral. Diketahui bahwa NO, GSH dan insulin merupakan faktor yang merangsang [41] pelepasan HISS. Cheung dan [42] Schulz membuktikan bahwa peningkatan GSH mengakibatkan vasodilatasi pada arteri koroner melalui jalur nitrit oxide and guanylate cyclasedependent, sehingga terjadi reaksi antara GSH dengan peroxynitrite untuk membentuk S-nitroglutathione, donor NO. GSH juga mampu melepaskan NO - [29] dari reaksi scavenging pada ONOO . Dengan meningkatnya produksi GSH dan NO maka produksi HISS juga akan meningkat, sehingga intake glukosa pasa otot skeletal kembali normal dan resistensi insulin akibat defisiensi HISS dapat diatasi. 2.3 Mekanisme Eugenol dalam Pencegahan Resistensi Insulin Melalui Aktivasi PPAR-γ Sekresi TNF-α pada jaringan adiposa viseral yang berlebihan mampu menghambat aktivitas adiponektin dan [43] menurunkan produksinya. Hector et

JIMKI Volume 3 No.2 | Juli -Desember 2015

[44]

al. juga membuktikan bahwa paparan TNF-α pada adipose visceral penderita DM mampu menurunkan produksi adiponektin melalui penurunan ekspresi AdipoR1 (adiponectin receptor 1). Sekresi adiponektin yang menurun juga disebakan oleh adipositokin pro inflamasi seperti IL-6. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, eugenol bersifat anti-TNF dengan menurunkan produksi kemokin TNF-α, IL-6, IL-8 melalui inhibisi jalur NF-κB. Penurunan TNF-α dan IL-6 akan meningkatkan ekspresi AdipoR1 dan berimplikasi pada kenaikan produksi adiponektin. Telah dibuktikan juga pada penelitian [45] Nagashima et al. bahwa pemberian agen anti-TNF secara signifikan mampu meningkatkan produksi adiponektin pada plasma. Pada binatang penurunan resistensi insulin oleh adiponektin disebabkan asam lemak bebas dan perubahan kandungan trigliserida otot. Tikus yang mendapat injeksi adiponektin menghasilkan penurunan kadar asam lemak bebas melalui peningkatan oksidasi asam lemak bebas dalam sel [43] otot. Salah satu faktor pemicu resistensi insulin ialah peningkatan kadar trigriserida otot. Peningkatan kadar trigliserida mempengaruhi aktivasi stimulasi insulin terhadap phosphatidylinositol 3 kinase dan translokasi glucosa transporter protein 4 (GLUT 4) dan intake glukosa, yang menyebabkan terjadinya resistensi insulin. Adiponektin dapat menurunkan akumulasi trigliserida di otot skelet dengan meningkatkan oksidasi asam lemak melalui aktivasi acetyl coA oxidase, Carnitine Palmytoyl Transferase-1 (CPT-1), AMP kinase dan peningkatan aktivasi peroxisome proliferator activated receptor PPAR[43] γ. Peningkatan adiponektin juga meningkatkan stimulasi fosforilasi tirosin dengan IRS-1 dan meningkatkan aktin [46] otot skelet. Dengan menurunnya kadar asam lemak bebas, trigliserida jaringan dan peningkatan fosforilasi tirosin, hal tersebut akan memperbaiki resistensi insulin. Dalam penelitian Lehmann et [47] al., beberapa inhibitor COX-2 spesifik maupun non-spesifik mampu mengaktivasi PPAR-γ. Kandungan eugenol telah terbukti mampu

69


mensurpress ekspresi gen COX-2 pada [48] tikus. Eibl et al dalam percobaannya menemukan bahwa inhibitor COX-2 spesifik mampu menurunkan ekspresi GW9662 yang merupakan antagonis dari PPAR-γ. Dengan turunnya antagonis PPAR-γ maka terjadi peningkatan potensi terbentuknya ikatan ligand PPAR-γ dan aktivasi PPAR-γ. Aktivasi PPAR-γ akan meregulasi asam lemak bebas dan leptin, yang mana peningkatan keduanya [49] menurunkan signaling insulin. Aktivasi PPAR-γ juga akan meningkatkan ekspresi gen yang berfungsi dalam metabolism lipid dan glukosa. PPAR-γ juga mempunyai peran menstimulasi insulin-dependent glucose transporter GLUT4 yang menyebabkan peningkatan sintesis FA dari glukosa, intake glukosa pada otot skeletal dan menurunkan [49] glukoneogenesis. 2.4 Bentuk Aplikatif Pemanfaatan Eugenol pada Ocimum sanctum dalam Penatalaksanaan Resistensi Insulin Pada Diabetes Tipe II 2.4.1 Dosis Ocimum sanctum sebagai terapi dalam resistensi insulin Indikasi keberhasilan dari pengobatan pada diabetes melitus ialah keadaan glukosa darah. Dari penelitian [50] Sethi et al. pemberian Ocimum sanctum dengan dosis 2g/hari pada kelinci mampu menurunkan kadar darah sebanyak 29%. Sehingga untuk dosis yang tepat untuk manusia ialah  Dosis pada kelinci 1,5 kg = 2 gram/hari  Dosis pada manusia 70 kg = 2g x 14,2 (koefisien) = 28,4 gram/hari  Dosis pada manusia = 28,4 gram /70 kg = 0,406 g/kgBB perhari = 406 mg/kgBB perhari Jadi dosis yang tepat untuk terapi resistensi insulin pada penderita diabetes melitus tipe II pada umumnya ialah 28,4 gram/hari, namun bisa disesuaikan dengan berat badan penderita yaitu dengan dosis 406 mg/kgBB perhari.

JIMKI Volume 3 No.2 | Juli -Desember 2015

2.4.2 Konsumsi Ocimum sanctum sebagai lifestyle pada penderita DM Pada dasarnya, terapi diabetes yang paling dianjurkan yaitu perubahan gaya hidup melalui olahraga dan makanan alami yang sehat, terapi ini [16] juga minim akan efek samping. Daun Ocimum sanctum seringkali dikonsumsi sebagai lalapan oleh masyarakat sebagai penambah cita rasa makanan. Dari pernyataan tersebut, maka Ocimum sanctum sangat potensial sebagai perubahan gaya hidup konsumsi makanan pada penderita DM tipe II. Lalapan Ocimum sanctum pada dosis 28,4 gram ditambahkan pada diet harian penderita diabetes melitus tipe II sebagai pengkontrol glukosa darah dan perbaikan resistensi insulin. Selain itu, Ocimum sanctum telah terbukti mampu meningkatkan sekresi insulin pada sel beta-pankreas. Dengan demikian, Ocimum sanctum dapat digunakan untuk diabetes dengan memperbaiki sekresi insulin dari sel beta-pankreas sekaligus memperbaiki resistensi insulin. Konsumsi Ocimum sanctum secara lalapan akan lebih menjaga kandungan zat-zat didalamnya daripada direbus, asalkan tidak lupa untuk dicuci terlebih dahulu. Ocimum sanctum dapat tumbuh di semua wilayah Indonesia. Budidayanya tidak memerlukan lahan yang luas dan modal yang besar, pertumbuhannya juga cepat, ditambah lagi dengan minimnya hama yang [19] menyerang, sehingga Ocimum sanctum sangat memungkinkan untuk dibudidayakan di halaman rumah penderita diabetes. Dengan demikian maka ketersediaan harian Ocimum sanctum mampu menjadi terapi jangka panjang untuk diabetes. Meskipun tidak membudidayakan sendiri, Ocimum sanctum juga mudah ditemukan di pasaran dengan harga yang terjangkau. Dari sini dapat disimpulkan bahwa konsumsi lalapan Ocimum sanctum merupakan terapi yang paling aman, holistik dan komprehensif untuk DM tipe II. Pada penelitian efek hipoglikemik dan anti-hiperglikemik Ocimum sanctum [50] oleh Sethi et al. pemberian dosis 2g/hari pada kelinci selama 30 hari menurunkan kadar glukosa darah kelinci

70


konsumsi Ocimum sanctum jangka panjang tidak mengakibatkan kondisi hipoglikemi.

dari 148,8 menjadi 110 saja, artinya penurunan glukosa darah hanya sampai batas tertentu. Ini membuktikan bahwa

[51]

Tabel 1. Koefisien Konversi Dosis dari Hewan Coba ke Manusia. Konversi 20 gr mencit 200 gr tikus 400 gr marmut 1,5 kg kelinci 2 kg kucing 4 kg kera 12 kg anjing 70 kg manusia

20 g mencit

200 g tikus

400 g marmut

1,5 kg kelinci

2 kg kucing

4 kg kera

12 kg anjing

70 kg manusia

1,0

7,0

12,29

27,8

29,7

64,1

124,2

387,9

0,14

1,0

1,74

3,3

3,3

9,2

17,8

56,0

0,08

0,57

1,0

2,25

2,25

5,2

10,2

31,5

0,04

0,25

0,44

1,0

1,0

2,4

4,5

14,2

0,03

0,23

0,41

0,92

0,92

2,2

4,1

13,0

0,016

0,11

0,19

0,42

0,42

1,0

1,9

6,1

0,008

0,06

0,10

0,22

0,22

0,52

1,0

3,1

0,0026

0,018

0,031

0,07

0,07

0,16

0,32

1,0

2.5 Batasan Konsumsi Ocimum sanctum Sebagai Terapi Diabetes [52] Kantak dan Gogate menemukan bahwa konsumsi Ocimum sanctum dalam bentuk ekstrak memiliki efek anti-fertilitas dengan induksi aborsi dan anti-spermatogenic pada tikus dengan dosis 400 mg/kgBB atau setara dengan 1 gr/kgBB pada manusia dalam bentuk mentah. Sehingga konsumsi Ocimum sanctum tidak dianjurkan pada ibu hamil, khususnya pada masa [53] organogenesis. Ahmed et al. juga membuktikan hal yang serupa, ekstrak benzene daun Ocimum sanctum menurunkan jumlah total sperma dan motilitas sperma, diperkirakan ini disebabkan efek anti-androgenic dari Ocimum sanctum yang mengakibatkan penekanan pada androgen. Namun, jumlah total sperma dan motilitas sperma mampu kembali normal dua minggu setelah pemberian ekstrak benzene daun Ocimum sanctum dihentikan. [54] Singh et al. membuktikan bahwa Ocimum sanctum memiliki efek antikoagulan dengan menghambat agregasi platelet. Kemungkinan besar karena efek eugenol yang menginhibisi COX-2. Akibatnya terjadi penurunan TXA-2. Sehingga tidak dianjurkan konsumsi Ocimum sanctum pada penderita penyakit kelainan koagulasi

JIMKI Volume 3 No.2 | Juli -Desember 2015

seperti hemofilia, trombositopenia, Henoch-Schonlein purpura dan Von Willebrand disease. 3. KESIMPULAN Ocimum sanctum memiliki potensi untuk perbaikan resistensi insulin pada kondisi diabetes. Mekanisme perbaikan resistensi insulin terjadi melalui pencegahan fosforilasi serin pada IRS1, aktivasi PPAR-γ, dan peningkatan produksi HISS. Mekanisme ini diduga akibat efek kandungan eugenol didalam Ocimum sanctum. Dosis optimum konsumsi Ocimum sanctum untuk perbaikan resistensi insulin pada penderita DM tipe II ialah 406 mg/kgBB. Ocimum sanctum tidak dianjurkan untuk ibu hamil dan penderita penyakit kelainan pembekuan darah. DAFTAR RUJUKAN 1. Donath, M.Y.,et al.‖Diabetes around the world‖. Diabetes (2003) 48:738 2. International Diabetes Federation. 2005. Diabetes e-Atlas. 5 April 2015. Jam 08.40. <http:// www.eatlas. idf.org> 3. King, H., et al. ―Global Diabetes Prevalence‖. Diabetes Care (2003) 21:1414 4. WHO. Global Fact of Diabetes (1998) 5 April 2015.

71


5.

6.

7.

8.

9.

10.

11.

12. 13.

14.

15.

16.

<http://www.who.int/diabetes/facts/w orld figures/en/> Departemen Kesehatan Republik Indonesia. P2M, PL, LITBANGKES (2007). 5 April 2015. <http://www.depkes.go.id/index.php ?option=news&task=viewarticle &sid=283&Itemid=2> Askandar, Tjokroprawiro., et al. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. SMF IPD UNAIR: Surabaya, 2002. Suastika, Ketut., et al. ―Prevalence Of Obesity, Metabolic Syndrome, Impaired Fasting Glycemia, And Diabetes In Selected Villages Of Bali, Indonesia‖. JAFES (2011) Vol 26, No 2 Perkeni. Konsensus Pengelolaan Diabetes pada Diabetes Melitus Tipe 2. PB Perkeni. Jakarta, 2006. Roglic. Diabetes mortality. In: Gan D, ed. Diabetes atlas. 3rd ed. International Diabetes Federation: Belgium, 2006. Sargowo, Djanggan. Disfungsi Endotel Pada Penyakit Kardiovaskular. Malang: Bayumedia Publishing, 2003. Rondinone CM, Wang LM, Lonnroth P, Wesslau C, Pierce JH, Smith U. ―Insulin Receptor Substrate (IRS) 1 is Reduced and IRS-2 is The Main Docking Protein for Phosphatidylinositol 3-kinase in Adipocytes from Subjects with NonInsulin-Dependent Diabetes Mellitus. Proc Natl Acad Sci U S A (1997) 94: 4171-4175 Young, L.H. ―Diabetes Mellitus Type II‖ . Am. J. Med., 2003. 115, 75S Rang HP & Dale MM. The Endocrine System Pharmacology, pp 504–508. Harlow, UK: Longman Group Ltd, 1991. Ligaray, Kenneth Patrick. Diabetes Mellitus Type II. 2009. 5 April 2015.<http://emedicine.medscape.c om/article/117853-overview> Ewles L, simnett I. Promotion health: A practical guide. 5th ed, Baillier Tindall, china, pp: 40-43, 91,108,109, 2003. Simpson,RW., Shaw JE, Zimmet PZ. ―The prevention of type 2 diabetes lifestyle change or pharmacotherapy. A challenge for the 21st century (Review‖). Diabetes

JIMKI Volume 3 No.2 | Juli -Desember 2015

17.

18.

19.

20.

21.

22.

23.

24.

25.

Res and Clinl Pract, (2003) 59, pp.: 165-80. Ramadhani, R.B., Sujarwo, Sri Agus. Efek Antidiabetes Dari Ekstrak Buah Mengkudu (Morinda Citrifolia) Pada Tikus Yang Diinduksi Dengan Aloxan: Laporan Penelitian. Pusat Penelitian Obat Tradisional Universitas Airlangga, 2001. Gupta ,SK., Prakash J, Srivastava S. ―Validation of claim of Tulsi, Ocimum sanctum Linn as a medicinal plant‖. Indian J Experimental Biology (2002); 40(7): 765–773 Hadipoentyanti, Endang dan Sri Wahyuni. Keragaman Selasih (Ocimum Spp.) Berdasarkan karakter morfologi, Produksi dan Mutu Herba. Jurnal Littri 14(4), Hlm. 141 – 148. 2008. 5 April 2015. <http://perkebunan.litbang.deptan.g o.id/upload.files/File/publikasi/jurnal/ Jurnal%202008/jurnal%2014%20(4) %202008%20-%20ENDANGH.pdf>. K. P. Bhargava and N Singh. ―The Beneficial Effect of Tulsi‖. Ind. J. of Med. Res. (1981) 73, 443 Mukherji S.P. ―Ocimum - a cheap source of Eugenol‖. Science Reporter, p. 599. Eugenol-rich Ocimum variety released. PID CSIR: New Delhi, 45:256, 1995 Anderson, J. W. “The Role Of Dietary Carbohydrate and Fiber In Control of Diabetes‖. Adv. Intern. Med. (1980) 26, 67-96. Ceriello A, Motz E. ―Is Oxidative Stress The Pathogenic Mechanism Underlying Insulin Resistance, Diabetes, and Cardiovascular Disease? The Common Soil Hypothesis Revisited‖. Arterioscler Thromb Vasc Biol. (2004) 24:816– 23 Brownlee M. ―Advanced protein glycosylation in diabetes and aging‖. Annu Rev Med. (1995); 46: 223– 234. Basta G, Schmidt AM, DeCaterina R. ‖Advanced Glycation End Products and Vascular Inflammation: Implications For Accelerated Atherosclerosis In Diabetes‖. Cardiovasc Res. (2004) 582–92

72


26. Wautier MP, Chappey O, Corda S.. ―Activation of NADPH oxidase by AGE links oxidant stress to altered gene expression via RAGE‖. Am J Physiol Endocrinol Metab. (2001) 280:E685–94 27. Bradley, A.A. and Nathan, C.F. ―Glutathione Metabolism As a Determinant of Therapeutic Efficiency‖. Cancer Res. (1984) 44, 4224-4232. 28. Kabuto, Hideaki., et al ―Eugenol [2Methoxy-4-(2-propenyl)phenol] Prevents 6-HydroxydopamineInduced Dopamine Depression and Lipid Peroxidation Inductivity in Mouse Striatum‖. Biology Pharmacy Bull. (2007) 30(3) 423—427 29. Vidhya ,N., Devaraj SN. ―Antioxidant Effect Of Eugenol In Rat Intestine‖. Indian J Exp Biol. (1999) 37(12):1192-5 30. Cohen ,P. ―Dissection of Protein Kinase Cascades That Mediate Cellular Response to Cytokines and Cellular Stress‖. Adv Pharmacol (1996)36: 15-27 31. Sun, XJ., et al. ―The Structure of The Insulin Receptor Substrate IRS1 Defines a Unique Signal Transduction Protein‖. Nature (1991) 352: 73 -77 32. Rondinone CM., et al. ‗Insulin Receptor Substrate (IRS) 1 is Reduced and IRS-2 is The Main Docking Protein for Phosphatidylinositol 3-kinase in Adipocytes from Subjects with NonInsulin-Dependent Diabetes Mellitus‖. Proc Natl Acad Sci U S A (1997) 94: 4171-4175 33. Paz, K., et al. ―A Molecular Basis For Insulin Resistance: Elevated Serine/threonine Phosphorylation Of IRS-1 and IRS-2 Inhibits Their Binding To The Juxtamembrane Region of The Insulin Receptor and Impairs Their Ability to Undergo Insulin-Induced Tyrosine Phosphorylation‖. J Biol Chem (1997) 272 : 29911-29918 34. Guyton, A.C., dan Hall, J.E. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, EGC: Jakarta, 2000. 35. Chainy, Sunil., et al. ―Anethole blocks both early and late cellular responses transduced by tumor necrosis factor: effect on NF-

JIMKI Volume 3 No.2 | Juli -Desember 2015

36.

37.

38.

39.

40. 41.

42.

43.

44.

45.

kappaB, AP-1, JNK, MAPKK and apoptosis‖. Oncogene. (2000) 19: 2943-50 Manikandan, G., et al. ―Eugenol Inhibits Cell Proliferation Via NF-κB Suppression In a Rat Model Of Gastric Carcinogenesis induced by MNNG‖. Journal of Scientific Research (2000) (1), 158-168 Ghanim ,H., et al. ―Suppression of Nuclear Factor-B and Stimulation of Inhibitor B by Troglitazone: Evidence For an Anti-Inflammatory Effect and a Potential Antiatherosclerotic Effect In The Obese‖. J Clin Endocrinol Metab 86:1306–1312 Lander, H.L.,et al. ―Activation of the receptor for advanced glycation endproducts triggers a MAP Kinase pathway regulated by oxidant stress‖. J. Biol. Chem.1997. 272, 17810–17814. Khamaisi. 2000. Effect Of Inhibition Of Glutathione Synthesis on Insulin Action: In Vivo and In Vitro Studies Using Buthionine Sulfoximine. Biochem. J., 349: 579-586 Young, L.H. 2003. Diabetes Mellitus Type II . Am. J. Med., 115, 75S Marinho. ―Glutathione Metabolism in Hepatomous Liver of Rats Treated With Diethylnitrosamine‖. Biochimica et Biophysica Acta. 1997. 1360: 157-158 Ceriello A, Motz E. ―Is Oxidative Stress The Pathogenic Mechanism Underlying Insulin Resistance, Diabetes, and Cardiovascular Disease? The Common Soil Hypothesis Revisited‖.2004. Arterioscler Thromb Vasc Biol. 24:816–23 Permana, Hikmat. Sel Adiposit sebagai organ endokrin. 5 April 2015. Jam 09.20 <http://pustaka.unpad.ac.id/wpcontent/uploads/2009/09/sel_adiposi t_sebagai_organ_endokrin.pdf> Hector,J1., et al. ―TNF-alpha alters visfatin and adiponectin levels in human fat‖. Horm Metab Res. 2007 Apr;39(4):250-5. Nagashima, S., ―Nakayama. Diabetes mellitus causes changes in the concentrations of adipocyte fatty acid-binding protein‖. Diabetes Care (2007) 34:2061–2066.

73


46. Chan, O., et al. ‖Diabetes and the hypothalamo-pituitary-adrenal (HPA) axis‖. Minerva Endocrinol. (2003) 28, 87–102. 47. Kliewer,SA., JM Lehmann, MV Milburn. ―The PPARs and PXRs: nuclear xenobiotic receptors that define novel hormone signalling pathways‖. Recent Prog Horm Res.(1999);54:345–67. 48. Guilherme, A., et al. ―Adipocyte dysfunctions linking obesity to insulin resistance and type 2 diabetes‖. Nature reviews Molecular cell biology. (2008);9(5):367-377. 49. Spiegelman, BM. ―PPAR-gamma: adipogenic regulator and thiazolidinedione receptor‖. Diabetes. 1998 Apr;47(4):507-14. 50. Sethi, Sushma Sood, Shashi Seth and Anjana Talwar. ―Evaluation of Hypoglycemic and Antioxidant Effect of Ocimum sanctum”. Indian Journal of Clinical Biochemistry, 2004 19 (2) 152-155 51. Prihastuti, Yeni Ayu. Efek Pemberian Kombinasi Artemisin dan

JIMKI Volume 3 No.2 | Juli -Desember 2015

Ekstrak Biji Mimba (Aradirachta indica A. Juss) Fraksi Etanol Per Oral Terhadap Jumlah Sel + CD4 Limpa Mencit Galur Balb/C yang Diinfeksi P. berghei. Malang: Program Studi Pendidikan Dokter Universitas Brawijaya, 2008. 52. Kantak, N.M., and MG. Gogate. ―Effect of short term administration of tulsi (Ocimum sanctum Linn.) on reproductive behaviour of adult male rats‖. Indian J Physiol Pharmacol (1992) Apr; 36(2) :109-11 53. Ahmed, Maruf., et al. ―Antidiabetic Effects of the Different Fractions of Ethanolic Extracts of Ocimum sanctum in Normal and Alloxan Induced Diabetic Rat.‖ Journal of Scientific Research 2009 (1), 158168 54. Singh ,S., Rehan HM., Majumdar DK. ―Effect of Ocimum sanctum fixed oil on blood pressure, blood clotting time and pentobarbitoneinduced sleeping time‖. J Ethnopharmacol (2001) ;78:139–43.

74



Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.